• Tidak ada hasil yang ditemukan

2. LANDASAN TEORI. Dalam bab 2.1 sampai dengan bab 2.2 merupakan aspek perpajakan nasional (unilateral approach)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "2. LANDASAN TEORI. Dalam bab 2.1 sampai dengan bab 2.2 merupakan aspek perpajakan nasional (unilateral approach)"

Copied!
26
0
0

Teks penuh

(1)

Dalam bab 2.1 sampai dengan bab 2.2 merupakan aspek perpajakan nasional (unilateral approach)

Subjek pajak terdiri dari Subjek Pajak Dalam Negeri dan Subjek Pajak Luar Negeri. Subjek Pajak Dalam Negeri menjadi Wajib Pajak apabila telah menerima atau memperoleh penghasilan yang besarnya melebihi Penghasilan Tidak Kena Pajak, sedangkan Subjek Pajak Luar Negeri sekaligus menjadi Wajib Pajak sehubungan dengan penghasilan yang diterima dari sumber penghasilan di Indonesia atau diperoleh melalui bentuk usaha tetap di Indonesia. Karena yang menjadi objek penelitian adalah orang pribadi yang mendapat penghasilan yang diterima dari sumber penghasilan di Indonesia, maka untuk Wajib Pajak Dalam Negeri diatur dalam PPh Pasal 21. Sedangkan untuk Wajib Pajak Luar Negeri diatur dalam PPh Pasal 26.

2.1. Perlakuan Pajak terhadap Wajib Pajak Dalam Negeri 2.1.1. Pengertian

Subjek Pajak Dalam Negeri terdiri atas : a. Subjek Pajak orang pribadi, yaitu :

1) Orang pribadi yang bertempat tinggal di Indonesia atau berada di Indonesia lebih dari 183 (seratus delapan puluh tiga ) hari dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan, atau

2) Orang pribadi yang dalam suatu tahun pajak berada di Indonesia dan mempunyai niat untuk bertempat tinggal di Indonesia.

b. Subjek Pajak badan, yaitu :

Badan yang didirikan atau bertempat kedudukan di Indonesia, meliputi Perseroan Terbatas, perseroan komanditer, perseroan lainnya, badan Usaha Milik Negara atau Daerah, firma, kongsi, koperasi, dana pensiun, persekutuan, perkumpulan, yayasan, organisasi massa, organisasi sosial politik atau organisasi sejenis, lembaga, bentuk usaha tetap dan bentuk badan lainnya termasuk reksadana.

(2)

c. Subjek Pajak warisan, yaitu :

Warisan yang belum terbagi sebagai satu kesatuan, menggantikan yang berhak.

2.1.2. Timbul dan Berakhirnya Kewajiban Pajak Dalam Negeri Timbulnya Subjek Pajak Dalam

Negeri

Berakhirnya Subjek Pajak Dalam Negeri

1 Subjek Pajak Dalam Negeri orang pribadi :

• Saat dilahirkan

• Saat berada di Indonesia atau berniat untuk bertempat tinggal di Indonesia.

• Saat meninggal dunia

• Saat meninggalkan Indonesia untuk selama-lamanya.

2 Subjek Pajak Dalam Negeri badan :

• Saat didirikan atau bertempat kedudukan di Indonesia.

• Saat dibubarkan atau tidak lagi bertempat kedudukan di Indonesia.

3 Warisan belum terbagi :

• Saat timbulnya warisan yang belum terbagi.

• Saat warisan selesai dibagikan.

Karena yang menjadi subjek dalam penelitian ini adalah orang pribadi yang mendapatkan penghasilan dari satu pemberi kerja, maka perlakuan perpajakan didasarkan pada UU No. 17 Tahun 2000 tentang PPh pasal 21.

2.1.3. Subjek PPh Pasal 21

Penerima penghasilan atau subjek pajak yang dipotong PPh pasal 21 adalah :

1. Pegawai yaitu setiap orang pribadi yang melakukan pekerjaan berdasarkan suatu perjanjian atau kesepakatan kerja baik tertulis maupun tidak tertulis, termasuk yang melakukan pekerjaan dalam jabatan negeri atau badan usaha milik negara; Pegawai tetap yaitu orang pribadi yang bekerja pada pemberi kerja yang menerima atau memperoleh gaji dalam jumlah tertentu secara berkala, termasuk anggota dewan komisaris dan anggota pengawas yang

(3)

secara teratur ikut serta melaksanakan kegiatan perusahaan; Pegawai lepas adalah orang pribadi yang bekerja pada pemberi kerja dan hanya menerima upah apabila orang pribadi yang bersangkutan bekerja.

2. Penerima pensiun yaitu orang pribadi atau ahli warisnya yang menerima atau memperoleh imbalan untuk pekerjaan yang dilakukan dimasa lalu, termasuk orang pribadi atau ahli warisnya yang menerima pensiun, Tabungan Hari Tua atau Tunjangan Hari Tua selain yang dibayarkan oleh Taspen.

3. Penerima honorarium yaitu orang pribadi yang menerima atau memperoleh imbalan sehubungan dengan jasa, jabatan, atau kegiatan yang dilakukan.

4. Penerima upah yaitu orang pribadi yang menerima upah harian, upah mingguan, upah borongan, atau upah satuan.

5. Orang pribadi lainnya yang menerima atau memperoleh penghasilan sehubungan dengan pekerjaan, jasa dan kegiatan dari pemotong pajak.

2.1.4. Objek PPh Pasal 21

Yang termasuk objek pajak PPh pasal 21 adalah :

1. Penghasilan yang diterima atau diperoleh secara teratur oleh wajib pajak.

2. Penghasilan yang diterima atau diperoleh secara tidak teratur.

3. Upah harian, upah mingguan, upah satuan dan upah borongan.

4. Upah tebusan pensiun, uang Tabungan Hari Tua, Tunjangan Hari Tua (THT), uang pesangon dan pembayaran lain yang sejenis.

5. Honorarium, uang saku, hadiah atau penghargaan dengan nama dan dalam bentuk apapun, komisi, beasiswa dan pembayaran lain sebagai imbalan sehubungan dengan pekerjaan, jasa dan kegiatan yang dilakukan oleh wajib pajak dalam negeri.

6. Gaji, gaji kehormatan, tunjangan-tunjangan lain yang terkait gaji yang diterima pejabat negara, PNS serta uang pensiun dan tunjangan-tunjangan lain yang sifatnya terkait dengan uang pensiun yang diterima oleh pensiunan termasuk janda atau duda atau anak-anaknya.

7. Penerimaan dalam bentuk natura dan kenikmatan lainnya dengan nama apapun yang diberikan oleh bukan wajib pajak.

(4)

2.1.5. Tarif PPh Pasal 21

Tarif PPh pasal 17 yang diterapkan atas Penghasilan Kena Pajak bagi wajib pajak orang pribadi dalam negeri adalah sebagai berikut :

Lapisan Penghasilan Kena Pajak Tarif Pajak

Sampai dengan Rp 25.000.000,- 5%

Di atas Rp 25.000.000,- s.d. Rp 50.000.000,- 10%

Di atas Rp 50.000.000,- s.d. Rp 100.000.000,- 15%

Di atas Rp 100.000.000,- s.d. Rp 200.000.000,- 25%

Di atas Rp 200.000.000,- 35%

2.1.6. Saat Terutang, Cara Pemotongan, Penyetoran, dan SPT Masa PPh Pasal 21 Perlakuan Pajak atas PPh Pasal 21 bagi Subjek Pajak Dalam Negeri meliputi saat terutang, cara pemotongan, penyetoran , dan SPT Masa PPh, yaitu : 1. Pemotong Pajak wajib menghitung, memotong, dan menyetorkan PPh Pasal

21 yang terutang untuk setiap bulan takwim.

