• Tidak ada hasil yang ditemukan

POLITIK KRIMINAL DALAM PENANGGULANGAN KEJAHATAN TERORISME Oleh : Indriati Amarini, S.H.,M.Hum.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "POLITIK KRIMINAL DALAM PENANGGULANGAN KEJAHATAN TERORISME Oleh : Indriati Amarini, S.H.,M.Hum."

Copied!
18
0
0

Teks penuh

(1)

1 POLITIK KRIMINAL DALAM

PENANGGULANGAN KEJAHATAN TERORISME Oleh : Indriati Amarini, S.H.,M.Hum.

Abstrak

Politik Kriminal adalah usaha yang rasional dari penguasa/masyarakat dalam menanggulangi kejahatan. Usaha menanggulangi kejahatan dalam masyarakat secara operasional dapat dilakukan dengan mengunakan hukum pidana (penal) dan non pidana (non penal). Usaha penal dan non penal saling melengkapi.

Usaha menanggulangi kejahatan dengan menggunakan hukum pidana (penal) diatur dlam Perpu No. 1 Tahun 2002 yang disahkan menjadi Undang-undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme yang dijadikan sebagai dasar hukum dalam pemberantasan tindak pidana terorisme. Sedangkan upaya non penal yaitu perlunya peran serta aktif masyarakat bersama dengan aparat penegak hukum dalam mengatasi kejahatan terorisme.

Kata Kunci : Politik Kriminal dan Penanggulangan Kejahatan Terorisme Abstract

Criminal Policy as a rationale policy of the authorities / communities in tackling crime. Tackle crime in society can be achieved by operating the criminal law (penal) and non-criminal (non-penal).

The law enforcement policy by using the criminal law (penal) shall in Regulation No. 1 Year 2002 which passed into Law Number 15 Year 2003 on Eradication of Criminal Acts of Terrorism which serve as the basis of criminal law in combating terrorism. While the efforts of non-penal need active participation of the community together with law enforcement agencies to tackle crimes of terrorism.

Keywords: Political Terrorism Crime and Crime Prevention A. PENDAHULUAN

Tindak Pidana Terorisme merupakan kejahatan lintas negara, terorganisasi, dan mempunyai jaringan luas sehingga mengancam perdamaian dan keamanan nasional maupun internasional. Dalam rangka memulihkan kehidupan masyarakat yang tertib dan aman serta untuk memberikan landasan hukum yang kuat dan kepastian hukum dalam mengatasi permasalahan yang mendesak dalam pemberantasan tindak pidana terorisme, maka dengan mengacu pada konvensi internasional dan peraturan perundang-undangan nasional yang berkaitan dengan terorisme, Indonesia telah menetapkan Peraturan Pemerintah Pengganti

(2)

Undang-2 undang Nomor 1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme yang kemudian ditetapkan menjadi Undang-undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme.

Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan (lihat Barda Nawawi Arief, 1994 : 106-107), diperoleh gambaran bahwa pidana penjara merupakan jenis pidana yang paling banyak dijatuhkan oleh hakim dibandingkan dengan jenis-jenis pidana lainnya. Namun di lain pihak data statistik menunjukkan bahwa kejahatan terus meningkat.

Tidak terkecuali tindak pidana terorisme ditandai dengan serangkaian peristiwa pemboman yang terjadi di wilayah Negara Republik Indonesia yang telah mengakibatkan hilangnya ratusan nyawa tanpa memandang korban, menimbulkan ketakutan masyarakat secara luas dan kerugian harta benda, sehingga menimbulkan dampak yang luas terhadap kehidupan sosial, ekonomi, politik, dan hubungan internasional.

Indikator naik turunnya frekuensi kejahatan (terorisme) dapat digunakan (walaupun tidak mutlak) sebagai ukuran untuk menentukan efektif tidaknya pidana penjara. Apabila melihat aspek perlindungan masyarakat maka indikator telah pulihnya keseimbangan masyarakat antara lain : telah ada penyelesaian konflik, telah ada kedamaian dan rasa aman dalam masyarakat, telah hilangnya noda-noda di masyarakat. Sedangkan dari aspek perbaikan pelaku maka ukurannya terletak pada masalah ada tidaknya pengaruh terhadap si pelaku/terpidana.

Selanjutnya ada dua aspek pengaruh pidana terhadap terpidana yaitu aspek pencegahan awal (deterent aspect) dan aspek perbaikan (reformative aspect). Aspek pertama (deterent aspect) pada umumnya menggunakan indikator residivis. Sebagaimana dikemukakan oleh R.M. Jackson (dalam Barda, 1996 : 252) bahwa suatu pidana adalah efektif apabila si pelanggar tidak dipidana lagi dalam suatu perioede tertentu. Kemudian ditegaskan bahwa efektivitas adalah suatu pengukuran dari perbandingan antara jumlah pelanggar yang dipidana kembali dan yang tidak dipidana kembali). Aspek kedua adalah aspek perebaikan (reformative aspect), berhubungan dengan masalah perubahan sikap dari terpidana.

