• Tidak ada hasil yang ditemukan

Laporan Kegiatan Advokasi

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Laporan Kegiatan Advokasi"

Copied!
29
0
0

Teks penuh

(1)
(2)

2

Ringkasan

Laporan ini mendeskripsikan kegiatan advokasi yang dilakukan pada tingkat desa dan kabupaten pada periode September 2019 hingga Maret 2020. Kegiatan dilakukan di tiga daerah yaitu Kabupaten Enrekang (Sulawesi Selatan), Kabupaten Bantaeng (Sulawesi

Selatan), dan Kabupaten Ende (Nusa Tenggara Timur). Advokasi tingkat desa/kampung ini

dilakukan dengan memfasilitasi masyarakat melalui FGD untuk mendiskusikan visi misi tentang peran kehutanan bagi masyarakat desa dan kelembagaan yang mengelola hutan tersebut. Advokasi tingkat kabupaten dilakukan melalui dua kegiatan, yaitu FGD tingkat kabupaten dan training/pelatihan dan pemampuan kinerja BUMDes/BUMMas/BUMMA.

(3)

3

Daftar Isi

A. Kegiatan Tingkat Desa ... 4

A. 1. Masyarakat Adat Marena dan Orong (Kabupaten Enrekang) ... 4

A.1.1. Identifikasi Pola Pemanfaatan Hutan Adat... 8

A.1.2. Rencana Pengelolaan Hutan Adat ... 13

A. 2. Masyarakat Desa Labbo dan Campaga (Kabupaten Bantaeng) ... 16

A.2.1. Identifikasi Potensi Hutan Desa ... 18

A.2.2. Rencana Pengelolaan Hutan Desa... 19

A.2.3. Kelembagaan Ekonomi ... 20

A. 3. Masyarakat Adat Saga (Kabupaten Ende) ... 20

A.3.1. Kelembagaan Ekonomi ... 21

B. Kegiatan Tingkat Kabupaten ... 21

B. 1. FGD Kabupaten ... 22

B.1.1. Enrekang ... 22

B.1.2. Ende ... 24

B. 2. Pelatihan dan Pemampuan Kinerja BUMDes/BUMMas/BUMMA ... 25

B.2.1. Enrekang ... 27

B.2.2. Bantaeng ... 27

(4)

4

Laporan Kegiatan Advokasi

Kegiatan advokasi bertujuan untuk mendukung perubahan kelembagaan dalam hal perubahan regulasi, praktik atau perilaku antar aktor yang terlibat. Kegiatan advokasi dilakukan di tingkat kampung atau desa/masyarakat dan tingkat kabupaten. Kemajuan dari kegiatan advokasi yang telah dilakukan dijelaskan dibawah ini.

A. Kegiatan Tingkat Desa

Advokasi tingkat desa/kampung ini dilakukan dengan memfasilitasi masyarakat melalui FGD untuk mendiskusikan visi misi tentang peran kehutanan bagi masyarakat desa. Selain itu juga mendiskusikan terkait dengan kelembagaan yang mengelola hutan tersebut. Diskusi-diskusi yang dilakukan ini dapat dijadikan sebagai fondasi awal untuk langkah selanjutnya bahwa menempatkan hutan tidak hanya sebagai aset ekonomi semata melainkan juga memastikan untuk tujuan konservasi.

Diskusi kampung ini dilakukan dibeberapa tempat yaitu di Desa Saga (Kabupaten Ende); Desa Labbo, Desa Kampala, Desa Bonto Tappalang (Hutan Desa Labbo), Kelurahan Campaga (Kabupaten Bantaeng); masyarakat adat Marena dan Orong (Kabupaten Enrekang). Hasil dari diskusi tersebut terlihat bahwa masing-masing desa memiliki karakteristik tersendiri. Berikut penjelasannya.

A.1. Masyarakat Adat Marena dan Orong (Kabupaten Enrekang)

Kegiatan diskusi (FGD) kampung dilakukan secara serial, terselenggara masing-masing sebanyak 6 kali dengan masyarakat adat Marena dan Orong. Diskusi pertama dengan masyarakat adat Orong dilakukan pada 25 September 2019, bertempat di Duri-duri Desa Buntu Batuan Kecamatan Malua Kabupaten Enrekang. Diskusi dihadiri oleh unsur pemerintah desa Rante Mario dan desa Buntu Batuan, pemangku adat Orong, masyarakat adat Orong, dan perempuan adat Orong. Hasil dari diskusi tersebut adalah: (a) terbangunnya pemahaman dan kesepahaman masyarakat adat Orong terkait pengelolaan potensi hutan adat yang berkeadilan dan berkelanjutan sesuai kearifan lokal; (b) teridentifikasinya pola pemanfaatan/tata kelola hutan dan bentuk-bentuk aturan adat/ kearifan lokal hutan adat Orong.

Diskusi kedua dengan masyarakat adat Marena dilakukan pada 26 Oktober 2019, bertempat di Marena Desa Pekalobean Kecamatan Anggeraja Kabupaten Enrekang. Diskusi

(5)

5

dihadiri oleh kepala desa Pekalobean, to’ matua (ketua adat) Marena, pemangku adat

Marena, masyarakat Adat Marena, dan perempuan adat Marena. Sedangkan diskusi kedua dengan masyarakat adat Orong dilakukan pada 28 Oktober 2019, bertempat di Orong Desa Rante Mario Kecamatan Malua Kabupaten Enrekang. Diskusi dihadiri oleh kepala desa Buntu

Batuan, ambe’ kampong (ketua adat) Orong, batu ariri (pemangku adat), masyarakat adat

Orong, dan perempuan adat Orong.

Tujuan diskusi kedua ini adalah untuk menyusun rencana kelola hutan adat yaitu: (a) menjadikan rencana pengelolaan hutan sebagai acuan dan arahan bagi masyarakat Adat Marena dan Orong (Kabupaten Enrekang) dalam pencapaian fungsi ekonomi, ekologi, dan sosial secara optimal; (b) merumuskan strategi pengelolaan hutan yang rasional, efektif dan efisien untuk menjawab permasalahan yang ada pada hutan adat di wilayah masyarakat adat Marena dan Orong (Kabupaten Enrekang) dalam rangka pencapaian visi dan misi yang telah ditetapkan.

Sasaran yang akan dicapai dalam penyusunan rencana kelola hutan adat Marena dan Orong adalah tersusunnya suatu kerangka pengelolaan hutan adat di wilayah adat Marena dan Orong untuk 10 tahun ke depan yang menjadi acuan penyusunan rencana pengelolaan menengah 5 tahun dan pengelolaan 2 tahun. Rencana kelola hutan ini akan menjadi arahan dan kerangka kerja yang terpadu serta komprehensif dalam pelaksanaan pengelolaan hutan adat masyarakat adat Marena dan Orong (Kabupaten Enrekang) yang lebih efektif, efisien dan bermanfaat.

Dalam diskusi, dibahas hal-hal sebagai berikut: (a) kewilayahan, mencakup pembagian wilayah adat Marena dan Orong, terdiri dari wilayah pemanfaatan, pemukiman, pertanian dan persawahan), disertai dengan penjelasan nama tempat, fungsi dan ciri-ciri fisik serta aturan adat yang mengatur pengelolan wilayah tersebut; (b) kondisi sosial dan ekonomi dan

budaya masyarakat adat Marena dan Orong, mencakup kondisi demografi (update dari

baseline data), sumber data perencanaan uatama (update dari baseline data), kearifan

lokal/aturan adat dalam pengelolaan hutan adat dan sumber daya alam (update dari baseline

data); (c) membangun kesepahaman terhadap visi, misi pengelolaan wilayah adat termasuk

hutan adat serta sumber daya alam (update dari baseline data); (d) analisis SWOT; dan (e)

penyusunan rencana kegiatan pengelolan hutan.

Hasil dari diskusi kedua adalah: (a) tersedianya draft dokumen dan peta perencanaan pegelolaan hutan adat; (b) terbangunnya pemahaman dan kesepahaman masyarakat adat Marena dan Orong terkait aturan-aturan pengelolaan hutan adat yang berkeadilan dan berkelanjutan sesuai kearifan lokal; (c) teridentifikasinya 4 bidang perencanaan pengelolaan hutan adat Marena dan Orong yang disusun dalam program/agenda-agenda kegiatan.

