• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II TINJAUAN PUSTAKA"

Copied!
47
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Kerangka Berfikir

Dermaga adalah suatu bangunan pelabuhan yang digunakan untuk merapat dan menambahkan kapal yang melakukan bongkar muat barang dan menaik-turunkan penumpang. Bentuk dan dimensi dermaga tergantung pada jenis dan ukuran kapal yang bertambat pada dermaga tersebut. Dermaga harus direncanakan sedemikian rupa sehingga kapal dapat merapat dan bertambat serta melakukan kegiatan di pelabuhan dengan aman, cepat dan lancar (Triatmodjo. 2009).

Dermaga dapat dibedakan menjadi tiga tipe yaitu, wharf, pier dan jetty. Wharf adalah dermaga yang paralel dengan pantai dan biasanya berhimpit dengan garis pantai. Pier adalah dermaga yang berada pada garis pantai dan posisinya tegak lurus dengan garis pantai (berbentuk jari). Jetty adalah dermaga yang menjorok ke laut sedemikian sehingga sisi depannya berada pada kedalaman yang cukup untuk merapat kapal.

2.1.1. Wharf

Dermaga bentuk Wharf ini berbenuk memanjang, posisi muka dermaga sejajar dengan garis pantai, dimana kapal-kapal yang bertambat akan berderet memanjang, dermaga dengan bentuk memanjang ini dibangun bila garis kedalaman kolam pelabuhan hampir merata sejajar dengan garis pantai. Bentuk dermaga memanjang ini biasa digunakan pada pelabuhan barang, di mana dibutuhkan suatu lapangan terbuka guna kelancaran dalam melayani penangan pergerakan barang.

(2)

2.1.2. Pier

Pier adalah dermaga yang membentuk sudut terhadap garis pantai, bentuk dermaga

menyerupai jari dan dapat ditambatkan kapal pada kedua sisinya sehingga dapat digunakan untuk menyandarkan kapal lebih banyak untuk satu-satuan panjang pantai. Dermaga ini biasanya dibangun bila garis kedalaman terbesar menjorok ke laut dan tidak teratur, dermaga ini dibangun khusus untuk melayani kapal dengan muatan umum.

Gambar 2. 2 Dermaga Tipe Pier

2.1.3. Jetty

Dermaga berbentuk jetty adalah adalah dermaga yang membentuk sudut terhadap garis pantai, dermaga ini dibangun bila garis kedalaman jauh dari pantai dan tidak diinginkan adanya pengerukan kolam pelabuhan yang besar, yang berkaitan dengan stabilitas lingkungannya, dermaga jetty ini dapat ditambatkan kapal pada kedua sisinya, antara dermaga dan pantai dihubungkan dengan jembatan penghubung (approach trestle) yang berfungsi sebagai penerus dalam lalu lintas barang. Perencanaan Tugas Akhir merupakan perencanaan dermaga jetty dengan kedalaman perairan yang disyaratkan adalah -12.5 LWS.

(3)

Gambar 2. 3 Dermaga Tipe Jetty

Adapun pemilihan bentuk/tipe dermaga didasarkan pada ditinjaun terhadap; topografi di daerah pantai, jenis kapal yang dilayani/yang akan beroprasi serta daya dukung tanah sisekitar area rencana pelabuhan.

(4)

2.2 Hidro-oceanografi

Tinjauan hidro-oseanografi adalah menyangkut tinjauan pengaruh hidrodinamika perairan laut. Parameter utama yang biasanya diperhitungkan adalah pasang surut, gelombang dan angina.

2.2.1. Pasang Surut

Pasang surut adalah fluktuasi muka air laut karena adanya gaya tarik benda-benda di langit, terutama matahari dan bulan terhadap massa air laut di bumi. Gaya tarik menarik ini tergantung dari jarak bumi dengan benda langit dan massa benda langit itu sendiri. Jadi, meskipun massa bulan jauh lebih kecil dari massa matahari, tetapi karena jaraknya terhadap bumi jauh lebih dekat, maka pengaruh gaya tarik bulan terhadap bumi lebih besar daripada pengaruh gaya tarik matahari. Pasang surut merupakan factor penting dari geomorfologi pantai, dalam hal ini berupa perubahan teratur muka air laut sepanjang pantai dan arus yang dibentuk oleh pasang. Selain itu pengetahuan tentang pasang surut adalah penting di dalam perencanaan bangunan pantai, pelabuhan dan vegetasinya. Proses akresi dan abrasi pantai terjadi selama adanya pasang dan adanya aksi gelombang balik yang mempengaruhi siklus pasang.

Bentuk pasang surut di berbagai daerah tidak sama. Menurut Bambang Triatmojo (1999) pasang surut yang terjadi di berbagai daerah dibedakan menjadi empat tipe yaitu: 1. Pasang surut harian ganda (semi diurnal tide) Pasang surut tipe ini adalah dalam satu hari terjadi dua kali air pasang dan dua kali air surut dengan tinggi yang hampir sama dan pasang surut terjadi secara berurutan dan teratur. Periode pasang surut rata-rata adalah 12 jam 24 menit.

2. Pasang surut harian tunggal (diurnal tide) Pasang surut tipe ini apabila dalam satu hari terjadi satu kali air pasang dan satu kali air surut dengan periode pasang surut 24 jam 50 menit.

3. Pasang surut campuran condong ke harian ganda (mixed tide prevailing diurnal) Pasang surut tipe ini apabila dalam satu hari terjadi dua kali air pasang dan dua kali air surut, tetapi tinggi dan periodenya berbeda.

(5)

4. Pasang surut campuran condong ke harian tunggal (mixed tide prevailing diurnal) Pada tipe ini dalam satu hari terjadi satu kali air pasang dan satu kali air surut, tetapi kadang-kadang untuk sementara waktu terjadi dua kali pasang dan dua kali surut dengan tinggi dan periode yang sangat berbeda.

Mengingat elevasi muka air laut selalu berubah setiap saat, makadiperlukan suatu elevasi yang ditentukan berdasarkan data pasang surut yang dapat digunakan sebagai pedoman di dalam perencanaan suatu bangunan pantai. Beberapa elevasi tersebut adalah sebagai berikut :

1. Muka air tinggi (high water level), yaitu muka air tertingi yang dicapai pada saat air pasang dalam satu siklus pasang surut.

2. Muka air rendah (low water level), yaitu muka air terendah yang dicapai pada saat air surut pada satu siklus pasang surut.

3. Muka air tinggi rata-rata (mean high water level, MHWL), yaitu ratarata dari muka air tinggi selama periode 19 tahun.

4. Muka air rendah rata-rata (mean low water level, MLWL), yaitu ratarata dari dari muka air rendah selama periode 19 tahun.

5. Muka air laut rata-rata (mean sea Level, MSL), yaitu muka air rata-rata antara muka air tinggi rata-rata dan muka air rendah rata-rata. Elevasi ini digunakan sebagai referensi untuk elevasi di daratan.

6. Muka air tinggi tertinggi (highes high water level, HHWL), yaitu muka air tertinggi pada saat pasang surut purnama dan pasang surut perbani.

7. Muka air rendah terendah (lowes low water level, LLWL), yaitu muka air terendah pada saat pasang surut purnama dan pasang surut perbani.

Dalam perencanaan suatu bangunan pantai, penentua muka air laut ditentukan berdasarkan pengukuran pasang surut selama minimal 15 hari.Hal ini disebabkan karena untuk mendapatkan data pengukuran pasang surut selama 19 tahun sulit dilakukan. Berikut adalah peta sebaran asang surut di perairan Indonesia dan sekitarnya.