(3)

3 Akan tetapi pada kenyataan sekarang, para pelaku tindak pidana (terorisme) memunculkan bahwa para pelaku tindak pidana ini merupakan wajah lama (residivis) yang melakukan tindak pidana yang sama sebelumnya (Sarlito Wirawan Sarwono, 2007).

Berdasarkan uraian tersebut maka penulis mengangkat permasalahan sebagai berikut :

1. Bagaimanakah Politik Kriminal Dalam Penanggulangan kejahatan terorisme di Indonesia ?

2. Bagaimanakah pola pembinaan terhadap pelaku tindak pidana terorisme di LP Nusakambangan ?

B. METODE PENELITIAN 1. Metode Pendekatan

Metode pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah yuridis-normatif yakni penelitian yang dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka yang merupakan data sekunder yang disebut penelitian kepustakaan.

2. Spesifikasi dalam penelitian ini adalah Clinical Legal Research Instruction yaitu melalui penelitian kepustakaan, dimana bahan pustaka merupakan data-data yang digunakan untuk menjawab permasalahan yang ada (Roni Hanitijo Soemitro, 1990 : 13)

3. Sumber Data

Data utama dalam penelitian ini adalah data sekunder yang terdiri dari bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder. Bahan hukum primer yaitu bahan-bahan hukum yang mengikat dan terdiri dari norma dasar atau kaidah dasar, peraturan dasar, peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan objek penelitian. Adapun bahan hukum sekunder yaitu bahan-bahan hukum yang memberikan penjelasan, mengenai bahan hukum primer seperti hasil-hasil penelitian, hasis karya kalangan hukum dan lain-lain

4. Metode Pengumpulan Data

Data diperoleh melalui studi bahan pustaka dengan cara melihat peraturan perundang-undangan, literatur, hasil karya ilmiah para sarjana

(4)

4 5. Analisa Data

Data yang diperoleh akan dianalisis secara kualitatif dengan menginterpretasikan data yang ada selanjutnya dikaitkan dengan teori hukum C. HASIL DAN PEMBAHASAN

1. Hasil Penelitian

Upaya aparat penegak hukum dalam menanggulangi kejahatan apabila dilakukan dengan pendekatan kebijakan atau upaya penanggulangan kejahatan pada hakikatnya merupakan bagian integral dari upaya perlindungan masyarakat (social defence) dan upaya mencapai kesejahteraan masyarakat (social welfare). Oleh karena itu dapat dikatakan bahwa tujuan akhir atau tujuan utamanya adalah perlindungan masyarakat agar tercapai kesejahteraan masyarakat. Secara skematis hubungan itu dapat digambarkan sebagai berikut :

Bagan 1. Alur pemikiran hubungan antara criminal policy, social policy, serta social welfare policy menurut G. P. Hoefnagels

(Sumber : dalam Barda Nawawi Arief, 1996 : 3)

Sehubungan dengan skema di atas, G. Peter Hoefnagels mengemukakan : “Criminal policy as a science of policy is part af a larger policy : the law

enforcement policy… The legislative and enforcement policy is in turn part of social policy”.

Bagan 2. Alur pemikiran hubungan criminal policy, law enforcement policy Social Welfare policy

SOCIAL POLICY TUJUAN

Social Defence Policy

Criminal Policy

Penal

(5)

5 dan social policy menurut G.P. Hoefnagels

Law enforcement policy social policy

(Sumber : dalam Barda Nawawi Arief, 1996 : 3)

Dengan merujuk pada pertimbangan resolusi PBB mengenai ”Crime trends and crime prevention strategis”, dinyatakan bahwa masalah strategis yang justru harus ditanggulangi ialah menangani masalah-masalah atau kondisi-kondisi sosial secara langsung atau tidak langsung yang dapat menimbulkan atau menumbuhsuburkan kejahatan. Oleh karena itu diperlukan upaya penanggulangan kejahatan integral yang mengandung arti bahwa masyarakat dengan seluruh potensinya harus juga dipandang sebagai bagian dari kebijakan kriminal. Maka menurut Barda Nawawi Arief dipandang perlu untuk membina dan meningkatkan efektivitas ”extra legal system” atau ”informal system” yang ada dalam masyarakat dalam usaha penanggulangan kejahatan, antara lain kerjasama dengan organisasi sosial dan keagamaan, lembaga-lembaga pendidikan dan organisasi volunteer yang ada di masyarakat (Barda Nawawi Arief, 1996 : 21) Kenyataannya hukum bukanlah sebuah tatanan normatif belaka yang