Diskusi ketiga dengan masyarakat adat Marena dilakukan pada 9 November 2019, bertempat di Desa Pekalobean Kecamatan Anggeraja Kabupaten Enrekang. Diskusi dihadiri

(6)

6

kepala-kepala dusun Marena, masyarakat Adat Marena, perempuan adat Marena, dan pemuda adat Marena. . Sedangkan diskusi ketiga dengan masyarakat adat Orong dilakukan pada 10 November 2019, bertempat di Paredean Desa Buntu Batuan Kecamatan Malua

Kabupaten Enrekang. Diskusi dihadiri oleh kepala desa Buntu Batuan, ambe’ kampong (ketua

adat) Orong, batu ariri (pemangku adat), kepala-kepala dusun Buntu Batuan, tokoh

masyarakat adat Orong, perempuan adat Orong, dan pemuda adat Orong.

Pada diskusi kampung ketiga dilakukan finalisasi draf dokumen dan peta perencanaan pengelolaan hutan adat serta membangun kesepahaman terkait dengan aturan-aturan pengelolaan hutan adat. Sebagai kelanjutan dari diskusi sebelumnya, pada subtema diskusi ketiga yaitu bidang perencanaan pengelolaan hutan adat terbagi dalam 4 bidang perencanaan utama: (1) peningktan kapasitas; (2) pengembangan ekonomi; (3) pengembangan wisata; dan (4) penyiapan sarana dan parasarana pendukung produksi.

Diskusi keempat dengan masyarakat adat Marena dilakukan pada 26 Desember 2019, bertempat di Marena Desa Pekalobean Kecamatan Anggeraja Kabupaten Enrekang. Diskusi

dihadiri oleh kepala desa Pekalobean, to’ matua (ketua adat) Marena, pemangku adat

Marena, kepala-kepala dusun Marena, masyarakat Adat Marena, perempuan adat Marena, dan pemuda adat Marena. Sedangkan diskusi keempat dengan masyarakat adat Orong dilakukan pada 27 Desember 2019, bertempat di Orong Desa Rante Mario Kecamatan Malua

Kabupaten Enrekang. Diskusi dihadiri oleh kepala desa Rante Mario, batu ariri bawanna

(pemangku adat) Orong, kepala-kepala dusun Rante Mario dan Buntu Batuan, masyarakat

adat, pajajian baine (perempuan adat), dan bati’ kallolo (pemuda adat).

Hasil dari diskusi kampung keempat adalah: (a) tersedianya draft dokumen dan peta perencanaan pegelolaan hutan adat; dan (b) terbangunnya kesepahaman dan kesepakatan dengan pemerintah desa terkait dokumen perencanaan pengelolaan hutan adat Marena dan

Orong. Dilakukan pengukuhan lembaga ekonomi masyarakat adat “Pammesatan” sebagai

holding untuk unit-unit usaha pengelolaan sumber daya alam di Marena dan lembaga

ekonomi badan usaha milik masyarakat adat (BUMMA) “Malepongna Panggadaran Orong”

di Orong. Disertai pula dengan penandatanganan berita acara sebagai bentuk kesepahaman sehingga ada kepastian tentang keseriusan pemerintah dalam mendorong kebijakan-kebijakan pemerintah desa dalam pengembangan wilayah adat, baik peningkatan SDM maupun SDA komunitas masyarakat adat setempat.

Diskusi kelima dengan masyarakat adat Marena dilakukan pada 27 Desember 2019, bertempat di Marena Desa Pekalobean Kecamatan Anggeraja Kabupaten Enrekang. Diskusi

dihadiri oleh kepala desa Pekalobean, to’ matua (ketua adat) Marena, pemangku adat

Marena, kepala-kepala dusun Marena, masyarakat Adat Marena, perempuan adat Marena, dan pemuda adat Marena. Sedangkan diskusi keempat dengan masyarakat adat Orong dilakukan pada 28 Desember 2019, bertempat di Orong Desa Rante Mario Kecamatan Malua

(7)

7

adat), batu ariri (pemangku adat), kepala-kepala dusun Rante Mario dan Buntu Batuan,

pajajian baine (perempuan adat), bati’ kallolo (pemuda adat), dan masyarakat adat Orong. Ada situasi dimana semua desa di Kabupaten Enrekang saat ini telah melakukan Musyawarah Rencana Kerja Pemerintah Untuk Tahun Anggaran 2020, sehingga perlu ada sinkronisasi. Dari hasil diskusi kelima, ditandatangani berita acara kesepakatan antara masyarakat adat Marena dan Orong diwakili oleh tetua adat (ketua pemangku adat, masyarakat adat, dan perempuan adat) dengan pemerintahan desa terkait perencanaan anggaran di tingkat desa (dana desa) untuk mendukung masyarakat adat dan pengelolaan hutan adat. Lembaga yang telah disahkan diusulkan memiiki akta notaris agar berbadan hukum sehingga bisa mengakses bantuan.

FGD kampung di Enrekang

Diskusi keenam dengan masyarakat adat Marena dilakukan pada 31 Januari 2020, bertempat di Marena Desa Pekalobean Kecamatan Anggeraja Kabupaten Enrekang. Diskusi

dihadiri oleh kepala desa Pekalobean, to’ matua (ketua adat) Marena, pemangku adat

Marena, kepala-kepala dusun Marena, masyarakat Adat Marena, perempuan adat Marena, dan pemuda adat Marena. Sedangkan diskusi keenam dengan masyarakat adat Orong dilakukan pada 5 Februari 2020, bertempat di Orong Desa Rante Mario Kecamatan Malua Kabupaten Enrekang. Diskusi dihadiri oleh kepala desa Rante Mario, perwakilan kepala desa

(8)

8

Buntu Batuan, ambe kampong (ketua adat), batu ariri (pemangku adat), kepala-kepala dusun

Rante Mario dan Buntu Batuan, pajajian baine (perempuan adat), bati’ kallolo (pemuda adat),

dan masyarakat adat Orong.

Hasil dari diskusi kampung keenam dengan masyarakat adat Marena adalah terbangunnya kesepahaman dengan pemerintah desa untuk membuat produk hukum Peraturan Desa (Perdes) tentang pengelolaan hutan adat Marena dan memasukkannya ke dalam RPJMDes. Hasil dari diskusi keenam dengan masyarakat adat Orong adalah terbangunnya kesepahaman bersama antara lembaga adat Orong, pemerintah desa Buntu Batuan dan pemerintah desa Rante Mario, serta masyarakat adat Orong tentang skema pembiayaan hutan adat dan wilayah adat.

A.1.1. Identifikasi Pola Pemanfaatan Hutan Adat

Pemanfaatan/pengelolaan lahan dikelola secara arif berdasarkan aturan adat Marena dan Orong yang diwariskan secara turun temurun. Peruntukan lahan di wilayah adat digunakan untuk areal pemukiman maupun untuk pertanian, perkebunan, serta pemanfaatan hasil-hasil hutan baik berupa kayu maupun non-kayu. Penataan wilayah adat secara garis besar dibagi atas pola ruang: (1) kawasan lindung (sumber mata air dan kawasan hutan adat); (2) kawasan penyangga; dan (3) kawasan budidaya dan pusat aktivitas (pemukiman).

Kurang lebih seperempat wilayah adat Marena merupakan kawasan hutan adat, mencakup 6 wilayah hutan adat dengan 3 karakteristik, yaitu: (1) kawasan hutan adat Perangian dan Dale, dominan berupa gunung batu dan hutan alam dengan jenis kayu lokal; (2) kawasan hutan Palatta Paropo, Puang Bango dan Tarabun, dominan berbukit dengan kemiringan dan ditumbuhi pohon pinus; (3) kawasan hutan adat Mataran, dominan gunung batu dengan kemiringan dan merupakan hutan alam yang keberadaannya sangat dikeramatkan oleh masyarakat adat Marena.

Dalam pengelolaan hutan adat, masyarakat adat Marena membagi ke dalam zona-zona pemanfaatan, berupa: (1) zona-zona lindung (hutan yang dikeramatkan); dan (2) zona-zona pemanfaatan (wilayah berhutan yang dapat dikelola hasilnya seperti kayu, tumbuh-tumbuhan obat, dan lain-lain). Hutan adat di dalamnya terdapat kayu pinus. Potensi pertanian dan perkebunan di antaranya kopi, cengkeh, pala, dan tanaman buah-buahan seperti durian, langsat, rambutan, lengkeng, dan mangga. Potensi tanaman herbal antara lain tumbuhan

obat pemeta dan kadinge passe. Potensi flora dan fauna antara lain anggrek, bunga berdoa,

dan ayam hutan. Selain itu terdapat ada potensi agrowisata alam.

