Manu.ria dan Lingkungan, Vol. X, No. 3, Novenilter 2003, hul.
l4l-
147 Pusat Studi Lingkungan Hidup U niversitas Gad.i ah ltlada Yogvakarta, IrulonesiaPERSEPSI
MASYARAKAT
ADAT
TERHADAP IMPLEMENTASI RBNCANA
TATA RUANG
WILAYAH
(RTRW)
DI
NUSA
CENINGAN, KLUNGKUNG,
BALI
(The
Indigenous
Society
Perception
Tbwards the
Regional Spatial
Planning
Implementation
in
Nusa Ceningan,
Klungkung,
Bali)
IGM.
Konsukartha*,
T.
Gunawan**
dan
I.B.
Mantra**
*Universitas
Udayana
*.Fakultas
Geografi
Universitas Gadjah Mada
Abstrak
Pembangunan
Bali
tidak dipisahkandari Trihita
Karana (Parhyangan, Palemahandan
Pawongan), karena sejak abadX
orang Bali telah memiliki perencanaan spasialnya yang diaplikasikan pada pemukiman tradisional. Kemunculan gagasan perencanaan spasial oleh pemerintah berimplikasi pada pengelolaan konversi pola spasial, dan eksploitasi sumber daya alam yang merusak masyarakat adat, termasuk aspek fisik, sosio ekonomik, dan sosial budaya.Nusa Ceningan merupakan bagian daerah pengembangan Nusa Penida, dipilih sebagai daerah penelitian dengan dasar pertimbangan dikotomi perencanaan spasial.
Konflik
pengguna spasial yangterdiri
ataselit
pemerintah,elit
ekonomi danelit
masyarakat (adat) disebabkan oleh adanya dikotomi kepentingandari masyarakat adat dan gagasan pemerintah dalam perencanaan spasial. Masyarakat adat dilihat hanya sebagai objek (subordinat) dibandingkan dengan pemerintah karena otoritas pemerintah selalu dominan dalam perencanaan spasial. Dengan demikian kepentingan masyarakat
adat
seringkali
dikalahkan dan dimarginalisasikan.Penelitian
ini
menggunakan pendekatan kombinasi kualitatif dan kuantitatif dengan memanfaatkan prinsip-prinsip trianggulasi. Data dikumpulkan dengan metode survei, wawancara yang mendalam, FGD, dan dokumen terdahulu. Data dianalisis secara kuantitatif dengan tabel single frekuancy untuk menentukan fenomena, ekspresi dan variabel dominan. Selanjutnya variabel dominan tersebut dieksplorasi melalui metode kualitatif'.Konversi pola spasial dan pengelolaan sumberdaya alam memiliki pengaruh terhadap struktur fisik konversi ruang tradisional dan perubahan sosial budaya diantara komponen parhyangan, palemahan dan pawongan.
Kata kunci: Trihita Karana, perencanaan spasial, sumberdaya alam, persepsi dan tanggapan.
Abstract
Bali developrnent are(ts (tre un.Jeperated front
ti
hita karana (parhyangan, palemaltan and pawongan) tenns, because since l0't' century Baline.se have had their own spatial planning which applied on thetaditional
housing. The emergenceof
goverrunent idea'son
spatial planning have implicated the spalial paltern conver.sion nnnagement and natural resources e.rploitation thal damage the indigeneous society, including thep h1* s i c al, s oc io - e c onomi c a nd s oc i o - c u I t u re a s p e c t s.
