JEJAK ILMU BAYAN DALAM BUKU TEKS PERGURUAN
TINGGI: PEMETAAN EKSISTENSI ILMU BAYAN
Irhamni Kholisin
Universitas Negeri Malang [email protected]
Abstrak
Artikel ini bertujuan untuk mendeskripsikan jejak bayan di perguruan tinggi (UM) yang meliputi jejak tasybih, jejak majaz dan jejak keinayah. Untuk itu digunakan metode penelitian kualitatif yang datanya
dikumpulkan dengan teknnik analisis dokumen dan wawancara. Hasilnya, jejak bayan di JSA FS UM ditandai dengan pengembangan konseptual yang diintegrasikan dengan konsep di luar ilmu non balaghah. Jejak bayan bayan juga ditandai dengan beberpa kontroversi konsep dan paparan.
Kata kunci: Jejak ilmu bayan, perguruan tinggi, buku teks
Penelitian tentang Jejak Ilmu Bayan ini akan menjadi khazanah intelektual yang berupa data akurat tentang eksistensi Ilmu Bayan yang ada di perguruan tinggi. Pengetahuan tentang jejak ilmu bayan di perguruan tinggi barangkali belum terpikirkan oleh banyak orang namun manfaatnya dapat dirasakan sebagai bukti kehidupan bahasa Arab yang sampai saat ini masih menjadi bahasa asing bagi bangsa Indonesai. Sementara itu bangsa Indonesia saat ini adalah bangsa yang mempunyai concern besar pada hubungan luar negeri i antaranya dengan Timur Tengah yang mempunyai bahasa Arab sebagai bahasa resminya. Di dalam bahasa tersebut terdapat properti pengungkapan yang menjadi daya tarik bagi para ilmuan yang disebut dengan ilmu bayan. Ilmu bayan ini salah satu bagian dari ilmu balaghah, namun demikian ilmu bahayan menjadi tema besarnya bagi para pakar balaghah. Nabi muhammad sendiri menegaskan bahwa dalam bayan itu terdapat sihir, atau daya tarik yang mengagumkan.
Tentang tokoh dan pandangannya tentang al-bayan (tasybih, majaz dan isti'arah)
Mempertemukan antara dua hal yang berbeda jenisnya dan penyelarasan antara keduanya inilah yang merupakan rahasia balaghah bahasa Arab. Dan ini pula yang disebut dengan "mekanisme bayan dan burhan" dalam wacana bahasa Arab. As-Sakaki, Bila Anda
menguasai tasybih maka Anda pun bakal menguasai berbagai aspek sihir ilmu bayani,
Al-Mubarrad, Tasybih merupakan satu bab istimewa yang tidak pernah habis dan berujung ;
Al-' Askari, metode tasybih di kalangan para pandahulu dan di kalamgan kaum Arab jahili
dari setiap generasi, menempati posisi yang terhormat dan dimuliakan dalam disiplin balaghah ; Ibn Wahb, tasybih adalah satu bentuk kalam Arab yang paling terhormat, karena
di sanalah letak kepiawaian dan kekuatan bahasa mereka; Al-Jurjani, Metode tasybih
merupakan seni yang membutuhkan kecerdasan dan bakat yang maksimal, yang memberi kelembutan dan menggetarkan jiwa, dan mampu menyatukan makna-makna yang saling berbeda dan bertentangan dalam satu rumpun yang memikat, yang merangkai hal-hal yang terasa asing satu sama lainnya dalam satu simpul keserasian dan keakraban (Al-Jabiri, 77-82)
.
Daya tarik bayan yang mengagumkan itu dalam teori berbahasa menjadi satu unsur penting yang mendapat perhatian. Melalui bayan orang akan memahami banyak hal tentang pembicara serta pesan yang disampaikan misalnya tentang kecerdasan pembicara, tendisinya, kekammpunnya tentang konten yang sedang dibicarakan serta banyak hal mengenai pembicara misalnya minatnya di bidang sastra, kecenderungannya dalam membuat penilaian, kemajuan ungkapannya. Bayan, dengan demikiqn bisa dijadikan barometer kebahasaan dan kualitas pembicara. Itulah kenapa semua perguruan tinggi yang mempunyai program bahasa Arab dipastikan mempunyai mata kuliah ilmu bayan.
Sampai saat ini, ilmu bayan di perguruan tinggi dijadikan mata kuliah elitis yang dipandang sebagai mata kuliah yang mengindikasikan standart tinggi dan keberdaannya di perguruan tinggi oleh mahasiswa dianggap sebagai salah satu mata kuliah yang menyita perhatian besar karena banyaknya unsur rumit yang terlibat dalam bayan tersebut. Keindahan yang terdapat dalam ilmu bayan tidak dipungkiri menjadi salah satu pembentuk sihir bayani yang banyak menyita para ilmuan bidang bahasa Arab khususnya ilmu balaghah retorika. Namun demikian pengetahuan tetang seberapa kualitas dan kuantitas keberadaan ilmu bayan ini serta keberaedaannya di perguruan tinggi bisa dipastikan masih merupakan ruang gelap yang belum diketahui
orang secara objektif yang disimpulkan dari data akurat yang terkumpul. Peneliti yakin bahwa hasil penelitian ini akan membawa informasi yang mempunyai urgensinya tersediri bagi mereka yang telibat dalam pembelajaran bahasa Arab. Informasi demikian itu di tahun 2016 oleh Jurusan Sastra Arab dinggap sangat penting karena berkaitan dengan upayanya untuk memetakan keilmuan yang berkembang di PT saat ini (wawancara dengan Tim JSA, Oktober, 2015) Dapatlah dikatakan bahwa peta tersebut bagi JSA bisa menjadi pijakan pengembangan yang harus dilakukan selama ini. Tanpa pijakan tersebut dikhawatirkan terjadi ineffisiensi atau pemubadziran dalam pengembangan program jurusan. Peta ilmu bayan pertama-tama akan dilihat dari segi sebarannya kemudian dari segi kualitas yang menyertainya di masing-masing PT yang menjadi mitra subjek dalam penelitian ini.