Pemanfaatan lahan di wilayah adat Marena selain digunakan untuk pemukiman dan persawahan, lebih dominan digunakan untuk pengembangan tanaman holtikultura berupa bawang merah, kentang, kol, wortel, buncis, dan lain-lain yang tersebar di 5 kampung (Dale, Limbong, Marena, Batu Rape dan Paropo). Masyarakat adat Marena terkenal sebagai daerah penghasil bawang merah utama di Kabupaten Enrekang yang hasil-hasilnya selain memenuhi

(9)

9

kebutuhan masyarakat di Kabupaten Enrekang, juga di pasarkan untuk memenuhi kabupaten dan provinsi lain di Indonesia.

Di wilayah adat Marena, hukum adat yang masih berlaku di hutan adat Marena yaitu:  Eda wa, ding ala kaju ke eda na dipetada (tidak boleh mengambil kayu jika tidak diminta); apabila terjadi pelanggaran atas hukum adat ini, maka pelaku/pelanggar

akan mendapatkan sanksi berupa dipasun lanmai kampong (dikeluarkan dari

kampung)

 Bela panggala (membabat hutan); apabila terjadi pelanggaran atas hukum adat ini,

maka pelaku/pelanggar akan mendapatkan sanksi berupa eda na diben wai

dipakkeguna jo barakba/uma (tidak akan diberikan air untuk digunakan di kebun/sawah)

 Sumpun panggala (membakar hutan); apabila terjadi pelanggaran atas hukum adat

ini, maka pelaku/pelanggar akan mendapatkan sanksi berupa gerek tedong pujak

(potong kerbau hitam besar)

Tabel 1. Pembagian wilayah adat Marena

No Nama tempat Fungsi Ciri-ciri fisik Hukum adat yang mengatur Kawasan Kampung

1 Kampung Dale  Pemukiman

 Lahan pertanian (tanaman hortikultura): kol, kentang, daun bawang, seledri, wortel, kacang merah, tomat, cabe, jahe  Lahan perkebunan: cengkeh, kopi, pala, durian

 Berada di puncak-puncak pegunungan

 Tegakan pohon rapat

 Diameter kayu besar

 Kepemilikan komunal

 Sifat pengaturan larangan

2 Kampung Lembong  Pemukiman  Lahan pertanian (tanaman hortikultura): bawang merah, tomat, kol, jagung, ubi jalar, labu siam, dll

 Mata air Lembong dan mata air Takka

 Dataran tinggi (850 mdpl)  Gunung batu  Goa, ketinggian (pemandangan Alam)  Kepemilikan pribadi.

 Tanah Komunal (mana’) berupa kebun

 Aturan awal karena

malimongan anak maka diberikan 1, sekarang sudah dalam penguasaan

(10)

10 (tidak kering walaupun musim kemarau). Potensi wisata buntu palassi 3 Kampung Marena  Pemukiman  Lahan pertanian (tanaman hortikultura: bawang merah, tomat, kol, jagung, sayur mayur

 Mata air Porro (tidak pernah kering, konsumtif)  Peternakan sapi, tersedia pakan optimalisasi fungsi kandang dan limbah ternak

 Tanah datar dengan ketinggian 650 mdpl

 Pusat pemerintahan desa

 Pusat kelembagaan adat

 Kepemilikan pribadi

 Tanah komunal (mana’)

 Aturan adat yang ke-5: tidak boleh melewati bagian atas mata air kalau membawa orang meninggal (bulle tomate) 4 Kampung Baturape’  Pemukiman  Lahan pertanian (tanaman hortikultura): kol, kentang, bawang merah, buncis, salak, ubi jalar

 Tanaman

perkebunan: kopi, cengkeh, kakao

 Dataran rendah

 Desa singki (berbatasan desa Pekalobean)

 Kepemilikan pribadi

 Tanah komunal (mana’)

 Aturan adat yang ke-5: tidak boleh melewati bagian atas mata air kalau membawa orang meninggal (bulle tomate) 5 Kampung Paropo  Pemukiman  Lahan pertanian (tanaman hortikultura): bawang merah, kentang, kol, buncis, ubi jalar  Tanaman perkebunan: cengkeh, kakao  Dataran rendah  Desa Singki  Kepemilikan pribadi

 Tanah komunal (mana’)

Kawasan Hutan Adat

6 Hutan Adat Perangian

 Jenis kayu lokal: koto, karawatu, bakkudu, lanti, bakan, parisingan,

 Dominan berupa gunung batu dan hutan alam (kayu lokal)

 Kepemilikan komunal

 Dengan 3 (tiga) aturan-aturan hukum adat ada yang masih berlaku

(11)

11 rumisik, pulio, tananti nanti, cuccu, malaleo, cendana dana, sapuko, lelating  Tumbuhan obat: pametan, kadinge passe

7 Hutan Dale  Jenis kayu lokal: suren, mea, jati putih, bambu, tallang, enau, petung

 Dominan berupa gunung batu dan hutan alam (kayu lokal)

 Kepemilikan komunal

8 Hutan Palatta Paropo

 Kayu pinus  Kondisi hutan berbukit dengan kemiringan 45-75 derajat (awak)

 Kepemilikan komunal

9 Hutan Puang Bango

 Kayu pinus, enau, suren

 Tanaman cengkeh, kopi

 Kondisi hutan berbukit dengan kemirina 20-60 derajat

 Kepemilikan komunal

10 Hutan Tarabun  Kayu pinus  Kondisi hutan miring  Kepemilikan komunal 11 Hutan Adat

Mataran

 Hutan alam yang keberadaannya sangat dikeramatkan oleh masyarakat adat Marena  Kayu lokal  Flora: anggrek

 Fauna: babi hutan, kuskus, ayam hutan.

 Gunung batu dengan kemiringan 20-75 derajat

 Kepemilikan komunal

Kawasan hutan adat Orong mencakup wilayah hutan adat: (1) kawasan hutan adat Sumandang, dominan berupa lembah subur dan hutan alam (kayu lokal) sehingga kawasan ini tetap menjadi zona lindung disertai sumber mata air; (2) kawasan hutan Lombok Komba, kondisi hutan berupa pinus dan hutan campuran, direncanakan sebagai areal budidaya hasil hutan non-kayu; (3) kawasan hutan Sarena Buntu Tembok, berupa hutan alam yang kondisinya seperti hutan Lombok Komba; (4) kawasan Buntu Susu, sebagian berupa semak

belukar dengan potensi untuk pemanfaatan sebagai barak’ba (kebun) atau areal produksi

pertanian dengan tetap menjaga fungsi hutan dalam skema agroforestry; (5) kawasan

Batuan, berupa semak dan padang rerumputan serta situs sejarah permukiman leluhur Kampong Tau Jolo, berpotensi sebagai objek wisata alam dan agrowisata, merupakan titik

(12)

12

Tata kelola hutan adat Orong dibagi dalam zona-zona: (1) zona lindung; (2) zona produksi, merupakan wilayah berhutan yang dapat dikelola hasilnya seperti perkebunan (kopi, cengkeh, pala, dan lain-lain), tanaman kayu, tumbuh-tumbuhan obat, flora dan fauna, dan lain-lain); dan (3) zona ekowisata.

Pemanfaatan lahan di Orong selain digunakan untuk pemukiman dan persawahan, lebih dominan digunakan untuk pengembangan tanaman jangka panjang berupa cengkeh, merica, salak, kopi, pala, dan lain-lain. Masyarakat adat Orong juga memiliki tanah pusaka pemanaran berupa areal persawahan yang luasnya 330 ha. Tanah pusaka ini dikelola secara bergiliran yang pengaturannya melalui musyawarah adat.

Tabel 2. Pembagian wilayah adat Orong

No Nama Tempat Fungsi Ciri-ciri Fisik Hukum adat yang mengatur Kawasan Kampung 1 Kampung Bassaran  Pemukiman  Lahan perkebunan (tanaman jangka Panjang): merica, cengkeh, cokelat kopi, pala, durian, dll  Lahan pertanian (tanaman jangka pendek): tomat, padi, jagung, kedelai, kacang tanah, aneka kacang-kacangan  Peternakan: unggas, sapi, kambing

Berada di bawah lembah  Kepemilikan komunal

 Sifat pengaturan larangan

2 Kampung Rante Tabolang

(s.d.a.)  Dataran rendah dengan ketinggian 521 mdpl

 Pusat pemerintahan desa Rante Mario

 Kepemilikan pribadi.