(6)

Gambar 2. 5 Peta sebaran pasang surut di perairan Indonesia dan sekitarnya

Sumber; (Perencanaan Pelabuhan, Bambang Triatmodjo) 2.2.2. Gelombang

Gelombang adalah pergerakan naik turunnya air laut disepanjang permukaan air. Gelombang terjadi kerena adanya angin yang bertiup di atas permukaan perairan yang menimbulkan gaya tekan ke bawah, gaya ini akan mendorong permukaan air menjadi lebih rendah dibandingkan dengan tempat di sekitarnya yang mengakibatkan ketidakseimbangan sehingga terjadi dorongan massa air yang lebih tinggi untuk mengisi tempat yang lebih rendah. Gelombang dapat juga menimbulkan energi untuk membentuk pantai, menimbulkan arus dan transpor sedimen dalam arah tegak lurus dan sepanjang pantai, serta menyebabkan gaya-gaya yang bekerja pada bangunan pantai. Proses tersebut akan berlangsung terus menerus sesuai dengan energi kecepatan angin yang menekannya.

Penentuan besar kecilnya sebuah gelombang berdasarkan beberapa parameter, yaitu : 1. Kecepatan angin (U) di permukaan laut

2. Arah angin

3. Panjang daerah pembangkitan angin (fetch) 4. Lama hembus angin atau durasi angin

(7)

2.2.3. Angin

Angin adalah gerakan udara dari daerah dengan tekanan udara tinggi kedaerah dengan tekanan udara rendah. Perbedaan tekanan ini pada umumnya disebabkan karena adanya berbedaan temperature. Angin dapat menyebabkan terjadinya gelombang maupun arus permukaan, serta tarikan dan dorongan. Dalam tugas akhir ini, data angin hanya dibutuhkan untuk perencanaan beban horizontal.

2.3 Geomorfologi

Geomorfologi pantai meliputi material dasar pembentuk pantai dan kemiringan dasar pantai. material dasar pembentuk pantai bisa berupa lumpur, pasir, atau kerikil. Sedangkan kemiringan dasar pantai tergantung pada bentuk dan ukuran material dasar.

2.3.1. Bathimetri

Peta bathimetri diperlukan untuk mengetahui keadaan kedalaman laut (elevasi) disekitar lokasi pekerjaan atau penelitian yang dapat digunakan untuk mengetahui kondisi gelombang. Selain itu juga dapat digunakan pada kegiatan pengerukan yang dilakukan untuk menentukan volume pekerjaan dan akhirnya untuk menentukan biaya. Pengukuran bathimetri disekitar lokasi pekerjaan atau penelitian merupakan suatu hal yang sangat diperlukan dalam suatu perencanaan.

Pengukuran bathimetri biasanya dilakukan disepanjang pantai, yaitu sekitar 1 km ke arah barat dan 1 km ke arah timur dan dalam arah tegak lurus pantai sepanjang 100 m ke arah darat dan 100 m ke arah laut sampai garis pantai pada muka air surut terendah dan dari hasil pengukuran nantinya bisa didapatkan besar dari kemiringan dasar laut. Sedangkan tujuan dari pengukuran bathimetri itu sendiri adalah :

1. Mendapatkan informasi kedalaman dasar laut yang ditentukan dari kedudukan MSL 2. Mendapatkan data yang akan dianalisis lebih lanjut untuk keperluan penelitian dan

(8)

2.3.2. Topografi

Peta topografi dimaksudkan yaitu untuk mendapatkan gambaran situasi dan ketinggian daerah studi yang menyangkut sarana dan fasilitas dermaga.

2.4 Teori Pembebanan Struktur Dermaga

2.4.1. Beban vetikal

Beban vertikal adalah sebuah gaya yang membebani struktur dermaga dari arah atas maupun dari arah bawah (sumbu Z) pada struktur dermaga dan dapat dikategorikan sebagai beban (dead load) dan beban hidup (live load).

a. Beban Mati (Dead Load)

Beban mati (dead load) merupakan beban yang sifanya tetap atau diam, pada umumnya yang tergolong sebagai beban mati (dead load) adalah berat dari semua bagian dari suatu bangunan yang bersifat tetap, termasuk segala untur tembahan. Mesin-mesin serta peralatan tetap lainnya yang merupakan bagian yang tak terpisahkan dari suatu bangunan tersebut.

Beban mati yang diasumsikan bekerja sebagai beban vertikal adalah beban yang bersifat tetap yaitu berat sendiri struktur, beban yang diperhitungkan dalam perencanaan struktur dermaga adalah sebagai berikut:

1. Massa jenis air : 1000 kg/m3 2. Massa jenis air laut : 1025 kg/m3 3. Beton bertulang : 2400 kg/m3 4. Baja : 7850 kg/m3

5. Pasir : 1600 kg/m3

(9)

b. Beban hidup (Live load)

Beban hidup adalah semua beban yang terjadi akibat penghunian atau penggunaan suatu bangunan, dan kedalamnya termasuk beban-beban pada lantai yang berasal dari benda-benda yang berpindah-pindah, maupun beban-beban lainnya yang bersifat sementara. Beban hidup yang diasumsikan bekerja sebagai beban vertikal adalah beban yang bersifat sementara/bergerak, beban hidup yang diperhitungkan dalam perencanaan struktur dermaga adalah sebagai berikut:

1) Beban Hidup Terdistribusi Merata

Beban hidup terdistribusi merata atau disebut juga dengan UDL (Uniformly Distributed

Load) diperhitungkan sebagai berikut:

- Beban hidup terdistribusi merata pada struktur Jetty sebesar 4 ton/m2.

2) Beban Kendaraan Truck

Truk adalah salah satu yang digunakan sebagai alat bongkar muat barang di PT Krakatau Bandar Samudera (KBS), dalam kasus ini truk dapat diasumsikan sebagai beban hidup yang membebani struktur dermaga. Bentuk dari truk yang digunakan sebagai asumsi beban hidup adalah seperti Gambar 2.6. berikut:

(10)

3) Beban Crane

Beban crane pada sebuah dermaga diasumsikan sebagai beban hidup. Alat ini digunakan sebagai alat bongkar muat dari dan ke dalam kapal, crane yang digunakan adalah

countainer crane. Ilustrasi bentuk dari countainer craine yang digunakan sebagai

asumsi beban hidup adalah seperti Gambar 2.7. Berikut.

Gambar 2. 7 Cuntainer Crane yang dijadikan sebagai asumsi beban hidup struktur dermaga.

2.4.2. Beban Horizontal

Beban horizontal yang bekerja pada struktur dermaga adalah beban/gaya yang bekerja searah sumbu X dan Y pada struktur dermaga, atau gaya yang membebani sruktur dari arah samping dermaga, pebebanan horizontal pada struktur dermaga dapat dikategorikan sebagai berikut:

a. Gaya Benturan Kapal

Gaya benturan kapal (berthing) adalah gaya timbul pada saat kapal akan merapat pada dermaga, yang disebabkan kapal masih mempunyai kesepatan, sehingga terjadi benturan antara kapal dengan dermaga, dalam perencanaannya, benturan maksimum akan terjadi apabila kapal bermuatan penuh menghantam dermaga pada susdut 10o

(11)

terhadap sisi depan dermaga, gaya benturan diterima dermaga dan energi benturan diserap oleh fender pada dermaga.

Beban reaksi fender diperhitungkan berdasarkan berthing energi fender yang direncanakan yang kemudian dihubungkan dengan performance curve. Beban reaksi fender akibat pengaruh angin dan arus tidak diperhitungkan mengingat beban reaksi fender akibat berthing energi lebih dominan. Beban friksi fender juga diperhitungkan dalam perencanaan struktur dengan koefisien friksi diambil 0.2. Hal ini mengacu kepada BS6349 Part 4.