Berdasarkan latar belakang tersebut tim peneliti akan melakukan penelitian tentang jejak ilmu Bayan ‘bayan’ itu sendiri dalam materi perkuliahan balaghah yang berkembang di PT yang selanjutnya akan bermanfaat untuk berbagai tujuan yang relevan semisal pengembangan buku ajar ilmu bayan, balaghah, telaah prosa dan puisi serta kajian-kajian teks suci dan Al-Hadits.
METODE
Penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif atau ethnografik (Bogdan dan Biklen, 1982:2-3) yang berlangsung dalam latar yang wajar dengan menggunakan pendekatan fenomenologis dan grounded theory karena berupaya memahami fenomena-fenomena yang terjadi dalam subyek penelitian dengan bersentuhan langsung dengan fenomena yang diteliti.
Penelitian ini menggunakan rancangan studi kasus. Rancangan ini digunakan untuk penyelidikan yang lebih mendalam dan pemeriksaan yang menyeluruh terhadap Jejak Ilmu Bayan dalam Buku Teks Peguruan Tinggi.
Sesuai dengan pendekatan kualitatif, maka instrumen dalam pengumpulan data adalah peneliti sendiri. Selanjutnya, kedudukan peneliti dalam penelitian kualitatif ini sekaligus merupakan perencana, pelaksana pengumpulan data, analisis, penafsir data, dan pada akhinya ia menjadi pelapor hasil penelitiannya (Moleong,1998: 121).
khususnya dosen pengampu mata kuliah ilmu balaghah, buku sumber dan mahasiswapeserta perkuliahan balaghah.
3.6 Jenis Data
Jenis data yang dikumpulkan kebanyakan berupa kata-kata subyek, baik lisan maupun tertulis yang berkaitan dengan ide tentang Jejak Ilmu Bayan dalam Buku Teks Peguruan Tinggi subjek penelitian yang meliputi buku teks telaah prosa, pisi, ilmu balaghah dan Al-Qur’an-Hadits.
Dalam penelitian kualitatif ini data diperoleh melalui tiga cara, yaitu (1) wawancara mendalam (in-depth interview), (2) pengamatan peran serta (participant observation) (3) studi dokumentasi. Dengan teknik pertama peneliti melakukan wawancara dengan pihak JSA perguruan tinggi subjek penelitian kajur, dosen dan mahasiswa JSA yang bisa memberikan informasi tentang jejak ilmu bayan yang dalam buku teks kesastraan yang mereka pelajari. Dengan teknik kedua, peneliti berusaha terlibat langsung dalam setiap kegiatan yang diperkirakan dapat menjadi sumber data yang berkaitan dengan jejak ilmu bayan yang ada dalam buku teks kesastraan yang mereka pelajari. Dengan teknik ketiga, peneliti melakukan telaah kritis terhadap dokumen yang diperkirakan dapat menjadi sumber data tentang jejak ilmu bayan yang ada dalam buku teks kesastraan yang mereka pelajari Hal itu relevan dengan pandangan bahwa bagi peneliti kualitatif, fenomena dapat dimengerti maknanya secara baik apabila dilakukan interaksi dengan subyek melalui wawancara mendalam dan observasi pada latar di mana fenomena tersebut berlangsung. Disamping itu ditunjang dengan teknik dokumentasi berupa bahan-bahan yang ditulis oleh atau tentang subyek untuk melengkapi data yang diperlukan.
Analisis data dalam penelitian terdiri dari tahap-tahap pengerjaan yaitu organisasi data, pemilahan data menjadi satuan-satuan tertentu, pelacakan pola, penemuan hal-hal yang penting dipelajari, dan penentuan apa yang harus dikemukakan kepada orang lain. Jadi, pekerjaan analisis data bergerak dari penulisan kasar sampai pada produk penelitian. Analisis data dalam penelitian ini, data dianalisis pada saat pengumpulan data dan setelah selesai pengumpulan data. Data dianalis dalam kata-kata, kalimat dengan bentuk narasi yang bersifat deskriptif. Penerapan teknik analisa deskriptif dilakukan dengaan tiga jalur
yang merupakan satu kesatuan yaitu: (1) reduksi data, (2) penyajian data dan (3) penarikan kesimpulan.
Peneliti dapat membuat kesimpulan-kesimpulan yang longgar dan terbuka, dimana awalnya belum jelas, kemudian meningkat menjadi lebih rinci dan mengakar dengan kokoh. Kesimpulan akhir dimungkinkan setelah pengumpulan data tergantung pada kesimpulan-kesimpulan, catatan lapangan, penyimpanan data dan metode pencarian ulang yang digunakan. Penarikan kesimpulan dapat dilakukan berdasarkan matriks yang telah dibuat untuk menemukan pola, topik atau tema sesuai dengan penelitian.
Untuk memperoleh data dan hasil peneltian yang sahih peneliti menggunakan teknik (1) perpanjangan kehadiran peneliti, yaitu 2 hari dalam seminggu selama enam bulan (2) pengamatan terus-menerus secara rutin dan sistematis (3) triangulasi sumber data dan teknik pemerolehan data (4) diskusi teman sejawat yang dianggap ahli baik yang berkaitan dengan substansi maupun metodologi penelitian (5) analisis kasus negatif, (6) penilaian atas kecukupan referensial baik yang berisat literar maupun tindakan subjek, dan (7) pengecekan anggota.
