• Tidak ada hasil yang ditemukan

PENDEKATAN KONTEKSTUAL PADA PECAHAN DI SD

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "PENDEKATAN KONTEKSTUAL PADA PECAHAN DI SD"

Copied!
14
0
0

Teks penuh

(1)

61

PENDEKATAN KONTEKSTUAL PADA PECAHAN DI SD

Robia Astuti

Pendidikan Matematika STKIP Muhammadiyah Pringsewu Lampung 1)

email: robia.astuti@stkipmpringsewu-lpg.ac.id.

Abstrak

Tulisan ini membahas tentang bagaiman mengajarkan konsep pembagian pecahan pada siswa SD. Operasi pembagian pada bilangan pecahan merupakan materi yang lebih sulit jika dibandingkan dengan materi operasi penjumlahan, pengurangan, dan perkalian. Selain materinya memang sulit, dalam menyajikan materi guru belum menerapkan pendekatan yang dikaitkan dengan benda-benda kongkret sesuai dengan kurikulum 2013 dan sesuai perkembangan kognitif siswa SD. Oleh karena itu perlu diciptakan suatu kondisi pembelajaran yang berbeda terutama dalam hal “apa yang dipelajari oleh siswa, bagaimana siswa belajar, bagaimana guru mengajar, dan bagaimana menilai hasil belajar siswa”. Pendekatan pembelajaran yang berorientasi pada pemahaman konsep yang dikaitkan dengan benda-benda kongkret adalah pendekatan kontekstual. Pendekatan kontekstual merupakan alternatif pendekatan pembelajaran yang relevan dengan spirit Kurikulum 2013 dan sesuai dengan tahapan perkembangan kognitif siswa SD serta berpotensi menumbuhkan rasa senang dengan matematika atau menghilangkan rasa takut terhadap matematika terutama pada materi konsep pembagian pecahan.

Kata Kunci: Pembagian pecahan, Pendekatan Kontekstual, Perkembangan Kognitif,

Kurikulum 2013.

1. PENDAHULUAN

Kurikulum 2013 memiliki empat aspek penilaian, yaitu aspek pengetahuan, aspek keterampilan, aspek sikap, dan perilaku. Di dalam Kurikulum 2013, terutama di dalam materi pembelajaran terdapat materi yang dirampingkan dan materi yang ditambahkan. Materi yang dirampingkan terlihat ada di materi Bahasa Indonesia, IPS, PPKn, dsb., sedangkan materi yang ditambahkan adalah materi Matematika. Materi pelajaran tersebut (terutama Matematika) disesuaikan dengan materi pembelajaran standar Internasional (seperti PISA dan TIMSS) yang didalamnya banyak menerapkan matematika dalam konteks penalaran dan kegunaan dalam kehidupan sehari-hari (Siti Julianti, 2016).

Matematika adalah suatu alat untuk mengembangkan cara berpikir siswa. Matematika merupakan bidang studi yang menduduki peranan penting dalam dunia pendidikan. Hal tersebut dapat dilihat dari alokasi waktu jam pelajaran matematika yang cenderung memiliki bobot waktu lebih banyak dibandingkan matapelajaran lain serta

(2)

62

diberikan di semua jenjang pendidikan mulai dari Sekolah Dasar hingga Perguruan Tinggi.

Salah satu tujuan pembelajaran matematika di sekolah adalah agar siswa memiliki kemampuan untuk memecahkan permasalahan sehari-hari. Dengan kemampuan tersebut, siswa dapat memperoleh pengetahuan tentang bagaimana memahami suatu masalah serta mengkomunikasikan gagasan serta memecahkan masalah baik untuk dirinya sendiri maupun orang lain. Dengan demikian, siswa sangat perlu untuk memiliki kemampuan pemecahan masalah matematika.

National Council Of Teacher Of Mathematic (NCTM) menyebutkan mathematics

educators have been called to teach mathematics through problem solving. Hal ini berarti salah satu standar proses dalam pembelajaran matematika di sekolah adalah pemecahan masalah. Ackles (2004:84) juga menyatakan bahwa: the curriculum provides support for students to use alternative methods of solving problems. Pentingnya kemampuan pemecahan masalah dalam pembelajaran matematika juga sejalan dengan tujuan mata pelajaran matematika pada kurikulum 2013, yaitu memecahkan masalah yang meliputi kemampuan memahami masalah, merancang model matematika, menyelesaikan model, dan menafsirkan solusi yang diperoleh.

