• Tidak ada hasil yang ditemukan

PROBLEMATIKA HAK ASUH ANAK DALAM PERSPEKTIF HUKUM ISLAM DAN HUKUM POSITIF

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "PROBLEMATIKA HAK ASUH ANAK DALAM PERSPEKTIF HUKUM ISLAM DAN HUKUM POSITIF"

Copied!
19
0
0

Teks penuh

(1)

Doi Artikel : 10.46306/rj.v1i1.4 39

PROBLEMATIKA HAK ASUH ANAK DALAM PERSPEKTIF HUKUM ISLAM DAN HUKUM POSITIF

1Mohammad Hifni, 2Asnawi

1,2Universitas Bina Bangsa

Email : mohammadhifni83@gmail.com , srgasnawi@gmail.com

Abstrak

Seorang anak pada permulaan hidupnya sampai umur tertentu memerlukan orang lain dalam kehidupannya, baik dalam pengembangan fisiknya, maupun dalm pembentukan akhlaknya. Seseorang yang melakukan tugas hadanah sangat berperan dalam hal tersebut. Oleh sebab itu masalah hadanah mendapat perhatian khusus dalam ajaran Islam. Di atas pundak orangtuanyalah terletak kewajiban untuk melakukan tugas tersebut. Bilamana kedua orangtuanya tidak dapat atau tidak layak untuk tugas itu disebabkan tidak mencukupi syarat-syarat yang diperlukan menurut pandangan Islam, maka hendaklah dicarikan pengasuh yang mencukupi syarat-syaratnya.

Kata Kunci : Hak Asuh Anak, Hukum Islam, Hukum Positif

(2)

Doi Artikel : 10.46306/rj.v1i1.4 40

PENDAHULUAN

Beberapa pengertian hak asuh anak (hadhanah) menurut bahasa yaitu dalam kamus bahasa Indonesia hak adalah sesuatu yang benar, sungguh-sunguh ada; kekuasaan yang benar milik, kepunyaan, kewenangan, mempunyai wewenang (mempergunakan).

Sedangkan asuh adalah menjada dan mamelihara anak kecil; membimbing agar bisa berdiri.

Al-hidlanah dengan kasrah huruf “ha” adalah masdar dari kata hadlana, misalnya “hadlanas shabiyya” (dia mengasuh/memelihara bayi). Maksudnya: “hadlana wa hudlanah”

(asuhan/pemeliharaan). “Al-hidlnu” dengan kasrah “ha” juga berarti bagian dari badan mulai dari bagian bawah ketiak hingga bagian antara pusar dan pertengahan punggung di atas pangkal paha, termasuk dada, dua lengan atas dan bagian antara keduanya serta bagian samping sesautu.

“Hadhanah adalah apa yang terdapat di bawah ketiak dan antara pusat dengan bagian tangan belakang. Hadhanah at-thairu baidhanu artinya burung itu mengempit telornya dengan dua sayapnya dan merapatkannya ke tubuhnya.

Hadhanah menurut bahasa berarti meletakkan sesuatu dekat tulang rusuk seperti menggendong atau meletakkan sesuatu dalam pangkuan seorang ibu waktu menyusukan, meletakkan anak di pangkuannya, dan melindunginya dari segala yang menyakiti.

Hadhanah ialah menurut bahasa berarti “meletakkan sesuatu dekat tulang rusuk atau di pangkuan”, karena itu waktu menyusukan anaknya meletakkan anaknya itu di pangkuannya, seakan-akan ibu di saat itu melindungi dan memelihara anaknya, sehingga “hadhanah” dijadikan istilah yang maksudnya “pendidikan dan pemeliharaan anak sejak dari lahir sampai sanggup berdiri sendiri mengurus dirinya”.

Hadhanah berasal dari bahasa arab yang memapunyai arti antara lain : hal memelihara, mendidik, mengatur, mengurus segala kepentingan/ urusan anak-anak yang belum mumayyiz (belum dapat membedakan baik dan buruknya suatu tindakan bagi dirinya).

Hadhanah berasal dari kata “Hidhan”, artinya lambung seperti kata burung itu mengapit telur yang ada dibawah sayapnya. Mengasuh artinya memelihara dan mendidik.

Maksudnya adalah mendidik dan mengasuh anak-anak yang belum mumayyiz atau belum dapat membedakan antar yang baik dan yang buruk, belum pandai menggunakan pakaian dan bersuci sendiri dan sebagainya.

(3)

Doi Artikel : 10.46306/rj.v1i1.4 41

Hadhanah (Ar : al-hadhanah = di samping atau berada di bawah ketiak). Merawat dan mendidik seseoarang yang belum mumayyiz atau kehilangan kecerdasannaya, karena mereka tidak bisa mengerjakan keperluan diri sendiri.

Sedangkan Hadhanah menurut istilah ialah sebagai berikut :

Dalam istilah Fiqh digunakan dua kata namun ditujukan untuk maksud yang sama yaitu kaffalah dan hadhanah. Yang dimaksud dengan hadhanah atau kaffalah dalam arti sederhana ialah “pemeliharaan “ atau “pengasuhan”. Dalam arti yang lebih lengkap ialah pengasuhan anak yang masih kecil setelah terjadinya putus perkawinan. Hal ini dibicarakan dalam Fiqih karena secara praktis antara suami istri telah terjadi perpisahan sedangkan anak-anak memerlukan bantuan dari ayah atau ibunya. Dalam Kompilasi hukum Islam pemeliharaan anak atau hadhonah ialah kegiatan mengasuh, memelihara dan mendidik anak hingga dewasa atau berdiri sendiri.

Hadhanah ialah tugas menjaga dan mengasuh, mendidik bayi atau anak kecil sejak ia lahir sampai mampu menjaga dan mengatur dirinya sendiri.