HASIL DAN DISKUSI
Jejak Bayan yang akan dideskripsikan dalam hasil penelitian ini meliputi tasybih, majaz dan kinayah. Ketiganya merupakan bagian dari bayan (ilmu bayan).
Jejak Tasybih
Tasybih adalah penjelasan bahwa suatu hal atau beberapa hal memiliki kesamaan sifat dengan hal yang lain. Penjelasan tersebut menggunakan huruf kaf atau sejenisnya, baik tersurat mau-pun tersirat (Jarim dan Amin, tanpa tahun). Atau bayan adalah pengungkapan dengan menggunakan perbandingan. Bayan juga diyakini sebagai ungkapan yang mengandung sihir atau daya tarik yang memukau pendengar seolah ia orang yang terkena sihir. Di JSA, bayan dimaknai sebagai menyerupakana sesuatu dengan sesuatu yang lain karena adanya kesamaan sifat dengan menggunakan penanda perbandingan atau tanpa menggunakannya (Mahliatussikah, 2015:3). Pengertian yang dikemukakan oleh Mahliatussikah, bayan bisa disyarh sebagai pengungkapan dalam berbahasa dengan cara membandingkan sesuatu dengan sesuatu yang lain karena adanya
kesamaan sifat antara yang dibandingkan dengan yang dijadikan bandingan, baik perbandingan tersebut menggunakan penanda maupun tidak.
Di JSA FS UM, bayan telah meningglkan jejak kontemporerisasi yang cukup berarti berkaitan dengan upaya mengintegrasikan bayan dengan ilmu wacana. Dalam Mahliatussikah bayan dicoba ditempatkan pada posisi analsiis wacana yang mirip dengan koordinat wacana yaitu dengan memastikan adanya istiah penentu dalam berkomunikasi atau disebut sebagai konteks komunikasi yang meliputi mitra tutur, tempat bertutu, situasi, media, topik, peristiwa, dan tujuan tuturan (di akhir paragraf ini tidak terdapat perbandingan rujukan kecuali hal itu mengingatkan peneliti pada koordinat wacana dalam istilah Samsuri, ...). Jejak kontemporerisari terlihat juga pada perbandingan-perbandingan terminologis yang juga mengarah pada integrasi ilmu bayan dengan bidanhg keilmuan yang senada misalnya terdapat istilah-istilah simile, tenor, vehicle, motif dan penanda yang diambil dari Atmazaki (1993). Istilah-istilah tersebut juga sudah dimanfaatkan untuk merumuskan suatu definisi, misalnya dalam mendefinisikan tasybih ghaoiru baligh
walaupun tidak digunakan dalam mendefiniskan tasybih baligh (belum ada jawaban kenapa hal ini terjadi). Munculnya istilah ghairu baligh, ghairu dlimni dan ghairu mujmal juga merupakan penanda jejak tasybih (bagian dai bayan) yang lain.
Dalam berbagi litertur yang digunakan di JSA FS UM adalah jejak keindahan ungkapan bayani, yang mempertanyakan di mana letak keindahan gejala-gejala ungkapan bayani yang direpresentasikan dalam contoh-contoh materi. Untuk memperkuat jejak keindahan (dalam bentuk materi perkuliahan) maka diperlukan penjelasan tentang keindahan. Karena itu pengintegrasian konsep-konsep dalam materi dengan iilmu bidang lain di JSA perlu dietruskan sampai pada integrasi yang bisa memberi jawaban letak keindahan setiap gejala ungkapan bayani.
Jejak Majaz
Paparan tentang pegertian majaz dilengkapi dengan rujukan dari AL-Hasyimi (1978) yang dikutip dengan caramenerjemahkannya secara literal. Paparan yang ada baragkali bisa disimpulkan menjadi ‘majaz adalah ujaran yang maknanya berbeda dengan yang asli karena adanya ‘alaqah dan qarinah’. Jejak majaz ini di JSA dilengkapi dengan teori tentang qarinah dan macam-macamnya namun belum ada paparan yang berkaitan dengan macam-macam qarinah tersebut.
Klasifikaasi majaz dipaparkan secara memadahi. Tentang majaz ‘aqli, penulis mengambil definisi dari Jarim dan Amin. Dari sisi penggunaan istilah, penulis mengalihkan konsep isnad ke penisbatan. Pengalihan tersebut mungkin tidak mempunyai akibat pada pemahaman, namun jika dikembalikan pada definisinya maka akan menimbulkan pertanyaan-pertanyaan konseptual. Pengalihan semacam itu menjadi salah satu jejak yang menandai majaz di JSA FS UM. Jejak yang lain berkaitan dengan majaz ini adalah penggabungan antara konsep yang menggunakan bahasa Arab dengan konsep yang diambil dari disiplin non balaghah misalnya penisbatan spasial, penisbatan temporal, penisbatan pada infinitif, penisbatan nomina pelaku (isim fa’il) pad partisif pasif (isim maf’ul) atau maf’uliyah dan penisbatan partisif pasif (isim maf’ul) pada nomina pelaku (isim fa’il). Melihat paparan yang ada, peneliti memandang bahwa pengalihan dan penggabungan tersebut masih perlu kajian lebih lanjut.