Namun demikian, pembelajaran matematika di sekolah-sekolah jarang dikaitkan dengan permasalahan kehidupan sehari-hari. Guru masih banyak mengajar dengan definisi, teorema, serta rumus-rumus yang kemudian dilanjutkan dengan beberapa contoh soal. Akibatnya siswa hanya dapat mengingat definisi dan rumus-rumus matematika, namun hanya mampu menyelesaikan soal-soal rutin yang sudah dicontohkan gurunya.

Paul Suparno (2003) menjelaskan teori perkembangan kognitif siswa SD menurut teori Jean Piaget bahwa, “Dilihat dari sisi rata-rata usia, tingkat kematangan mental siswa sekolah dasar ada pada tahap operasional konkret (6-12 tahun)”. Kemampuan berpikir logis muncul pada tahap ini. Siswa mulai dapat berpikir secara sistematis untuk mencapai pemecahan masalah. Hal ini sesuai dengan yang diungkapakan oleh Fatimah Ibda (2015) “pada tahapan operasional kongkrit (6-12 tahun), anak sudah cukup matang untuk menggunakan pemikiran logika atau operasi, tetapi hanya untuk objek fisik yang ada saja, namun mereka masih mengalami kesulitan jika harus berpikir dengan menggunakan lambang-lambang. Materi matematika pada siswa SD pada umumnya

(3)

63

menyelesaikan masalah. Konsep pecahan merupakan materi pelajaran matematika yang dianggap sulit oleh sebagian besar siswa. Siswa masih mengalami kesulitan dalam memecahkan permasalahan materi pecahan yang diberikan oleh guru, yaitu dalam membagi bilangan pecahan. Hal ini sesuai dengan yang diungkapkan oleh Epon dkk (2012:2) melalui hasil penelitiannya di Singaparna bahwa : ”banyak siswa lupa prosedur pembagian pecahan. Mereka hanya ingat prosedur “membalikkan dan kalikan” dan mereka lupa apa yang harus dibalikan dan dikalikan, bahkan proses dan hasil berbeda”.

Keadaan siswa seperti di atas jika didiamkan akan menyebabkan siswa semakin mengalami kesulitan dalam mempelajari dan memahami materi yang dipelajari. Dalam proses pembelajaran dibutuhkan metode, strategi, ataupun pendekatan yang tepat. Dalam rangka meningkatkan mutu pengajaran matematika disekolah, telah banyak usaha yang dilakukan oleh pemerintah, antara lain dengan mengadakan perbaikan kurikulum dan penerbitan buku ajar yang disusun oleh para ahli pendidikan matematika, akan tetapi usaha ini tentu belum memberikan hasil yang maksimal, apabila dalam proses pembelajaran guru belum menerapkan strategi yang tepat dengan materi yang disajikan dan dengan perbedaan karakteristik siswa.

Dari beberapa pendekatan pembelajaran yang ada, terdapat pendekatan pembelajaran yang inovatif dan dapat memicu siswa untuk berperan aktif dalam proses pembelajaran serta dinilai mampu mengatasi masalah-masalah yang disebutkan di atas. Pendekatan tersebut diantaranya adalah pendekatan kontekstual. Pembelajaran kontekstual adalah suatu pendekatan pembelajaran yang menekankan kepada proses keterlibatan siswa secara penuh untuk dapat menemukan materi yang dipelajari dan menghubungkannya dengan situasi kehidupan nyata sehingga mendorong siswa untuk dapat menerapkannya dalam kehidupan mereka (W.Sanjaya, 2009: 255).

Menurut Trianto (2009: 109) Kurikulum dan instruksi yang berdasarkan strategi pembelajaran kontekstual haruslah dirancang untuk merangsang 5 (lima) bentuk dasar dari pembelajaran, yaitu : menghubungkan (Relating), Mencoba (Experiencing), Mengaplikasikan (Applying), Bekerja Sama (Cooperating), dan Proses Transfer Ilmu (Transferring).