Tabel 2. 1 Kecepatan Merapat kapal pada dermaga (Triamodjo, 2003)

Ukuran Kapal (DWT)

Kecepatan Merapat

Pelabuhan (m/s) Laut Terbuka (m/s)

Sampai 500 0,25 0,30

500-10.000 0,15 0,20

10.000 – 30.000 0,15 0,15

Di atas 30.000 0,12 0,15

Referensi : Tabel 6.1 (Perencanaan pelabuhan, Bambang Triatmodjo)

(12)

Gaya berthing ditentukan dari energi berthing kapal yang dihitung berdasarkan rumus berikut:

( ) (1)

dimana:

E = energi benturan (ton meter)

V = kecepatan kapal pada saat membentur dermaga (m/s) W = berat kapal displacement tonnage (DT)(Ton)

g = percepatan gravitasi (m/s2) Cm = koefisien massa

Ce = koefisien eksentrisitas

Cs = koefisien kekerasan (softness) merupakan koefisien yang mempengaruhi energi bentur yang diserap oleh lambung kapal (diambil sebesar 1)

Cc = koefisien konfigurasi penambat merupakan koefisien yang diambil dari efek massa air yang terperangkap antara lambung kapal dan sisi dermaga (diambil sebesar 1untuk jenis struktur dermaga dengan pondasi tiang)

Nilai koefisien massa tergantung pada gerakan air di sekeliling kapal, dan nilai dari koefisien ini dapat dihasilkan dari persamaan berikut:

(2)

dimana niali Cb dapat ditentukan dari persamaan berikut:

(3)

(13)

Cb = koefisien blok kapal d = draft kapal (m) B = lebar kapal (m) Lpp = panjang garis air (m)

yo = berat jenis air laut (1,025 t/m3)

Nilai panjang garis air (Lpp) dapat ditentukan berdasar jenis kapal yang menambat pada dermaga, dan ditentukan dengan menggunakan persamaan di bawah ini.

Kapal barang :

Lpp = 0,846 Loa 1.0193 (4)

dengan:

Loa = panjang kapal total (m)

Nilai koefisien eksentrisitas dapat diperhitungkan dengan menggunakan rumus berikut:

( ) (5)

Dengan :

l = jarak sepanjang permukaan air dermaga dari pusat berat kapal sampai titik sandar kapal (m).

r = jari-jari putaran di sekeliling pusat berat kapal pada permukaan air (m).

Nilai l dapat diketahuai berdasarkan persamaan berikut:

Dolphin : l = 1/6 Loa (6)

(14)

Gambar 2. 9 Jarak sepanjang permukaan air dermaga dari pusat berat kapal sampai titik sandar kapal

(Triatmodjo, 2003)

Gambar 2. 10 Jari-jari putaran di sekeliling pusat berat kapal pada permukaan air

(Triatmodjo, 2003) b. Beban Mooring

Mooring merupakan sistem penambat kapal dengan tali atau kabel yang di ikatkan

(15)

gerakan-gerakan yang berlebihan pada kapal, karena gerakan-gerakan kapal ini sangat berbahaya dan dapat menimbulkan benturan maupun gesekan yang cukup besar dan berbahaya bagi lambung kapal, serta proses bongkar muat barang yang sedang berjalan. Gaya mooring adalah gaya reaksi dari kapal yang bertambat, pada prinsipnya gaya mooring merupakan gaya horizontal yang disebapkan oleh angin dan arus. Agar tali penambat dapat menahan beban dengan efektif, maka sudut vertikal perlu dibuat sedatar mungkin, dan maksimum besar sudutnya dibatasi adalah 25˚, oleh karena itu perlu diperhatikan posisi tali pada saat terjadinya perubahan muka air akibat pasang surut maupun gelombang. Metode pendekatan yang digunakan dalam Tugas Akhir ini adalah metode yang diambil dari British Standard Maritime Structures Part

1 BS 6349-1:2000.

Gambar 2. 11 Ilustrasi ukuran kapal (tampak samping dan belakang kapal)

Gambar 2. 12 Ilustrasi gaya angin dan arus pada kapal (tampak atas kapal)

Beban tambat kapal merupakan beban langsung yang diakibatkan oleh tarikan kapal. Beban ini ditransformasikan pada struktur melalui bollard.

Gaya tarikan pada bollard diambil sebesar 100 ton, yang merupakan kapasitas bollard. Mooring line yang menghasilkan gaya tarik yang ekstrim pada dermaga terbagi menjadi 2 kondisi, yaitu:

(16)

Angin sejajar dengan struktur dermaga (Long Wind)

Angin tegak lurus struktur dermaga (Cross Wind) Skema mooring line ditunjukan pada berikut:

Gambar 2. 13 Sketsa mooring line

Dimensi bollard dapat juga ditentukan berdasarkan referensi di bawah ini.

Tabel 2. 2 Tractive forces of vessels (OCDI)

c. Beban Arus

Beban arus adalah beban yang diakibatkan oleh tekanan arus pada struktur tiang dermaga, besar gaya yang disebabkan oleh perilaku arus dihitung melalui (OCDI hal 138-139).

Untuk keperluan perencanaan awal, beban arus diperhitungkan sebagai berikut.

 Operasional : 1.00 knot;

(17)

Arus yang dipengaruhi oleh drag load pada tiang pancang diperhitungkan berdasarkan pada BS6349 : Part 1 2000 Clause 38.2, dengan persamaan sebagai berikut.

(8) dimana:

FD = total drag force per satuan panjang; CD = koefisien drag;

p = berat jenis air laut; V = kecepatan arus rencana;

An = proyeksi area per satuan panjang;

Nilai koefisien CD digunakan untuk menghitung drag force dari arus yang ditampilkan pada tabel dibawah ini. Nilai untuk elemen yang berbentuk silinder berhubungan dengan Bilangan Reynold dari elemen tersebut. Bilangan Reynold untuk air dengan temperatur yang normal dihitung berdasarkan rumus berikut:

(9) Dengan ”D‟ adalah diameter tiang pancang.

Nilai koefisien drag diambil berdasarkan bentuk dari struktur tiang yang digunakan, nilai CD ditentukan berdasarkan Tabel 2.3.

(18)

d. Beban Gelombang

Beban gelombang pada struktur yang diperhitungkan hanyalah beban terhadap tiang pancang. Beban gelombang pada struktur deck tidak diperhitungkan. Elevasi deck direncanakan akan cukup tinggi untuk menghindari beban angkat gelombang.

Beban gelombang pada pile dihitung menggunakan persamaan Morison saat panjang gelombang lima kali lebih besar dari diameter pile, sesuai dengan BS 6349 : Part 1 : 2000, Clause 39.4, Wave Force. Persamaan Morison adalah sebagai berikut:

| | (10) L>5D

Dimana :

F = gaya horizontal per satuan panjang pile (kN/m) Fi = gaya inersia per satuan panjang pile (kN/m) Fd = drag force per satuan panjang pile (kN/m) p = berat jenis air (1.025 t/m3 untuk air laut)

D = diameter pile (m) + allowance for marine growth 0.15m U(du/dt) = kecepatan horizontal partikel air pada axis pile (m/s) Ci = inersia atau koefisien massa (Ci = 2.0 untuk tube pile) Cd = koefisien drag (Cd = 1.0 untuk tube pile)

L = panjang gelombang

e. Beban Angin

Beban angin yang bekerja pada permukaan dari struktur atas dermaga, dengan proyeksi area “A‟, dihitung berdasarkan BS 5400 : Part 2, Clause 5.3, Wind Load, 1978. Dengan persamaan sebagai berikut.