 Tanah komunal (mana’) berupa kebun

3 Kampung Rantepadang

(s.d.a.) Dataran tinggi dengan ketinggian 978 mdpl

 Kepemilikan Pribadi.

(13)

13

4 Kampung Talinga

(s.d.a.) Dataran rendah  Kepemilikan pribadi

 Tanah komunal (pemanaran) 5 Kampung Paredean  Pemukiman  Lahan perkebunan (tanaman jangka panjang): cengkeh, merica, kelapa, durian, pala, kakao, dll  Peternakan: unggas, sapi, kambing, kerbau  Dataran rendah

 Desa Buntu Batuan

 Kepemilikan pribadi.

 Tanah komunal (pemanaran)

6 Kampung Balutung

(s.d.a.)  Dataran rendah

 Desa Kepemilikan komunal dan pribadi 7 Kampung Serren (s.d.a.) (s.d.a.)

8 Kampung Duri (s.d.a.)  Dataran tinggi

 Desa Buntu Batuan

(s.d.a.)

Kawasan Hutan Adat

9 Hutan Adat Pujan

Jenis kayu lokal: pinus jati, mahoni, suren, bajaka, dll

Fungsi lindung

10 Hutan adat Buntu tembok

Pinus Tata kelola produksi

11 Hutan sibalaran Kayu lokal Fungsi lindung

12 Hutan buntu susu

Semak Tata kelola produksi

13 Hutan sumandang

Kayu lokal Fungsi lindung

14 Hutan Pantawanan

Semak dan perdu Tata kelola ekowisata

(14)

14

Mimpi dari pengelolaan hutan adat Marena dan Orong adalah menjadikan masyarakat adat yang berdaulat, mandiri, dan bermanfaat. Visi pengelolaan hutan adat Marena dan Orong adalah mewujudkan masyarakat adat yang sejahtera, adil dan makmur dengan

menjunjung tinggi nilai-nilai budaya leluhur, yakni “Hutan Lestari, Masyarakat Adat

Marena/Orong Terjaga”. Sedangkan misi pengelolaan hutan adat Marena dan Orong adalah:

(1) terwujudnya penguasaan, pengelolaan serta pemanfaatan sumber daya alam yang adil

dan lestari di wilayah adat Marena dan Orong; (2) tersedianya sarana dan prasana (infrastruktur) yang mendukung peningkatan kesejahteraan masyarakat adat Marena dan Orong; (3) membangun dan menguatkan kelembagaan masyarakat adat dalam menunjang peningkatan kesejahteraan masyarakat adat Marena dan Orong.

Terdapat 4 bidang perencanaan utama dalam pengelolaan hutan adat, mencakup: (1) peningkatan kapasitas; (2) pengembangan ekonomi; (3) pengembangan wisata; dan (4) penyiapan sarana dan parasarana pendukung produksi.

Dalam hal penyiapan sarana dan prasarana pendukung produksi, masyarakat adat Marena merencanakan: (1) Pembangunan jalan tani, di mana saat ini pemerintah sudah mengizinkan untuk membangun jalan tani menggunakan alat berat, tetapi dalam melakukan perencanaan jangan sampai tumpang tindih dengan pembangunan yang ada di APBDes, dengan rintisan jalan dari Dale menuju Letok, dari Dale menuju Buntu Ju’juk, dari Puang Bango menuju Ke’pek (selain menghubungkan dengan kampug lain juga menuju kawasan pariwisata komunitas Marena), dan dari Puang Bango’ menuju Palanta; (2) Pembangunan pos penjagaan

hutan adat; (3) Pembangunan baruga hutan adat Marena, dengan tempat yang strategis di

Cappa Buntu tetapi sumber airnya masih harus dipikirkan, atau di Passaungan; (4)

Pembangunan cekdam di Palasi untuk kebutuhan air di baruga hutan adat; (5) Penguatan

tapal batas hutan adat Marena dengan hutan lindung; (6) Pembangunan rumah adat; dan (7) gapura komunitas. Dapat pula diusulkan pembangunan sekolah adat.

Terdapat sejumlah produk unggulan di Marena yang dapat dikembangkan secara ekonomi, yaitu kopi, cengkeh, durian, pala, vanili, serta tanaman hortikultura seperti bawang merah. Pengembangan produk-produk tersebut dapat melibatkan mitra kerjasama untuk akses pemasaran, baik di pasar lokal maupun pasar internasional, pemerintah, NGO, marketplace, serta BUMDes/BUMMA. Dalam pengembangan ekonomi terdapat pula aspek pemberdayaan perempuan dengan pelibatan perempuan, temasuk dalam bidang pertanian. Perempuan membutuhkan pelatihan supaya mempunyai pengetahuan dalam proses penyiapan bahan dan produksi, seperti pengemasan kopi, proses produksi bawang merah, dan anyaman-anyaman.

Selain mengembangkan produk pertanian untuk pengembangan ekonomi, juga bisa dilakukan pemanfaatan kayu untuk menunjang perekonomian komunitas, seperti kayu pametan untuk perabot rumah tangga, enau untuk sapu ijuk, gula merah, dan bahan atap,

kayu besar lainnya untuk bahan bangunan dan meubel, serta pengembangan madu hutan.

(15)

15

sekaligus sebagai sarana promosi. Produk komunitas masyarakat adat yang bisa dipamerkan di antaranya kopi khas marena, olahan bawang merah, dan olahan umbi-umbian.

Ekowisata yang bisa dikembangkan di Marena yaitu: (1) taman hutan di hutan Paung Bango; (2) wisata agro; (3) wisata alam di Palasi berupa gua dan pemandangan alam, yang paling berpotensi di Marena adalah Wai Takka; dan (4) wisata kuliner. Untuk itu diperlukan publikasi, berupa pamflet atau brosur untuk memuat potensi di wilayah adat, melalui media cetak dan elektronik atau media sosial, dan pameran atau festival.

Peningkatan kapasitas wilayah adat dan masyarakat adat Marena bisa dilakukan dengan cara: (1) studi banding penguatan lembaga adat; (2) pendirian kelompok usaha seperti BUMMA; (3) Pembentukan penjaga hutan adat; (4) studi banding penguatan ekonomi

masyarakat adat Marena; (5) identifikasi seni budaya (panggalelu); (6) sekolah adat; dan (7)

perpustakaan adat.

Dalam hal penyiapan infrastruktur (sarana dan prasarana) pendukung produksi, masyarakat adat Orong merencanakan: (1) pembangunan rintisan jalan tani reute Pantawanan-Bolapitu-Pujan; (2) pembangunan cekdam Sumandang; (3) pembangunan tower komunikasi; (4) pembangunan pos penjagaan hutan adat; (5) Pembangunan baruga hutan adat Orong; (6) penguatan tata batas hutan adat; (7) penguatan tapal batas hutan adat Orong dengan hutan lindung; (8) pembangunan sekolah adat; (9) pembangunan rumah adat; dan (10) gapura komunitas.

Terdapat sejumlah produk bibit unggulan di Orong yang bisa dikembangkan secara ekonomi, yaitu kopi, jati putih, mahoni, suren, cengkeh, pala, langsat, rambutan, padi dan

jagung. Untuk itu diperlukan identifikasi bahan baku produksi mencakup brand kopi khas

orong, budidaya aneka buah-buahan, budidaya madu hutan, budidaya angrek, identifikasi dan tata olah produksi herbal. Diperlukan pula adanya mitra kerjasama atau akses

pemasaran, baik di pasar lokal maupun pasar internasional, pemerintah, NGO, marketplace,

serta BUMDes/BUMMA. Aspek pemberdayaan perempuan dalam pengembangan ekonomi antara lain dalam Industri gula merah dan gula semut, budidaya aneka bunga, kopi kemasan khas masyarakat adat Orong, aneka anyaman, dan olahan tata boga.

Peningkatan kapasitas masyarakat adat Orong bisa dilakukan dengan cara: (1) pembentukan dan pelatihan penjaga hutan adat; (2) pembentukan BUMMA; (3) pendirian kelompok usaha perempuan adat; (4) studi banding; (5) peningkatan kapasitas lembaga adat; (6) tata kelola hutan adat; (7) peningkatan ekonomi; dan (8) pembangunan sekolah adat.