Nusa Ceningan con.stilutes Nusa Penida developing areas in this research is purposivelv chosen with the spatial planning dichotomies concideration. The conflict of the spatial users consists o.f the elite goverrunent, elite economic (nongoverment) and elite societv* (indigenous) are caused by the both dichotonies interest
of
the indigenous society and government idea's on spatial planning respectively. Tlrc indigenous society are seen as the object (.subordinate) as oppo.red to the governnrent because its authorimn are always beconrc a subject (dominant)
of
spatial planning, so that the indigenous society interest are negaled andfinallt
be nmrginalized.The research method applies the combination
of
hoth qualitative and quantitative approaches with triangulation principle. The quantitative and qualitative data were both collected by survey nrcthod, depth interview, focussed group discussion and document over view. Data wcre analyzed quantitatively b_r- singlefrequenc-,* table to
fnd
out the fenomena, expression and dominant variables. Futhermore the doninant variables are explored through qualitative data and be analy-zed bv qualitative description.The spatial pattern conversion and natural resources ntanagenrcnt have inJluences the phtsical slruclure
of traditional space conver.rion and socioculture shifting among the parhyangan, palemahan and pawongan components.
Key words:
tri
hita karana, spatial planning, natural resources, perception and respond.A.
LATAR BELAKANG
Bali
menjadi
pusat pengembangan pariwisatamemiliki
keunikan
budaya sebagai gayatarik
disamping keindahan alamnya.
Implikasi dari
akti-vitas pariwisata dapat
bernilai positif
dan negatif.Nilai
positif
berupa pemasukan devisa yang cukupbesar dengan kedatangan wisatawan. Sedangkan
nilai
negatif terjadinya degradasi budaya dankon-versi lahan
perubahan
tata
ruang.
Mengingat luasanBali
yang
sangat terbatasdan
kebutuhanlahan semakin besar, maka lahan-lahan
produktif
terpaksa dialihfungsikan
untuk
pembangunaninfrastruktur
fisik
pariwisata. Lahan pertanianse-makin berkurang luasnya serta institusi tradisional
seperti subak yang mengurus masalah pertanian di wilayah perkotaan menjadi tidak berfungsi.
Thta ruang
Bali
yang
sejak lama telah dibuatberdasarkan
budaya tradisional, mengalami
de-sakan akibat tata ruang yang dibuat oleh
pemerin-tah lebih
banyak beorientasi pada
kepentinganekonomi, dan lebih banyak menguntungkan kaum
pebisnis. Tata ruang tradisional
Bali
menekankanpada keseimbangan kepentingan antara ekonomi
dan budaya masyarakat adat. Perbedaan orientasi
dalam penataan ruang antara masyarakat adat dan
pemerintah
menyebabkanterjadinya
perubahanterhadap
nilai
tanah.Masyarakat
Bali
menganggaptanah
sebagaibadan sendiri (angga sariranta)
dan
sumberberkumpulnya segala
pengetahuanQtapupulan-ing
sarwa
tanua)(Adnyana,}UJZ)
telah bergesermaknanya kepada
nilai
komersial dan menjadiko-muditi
yang diperjualbelikan.
KasusBali
Pecatu Graha di Badung, Bali Nirwana Resort di Thbanan, lapangangolf
Selasihdi
Gianyar, reklamasi pantaiPedanggalak
dan
Serangandi
Denpasar,Villa
Bukit
Berbunga
di
Bedugul
Tabanan,
rencana pembebasan lahan dan sarang burung wallet pulauCeningan
di
Klungkung, PLTP Bedugul
di
Th-banan, pembangunan PLTU Pemaron
di
Singaraja, rencana pembuatansirkuit
F-l
di
Negara, rencana pembangunan kasinodi
Nusa Penida Klungkung,mendapat resistensi dari masyarakat dan merupak-an pelajaran yang sangat berharga pada semua
pi-hak dalam perencanaan pembangunan, baik dalam
pengelolaan ruang maupun dalam memanfaatkan
sumberdaya alam.
Ruang dalam perspektif
tri
hita
karana dalamaplikasinya
dibagi
menjadi
tiga
kepentinganyakni
parhyangan,
pawongan
dan
palemahan.Parhyangan sebagai ruang
untuk
memuja Tuhan/leluhur,
pawongan sebagai ruanguntuk
aktivitasmanusia, dan palemnhanberupa lingkungan alam
sekitarnya yang mendukung aktivitas parhyangan
dan
pawongan
(Gelebet,
l99l).