Jejak majaz (isti’arah) pada buku sumber masih memerlukan penjelasan terutama berkaitan dengan cara kerja suatu konsep dalam contoh-contoh. Misalnya, paparan tentang isti’arah makniyah (personifikasi) yang menggunakan contoh syair laisaz-zama:n dan seterusnya, adalah “dalam contoh ini al-zaman (masa) dihayati sebagai manusia yang mempunyai watak tak mau menyerah dan senang bermusuhan”. Paparan tentang kata apa yang menjadi musyabbah bih serta apa sifat dan perilakunya belum dipaparkan. Penggunaan contoh syair tersebut untuk isti’arah makniyah menurut peneliti berkontradiksi dengan definisinya, yaitu al-zaman sebagai musyabbah bih yang eksplisit. Tentang terjemahan syair yang berbunyi “walau sangat kaudambakan masa tak akan pernah menyerah. Selalu memusuhi orang merdeka (bukan budak) memang watak masa” menurut hemat peneliti, ada hasil penafsiran kata musa:lima (menyerah) yang kurang bisa dihadapkan pada lawan kata tersebut yang berbunyi ‘ada:wah (permusuhan). Peneliti lebih memilih kata ‘perdamaian’ sebagai terjemahan kata musa:lima sehngga dihasilkan terjemahan yang berbunyi “zaman tidak akan menciptakan perdamaian walau kau sangat mendambakannya. Selalu menciptakan permusuhan terhadap (kebaikan di antara) orang-orang merdeka memang watak zaman”.
Jejak majaz (isti’arah mujarradah) yaitu persesuaian antara definisi dengan konsep pada umumnya ilmu balaghah akan tetapi penjelasan tentang contoh raitu bahran fil kuliyyah yulqi muhadlaratan yang diinginkan penulis bahwa yang “sedang berpidato” adalah musyabbah (ulama) barangkali yang diinginkan adalah musyabbah bih.
Selanjutnya, jejak majaz dengan isti’arah mujarradah dengan contoh raaitu bahran ‘ala:
fara:sin yu’thi ‘saya melihat laut (orang dermawan) di atas kuda yang sedang memberi’. Paparannya,
bahwa ujaran yu’thi adalah tajrid karena sesuai dengan musta’ar lahu,
musyabbah, yaitu seorang dermawan (ar-rajul al-kari:mu). Dikatakan
mujarradah karena dilepaskan dari sebagian nilai kesempurnaan. Musyabbah
dijauhkan dari musyabbah bih yang berakibat menjauhkan pengakuan bahwa
musyabbah itu adalah musyabbah bih (menyatu).
Peneliti berusaha memahami paparan tersebut akan tetapi belum mendapatkan kesimpulan yang pasti. Mungkin (menurut peneliti), disebut mujarradah karena kata
yu’thi seharusnya menjelaskan seseorang (musyabbah dalam hal ini) akan tetapi kenyataannya seseorang yang dijelaskan itu (musyabbah) tidak terlihat (atau mujarradah) karena yang terlihat (disebutkan) adalah kata bahran (sebagai musyabbah bih). Jadi
mujarradahnya terletak pada tidak hadirnya musyabbah dalam kalimat.
Jejak majaz mursal terlihat pada penggunaan konsep-konsep non balaghah
semisal pelesapan, sinekdok, temporal,nomina spasial yang dilengkapi dengan konsep-konsep balaghah. Contoh-contohnya diusahakan sedekat mungkin dengan pembaca dengan mengemukakan perbandingan contoh dalam bahasa non Arab mislnya nggodok wedang, njahit kelambi dan sebagainya.
Jejak Kinayah
Pada bab III halaman 56, penyebutan etimologi lebih terkesan sebagai terminologi. Jika mahasiswa melanjutkan pembacaannya pada paragraf berikutnya maka ia akan menemukan kontradiksi pemahaman tentang kinayah secara etimologi dan terminologi. Selanjutnya, konsep kinayah mendapatkan bandingan dalam bahasa Indonesia dengan munculnya contoh kantong kempes sebagai kinayah dari tidak berduit
dan kantong tebal sebagai kianyah dari sedang berduit. Jejak seperti ini bisa jadi akan memicu meningkatnya retensi pemahaman mahasiswa terhadap konsep kinayah.
Dalam buku sumber terdapat contoh kinayah:
Menurut sumber (mahasiswa), kalimat (1) tersebut masih sulit dihubungkan dengan keadaan subjek yang disifati karena bisa saja orang yang panjang tali pedangnya itu orangnya pendek sehingga tali pedang yang panjang tidak mengindikasikan kelaziman pada maushufnya, akan tetapi hubungan kinayah tersebut mudah ditemukan jika terjemahannya bukan ‘tali pedang’ tetapi ‘sarung pedang’. ‘Sarung’ pedang’ yang panjang menunjukkan kelaziman bahwa pemiliknya berperawakan tinggi.
(2) Wahamalna:hu ala: dza:ti alwa:hin wadusur yang diterjemhkan ‘Yang memilki layar dan tali-temali’
Ini meninggalkan jejak pemahaman mahasiswa yang pesannya ‘dan Kami membawa perahu’ Mereka tidak merujuk pada pemahaman lengkap ayat 13 tersebut sehingga unsur S-P-O nya tidak ditelaah ulang. Akan tetapi ketika diterjemahkan dengan ‘Dan Kami angkut Nuh ke atas (bahtera) yang terbuat dari papan dan paku’ (Al-Qomar:13) mereka baru memahami bahwa frasa dza:ti alwa:h wadusur “papan dan paku’
merupakan bentuk kinayah tentang sifat (kinayah ‘an sifah) dan frasa terebut bisa dipahami dalam konteks non kinayah (arti asal), artinya kami benar-benar mengangkut Nuh di atas papan yang dipaku.
Penjelasan tentang kinayah sifat (kinayah an sifatin) dilengkapi contoh klasik yang banyak digunakan di berbagai buku yaitu ktsirur rama:di untuk makna dermawan. Penjelasan kinayah sifat ini dilengkapi dengan penjelasan lapis makna untuk kinayah ba’idah. Penjelasan semacam ini diperlukan dalam rangka memberi wawasan lebih akademis terhadap pemahaman mahasiswa.