2. Penyetoran pajak dilakukan dengan menggunakan Surat Setoran Pajak (SSP) ke Kantor Pos atau Bank Badan Usaha Milik Negara atau Bank Badan Usaha Milik Daerah, atau bank-bank lain yang ditunjuk oleh Dirjen Anggaran, selambat-lambatnya tanggal 10 bulan takwim berikutnya.

3. Pemotong Pajak wajib melaporkan penyetoran tersebut dalam ayat (2) sekalipun nihil dengan menggunakan Surat Pemberitahuan (SPT) Masa ke Kantor Pelayanan Pajak atau Kantor Penyuluhan Pajak setempat, selambat- lambatnya pada tanggal 20 bulan takwim sebagaimana dimaksud dalam ayat (2).

4. Apabila dalam satu bulan takwim terjadi kelebihan penyetoran PPh Pasal 21, maka kelebihan tersebut dapat diperhitungkan dengan PPh Pasal 21 yang terutang pada bulan berikutnya dalam tahun takwim yang bersangkutan.

5. Pemotong Pajak wajib memberikan Bukti Pemotongan PPh Pasal 21 baik diminta maupun tidak pada saat diberlakukannya pemotongan pajak kepada orang pribadi bukan sebagai pegawai tetap, penerima uang tebusan pensiun, penerima Jaminan Hari Tua, penerima uang pesangon, dan penerima dana pensiun.

(5)

6. Pemotong Pajak wajib memberikan Bukti Pemotongan PPh Pasal 21 Tahunan kepada pegawai tetap, termasuk penerima pensiun bulanan, dengan menggunakan formulir yang ditentukan oleh Dirjen Pajak dalam waktu 2 (dua) bulan setelah tahun takwim berakhir.

7. Apabila pegawai tetap berhenti bekerja atau pensiun pada bagian tahun takwim, maka bukti Pemotongan sebagaimana dimaksud dalam Ayat (6) diberikan oleh pemberi kerja selambat-lambatnya 1 (satu) bulan setelah pegawai yang bersangkutan berhenti bekerja atau pensiun.

2.2. Perlakuan Pajak terhadap Wajib Pajak Luar Negeri 2.2.1. Pengertian

Subjek Pajak Luar Negeri terdiri atas : a. Subjek Pajak orang pribadi, yaitu :

Orang pribadi yang tidak bertempat tinggal di Indonesia atau berada di Indonesia tidak lebih dari 183 (seratus delapan puluh tiga) hari dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan yang :

1) Menjalankan usaha atau melakukan kegiatan melalui Bentuk Usaha Tetap di Indonesia.

2) Dapat menerima atau memperoleh penghasilan dari Indonesia bukan dari menjalankan usaha atau melakukan kegiatan melalui BUT di Indonesia.

b. Subjek Pajak Badan, yaitu :

Badan yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia yang : 1) Menjalankan usaha atau melakukan kegiatan melalui Bentuk Usaha Tetap

di Indonesia.

2) Dapat menerima atau memperoleh penghasilan dari Indonesia bukan dari menjalankan usaha atau melakukan kegiatan melalui BUT di Indonesia.

(6)

2.2.2. Timbul dan Berakhirnya Kewajiban Pajak Luar Negeri

Timbulnya Subjek Pajak Luar Negeri Berakhirnya Subjek Pajak Luar Negeri 1 Subjek Pajak Luar Negeri melalui

BUT:

• Saat menjalankan usaha atau melakukan kegiatan melalui BUT di Indonesia.

• Saat tidak lagi menjalankan usaha atau melakukan kegiatan melalui BUT di Indonesia.

2 Subjek Pajak Luar Negeri tidak melalui BUT :

• Saat menerima atau memperoleh penghasilan dari Indonesia.

• Saat tidak lagi menerima atau memperoleh penghasilan dari Indonesia.

Untuk subjek pajak dalam negeri yang berhubungan dengan wajib pajak luar negeri, perlakuan perpajakan didasarkan pada UU No. 17 Tahun 2000 tentang PPh pasal 26. Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 26 adalah PPh yang dikenakan atau dipotong atas penghasilan yang bersumber dari Indonesia yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak luar negeri selain bentuk usaha tetap (BUT) di Indonesia.

2.2.3. Pemotong PPh Pasal 26 1. Badan Pemerintah;

2. Subjek Pajak Dalam Negeri;

3. Penyelenggara Kegiatan;

4. BUT;

5. Perwakilan perusahaan luar negeri lainnya selain BUT di Indonesia.

2.2.4. Tarif dan Objek PPh Pasal 26

1. 20% (final) dari jumlah penghasilan bruto yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak Luar Negeri berupa :

a. dividen;

b. bunga, premium, diskonto, premi swap, dan imbalan sehubungan dengan jaminan pengembalian hutang;

c. royalti, sewa, dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta;

(7)

d. imbalan sehubungan dengan jasa, pekerjaan, dan kegiatan;

e. hadiah dan penghargaan

f. pensiun dan pembayaran berkala lainnya.

2. 20% (final) dari perkiraan penghasilan neto berupa : a. penghasilan dari penjualan harta di Indonesia;

b. premi asuransi, premi reasuransi yang dibayarkan langsung maupun melalui pialang kepada perusahaan asuransi di luar negeri.

3. 20% dari Penghasilan Kena Pajak sesudah dikurangi pajak dari suatu BUT di Indonesia, kecuali penghasilan tersebut ditanamkan kembali di Indonesia.

4. Tarif berdasarkan Perjanjian Penghindaran Pajak Berganda (P3B) antara Indonesia dengan negara pihak pada persetujuan.

2.2.5. Saat Terutang, Cara Pemotongan, Penyetoran, dan SPT Masa PPh Pasal 26 1. PPh pasal 26 terutang pada akhir bulan dilakukannya pembayaran atau akhir

bulan terutangnya penghasilan, tergantung yang mana terjadi lebih dahulu.

2. Pemotong PPh pasal 26 wajib membuat bukti pemotongan PPh pasal 26 rangkap 3 :

• lembar pertama untuk Wajib Pajak luar negeri;

• lembar kedua untuk Kantor Pelayanan Pajak;

• lembar ketiga untuk arsip Pemotong.

3. PPh pasal 26 wajib disetorkan ke bank Persepsi atau Kantor Pos dengan menggunakan Surat Setoran Pajak (SSP), paling lambat tanggal 10 bulan takwim berikutnya setelah bulan saat terutangnya pajak.

4. SPT Masa PPh Pasal 26, dengan dilampiri SSP lembar kedua, bukti pemotongan lembar kedua dan daftar bukti pemotongan disampaikan ke KPP setempat paling lambat 20 hari setelah Masa Pajak berakhir.