Kenyataannyapenataan ruang yang digagaskan
oleh
pemerintah(RTRW) sering
menegaskankepentingan
ma-syarakat adat, sehingga muncul kasus-kasus yangberkaitan dengan pemanfaatan ruang dan
pengelo-laan sumberdaya alam.
Penelitian
ini
dilaksanakandi
Nusa Ceninganyang
merupakan gugusan kepulauanterletak
diarah
tenggara
pulau
Bali.
Secaraadministratif
Nusa
Ceningan bernaung
di
bawah
kedinasan Desa Lembongan dan bagian dari Desa AdatLem-bongan. Penelitian difokuskan pada
penggalianpersepsi masyarakat
adat
terhadap implementasitata ruang
wilayah
yang digagas oleh pemerintah.Setidaknya ada empat alasan mendasar terhadap
pemilihan fbkus penelitian
yakni
:pertama,
ila-syarakat adat telah
memiliki
konsep penataanru-ang secara tradisional berdasarkan budaya, kedua, penataan ruang gagasan pemerintah menegasikan
kepentingan masyarakat adat,
ketiga,
perbedaanorientasi dalam penataan ruang antara pemerintah dan masyarakat adat
berimplikasi
pada timbulnyakonflik
pemanfaatan ruang, keempat, pemerintahPersepsi Masyarakat Adat
masih diposisikan
sebagai
subyek
(kelompok dominan) dan masyarakat adat diposisikan sebagaiobyek
(kelompok
subordinat) dalampembangun-an.
Lokasi
penelitiandipilih
secara sengaja(pur-posive), karena Nusa Ceningan
memiliki
potensisumberdaya
alam yang
dapat
dikembangkanmenjadi obyek wisata khususnya ekowisata. Nusa
Ceningan sempat
menjadi
rebutanpara
investordan
menimbulkan
konflik
dengan
masyarakatadat, karena
pulau
Ceninganmau
dibeli
secara keseluruhan.Di
sampingitu
tata ruang tradisionalmasih memungkinkan
untuk
diaplikasikan karenapembangunan
infrastruktur pariwisata
masihdalam skala terbatas, sehingga budaya
lokal
dapat dipertahankan, sebagai upaya untuk menjaga iden-titasBali
yang terus menerus mengalami desakanmodernitas
yang kapitalistik. Lokasi
penelitianseperti terlihat pada gambar L.
B.
TUJUAN DAN MBTODE
PENELITIAN
Penelitian
ini
bertujuanuntuk
: (a) mengetahuipersepsi masyarakat khususnya masyarakat adat
terhadap implementasi tata ruang
wilayah di
NusaCeningan; (b) mengetahui sejauh mana tata ruang
wilayah
memberikan keuntungan
dan
berpihakkepada kepentingan masyarakat
dan
bentukperlawanan masyarakat apabila masyarakat adat
dirugikan;
(c)
mengetahui sejauh mana rencanatata
ruang wilayah
itu
telah
disosialisasikan kepada masyarakat, dan sejauh manawakil-wakil
masyarakat
lokal terlibat
dalam proses penyusuan tata ruang tersebut dan (d) mengetahui sejauh mana masyarakat inginikut
serta dalam pengelolaan tataruang yang telah direncanakan, dan dalam bentuk
apa saja keikutsertaan masyarakat.
Penelitian
ini
dilaksanakan denganmenggu-nakan metode survai dengan pendekatan
kuantitatif
(Singarimbun, 1995).
Unit
analisisnya adalahindi-vidu
dengan mengumpulkan datadari
respondendengan
alat
utamanya adalah kuesioner (Mantra,Peta Lokasi Pen€lltlan
-{tF-.
'r..g*qlr.rrlie::*ir*
L.genda
W Lor.", F.netrtra.
SelatiCn in*sn
Proarrfr Sllai lh q linatlntrn U Og
obi : I O.a. lr.d. Xorro*r.ll. ! 4{torlv./t39!/o0
2002).