Menurut hukum Islam, hadhanah ialah :

َ بِع

َ اِبَُّلِق تْس يَ لا وَ ُزِ ي مُي لاَْىِذَّلاَِة ْوُتْع مْلاَِو اَِة رْيِغَّصلاَِو اَ ِرْيِغَّصلاَِظْف ِحِبَ ِما يِقْلاَِن عٌَة را

ََِهْيِذ ْؤُيَاَّمِمَُهُت يا قِو وَ،ُهُحِلْصُيَا مِبَُهُدَّه ع ن وَِه ِرْم

َِلْق ع وَاًّيِسْف ن وَاًّيِمْس ِجَُهُت يِب ْر ت وَ،ُه ُّرُض ي و

َا هِتَّيِل ْوُئْس مِبَِع لاِطْضِلإْا وَِةا ي حْلاَِتا عِبا تِبَ ِض ْوُهُّنلاَى ل عَ يِوْق يَْي كَ،اًّي

َ

“Suatu sikap pemeliharaan terhadap anak kecil baik laki-laki maupun wanita atau yang kurang akal, belum dapat membedakan antara baik buruk dan baik, belum mampu dengan bebas diri sendiri dan tahu mengerjakan sesuatu untuk kebaikannya dan memliharanya dari sesuatu yang menyakiti dan membahayakannya, mendidik serta mengasuhnya baik fisik atau pun mental dan akal (Intelegensinya), supaya mampu menegakkan kehidupan sempurna dan bertangung jawab

Menurut Muhammad Jawad Mughniyah, bahwa hadhanah itu sama sekali tidak ada hubungannya dengan perwalian terhadap anak, baik yang menyangkut dengan perkawinan maupun sesuatu yang menyangkut hartanya. Hadhanah tersebut adalah semata-mata tentang perkara anak dalam arti mendidik dan mengasuhnya sehingga memerlukan seorang wanita pengasuh untuk merawatnya hingga ia dewasa.

Menurut Wahbah Az-Zuhaili dalam buku Fiqih Islam Waadillatuhu, hadhanah artinya pemeliharaan anak bagi orang yang berhak memeliharanya. Atau bisa juga diartikan memelihara

(4)

Doi Artikel : 10.46306/rj.v1i1.4 42

atau menjaga orang yang tidak mampu mengurus kebutuhannya sendiri karena tidak mumayyiz seperti anak-anak, orang dewasa tetapi gila. Pemeliharan disini mencangkup urusan makanan, pakaian, urusan tidur, membersihkan memandikan, mencuci pakaian dan sejenisnya.

Para ahli fiqh mendefinisikan bahwa hadhanah ialah melakukan pemeliharaan anak-anak yang masih kecil baik laki-laki maupun perempuan atau yang sudah besar, tetapi belum tamyiz, tanpa perintah dari padanya, menyediakan sesuatu yang menjadikan kebaikannya, menjaganya dari sesuatu yang menyakiti dan merusaknya, mendidik jasmani, rohani dan akalnya agar mampu berdiri sendiri menghadapi hidup dan memikul tanggung jawabnya.

Dari beberapa pengertian diatas maka dapat di simpulkan bahwa hadhanah ialah hak asuh anak atau pemeliharan anak baik laki-laki maupun perempuan yang masih kecil karena belum bisa mebedakan antara yang baik dan yang buruk (belum mumayiz) dan menyediakan sesuatu yang menjadikan kebaikannya, serta menjaganya dari sesuatu yang menyakiti dan merusaknya.

Seorang anak pada permulaan hidupnya sampai umur tertentu memerlukan orang lain dalam kehidupannya, baik dalam pengembangan fisiknya, maupun dalm pembentukan akhlaknya.

Seseorang yang melakukan tugas hadanah sangat berperan dalam hal tersebut. Oleh sebab itu masalah hadanah mendapat perhatian khusus dalam ajaran Islam. Di atas pundak orangtuanyalah terletak kewajiban untuk melakukan tugas tersebut. Bilamana kedua orangtuanya tidak dapat atau tidak layak untuk tugas itu disebabkan tidak mencukupi syarat-syarat yang diperlukan menurut pandangan Islam, maka hendaklah dicarikan pengasuh yang mencukupi syarat-syaratnya. Untuk kepentingan seorang anak, sikap peduli dari kedua orangtua terhadap masalah hadhanah memang sangat diperlukan. Jika tidak, maka bisa mengakibatkan seorang anak tumbuh tidak terpelihara dan tidak terarah seperti yang diharapkan. Maka yang paling diharapkan adalah keterpaduan kerjasama antara ayah dan ibu dalam melakukan tugas ini. Jalinan kerjasama antara keduanya hanya akan bisa diwujudkan selama kedua orang tua itu masih tetap dalm hubungan suami istri.

Dalam suasana demikian, kendatipun tugas hadhanah sesuai dengan tabiatnya akan lebih banyak dilakukan oleh pihak ibu, namun peranan ayah tidak bisa diabaikan, baik dalam memenuhi semua kebutuhan yang memperlancar tugas hadhanah, maupun dalam menciptakan suasana damai dalam rumah tangga dimana anak diasuh dan dibesarkan.

Harapan diatas tidak akan pernah tercapai, bilamana terjadi perceraian antara ayah dan ibu si anak. Peristiwa perceraian, apapun lasannya merupakan petaka bagi anak. Di saat itu anak tidak

(5)

Doi Artikel : 10.46306/rj.v1i1.4 43

lagi dapat merasakan kasih sayang sekaligus dari kedua orangtuanya. Padahal merasakan kasih sayang sekaligus dari kedua orangtua merupakan unsur penting bagi pertumbuhan mental seorang anak. Pecahnya rumah tangga kedua orangtua, tidak jarang membawa kepada terlantarnya pengasuhan anak. Itulah sebabnya perceraian sedapat mungkin harus dihindarkan.

PEMBAHASAN

Menurut Sayyid Sabiq bahwa mengasuh anak-anak yang masih kecil hukumnya wajib, sebab mengabaikannya berarti menghadapkan anak-anak yang masih kecil kepada bahaya kebinasaan.

firman Allah SWT:

“Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu….” (QS at-Tahrim: 6)

Pada ayat ini orang tua diperintahkan Allah SWT untuk memelihara keluarganya dari api neraka, dengan berusaha agar seluruh anggota keluarganya itu melaksanakan perintah-perintah dan meninggalkan larangan-larangan Allah, termasuk anggota keluarga dalam ayat ini adalah anak.

Menurut Wahbah Az-Zuhaili dalam buku Fiqih Islam Waadillatuhu bahwa hadhanah hukumnya wajib karena anak yang tidak dipelihara akan terancam keselamatannya. Karena itu hadhanah hukumnya wajib sebagaimana juga wajibnya memberi nafkah kepadanya.

Ulama fiqih sepakat menyatakan bahwa hukum merawat dan mendidik anak adalah wajib, karena apabila anak yang masih kecil , belum mumayiz, tidak dirawat dan dididik dengan baik, maka akan berakibat buruk pada diri mereka, bahkan bisa menjurus kepada kehilangan nyawa mereka. Oleh sebab itu, mereka wajib dipelihara, dirawat, dan didik dengan baik.