2.2.6. Pengecualian

1. BUT dikecualikan dari pemotongan PPh Pasal 26 apabila Penghasilan Kena Pajak sesudah dikurangi Pajak Penghasilan dari BUT ditanamkan kembali di Indonesia dengan syarat :

(8)

a. dilakukan dalam bentuk penyertaan modal pada perusahaan yang didirikan dan berkedudukan di Indonesia sebagai pendiri atau peserta pendiri, dan;

b. dilakukan dalam tahun berjalan atau selambat-lambatnya tahun pajak berikutnya dari tahun pajak diterima atau diperoleh penghasilan tersebut;

c. tidak melakukan pengalihan atas penanaman kembali tersebut sekurang- kurangnya dalam waktu 2 (dua) tahun sesudah perusahaan tempat penanaman dilakukan, mulai berproduksi komersil.

2. Badan-badan Internasional yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan.

Dalam bab 2.3 sampai dengan bab 2.6 merupakan aspek perpajakan internasional (bilateral approach).

2.3. Aspek Perpajakan Internasional 2.3.1. Prinsip-prinsip Pengenaan Pajak

Setiap negara menerapkan prinsipnya sendiri dalam perundang-undang yang dijadikan acuan untuk pemungutan pajak. Asas perpajakan internasional yang dianut banyak negara terbagi atas asas-asas berikut ini :

1. Asas Domisili

Pemajakan berdasarkan asas ini didasarkan pada domisili dari subjek pajak.

Negara yang menganut pemajakan atas asas domisili biasanya menganut prinsip “world wide income”, artinya mereka yang berdomisili di negara tersebut dipajaki atas seluruh penghasilannya baik yang bersumber dari dalam negeri maupun dari negara lain. Penentuan domisili bagi subjek pajak sebagai penduduk dalam negeri ditentukan dengan syarat-syarat tertentu. Syarat-syarat ini tergantung pada undang-undang masing-masing negara.

2. Asas Sumber

Pemajakan berdasarkan asas ini adalah pemajakan di negara dimana sumber penghasilan berasal. Penentuan sumber penghasilan tergantung dari dua hal pokok, yaitu jenis penghasilan itu sendiri dan penentuan sumber penghasilan berdasarkan undang-undang pajak dari suatu negara.

(9)

3. Asas Kewarganegaraan

Asas didasarkan pada status kewarganegaraan dari subjek pajak yang bersangkutan, misalnya Amerika Serikat. Jadi mereka memegang paspor Amerika akan dikenai pajak di Amerika tanpa melihat apakah tempat tinggalnya di Amerika atau diluar Amerika.

4. Asas Teritorial

Pemajakan berdasarkan asas ini didasarkan pada penghasilan yang diperoleh dari wilayah suatu negara. Penduduk dari negara yang menganut asas ini hanya akan dipajaki dalam teritorial negara tersebut dan atas penghasilan yang didapat dari luar teritorial negara tersebut tidak akan dipajaki di negara tersebut.

5. Campuran dari asas-asas di atas

Biasanya suatu negara (tidak semuanya) menganut campuran dari beberapa asas di atas. Misalnya, asas domisili digabungkan dengan asas sumber.

2.3.2. Definisi Penduduk dan Status Rangkap (Dual Resident)

Definisi penduduk dari suatu negara pihak pada persetujuan (resident of a contracting state) menurut P3B pasal 4 ayat (1) adalah setiap orang atau badan yang didasarkan perundang-undangan negara itu dapat dikenakan pajak sesuai dengan domisili, tempat kediaman, tempat kedudukan manajemennya ataupun atas dasar kriteria lainnya yang sifatnya serupa. Konsep “penduduk dari suatu negara pihak pada persetujuan” memberi penegasan secara jelas tentang penentuan siapa yang berhak untuk memperoleh perlakuan pajak sesuai dengan P3B yang bersangkutan, pengenaan pajak berganda sebagai akibat dari domisili rangkap, dan pengenaan pajak berganda karena satu negara menerapkan asas perpajakan internasional yang berbeda.

Untuk mencegah terjadinya dual resident yang dapat menyebabkan pengenaan pajak berganda, maka dalam P3B pasal 4 ayat (2) dan (3) memberikan cara pengujian (test) untuk menentukan status penduduk dari orang pribadi individu atau badan. Isi dari P3B pasal 4 ayat (2) berbunyi demikian; untuk menentukan status penduduknya, orang pribadi atau individu dianggap sebagai penduduk suatu negara apabila :

(10)

1. Mempunyai tempat tinggal tetap yang tersedia baginya (a permanent home) 2. Terdapat hubungan-hubungan pribadi dan ekonomi yang lebih erat (centre of

vital interest)

3. Tempat ia biasa berdiam (an habitual abode)

4. Status penduduk dari orang pribadi itu ditentukan berdasarkan persetujuan bersama (mutual agreement)

Pengujian kriteria di atas dilakukan secara runtut, yang artinya kriteria pertama yaitu a permanent home diterapkan pertama kali untuk menentukan status penduduk dari orang pribadi. Apabila kriteria pertama belum dapat menentukan secara tegas mengenai status penduduk di atas, maka selanjutnya digunakan kriteria dalam P3B pasal 4 ayat (3), yaitu : dalam hal terjadinya status penduduk rangkap atas suatu badan, maka penentuan status penduduknya dilakukan berdasarkan persetujuan bersama (mutual agreement) antara pejabat yang berwenang dari kedua negara. Untuk Indonesia, yang dimaksud dengan pejabat yang berwenang adalah Menteri Keuangan atau pejabat yang mewakilinya yaitu Direktur Jenderal Pajak.

2.3.3. Sebab Terjadinya Pengenaan Pajak Berganda Secara Internasional (International Double Taxation)

Pengenaan pajak berganda secara internasional pada dasarnya merupakan akibat dari perbedaan prinsip-prinsip perpajakan internasional yang dianut setiap negara. Perbedaan prinsip tersebut mengakibatkan konflik jurisdiksi antara satu negara dan negara lainnya. Walaupun setiap negara mempunyai metode penghindaran pajak berganda secara unilateral, hal ini tidak sepenuhnya menjamin tidak terjadinya pengenaan pajak berganda.

Konflik jurisdiksi ini berasal dari kenyataan bahwa setiap negara bebas menentukan sendiri jurisdiksi pajaknya di luar wilayahnya. Biasanya pengenaan pajak berganda disebabkan oleh tiga jenis konflik jurisdiksi berikut ini :

1. Konflik antara asas domisili dengan asas sumber

Negara domisili mengenakan pajak atas seluruh penghasilan yang diperoleh penduduknya, sedangkan negara sumber mengenakan pajak atas penghasilan yang berasal dari negara tersebut. Dalam hal ini terjadi konflik antara world wide income principle dengan konsep kewenangan atas wilayah.

(11)

2. Konflik karena perbedaan definisi penduduk

Orang pribadi pada saat yang bersamaan dapat dianggap sebagai penduduk dari dua negara. Hal ini dapat terjadi karena definisi “penduduk”

kedua negara tersebut berbeda. Keadaan ini memperburuk pengenaan pajak berganda sebab pajak “penduduk” tersebut akan ditetapkan dua kali.