Untuk
mengumpulkan datadan
informasidengan akurasi yang memadai,
penelitian
ini
me-makai
pendekatantriangulasi (Moeloeng,
2000).Metode triangulasi
merupakan
suatu
prosedurpenelitian
menggunakanlebih dari
satu
metodesecara independen sehingga
diperoleh data
daninformasi yang
beragam. Pendekatan triangulasidilaksanakan dengan alasan
setiap metode
me-miliki
kekurangandan
kelebihan.Adanya
keter-batasan metode survai dalammenggali
informasi yang bersifatkualitatil
maka dalam penelitianini
didukung
dengan wawancara mendalam, diskusikelompok terarah
(DKT),
observasi
dan
telaahdokumentasi (Mantr a, 2002).
Tahapan penelitian
dimulai
denganmewawan-carai
responden
sesuai
pertanyaan
kuesioner.Jumlah
respondenyang ditetapkan adalah
90 orang, darilima bcular
dan dua tempekanbersta-tus krama nuwed (penduduk
asli). Yang
mengisidengan baik sebanyak 68 orang, dan sisanya tidak
memenuhi syarat.
Pendekatan
kualitatif
dilaksanakan pada tahapselanjutnya dengan wawancara mendalam,
ob-servasi dan
DKT
(Mantra,
2001). Proses analisis data dibagi menjadi dua tahap yaitu tahap pertamaanalisis kuantitatif
data kuesioner.Analisis
datakuantitatif dilakukan
untuk
menemukan sebaranjawaban
respondendan
memperoleh
gambaranvariabel-variabel dominan
dan ekstrim
denganbantuan
tabel
frekuensi tunggal
(Mantra,
2001)dan (Effendi,
1997). Thhapkedua analisis
datakualitatif dari hasil
wawancara mendalam,obser-vasi,
DKT
dan telaah dokumentasi, untuk memberi penjelasan dan dekripsi hasil analisis kuantitatif.C.
HASIL
DAN PEMBATIASAN
Nusa Ceningan merupakan
wilayah
kepulauanyang sebagian besar lahannya digunakan sebagai
lahan
tegalandan
permukiman. Tanahnyameru-pakan
batu kapur
berbukit
yang
terbentuk
darihasil
pelapukan karang. Jeniskepemilikan
tanahberagam
seperti tanah
budi kliwon,
tanah
pur-nema, tanah
bukti,
tanah desa dan tanah negara. Berbagai jenis kepemilikan tanahini
mengisyarat-kan ada kaitan
dengan
kewajiban yang
harusdilakukan
warganya terhadapadat
dan
budaya.Dalam
persepektif adat, tanah (palemahar?) tidakbisa
terpisahkan denganparhyangan
danpawo-ngan, sebagai cerminan
tri
hita karana.Kekayaan
alam
di
daratan,pesisir, dan
lautdan
keaneka ragamanhayati
merupakan sumberdaya alarn
yang
dapatdiolah dan
dimanf-aatkan. Pertanian lahan kering dilakukandi
daratan untukmenunjang kebutuhan hidup seperti sayur sayuran dan buah-buahan. Wilayah pesisir lebih banyak
di-rnanfaatkan sebagai lahan rumput laut,
di
samping sebagian untuk kepentingan wisata bahari. Potensisarang
burung wallet
merupakan sumber
dayaalam
yang
sangatpotensial,
merupakan sumberpendapatan
yang
dapat menyumbang pada PADKabupaten Klungkung.
Status sosial masyarakat Nusa Ceningan dapat
dibedakan
berdasarkanstatus pendidikan,
jenispekerjaan dan pendapatan. Pendidikan masyarakat
Ceningan
lebih
besar pendidikan dasar (67,947o),pendidikan menengah sebesar 25,57Vo dan
pendi-dikan
tinggi
sebesar 6,497o, sehingga penghasilanmasyarakat dor-ninan
berasal
dari
rumput
laut. Pekerjaanlainnya
sebagai PNS ( 1,7 5Vo), nelayan(7,l}Vo),
wiraswasta(ll,96Vo)
dan pekerjaanlain-nya sebesar
2}3
persen.Komposisi penduduk terlihat kebanyakan
laki-laki
dari
perempuan, karena penduduklaki-laki
memiliki
kebiasaan berpergian keluar daerahun-tuk
mencari pekerjaan. Kelembagaan adat masihberfungsi
baik, baik
di
tingkat
desa maupun ditingkat banjar.