Para fuqaha terkadang mengedepankan salah satu diantara orang-orang yang berhak mengurus hadhanah anak berdasarkan kemaslahatan anak yang dipelihara. Dalam hal ini mereka lebih mengedepankan kaum wanita untuk mengurus hadhanah anak karena mereka lebih lembut, kasih sayang, dan sabar dalam mendidik. Kemudian dari mereka dipilih salah satu yang paling dekat dengan anak yang akan dipelihara. Setelah itu baru memilih orang yang berhak memelihara dari kalangan laki-laki. Dalam hal ini , para ulama terkadang berbeda pendapat ketika menentukan urutan yang tepat sesuai dengan kemaslahatan yang dibutuhkan. Orang-orang yang berhak mengurus hadhanah itu terkadang hanya kaum perempuan saja, terkadang juga hanya untuk kaum

(6)

Doi Artikel : 10.46306/rj.v1i1.4 44

laki-laki saja, dan kadang juga untuk kedua-duanya bergantung pada usia anak yang akan dipelihara. Dan pada usia tertentu kaum laki-laki lebih mampu dalam memelihara anak dari pada wanita.

Dalam Pasal 105 KHI, bahwa pemeliharaan anak yang belum mumayyiz atau belum berumur 12 tahun adalah hak ibunya, dan pemeliharaan anak yang sudah mumayyiz diserahkan kepada anak untuk memilih diantara ayah atau ibunya sebagai pemegang hak pemeliharaannya.sedangkan biaya pemeliharaan di tanggung oleh ayahnya.

Jika terjadi perpisahan antara ibu dan ayah sedang mereka punya anak, maka ibulah yang lebih berhak terhadap anak itu dari pada ayahnya, selama tidak ada alasan yang mencegah/menggugurkan ibu dalam melalukan hadhanah tersebut. Kenapa ibu yang diutamakan karena dialah yang berhak untuk melakukan hadhanah dan menyusui. Dan dia (ibu) lebih mengetahui dan lebih mampu mendidiknya, juga karena ibu lebih mempunyai kesabaran untuk melakukan tugas ini yang tidak dipunyai oleh bapak. Oleh karena itu dalam mengatur kemaslahatan anak ibu lebih diutamakan.

َْبَِاللهََِدْب عَ ْن ع

َ بَ نا كا ذ هَِنْبََّنِإَ مَّل س وَِهْي ل عَُاللهَىَّل صَِاللهَُل ْوُس را يَ:َ ْت لا قًَة أ رْمِاََّن أَهنعَاللهَيضرَو ٍرْم عَِن

ََىِيْد ث وَ،ًءا عِوَُه لَىِن ط

اهلَ لا ق فَ،ىِ نِمَُهُع ِزْن يََنأَداراوَىنقلطَُهْاُب اََّنِإَوَ،ًءا و ِحَُه لَى ِرْج ِح وَ،ًءا قِسَُه ل

ََْم لا مَِهِبَُّق ح اَِتْن أَ مَّل س وَِهْي ل عَُاللهَىَّل صَِاللهَُل ْوُسَ

)مكاحلاوَهححصوَدوادَوباوَدمحاَهجرخا(َْي ِح كْن ت

َ

َ

“Dan diriwayatkan dari Abdullah bin amr bahwa seorang wanita bertanya: “ya Rasulullah Saw, akulah yang telah mengandung anak ini, akulah yang menyusui dan pangkuan ku sebagai tempat ia berlindung. Kemudian ayahnya menceraikanku dan ingin mengambilnya dari ku?”kemudian Rasulullah Saw, bersabda kepadanya: “kamu lebih berhak terhadap anak ini dari pada suamimu selama kamu belum menikah,“ (HR. Ahmad, Abu Daud, Baihaqi dan Hakim dan dia mensahkannya)

Jika dalam hadhanah ibulah yang pertama kali berhak, maka dalam hal ini ahli fiqh kemudian memperhatikan urutan-urutan yang berhak melakukan hadhanah. Kalau yang mendidik anak kecil tadi bukan ibu bapaknya, maka lebih didahulukan perempuan dari pada laki-laki kalau derajat kekeluargaan keduanya dengan anak sama jauhnya. Tetapi kalau ada yang lebih dekat, didahulukan yang lebih dekat, masalah ini perlu ditinjau dari tiga sudut.

(7)

Doi Artikel : 10.46306/rj.v1i1.4 45

a. Kalau pendidik-pendidik itu beberapa perempuan saja dan jalan kefamilian mereka terhadap si anak bertingkat-tingkat, maka anak diserahkan kepada ibunya, kalau ibu tidak ada diserahkan kepada ibu dari ibu itu (nenek) dan seterusnya ke atas. Kalau ibu- ibu dari pihak ibu tidak ada diserahkan kepada ibu-ibu dari pihak bapak, kemudian kepada saudara perempuan, kemudian ke anak perempuan dari pihak saudara perempuan, kemudian kepada anak perempuan dari pihak laki-laki, kemudian ke saudara perempuan dari bapaknya.

b. Kalau semua pendidik itu laki-laki maka yang lebih berhak adalah bapak, kemudian kakek, dan seterusnya, kemudian saudara-saudara laki-laki baik seibu sebapak atau sebapak atau seibu, kemudian anak laki-laki dari saudara, kemudian paman dari pihak bapak.

c. Kalau pendidik-pendidik itu laki-laki dan perempuan, maka ibu lebih berhak dari pada semuanya, kemudian ibu dari ibu, kemudian bapak, kemudian ibu dari pihak bapak, jika ibu-ibu dari ibu, bapak, ibu bapak tidak ada, si anak diserahkan kepada famili lain dengan cara yang lebih dekat hubungannya didahulukan dari pada yang lebih jauh.1 Apabila seorang ibu tidak mampu mengasuh anaknya, kepada siapa hak asuhan tersebut di alihkan. Para ulama berbeda pendapat dalam hal ini. Ualama Hanafi berpendapat bahwa hak itu berturut-turut dialihkan dari ibu kepada ibunya ibu, ibunya ayah, saudara-saudara perempuan sekandung, saudara-saudara perempuan seibu, saudara-saudara perempuan seayah, anak perempuan dari saudara perempuan kandung, anak perempuan dari saudara seibu, dan demikian seterusnya hingga pada bibi dari pihak ibu dan ayah. Menurut Ulama maliki bahwa hak asuhan itu berturut-turut dialihkan dari ibu kepada ibunya ibu dan seterusnya keatas, saudara perempuan ibu sekandung, saudara perempuan ibu seibu, saudara perempuan nenek perempuan dari pihak ibu, saudara perempuan kakek dari pihak ayah, ibu ibunya ayah, ibu bapaknya ayah dan seterusnya. Pendapat Ulama Safi’i, hak asuhan secara berturut-turut adalah ibu, ibunya ibu dan seterusnya keatas dengan syarat mereka itu adalah pewaris-pewaris si anak. Setelah itu adalah ayah, ibunya ayah, ibu dari ibunya ayah, dan seterusnya hingga keatas dengan syarat mereka adalah pewaris-pewarisnya pula. Selanjutnya adalah kerabat–kerabat dari pihak ibu, dan disusul kerabat-kerabat dari ayah. Sedangkan menurut pendapat Ulama Hambali adalah hak asuh itu