Konflik ini akan tampak lebih nyata, bila salah satu negara menganut asas kewarganegaraan sebagai kriteria kedua dalam menentukan apakah seseorang merupakan penduduk negara tersebut. Misalnya, seorang warga negara Amerika bekerja di perusahaan minyak yang melakukan kegiatan eksplorasi di Indonesia, untuk itu dia harus tinggal di Indonesia. Berdasarkan definisi Subjek Pajak Dalam Negeri, maka orang Amerika tersebut dianggap sebagai “penduduk” Indonesia. Oleh krena itu, ia dikenai pajak atas seluruh penghasilannya dari Indonesia maupun dari luar negeri. Sedangkan Amerika Serikat menganut asas kewarganegaraan, sehingga orang tersebut tetap dianggap sebagai penduduk Amerika walaupun ia tidak tinggal di Amerika.

Dan Amerika akan mengenakan pajak atas seluruh penghasilannya.

Jadi jelas bahwa telah terjadi pengenaan pajak berganda, karena orang yang sama dianggap penduduk di dua negara. Konflik mengenai dual resident biasanya terjadi atas orang pribadi.

3. Perbedaan definisi tentang sumber penghasilan

Bila dua negara atau lebih memperlakukan satu jenis penghasilan sebagai penghasilan yang bersumber dari wilayahnya, ini mengakibatkan penghasilan yang sama dikenai pajak di dua negara. Misalnya, dalam pasal 26 ayat (1) yang mengatur bahwa apabila wajib pajak dalam negeri membayar imbalan kepada “penduduk luar negeri” sehubungan dengan jasa yang dilakukannya, imbalan tersebut harus dipotong PPh sebesar 20%. Cakupan ketentuan tersebut sangat luas karena walaupun dilakukan di luar negeri, jasa tersebut tetap dianggap sebagai penghasilan yang sumbernya ada di Indonesia berdasarkan Undang-undang Pajak Penghasilan. Sebaliknya, menurut negara dimana “penduduk luar negeri” yang memberikan jasa tersebut berada,

(12)

sumber penghasilan itu berada di negaranya. Dalam hal ini, imbalan atas jasa tersebut dikenai pajak di dua negara.

2.4. Perjanjian Penghindaran Pajak Berganda (P3B)

Karena di dalam penelitian ini, wajib pajak berasal dari negara Amerika Serikat dan China dan memperoleh penghasilan dari Indonesia. Sedangkan antara pemerintah Indonesia dengan pemerintah Amerika Serikat dan China memiliki perjanjian bilateral, yang mengatur mengenai pembagian hak pemajakan atas penghasilan yang diperoleh atau diterima oleh penduduk dari salah satu atau kedua negara pihak pada persetujuan (P3B atau tax treaty). Oleh karena itu, hak pemajakan atas penghasilan yang diterima wajib pajak tersebut mengikuti ketentuan Perjanjian Penghindaran Pajak Berganda (P3B).

2.4.1. Definisi dan Tujuan P3B

P3B adalah perjanjian perpajakan antara 2 (dua) negara (bilateral) yang mengatur mengenai pembagian hak pemajakan atas penghasilan yang diperoleh atau diterima oleh penduduk dari salah satu atau kedua negara pihak pada persetujuan. Pembagian hak pemajakan tersebut diatur dengan tujuan untuk mencegah seminimal mungkin terjadinya pengenaan pajak berganda. Dengan kata lain, pencegahan pajak berganda dalam P3B diatur dengan membatasi hak pemajakan dari negara sumber atas penghasilan yang timbul dari wilayah juridiksinya. Apabila pengenaan pajak berganda dapat dihindari seminimal mungkin, maka diharapkan dapat mencegah timbulnya efek negatif distorsi dalam transaksi internasional. Di samping itu, P3B memiliki tujuan lainnya, yaitu :

• Mencegah timbulnya penghindaran pajak (tax avoidance)

• Memberikan kepastian hukum (certainty)

• Pertukaran informasi (exchange of information)

• Penyelesaian sengketa di dalam penerapan P3B dalam bentuk mutual agreement procedures

• Non-diskriminasi (non-discrimination)

• Bantuan dalam penagihan pajak (tax collection)

(13)

Pada umumnya P3B dimaksudkan sebagai salah satu instrumen yang digunakan untuk menciptakan iklim yang kondusif dalam meningkatkan hubungan ekonomi kedua negara. Hal ini dimungkinkan dengan mencegah timbulnya pajak berganda, penyelundupan pajak, dan memberikan kepastian hukum dan insentif pajak berupa penghematan dalam cash flow bagi penduduk dari kedua negara pihak pada persetujuan yang melakukan transaksi internasional.

Persetujuan ini mengakomodasi ketentuan yang memberikan perlindungan bagi penduduk dari suatu negara pihak pada persetujuan yang melakukan usaha di negara pihak lainnya pada persetujuan. Perlindungan yang dimaksud berupa perlakuan non-diskriminasi dan penyelesaian sengketa pajak yang tidak sesuai dengan penerapan sebagaimana dimaksud dalam persetujuan. Selain itu, P3B mengakomodasi pula kepentingan politik dari kedua negara pihak pada persetujuan. Misalnya, dengan persetujuan ini diharapkan hubungan politik luar negeri dari kedua negara tersebut menjadi lebih erat dan harmonis.

2.4.2. Pembentukan P3B

Proses berlaku efektifnya suatu P3B melalui beberapa tahapan, yaitu perundingan, penandatanganan, ratifikasi, pertukaran ratifikasi, dan berlaku efektif. Pada tahap perundingan, diawali dengan permintaan untuk melakuakn perundingan P3B yang disampaikan oleh pemerintah dari negara sahabat atau Pemerintah RI melalui Departemen Luar Negeri.

Sesuai dengan permintaan tersebut, Direktorat Jendral Pajak (DJP) menetapkan usul tanggal dan tempat perundingan, kemudian disampaikan kepada pemerintah dari negara sahabat melalui Departemen Luar Negeri RI. Direktorat Jendral Pajak melakukan penelitian dan analisa atas draft P3B yang diusulkan oleh pemerintah dari negara sahabat. Perundingan dilakukan pada tanggal dan tempat yang telah disepakati oleh kedua negara. Dalam perundingan dibahas semua pasal-pasal yang diusulkan dalam draft P3B masing-masing negara.

Berhubung yang dibahas mencakup ketentuan pembagian hak pemajakan antara 2 (dua) negara pihak pada persetujuan dan masalah politik luar negeri dari kedua negara, maka perundingan P3B mungkin dapat berlangsung lebih dari satu kali.

Apabila kedua negara pihak pada persetujuan telah menyetujui semua pasal-pasal

(14)

dalam draft P3B, maka ketua delegasi dari masing-masing negara akan membubuhi paraf pada draft tersebut. Di Indonesia, pada setiap akhir perundingan, ketua delegasi membuat laporan tertulis kepada Direktur Jendral Pajak dan Menteri Sekretaris Negara mengenai hasil perundingan P3B.