Bahkan sebagian sekaa(perkum-pulan) seperti sekaa
jukwtg,
sekaa keseniantradi-sional,
sekaatabuh
gamelan, sekaarumput
lautdan sekaa lainya masih eksis sampai sekarang.
Walaupun Nusa Ceningan rnerupakan bagian
dari
kawasan
pariwisata
Nusa Penida,
tetapi masyarakat tidak mau tergesa-gesa untuk memba-nguninfiastruktur
pariwisata secara besar-besaran.Disamping dana yang sangat terbatas, masyarakat Ceningan melalui
kelompok
swadaya masyarakat,prajuru
desa danprajuru
banjar
mengingat arah pengembangan pariwisatanya berbasis lingkungandan masyarkat (ekowisata). Pilihan terhadap jenis
pariwisata
ini
karena belajardari
pengembanganpariwisata
Bali
yang
menerapkankonsep
,nasstourism, yang oleh banyak pihak ditengarai
seba-gai
penyebabterjadinya
degradasibudaya
danlingkungan.
Adanya
perbedaan kepentingandan
orientasidari
pemakai ruang dapat menimbulkan
konflik
kepentingan antara masyat'akat adat, pemerintah
dan
pihak
swasta.Hasil penelitian
ini
rnendapat-kan
respon yangdiberikan oleh
masyarakat adatterhadap kasus
yang clitimbulkan akibat
Persepsi Masyarakat Adat
faatan
ruang dan
pengelolaansumhrdaya
alamseperti pada Thbel
l.
Tabel
I
dapat
dimaknai
bahwa
kasus-kasusyang
terjadi
di
Nusa
Ceningan berupaketidak-adilan dalam pemantaatan ruang dan pengelolaan sumberdaya alam. Kasus lebih banyak
terjadi
an-tara masyarakat adat dengan pemerintah sebagai
pembuat keputusan
dan pihak
swasta
sebagaipelaksana kebijakan pemerintah
di
lapangan.Pandangan masyarakat
adat
terhadapimple-mentasi
tata ruang wilayah
ditentukanoleh
latarbelakang budaya
masyarakatyang telah
turun-temurun
menerapkan penataan
ruang
dengan konsep budaya trarlisional. Penataan ruangs&aftl
tradisional dilantlasi oleh ajaran agarna Hindu dan
diekspresikan dalam
wujud
budayalokal.
Secaraumum dikenal konsep mta bineda (frangrn=timur. &arrft=bauat;
kajeegunung"
kelo<I=
laut
seba-gai
arah
onientasi)"
lri
utgga (utmeyspal^'
madyt=$qflarr"
dan
nrlrra-kakidalam
pembagianruang secara vertical),
tri
mandala (pembagianru-ang secara horizontal menjadi 3 zone)" ,tyatus
Nta
(pempatan agung) sebagai arah orientasi upacara
keagamaan, dan sanga mandala (pembagian ruang
dengan
9
znne)yang dipakai dalam
pembagianruang
natahlperurnahan. Fandanganmasyamlat
tentang penataan ruang secara
trdisional,
sffii
hasil penelitian seperti Thbel2-Dari tabel2
dapatdijelaskan bahrvapadanga[
masyarakat adat dalam pelaksanaan
penurrfadan
ruang harus tetap
menggunakanhndasan Wa
ruang hadisional
Bali-
Masyarakat adatberytn-dangan tata nrang tradisional tetap harus
dijadikan
@oman
dalarn aktivitas pemanfaatan ruang 4garnilai-nilai
hdaya
dapat
dipertahankan- Rrnng
dalam perspektif masyarakat adilt
Bali
tidak hanyadilihat
daridimemi
fisik
(sekola\saja
tetapijugg
memiliki
nilai
spiritual (nis&aftr[
schinggn
adnruang berfungsi profan yang dapat
dihdiclayakan
dan ada ruang sakral yamgrcngaja
tidakdioilah-Tbbel
l.