terbebas dari permasalahan praktis. Apalagi dalam pandangan ilmu hukum, hukum juga dapat dianggap sebagai suatu institusi sosial dan berfungsi menjadi mekanisme pengintegrasi. Posisi hukum sebagai institusi sosial terlihat dengan baik dalam bagan asupan-luaran yang dibuat oleh Harry C. Bredemeier yang memanfaatkan kerangka besar sistem masyarakat yang dapat dilihat dalam bagan di bawah ini

Criminal policy

Influencing view of society on crime and punishment (mass media)

Crim. Law application (practical criminology)

Prevention without punishment

(6)

6 Bagan 3: Pola Hubungan Antara Norma Hukum dengan Bidang-Bidang Lain

dalam Masyarakat

(Sumber : Satjipto Rahardjo, 2000 : 143)

Berbicara tentang penegakan hukum pidana berarti membicarakan usaha menanggulangi kejahatan di dalam masyarakat. Usaha menanggulangi kejahatan di dalam masyarakat identik dengan pembicaraan Politik Kriminal (Criminal Policy). Politik Kriminal adalah usaha yang rasional dari penguasa/masyarakat dalam menanggulangi kejahatan. Usaha menanggulangi kejahatan dalam masyarakat secara operasional dapat dilakukan dengan mengunakan hukum pidana (penal) dan non pidana (non penal). Usaha penal dan non penal saling melengkapi.

Adapun pandangan secara yuridis-normatif mengenai pencegahan dan penanggulangan kejahatan (terorisme) dapat diatasi menggunakan teori hukum pidana yaitu Sistem Peradilan Pidana Terpadu yang disitir dari pemikiran Muladi yang telah dikembangkan secara sederhana sebagai berikut :

Proses adaptif (ekonomi) Organisasi yang efisien

Proses pencapaian

HUKUM

Legitimasi tujuan (politik) (mengintegrasikan,

mengkoordinasikan)

Proses mempertahankan Keadilan pola (budaya)

(7)

7 Bagan 4 : Alur pemikiran teoritisi SPP Terpadu untuk mencegah dan

menanggulangi kejahatan Terorisme

(Sumber : Nyoman Serikat Putra Jaya, 2007 : 26, lihat juga O.C. Kaligis, 2006 : 37) Salah satu Lembaga Pemasyarakatan yang menampung narapidana terorisme adalah LP Nusakambangan. Nusakambangan adalah nama sebuah pulau di Jawa Tengah yang lebih dikenal sebagai tempat terletaknya beberapa lembaga pemasyarakatan (LP) berkeamanan tinggi di Indonesia. Pulau ini masuk dalam wilayah administratif Kabupaten Cilacap dan tercatat dalam daftar pulau terluar Indonesia. Untuk mencapai pulau ini orang harus menyeberang dengan kapal feri dari pelabuhan khusus di Cilacap selama kurang lebih lima menit. Pelabuhan feri pulau ini bernama Wijayapura.

SPP TERPADU Pendekatan Model

Crime Control

Pendekatan Model

Due Process of Law

Pendekatan Model Family

Sinkronisasi Kultural Sinkronisasi Struktural Sinkronisasi Substansial Substansial KEJAHATAN

Applied Theory Keseimbangan

(8)

8 Semula terdapat sembilan LP di Nusa Kambangan (untuk narapidana dan tahanan politik), namun kini yang masih beroperasi hanya tinggal empat, yaitu LP Batu (dibangun 1925), LP Besi (dibangun 1929), LP Kembang Kuning (tahun 1950), dan LP Permisan (tertua, dibangun 1908). Lima lainnya, yaitu Nirbaya, Karang Tengah, Limus Buntu, Karang Anyar, dan Gleger, telah ditutup. Wilayah selatan pulau menghadap langsung ke Samudera Hindia dengan pantai berkarangnya dan ombak besar. Wilayah utara menghadap Cilacap dan dikelilingi kampung-kampung nelayan sepanjang hutan bakau, antara lain Kampung Laut dan Jojog.

Penghuni pulau hanya para narapidana dan pegawai LP beserta keluarganya, di bawah pengawasan Departemen Kehakiman dan Pemda Cilacap. Keluar-masuk pulau ini harus memiliki izin khusus dengan prosedur tertentu. Anak-anak para pegawai bersekolah di SD yang tersedia di dalam pulau. Untuk meneruskan ke tingkat lanjutan (SMP, SMU, atau perguruan tinggi), mereka harus bersekolah di Cilacap atau kota lainnya di Pulau Jawa.