Jejak kinayah ditandai dengan pembagian kinayah menjadi kinayah sifat dan
kinayahyang disifati (kinayah ‘an maushuf) (buku sumber, 2015). Label kinayah yang disifati tersebut belum merepresntasikan kinayah ‘an maushuf karena dalam penjelasan berikutnya lebih mengarah pada konsep kinayah tentang maushuf. Perpindahan label dari
kinayah tentang mausuf ke kinayah yang disifati (berdasarkan kesimpulan pembacaan peneliti terhadap teks yang sama) hal itu diduga sebagai salah satu ragam hasil penafsiran namun demikian konsep tersebut sepengetahuan peneliti perlu lebih “dipermudah”. Begitu juga tentang konsep kinayah penisbatan yang disimpulkan dari konsep kinayah ‘an nisbah. Perbedaan label konsep-konsep yang demikian walaupun mempunyai contoh yang sama (antara kinayah penisbatan dan kinayah ‘an nisbah) namun memerlukan proses pemahaman dan upaya rekayasa penemuan pesan yang berbeda.
Penjelasan tentang kinayah ‘an nisbah ditandai dengan peminjaman kata nisbah
(menjadi nisbat) yang menjadi kunci pemahaman konsep kinayah ini. Konsep nisbat itu sendiri dalam paaparan buku sumber menagarah pada ‘memberikan atribut’. Makna yang lebih dekat dengan nisbah pada konsep jenis kinayah ini adalah ‘mengaitkan suatu sifat atau atribut dengan sesuatu yang berkaitan dengan maushuf dan bukan dengan maushuf itu sendiri secara langsung’ yang contohnya adalah ungkapan al-majdu baina tsaubaihi.
Kinayah ‘an nisbah ini dalam buku sumber dijelaskan dalam konteks analisis wacana tentang implikatur seperti penggunaan contoh “sebaik-baik manusia adalah yang bermanfaat bagi manusia yang lain’ sebagai sindiran terhadap tidak adanya kebaikan bagi orang yang tidak memberikan kemanfaatan bagi umat manusia yang lain (buku sumber, 2015). Jika orang yang baik itu adalah yang bermanfaat bagi orang lain maka implikasinya ‘tidak baik orang yang tidak bermanfaat bagi orang yang lain. Penulis menyebut kinayah ini penisbatan yang meniadakan sedangkan pada kinayah ‘an nisbah dengan contoh a-majdu baina tsaubaihi adalah yang menetapkan. Penisbatan yang menetapkan dan penisbatan yang meniadakan merupakan perluasan konsep secara substantif yang sekaligus merupakan jejak kinayah yang ada di JSA FS UM. Di samping perluasan konsep, ada perluasan istilah (penambahan) yang menjadi jejak bayan misalnya ghairu baligh dan ghairu dlimni (keduanya berkaitan dengan tasybih).
Pada buku sumber halaman 59 ada jejak kinayah ‘an nisbah berupa paparan yang masih sulit dimengerti oleh peneliti yaitu pernyataan “menutupi perangai terpuji adalah menyamai manusia makan daging orang yang digunjingnya”. Kesimpulan ini muncul dari paparan tentang larangan menggunjing yang terdapat dalam QS. Al-Hujurat:12). Barangkali ungkapan terebut merupakan bagian dari paragraf yang sebagian tidak tercetak tanpa sengaja, yang sering terjadi pada kegiatan cetak-mencetak.
Jejak kinayah di JSA FS UM juga berupa pembagian perantara kinayah yang berupa ta’ridl, taliwih, ramzu, ima’ atau isyarah. Peneliti masih merasa kesulitan untuk memahami contoh-contoh tentang perantara kinayah yang ada karena paparan tentang letak keberlakuan konsep-konsep tersebut masih implisit. Di samping itu terdapat contoh yang barangkali masih perlu perenungan dalam memahaminya, misalnya:
Wama: bika fiyya min ‘aibin fainni jabba:nul kalbi wahzu:lul fashi:li (Tiada cacat bagi diriku karena sesungguhnya aku adalah pengecut anjingnya dan kurus anak sapinya)
Peneliti tidak mengerti betul tentang syair tersebut namun jika syair tersebut ditujukan untuk menyindir kedermawanan orang yang dipuji, barang kali terjemahan syair tersebut adalah ‘bagiku, yang mulia tidak mempunyai cacat (sedikit pun) namun (pastilah yang mulia mengetahui) sesungguhnya anjingku (saat ini) menjadi penakut (tak berdaya) dan anak sapiku menjadi kurus’. Ketika keadaan anjing dan anak sapi dihadapkan pada kedermawanan yang mulia maka yang muncul adalah kesan (perantara kinayah) yang kesimpulannya, bahwa yang mulia tidak memberi makanan pada saya atau anjing dan anak sapi saya.
Jejak kinayah di JSA juga tampak pada integrasi konsep-konsep dengan teori kebahasaan dan kesastraan non Arab yang ditandai dengan perbandingan konsep-konsep berkaitan dengan kinayah dengan konsep epitet, eufimisme, dan metonimi.