Dalam tahapan kedua, draft P3B tersebut diproses lebih lanjut oleh Departemen Luar Negeri untuk ditandatangani. Yang boleh menandatangani draft P3B adalah pejabat yang berwenang yang diberikan kuasa penuh. Dalam hal ini, yang dimaksud adalah Menteri Luar Negeri atau Duta Besar RI. Namun dimungkinkan pula menteri lainnya sepanjang yang bersangkutan telah memiliki kuasa penuh untuk menandatangani P3B.

Apabila draft tersebut telah ditandatangani oleh pejabat dari masing- masing negara, kemudian draft P3B yang telah ditandatangani itu diteruskan oleh Departemen Luar Negeri kepada Sekretaris Negara untuk diratifikasi. Yang boleh melakukan ratifikasi atas draft P3B adalah instansi yang berwenang, misalnya parlemen atau kongres. Dalam hal ini, di Indonesia draft P3B diratifikasi oleh Presiden RI dengan Keppres. Apabila kedua negara pihak pada persetujuan telah meratifikasi P3B sesuai dengan ketentuan di masing-masing negara, maka P3B akan menjadi tidak sah sejak tanggal terakhir pemberitahuan diratifikasinya P3B atau saat dilakukannya pertukaran nota ratifikasi sebagaimana dimaksud dalam ketentuan P3B. namun untuk keperluan pemajakan, P3B baru berlaku efektif sejak awal bulan tahun berikutnya.

2.4.3. Kedudukan P3B atas Undang-undang Nasional

Oleh karena Indonesia menganut sistem pajak global (the global tax system), maka penghasilan yang dikenakan pajak adalah penghasilan di seluruh dunia (world wide income) yang pengenaan pajaknya diatur dalam pasal 26 Undang-undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 1983 tentang pajak penghasilan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang- undang Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 2000.

Pasal 26 mengatur penghasilan dalam negeri yang diterima dan diperoleh Subjek Pajak Luar Negeri. Akibat dari ketentuan ini, timbul pemasalahan pajak ganda (double taxation) yang penyelesaiannya diatur dalam dalam perjanjian

(15)

penghindaran pajak berganda (tax treaty) yang mengikat 2 (dua) negara pihak pada persetujuan yang mengatur berkenaan dengan pembagian hak pemajakan atas penghasilan yang diterima dan diperoleh penduduk dari salah satu atau kedua negara tersebut atau dengan kata lain, P3B pada hakikatnya membatasi hak pemajakan negara sumber atas penghasilan yang diperoleh di wilayah juridiksinya. Hal ini berarti bahwa hak pemajakan oleh negara sumber sebagaimana diatur dalam Undang-undang Nasionalnya, dibatasi oleh ketentuan yang diatur dalam P3B.

Ditinjau dari segi kedudukan, P3B lebih tinggi dari Undang-undang Nasional. Hal ini berarti, apakah yang berlaku P3B atau Undang-undang nasional sangat tergantung pada sampai seberapa jauh hak pemajakan tersebut diatur dalam P3B dan Undang-undang Nasional, yang secara rinci dapat dikelompokan sebagai berikut :

1. Apabila terdapat penghasilan karena suatu transaksi yang dilakukan antara penduduk Indonesia dengan penduduk negara pihak lainnya yang ada dalam P3B dengan Indonesia, maka pengenaan PPh atas transaksi tersebut tunduk pada ketentuan yang diatur dalam P3B.

2. Apabila dalam P3B dinyatakan bahwa Indonesia sebagai negara sumber diberikan hak pemajakan yang penuh (exclusively taxing right) atau ada pembatasan hak pemajakannya (limited taxing right), maka pengenaan PPhnya tunduk pada Undang-undang Nasional.

3. Apabila dalam P3B dinyatakan bahwa Indonesia sebagai negara sumber harus melepaskan seluruh hak pemajakannya (relinguished taxing right), maka hak pemajakannya sebagaimana diatur dalam Undang-undang Nasional tidak berlaku.

2.4.4. Sistem dan Prosedur Pemajakan yang Diatur dalam P3B A. Penghasilan dari Usaha melalui BUT (Permanent Establisment)

Permanent Establisment atau Bentuk Usaha Tetap (BUT) adalah wajib pajak luar negeri yang merupakan bentuk usaha yang digunakan oleh Wajib Pajak Luar Negeri untuk mewakili kegiatan atau kepentingannya di suatu negara.

Berdasarkan karakteristiknya, BUT dibedakan menjadi beberapa jenis, yaitu :

(16)

1. BUT fisik

Apabila terdapat tempat usaha tetap dimana ia melakukan kegiatan, misalnya cabang, bengkel, pabrik atau kantor.

2. BUT aktivitas

Apabila pelaksanaan kegiatan jasa-jasa yang berlangsung dalam jangka waktu melebihi time test sebagaimana yang diatur dalam P3B, misalnya jasa konstruksi, jasa konsultan.

3. BUT keagenan

Timbul jika terdapat agen di negara lain yang memiliki wewenang untuk menentukan kontrak atas nama perusahaan tersebut atau mengurus barang- barang atau barang-barang dagangan milik perusahaan tersebut di negara lain.

4. BUT asuransi

Suatu perusahaan asuransi dari suatu negara treaty partner, kecuali perusahaan asuransi akan dianggap mempunyai suatu bentuk usaha tetap di negara treaty partner lainnya apabila perusahaan asuransi tersebut memungut premi di wilayah negara treaty partner lainnya dan menanggung resiko yang terjadi di sana melalui seorang pegawai atau melalui suatu perwakilan yang bukan merupakan agen yang bertindak bebas.

B. Penghasilan dari Kegiatan Usaha Orang Pribadi (Independent Personal Services)

Yang dimaksud dengan Independent Personal Services adalah penghasilan yang diperoleh sehubungan dengan jasa-jasa profesional atau pekerjaan bebas lainnya. Jasa profesional yang dimaksud meliputi kegiatan-kegiatan di bidang ilmu pengetahuan, kesusasteraan, kesenian, pendidikan atau pengajaran yang dilakukan secara independen, serta pekerjaan yang bebas yang dilakukan oleh dokter, ahli teknik, ahli hukum, dokter gigi, arsitek, dan akuntan.

Sehubungan dengan penghasilan dari usaha, negara sumber melepaskan hak pemajakannya atas penghasilan yang timbul dari wilayahnya, kecuali jasa profesional atau pekerjaan bebas dilakukan melalui suatu tempat tetap (a fixed based) di negara itu.

(17)

Dalam rangka melindungi hak pemajakan negara sumber atas penghasilan yang berasal dari wilayahnya, digunakan kriteria lain yaitu time test. Apabila jasa profesional atau pekerjaan bebas dilakukan di negara sumber dalam jangka waktu melebihi time test sebagaimana yang diatur dalam P3B, maka negara tersebut memiliki hak pemajakan yang penuh atas penghasilan dari usaha tersebut.