Pulau Kambangan, yang berstatus sebagai cagar alam, selain sering digunakan untuk latihan militer, juga merupakan habitat bagi pohon-pohon langka, namun banyak yang telah ditebang secara liar. Saat ini yang tersisa kebanyakan adalah tumbuhan perdu, nipah, dan belukar. Kayu Plahlar (Dipterocarpus litoralis) yang hanya dapat ditemukan di pulau ini banyak dicuri karena setelah dikeringkan, mempunyai kualitas yang setara dengan kayu dari Kalimantan.

Secara tradisional, penerus dinasti Kesultanan Mataram sering melakukan ritual di pulau ini dan menjadikannya sebagai “hutan ritual”. Di bagian barat pulau, di sebuah gua yang terletak di areal hutan bakau, ada semacam prasasti peninggalan zaman VOC. Di ujung timur, di atas bukit karang, berdiri mercusuar Cimiring dan benteng kecil peninggalan Portugis. Berbagai macam tumbuhan khas ritual budaya Jawa ditanam di sini. Nusa Kambangan tercatat sebagai pertahanan terakhir dari tumbuhan wijayakusuma yang sejati. Dari sinilah nama pulau ini berasal : Nusa Kembangan, yang berarti “pulau bunga-bungaan”. Pelabuhan feri utama yang ada di Nusa Kambangan adalah Pelabuhan Sodong, khusus untuk kepentingan transportasi keluarga dan pegawai serta narapidana. Dalam Lembaga Pemasyarakatan terdapat dua hal penting sebagai anggota masyarakat khusus dalam lembaga yaitu para tahanan dan petugas. Petugas

(9)

9 menginginkan kondisi yang aman dan damai dengan menerapkan peraturan sebagai senjata. Sedangkan tahanan menginginkan semua dipenuhi selayaknya orang biasa karena dirinya merasa belum bersalah dan masih dalam pembuktian.

Masalah penahanan diatur dalam Pasal 20-29 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana. Seorang tersangka atau terdakwa ditahan karena diduga keras melakukan tindak pidana berdasarkan bukti yang cukup, dalam hal adanya keadaan yang menimbulkan kekhawatiran bahwa tersangka atau terdakwa akan melarikan diri, merusak atau menghilangkan barang bukti atau mengulangi tindak pidana.

Selanjutnya melalui Peraturan Pemerintah Nomor 58 tahun 1999 tentang Syarat-syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Wewenang Tugas Dan Tanggung Jawab Perawatan Tahanan dijelaskan bahwa perawatan tahanan adalah proses pelayanan tahanan yang dilaksanakan mulai dari penerimaan sampai dengan pengeluaran tahanan dari rutan. Berdasarkan Peraturan Menteri Kehakiman Nomor M.04.UM.01.06 tahun 1983 tentang Tata Cara Penempatan, Perawatan dan Tata Tertib Rutan. Perawatan tahanan meliputi makanan ,pakaian, tempat tidur, kesehatan jasmani dan rohani.

Adapun perawatan tahanan secara umum sudah diatur dalam PP Nomor 58 Tahun 1999 sebagai berikut :

1. Pelayanan kesehatan dan makanan

a. Setiap tahanan berhak memperoleh pelayanan kesehatan yang layak; b. Pelayanan kesehatan dilakkan oleh dokter Lembaga Pemasyarakatan;

c. Pemeriksaan kesehatan dilakukan paling sedikit 1 (satu) kali dalam 1 (satu) bulan dan dicatat dalam kartu kesehatan;

d. Biaya perawatan kesehatan di rumah sakit dibebankan kepada Negara;

e. Setiap tahanan berhak mendapatkan makanan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku;

f. Tahanan warga Negara asing, diberikan makanan yang sama seperti tahan yang lainnya, kecuali atas petunjuk dokter dapat diberikan makanan jenis lain sesuai dengan kebiasaan di negaranya yang harganya tidak melampaui harga makanan seorang sehari;

(10)

10 g. Setiap tahanan yang sakit, hamil, atau menyusui berhak mendapat makanan

tambahan sesuai dengan petunjuk dokter;

h. Anak dari tahanan yang dibawah ke dalam Rutan/Lembaga Pemasyarakatan diberi makanan dan makanan tambahan sesuai dengan petunjuk dokter paling lama sampai anak berumur 2 (dua) tahun;

i. Setiap tahanan dapat menerima makanan dan atau minuman dari keluarnya atau pihak lain setelah mendapat izin dari petugas Satuan Pengamanan Rutan/Lemabaga Pemasyarakatan;

j. Setiap orang dilarang memberikan makanan dan atau minuman kepada tahanan yang dapat menimbulkan gangguan kesehatan, keamanan dan ketertiban.