(11) (12)

Dimana:

(19)

A = solid area (m2)

q = dynamic pressure head (N/mm2)

CD = koefisien drag (Gambar 2.14 dan Tabel 9 dari BS 5400 : Part 2) Vc = kecepatan angin rencana

(20)

Tabel 2. 4 Drag Coefficient CD for piers

f. Beban Temperatur

Beban temperature direncanakan dengan rentang 20oC. Beban temperatur hanya diperhitungkan dalam penentuan lebar dilatasi antara struktur yang bersebelahan, serta penambahan gaya dalam pada elemen tiang pancang.

g. Beban Gempa

Beban gempa pada pemodelan menggunakan analisis dinamis Response Spectra. Respon spectra gempa rencana yang digunakan adalah sesuai dengan SNI 1726-2012: Peraturan gempa Indonesia.

(21)

Gambar 2. 15 Ss Gempa maksimum yang dipertimbangkan risiko target (MCER) kelas situs SB

Gambar 2. 16S1 Gempa maksimum yang dipertimbangkan risiko target (MCER) kelas situs SB

Untuk mengantisipasi terjadi gempa dalam dua arah maka pada analisa struktur terhadap beban gempa diperhitungkan kondisi sebagai berikut.

 ± 100% Ex ± 30% Ey (13)

(22)

Berat struktur yang diperhitungkan dalam penentuan beban gempa yakni: a. Berat sendiri struktur (Dead Load)

b. Superimposed dead load (SDL)

Periode alami struktur ditentukan dengan modal analisis yang dihitung dengan bantuan program SAP2000.

Dalam perencanaan pada struktur dermaga, kombinasi pembebanan yang digunakana adalah sebagai berikut :

1. 1.4 DL 2. 1.2 DL + 1.6 LL 3. 1.2 DL + 1.6 LL ± 1.2 B 4. 1.2 DL + 1.6 LL ± 1.2 M 5. 1.2 DL + 1.6 CC + 1.6 Truck + 1.2 B 6. 1.2 DL + 1.6 CC + 1.6 Truck + 1.2 M 7. 1.0 DL + 1.0 LL ± 1.0 (EX/EY) 8. 1.2 DL + 1.6 LL + 1.2 W +1.2 A ± 1.2 M 9. 0.9 DL ± 1.0 W 10. 0.9 DL + 1.0 U

Kombinasi beban diatas mengadopsi pada SNI-03-2847-2013 dan beberapa kombinasi penulis ambil dari referensi tugas akhir tetang perencanaan dermaga.

Pengunaan berbagai jenis beban dibahas dibawah, dimana: DL = Dead Load (Beban Mati)

LL = Live Load (Beban Hidup) B = Berthing

M = Mooring

E = Seismic Load (Beban Gempa) W = Wave Load (Beban Gelombang) U = Uplift

A = Current (Beban Arus) CC = Countainer Crane

(23)

Untuk perencanaan pondasi tiang pancang, pembebanan yang dilakukan berdasarkan service Load Design (SLD). Sedangkan perencanaan elemen beton bertulang pembebanan yang yang digunakan adalah berdasarkan kepada Service Load Design (SLD) dan Load Factor Design (LFD)

2.5 Fender

Dalam perencanaan fender, kapal bermuatan penuh yang merapat di dermaga akan membentuk sudut 10˚ terhadap sisi depan dermaga, dari benturan yang dihasilkan, setengah energinya akan diserap oleh sistem fender dan dermaga atau 1/2 E (energi benturan), dan setengah energi yang lain akan diserap oleh kapal dan air. Kinerja dermaga dalam menahan benturan dapat diketahui dengan menggunakan persamaan K = 1/2 F d, sehingga dari hubungan kedua persamaan tersebut akan diperoleh persamaan sebagai berikut ini:

(15) (16) (17) dengan :

F = gaya benturan yang diserap sistem fender (ton meter) d = defleksi fender (meter)

W = bobot kapal bermuatan penuh (ton)

V = komponen kecepatan dalam arah tegak lurus sisi dermaga (m/s) g = percepatan gravitai (m/s2)

2.5.1. Jenis-jenis fender

Jenis-jenis fender dibedakan menjadi 2 berdasarkan bahan penyusun dari fender itu sendiri, jenis-jenis fender adalah sebagai berikut:

(24)

a. Fender Kayu

Fender kayu adalah jenis fender yang terbuat dari batang-batang kayu yang dipasang horizontal atau vertikal disisi depan dermaga, pada umumnya panjang fender dibuat sejajar dengan sisi atas dermaga hingga permukaan air.

b. Fender Karet

Fender karet adalah jenis fender yang terbuat dari bahan karet, fender jenis ini diproduksi oleh pabrik dengan bentuk dan ukuran yang berbeda-beda, tergantung pada fungsinya. berdasarkan bentuk dan ukurannya, tipe-tipe fender karet adalah sebagai berikut:

2.5.2. Fender ban bekas mobil

Bentuk paling sederhana dari fender karet adalah ban-ban bekas mobil yang dipasang disepanjang sisi depan dermaga. Fender ini digunakan pada kapal-kapal kecil untuk mengurangi benturan pada saan kapal akan merapat di dermaga.

2.5.3. Fender tipe A

Fender tipe A merupakan fender yang dibuat khusus untuk meredam gaya benturan pada saat kapal merapat di dermaga. tipe fender ini berbentuk menyerupai bentuk persegi tiga, sehingga penyerapan energy benturan kapal lebih besar dibandingkan dengan fender yang terbuat dari ban bekas.

2.5.4. Fender tipe V

Fender tipe V memiliki bentuk yang serupa dengan fender tipe A, fender tipe V memiliki karakteristik yang hampir sama dengan fender tipe A.

2.5.5. Fender tipe silinder

Fender tipe silinder adalah tipe fender yang berbentuk silinder yang digantung pada sisi depan dermaga menggunakan rantai besi. Ukuran fender tipe silinder ditunjukan dengan diameter luar (OD) dan diameterdalam (ID).

(25)

2.5.6. Fender tipe sell (cell fender)

Bentuk lain dari fender karet adalah fender tipe sell, fender tipe sel memiliki bentuk lingkaran, dan dipasang pada sisi depan dermaga mengginakan baut. Sisi depan fender dipasang panel contact untukmemperluas daya jangkauan fender.

Jarak antar fender harus ditentukan sedemikian rupa, sehingga dapat menghindari kontak langsung antar kapal terhadap struktur muka dermaga. Gambar 2.17. menunjukkan posisi kapal yang membentur fender pada saat merapat ke dermaga. Persamaan berikut dapat digunakan untuk menentukan jarak maksimum antar fender. (18) dimana:

L = jarak maksimum antar fender (m)

r = jari-jari kelengkungan sisi haluan kapal (m) h = tinggi fender (m)

Gambar 2. 17 Ilustrasi gambar jarak fender

Apabila data jari-jari kelengkunagan sisi haluan kapal tidak diketahui, maka persamanaan diatas dapat digunakan sebagai pedoman untuk menghitung jarak.

maksimum fender yang dibutuhkan. Kapal barang dengan bobot 500 - 50000 DWT o (19)

(26)

2.6 Perencanaan Struktur Dermaga 2.6.1. Tipe Struktur Dermaga

a. Deck On Pile

Struktur Deck On Pile menggunakan tiang pancang sebagai pondasi bagi lantai dermaga. Seluruh beban di lantai dermaga termasuk gaya akibat berthing dan mooring diterima sistem lantai dermaga dan tian pancang tersebut. Di bawah lantai dermaga, kemiringan tanah dibuat sesuai dengan kemiringan alaminya serta dilapisi dengan perkuatan (revetment) untuk mencegah tergerusnya tanah akibat gerakan air yang disebabkan oleh manuver kapal. Untuk menahan gaya lateral yang cukup besar akibat berthing dan mooring kapal, jika diperlukan dapat dilakukan pemasangan tiagn pancang miring.