1 H. Sulaiman Rasjid, Op. Cit., Hlm. 427

(8)

Doi Artikel : 10.46306/rj.v1i1.4 46

berturut-turut berada pada ibu, ibunya ibu, ibu dari ibunya ibu, ayah, ibu-ibunya, kakek, ibu-ibu dari kakek, saudara perempuan kandung, saudara perempuan seibu, saudara perempuan seayah, saudara perempuan ayah sekandung, seibu dan seterusnya.

Adapun dasar urutan orang-orang yang berhak melakukan hadhanah di atas ialah:

a. Kerabat pihak ibu didahulukan atas kerabat pihak bapak jika tingkatannya dalam kerabat adalah sama.

b. Nenek perempuan didahulukan atas saudara perempuan, karena anak merupakan bagian dari kakek, karena itu nenek lebih berhak disbanding dengan saudara perempuan.

c. Kerabat sekandung didahulukan dari kerabat yang bukan sekandung dan kerabat seibu lebih didahulukan atas kerabat seayah.

d. Dasar urutan ini ialah urutan kerabat yang ada hubungan mahram, dengan ketentuan bahwa pada tingkat yang sama pihak ibu didahulukan atas pihak bapak.

Apabila kerabat yang ada hubungan mahram tidak ada hak hadhanah pindah kepada kerabat yang tida ada hubungan mahram.

Jika hadhanah telah selesai maka ia dikembalikan kepada ayah atau kakeknya. Mulai saat itu sang ayah berhak mengurus anak hingga usia baligh untuk kemudian diberi pilihan, apakah ingin hidup sendiri atau memilih hidup bersama salah satu dari kedua orang tua. Terkecuali jika sianak itu mempunyai keterbatasan mental dan tidak mampu mengurus dirinya sendiri, anak itu diurus oleh sang ayah untuk mencegah terjadinya fitnah atau sejenisnya, dan juga untuk menidiknya jika terjadi sesuatu yang tidak diinginkan. Setelah anak baligh, sang ayah tidak wajib memberikan nafkah kepadanya, namun tetap boleh mengurus segala keperluannya. Jika sianak tumbuh dalam keadaan keterbatasan mental maka sang ibu lebih berhak mengurusnya, baik anak itu laki-laki maupun perempuan.

Adapun bagi anak perempuan setelah masa hadhanah habis, ia ikut bersama ayah atau kakeknya jika memang asih perawan, atau sudah janda dikahawatirkan terjadi fitnah.akan tetapi tidak terjadi fitnah, akhlaknya baik, pemikirannya lurus dan sudah berusia empat puluh tahun maka ia boleh hidup sendirian. Sang ayah tidak wajib member nafkah kepada putrinya jika ia

(9)

Doi Artikel : 10.46306/rj.v1i1.4 47

menolak tinggal bersamanya, atau ikut bersamanya tetapi sebenarnya ia tidak berhak2

Ibu tidak berhak atas upah hadhanah, seperti upah menyusui, selama ia masih menjadi istri dari ayah anak kecil itu, atau selama masih dalam iddah. Karena dalam keadaan tersebut, ia masih mempunyai hak nafkah sebagai istri atau nafkah masa iddah.3 Allah SWT. berfirman :

“Para ibu hendaklah menyusukan anak-anaknya selama dua tahun penuh, Yaitu bagi yang ingin menyempurnakan penyusuan. dan kewajiban ayah memberi Makan dan pakaian kepada Para ibu dengan cara ma'ruf. seseorang tidak dibebani melainkan menurut kadar kesanggupannya. janganlah seorang ibu menderita kesengsaraan karena anaknya dan seorang ayah karena anaknya, dan warispun berkewajiban demikian. apabila keduanya ingin menyapih (sebelum dua tahun) dengan kerelaan keduanya dan permusyawaratan, Maka tidak ada dosa atas keduanya. dan jika kamu ingin anakmu disusukan oleh orang lain, Maka tidak ada dosa bagimu apabila kamu memberikan pembayaran menurut yang patut. bertakwalah kamu kepada Allah dan ketahuilah bahwa Allah Maha melihat apa yang kamu kerjakan”.(Q.S.

Al-Baqarah (2):233).4

Adapun sesudah habis masa iddahnya, maka ia berhak atas upah menyusui.

Sebagaimana firman Allah SWT.

“ tempatkanlah mereka (para isteri) di mana kamu bertempat tinggal menurut kemampuanmu dan janganlah kamu menyusahkan mereka untuk menyempitkan (hati) mereka. dan jika mereka (isteri-isteri yang sudah ditalaq) itu sedang hamil, Maka berikanlah kepada mereka nafkahnya hingga mereka bersalin, kemudian jika mereka menyusukan (anak-anak)mu untukmu Maka berikanlah kepada mereka upahnya, dan musyawarahkanlah di antara kamu (segala sesuatu) dengan baik; dan jika kamu menemui kesulitan Maka perempuan lain boleh menyusukan (anak itu) untuknya.”5

2 Wahbah Az-Zuhaili, Op.Cit, Hlm.81-82

3 Slamet Abidin dan Aminudin, Op.Cit,Hlm.181

4 Al-Qur’an dan Terjemahnya, (Jakarta: Departemen Agama, 1971), Hlm..57.

5 Ibid

(10)

Doi Artikel : 10.46306/rj.v1i1.4 48

Perempuan selain ibunya boleh menerima upah menyusui, sejak ia menangani tersebut, seperti halnya perempuan penyusu yang bekerja menyusui anak kecil dengan bayaran (upah).