2. Ibadah

a. Setiap tahanan berhak untuk melakukan ibadah sesuai dengan agama dan kepercayaannya masing-masing di dalam Rutan/Lembaga Pemasyarakatan b. Bagi tahanan dalam Rutan/Lembaga Pemasyarakatan pelaksanaan ibadah

dilakukan di dalam kamar blok masing-masing;

c. Dalam hal tertentu tahanan dapat melaksanakan ibadah bersama-sama di tempat ibadah yang ada dalam Rutan/Lembaga Pemasyarakatan.

3. Perawatan Jasmani dan Rohani

a. Setiap tahanan berhak mendapatkan perawatan rohani dan perawatan jasmani b. Penyuluhan rohani sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (1) berupa

ceramah, penyuluhan dan pendidikan agama;

c. Perawatan jasmani dilaksanakan dengan member kegiatan olah raga

d. Kegiatan olah raga yaitu berupa olah raga perorangan, permainan dan sejenisnya yang bertujuan untuk menjaga atau meningkatkan kesehatan dan kesegaran fisik; e. Sarana dan prasarana perawatan rohani dan jasmani disediakan oleh

Rutan/Lembaga Pemasyarakatan 4. Pendidikan dan Pengajaran

a. Tahanan dapat diberikan kesempatan mengikuti pendidikan dan pengajaran; b. Pelaksanaan pendidikan dan pengajaran bagi tahanan yaitu berupa : penyuluhan

hukum, kesadaran berbangsa dan bearnegara serta yang lainnya sesuai dengan program perawatan tahanan.

(11)

11 Tebel 1 : Daftar Narapidana Kasus Terorisme

Lembaga Pemasyarakatan Klas IIA Permisan

No Identitas Pidana Dan Nomor Putusan

1. Agung Setyadi, S.Kom., 31 tahun

14-02-2008/823.K/Pid.Sus/2007/MA.RI (Pidana 6 tahun)

2 Benny Irawan, Amd.IP bin Martoyo, 29 tahun

21-02-2008/77.K/Pid.Sus/2008/MA.RI (Pidana 5 tahun)

3 Adhitiyo Triyoga, 29 tahun 28-08-2007/1778K/Pid/2007/MA RI (Pidana 6 tahun)

4 Sri Pujo Mulyo. S bin Sarwono, 33 tahun 01-11-2007/263K/Pid.Sus/2007 MA RI (Pidana 6 Tahun) 5 Wawan.Supriyatin bin Kastlani, 34 tahun 29-11-2006/522/PidB/2006/PN Smg (Pidana 10 tahun)

6 Joko Suroso bin Danu Kusno, 33 tahun

02-08-2007/1706K/Pid/2007/MARI (Pidana 10 tahun)

(Sumber : Departemen Hukum Dan Hak Asasi Manusia, Oktober 2009) Tabel 2 : Daftar Pidana Kasus Terorisme Di Lapas Batu Nusakambangan

No Identitas Pidana Dan Nomor Putusan

1. Subur Sugiarto als Abu Mujahid als Abu Isa als Marwan Hidayah

27-09-2007 No. 333.K/Pid/Sus/2007 (Pidana seumur hidup)

2 Ardi Wibowo, ST als Yudi als Dedi bin Ahmat Sujak

07-02-2007 No. 21/Pid/2007/PT Semarang (Pidana 6 tahun) 3 Mustagifirin als Jek als

Sukarno als Bagas als Febi als Adi Irwanto als Bowo

30-4-2007 No. 832/Pid/B/2006 PNSmg (Pidana 12 tahun)

(12)

12 bin Bajuri

4 Joko Wibowo als Abu Sayyaf bin Parman

20-02-2007 No.22/Pid/2002/PT Smg (Pidana 14 tahun)

(Sumber : Departemen Hukum Dan Hak Asasi Manusia, Oktober 2009) 2. PEMBAHASAN

Upaya aparat penegak hukum dalam menanggulangi kejahatan apabila dilakukan dengan pendekatan kebijakan atau upaya penanggulangan kejahatan pada hakikatnya merupakan bagian integral dari upaya perlindungan masyarakat (social defence) dan upaya mencapai kesejahteraan masyarakat (social welfare). Oleh karena itu dapat dikatakan bahwa tujuan akhir atau tujuan utamanya adalah perlindungan masyarakat agar tercapai kesejahteraan masyarakat. Secara skematis apabila mengunakan alur pemikiran hubungan antara criminal policy, social policy serta social welfare policy menurut GP Hoefnagels maka hubungan itu dapat dijelaskan sebagai berikut :