Dalam pengembangan ekowisata di Orong, perlu dilakukan pemetaan ruang wilayah ekowisata (Buntu Batuan, Lalono, Buntu Susu, Garuntu, dan Laso Batu), pembangunan sarana dan prasarana pariwisata (taman hutan adat Buntu Tembok, arung jeram sungai Garuntu, dan agroforestry), serta publikasi dan marketing pariwisata (pembuatan brosur/pamflet wilayah dan potensi masyarakat adat, penyebaran informasi melalui media cetak/elektornik, surat kabar nasional dan lokal; radio dan televisi, media sosial, dan pembuatan dan publikasi video profil komunitas masyarakat adat Orong).

(16)

16

A. 2. Masyarakat Desa Labbo dan Campaga (Kabupaten Bantaeng)

Kegiatan diskusi (FGD) kampung dilakukan secara serial, terselenggara sebanyak 8 kali dengan masyarakat desa Labbo dan 4 kali dengan masyarakat desa Campaga. Diskusi pertama dengan masyarakat pengelola hutan desa Labbo dilakukan pada 23 September 2019, bertempat di rumah Dg Bido Dusun Panjang. Hasil dari diskusi pertama adalah: (1) terdapat informasi potensi hutan desa; (2) membuat kesepakatan untuk menyusun kembali aturan/SOP pengelolaan hutan desa; (3) terdapat perencanaan dasar pengembangan komoditas tambahan untuk meningkatkan penghasilan petani selain kopi; dan (4) menyusun rencana tindak lanjut kegiatan.

Diskusi kedua dengan pengurus BUMDes, perwakilan tokoh masyarakat, dan pengelola hutan desa Labbo dilakukan pada 9 Oktober 2019, bertempat di rumah ketua pengurus BUMDes Ganting. Dalam diskusi dilakukan: (1) fasilitasi pengurus BUMDes untuk menyusun struktur BUMDes sehingga terdapat informasi struktur kelembagaan BUMDes; (2) fasilitasi membuat SOP pengelolaan hutan desa; dan (3) fasilitasi membuat perencanaan usaha.

Diskusi ketiga dengan masyarakat pengelola hutan desa Bonto Tappalang dan beberapa orang pengelola hutan desa Labbo dilakukan pada 8 November 2019, bertempat di rumah Rulla Dusun Panjang Desa Bonto Tappalang. Dalam diskusi digali lebih dalam informasi potensi yang ada dalam hutan, baik yang sudah terkelola maupun yang akan dikelola dan dapat dikembangkan.

Diskusi keempat dengan masyarakat pengelola hutan desa dan penggarap desa Labbo dilakukan pada 3 November 2019, bertempat di kawasan wisata Ertob Campaga. Dalam

diskusi dilakukan visioning (membangun visi bersama) pengelolaan hutan desa

mengidentifikasi potensi hutan desa masing-masing.

Diskusi kelima dengan masyarakat pengelola hutan desa Kampala dilakukan pada 25 Desember 2019, bertempat di rumah Daeng Banang Kampung Sanggatimoro Desa Kampala. Desa Kampala terletak di sebelah barat desa Bonto Tappalang, di mana terdapat beberapa orang masyarakat penggarap kawasan hutan desa Labbo. Tujuan diskusi adalah untuk mengetahui bentuk pengelolaan, sejarah dan latar belakang pengelolaan, bagaimana perbandingan hasil, serta merancang/menyusun perencanaan yang akan dibangun untuk pengelolaan hutan desa.

Diskusi keenam dengan masyarakat pengelola hutan desa dan penggarap dari desa Labbo dilakukan pada 30 Desember 2019, bertempat di Dusun Bawa’ Desa Labbo. Hasil dari diskusi: (1) terdapat informasi terkait pengembangan pengelolaan hutan desa yaitu kopi dan porang; (2) perencanaan yang akan didorong adalah pengembangan usaha kawasan hutan

(17)

17

desa berupa agroforestry kopi; dan (3) mendorong pembuatan rencana usaha yang akan

dilaksanakan bersama BUMDes desa Labbo.

Diskusi ketujuh dengan masyarakat pengelola hutan desa Bonto Tappalang dilakukan pada 3 Januari 2020, bertempat di rumah Rulla. Hasil dari diskusi: (1) masyarakat akan mengembangkan tanaman kopi dan porang; (2) peserta mendorong agar terdapat kegiatan yang dapat meningkatkan SDM dan budidaya kopi di dalam kawasan hutan, tujuannya untuk meningkatkan produktifitas dan kualitas kopi yang dihasilkan; dan (3) secara pengetahuan masyarakat memahami pentingnya menjaga kelestarian hutan dan masyarakat memiliki rasa tanggungjawab dengan diizinkannya mengola dalam kawasan hutan desa.

Diskusi kedelapan dengan masyarakat pengelola hutan desa Kampala dilakukan pada 7 Januari 2020, bertempat di rumah Daeng Banang Kampung Sanggatimoro Desa Kampala. Hasil diskusi adalah: (1) perencanaan pengembangan usaha dalam pengelolaan hutan desa; dan (2) pengembangan usaha kawasan hutan desa dengan mengembangkan tire, alpukat, dan pala.

Diskusi pertama dengan masyarakat pengelola dan warga pemanfaat hutan desa Kelurahan Campaga dilakukan pada 22 Oktober 2019, bertempat di salah satu tempat wisata di Kelurahan Campaga yaitu aula permandian kolam renang Ertob. Hasil dari diskusi pertama adalah: (1) terdapat informasi potensi hutan desa; (2) membuat kesepakatan untuk menyusun kembali aturan/SOP pengelolaan hutan desa; (3) terdapat perencanaan dasar pengembangan komoditas tambahan untuk meningkatkan penghasilan petani selain kopi; dan (4) menyusun rencana tindak lanjut kegiatan.

Diskusi kedua dengan masyarakat pengelola hutan desa dan penggarap desa Campaga dilakukan pada 3 November 2019, bertempat di kawasan wisata Ertob Campaga. Dalam

diskusi dilakukan visioning (membangun visi bersama) pengelolaan hutan desa untuk

(18)

18

FGD kampung di Bantaeng

Diskusi ketiga dengan pengurus BUMMas, masyarakat pengelola, dan warga pemanfaat hutan desa Kelurahan Campaga dilakukan pada 24 November 2019, bertempat di Sentra Kopi IKM Banyorang. Dalam diskusi, pengurus BUMMas mendorong agar kawasan hutan lindung menjadi bagian dari tujuan wisata serta dibangkitkan kembali kesenian rakyat tradisional dan rituan-ritual yang biasa dilakukan dalam hutan sebagai kearifan lokal dan pendukung Kelurahan Campaga menjadi tempat wisata.

Diskusi keempat dengan masyarakat pengelola hutan desa dan warga pemanfaat hutan desa Kelurahan Campaga dan pengurus BUMMas Campaga dilakukan pada 13 Januari 2020, bertempat di rumah salah seorang pengurus BUMMas. Dalam diskusi, tergambar potensi hutan desa seperti pengembangan wisata hutan desa, mendorong pengembangan usaha air kemasan, jasa lingkungan terhadap pemanfaat sumber daya yang bersal dari hutan desa yaitu PDAM Bantaeng, mendorong hutan desa menjadi hutan Pendidikan, dan pengembangan kelompok-kelompok kesenian lokal dan kelompok pembibitan.

(19)

19

Hutan desa Labbo seluas 383 ha dikelola oleh masyarakat 3 desa, yaitu Labbo, Kampala dan Bonto Tappalang. Dua hasil hutan yang memberikan penghasilan secara ekonomi kepada petani yaitu kopi dan madu hutan. Potensi kopi di hutan desa Labbo mencapai 8.000 ton, masih perlu didorong lagi peningkatan produktivitas kopi dalam kawasan. Di dalam hutan masyarakat juga menanam alpukat, mangga, dan nangka sebagai tanaman tambahan selain kopi. Sedangkan potensi hutan yang belum terkelola adalah rotan, anggrek tanah, mata air, dan wisata. Kopi dapat dipanen antara bulan Juni hingga Agustus, madu pada bulan November-Desember, alpukat pada bulan Desember-Januari, sedangkan kayu manis diambil kulitnya dalam satu pohon setahun sekali. Ada pula tanaman herbal lokal yaitu kayu bambang.