Pembelajaran kontekstual adalah konsep belajar yang membantu guru mengaitkan antara materi dengan situasi dunia nyata dan mendorong siswa membuat hubungan antara pengetahuan yang dimilikinya secara teoritis dengan penerapannya dalam kehidupan mereka sehari-hari, dengan cara melibatkan tujuh komponen utama

(4)

64

pembelajaran efektif, yakni: kontruktivisme, bertanya, menemukan, masyarakat belajar, pemodelan, dan penilaian otentik (Sofan A. dan Iif K.A, 2010: 25). Melalui pembelajaran kontekstual siswa diberi kesempatan untuk menemukan kembali dan mengkonstruksi konsep-konsep matematika berdasarkan pada masalah kontekstual yang diberikan oleh guru dengan cara mereka sendiri. Selain itu, pembelajaran kontekstual merupakan strategi yang sangat relevan untuk materi pecahan dan materi-materi yang lain pada Kurikulum 2013, karena konsep pembelajaran kontekstual bertujuan agar siswa aktif terutama untuk mengembangkan pemikirannya.

Sedangkan peran guru pada pembelajaran matematika dengan pendekatan kontekstual adalah sebagai pembimbing dan fasilitator. Dimana guru harus mampu membangun pengajaran yang interaktif, dan menciptakan suasana yang menyenangkan di kelas yaitu dengan merancang pembelajaran terlebih dahulu dan kemudian dikembangkan untuk dapat dipergunakan sebagaimana mestinya. Keterlaksanaan suatu pembelajaran yang baik ditentukan oleh kesiapan dari perangkat pembelajaran itu sendiri.

Berdasarkan uraian di atas, guna meningkatkan kemampuan pemecahan masalah pecahan siswa pada kehidupan nyata atau sehari-hari dan meningkatkan pengetahuan pada guru-guru matematika dalam memberikan pembelajaran dalam kelas yang inovatif dan menyenangkan perlu diterapkan pendekatan kontekstual.

2. PEMBAHASAN

1. Kurikulum 2013 Tentang Pecahan

Konsep pembagian bilangan pecahan termuat didalam struktur isi kurikulum 2013, yaitu diajarkan dikelas 4 SD. Berikut Kompetensi Inti dan Kompetensi Dasar yang memuat materi pecahan pada kurikulum 2013.

KOMPETENSI INTI KOMPETENSI DASAR

1. Menerima, menghargai, dan menjalankan ajaran agama yang dianutnya

(5)

65

KOMPETENSI INTI KOMPETENSI DASAR

2. Memiliki perilaku jujur, disiplin, tanggung jawab, santun, peduli, dan percaya diri dalam berinteraksi dengan keluarga, teman, tetangga, dan guru

2.1 Menunjukkan perilaku patuh, tertib dan mengikuti prosedur dalam melakukan operasi hitung

campuran

2.2 Menunjukkan perilaku cermat dan teliti dalam melakukan tabulasi pengukuran panjang daun-daun atau benda-benda lain menggunakan pembulatan (dinyatakan dalam cm terdekat

2.3 Menunjukkan perilaku adil dalam membagi suatu benda kepada teman sekelompok dengan rata-rata jumlah yang sama

2.4 Menunjukkan perilaku disiplin dan teratur dalam membuat dan mengikuti suatu jadwal kegiatan yang berulang dan efektif menggunakan prinsip KPK dalam kalender

2.5 Menjalankan tugas dengan penuh tanggungjawab menjaga kerapian dan kebersihan kelas

berdasarkan jadwal berulang yang tepat

menggunakan prinsip KPK dalam kalender (misal jadwal piket, Pramuka dll)

2.6 Menunjukkan perilaku peduli dengan cara memanfaatkan barang-barang bekas yang ada di sekitar rumah sekolah atau tempat bermain untuk membuat benda-benda berbentuk kubus dan balok bangun berdasarkan jaring-jaring bangun ruang yang ditemukan

3. Memahami

pengetahuan faktual dengan cara mengamati [mendengar, melihat, membaca] dan

menanya berdasarkan rasa ingin tahu tentang dirinya, makhluk ciptaan Tuhan dan kegiatannya, dan benda-benda yang dijumpainya di rumah, sekolah, dan tempat bermain