C. Penghasilan dari Hubungan Kerja (Dependent Personal Services)

Yang dimaksud dengan Dependent Personal Services adalah penghasilan orang pribadi sehubungan dengan pemberian jasa dalam hubungan kerja. Dalam pembagian hak pemajakan atas penghasilan dari pekerjaan diatur bahwa negara tempat pekerjaan dilakukan memiliki hak pemajakan yang penuh atas penghasilan itu. Syarat-syarat yang harus dipenuhi adalah sebagai berikut :

1. Orang pribadi yang bersangkutan berada di negara tempat pekerjaan dilakukan melebihi time test yang telah disepakati.

2. Penghasilan yang diterima oleh orang pribadi tersebut di Indonesia dibayarkan oleh pemberi kerjanya.

3. Penghasilan tersebut dibebankan kepada BUT.

D. Penghasilan dari Modal

Penghasilan dari modal yaitu berupa dividen, bunga, royalti dan keuntungan dari pemindahtanganan harta. Pada setiap tax treaty, besarnya tarif tersebut berbeda-beda namun umumnya lebih kecil dari tarif pajak domestik bagi dividen yang berlaku di kedua negara. Definisi dari keempat penghasilan modal akan dijelaskan sebagai berikut :

1. Dividen

Dividen merupakan penghasilan yang diterima oleh pemegang saham dari suatu perusahaan. Banyak negara, termasuk Indonesia yang mengenakan pajak atas penghasilan berupa dividen ini. Di dalam klausul P3B dinyatakan bahwa negara tempat dividen berasal juga berhak mengenakan pajak atas dividen tersebut, serta pengaturan tentang tarif pajak maksimal yang dapat dikenakan di negara asal dividen tersebut. Tarif tersebut dibedakan menjadi dua, yaitu :

(18)

• Tarif untuk dividen portofolio (saham dengan kepentingan semata-mata untuk investasi).

• Tarif untuk dividen dan penyertaan langsung (saham dengan kepentingan kontrol).

2. Bunga (Interest)

Bunga meliputi penghasilan dari :

• Semua jenis tagihan hutang baik yang dijamin dengan hipotik maupun tidak dan yang mempunyai hak atas pembagian laba maupun tidak.

• Penghasilan dari surat-surat perbendaharaan negara dan obligasi.

• Surat-surat hutang termasuk premi dan hadiah-hadiah yang terikat pada surat-surat berharga diatas.

• Semua penghasilan yang diklasifikasikan sebagai penghasilan dari uang yang dipinjamkan yang sesuai dengan Undang-undang perpajakan dari negara sumber, termasuk bunga yang timbul dari penjualan kredit.

3. Royalti

Yang dimasud dengan royati adalah pembayaran-pembayaran dalam nama dan bentuk apapun dalam hubungannya dengan menggunakan atau hak untuk menggunakan intellectual property milik orang lain seperti hak cipta, paten, formula, alat-alat perlengkapan di bidang industri, niaga atau ilmu pengetahuan, film, video atau pita untuk bioskop, TV atau radio.

4. Keuntungan dari Pemindahtanganan Harta (Capital Gain) Jenis-jenis dari Capital Gain antara lain :

• Penghasilan atau keuntungan yang diperoleh penduduk salah satu negara dari pemindahtanganan harta tak gerak yang terletak di negara treaty partner dapat dikenai pajak di negara treaty partner tersebut.

• Bagian kekayaan dari suatu BUT yang dimiliki oleh perusahaan dari salah satu negara treaty partner atau dari harta yang merupakan bagian dari tempat tetap yang tersedia bagi penduduk salah satu negara untuk melakukan pekerjaan bebas.

(19)

• Keuntungan dari pemindahtangan kapal laut atau pesawat udara dalam jalur lalu lintas internasional atau harta selain dari harta berwujud sehubungan dengan operasi kapal laut atau pesawat udara tersebut.

• Keuntungan yang diperoleh penduduk salah satu negara dari pemindahtanganan saham dari suatu perusahaan yang seluruh aktivanya terdiri atas harta tak gerak yang terletak di negara treaty partner.

5. Penghasilan Lainnya yang Diatur Secara Khusus

Meliputi penghasilan yang diperoleh guru, direktur, artis, atlit, serta siswa, maupun pensiun, jaminan sosial dan tunjangan hari tua.

2.5. Ketentuan P3B terhadap Tenaga Pengajar Asing

Oleh karena penghasilan yang diperoleh oleh tenaga pengajar asing diatur secara khusus dalam P3B, maka berikut ini adalah ketentuan yang mendasari pengenaan pajak atas penghasilan yang diterima tenaga pengajar asing.

2.5.1. P3B berdasarkan UN Model terhadap Tenaga Pengajar Asing

Ketentuan P3B terhadap tenaga pengajar asing antara pemerintah Indonesia dengan pemerintah Amerika Serikat dan China, didasarkan pada ketentuan UN Model yang diatur dalam artikel 20, sebagai berikut :

Sepanjang diskusi dalam pertemuan yang ke-7 dari Ad Hoc Group of Experts, beberapa peserta bertukar pendapat untuk penambahan Bentuk Perjanjian dari suatu artikel mengenai para guru-pengunjung. Pada saat ini, dibawah Bentuk Perjanjian bagi guru-pengunjung adalah tunduk pada :

• Artikel 14, jika jasa pengajaran yang dilakukan adalah di dalam kapasitas swasta atau mandiri.

• Artikel 15, jika jasa pengajaran yang dilakukan secara dependent.

• Artikel 19, jika gaji dibayar oleh suatu negara yang terikat persetujuan.

Banyak perjanjian memiliki sebuah artikel tambahan yang secara rinci mengenai pengajar dan peneliti; hingga kadang-kadang secara khusus membebaskan mereka dari sumber perpajakan dalam negeri, yaitu jika mereka tinggal tidak melebihi jangka waktu yang yang ditentukan. Hal itu dicatat pada artikel 14 dan 15 yang

(20)

biasanya tidak membebaskan suatu kunjungan guru yang mendapat kompensasi jasa pengajar dari penyelenggara, sebab mereka biasanya mengijinkan pengenaan pajak atas kompensasi jasa pengajar dari penyelenggara jika lebih dari 183 hari dan banyak tugas mengajar yang melewati periode waktu tersebut.

Ada kontroversi yang patut dipertimbangkan antara para peserta tentang kebutuhan untuk menyediakan suatu artikel yang terpisah dalam Bentuk Perjanjian di Perserikatan Bangsa-Bangsa, kekhususan bagi kunjungan para pengajar. Tetapi pada hakekatnya, semua peserta menyetujui untuk tersedianya suatu artikel bagi para guru tersebut. Apabila hal tersebut terangkum pada suatu Bentuk Perjanjian, seharusnya tidak menimbulkan efek pembebasan pajak bagi seorang pengajar, dari di dalam negeri pengajar yang bersangkutan. Salah satu anggota menyarankan sebuah kompromi, bahwa sebuah Bentuk Perjanjian seharusnya tidak makin menambah beban suatu ketetapan yang telah ada atas kunjungan para pengajar, tetapi setiap tambahan harus diberikan alasan dan catatan yang berisi artikel seperti yang dimaksud dengan pertimbangan yang disediakan untuk melakukan negoisasi secara bilateral atas pokok materi tersebut, kesepahaman atas usul ini terjadi.