Seorang ayah wajib membayar upah penyusuan, juga wajib membayar ongkos sewa rumah atau perlengakapannya jika sekiranya si ibu tidak memiliki rumah sendiri untuk mengasuh anak kecilnya. Ia juga wjib membayar pembantu rumah tangga atau menyediakan pembantu tersebut jika si ibu membutuhkannya, dan ayah memiliki kemampuan untuk itu. Hal ini bukan termasuk dalam bagian nafkah khusus bagi anak kecil, seperti: makan, minun, tempat tidur, obat-obatan dan keperluan lain yang pokok yang sangat dibutuhkannya, tetapi gaji ini hanya wajib di keluarkan saat ibu pengasuh mengenai asuhannya. Dan gaji ini menjadi utang yang ditanggung oleh ayah serta baru lepas dari tanggungan ini kalau di lunasi atau di bebaskan.

Dalam KHI pasal 104

a. Semua biaya penyusuan anak di pertanggungjawabkan kepada ayahnya. Apa bila ayahnya telah meninggal dunia, maka biaya penyusuan dibebankan kepada orang yang berkewajiban member nafkah kepada ayahnya atau walinya.

b. Penyusuan dilakukan untuk paling lama dua tahun dan dapat dilakukan penyapihan dalam masa kurang dua tahun denga persetujuan ayah ibunya.

Menurut mayoritas ulama selain Hanafiyyah seorang hadhin (orang yang mengasuh anak) tidak berhak meminta upah hadhanah, baik setatusnya sebagai ibu maupun selainnya karena seorang ibu berhak mendapat nafkah jika setatusnya menjadi seorang istri. Adapun jika statusnya selain ibu dari si anak maka nafkahnya ditanggung ayahnya. Akan tetapi jika anak yang dipeliharanya membutuhkan bantuan yang lain, seperti memasak dan mencuci pakain maka hadhin berhak mendapat upah.

Ulama Hanafiyyah berkata, seorang hadhinah (orang yang mengasuh anak) tidak berhak mendapatakan upah hadhanah jika setatusnya sebagai istri atau dalam masa iddah cerai, baik cerai bai’in atau cerai raj’i, seperti halnya tidak mendapatkan upah radha’ karena wajibnya kedua hal tersebut seperti utang. Di samping ia juga massih berhak mendapatkan nafkah sebagai istri maupun masa dalam iddah, dan nafkah itu cukup untuk keperluan hadhanah.

Seorang hadhin yang statusnya bukan istri juga berhak mendapatka upah hadhanah, namun upah tersebut bukan upah menysui dan nafkah untuk anak. Jadi, semuanya ada tiga kewajiban, upah hadhinah, upah menyusui, dan nafkah si anak.

(11)

Doi Artikel : 10.46306/rj.v1i1.4 49

Undang-undang Negara Syiria pasal 143 mengambil pendapat madzhab Hanafiyyah. Bunyi pasal tersebut adalah, “seorang ibu tidak berhak mendapat upah hadhanah anaknya jika statusnya sebagai istri atau dalam masa iddah cerai.

Dalam literature fiqih disebutkan dua periode bagi anak dalam kaitannya dengan hadhanah, yaitu masa sebelum mumayyiz, dan masa sesudah mumayyiz. Periode sebelum mumayyiz adalah dari waktu lahir sampai usia menjelang tujuh tahun atau delapan tahun. Pada masa tersebut pada umumnya seorang anak belum lagi mumayyiz atau belum bisa membedakan antara yang bermanfaat dan yang berbahaya bagi dirinya. Periode yang kedua yaitu periode mumayyiz, yaitu masa dimana usia anak tujuh tahun sampai menjelang balig berakal. Pada masa ini seorang anak secara sederhana telah mampu membedakan mana yang berbahaya dan mana yang bemanfaat bagi dirinya. Abdul Rahman I. Doi, dalam bukunya menuliskan pemeliharaam atas seorang anak lelaki sampai usia tujuh tahun dan bagi perempuan sampai mencapai usia puber. Sedangkan madzhab Syi’ah Imamiyah berpendapat sampai usia dua tahun bagi lelaki dan tujuh tahun bagi perempuan.

Kompilasi Hukum Islam pada bab 24 masalah pemeliharaan anak pasal 98 menjelaskan bahwa batas usia anak dalam pengawasan orang tuanya adalah sampai usia anak 21 tahun selama belum melakukan pernikahan dan pada kasus perceraian dijelaskan dalam pasal 105 bahwasanya pada periode mumayyiz (dalam hal ini anak berumur kurang dari 12 tahun) hak hadhanah ada pada tangan ibu dan setelah masa mumayyiz anak diberi hak untuk memilih.

Tidak terdapat ayat-ayat al-Qur’an dan hadits yang menerangkan dengan tugas tentang masa hadhanah, hanya terdapat syarat-syarat yang menerangkan masa tersebut. Karena itu para ulama melakukan ijtihad sendiri-sendiri dalam menetapkannya dengan berpedoman dengan isyarat- isyarat itu seperti madzhab Hanafi, beliau bependapat bahwa hadhanah anak laki-laki berakhir pada saat anak itu tidak lagi memerlukan penjagaan-penjagaan dan telah dapat mengurus keperluannya sehari-hari, sedangkan masa hadhanah wanita berakhir apabila ia telah baligh atau telah datang masa haidh pertamanya.

Sedangkan pengikut madzhab Hanafi yang terakhir ada yang menetapkan bahwa masa hadhanah itu berakhir umur sembilan tahun bagi anak laki-laki dan umur sebelas tahun bagi anak perempuan.

Menurut Sayyid Sabiq, hadhanah berhenti (habis) bila si anak kecil tersebut sudah tidak lagi

(12)

Doi Artikel : 10.46306/rj.v1i1.4 50

memerlukan pelayanan perempuan, telah dewasa dan dapat berdiri sendiri, serta telah mampu untuk mengurus sendiri kebutuhan pokoknya seperti: makan sendiri, berpakaian sendiri, mandi sendiri. Dalam hal ini tidak ada batasan tertentu tentang waktu habisnya.

Hanya saja ukuran yang dipakai ialah tamyiz dan kemampuan untuk berdiri sendiri. Jika si anak kecil telah dapat membedakan ini dan itu, tidak membutuhkan pelayanan perempuan dan dapat memenuhi kebutuhan pokok sendiri, maka hadhanahnya telah habis. Fatwa pada madzhab Hanafi dan lain-lainnya yaitu: “masa hadhanahnya berakhir (habis) bilamana si anak telah berumur 7 tahun, kalau laki-laki dan 9 tahun kalau ia anak perempuan”.

Mengenai masalah masa hadhanah kalangan para imam madzhab berbeda pendapat dalam menentukan hal tersebut antara laian : Menurut ulama madzhab Maliki, masa asuh anak laki- laki adalah sejak dilahirkan hingga baligh, sedangkan anak perempuan hingga menikah, sedangkan menurut madzhab Hambali, masa asuh untuk anak laki-laki dan anak perempuan adalah (7) tujuh tahun, dan sesudah itu si anak disuruh apakah tinggal bersama ibu atau ayahnya.