3.1 Mengenal konsep pecahan senilai dan melakukan operasi hitung pecahan menggunakan benda kongkrit/gambar

3.2 Menerapkan penaksiran dalam melakukan penjumlahan, perkalian, pengurangan dan

pembagian untuk memperkirakan hasil perhitungan 3.3 Memahami aturan pembulatan dalam membaca

hasil pengukuran dengan alat ukur

3.4 Memahami faktor dan kelipatan bilangan serta bilangan prima

3.5 Menemukan bangun segibanyak beraturan maupun tak beraturan yang membentuk pola pengubinan melalui pengamatan

3.6 Mengenal sudut siku-siku melalui pengamatan dan membandingkannya dengan sudut yang berbeda 3.7 Menentukan kelipatan persekutuan dua buah

bilangan dan menentukan kelipatan persekutuan terkecil (KPK)

(6)

66

KOMPETENSI INTI KOMPETENSI DASAR

dan faktor persekutuan terbesar (FPB)

3.9 Memahami luas segitiga, persegi panjang, dan persegi

3.10 Menentukan hubungan antara satuan dan atribut pengukuran termasuk luas dan keliling persegi panjang

3.11 Menunjukkan pemahaman persamaan antara sepasang ekspresi menggunakan penambahan, pengurangan, dan perkalian

3.12 Mengenal sifat dari garis parallel

3.13 Memahami pecahan senilai dan operasi hitung

pecahan menggunakan benda kongkrit/gambar. Pada Kompetensi Dasar 3.13 pada kurikulum 2013 tersebut jelas termuat materi pembelajaran pecahan yaitu memahami pecahan senilai dan operasi hitung (kali, bagi, tambah, kurang) pada pecahan dengan menggunakan benda-benda kongkrit/gambar. Hal ini menunjukan bahwa pada kurikulum 2013, pembelajaran konsep pecahan guru dituntut menggunakan pendekatan pembelajaran yang sesuai dengan kehidupan nyata atau dapat juga mendemonstrasikan dengan gambar atau benda kongkrit.

2. Perkembangan Kognitif Siswa SD dan Implikasinya pada Pembelajaran

Pecahan

Menurut Piaget, tahap perkembangan inteluektual anak secara kronologis terjadi 4 tahap. Urutan tahap-tahap ini tetap bagi setiap orang, akan tetapi usia kronologis memasuki setiap tahap bervariasi pada setiap anak. Keempat tahap dimaksud adalah sebagai berikut. a) Tahap sensorimotor : umur 0 – 2 tahun. Ciri pokok perkembangannya anak mengalami dunianya melalui gerak dan inderanya serta mempelajari permanensi obyek. b) Tahap Pra operasional : umur 2 -7 tahun. Ciri pokok perkembangannya adalah penggunaan symbol/bahasa tanda dan konsep intuitif. c) Tahap operasi kongkret : umur 7 – 11/12 tahun. Ciri pokok perkembangannya anak mulai berpikir secara logis tentang kejadian-kejadian konkret. dan d) Tahap operasi formal: umur 11/12 ke atas. Ciri pokok perkembangannya adalah hipotesis, abstrak, dan logis.

Berdasrkan perkembangan kognitif menurut Piaget tersebut, perkembangan kognitif siswa SD terletak pada tahap yang ketiga yaitu tahap operasi kongkret.

(7)

67

Tahap operasi konkret (concrete operations) dicirikan dengan perkembangan sistem pemikiran yang didasarkan pada aturan-aturan tertentu yang logis. Anak sudah memperkembangkan operasi-oprasi logis. Operasi itu bersifat reversible, artinya dapat dimengerti dalam dua arah, yaitu suatu pemikiran yang dapat dikembalikan kepada awalnya lagi. Tahap opersi konkret dapat ditandai dengan adanya sistem operasi berdasarkan apa-apa yang kelihatan nyata/konkret.

Teori kognitif dan teori pengetahuan piaget sangat banyak mempengaruhi bidang pendidikan, terlebih pendidikan kognitif. Tahap-tahap pemikiran Piaget sudah cukup lama mempengaruhi bagaimana para pendidik menyusun kurikulum, memilih metode pengajaran dan juga memilih bahan ajar terutama di sekolah-sekolah. Maka dari karya besar Piaget tersebut dapat diimplementasikan pada proses pembelajaran disekolah sesuai dengan teori perkembangannya itu sendiri.