Jejak tasybih yang ada dalam buku sumber, yaitu kekuatan tasybih, majaz dan
kinayah adalah (1) mengekpresikan pikiran yang terendapkan di luar pengalaman dalam istilah atau ungkapan yang dapat dialami (2) mengungkapkan sebuah abstraksi ke dalam istilah-istilah yang kongkrit, (3) mengungkapkan gejala-gejala yang belum dikenal melalui makna yang sudah di kenal, (4) mengungkapkan pikiran-pikiran yang tidak dapat dirasakan dalam istilah-istilah yang dapat dirasakan (cf. Wahab, 1986: 51), (5) mengungkapkan pikiran-pikiran yang tidak disenangi dalam bentuk yang disenangi (penyajian dalam bentuk imajinasi yang dekat dengan pengalaman manis pendengar (6) mengungkapkan pikiran-pikiran atau pernyataan-pernyataan yang memerlukan bukti-bukti. (7) mempersingkat wacana dan memperjelas informasi. Jejak-jejak tersebut belum dilengkapi dengan contoh. Jejak tasybih yang berkaitan dengan tujuan tasybih (yang di JSA bisa juga disebut fungsi) (buku sumber, 2015:62) seperti disebut di atas bisa dijelaskan seperti berikut:.
Pengungkapan istilah yang tidak dapat dipahami dalam istilah yang dapat dialami, seperti ayat berikut:
…tsumma ma'wa:hum jahannamu wabi'sa-l miha:d. la:kini-l ladzi:na-t taghaw rabbahum lahum janna:tun tairi: min tahtiha-l 'anha:ru kha:lidi:na fi:ha: nuzulam min 'indill:ahi wama: 'inda-lla:hi khairu-l li-l abra:r (Al-Qur'an, 3: 197-198)'.. .kemudian tempat tinggal mereka (orang-orang kafir) ialah jahannam: dan jahannam itu adalah tempat yang seburuk-buruknya. Akan tetapi orang-orang yang bertaqwa kepada
Tuhannya, bagi mereka sorga yang mengalir sungai-sungai di bawahnya, sedang mereka kekal di dalamnya sebagai tempat tinggal dari sisi Allah. Dan apa yang di sisi Allah adalah lebih baik bagi orang-orang yang berbakti' (Al-Qur'an, 3:197-198).
Ungkapan tajri: min tahtiha-l anha:ru kha:lidi:na fi:ha: nuzulam min 'indi-l la:hi
yang artinya 'mengalir di bawahnya (sorga) sungai-sungai sebagai tempat tinggal di sisi Allah' adalah bentuk isti'a:rah dengan membuang musyabbah (signifier) yang berupa
ni'am (beberapa nikmat) dan bentuk jamalnya (keindahannya). Ungkapan tersebut dipengaruhi oleh nilai kultural di mana keindahan di Arab sangat tepat bila diungkapkan dengan suatu tempat yang di bawahnya mengalir sungai-sungai, yang hal itu tidak mudah didapat di daerah Arab padang pasir. Dengan bentuk isti'a:rah semacam itu, pendengar akan mendapatkan gambaran yang lebih berarti mengenai sorga karena sorga diungkapkan dalambentuk pengalaman penerimanya.
Pengungkapan abstraksi dalam istilah-istilah yang kongkrit seperti:
al-muslimu ma'al muslimi bunya:n yasyuddu bihi: ba'dhuhum ba'dha: 'seorang muslim dengan seorang muslim lainnya sebagai sebuah bangunan yang saling memperkokoh.' Ungkapan baya:n yang terdapat dalam contoh tersebut teradapat pada ungkapan bunya:ni yasyuddu bihi: ba'dhuhum ba'dha: (laksana bangunan, mereka saling memperkokoh bangunan tersebut). Pikiran yang ingin diutarakan dalam contoh tersebut adalah kesatuan ummat Islam dan persatuannya. Dengan pengungkapan secara natural-deskriptif orang akan sulit mengungkapkan persatuan dan kesatuan tersebut secara representatif dan kongkrit. Orang akan kehabisan perbendaharaan kata atau sulit mencari perbendaharaan kata yang tepat. Akan tetapi dengan gaya tasybi:h (dalam baya:n) orang akan dapat menjelaskan konsep persatuan dan kesatuan tersebut dengan kongkrit dan mudah.
Pengungkapan gejala-gejala yang belum dikenal dengan istilah-istilah yang sudah dikenal, seperti ungkapan An-Na:-bighah Adh-Dhubya:ni, seorang penyair terkenal di masa Jahiliyah (sebelum masa Islam):
Kaannaka syamsun walmulu:ku kawa:kibu.idza thala'at lamyabdu minhunna kaukabu
'seakan engkau adalah matahari, dan para raja adalah bintang gemintang, apabila matahari terbit maka tak satupun dari bintang ge-mintang yang tampak'.
Bila dilihat dari isti'a:rah tamtsiliyyah maka lafadz yang mengandung isti'arah adalah semua lafadz dalam syair tersebut, sedang yang menjadi musyabbah yang dibuang adalah
adanya isti'a:rah tersebut seorang penerima dapat menangkap konsep perbandingan engkau dengan raja dengan tepat karena adanya suatu lafadz pinjaman (musta'a:r) yang kongkrit sesuai dengan yang telah dia kenal dalam kehidupan sehari-hari. Dengan demikian dapat dipastikan bahwa penerima telah memahami konsep yang disampaikan oleh pembicara.
Mempersingkat wacana dan memperjelas informasi sebagai fungsi baya:n adalah seperti yang terlihat dalam banyak maja:z 'aqli dan maja:z mursal. Fungsi baya:n yang terakhir ini seperti terlihat dalam contoh berikut:
yaitu keunggulan seorang yang dipuji atas para raja (seperti dalam sair kannaka syamsun …dan seterusnya).
Pengungkapan pikiran yang tidak dapat dirasakan dalam istilah atau penyebut yang dapat disarankan dapat dijelaskan melalui contoh berikut:
ash-shabru kash-shabiri murrun fi: madza:qatihi wala:kin 'awaqibu:hu ahla: mina-l 'asali 'sabar itu bagaikan pobon shobir, pahit rasanya, akan tetapi akibatnya lebih manis daripada madu".