Berbicara tentang penegakan hukum pidana berarti membicarakan usaha menanggulangi kejahatan di dalam masyarakat. Usaha menanggulangi kejahatan di dalam masyarakat identik dengan pembicaraan Politik Kriminal (Criminal Policy). Politik Kriminal adalah usaha yang rasional dari penguasa/masyarakat dalam menanggulangi kejahatan. Usaha menanggulangi kejahatan dalam

Social Welfare policy

SOCIAL POLICY TUJUAN

Social Defence Policy

Criminal Policy

Penal

(13)

13 masyarakat secara operasional dapat dilakukan dengan mengunakan hukum pidana (penal) dan non pidana (non penal). Usaha penal dan non penal saling melengkapi.

Usaha menanggulangi kejahatan dengan menggunakan hukum pidana (penal) diatur dlam Perpu No. 1 Tahun 2002 yang disahkan menjadi Undang-undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme yang dijadikan sebagai dasar hukum dalam pemberantasan tindak pidana terorisme sebagai berikut : tindak pidana terorisme adalah segala perbuatan yang memenuhi unsur-unsur tindak pidana sesuai dengan ketentuan undang-undang ini (Pasal 1 ayat (1)).

Sedangkan yang dimaksudkan unsur-unsur terorisme dalam Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang No. 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana terorisme adalah perbuatan melawan hukum yang dilakukan secara sistematis dengan maksud untuk menghancurkan kedaulatan bangsa dan negara yang dilakukan dengan menggunakan kekerasan atau ancaman kekerasan menimbulkan suasana teror atau rasa takut terhadap orang secara meluas atau menimbulkan korban yang bersifat massal, dengan cara merampas kemerdekaan atau hilangnya nyawa dan harta benda orang lain, atau mengakibatkan kerusakan atau kehancuran terhadap objek-objek vital yang strategis atau lingkungan hidup atau asilitas hidup atau fasilitas publik atau fasilitas Internasional.

Tindak pidana terorisme tersebut di atas terdapat dalam rumusan Pasal 6 Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme yang dikualifikasika sebagai Delik Materiil.

Selanjutnya dalam Pasal 6 Undang-undang Nomor 15 Tahun 2003, setiap orang yang dengan sengaja menggunakan kekerasan atau ancaman kekerasan menimbukan suasana teror atau rasa takut terhadap orang secara meluas atau menimbulkan korban yang bersifat massal dengan cara merampas kemerdekaan atau hilangnya nyawa dan harta benda orang lain atau meengakibatkan kerusakan atau kehancuran terhadap objek-objek vital yang strategis atau lingkungan hidup atau fasilitas publik atau fasilitas internasional dipidana dengan pidana mati atau penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan

(14)

14 paling lama 20 (dua puluh) tahun. Pasal ini adalah termasuk dalam delik materiil yaitu yang ditekankan pada akibat yang dilarang yaitu hilangnya nyawa, hilangnya harta atau kerusakan dan kehancuran. Kalaupun yang dimaksud dengan kerusakan atau kehancuran lingkungan hidup adalah tercemarnya atau rusaknya kesatuan ruang dengan semua benda, daya, keadaan dan makhluk hidup termasuk manusia dan perilakunya yang mempengaruhi kelangsungan perikehidupan dan kesejahteraan manusia serta makhluk lainnya.

Berdasarkan beberapa pemahaman tersebut di atas, terorisme dapat diartikan sebagai penggunaan atau ancaman penggunaan kekerasan fisik yang direncanakan secara sistematis, menimbulkan suasana teror atau rasa takut, dilakukan oleh kelompok atau sendiri-sendiri, dilancarkan secara mendadak dan tiba-tiba terhadap sasaran langsung yan lazimnya noncombattant untuk mencapai suatu tujuan ( Victor, 2002 : 107)

Adapun pandangan secara yuridis-normatif mengenai pencegahan dan penanggulangan kejahatan (terorisme) dapat diatasi menggunakan teori hukum pidana yaitu Sistem Peradilan Pidana Terpadu yang disitir dari pemikiran Muladi yang telah dikembangkan secara sederhana sebagai berikut :

SPP TERPADU

Pendekatan Model

Crime Control

Pendekatan Model

(15)

15

Interaksi sosial merupakan hubungan yang dinamis menyangkut hubungan antar kelompok manusia maupun orang perorang. Interaksi sosial pada dasarnya merupakan hubungan antar individu dengan individu, individu dengan kelompok dan kelompok dengan kelompok.