Jmb
Krus
den
Tipe
hrlewemn
Msyareket
debm
lhnfsh
Rury
dr
krgdo-laan
S[mberdayaAlam
No
Jenb Kasrs
TipePerlamnan
PelalcrKebrar1gnr
1
PerDebman
hhfli
Seorglfirya
Uasya*t
Mdd
tCin
IWM meftdludirEnuilra
BTDCmen$ebmftan
#trdtl
pdil
Cfrm*an tdililn
@dl&isffi,
tetapfr @rydlkarn dHln
rmqprdkd
tdhm
XW)..Dl*ulkan
pemnmqnpt$idi@iff
tdtnunn2(m'
2.
Pen5*m
petrmhtm
ns{t
Seonggtftnt/a
mqfam
LCtlanr mtnnrprlt lhurt nmu
di@lkiln
uJiisffi fiirh; Fenulhilntraflr lhdi
ffi
IdmnnqyarCkm
medHk.
nh1grakd nrmnfud
pr@grarr"tdblliiffi.
3
Ferctnkn
Htf,i
nmf
krfr
sMtk
lMMilrl
lliddidi
antararntrcfarakil
Oqriinganr dnn Uemfremgan
tFqfii
ptrtdbsaihn
nffildilMngo
zrtfle4/".$oilrrua
tnnqyarekd
(Csniinmfltn dhilrr llemnlffirnffiMk
fulHltan"tnrnrpotlfut.
4. FembryAtnilrreill
wdng
b{nrrmgrildlbt.
SAzutnWllntt
a
Mhsva,Cru
DlHtulkan dEthr
mqpandkd
CIsniirrgdm
lte
lt(ttt4lhmg
dhiitdlrurnZm[D.
eilW
tmsn@*an
ltrunfiitrur$isdbq+fir
696
dhii
lhaill sryang hrmmUudlH,,
tdhuxn Uttqq .Sejalan dengan
perkembanganjaman,
makaterjadi perubahan orientasi pembangunan dari
top-down
menjadi bottom-up. Paradigmapembangun-an
bottom-up
diaplikasikan denganmengikutser-takan peran serta masyarkat secara langsung dalam
berbagai
level
kebijakan pemerintah.
Soetrisno( I 995) menyatakan pengelolaan pembangunan
me-lalui
partisipasi masyarakat hendaknya dipandang sebagaistyle
of
development bukan sebagai s4,/eof
government yang berarti partisipasi masyarakat merupakan mesin yang berputar sesuai kebutuhanrakyat. Pendekatan
partisipatif
disarankan denganpertimbangan
bahwa partisipasi akan
menjaminproses pengelolaan yang terbuka, demokratis dan transparan, seh i ngga menj am i n kead ilan ( Mitchel l,
et
al,2N0).
Sejauh mana keterlibatan masyarakatbaik secara kelembagaan maupun secara individu,
hasil
penelitian terhadap
reponden ditunjukkanpada Thbel 3.
Dari tabel 3 diatas dapat dimaknai bahwa dalam
pengelolaan
ruang
dan pemanfaatan sumberdayaalam, masyarakat adat harus diberikan akses yang
cukup dalam
menentukanarah kebijakan
yangdibuat pemerintah.
Lebih-lebih
dalam pengaturanruang sakral harus mendapat persetujuan dari
pra-juru
desa adat melalui pararem y^ng dilaksanakanoleh krama desa. Dalam hal pengelolaan sumber-daya alam, desa adat semestinya diberikan peluang
yang
lebih
besar, sehingga dapat menikmatihasil-nya secara langsung. Dalam menentukan kebijakan
pemerintah,
masyarakatharus
mengetahui
bilamemungkinkan
diajak untuk
ikut
merencanakan.Paling tidak
rumusan kebijakan pemerintah tetapdisosialisasikan kepada masyarakat
luas
sebelummenjadi keputusan yang
definitif.