Gambar 2. 18 Dermaga dengan Tipe Struktur Deck On Pile

b. Sheet Pile

Struktur Sheet Pile adalah jenis struktur yang tidak menggunakan kemiringan alami dari tanah. Dalam hal ini, gaya-gaya akibat perbedaaan elevasi antara lantai dermaga dengan dasar alur pelayaran ditahan oleh struktur dinding penahan tanah. Tiang pancang miring masih diperlukan untuk menahan gaya lateral dari kapal yang sedang sandar atau untuk membantu sheet pile menahan tekanan lateral tanah. Struktur sheet pile ini dapat direncanakan dengan menggunakan penjangkaran (anchor) ataupun tanpa penjangkaran. Selain sheet pile, diaphragma wall beton juga dapat berfungsi sebagai penahan tekanan lateral tanah. Selain itu diaphragma wall juga dapat direncanakan menerima beban vertikal dari lantai dermaga, karena dinding ini juga merupakan suatu dinding beton bertulang yang struktural.

(27)

Gambar 2. 19 Dermaga dengan Tipe Struktur Sheet Pile

c. Caisson

Struktur ini merupakan salah satu jenis dari dermaga gravity structure, yang pada prinsipnya menggunakan berat sendiri dari struktur untuk menahan gaya vertikal dan horizontal, terutama untuk menahan tekanan tanah. Caisson terdiri dari blok beton bertulang yang dibuat di darat dan dipasang pada lokasi dermaga dengan cara mengapungkan dan diatur pada posisi yagn direncanakan, kemudian ditenggelamkan dengan mengisi blok-blok tersebut dengan pasir laut atau pun batuan.

Gambar 2. 20 Dermaga dengan Tipe Struktur Caisson

2.6.2. Teori Dasar Perhitungan Kapasitas Lentur

a. Asumsi Dasar Dalam Teori Tegangan Lentur

Dalam merencanakan komponen struktur terhadap beban lentur atau aksial atau kombinasi dari beban lentur dan aksial, digunakan asumsi sebagai berikut (SNI 03-2847-2002, pasal 12).

(28)

1) Regangan pada tulangan dan beton harus diasumsikan berbanding lurus dengan jarak dari sumbu netral.

2) Regangan maksimum yang dapat dimanfaatkan pada serat tekan beton terluar harus diambil sama dengan 0,003.

3) Tegangan pada tulangan yang nilainya lebih kecil daripada kuat leleh fy harus diambil sebesar Es dikalikan regangan baja. Untuk regangan yang nilainya lebih besar dari regangan leleh yang berhubungan dengan fy, tegangan pada tulangan harus diambil sama dengan fy .

4) Tegangan tarik beton diabaikan dalam perhitungan kuat lentur.

5) Tegangan beton sebesar 0,85f‟c diasumsikan terdistribusi secara merata pada daerah tekan ekuivalen yang dibatasi oleh tepi penampang dan suatu garis lurus yang sejajar dengan sumbu netral sejarak a = β1c dari serat dengan regangan tekan maksimum

6) Faktor β1 harus diambil sebesar 0,85 untuk beton dengan nilai kuat tekan f„c lebih kecil daripada atau sama dengan 30 MPa. Untuk beton dengan nilai kuat tekan di atas 30 MPa, β1 harus direduksi sebesar 0,05 untuk setiap kelebihan 7 MPa di atas 30 MPa, tetapi β1 tidak boleh diambil kurang dari 0,65.

Apabila kita tinjau Gambar 2.21. (a) dan (b) dan mengasumsikan batang- batang tulangan tarik dinaikkan tegangannya hingga mencapai titik leleh, sebelum beton pada sisi tekan balok mengalami kehancuran, maka setelah tegangan tekan beton mencapai 0,50 fc’, tegangan ini tidak lagi berbanding lurus dengan jarak dari sumbu netral atau sebagai garis lurus.

Sebaliknya tegangan bervariasi seperti ditunjukkan Gambar 2.22. (c) dan diagram tekan yang berbentuk lengkung ini digantikan dengan diagram persegi dengan tegangan rata-rata 0.852 fc’. Diagram persegi dengan ketinggian a, jarak a = β1.c

dimana β1 diperoleh dari pengujian. Diagram persegi dengan ketinggian a ini diasumsikan mempunyai titik berat yang sama dan besar yang sama dengan diagram lengkung. Asumsi ini akan mempermudah dalam melakukan perhitungan kuat lentur

(29)

Gambar 2. 21 Distribusi tegangan pada penampang lentur balok

Gambar 2. 22 Distribusi tegangan pada penampang lentur balok

b. Perhitungan Kuat Lentur Beton Bertulang 1) Persyaratan Analisis Balok Beton Bertulang

a) Hubungan regangan-regangan

Tegangan pada suatu titik harus bersesuaian dengan regangan yang terjadi menurut diagram tegangan-regangan yang berlaku.

b) Keseimbangan

Gaya dalam harus seimbang dengan gaya luar (eksternal forces),

dengan meninjau daerah tekan dan tarik pada gambar Gambar 2.22. penampang balok beton bertulang maka bisa dihitung kuat lentur nominal. Perhitungan kuat lentur nominal (tulangan leleh fs = fy) adalah sebagai berikut :

(19)

(30)

(21)

(22)

Dimana :

As = luas tulangan (mm2 ) fy = kuat leleh baja (MPa) fc’ = kuat tekan beton (MPa) Mn = momen nominal (MPa)

Metode perhitungan kuat lentur nominal dijabarkan secara sederhana dengan langkah-langkah sebagai berikut :

1) Menghitung gaya tarik total T =Asfy.

2) Menyamakan gaya tekan total C =0.85fc‟ab dengan Asfy sehingga bisa dihitung nilai a. Dalam persamaan ini ab adalah luas daerah yang diasumsikan menerima tekan sebesar 0,85 fc'. Gaya tekan C dan gaya tarik T harus sama besar untuk mempertahankan keseimbangan gaya pada penampang.

3) Menghitung jarak antara titik berat T dan C. Untuk penampang persegi, jarak ini sama dengan (d-1/2a)

4) Menghitung Mn yang besarnya sama dengan T atau C dikalikan jarak antara pusat-pusat titik beratnya.

(31)

Ya Tidak Tidak Perbesar Nilai As As min ≤ As pe lu ≤ As terpasang c. Prosedur Desain Penulangan Lentur

Data–data:

f’c (MPa), fy (MPa), dimensi penampang d,h (mm), Mu (Nmm)

Penentuan rasio tulangan

( √ ) Dan

Pengecekan ratio penulangan maksimum m

(32)

Gambar 2. 23 Bagan alir desain penulangan lentur Menghitung dan pemilihan luas tulangan baja perlu (As)

Asperlu = ρperlu.b.d

Syarat luas tulangan minimum

Asmin = ρmin .b.d

Dan tidak lebih kecil dari Asmin =

𝑎 𝑇𝑠

𝑓 𝑐 𝑏 𝑎 𝛽 𝑐

𝑆𝑢𝑑𝑎 Kontrol kekuatan balok tulangan Asumsi : Tulangan telah leleh, fs = fy Tulangan Belum Leleh fs = εs.Es

Cc = Ts

0,85.f‟c.a.b = As.fy

𝑀𝑛 𝑇𝑠 𝑑 𝑎

𝑀𝑛 𝜑𝑀𝑛 > 𝑀𝑢 𝜑 Kontrol kekuatan penampang

(33)

2.6.3. Teori Dasar Perencanaan Penulangan Geser

Perencanaan desain penulangan geser, perlu memperhatikan bahwa gaya geser nominal pada penampang harus lebih besar dari pada gaya geser ultimate akibat beban terfaktor. Berdasarkan (SNI 03-2847-2002, pasal 13) persyaratan kuat geser ini dinyatakan dengan persamaan sebagai berikut :