Beda halnya menurut pandangan madzhab Hanafi yang berpendapat bahwa masa asuhan adalah tujuh tahun untuk laki-laki dan Sembilan tahun untuk perempuan. Sedangkan madzhab Syafi’i mengatakan tidak ada batasan tertentu bagi asuhan. Anak tetap tinggal bersama ibunya sampai dia bisa menentukan pilihan apakah tinggal bersama ibu atau ayahnya. Kalau seorang anak laki- laki memilih tinggal bersama ibunya, maka ia boleh tinggal bersama ibunya pada malam hari dan dengan ayahnya di siang harinya, agar si ayah bisa mendidiknya. Seadngkan bila anak itu anak perempuan dan memilih tinggal bersama ibunya, maka ia boleh tinggal bersama ibunya siang dan malam. Tetapi bila anak memilih tinggal bersama ibu dan ayahnya, maka dilakukan undian, bila si anak diam (tidak memberikan pilihan) dia ikut bersama ibunya. Menurut madzhab Hambali bahwa masa asuh anak laki-laki dua tahun, sedangkan anak perempuan tujuh tahun. Sesudah itu si anak disuruh memilih apakah tinggal bersama ibu atau ayahnya. Sementara menurut Imamiyah, masa asuh untuk anak laki-laki dua (2) tahun, kalau perempuan tujuh tahun. Sesudah itu hak ayahnya hingga dia mencapai umur sembilan (9) tahun bila dia perempuan, dan lima belas tahun bila anak laki-laki, setelah itu baru si anak disuruh memilih apakah ikut bersama bapak atau ibunya.

Dari beberapa pendapat Imam madzhab tersebut diatas, maka penulis menyimpulkan bahwa hak pengasuhan anak baik laki-laki maupun wanita akan berakhir apabila anak-anak itu telah

(13)

Doi Artikel : 10.46306/rj.v1i1.4 51

mumayyiz. Dalam arti sampai anak tersebut dapat membedakan antara yang baik dan buruk bagi dirinya sehingga ia bisa menentukan pilihannya antara ikut ayah atau ikut ibunya. Pendapat tersebut dapat dipahami bahwa hak memilih berlaku bagi anak laki-laki maupun anak perempuan setelah mereka sampai pada umur mumayyiz. Oleh karena itu, selama anak yang diasuh dan dididik telah sampai pada batas umur mumayyiz, dan ia masih suka tinggal bersama ibunya, maka ayahnya tidak boleh merebutnya dari ibunya. Apalagi bagi anak perempuan pada masa umur mumayyiz, ia perlu bimbingan demi masa depannya, terutama hal-hal yang menyangkut pekerjaan di rumah atau hal-hal yang menyangkut tentang kewanitaan. Untuk hal-hal seperti ini, tentunya ibu lebih mengetahui dari pada ayahnya. Akan tetapi sebaliknya, jika anak tersebut memilih ayahnya, maka ayahnya berhak untuk membawa dan memeliharanya.

Masalah hadhanah merupakan hal yang sangat penting untuk dilaksankan. Oleh karena itu orang yang akan melaksanakan hadhanah haruslah mempunyai kecakapan, kemampuan dan kemauan serta perlu adanya syarat-syarat tertentu yang harus dipenuhinya. Beberapa syarat bagi yang melakukan hadhanah, sebagai berikut:

1. Yang melakukan hadhanah hendaklah sudah balig berakal, tidak terganggu ingatannya, sebab hadhanah itu merupakan pekerjaan yang penuh tanggung jawab. Oleh karena itu, seorang ibu yang mendapat gangguan jiwa atau gangguan ingatn tidal layak melakukan tugas hadhanah. Ahmad bin Hanbali menambahkan agar yang melakukan hadhanah tidak mengidap penyakit menular.

2. Mempunyai kemampuan dan kemauan untuk memelihara dan mendidik mahdun (anak yang diasuh), dan tidak terikat dengan suatu pekerjaan yang bisa mengakibatkan tugas hadhanah menjadi terlantar.

3. Sesorang yang melakukan hadhanah hendaklah dapat dipercaya memegang amanah, sehingga dengan itu dapat lebih menjamin pemeliharaan anak. Orang yang rusak akhlaknya tidak dapt memberikan contoh yang baik kepada anak yang diasuh, oleh karena itu tidak layak melakukan tugas ini.

4. jika yang melakukan hadhanah itu ibu kandung dari anak yang diasuh, disyaratkan tidak kawin dengan laki-laki yang lain. Dasarnya adalah penjelasan Rasulullah bahwa seorang ibu hanya mempunyai hak hadhanah bagi anaknya selama ia belum menikah dengan lelaki lain (HR. Abu Daud). Adanya syarat tersebut disebabkan kekhawatiran suami kedua tidak

(14)

Doi Artikel : 10.46306/rj.v1i1.4 52

merelakan istrinya disibukan mengurus anaknya dari suami pertama. Oleh karena itu, seperti disimpulkan ahli-ahli fiqih, hak hadhanahnya tidak menjadi gugur jika ia menikah dengan kerabat dekat si anak, yang memeperlihatkan kasih sayang dan tanggung jawabnya.

Demikan pula tidak menjadi gugur hak hadhanahnya apabila suami keduanya rela dan menerima kenyataan. Hal itu terjadi pada diri Ummu Salamh, ketika ia menikah dengan Rasulullah, anaknya dari suami pertama tetap dalm asuhannya (HR. Ahmad). Berdasarkan kenyataan ini Ibnu Hazmin berpendapat tidak gugur hak hadhanah seorang ibu dengan menikahnya dia dengan lelaki lain, kecuali jika suami kedua itu jelas menolaknya.

5. Seseorang melakukan yang hadhanah harus beragam Islam. Seorang nonmuslim tidak berhak dan tidak boleh ditunuk sebagai pengasuh. Tugas mengasuh termasuk didalamnya usaha mendidik anak menjadi muslim yang baik, dalam hal ini menjadi kewajiban mutlak atas kedua orangtua

Dalam buku H. Sulaiman Rasjid menjelaskan bahwa syarat-syarat menajdi pendidik harus berakal, merdeka, menjalankan agama, dapat menjaga kehormatan dirinya, orang yang dipercayai, orang yang menetap di dalam negeri anak yang dididiknya, keadaan perempuan tidak bersuami, kecuali kalau dia bersuami dengan keluarga dari anak yang memang berhak pula untuk mendidik anak itu, maka haknya tetap.