Potensi sumber daya yang terdapat di hutan desa Campaga seluas 23 ha yang telah dikelola dan dimanfaatkan oleh masyarakat kelurahan Campaga maupun masyarakat di luar kelurahan Campaga yaitu madu dan buah pangi (kepayang). Sebagian masyarakat menjadikan buah pangi sebagai penghasilan utama. Hasil hutan yang lain hanya dimanfaatkan sebagai tambahan seperti madu dan pandan hutan karena hanya diambil pada waktu tertentu. Buah pangi dapat dipanen sepanjang tahun, dengan panen raya pada bulan April, Agustus, dan Desember. Madu dapat dipanen pada bulan Agustus hingga November. Kemiri terdapat pada bulan November-Desember. Porang atau tire tumbuh secar liar di dalam hutan, dimanfaatkan oleh masyarakat untuk bibit, tumbuh pada bulan Juni sampai Juli. Pakis dan paku dimanfaatkan dan djual ke pasar. Selain itu terdapat potensi satwa seperti monyet, beberapa jenis burung, dan babi, serta mata air yang cukup besar di dalam hutan, digunakan untuk irigasi dan sumber air PDAM Bantaeng. Selain itu juga teridentifikasi kebiasaan masyarakat dan kepercayaan menjaga hutan agar tetap lestari. Kebiasaan tersebut dilakukan dalam acara

ritual accaru-caru, yaitu tanda syukur kepada alam yang dilaksanakan sebelum musim tanam

dan setelah panen.

A.2.2. Rencana Pengelolaan Hutan Desa

Potensi yang bisa dikembangkan di hutan desa Labbo selain tanaman kopi yaitu tanaman tire atau porang. Pengembangan tire ini perlu dilakukan karena kopi yang berada pada kawasan hutan tidak terlalu produktif sehingga perlu penambahan komoditas yang lain. Tanaman tire ini memiliki peluang sebagai penghasilan tambahan bagi petani namun kendalanya akses jalan kehutan masih belum mendukung. Untuk itu diperlukan dukungan pemerintah desa untuk perbaikan akses jalan menuju hutan desa. Selain itu juga diharapkan pemerintah desa untuk menyiapkan bibit tanaman tire bagi petani untuk dikembangkan di dalam kawasan hutan desa.

Kawasan hutan lindung Campaga diharapkan menjadi bagian dari tujuan wisata agar dapat menjadi nilai tambah bagi masyarakat. Karena itu perlu didorong agar kearifan lokal dan kesenian rakyat dapat dibangkitkan kembali sebagai pendukung kelurahan Campaga

(20)

20

menjadi tempat wisata. Disepakati untuk membuat pertemuan khusus membuat kegiatan di dalam hutan sebagai langkah awal untuk memulai kembali kebiasaan-kebiasan atau tradisi masayarakat kelurahan Campaga. Selain itu didorong imbal jasa lingkungan kepada pemanfaat sumber daya alam hutan Campaga.

A.2.3. Kelembagaan Ekonomi

BUMDes Ganting sebagai pemegang izin pengelola hutan desa Labbo dihadapkan pada masalah tidak stabilnya kepengurusan. Banyak pengurus yang tidak aktif, dan sebagian lagi lebih memilih untuk menjadi staf di kantor desa, karena dianggap lebih terjamin gajinya, sementara BUMDes belum dapat memberikan insentif untuk pengurus. Terdapat kesepakatan untuk membuat atau menyusun kembali aturan/SOP pengelolaan hutan desa yang melibatkan masyarakat pengelola hutan desa dan pemerintah desa serta menyusun kembali pengurus BUMDes. Perlu pula disusun database pengelola hutan desa karena yang mengelola hutan desa Labbo tidak hanya masyarakat desa Labbo saja, melainkan juga dari desa Kampala dan desa Bonto Tappalang, di mana hutan desa Labbo mencakup ketiga desa tersebut.

Badan Usaha Milik Masyarakat (BUMMas) Kelurahan Campaga mendorong usaha yang sedang dijalankan yaitu air minum kemasan dan madu dari hutan untuk difasilitasi membuat perencanaan. Perlu diperkuat kembali kelembagaan pengelolaan BUMMas, dibuatnya perencanaan usaha BUMMas, serta penyusunan rencana tahunan termasuk kegiatan kesenian lokal.

A.3. Masyarakat Adat Saga (Kabupaten Ende)

Kegiatan diskusi (FGD) kampung dilakukan secara serial, terselenggara sebanyak 4 kali dengan masyarakat adat Saga di Desa Saga Kecamatan Detusoko Kabupaten Ende. Diskusi pertama dilakukan pada 15 September 2019 dihadiri pengurus AMAN Wilayah Nusa Bunga dan pengurus BUMDes Saga Mandiri. Dari diskusi, diketahui bahwa BUMDes Saga Mandiri selama kurang lebih 2 tahun jalan di tempat, di sisi lain terdapat peluang usaha yang direncanakan dan kendala yang dihadapi pihak BUMDes dalam menjalankan program-program dimaksud. Diskusi kedua dilakukan pada 6 Oktober 2019, dengan kesepakatan forum secara bersama membantuk tim khusus pembuatan draft AD/ART dan SOP BUMDes Saga Mandiri. Diskusi ketiga dilakukan pada 10 Oktober 2019 untuk membahas AD/ART BUMDes Saga Mandiri.

(21)

21 A.3.1. Kelembagaan Ekonomi

Bumdes Saga Mandiri memiliki tiga unit usaha yaitu unit pengelolaan air minum, unit perdagangan komoditas seperti usaha kopi bubuk, kakao, dan kemiri, serta unit usaha jasa pariwisata. Terdapat beberapa hal yang menjadi tantangan dan hambatan dalam pengelolaan unit usaha seperti belum adanya jaringan pasar serta manajemen pengelolaan keuangan yang masih bermasalah. Penyebabnya yaitu terdapat banyak pinjaman yang terendap dan masih belum dikembalikan.

Faktor-faktor yang mempengaruhi BUMDes Saga Mandiri jalan di tempat yaitu: (a) Pihak desa belum mempercayakan Bumdes Saga Mandiri untuk mengelola keuangan; (b) Masih belum adanya Perdes dan SK yang dikeluarkan oleh pemerintah desa sebagai kekuatan hukum; dan (c) Rendahnya tingkat keaktifan pengurus, banyak program yang masih dikelola langsung oleh ketua BUMDes.

Terkait dengan hal-hal tersebut perlu adanya dukungan dan perlu dibuatkan peraturan lebih lanjut dalam bentuk Perdes sebagai payung hukum dalam menjalankan kegiatan BUMDes. Dari sisi kepengurusan, terdapat masalah penempatan pengurus Bumdes yang tidak sesuai dengan kapasitasnya. Pengurus BUMDes masih berpikir ketika berbicara kerja hari ini maka juga harus dapat uang hari ini, hal ini membuat pengurus Bumdes menjadi kurang aktif. Selain itu belum ada pihak sebagai pendamping terkait manajemen tata kelola untuk Bumdes.

Solusi-solusi yang dilakukan untuk menyelesaikan masalah tersebut yaitu perlu dibuat surat yang ditujukan kepada kepala desa Saga untuk melakukan perombakan kepengurusan BUMDES Saga Mandiri, terkait ada pengurus yang tidak aktif dan penempatan pengurus yang tidak sesuai dengan kapasitas yang dimiliki. Perlu dibuat Perdes pengelolaan BUMDES Saga Mandiri tentang pengelolaan adat budaya, pariwisata dan hutan adat Saga, serta pembuatan AD/ART dan SOP BUMDES Saga Mandiri. Tujuan pembentukan BUMDes Saga Mandiri adalah untuk meningkatkan pendapatan asli desa sehingga dapat mendorong pertumbuhan ekonomi masyarakat desa, memperluas pemerataan pembangunan, dan memperluas kesempatan kerja. Bidang usaha BUMDes Saga Mandiri salah satunya yaitu bidang usaha pengelolaan hutan adat.

B. Kegiatan Tingkat Kabupaten

Advokasi tingkat kabupaten dilakukan melalui dua kegiatan, yaitu FGD tingkat kabupaten dan training atau pelatihan dan pemampuan kinerja BUMDes/BUMMas/BUMMA. FGD tingkat kabupaten melibatkan unsur-unsur pemerintahan di tingkat kabupaten yang terkait dengan pemenuhan hak-hak masyarakat adat. Training diikuti oleh perwakilan

(22)

22

masyarakat adat atau desa khususnya pengurus BUMDes/BUMMas/ BUMMA yang mengelola hutan adat atau hutan desa. FGD tingkat kabupaten dilakukan di Enrekang dan Ende, sedangkan training dilakukan masing-masing di Enrekang, Bantaeng, dan Ende.