(22)

(23)

(24)

dimana:

Vn = kuat geser nominal penampang (N) Vc = kuat geser nominal dari beton (MPa)

Vs = kuat geser nominal dari tulangan sengkang (N)

Prosedur perencanaan geser adalah sebagai berikut :

Apabila pada balok hanya bekerja gaya geser maka balok memikul geser murni. Besarnya gaya geser terfaktor = Vu.

dimana:

Vu = 1,2 Vd + 1,6 Vl Vd = gaya geser akibat beban mati (N)

Vl = gaya geser akibat beban hidup (N)

Gaya geser yang dapat dipikul beton (Vc) dihitung berdasarkan rumus sebagai berikut:

Untuk komponen struktur yang hanya dibebani oleh geser dan lentur:

√ (25)

Untuk komponen struktur yang dibebani tekan aksial:

(34)

Dimana :

Besaran Nu /Ag harus dinyatakan dalam MPa. bw = lebar penampang (mm)

d = tinggi efektif penampang (mm)

Nu = beban aksial terfaktor yang terjadi bersamaan dengan Vu (N) Ag = luas bruto penampang, (mm2)

Apabila Vu ≥ φ.Vc maka penampang harus diberi tulangan geser dengan φ = faktor reduksi kekuatan yang bernilai 0,6 (untuk geser). Nilai Vc yang lebih teliti dapat ditentukan dengan persamaan:

(27)

Dan ≤ √ (28) dimana:

Mu = momen terfaktor yang bekerja pada lokasi gaya geser Vu Vu = gaya geser terfaktor (kN)

ρw = As/(bw.d)

Apabila Vu < ϕ .Vc dan Vu ≥ ½. ϕ. Vc maka harus selalu dipasang tulangan geser minimum Av.

dan Dimana:

s = jarak sengkang (mm)

fy = tegangan leleh baja tulangan (MPa)

Av = luas sengkang (mm2) bw = lebar badan balok (mm)

(35)

Apabila Vu > φ.Vc maka harus disediakan tulangan geser untuk memenuhi persamaan φ Vn ≥ Vu diman Vn = Vc + Vs, bila sengkang ikat bundar, sengkang ikat persegi, atau spiral digunakan sebagai tulangan geser, maka kuat geser Vs harus dihitung berdasarkan rumus berikut:

(29)

√ (30)

dengan Av adalah luas tulangan geser yang berada dalam rentang jarak s.

Jika Vs ≤ 1/3(√f’c)bwd maka jarak antar sengkang adalah nilai terkecil antara d/2 dan 600 mm. Jika Vs > 1/3(√f’c)bwd maka jarak antar sengkang adalah nilai terkecil antara d/4 dan 300 mm.

Biasanya jarak sengkang dibatasi 75 mm ≤ s ≤ 300 mm dan jika s < 75 mm maka sengkang dapat dipasang 3 penampang atau 4 penampang dan jika s >300 mm maka diameter sengkang dapat diperkecil atau diambil saja 300 mm. Jika Vs > 2/3 (√f’c)bwd maka tinggi penampang diperbesar.

2.6.4. Teori Dasar Perencana untuk punter (Torsi)

Berdasarkan tata cara perhitungan struktur beton untuk bangunan gedung (SNI 03-2847-2002), Pengaruh punter dapat diabaikan bila nilai momen puntir terfaktor Tu besarnya kurang dari pada.

1) Untuk struktur non-prategang: √

(

) (31)

2) Untuk Komponen struktur prategang: √ ( ) √ √ (32)

3) Untuk komponen struktur non-prategang yang dibebani gaya tarik atau tekan aksial:

(36)

√ ( ) √ √ (33) Dimana :

Tu = momen puntir terfaktor pada penampang, (MPa)

Acp = luas yang dibatasi oleh keliling luar penampang beton, (mm2) Pcp = keliling luar penampang beton, (mm)

Nu = beban aksial terfaktor yang terjadi bersamaan dengan Vu, diambil positif untuk tekan, negatif untuk tarik, dan memperhitungkan pengaruh tarik akibat rangkak dan susut, (N)

Ag = luas bruto penampang, (mm2) = 0,75

Komponen struktur yang dicor secara monolit dengan pelat, lebar bagian sayap penampang yang digunakan dalam menghitung Acp dan Pcp harus mencakup juga bagian pelat pada setiap sisi balok sebesar proyeksi balok yang berada di atas atau di bawah pelat tersebut seperti pada Gambar 2.24.Berikut :

Gambar 2. 24 Bagian pelat yang diperhitungkan

Beban torsi harus diperhitungkan bila Tu > Tc dan tulangan yang dibutuhkan untuk menahan puntir harus ditentukan dari:

ϕTn ≥ Tu

Untuk penampang solid melintang harus memenuhi ketentuan sebagai berikut :

√( ) (

) ≤ (

(37)

Dengan :

Aoh = (bw – 2d’).(h – 2d’) (35)

Ph = 2(bw – 2d’) + 2(h – 2d’) (36)

Dimana :

Tn = kuat momen puntir nominal, N-mm

Vc = kuat geser nominal yang disumbangkan oleh beton, N

Ph = keliling dari garis pusat tulangan sengkang torsi terluar yang diarsir pada Gambar 2.25.

Aoh = Area yang diarsir pada Gambar 2. 25.

Gambar 2. 25 Definisi Aoh dan Ph

Tulangan sengkang untuk puntir harus direncanakan berdasarkan persamaan berikut:

(37) Dengan Ao ditentukan berdasarkan analisis dan dapat diambil sebesar

0,85Aoh, sedangkan nilai θ dapat diambil sebesar 45˚. Dimana :

Avt = luas tulangan torsi (sengkang) luas 1 kaki sengkang (mm2) S =jarak antara tulangan sengkang (mm)

(38)

fyv = kuat leleh tulangan sengkang torsi, (MPa) fs = tegangan leleh tulangan sengkang (MPa) θ = sudut retak (45˚ untuk elemen non prategang)

Av,u = luas tulangan geser (sengkang/begel) permeter (mm2)

Luas minimum tulangan sengkang torsi tertutup harus dihitung dengan ketentuan √

(38)

>

(39)

Tulangan longitudinal tambahan yang dibutuhkan untuk menahan torsi : (

) (40)

2.6.5. Perencanaan Fondasi Tiang

Berbagai tipe tiang pancang yang digunakan pada struktur fondasi dalam sangat tergantung pada beban yang bekerja pada fondasi, selain tersedianya bahan yang ada serta pelaksanaan pemancangannya. Sedangkan kapasitas tiang pancang untuk mendukung beban yang ada dipengaruhi oleh jenis tanah dasar fondasi dan Daya Dukung Tanah untuk hasil soil test SPT. 1) Pemilihan Tiang Pancang

Faktor yang mempengaruhi dalam pemilihan tiang pancang yang dipergunakan di struktur bangunan bawah dermaga adalah:

a) Diusahakan dengan harga yang termurah

b) Kemampuan menembus lapisan tanah keras tinggi, untuk menghindari terjadinya tekuk

c) Mampu menahan pemancangan/pemukulan yang keras, agar tidak hancur ketika pemancangan berlangsung.