Desakan
yang
sangat besar terhadap
ke-beradaan tata ruangtradisional
khususnya dalamskala makro,
semestinya
tidak
sampai
terjadidalam skala
mikro
(desaadat).
Oleh
karena itudesa adat
memiliki
perananyang
strategis untukmenentukan
pemanfaatanruang,
agar
tri
hitakaruna
dapat dilaksanakan. Persyaratan minimalyang harus
adadalam
sebuah desaadat
adalahPura
Kahyangan
Tiga
(Puseh,
Desa,
Dalem),Purc
Dadia, Bale Banjar,
Pasar Desa dan ruangterbuka (alun-alun).
Untuk
menjaga kesucian puramaka palemahan pura
tidak boleh dipakai
untukkegiatan selain aktivitas keagamaan dan harus se-suai ketentuan Bhisama Parisada.
Thbel
2.
Frekuensi Jawaban
RespondenTerhadap
Konsep Tata Ruang TFadisionalBali
(Vo)Sumber:
Analisis
Data Primer,20O2Tabel 3.
Frekuensi Jawaban
RespondenTerhadap
Peranan LembagaTladision al
(7o)Tema Pandangan Setuju Netral T. Setuju Keterangan
1. Pertimbangan sacral profan 88,89 3,7 7,41 Positif
2. Orientasi rwa bhineda dan ulu-teben (nyegara gunung) 85,70 11 .11 3,19 Positif 3. Konsep tri angga dan tri mandala 96,67 3,05 0,28 Positif
4. Pola ruang natah (pekarangan) 81,48 8,35 10,17 Positif
5. Pedoman tri hita karana 92,30 4,19 3,51 Positif
Tema Peran Kelembagaan Setuiu Netral T. Setuiu Keterangan
L
Lembaga adat tidak diberikan peluang yang cukupdrlem pcngelolaan sumberdaya alam. 33,33 14,81 51,85 Negatif
2. Sebaiknya sumberdaya alam di palemahan desa adat
dikelola sepenuhnya oleh desa adat. 66,67 14,81 18,52 Positif 3. Prajuru desa dan prajuru banjar adat dilibatkan dalam
membuat kebijakan pemanfaatan sumber-daya alam. 88,89 7,41 3,70 Positif
4.
Masyarakatadat ikut
memberi persetujuan dalampelaksanaan program pemerintah. 85,19 7,41 7,41 Positif
5.
Dalam pengaturan ruang sakral pemerintah harusmendapat persetujuan prajuru desa adat. 85,19 11.11 3,70 Positif Sumber:
Analisis
DataPrimer,2002
Persepsi Masyarakat Adat
D.
KESIMPULAN DAN
IMPLIKASI
Kesimpulan:
Masyarakat
adat
Bali
memiliki
pandangantersendiri dalam penataan ruang secara tradisional,
dimana pemanfaatan ruang dipandang dari dimensi sekala dan niskala. Tata ruang gagasan
pemerin-tah,
menurut
pandangan masyarakatadat
lebihmengedepankan kepentingan
ekonomi,
sehinggaf'ungsi ruang
budayadan
ruang sakral
semakinterdesak.
Dari
aspek kewenangan masyarakat adat berada pada posisi subordinat dan pemerintah be-rada pada posisi dominan yangmemiliki
kewenang-an dalam pembuatan tata ruang.
Kondisi
ini
yang menyebabkan kepentingan rnasyarakat adat tidakterakomodasi dalam pengelolaan ruang.