B. 1. FGD Kabupaten B.1.1. Enrekang

FGD tingkat Kabupaten Enrekang tahap 1 dilakukan pada 25 Februari 2020, bertempat di aula pertemuan masyarakat adat Balo’ Kawa, Desa Mendatte, Jalam Poros Enrekang-Tana Toraja. Peserta yang terlibat dalam FGD sebanyak 34 orang yang terdiri dari Asisten 1 Pemerintah Kabupaten Enrekang, Dinas Pemberdayaan Masyarakat Desa (PMD), Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Dinas Pemuda, Olah Raga dan Pariwisata, Dinas Sosial, pemerintah desa, KPH, utusan masyarakat adat, AMAN Sulsel, AMAN Massenrempulu, dan perempuan adat Massenrempulu. FGD dimoderatori oleh Staf Ahli Gubernur Bidang Kesejahteraan Rakyat Ir. Sri Endang Sukarsih, MP.

FGD tahap 1 “Mendorong Pemenuhan Hak-Hak Masyarakat Adat melalui Program dan Anggaran Pemerintah Kabupaten Enrekang” diawali dengan sambutan dari pengurus AMAN Massenrempulu dan dibuka secara resmi oleh Asisten 1 Pemerintah Kabupaten Enrekang. Narasumber pertama Wakil Ketua DPRD Kabupaten Enrekang Bapak Zulkarnain, memaparkan “Peluang Pemenuhan Hak-Hak Masyarakat Adat melalui Program dan Anggaran Pemerintah Kabupaten Enrekang sebagai Bagian dari Implementasi Perda Kabupaten Enrekang Nomor 1 Tahun 2016 tentang Pedoman Pengakuan dan Perlindungan asyarakat Adat”.

Narasumber kedua Dinas Pemberdayaan Masyarakat dan Desa Kabupaten Enrekang/ Sekretaris Panitia MHA diwakili oleh Bapak M. Sukri, dengan dengan materi presentasi “Pandangan Pemerintah Kabupaten Enrekang terkait Urgensi Penyusunan Kebijakan Program dan Anggaran Pemerintah Kabupaten Enrekang dalam Upaya Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Adat sebagai Bagian dari Implementasi Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2014 dan Produk Hukum Daerah terkait Masyarakat Adat di Kabupaten Enrekang”.

(23)

23

FGD kabupaten di Enrekang

Narasumber ketiga Asisten I Pemerintahan dan Kesejahteraan Rakyat Sekretariat Daerah Kabupaten Bulukumba Andi Buyung Saputra, dengan materi presentasi “Pembelajaran Pemerintah Kabupaten Bulukumba dalam Mengimplementasikan Perda Nomor 9 Tahun 2015 Tentang Pengukuhan, Pengakuan hak dan Perlindungan Hak Masyarakat Hukum Adat Ammatoa Kajang”. Narasumber berikutnya Kepala Dinas Lingkungan Hidup Kabupaten Enrekang Bapak Mursalim MP yang menyampaikan progress terkait MoU yang sudah digagas oleh Pemerintah Provinsi melalui DPLH Sulawesi Selatan.

Hasil dari FGD kabupaten tahap 1 adalah sebagai berikut:

1. Adanya kesepahaman para pihak terkait urgensi pemenuhan hak-hak masyarakat adat

melalui program dan anggaran Pemerintah Kabupaten Enrekang sebagai bagian dari implementasi keberadaan produk hukum pengakuan masyarakat adat di Kabupaten Enrekang dan pengelolaan hutan adat.

2. Disepakatinya isu-isi kunci untuk dituangkan dalam program Pemerintah Kabupaten

Enrekang untuk mengawal implementasi keberadaan produk hukum pengakuan masyarakat adat di kabupaten enrekang dan penetapan hutan adat, yaitu: (a) perluasan pengakuan dan perlindungan masyarakat adat melalui produk hukum daerah, subjek dan objek; (b) penguatan/pemberdayaan kelembagaan masyarakat adat; dan (c) pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya alam yang lestari dan berkelanjutan.

(24)

24

3. Terbentuknya tim penyusun draft program untuk mengawal implementasi

keberadaan produk hukum pengakuan masyarakat adat di Kabupaten Enrekang dan penetapan hutan adat, terdiri dari: Sardi razak (AMAN Sulsel), Syukri (Dinas PMD Enrekang), Iksan (Dinas LH Enrekang), Zulkarnain (Dinas Pemuda Olah Raga dan Pariwisata Enrekang), Paundanan Embong Bulan (AMAN Massenrempulu), Niar (Dinas Sosial), Suparman (KPH Mata Allo), Darwin (Pemuda Adat), Musmuliadi (Pemangku Adat), dan Jaysa (Perempuan Adat).

B.1.2. Ende

FGD tingkat Kabupaten Ende tahap 1 dilakukan pada 11 Oktober 2019 dengan tema mendorong pengakuan dan penetapan wilayah adat dan hutan adat menjadi hak masyarakat adat setelah adanya aturan Perda dalam hal penetapan. Peserta yang terlibat FGD adalah perwakilan komunitas (9 orang), perwakilan dinas terkait (2 orang), Pokja AMAN (3 orang), perwakilan media (2 orang), dan panitia PW AMAN Nusa Bunga (5 orang).

FGD dibuka dengan sambutan dari ketua panitia Nikalaus Bhuka dan ketua BPH AMAN Wilayah Nusa Bunga. Narasumber pertama adalah Ketua PW AMAN Nusa Bunga Bapak Philipus Kami, dengan materi tentang kawasan hutan dan wilayah adat yang ada di Kabupaten Ende. Kawasan hutan di Kabupaten Ende terdiri dari hutan produksi 36.556,701 ha, hutan lindung 24.193,338 ha, hutan produksi terbatas 6.150,631 ha, hutan produksi konvensi 1.186,029 ha, taman nasional 5.538,366 ha, dan cagar alam 1.958,24 ha. Sedangkan luas hutan yang ada di wilayah adat yang sudah petakan adalah Mukureku 154,77 ha, Wologai 22,58 ha, Boafeo 243,24 ha, dan Wolomari 127,52 ha.

Narasumber berikutnya adalah Dinas PMD diwakili Bapak Lodovikus Geru Biro Hukum Pemerintah Kabupaten Ende diwakili Kabag Hukum Mei Hamba Nyanji, SH. Dari paparan DPMD dan Kabag Hukum, diketahui bahwa produk hukum yang dijabarkan dari Perda PPPMHA sudah pernah diajukan pada 2018 dan dibuatkan draft SK dan Perbup penetapan dan pengakuan wilayah adat di Kabupaten Ende pada Mei 2019, tetapi materi pendukungnya masih kurang lengkap.

Narasumber terakhir adalah Biro UKP3 PW AMAN Nusa Bunga Hans Gaga yang memaparkan materi pemetaan partisipatif yaitu melibatkan seluruh masyarakat adat beserta dengan masyarakat tetangga di tapal batas. Dalam pemetaan wilayah adat yang dibuat oleh AMAN, terdapat 2 bentuk peta yaitu: (1) peta non-spasial, berupa data-data seperti profil komunitas yang memuat sejarah asal-usul, lembaga adat, wilayah adat, ruang-ruang di wilayah adat, dan aturan adat; dan (2) peta spasial (berwarna), menampilkan penggunaan lahan, sumber dan wilayah dengan skala/perbandingan antara gambar dengan permukaan bumi/wilayah, dibuat dengan alat bantu GPS dan kompas. Pemetaan partisipatif melewati

(25)

25

beberapa tahap, yaitu identifikasi wilayah adat, sosialisasi pemetaan, dan musyawarah komunitas untuk mendapat kesepakatan.

B. 2. Pelatihan dan Pemampuan Kinerja BUMDes/BUMMas/BUMMA

Kegiatan training dilakukan dengan tujuan untuk: (1) penguatan kinerja BUMDes, BUMMas, atau BUMMA untuk pengelolaan aset hutan adat/hutan desa; (2) pemampuan

dengan pendekatan Value Chain Enablers (VCE) untuk komponen infrastruktur organisasi,

teknologi, aliansi strategis dan pengelolaan sumber daya manusia. Dalam kegiatan training

tahap pertama, peserta menetapkan pilihan kasus proyek value chain untuk divalidasi model

bisnisnya pada tahap kedua. Dalam tahap kedua, fokus pada Kanvas Model Bisnis untuk value

chain hasil dari tahap pertama dan pengelolaan dalam cakupan hutan sosial.