Implementasi perkembangan kognitif pada pembelajaran pecahan, teori Piaget ini cocok untuk pengetahuan dan pengembangan terhadap materi pecahan itu sendiri, karena berdasarkan Kurikulum 2013 yang telah dipaparkan di atas, yaitu dalam mengajarkan pembelajaran pecahan sebaiknya dengan menggunakan benda kongkret atau berbentuk gambar-gambar. Hal ini sesuai dengan teori perkembangan kognitif menurut Piaget pada tahap ke-tiga (usia 7-12 tahun/ usia SD) yaitu tahap operasi kongkret yang ditandai dengan adanya sistem operasi berdasarkan apa-apa yang kelihatan nyata/konkret. Tentu yang terpenting adalah kesesuaian dengan pemilihan model, pendekatan serta metode dalam pembelajaran terhadap materi ajar.

3. Pembelajaran Kontekstual

Pembelajaran kontekstual adalah suatu pendekatan pembelajaran yang menekankan kepada proses keterlibatan siswa secara penuh untuk dapat menemukan materi yang dipelajari dan menghubungkannya dengan situasi kehidupan nyata sehingga mendorong siswa untuk dapat menerapkannya dalam kehidupan mereka (W.Sanjaya, 2009: 255). Menurut Trianto (2009: 109) Kurikulum dan instruksi yang berdasarkan strategi pembelajaran kontekstual haruslah dirancang untuk merangsang 5 (lima) bentuk dasar dari pembelajaran, yaitu :

a. Menghubungkan (Relating)

Relating adalah belajar dalam suatu konteks sebuah pengalaman hidup yang nyata atau awal sebelum pengetahuan itu diperoleh siswa. Guru menggunakan relating

(8)

68

ketika akan mencoba menghubungkan konsep baru dengan sesuatu yang telah diketahui oleh siswa.

b. Mencoba (Experiencing)

Pada experiencing biasanya guru tidak mempunyai pengalaman langsung berkenaan dengan konsep yang dipelajari. Akan tetapi, guru dituntut harus dapat memberikan kegiatan yang dapat membangun pengetahuan siswa.

c. Mengaplikasikan (Applying)

Strategi applying sebagai belajar dengan menerapkan konsep-konsep, siswa menerapkan konsep-konsep ketika mereka berhubungan dengan aktivitas penyelesaian masalah. Guru dapat memotivasi suatu kebutuhan untuk memahami konsep dengan memberikan latihan yang realistis dan relevan.

d. Bekerja Sama (Cooperating)

Bekerja sama adalah belajar dalam konteks saling berbagi, merespons, dan berkomunikasi dengan pelajar lainnya merupakan strategi instruksional yang utama dalam pembelajaran kontekstual.

e. Proses Transfer Ilmu (Transferring)

Transferring adalah strategi mengajar dengan menggunakan pengetahuan dalam sebuah konteks baru atau situasi baru yang belum teratasi dalam kelas.

4. Penerapan Pendekatan Kontekstual

Sofan A. Dan Iif K.A.(2010: 27) mengemukakan langkah pendekatan pembelajaran kontekstual sebagai berikut: “kembangkan pemikiran bahwa anak akan belajar lebih bermakna dengan cara bekerja sendiri, dan mengkontruksi sendiri pengetahuan dan ketrampilan barunya. Laksanakan sejauh mungkin kegiatan inkuiri untuk semua topik, kembangkan sifat ingin tahu siswa dengan jalan bertanya, ciptakan komunitas belajar, hadirkan model sebagai contoh pembelajaran, lakukan refleksi di akhir pertemuan, dan lakukan penilaian sebenarnya dengan berbagai cara”.

Pendekatan kontekstual memiliki tujuh komponen utama, yaitu : a. Kontruktivisme (Contructivism)

Kontruktivisme adalah proses membangun atau menyusun pengetahuan baru dalam struktur kognitif siswa berdasarkan pengalaman. Pendekatan ini menekankan pada pentingnya siswa membangun sendiri pengetahuan mereka lewat keterlibatan aktif proses belajar mengajar. Siswa perlu dibiasakan untuk memecahkan masalah,

(9)