Kepenti ngan masyarakat adat yang termarj i nal
i-sasi menimbulkan respon masyarakat berupaper-lawanan terhadap
kebijakan
pemerintah. Bentukperlawanan terbuka (agresif)
terjadi
pada dimensi perubahan fungsi ruang sacral Qtarhyangan),per-mukiman
dan pembagianhasil
sumberdaya alamyang tidak memenuhi rasa keadilan. Respon apatis
hanya
terjadi
antar warga dalam perebutan lahanrumput laut, tetapi
dapat diselesaikandi
tingkatdesa adat.
Penataan ruang yang dilaksanakan oleh
pemerin-tah
tidak
pernah melibatkan masyarakat
lokaltermasuk
wakil-wakilnya baik
secaraperseorang-an
maupun
secaralembaga. Masyarakat
hanyamenerima
hasil yang
terjadi
kebijakan
pemerin-tah,
karenatidak
melalui
proses sosialisasi padamasyarakat
adat.
Sehingga masyarakat
merasadikesampingkan dan menimbulkan berbagai
pan-dangan termasuk ketidakpuasan.
Implikasi
Masyarakat
lokal
perlu
dilibatkan
dalam proses pembuatan kebijakan pemerintah berkaitandengan penataan ruang. Penataan
ruang
berbasismasyarakat
melalui
pemetaanwilayah
secarapar-tisipatif,
sudah semestinya dilaksanakan, karenaakan
menjamin
kesuksesan
program-programpembangunan. Sosialisasi
kebijakan
pembangun-an
intensitasnya harus semakinditingkatkan,
danlebih
banyak melibatkan peran serta masyarakatadat,
sehingga masyarakattidak
hanya
sebagaiobyek tetapi sekaligus sebagai subyek dalam pem-bangunan.
Penerapan hukum secara adat melalui pararem desa,
bagi
parapihak
yang melanggar ketentuan pemanfaatan ruang, sudah selayaknya dapatdiper-timbangkan.
Tindakan
ini
dilaksanakan
untukmemperkuat penerapan hukum
positif
yangsema-kin tidak
dipercayaoleh
masyarakat. Pengenaansanksi secara adat harus disertai dengan
pemben-tukan
lembaga pengawas yangterdiri dari
unsurpemerintah, masyarakat adat dan pihak independen
lainnya, agar tidak terjadi tarik ulur kepentingan. Keberadaan
wilayah
kesucian pura harusme-ngikuti
ketentuanyang telah menjadi
keputusanlembaga keumatan (Bhisama Parisada)
yangdikenal
dengan
karang
kekeran. Semua
pihakyang melaksanakan penataan ruang harus mentaati ketentuan tersebut, untuk menjamin keberlanjutan
pembangunan dan menjaga aset budaya
Bali.
DAFTAR
PUSTAKA
Adnyana,
P.I.K. 2W2.
Perubahan PemanfaatanRuang
dalam
Perspektif Masyarakat
AdatBali.
Studi
Kasus Padangsambian Denpasar.Disertasi.
Universitas Gadjah Mada.Yogya-karta.
Gelebet,
N.
1991. Tata Ruang BerdasarkanKebu-dayaan Tradisional
Bali.
Makalah LokakaryaUniversity
Consortiumof
Thehwironment.,
25 Juni. Denpasar.
Mantra,
l.B.
2W2.
Langkah-langkah
Penelitian Survai Usulan Penelitian dan l-aporattPenel-itian.
Edisi Ketiga. Yogyakarta: BadanPener-bit
Fakultas GeografiUGM
(BPFG).Mitchell,
8.,
Setyawan, B. dan Rahmi, D.H.2m0.
Pengelolaan
Sumberdayadan
Lingkungan.Cet. Pertama. Yogyakarta:
GMU
Press.Moleong,
Lexy,
J.
2000. Metodologi
PenelitianKualilatif.
Bandung:
PT.
Remaja
Rosda-karya.Singarimbun,
M.
dan Effendi, S.
(Editor).
1995.Metode Penelitian Survai.
Cet.
Kedua.
Ja-karta: PT. Pustaka LP3S Indonesia.
Soetrisno,
L.
1995. Menuju Masyarakat