Konsep yang ingin disampaikan dalam contoh tersebut adalah bagaimana rasa menderita yang harus diterima oleh seorang yang menjalani kesabaran, tidak sabar dalam menjalani perintah, sabar dalam nerima cobaan, dan sabar meninggalkan larangan. Penderitaan tersebut sudah barang tentu tidak dapat dirasakan dengan panca indera, karena itu penderitaan disamakan dengan pahitnya pobon shabir, yang pahitnya dapat dirasakan dengan indra.
Pengungkapan pikiran yang tidak disenangi atau biasa-biasa saja dalam bentuk yang disenangi (penyajian pikiran dalam bentuk imajinatif yang dekat dengan pengalaman manis penerima, receiver) dapat dijelaskan melalui contoh berikut:
wash-shubhu fi: thurrati lailin mushfirin kaannahu fi: hurati muhrin asyqar 'dan waktu shubuh di tepi malam yang menyala (fajar) seakan berada di putih dahi kuda yang berbulu merah'. Style baya:n yang terdapat dalam contoh tersebut adalah bentuk tasy-bi:h
(comparasion), yaitu ash-shubhu fi: lailin musfirin sebagai musyabbah, dan (kaanna) hu fi: hurrati muhrin asyqar sebagai musyabbah bih, sedang kaanna adalah ada:tu-t tasybih
(particle of comparasion). Baik musyabah maupun musyabbah bih adalah sebuah imajinasi yang ditimbulkan oleh interaksi antar kata yang ada. Imajinasi yang ada dalam
imajinasi yang ada dalam musyabbah bih juga cukup jelas, akan tetapi adanya perbandingan dengan mengambil imajinasi yang ada di dahi kuda membuat penerima memutar perhatian dari musyabbah yang sangat umum diimajinasikan rnenuju pada imajinasi musyabbah bih yang tidak diduga-duga. Dari sini seorang penerima kemudian tertarik untuk memperhatikan sesuatu yang mungkin semula tidak menjadi perhatiannya untuk menjadi perban-dingan musyabbah, yaitu imajinasi mengenai tepi malam di waktu fajar.
Pengungkapan pikiran atan pernyataan-pernyataan yang memerlukan bukti-bukti, sebagai fungsi baya:n seperti contoh berikut:
Fa:thimah ba'i:datu mahwa-l qurthi 'Fatimah jauh tempat bergantungnya subang'. Lafadz ba'i:datu-mahwa-l qurthi (jauh tempat bergantungnya subang) menunjukkan batang leher yang panjang, dan batang leher panjang menunjukkan kelaziman seorang rupawan (Irba:bu-l Luba:b, dkk.), 1969:58), akan tetapi tidak semua orang rupawan berbatang leher dalam pengertian panjang (mungkin hanya sedang), karena itu seorang pembicara (sender) yang memberitahukan seorang rupawan dengan ungkapan ba'i:-datu mahwa-l qurthi (jauh atau panjang tempat bergan-tungnya subang), maka lafadz tersebut sekaligus berfungsi sebagai bukti bahwa apa yang dikatakannya adalah benar.
Ashlaha-l 'umdatu-sy syawa:ri'a 'gubernur itu memperbaiki jalan raya" (Irba:bu-l Luba:b, dkk., 1969:54) Penyandaran fi'il ash-laha (memperbaiki) pada al-'umdatu dalam contoh tersebut menun-jukkan 'ala:qah sababiyyah, yaitu al'umdatulah (gubernur) yang jadi sebab diperbaiki jalan raya, sedang pelaksana sebenarnya adalah rakyat. Karena itu tanpa pretensi maja:z (berdasarkan hakikat) maka contoh tersebut berbunyi: ashlahati-r ra'iyyatu asy-syawa:ri'a 'rakyat itu memperbaiki jalan raya', yang setiap orang dapat mengerti bahwa yang bekerja memperbaiki adalah. mereka para rakyat. Dengan demikian maka pengungkapan secara maja:zi akan menambah informasi tentang siapakah yang mempromotori pembangunan jalan, apakah gubernur yang bertindak sebagai pemimpin pembangunan atau yang lain Pak Camat misalnya? Dan sebagainya. Dalam pengungkapan secara maja:zi 'aqli dengan 'ala:qah sababiyyah maka pertanyaan-pertanyaan tersebut dapat dijawab.
Adapun yang berfungsi menyingkat wacana seperti deletion yang terda-pat dalam
maja:z mursal dengan ber'ala:qah mahalliyyah, contoh:
yang kami ada di situ'. Dalam contoh tersebut ada lafadz yang dibuang yaitu lafadz ahlun
(penduduk), karena tanpa lafadz tersebut orang sudah memahami bahwa yang di-maksud dengan al-qaryah (desa) dalarn ayat tersebut adalah ahlul qaryah (penduduk desa), maka pernbuangan lafadz ahlun mem-buat kalimat lebih efisien.
KESIMPULAN
Penelitian jejak bayan ini menghasilkan kesimpulan bahwa bayan yang ada di JSA FS UM telah mengalami pengembangan baik yang berkaitan dengan perluasan istilah maupun substansi, yang dikaitkan/diintegrasikan dengan konsep-konsep ilmu non balaghah. Hal itu menjadikan bayan lebih dekat dengan kehidupan berbahasa non Arab mahasiswa yang selanjutnya akan mempermudah pembelajar untuk memahami bayan dan menggunakannya dalam berbahasa baik lisan maupun tulis. Upaya pengintegrasian konsep-konsep balaghah dengan non balaghah memerlukan kajian yang masih menyita perhatian peneliti dan pengembang materi. Karena itu masih diperlukan penelitian lebih lanjut.