(39)

4) Daya Dukung Tiang Tekan

Perhitungan Daya Dukung Tanah untuk hasil soil test SPT dipergunakan perumusan dari Metode LUCIANO DECORT 1982 (Daya Dukung Pondasi

Dalam, Herman Wahyudi: hal 15)

(41)

Dimana :

Q = Daya dukung tiang maksimum Qp = Resistance ultimate di ujung tiang Qs = Resistance ultimate akibat lekatan lateral

2) Daya Dukung Tiang Tarik

Daya dukung tiang tarik adalah kajian mengenai daya dukung terhadap pondasi tiang akibat gaya tarik ke atas, diharapkan pada saat terjadinya gaya tarik keatas yang disebapkan oleh gaya guling maupun gaya dorongan akibat benturan gelombang pada permukaan lantai bawah dermaga, struktur pondasi tiang masih dapat dan diharapkan mampu untuk menahan gaya tersebut. Daya dukung tiang akibat tarik dapat dihitung dengan persamaan berikut:

(42)

dimana :

Tt = Daya dukung tarik bruto (kN)

Qs = Daya dukung tarik akibat gesekan/lekatan tiang (kN) W = Berat efektif struktur yang ditopang oleh tiang (kN)

3) Daya Dukung Lateral Tiang Pancang

Analisis gaya pada tiang yang tejadi akibat beban lateral merupakan permasalahan yang kompleks karena melibatkan interaksi antara elemen bangunan dengan

(40)

elemen tanah di bawahnya dimana tiang akan mengalami deformasi baik bersifat elastis maupun plastis. Perhitungan daya dukung lateral pada pondasi tiang pancang didasarkan pada kriteria daya dukung izin yang didapat melalui daya dukung batas dengan memperhatikan mekanisme keruntuhan pondasi tiang. Mekanisme keruntuhan pada tiang diklasifikasikan berdasarkan kekakuannya sebagai berikut : Mekanisme keruntuhan rotasi pada short pile, Mekanisme keruntuhan translasi pada short pile, dan Mekanisme keruntuhan fraktur pada long pile .

Selain faktor kekakuan tiang, dalam analisis daya dukung lateral pada tiang juga diperhatikan jenis ikatan pada kepala tiang. Jenis ikatan pada kepala tiang dibedakan menjadi dua yaitu ujung bebas dan ujung jepit. Iluistrasi jenis

Gambar 2. 26 Ilustrasi ikatan pada tiang

Perencanaan fondasi dermaga pada Tugas Akhir ini menggunakan sistem ikatan tiang dengan kondisi ujung terjepit. Asumsi tahanan momen pada kepala tiang paling sedikit sama dengan momen maksimum yang dapat ditahan tiang itu sendiri (My).

(41)

2.7 Uraian hasil Penelitian sebelumnya (10 tahun terakhir)

Dalam bab ini disajikan pula beberapa penelitian sebelumnya yang dijadikan sebagai bahan acuan serta referensi dalam pembuatan Tugas Akhir ini.

2.7.1. Desain Dermaga General Cargo dan Trestle Tipe Deck On Pile di Pulau Kalukalukuang Provinsi Sulawesi Selatan

a. Latar Belakang

Dalam rangka menunjang aktivitas distribusi barang antar pulau guna memperlancar roda perekonomian maka dibuat rencana pembangunan pelabuhan beton yang tepatnya di Pulau Kalukalukuang yang terletak di Kecamatan Liukang Kalmas, Kabupaten Pangkep, Propinsi Sulawesi Selatan. Pembangunan pelabuhan haruslah dilakukan secara efisien. Suatu pelabuhan yang efisien merupakan prasyarat bagi perkembangan ekonomi dari suatu kawasan. Karena dengan adanya pelabuhan yang efisien berarti komponen biaya transportasi bagi pengiriman barang dari dan ke kawasan dapat ditekan, yang pada gilirannya akan menyebabkan hasil produksi kawasan menjadi kompetitif di pasaran internasional. Hal ini pada akhirnya akan menyebabkan kegiatan ekonomi di kawasan yang bersangkutan akan menjadi bergairah.

b. Ruang Lingkup

Ruang lingkup Tugas Akhir Perencanaan Dermaga General Cargo dan Trestle Tipe

Deck On Pile di Pulau Kalukalukuang ini adalah:

1) Melakukan inventarisasi data lingkungan lokasi yang telah dianalisis, yang meliputi data Hydro-Oceanography (batimetri, pasang surut, arus), data kondisi topografi dan data geoteknik.

2) Menentukan kriteria desain perencanaan dermaga dan hasil analisis data lingkungan. 3) Menentukan layout dermaga dan trestle.

4) Melakukan analisis untuk menentukan jenis struktur dermaga yang akan direncanakan.

5) Melakukan analisis gaya-gaya yang bekerja pada dermaga dan trestle. 6) Melakukan analisis struktur dermaga dan trestle dengan SAP2000.

(42)

7) Melakukan detail desain dermaga dan trestle. 8) Melakukan detail desain tanggul.

9) Melakukan analisis data tanah.

c. Metode Perencanaan Struktur

Yualita Kartikasari (2008) dalam Tugas Akhirnya yang berjudul “Desain Dermaga

General Cargo dan Trestle Tipe Deck on Pile di Pulau Kalukalukuang Provinsi Sulawesi Selatan” menyimpulkan metode perancangan dan hasil perancangannya adalah

sebagai berikut. Metode yang digunakan untuk perhitungan struktur mengacu pada Tata Cara Perhitungan Struktur Beton SNI 03-2847-2002. Dan program bantu desain struktur yaitu SAP 2000.

d. Kesimpulan

1) Dari hasil hindcascing dapat disimpulkan bahwa gelombang dominan yang terjadi di lokasi perencanaan dermaga dan trestle Pulau Kalukalukuang berasal dari arah barat laut dengan persentase kejadian 11,18 % dan arah barat denganpersentase kejadian 9,53 %.

2) Dari hasil analisis nilai ekstrim untuk gelombang maksimum tahunan dapat diambil tinggi dan periode gelombang rencana yang dipakai untuk perhitungan kekuatan struktur yaitu H = 5,21 m ( periode ulang 50 tahun ) dan T= 10,8 detik.

3) Dari hasil analisis pasang surut didapat elevasi High Water Level = +1,62 m terhadap LWS. Informasi HWL ini diperlukan dalam penetuan elevasi struktur dermaga, trestle, serta tanggul atau revetment di lokasi pelabuhan.

4) Dengan mempertimbangkan faktor kedalaman yang sesuai untuk mengakomodasi dra t kapal dan kondisi gelombang di lokasi proyek maka layout dermaga di Pulau Kalukalukuang dibuat menjorok ke laut pada kedalaman -4,1 m LWS sepanjang 80 m dan dihubungkan ke daratan pantai dengan struktur trestle sepanjang 235 meter kemudian causeway sepanjang 600 m sampai ke areal hasil reklamasi di pantai Pulau Kalukalukuang.

(43)

5) Dari hasil pengecekan terhadap kapasitas lentur, dan kekuatan geser serta lendutan akibat beban-beban yang bekerja di lantai dermaga maupun trestle yang berupa beban lateral maupun aksial serta berat sendiri struktur yang terdiri atas pelat lantai, balok memanjang, balok melintang dapat disimpulkan bahwa secara keseluruhan struktur dermaga dan trestle di Pulau Kalukalukuang aman terhadap kemungkinan kegagalan struktur.

6) Dari hasil pemeriksaan punching shear pada pelat lantai dan pada pilecap baik untuk struktur dermaga maupun trestle dapat disimpulkan bahwa secara keseluruhan struktur pelat dan pilecap dermaga dan trestle di Pulau Kalukalukuang aman terhadap kemungkinan kegagalan struktur.

2.7.2. Perencanaan Detail Pengembangan Dermaga Jamrud Utara di Pelabuhan Tanjung Perak

a. Latar Belakang Penelitian

Pengembang Pelabuhan Tanjung Perak untuk mengantisipasi kecelakaan lalu lintas di perairan akibat padatnya lalu lintas di perairan Pelabuan adalah dengan mempercepat waktu bongkar muat di tiap dermaganya. Pelabuhan Indonesia III merencanakan menggunakan alat bongkar muat yang lebih modern untuk mempercepat waktu bongkar muat barang yaitu dengan menggunakan crane.