Agar tercipta suatu hubungan yang positif maka kontak tersebut didasarkan atas adanya rasa saling pengertian dan rasa saling memahami antara satu dengan yang lainnya. Komunikasi yang ada di dalam Lembaga Pemasyarakatan sudah tentu melibatkan petugas, tahanan dan masyarakat.

Suatu kehidupan terasing dapat disebabkan karena secara badaniah seseorang sama sekali dijauhkan dari sesamanya. Dalam hal ini berlaku pada system kepenjaraan namun bagi system pemasyarakatan justru para ppelanggar hukum dalam pembinaannnya harus melibatkan masyarakat sebagai tempat dimana kelak ia akan menjalani hidupnya setelah bebas. Hal ini dilakukan karena melihat dasar perkembangan seseorang ditentukan juga oleh pergaulannyadengan orang-orang yang ada di lingkungannya.

Pendekatan Model Family

Sinkronisasi Kultural Sinkronisasi Struktural Sinkronisasi Substansial Substansial TERORISME

Applied Theory Keseimbangan

(16)

16 Di dalam Lembaga Pemasyarakatan, terdapat hubungan antar tahanan yang biasanya dikarenakan rasa senasib dan kepentingan yang sama, di sisi lain juga terdapat hubungan antara petugas dengan tahanan. Dalam hal ini fungsi petugas selain menjaga keamanan dan ketertiban juga berfungsi mengupayakan perubahan tingkah laku tahanan. Ada dua harapan yang ingin dicapai dalam interaksi tersebut yaitu :

a. Petugas aktif mengubah tingkah laku tahanan yang cenderung dapat menimbulkan konflik yang tersembunyi.

b. Adanya kontak yang bersifat kekeluargaan antara petugas dengan tahanan sehingga bisa terjalin kerjasama positif antar kedua belah pihak

Dalam upaya perlindungan Hak Asasi Manusia di Lembaga Pemasyarakatan ditemukan beberapa kendala antara lain :

a. Kurangnya petugas baik secara kualitas maupun kuantitas pada bidang tugasnya.

b. Pemahaman tentang Hak Asasi Manusia yang kurang dimiliki oleh sebagian besar tahanan

Selain itu adanya perbandingan petugas dengan tahanan yang tidak sebanding serta tingkat pendapatan petugas yang sangat rendah sehingga dapat menyuburkan kolusi, korupsi dan nepotisme bahkan pemerasan terhadap tahanan. Mungkin tugas secara administrasi dapat ditangani, akan tetapi Lembaga Pemasyarakatan tidak hanya mengurusi administrasi saja melainkan tugas keamanan, kesehatan, makanan, jasmani dan rohni serta tugas pembinaan. Tugas dan tanggungjawab yang begitu baik tersebutvtidak diimbangi dengan dana dan penghasiln petugas yang baik oleh pemerintah,maka begitu rumit permasalahan yang terjadi di Lembaga Pemasyarakatan.

D. SIMPULAN DAN SARAN 1. Simpulan

a. Aksi terorisme di dunia sejak tahun 1969, terorisme dengan segala bentuknya tetap berkembang dengan memanfaatkan kerawanan dalam masyarakat,

(17)

17 ketidakpuasan terhadap kebijakan pemerintahan, kurang komunikasi, adanya juranng pemisah antara si kaya dan si miskin, adanya kecemburuan sosial yang semakin berakar dalam masyarakat dapat dan gampang menimbulkan teroris. Mungkin juga dengan adanya hal-hal tersebut di atas gampang bagi orang lain yang merasa tidak puas untuk melakukan perbuatan teror.

Usaha menanggulangi kejahatan dalam masyarakat secara operasional dapat dilakukan dengan mengunakan hukum pidana (penal) dan non pidana (non penal). Usaha penal dan non penal saling melengkapi.

b. Pola pembinaan terhadap pelaku tindak pidana terorisme di LP Nusakambangan, diatur dalam Pasal 20-29 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana. Selanjutnya melalui Peraturan Pemerintah Nomor 58 tahun 1999 tentang Syarat-syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Wewenang, Tugas Dan Tanggung Jawab Perawatan Tahanan dijelaskan bahwa perawatan tahanan adalah proses pelayanan tahanan yang dilaksanakan mulai dari penerimaan sampai dengan pengeluaran tahanan dari rutan. Berdasarkan Peraturan Menteri Kehakiman Nomor M.04.UM.01.06 tahun 1983 tentang Tata Cara Penempatan, Perawatan dan Tata Tertib Rutan. Perawatan tahanan meliputi makanan ,pakaian, tempat tidur, kesehatan jasmani dan rohani. Adapun perawatan tahanan sebagaimana diatur dalam PP Nomor 58 Tahun 1999.