Maka kelompok tersebut menetapkan suatu panitia perencana untuk merumuskan kalimat yang akan dimasukkan ke dalam Bentuk Perjanjian sebagai tanggapan. Setelah didiskusikan dan dikembangkan, maka selanjutnya ada beberapa hal yang diadopsi oleh kelompok tersebut pada tahun 1999 : “Tidak ada Bentuk Perjanjian khusus yang telah dibuat menyangkut pemberian gaji yang diperoleh dari kunjungan profesor dan pengajar lainnya. Untuk ketidaktersediaan ketetapan khusus pada artikel 14, 15, 19 atau 23 dari Bentuk Perjanjian, sangat bergantung pada keadaan saat diterapkannya. Beberapa perjanjian bilateral berisi peraturan yang mengatur mengenai cara terbaik menangani permasalahan seperti itu, tujuan utamanya adalah untuk memudahkan hubungan budaya dan pertukaran pengetahuan yang diberikan dibawah hukum pajak domestik, hal itu dilakukan untuk mencegah masalah adanya pajak berganda dari kunjungan pengajar.

Walaupun ada yang dapat diterapkan pada artikel 14, 15, 19 dan 23 yaitu untuk mencegah pajak ganda, tetapi beberapa negara berkehendak menetapkan suatu artikel bagi para pengajar. Bermacam-macam peraturan pajak domestik

(21)

diatur di tiap negara dengan cara yang berbeda-beda, pada sisi lain, ketidaktersediaan aturan seperti itu akan menjadi suatu kendala bagi suatu ketetapan khusus pada Bentuk Perjanjian para guru. Jika di dalam negosiasi kedua belah pihak, negara yang terikat persetujuan memilih untuk menunjuk suatu ketetapan yang berkenaan dengan para guru-pengunjung, maka isu berikut harus dipertimbangkan di dalam menyiapkan ketetapan tersebut :

(a) Tujuan perjanjian pengenaan pajak biasanya adalah untuk mencegah timbulnya pajak ganda dan pembebasan pajak ganda para guru tidaklah diharapkan.

(b) Sebaiknya lebih bermanfaat dengan membatasi manfaat kunjungan dengan jangka waktu maksimum 2 tahun dan batas waktu tersebut harus mengacu pada perluasan kasus individu yang berdasarkan kesepakatan bersama antar para pejabat yang berwenang (bersangkutan). Ikatan status kontrak haruslah ditetapkan, apakah pendapatan dari kunjungan yang melebihi batas waktu akan dapat dikenakan pajak, dihitung mulai dari permulaan kunjungan atau hanya dari tanggal lewat masa batas waktu kunjungan berakhir.

(c) Penghasilan yang diperoleh seharusnya dibatasi pada jasa mengajar yang dilakukan pada institusi yang disetujui negara pengontrak.

(d) Dalam kasus kunjungan profesor dan para pengajar lain yang juga melakukan penelitian, terjadi hal yang membatasi penggajian, sedang manfaat riset bukan merupakan kepentingan pribadi;

(e) Apakah individu tersebut berhak untuk memperoleh manfaat dari artikel tersebut lebih dari 1 kali.

2.5.2. Persetujuan antara Pemerintah Republik Indonesia dan Pemerintah Republik Amerika

Ketentuan P3B atas tenaga pengajar asing berdasarkan pemerintah Republik Indonesia dan pemerintah Republik Amerika diatur dalam pasal 20, sebagai berikut :

(22)

1. Orang pribadi yang sesaat sebelum melakukan kunjungan ke Negara Pihak lainnya pada Perjanjian merupakan penduduk suatu Negara Pihak pada Perjanjian dan yang, atas undangan dari universitas, akademi, sekolah, atau lembaga pendidikan serupa lainnya, mengunjungi Negara Pihak lainnya tersebut semata-mata untuk tujuan mengajar dan/atau melakukan penelitian pada lembaga pendidikan tadi akan dikecualikan dari pengenaan pajak di Negara Pihak lainnya tersebut atas imbalan dari kegiatan mengajar atau penelitiannya tersebut untuk suatu masa yang tidak melebihi 2 (dua) tahun sejak kedatangannya di Negara Pihak lainnya tersebut. Orang pribadi berhak menikmati manfaat dari ketentuan ini hanya satu kali.

2. Pasal ini tidak berlaku untuk penghasilan dari kegiatan penelitian jika penelitian tersebut dilaksanakan terutama untuk kepentingan orang/badan tertentu saja.

Tax Treaty tersebut mengatur jika seorang guru atau dosen yang merupakan penduduk Amerika diundang oleh salah satu universitas, akademi, sekolah, atau lembaga pendidikan serupa lainnya di Indonesia semata-mata untuk mengajar, riset atau kedua-duanya, gaji yang diterimanya tidak dikenakan pajak penghasilan di Indonesia dengan grace period selama dua tahun sejak kedatangannya. Pembebasan pajak bagi guru atau dosen yang merupakan penduduk suatu negara dan dilakukan di negara lain harus memenuhi syarat tertentu. Yang pertama adalah bahwa kedatangannya di negara lain harus atas undangan dari salah satu universitas, akademi, sekolah, atau lembaga pendidikan serupa lainnya. Kegiatannya di lembaga pendidikan tersebut adalah untuk mengajar, riset atau kedua-duanya. Kedua, Pembebasan tersebut dibatasi oleh grace period selama dua tahun dan setiap orang berhak memperoleh perlakuan ini sekali saja. Jika kegiatan riset tersebut dilakukan untuk kepentingan orang-orang tertentu, penghasilan tersebut tidak dibebaskan di negara dimana riset dilakukan.

Apabila pengajar asing tersebut melewati grace period yang telah ditentukan, yaitu lebih dari dua tahun sejak kedatangannya, maka pengajar asing tersebut dikenakan tarif umum PKP dalam PPh pasal 17 UU No. 17 Tahun 2000 sejak yang bersangkutan berada di Indonesia.

(23)

2.5.3. Persetujuan antara Pemerintah Republik Indonesia dan Pemerintah Republik Rakyat China

Ketentuan P3B atas tenaga pengajar asing berdasarkan pemerintah Republik Indonesia dan pemerintah Republik Rakyat China diatur dalam pasal 20, sebagai berikut : Seseorang yang berkunjung ke suatu Negara Pihak pada Persetujuan atas undangan dari Negara tersebut atau dari universitas, akademi, sekolah, museum, atau lembaga kebudayaan serupa lainnya yang ada di Negara tersebut atau berdasarkan program resmi pertukaran kebudayaan, untuk masa tidak lebih dari dua tahun berturut-turut semata-mata untuk tujuan mengajar, memberikan kuliah, atau melakukan penelitian di lembaga dimaksud dan yang merupakan penduduk dari Negara Pihak lainnya pada Persetujuan sebelum melakukan kunjungan, akan dibebaskan dari pengenaan pajak di Negara yang disebutkan pertama atas imbalan untuk kegiatan-kegiatan tersebut.

Tax Treaty tersebut mengatur jika seorang guru atau dosen yang merupakan penduduk China diundang oleh salah satu universitas, akademi, sekolah, museum, atau lembaga kebudayaan serupa lainnya di Indonesia atau berdasarkan program resmi pertukaran kebudayaan dengan tujuan mengajar, memberikan kuliah, atau melakukan penelitian di lembaga dimaksud, gaji yang diterimanya tidak dikenakan pajak penghasilan di Indonesia dengan grace period selama dua tahun sejak kedatangannya. Pembebasan pajak bagi guru atau dosen yang merupakan penduduk suatu negara dan dilakukan di negara lain harus memenuhi syarat tertentu. Yang pertama adalah bahwa kedatangannya di negara lain harus atas undangan dari salah satu lembaga pendidikan. Kegiatannya di lembaga pendidikan tersebut adalah untuk mengajar, memberikan kuliah, atau melakukan penelitian. Kedua, Pembebasan tersebut dibatasi oleh grace period selama dua tahun. Jika kegiatan riset tersebut dilakukan untuk kepentingan orang- orang tertentu, penghasilan tersebut tidak dibebaskan di negara dimana riset dilakukan.