Begitu pula syarat-syarat untuk menjadi hadhanah ialah:

a. Yang melakukan hadhanah hendaklah sudah baligh, tidak terganggu ingatannya, sebab hadhanah itu merupakan pekerjaan yang penuh tanggung jawab.

b. Mempunyai kemampuan dan kemauan untuk memelihara dan mendidik (mahdun) anak yang diasuh, dan tidak terikat dengan suatu pekerjaan yang bisa mengakibatkan tugas hadhanah menjadi terlantar.

c. Seorang yang memegang hadhanah hendaklah dapat dipercaya memegang amanah, sehingga dengan begitu dapat lebih menjamin pemeliharaan anak.

d. Jika yang akan melakukan hadhanah itu ibu kandung dari anak tersebut, diisyaratkan tidak kawin dengan laki-laki lain. Dasarnya adalah penjelasan Rasulullah bahwa seorang ibu hanya mempunyai hak hadhanah bagi anaknya selama ia belum menikah dengan laki-laki lain (HR. Abu Daud).

(15)

Doi Artikel : 10.46306/rj.v1i1.4 53

e. Seorang yang melakukan hadhanah harus beragama Islam, seorang non muslim tidak berhak dan tidak boleh ditunjuk sebagai pengasuh.

Para ulama madzhab sepakat bahwa dalam asuhan seperti itu diisyaratkan bahwa orang yang mengasuh harus berakal sehat, bisa dipercaya, suci diri, bukan penari, dan bukan peminum khamar, serta tidak mengabaikan anak yang diasuhnya. Adapun tujuan dari keharusan adanya sifat-sifat tersebut adalah untuk memelihara dan menjamin kesehatan anak dan pertumnuhan moralnya, syarat-syarat ini berlaku pula bagi pengasuh laki-laki.

Sementara ulama madzhab berbeda pendapat tentang apakah Islam merupakan syarat dalam asuhan. Seperti menurut madzhab:

d. Imamiyah dan Syafi’i, seorang kafir tidak boleh mengasuh anak yang beragama Islam, sedangkan madzhab-madzhab lainnya tidak mensyaratkannya. Hanya saja ulama madzhab Hanafi mengatakan bahwa, kemurtadan wanita atau laki-laki yang mengasuh, menggugurkan hak asuhan.

e. Imamiyah berpendapat bahwa pengasuh harus terbebas dari penyakit lepra dan belang, yang penting dia tidak mambahayakan kesehatan si anak. Hak asuh bagi ibu gugur secara mutlak karena perkawinannya dengan laki-laki lain, baik suaminya itu memiliki kasih saying pada si anak maupun tidak.

f. Menurut Hanafi, Syafi’i, Imamiyah dan Hambali, apabila ibu si anak bercerai pula dengan suaminya yang kedua, maka larangan bagi haknya untuk mengasuh si anak dicabut kembali, dan hak itu dikembalikan sesudah sebelumnya menjadi gugur karena perkawinannya dengan laki-laki yang kedua itu.

g. Maliki mengatakan bahwa, haknya tersebut tidak bisa kembali dengan adanya perceraian itu.

Ibnu Qoyyim sebagaimana yang dikutip oleh Sayyid Sabiq menjelaskan, bahwa persyaratan seorang yang melaksanakan hadhanah itu tidak perlu harus adil, sebab persyaratan yang demikian itu sangat sulit dipenuhi, kalah hal ini dijadikan syarat kehadhanahnya maka anak-anak di dunia ini banyak yang terlantar yang akan akibatnya akan semakin bertambah besar kesulitan bagi umat manusia.

Lebih lanjut Ibnu Qoyyim mengemukakan bahwa Nabi Muhammad SAW dan para sahabatnya tidak pernah melarang seorang yang durhaka untuk mendidik dan mengasuh anaknya

(16)

Doi Artikel : 10.46306/rj.v1i1.4 54

atau mengawinkan orang yang berada dalam perwaliannya. Banyak orang yang durhaka tetapi ia tetap hati-hati dalam menjaga kehormatan anak-anaknya. Islam tidak pernah mencabut anak dari asuhan ibu bapaknya atau salah seorang dari pada yang durhaka. Selama ini hanya murid-murid Imam Ahmad dan Syafi’i yang mensyaratkan “adil” merupakan syarat yang harus dipenuhi oleh seorang yang melaksanakan hadhanah.

Demikian pula seorang pengasuh hendaklah dapat dipercaya memegang amanah dan berakhlak baik. Persyaratan ini dimaksudkan, karena hadhanah itu termasuk tugas mendidik dan mengarahkan anak kepada akhlak yang mulia. Bagaimana mungkin tujuan tersebut dapat dicapai jika mengasuhnya saja tidak memberikan contoh dengan akhlak yang baik.

Tugas Hadhanah adalah termasuk dalam usaha mendidik anak menjadi seorang muslim/muslimah yang baik, dan hal itu menjadi kewajiban mutlak atas kedua orang tua. Dalam surat At-Tahrim ayat 6 dinyatakan:

“Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, keras, dan tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan”.(At-Tahrim (66):6).

Ayat ini mengajarkan agar memelihara diri dan keluarga dari siksaan neraka. Untuk tujuan itu perlu adanya pendidikan dan pengarahan dari sejak kecil. Tujuan tersebut akan sulit tercapai bilamana yang mendampingi atau yang mengasuh anak itu orang yang rusak akhlaknya. Anak- anak yang sedang berada di bawah asuhan dan pemeliharaan seseorang, matanya akan selalu tertuju kepada tingkah laku pengasuh yang selalu berada di dekatnya. Anak-anak itu akan langsung mencerna apa yang dilihat dan didengarnya dan menganggap baik setiap sesuatu yang dianggap baik setiap sesuatu yang dianggap baik oleh pengasuhnya. Sebaliknya, sesuatu itu akan dianggapnya tidak baik, bilamana tidak dianggap baik oleh orang yang mengasuhnya.

C. Hak Asuh Anak Dalam Hukum Positif

Dalam undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan telah disebutkan tentang hukum penguasaan anak secara tegas yang merupakan rangkaian dari hukum perkawinan di Indonesia, akan tetapi hukum penguasaan anak itu belum diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 9 tahun 1975 secara luas dan rinci. Oleh karena, masalah hadhanah ini belum dapat

(17)

Doi Artikel : 10.46306/rj.v1i1.4 55

deiberlakukan secara efektif sehingga proses pengadilan dilingkungan Peradilan Agama pada waktu itu masih merujuk pada hukum hadhanah dalam kitab-kitab fiqih. Baru setelah diberlakukan Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang peradilan agama, dan Inpres Nomor 1 tahun 1991 tentang penyebar luasan Kompilasi Hukum Islam, masalah hadhanah menjadi hukum positif di Indonesia dan Peradilan Agama diberi wewenang untuk menyelesaikannya.