69

menemukan sesuatu yang berguna bagi dirinya, dan bergelut pada ide-ide. Esensi dari teori kontuktivis adalah ide bahwa siswa harus menemukan dan mentransformasikan suatu informasi kompleks kesituasi lain, dan apabila dikehendaki, informasi itu menjadi milik mereka sendiri.

b. Inkuiri (Inquiry)

Inkuiri merupakan bagian inti dari kegiatan pembelajaran berbasis kontekstual, artinya proses pembelajaran didasarkan pada pencarian dan penemuan melalui proses berfikir secara sistematis. Pengetahuan dan keterampilan yang diperoleh siswa diharapkan bukan hasil mengingat seperangkat fakta-fakta, tetapi hasil dari menemukan sendiri. Guru harus selalu merancang kegiatan yang merujuk pada kegiatan menemukan, apapun materi yang diajarkannya.

c. Bertanya (Questioning)

Bertanya merupakan strategi utama yang berbasis kontekstual. Bertanya dalam pembelajran dipandang sebagai kegiatan guru untuk mendorong, membimbing, dan menilai kemampuan berfikir siswa. Bagi siswa kegiatan bertanya merupakan bagian penting dalam melaksanakan pembelajaran berbasis inkuiri, yaitu menggali informasi, mengkonfirmasikan apa yang sudah diketahui, dan mengarahkan perhatian pada aspek yang belum diketahuinya.

d. Masyarakat Belajar (Learning Community)

Konsep masyarakat belajar dalam pembelajaran kontekstual menyarankan agar hasil pembelajaran diperoleh melalui kerja sama dengan orang lain. Kerja sama itu dapat dilakukan dalam berbagai bentuk baik dalam kelompok belajar secara formal maupun dalam lingkungan yang terjadi secara alamiah. Hasil belajar dapat diperoleh adri hasil sharing dengan orang lain, antar teman, antar kelompok, yang sudah tahu memberi tahu pada yang belum tahu, yang pernah memiliki pengalaman membagi pengalamannya pada orang lain. Inilah hakikat dari masyarakat belajar, masyarakat yang saling membagi.

e. Pemodelan (Modeling)

Modeling adalah proses pembelajaran dengan memperagakan sesuatu sebagai contoh yang dapat ditiru oleh setiap siswa. Dalam pembelajaran kontekstual, guru bukan satu-satunya model. Pemodelan dapat dirancang dengan melinatkan siswa. Seseorang bisa ditujuk untuk memodelkan sesuatu berdasarkan pengalaman yang diketahuinya. Model dapat juga didatangkan dari luar yang ahli dibidangnya, misalnya

(10)

70

mendatangkan seorang perawat untuk memodelkan cara menggunakan termometer untuk mengukur suhu tubuh pasiennya.

f. Refleksi (Reflection)

Refleksi adalah proses pengendapan pengalaman yang telah dipelajari yang dilakukan dengan cara mengurutkan kembali kejadian-kejadian atau peristiwa pembelajaran yang telah dilaluinya. Melalui proses refleksi, pengalaman belajar itu akan dimasukan dalam struktur kognitif siswa yang pada akhirnya akan menjadi bagian dari pengetahuan yang dimilikinya. Bisa terjadi melalui proses refleksi siswa akan mempebarui pengetahuan yang telah dibentuknya, atau menambah pengetahuannya.

g. Penilaian Nyata (Autentic Assesment)

Penilaian nyata adalah proses yang dilakukan guru untuk mengumpulkan informasi tentang perkembangan belajar yang dilakukan siswa. Penilaian ini diperlukan unutuk mengetahui apakah siswa benar-benar belajar atau tidak, apakah pengalaman belajar siswa memiliki pengaruh yang positif terhadap perkembangan baik intelektual maupun mental siswa. Penilaian ini dilakukan secara terus-menerus selama kegiatan pembelajaran berlangsung (Trianto 2009: 111).

Dari pendapat diatas dapat diambil kesimpulan bahwa pembelajaran dengan pendekatan kontekstual merupakan perpaduan dari berbagai metode dan pendekatan belajar yang lain dan pada umumnya sudah diketahui dan dipraktekan dalam kegiatan belajar mengajar. Hanya pada pembelajaran yang menggunakan pendekatan kontekstual guru dituntut untuk meningkatkan pengetahuan dan keterampilannya dalam mengelola kelas, sebab titik tekan dalam pembelajaran kontekstual proses belajarnya melibatkan dunia nyata siswa dan mendorong siswa untuk menghubungkan pengetahuan dalam kehidupan sehari-hari atau kehidupan yang telah dialaminya.