2. Saran

a. Penanggulangan kejahatan (terorisme) dengan upaya pendekatan penal merupakan hal yang penting. Oleh karena itu perlu penyempurnaan aturan yang terus menerus karena aturan hukum merupakan pedoman bagi aparat penegak hukum bertindak proporsional dan professional. Sedangkan pendekatan secara non penal, perlunya peran serta masyarakat dalam rangka penanganan kejahatan terorisme karena Negara (polisi) tidak akan bisa bekerja sendirian dan berhasil dalam menangani masalah terorisme.

b. Pola Pembinaan terhadap pelaku Tindak Pidana Terorisme seyogyanya berbeda dengan pelaku tindak pidana yang lain karena adanya pemahaman ideologi yang berbeda. Oleh karena itu sebaiknya bekerjasama dengan pihak lain

(18)

18 misalnya ulama, psikolog dll dalam rangka penanganan narapidana di lembaga pemasyarakatan.

E. DAFTAR RUJUKAN

Arief, Barda Nawawi, 1996, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, Citra Aditya Bakti, Bandung;

--- ,1998, Beberapa Aspek Kebijakan Penegakan dan Pengembangan Hukum Pidana, Citra Aditya, Bandung;

--- ,1994, Kebijakan Penanggulangan Kejahatan Dengan Pidana Penjara, CV Ananta, Semarang;

Atmasasmita, Romli, 1996, Sistem Peradilan Pidana, Perspektif Eksistensialisme dan Abolisionisme, Binacipta, Bandung;

Jaya, Nyoman Serikat Putra, 2007, Bahan Kuliah Sistem Peradilan Pidana MIH, UNDIP, Semarang;

Kaligis, O.C., 2006, Disertasi Judul : Perlindungan Hukum Atas Hak Asasi Tersangka, Terdakwa dan Terpidana, Alumni, Bandung;

Muladi, 1997, Hak Asasi Manusia, Politik Dan Sistem Peradilan Pidana, Badan Penerbit Universitas Diponegoro;

Rahardjo, Satjipto, 2000, Ilmu Hukum, Citra Aditya Bakti, Bandung;

Reksodipoetro, Mardjono, 1993, Sistem Peradilan Pidana Indonesia (Melihat Kepada Kejahatan dan Penegakan Hukum DalamBatas-Batas Toleransi), Pidato Pengukuhan Guru Besar tetap dalam Ilmu Hukum pada FH Universitas Indonesia;

Surowidjoyo, Arief T., 2004, Pembaharuan Hukum, Iluni-Fakultas Hukum UI, Jakarta;

Sinaga, Bintatar, 2001, Kejahatan Terorisme, Jurnal Keadilan Vol. 1. No. 4 Oktober 2001;

Sarwono, Sarlito Wirawan, Polisi dan Teroris, http : //klikpolitik.blogspot.com diakses pada 8 Oktober 2009 jam 20.45 WIB.

Gambar

Tabel 2 : Daftar  Pidana  Kasus Terorisme  Di  Lapas  Batu Nusakambangan

Referensi

Dokumen terkait

[r]

Refleksi pada siklus I bertujuan untuk mengetahui kekurangan saat proses pembelajaran yang dilakukan guru pada siklus I, untuk dilakukan perbaikan pada siklus II

Telah diuji dan dipertahankan dihadapan Dewan Penguji Tugas Akhir Jurusan Teknik Mesin Fakultas Teknik Universitas Muhammadiyah Surakarta Pada :.. Hari : Tanggal

Hasil penelitian menunjukkan bahwa: (1) Gambaran tingkat kedisiplinan kerja dalam praktik siswa program keahlian Jasa Boga di SMK N 1 Sewon memiliki

Demikian pula halnya dengan mayoritas penduduk di Kabupaten Kotawaringin Timur, dimana sekitar 71% penduduknya berada di daerah pedesaan, dengan sektor pertanian

Uji gain dilakukan dalam peneltian ini yaitu agar dapat mengetahui perbedaan yang signifikan kemampuan menyimak cerpen antara sebelum dan sesudah menggunakan model

Sehubungan dengan tidak adanya peserta yang lulus evaluasi teknis pada pelaksanaan pengadaan pekerjaan Pembangunan Pembangkit Listrik Surya (PLTS) Terpusat di Provinsi Aceh

Hasil wawancara yang dilakukan pada bulan april 2017 di Puskesmas Klampis didapatkan jumlah penderita tuberkulosis paru pada tahun 2016 sebanyak 151.Salah satu