Dalam undang-undang Nomor 1 Tahun 1991 tentang perkawinan pasal 98-106 dijelaskan bahwa orangtua wajib memelihara dan mendidik anak-anaknya sampai usia 21 tahun dan belum melakukan pernikahan. Kewajiban orangtua memelihara dan menguasai anak meliputi pengawasan (menjaga keselamat jasmani dan rohani), pelayanan (memberi dan menanamkan kasih sayang) dan mewakili harta anak serta mengenai segala perbuatan hukum didalam dan diluar pengadilan. Ketentuan ini berlaku pula pada saat terjadi perceraian diantara orang tua.

Mengenai masalah siapa yang lebih berhak untuk melakukan hadhanah dan masa hadhanah setelah terjadinya perceraian akan lebih jelas dibahas pada pembahasan berikutnya.

Dalam Kompilasi Hukum Islam juga disebutkan tentang kewajiban ayah untuk menafkahi anaknya yang berada dalam asuhan ibu. Hal ini tertuang pada pasal 104.

Dalam Undang-undang perlindungan anak nomor. 23 tahun 2002, pasal 30 ayat 1 dan 2 tentang kuasa asuh menyatakan

1. Dalam hal orang tua sebagaimana dimaksud dalam pasal 26, melalaikan kewajibannya, terhadapnya dapat dilakukan tindakan pengawasan atau kuasa asuh orang tua dapat dicabut.

2. Tindakan pengawasan terhadap orang tua atau pencabutan kuasa asuh sebagaimana dimaksud ayat 1 dilakukan melalui penetapan pengadilan

Dalam pasal 31 ayat 1 sampai ayat 4 juga disebutkan sebagai berikut:

1. Salah satu orang tua, saudara kandung, atau keluarga sampai sederajat ketiga, dapat mengajukan perrmohonan kepengadilan untuk maendapatkan penetapan pengadilan tentang pencabutan kuasa asuh orang atau melakukan tindakan pengawasan apabila terdapat alasan yang kuat untuk itu.

2. Apabila salah satu orang tua, saudara kandung, atau keluarga sampai dengan drajat ketiga, tidak dapat melaksanakan fungsinya, maka pencabutan kuasa asuh orang tua sebagaimana

(18)

Doi Artikel : 10.46306/rj.v1i1.4 56

dimaksud pada aya 1 dapat juga diajukan oleh pejabat yang berwenang atau lembaga lain yang mempunyai kewenangan untuk itu.

3. Penetapan pengadilan sebagaimana dimaksud dalam ayat1 dapat menunjuk orang perseorangan atau llembaga pemerintah/masyarakat untuk menjadi wali bagi yang bersangkutan.

4. Perseorangan yang melaksanakan pengasuhan anak sebagaimana dimaksud dalam ayat 3 harus seagama dengan agama yang dianut anak yang akan diasuhnya.

REFERENSI

Abd, Rahman Ghazaly, Fiqh Munakahat, (Bogor: Kencana, 2003)

Abu Bakar Muhammad, Terjemahan Subulussalam, (Surabaya: al-Ikhlas, 1995) A. Fuad Said, Perceraian menurut Hukum Islam, (Jakarta : Pustaka al-Husna, 1994) Al-Hafizh Ibnu Hajar Al-ASqolani, Terjemah Bulugul Maram, (Jakarta: At-Tibyan, 2009) Al-Qur’an dan Terjemahnya, (Jakarta: Depag RI, 2005)

Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, (Jakarta : Kencana,2006) Ensiklopedi Hukum Islam, (Jakarta : PT Ichtiar Baru Van Hoeve, 2006)

Kamus Bahasa Indonesia, (Reality Publiser, 2008)

Muhammad Jawwad Mugniyah, Fiqh Lima Madzhab, (Jakarta: Lentera, 2007) Mohammad Hifni, Dosen tetap Universitas Bina Bangsa

Satria Effendi dan M. Zein, Problematika Hukum Keluarga Islam Kontemporer, (Jakarta:

Kencana Prenada Media, 2004)

Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah 8, (Bandung:Al-Ma’arif,1978)

Slamet Abidin dan Aminudin, Fiqih Munakahat, (Bandung: Pustaka Setia, 1999 Sohari Sahrani, Fiqh Keluarga, (Dinas Pendidikan Propinsi Banten,2011)

Undang-undang Peradilan Agama dan Kompilasi Hukum Islam, (Yogyakarta: Graha Pustaka, tt)

(19)

Doi Artikel : 10.46306/rj.v1i1.4 57

Wahbah Az-Zuhaili, Fiqih Islam Waadillatuhu, (Jakarta : Darul Fikr,2007) Zainuddin Ali, Hukum Perdata Islam di Indonesia, (Jakarta: Sinar Grafika, 2006)

Referensi

Dokumen terkait

Hal tersebut berarti bahwa semakin tinggi Experiential Marketing maka akan semakin tinggi Kepuasan Pelanggan, hasil penelitian Penelitian yang dilakukan oleh

Lingkungan pondok pesantren menjadi lingkungan yang sangat mendukung dalam keberhasilan penerapan pendidikan karakter, disamping memiliki sistem asrama, siswa mendapatkan

coli (bakteri gram negatif) karena bakteri ini memiliki struktur dinding sel dengan kandungan lipid rendah (1-4%) dan terdapat banyak pori-pori pada

Ketua Program Pendidikan Profesi Guru (PPG) Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Muhammadiyah Suarakarta menerangkan bahwa nama-nama mahasiswa PPG dalam

didapatkan bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara Rasio Lingkar Pinggang dan Panggul dengan tekanan darah pada orang obesitas dewasa muda, hasil ini

Truk dengan kereta gandengan dan truk dengan kereta tempelan juga mempunyai kelemahan dalam melihat kaca sepion terutama pada saat membelok,

Kecernaan adalah ukuran nilai pakan suatu hijuan yang ditetapkan dari jumlah pakan yang diserap oleh saluran pencernaan, ditunjukkan dengan satuan persen (Cowder

Ekstrak biji cerakin disemprotkan pada hama ulat daun bawang yang tersedia dalam tiap wadah (10 ekor tiap wadah) untuk masing-masing konsentrasi dan dilakukan 3 kali