Dengan demikian, berdasarkan struktur isi kurikulum 2013 SD tentang pembelajaran pecahan yaitu memahami pecahan senilai dan operasi hitung (kali, bagi, tambah, kurang) pada pecahan dengan menggunakan benda-benda kongkrit/gambar, pendekatan kontekstual ini sangat relevan jika diterapkan. Hal ini diperkuat oleh hasil penelitian Robia Astuti (2016) berupa perangkat pembelajaran kontektual pada konsep pecahan yang dinilai dalam kategori baik, yaitu pendekatan

(11)

71

kontekstual dinilai dapat memperbaiki hasil belajar matematika siswa pada materi pecahan.

5. Pembelajaran Konsep Pembagian Bilangan Pecahan dengan pendekatan

kontekstual

Penerapan pendekatan kontekstual berkaitan dengan kemampuan siswa dalam memecahakan masalah pembagian bilangan pecahan adalah sebagai berikut: 1.)Pada pembelajaran di sekolah kita sering menemui saat menjelaskan tentang

pembagian pecahan dengan pecahan, guru hanya berkata “anak-anak saat pecahan dibagi dengan pecahan, maka kalian harus merubahnya menjadi bentuk perkalian, tetapi pecahan pembagi, harus dibalik antara penyebut dan pembilangnya…”, sangat jarang kita menemui guru yang mau menjelaskan kenapa hal tersebut dapat terjadi atau paling tidak menjelaskan logika yang dapat digunakan untuk merepresentasikan hal tersebut.

2.)Seharusnya berdasarkan logika kita, sesuatu apabila dibagi hasilnya harusnya lebih kecil. Sebagai contoh, ½ : ¼ = 2, padahal 2 lebih besar daripada 1/2, mengapa hal tersebut bisa terjadi? Jarang pula murid yang bertanya kepada guru kenapa hal tersebut dapat terjadi. Mungkin hal ini dikarenakan kebiasaan yang sudah mengakar dalam sistem pembelajaran kita,, dimana siswa hanya cenderung untuk menerima pengetahuan dari guru secara “mentah-mentah”. Sedangkan guru juga kurang memberi kesempatan siswa untuk lebih berfikir kritis dan menggali lebih jauh keingintahuan mereka. Melalui matematika realistik ini akan diajarkan bagaimana memecahkan masalah pembagian pecahan.

Untuk lebih memahami logika sederhana 1/2 : 1/4 = 2 guru memberikan permasalahan berikut ini: Ibu mempunyai satu botol ukuran 1000 ml yang hanya terisi air setengahnya. Kemudian ibu ingin menuangkannya pada botol ukuran 250 ml. Berapa botol baru yang terisi oleh air?

(12)

72

bentuk matematika dari permasalahan diatas adalah 1/2 : 1/4 =……, bagi siswa yang belum mengenal rumus tentang pembagian dalam pecahan, masalah tersebut akan lebih mudah diselesaikan dan lebih menarik tentunya. Tetapi banyak guru yang tidak terlalu tertarik untuk mengenalkan permasalahan seperti di atas sebagai awal dalam mengajarkan pembagian pecahan.

Berikut adalah salah satu alternatif penyelesaian permasalahan di atas.

Dari gambar di atas, terlihat bahwa dua botol terisi penuh oleh air. Maka hasil dari 1/2 : ¼ adalah 2.

Untuk permasalahan 1/2: 1/4 memang terlihat lebih mudah, karena salah penyebutnya merupakan faktor dari penyebut yang lain. Lebih lanjut guru akan memberikan contoh permasalahan yang sedikit lebih rumit dengan menggunakan cara yang sama seperti sebelumnya. 2/3 : 1/2 = ……..

(13)

73

dari gambar di atas, satu botol terisi penuh dan botol kedua hanya terisi 1/3 bagiannya. Maka kita dapat 2/3 : 1/2 = 1 1/3 atau 4/3. Untuk soal lain kita dapat menerapkan pendekatan kontekstual yang sama dengan di atas.

3. KESIMPULAN

Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan sebagai berikut.