Permasalahan baru muncul, apabila pemasangan crane ini terlaksana dikhawatirkan akan terjadi masalah pada struktur eksisting dari Pelabuhan Tanjung Perak khususnya dermaga Jamrud Utara. Pelabuhan Tanjung Perak di bangun oleh pemerintah Belanda pada tahun 1900-an, dari umur pelabuhan yang sudah mencapai satu abad tidak didesain untuk menerima beban berat, sehingga sangat riskan apabila akan dipaksakan menerima beban yang berat dari berat sendiri crane.

Dengan mempertimbangkan permasalahan-permasalahan yang telah diutarakan maka sangat dirasa perlu dilakukan pengembangan dermaga Jamrud 2 Utara dengan menambah luasannya sebesar 940 x 22 m dan Tugas Akhir ini akan merencanakan

(44)

Pengembangan Detail Dermaga Jamrud Utara yang dianggap sebagai salah satu solusinya.

b. Metode Perencanaan Struktur

Adityo N (2006) dalam Tugas Akhirnya yang berjudul “Perencanaan Detail Pengembangan Dermaga Jamrud Utara di Pelabuhan Tanjung Perak” menyimpulkan metode perancangan dan hasil perancangannya adalah sebagai berikut. Perhitungan konstruksi dermaga Jamrud Utara Pelabuhan Tanjung Perak ini didasarkan pada perhitungan lentur “n” pada PBI 1971, dan pada perhitungan plat, momen akibat beban mati dan hidup dihitung berdasarkan perumusan PBI 1971, sedangkan perhitungan momen akibat beban bergerak untuk plat, balok dan tiang pancang diperoleh dengan menggunakan program SAP 2000.

c. Kesimpulan

Dari hasil analisa data dan perhitungan, spesifikasi konstruksi untuk dermaga adalah sebagai berikut:

1) Kapal rencana 30000 DWT dengan spesifikasi :

 DWT = 30000 DWT

 Lengt = 187 m

 Width = 27.1 m

 Depth = 14.6 m

 Full Draught = 10.3 m 2) Dermaga jenis open pier dengan spesifikasi :

 Panjang = 940 m

 Lebar = 22 m

 Luas = 21340 m Elevasi

(45)

3) Struktur dermaga menggunakan cast in situ, dengan dimensi akhir sebagai berikut :  Tebal plat = 40 cm  Balok melintang = 80 cm x 110 cm  Balok memanjang = 80 cm x 110 cm  Balok Crane = 110 cm x 140 cm  Balok fender = 70 cm x 300 cm  Mutu beton = K 300

 Mutu baja = U 32 → D28 dan D25 = U 22 → Ø 16 mm

 Selimut beton (decking) = 8 cm

 Poer tiang pancang ganda = 360 cm x 160 cm x 110 cm

 Poer tiang pancang tunggal = 120 cm x 120 cm x 110 cm 4) Fender dengan spesifikasi :

 Jenis Bridgestone super Arch Type SA – 800 H – 2000L

 Panjang = 2.00 m

 Tebal = 0.4 m

5) Bollard dengan spesifikasi :

 Tipe Bollard AMB 40-A

 Ukuran plat dasar = 70 cm x 70 cm

 Tebal plat dasar = 10 cm

 Baut = 8.89 cm

(46)

Gambar 2. 1 Dermaga Tipe Wharf ... 1

Gambar 2. 2 Dermaga Tipe Pier ... 2

Gambar 2. 3 Dermaga Tipe Jetty ... 3

Gambar 2. 4 Beberapa bentuk tipe dermaga pelabuhan ... 3

Gambar 2. 5 Peta sebaran pasang surut di perairan Indonesia dan sekitarnya ... 6

Gambar 2. 6 Beban Truck “T” (SNI T-02-2005) ... 9

Gambar 2. 7 Cuntainer Crane yang dijadikan sebagai asumsi beban hidup struktur dermaga. ... 10

Gambar 2. 8 Geometri kapal saat sandar (BS 6349 part 4-1994) ... 11

Gambar 2. 9 Jarak sepanjang permukaan air dermaga dari pusat berat kapal sampai titik sandar kapal (Triatmodjo, 2003) ... 14

Gambar 2. 10 Jari-jari putaran di sekeliling pusat berat kapal pada permukaan air ... 14

Gambar 2. 11 Ilustrasi ukuran kapal (tampak samping dan belakang kapal) ... 15

Gambar 2. 12 Ilustrasi gaya angin dan arus pada kapal (tampak atas kapal) ... 15

Gambar 2. 13 Sketsa mooring line ... 16

Gambar 2. 14 Drag Koefisien (CD) untuk struktur atas ... 19

Gambar 2. 15 Ss Gempa maksimum yang dipertimbangkan risiko target (MCER) kelas situs SB ... 21

Gambar 2. 16 S1 Gempa maksimum yang dipertimbangkan risiko target (MCER) kelas situs SB ... 21

Gambar 2. 17 Ilustrasi gambar jarak fender ... 25

Gambar 2. 18 Dermaga dengan Tipe Struktur Deck On Pile ... 26

Gambar 2. 19 Dermaga dengan Tipe Struktur Sheet Pile ... 27

Gambar 2. 20 Dermaga dengan Tipe Struktur Caisson ... 27

Gambar 2. 21 Distribusi tegangan pada penampang lentur balok ... 29

Gambar 2. 22 Distribusi tegangan pada penampang lentur balok ... 29

Gambar 2. 23 Bagan alir desain penulangan lentur ... 32

Gambar 2. 24 Bagian pelat yang diperhitungkan ... 36

Gambar 2. 25 Definisi Aoh dan Ph ... 37

(47)

Gambar

Gambar 2. 2   Dermaga Tipe Pier
Gambar 2. 3  Dermaga Tipe Jetty
Gambar 2. 5  Peta sebaran pasang surut di perairan Indonesia dan sekitarnya  Sumber; (Perencanaan Pelabuhan, Bambang Triatmodjo)
Gambar 2. 7  Cuntainer Crane yang dijadikan sebagai asumsi beban hidup struktur dermaga
+7

Referensi

Dokumen terkait

Untuk batu ultrabasa, arah sebarannya diduga hampir merata dan dominan pada sekitar bagian tengah lokasi penelitian, arah barat barat daya, barat, barat-barat laut, timur

Dari hasil pemodelan dapat dilihat bahwa pada saat musim barat, arah dominan gelombang berasal dari barat laut yaitu dari perairan dalam menuju ke perairan yang lebih

Arah datang gelombang yang disimulasikan dengan CGWAVE berasal dari lima arah yaitu arah selatan, barat daya, barat, barat laut, dan utara.. Untuk keperluan desain digunakan

Dari tabel rekapitulasi di atas dapat diketahui bahwa gelombang dominan dan maksimum terjadi pada arah Barat Laut. Hal ini disebabkan gelombang dari arah Barat Laut

Dari hasil pemodelan dapat dilihat bahwa pada saat musim barat, arah dominan gelombang berasal dari barat laut yaitu dari perairan dalam menuju ke perairan yang lebih

Jika data masukan berupa data geombang laut dalam maka untuk meramalkan kondisi gelombang pada area gelombang pecah maka program akan mengasumsikan arah gelombang sebagai garis

Untuk pembangkitan gelombang di laut dalam, pada musim Barat dan Peralihan I gelombang dominan terjadi dari arah Barat, pada musim Timur gelombang dominan

Pada saat Musim Barat, tinggi gelombang laut signifikan di wilayah Pantai Pulau Merah didominasi oleh interval 1 - 1,5 meter dengan arah gerak gelombang laut dari arah barat daya.. Pada