Jejak bayan di JSA juga ditandai dengan masih perlunya paparan butir-butir konsep dan penjelasan contoh yang diperlukan mahasiswa untuk menguasai bayan sehingga mahasiswa bisa belajar dengan mandiri. Konsep-konsep dan teori-teori yang masih berkaitan dengan bayan meanarik untuk ditelaah dan hal itu akan menjadi mudah jika disertai paparan dan contoh-contoh konkrit dengan dilengkapi analisis yang sederhana yang menunjukkan “cara kerja” atau “letak” keberlakuan konsep-konsep tersebut dalam contoh yang ada.
Inti bayan adalah keindahan dan daya tariknya bagi pembaca/pendengar sedangkan analisis dan paparannya berfungsi sebatas mengantarkan pembelajar pada pemahaman keabsahan teoritisnya. Dari sisi ini (inti bayan) jejak bayan di JSA FS UM terasa masih lebih sebagai kegiatan bernalar yang rumit dari pada kegiatan merasakan keindahan sebuah ungkapan yang mengasyikkan. Hal ini merupakan problem yang terjadi dalam buku sumber dan mungkin dalam praktek pembelajarannya. Kegiatan perenungan berkaitan dengan keindahan ungkapan-ungkapan bayani perlu disertakan baik dalam materi maupun kegiatan pembelajaran. Minus teori-teori keindahan adalah salah satu jejak bayan di JSA FS UM.
Berdasarkan paparan hasil penelitian, perlu disarankan pada pihak terkait misalnya dosen/peneliti, lembaga dan mahasiswa. Seorang dosen perlu terus menerus mencari solusi terhadap permasalahan pembelajaran bayan yang makin memudahkan pembelajar. Jejak bayan yang ada dalam penelitian ini merupakan salah satu isyarat keberadaan bayan di perguruan tinggi sebagai lembaga tertinggi dan bergengsi yang mengajarkan pengetahuan. Oleh karena itu diperlukan penyesuaian antara materi bayan dengan image perguruan tinggi tersebut. Jangan sampai image kebesaran pergurun tinggi itu justru dihinakan sendiri oleh jejak bayan yang ada di perguruan tinggi.
Upaya menjadikan konsep-konsep bayan sebagai jejak bayan di JSA FS UM menjadi pengetauan yang inklusif dengan upaya-upaya pengintegrasiannya dengan konsep-konsep di luar bayan merupakan upaya strategis yang perlu disambut oleh lembaga yang berkaitan, terutama perguruan tinggi melalui penelitian-penelitian lebih intensif baik yang bersifat eks post facto, pengembangan, tindakan (kelas non kelas) maupun analisis isi agar diperoleh sudut-sudut data bayan yang lengkap.
Sebagai langkah awal dalam rangka mendekatkan bayan pada kognisi mahasiswa maka diperlukan pentahapan. Bagi mahasiswa (kelompok mahasiswa) yang kemampuan berbahasa Arabnya belum memenuhi kriteria tertentu maka materi bayan yang bersifat padat istilah non Arab perlu dipikirkan ulang pemberiannya pada mereka sesuai kondisi di saat sedang terjadi pembelajaran sebab padatnya istilah non Arab (yang dalam jejak bayan sebagian telah menggantikan istilah Arabnya) bisa jadi merupakan penghambat bagi mereka. Oleh karena itu gaya belajar dan strategi kognitif belajar mahasiswa harus mendapat pantauan di saat pembelajaran berlangsung. Jika diperlukan, pemantauan semacam ini dimaksimalkan dalam bentuk kegiatan penelitian agar dokumentasi tentang proses-proses pembelajaran yang mereka alami menggunakan materi dengan jejak-jejak bayan yang ditemukan dalam penelitian ini lebih maksimal.
DAFTAR RUJUKAN
Al-Hasyimi, Ahmad Ibn. 1960. Jawahirul Balaghah. Beirut: Maktabah Al-‘Ashriyyah.
Al-Jabiri, Muhammad. 2002. Post Tradisionalis. Jogjakarta: LKIS.
Bogdan, R.C., dan S.B.Biklen. 1982. Qualitative Research for Education: An Introduction to Theory and Methods. Boston: Allyn and Bacon.
Hidayat. 2002. Al-Balaghah Lil-Jami’ Wasy-Syawahid min Kalamil-Badi’ (Balaghah Untuk Semua). Semarang : Karya Toha Putra.
Jarim, Ali dan Amin, Mustafa. Tanpa tahun. Al-bala:ghah Al-wadlihah. Bairut: Daar Ma’rifah.
Luba:b, Irba:bul.1969. Ilmu Balaghah. Jogjakarta: tp.
Moleong, J. Lexy. 1992. Penelitian Kualitatif. Bandung: Rosdakarya
Na:shif, Hifni; ayyab, Muhammad; Thamum, Mushtafa; Amr Mahmud. Tanpa tahun. Qawa:idul Lughah Al-‘Arabiyyah. Kairo: Maktabah Adab.
Samsuri, 1988. Morfologi dan Pembentukan Kata. Jakarta : Proyek Pengembangan Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan.
Sibawaih, 180 H, Ja:hidz, 225 H, Mubarrad, 285 H, Tsa'lab, 291 H, Ibnu Mu'taz, 296 H) Stubbs, Michael. 1983. Discourse Analysis: The Sociolinguistic Analysis of Natural
Language Chicago: University of Chicago Press. Sunardi, ST. 2002. Semiotika Negativa. Yogyakarta: Kanal.
Wahab, Abdul. 1986. Javanese Metaphors in Discourse Analysis. Urbana: Illinois. Thesis of Ph.D, unpublished.
Wahbah, Majdi dan Al-Muhandis, Kamil. 1984. Mu’jamul mustalaha:t al-Arabiyyah fi-l