1. Pada Kurikulum 2013, materi pelajaran matematika disesuaikan dengan materi pembelajaran standar internasional seperti pada PISA dan TIMSS yang didalamnya banyak menerapkan matematika dalam konteks penalaran dan konteks kehidupan nyata. Dalam tulisan ini materi pecahan yang menjadi topik pembahasan.

(14)

74

2. Pengimplementasian Kurikulum 2013 pada pelajaran pecahan tertuang pada Kompetensi Dasar kelas 4 SD, yaitu dalam memahami pecahan sebaiknya siswa diarahkan untuk belajar dengan menggunakan benda-benda kongkrit/gambar.. 3. Implementasi perkembangan kognitif menurut Piaget ini cocok untuk

pengetahuan dan pengembangan terhadap materi pecahan itu sendiri, selain sesuai dengan KD yang termuat pada Kurikulum 2013 tetapi juga sesuai dengan tahap ke-tiga (usia 7-12 tahun/ usia SD) yaitu tahap operasi kongkret yang ditandai dengan adanya sistem operasi berdasarkan apa-apa yang kelihatan nyata/konkret. 4. Pendekatan kontekstual merupakan alternatif pendekatan pembelajaran yang

relevan dengan spirit Kurikulum 2013 dan sesuai dengan tahapan perkembangan kognitif siswa SD serta berpotensi menumbuhkan rasa senang dengan matematika atau menghilangkan rasa takut terhadap matematika terutama pada pembagian pecahan.

DAFTAR PUSTAKA

Eppon dkk. 2012. Model Desain Didaktis Pembagian Pecahan Berbasis PMRI Untuk Siswa kelas V SD. Prosiding. ISBN : 978-979-16353-8-7. (Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika FMIPA UNY, Yogyakarta, 10 November 2012).

Fatimah Ibda. 2015. Perkembangan Kognitif: Teori Piaget. Intelektualita. Vol.3, No.1 KEMENDIKBUD. 2013. Kurikulum 2013: Kompetensi Dasar untuk SD/MI.

NCTM. 2000. Principles and Standards for School Mathematics. Reston,Va : National Council of Teachers of Mathematics.

Paul Suparno. Prof. 2003. Teori Perkembangan Kognitif Jean Piaget. Yogyakarta: Kanisius.

Robia Astuti. 2016. Pengembangan Perangkat Pembelajaran Kontekstual pada Materi Pecahan. e-Dhumath. Vol.1, No.1, No ISSN cetak: 2356-2064.

Sofan Amri dan Iif K.A. 2010. Proses Pembelajaran Kreatif dan Inovatif dalam kelas.Jakarta ; Prestasi Pustaka Karya

Siti Julianti. 2016. Kurikulum 2013, Untuk Siapa?.Indonesian Corruption Watch. Diakses tanggal 30 mei 2016

Trianto. 2009. Mendesain model pembelajaran inovatif-progresif. Jakarta: Kencana prenada media grup.

Wina sanjaya. 2009. Strategi Pembelajaran berorientasi standar proses pendidikan. Jakarta: kencana prenada media grup.

Referensi

Dokumen terkait

[r]

Rancangan penelitian sistem informasi angsuran jatuh tempo nasabah berbasis VB.Net 2010 pada bank Banten Cabang Palembang adalah sebuah rancangan yang dibuat supaya karyawan

[r]

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis yang b erjudul “ ANALISIS KETERAMPILAN GURU DALAM MEMBERIKAN PENGUATAN PADA PEMBELAJARAN IPS ( Analisis Deskriptif pada

Jumlah anggota rumah tangga juga akan mempengaruhi konsumsi pangan. Bagi rumah tangga dengan anggota rumah tangga banyak, pada kondisi tersebut maka tingkat konsumi pangan

Sikap dan Mentalitas Bangsawan Ternate Menghadapi Tarikan Tradisi dan Modernitas ...138.. Peranan Bangsawan Ternate dalam Melestarikan Nila-nilai Tradisional

Assam University Journal of Science & Technology: Biological and Environmental Sciences Vol.. Introduction to Food Colloids , Oxford University Press, Oxford,

Uji-F digunakan untuk menguji faktor-faktor produktivitas secara simultan atau secara bersama- sama (kompensasi, disiplin kerja serta pendidikan dan latihan) apakah