Pelatihan dan penguatan tahap pertama dilaksanakan selama 2 hari. Agenda yang disampaikan dan dieksplor bersama dengan peserta mencakup hal-hal berikut: (a) membahas kondisi terkini dan membantu menggali potensi, kebutuhan dan sumber daya desa melalui pemetaan aset, aktor dan akses secara partisipatif; (b) membahas kondisi dan konteks organisasi, mengeksplor berbagai macam strategi operasional, kiat, alat dan teknik dalam penguatan fungsi organisasi serta pengelolaan aliansi dan kerjasama bisnis BUMDes/BUMMA; (c) membantu mendaftar pilihan-pilihan strategi usaha (produk/jasa) yang bermanfaat sosial dan lingkungan dan merancang value chainnya; dan (d) menilik ulang pengelolaan sumber daya manusianya. Peserta kemudian akan diberikan proyek kasus riil value chain yang ditemukan dan dijadikan bahan internalisasi dengan disertai mentoring jarak jauh terbatas.

Materi yang disampaikan dalam training tahap 1 yaitu:

- Memahami BUMMA/BUMDes/BUMMas, memahami diri sendiri: mindset wirausaha

- Pengantar dan praktek pemetaan 3A (aset, aktor, akses) partisipatif

- Membedah hasil pemetaan 3A

- Memahami situasi saat ini, menemukan potensi

- Menemukan aktor, peran, dan kebutuhannya

- Memahami akses dan bagaimana mengembangkannya

- Memahami aliansi bisnis dan memetakannya

- Memilih value chain dan memetakannya

- Membedah peta value chain dan merancang proyek

Pelatihan dan penguatan tahap kedua dilaksanakan selama 1 hari. Agenda yang disampaikan dan dieksplor bersama dengan peserta mencakup hal-hal berikut: (a) refleksi pembelajaran di tahap 1 dan menghadirkan kembali sebagai bahan untuk lokakarya pemampuan tahap 2; (b) merapikan proyek kasus riil peta value chain yang ditemukan dan dipilih dari hasil tahap 1 lalu untuk dijadikan bahan Kanvas Model Bisnis dan perencanaan

(26)

26

usahanya; (c) memahami apa itu Kanvas Model Bisnis; (d) membuat model bisnis dari peta value chain dengan alat Kanvas Model Bisnis; dan (e) paparan antar kelompok/komunitas.

Materi yang disampaikan dalam kegiatan training tahap 2:

- Memahami tantangan-menjangkau peluang: mengingat ulang pembelajaran dari

tahap 1.

- Refleksi value chain dengan video yang terkait dengan value chain masing-masing

desa/adat.

- Bedah value chain

- Video Business Model Canvas (BMC)

- Membangun BMC (mengupas juga aspek tata kelola dan gender)

- Menyusun rencana usaha

- Memaparkan rencana usaha

- Eksplorasi

(27)

27 B.2.1. Enrekang

Training tahap 1 dilakukan pada 11-12 November 2019, bertempat di Rumah AMAN Enrekang, di Bambapuang Kecamatan Anggareja, dengan diikuti peserta dari perwakilan masyarakat adat Marena dan Orong dan pengurus AMAN. Hasil dari kegiatan training tahap

1 adalah pemetaan value chain dengan contoh value chain produk pertanian), kemudian

dipilih proyek value chain dari Marena dan Orong masing-masing 2 kelompok.

Training tahap 2 dilakukan pada 4 Maret 2020, bertempat di rumah masyarakat adat Orong (Pak Mus), Desa Rante Mario, Kecamatan Malua. Hasil dari kegiatan training tahap 2 adalah perumusan Kanvas Model Bisnis dari kedua komunitas di Enrekang untuk pengelolaan aset berbasis hutan adat masing-masing. Komunitas Marena membuat 2 model yaitu bisnis getah pinus dan bisnis kopi, sedangkan komunitas Orong membuat model bisnis durian segar dan olahan.

Training BUMDes/BUMMas di Bantaeng B.2.2. Bantaeng

(28)

28

Training tahap 1 dilakukan pada 14-15 November 2019, bertempat di Sentra IKM Kopi Banyorang Kecamatan Tompobulu, dengan diikuti peserta dari pengelola BUMDes Labbo dan BUMMas Campaga serta pengurus Balang Institute. Hasil dari kegiatan training tahap 1 adalah

pemetaan value chain dengan contoh value chain produk pertanian), kemudian dipilih proyek

value chain dari desa Labbo dan keluraha Campaga masing-masing 2 kelompok.

Training tahap 2 dilakukan pada 6 Maret 2020, bertempat di fasilitas pertemuan lokasi wisata Kolam Renang Ertob, Kelurahan Campaga, Kecamatan Tompobulu. Setelah dibahas ulang rantai pasok pilihan dari Campaga (pengelolaan hutan sebagai pusat wisata desa) dan Labbo (pengelolaan hutan sebagai sumber produksi kopi), diberikan tinjauan ulang mengenai tatakelola hutan desa sebagai hutan dengan fungsi sosial melalui pengelolaan usaha dari aset-asetnya.

Khusus di Bantaeng, dielaborasi lebih rinci Kanvas Model Bisnis milik Desa Campaga, karena sangat sesuai dengan contoh Model BIsnis pengelolaan Kawasan Wisata Alam di Baturaden Jawa Tengah. Disampaikan juga matriks untuk menganalisis SWOT Kanvas Model Bisnisnya dan bagaimana cara menindaklanjuti hasil analisa SWOT dalam bentuk aksi perbaikannya atau perubahannya. Dari proses tersebut, dipilih 5 fokus yang harus segera dijalankan seusai pelatihan ini untuk tahapan mewujudkan Model Bisnis sepenuhnya.

B.2.3. Ende

Training tahap 1 dilakukan pada 26-27 November 2019, bertempat di Balai Desa Saga Kecamatan Detusoko, dengan diikuti peserta dari pengelola BUMDes Saga Mandiri, aparat

desa, dan pengurus AMAN. Hasil dari kegiatan training tahap 1 adalah memilih value chain

olahan ketela dan pisang sebagai salah satu project peer, berkaitan dengan kemampuan

(29)

29

Gambar

Tabel 1. Pembagian wilayah adat Marena
Tabel 2. Pembagian wilayah adat Orong

Referensi

Dokumen terkait

Berdasarkan potensi yang ada, teknologi yang dimiliki, dan nilai ekonomi yang sudah berkembang, masyarakat menjadikan model pengelolaan hutan produksi bersama masyarakat (PHBM),

Perubahan Budaya Petani Tepian Hutan dalam Pengembangan Pengelolaan Sumber Daya Hutan Berbasis Modal Sosial. Hak Ulayat dan Masyarakat Adat Dalam Pengelolaan Sumberdaya

Masyarakat adat mukim telah lama hidup dari dan bersama hutan serta memiliki kearifan lokal tentang pengelolaan dan pemanfaatan hutan, dalam kesehariannya

Rencana Kerja Perubahan Badan Pengelolaan Keuangan dan Aset Daerah Kabupaten Jombang adalah dokumen perencanaan yang dijadikan pedoman, acuan dan arahan dalam

Mempunyai Tugas Mengolah Dan Menganalisa Untuk Pengendalian Produksi Hasil Hutan Dan Eksploitasi, Pembinaan Dan Pengendalian Pengelolaan Hutan Alam Produksi, Menyusun

pengelolaan hutan adat oleh masyarakat Ammatoa sangat erat kaitannya dengan persepsi masyarakat Ammatoa tentang hutan dan prinsip hidup sederhana yang dijalankan

5. Menyusun SOP tata kelola pemanfaatan arsip. Pararel dengan program yang sedang berjalan ini, melalui arah- an yang disampaikan oleh Danton Sihombing selaku Ketua DKJ, Bidang

Pengelolaan Hutan Adat di Kampung Kiyu Hutan adat memiliki nilai penting dalam menjaga lingkungan dan keberlanjutan ekosistem, serta menjaga keberagaman budaya dan tradisi masyarakat