Apabila pengajar asing tersebut melewati grace period yang telah ditentukan, yaitu lebih dari dua tahun sejak kedatangannya, maka pengajar asing tersebut dikenakan tarif umum PKP dalam PPh pasal 17 UU No. 17 Tahun 2000 sejak yang bersangkutan berada di Indonesia.

(24)

2.6. Surat Keterangan Domisili (SKD)

Salah satu syarat agar tax treaty atas penghasilan yang diperoleh tenaga pengajar asing dapat berlaku, maka diperlukan adanya SKD atau CRT. Certificate of Residence Taxpayer (CRT) merupakan bukti mengenai domisili atau tempat tinggal penduduk (orang atau badan) yang terdaftar sebagai pembayar pajak di suatu negara. CRT yang di Indonesia disebut Surat Keterangan Domisili (SKD) diterbitkan oleh pejabat berwenang atau Competent Authority atau wakilnya yang sah di negara treaty partner. Di Indonesia, Competent Authority yang dimaksud adalah Menteri Keuangan atau pejabat yang mewakilinya. CRT mutlak diperlukan kalau negara asal yang bersangkutan sudah menandatangani tax treaty dengan Indonesia. Surat Keterangan Domisili yang dibuat oleh pejabat pada Kantor Pajak tempat Wajib Pajak luar negeri yang bersangkutan terdaftar dapat diterima dan dipersamakan dengan Surat Keterangan Domisili yang dibuat Competent Authority.

Fungsi CRT untuk menghindari pengenaan pajak secara berganda atas orang atau badan yang menerima atau memperoleh penghasilan dari negara lain.

Dengan adanya CRT, otoritas pajak suatu negara dapat meyakini bahwa orang atau badan yang namanya tercantum benar-benar merupakan penduduk yang terdaftar sebagai pembayar pajak di negara treaty partner.

Naskah tax treaty antara Indonesia dengan negara-negara lain ada yang secara eksplisit mencantumkan klausul CRT, ada pula yang tidak. Umumnya kedua negara sepakat untuk mematuhi peraturan administratif yang ditetapkan oleh negara treaty partner guna penerapan tax treaty, terutama menyangkut bukti yang harus disiapkan oleh penduduk suatu negara kepada negara lain untuk mendapat pembebasan atau pengurangan pajak yang diatur tax treaty.

Berdasarkan SE-03/PJ.101/1996 tanggal 29 Maret 1996 perihal Penerapan PPh pasal 26 sesuai dengan Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda (P3B), maka :

1. Wajib Pajak luar negeri wajib menyerahkan asli Surat Keterangan Domisili kepada pihak yang berkedudukan di Indonesia yang membayar penghasilan dan menyampaikan fotokopi Surat Keterangan Domisili tersebut kepada

(25)

Kepala Kantor Pelayanan Pajak (KPP) tempat pihak yang membayar penghasilan terdaftar.

2. Asli Surat Keterangan Domisili tersebut menjadi dasar bagi pihak yang membayar penghasilan untuk menerapkan PPh Pasal 26 sesuai dengan yang ditegaskan dalam P3B yang berlaku antara Indonesia dengan negara tempat kedudukan (residence) dari Wajib Pajak luar negeri tersebut. Dalam hal Surat Keterangan Domisili akan digunakan untuk lebih dari satu pembayar penghasilan, maka Wajib Pajak luar negeri dapat menyampaikan fotokopi yang telah dilegalisasi Kepala KPP tempat salah satu pihak pembayar penghasilan terdaftar kepada pihak yang membayar penghasilan. Kepala KPP yang melegalisasi fotokopi tersebut wajib memegang aslinya.

3. Surat Keterangan Domisili tidak diperlukan bagi bank-bank atau lembaga- lembaga keuangan yang secara tegas disebut dalam P3B yang bersangkutan.

Bagi bank-bank atau lembaga-lembaga keuangan tersebut langsung diterapkan ketentuan-ketentuan sesuai dengan P3B yang bersangkutan. Dalam hal terdapat bank atau lembaga keuangan yang tidak disebutkan secara tegas dalam P3B, tetapi berdasarkan persetujuan Competent Authority Indonesia dan negara treaty partner yang bersangkutan disetujui sebagai badan yang penghasilannya dikecualikan dari pemotongan PPh Pasal 26, maka bank atau lembaga keuangan tersebut diperlakukan sama dengan bank atau lembaga keuangan yang secara tegas disebutkan dalam P3B, yaitu tidak diperlukan Surat Keterangan Domisili.

Bentuk Surat Keterangan Domisili adalah sesuai dengan kelaziman di negara tempat Wajib Pajak luar negeri berkedudukan, namun sekurang-kurangnya harus menyatakan bahwa Wajib Pajak luar negeri yang bersangkutan benar berkedudukan di negara tersebut sesuai dengan ketentuan P3B yang berlaku, disertai dengan tanggal dan tanda-tangan pejabat yang menerbitkan Surat Keterangan Domisili tersebut. Surat Keterangan Domisili berlaku selama 1 (satu) tahun sejak tanggal diterbitkan, kecuali untuk Wajib Pajak bank.

(26)

Berdasarkan Surat Edaran Dirjen Pajak Nomor SE-05/PJ.10/2000, tata cara dan persyaratan menyampaikan surat permohonan SKD dengan melampirkan :

• Fotokopi dokumen yang menyatakan sumber penghasilan berada di negara partner Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda (P3B),

• Penghitungan penghasilan yang akan atau telah diterima dari sumber di negara partner P3B.

Referensi

Dokumen terkait

Hasil penelitian menunjukkan bahwa skala perusahaan tidak berpengaruh terhadap Sustainability Reporting Level meskipun dalam penelitian sebelumnya skala perusahaan

Harlock (1999: 9) juga mengungkapkan bahwa individu yang gagal dalam melakukan tugas perkembangannya akan merasa tidak bahagia dan mengalami kesulitan dalam

Sebaliknya, pimpinan perusahaan yang perusahaannya dalam kondisi kalah dalam persaingan di pasar akan cenderung bersikap risk taking, yaitu cenderung bertahan pada

Subjek pajak dalam negeri menjadi Wajib Pajak apabila telah menerima atau memperoleh penghasilan yang besarnya melebihi Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP), sedangkan subjek

Tugas akhir dari Perancangan Alat Bantu Pengangkat Material Otomatis untuk Mesin TruPunch sudah sesuai dengan gambar kerja dan di nyatakan berhasil serta dapat

Berdasarkan hasil wawancara awal dan survey pendahuluan yang dilakukan pada tahap awal penelitian, beberapa permasalahan yang dihadapi perusahaan di dalam

Menurut Takashima dan Hibiya (1995) pada sel – sel yang mengalami nekrosis, terjadi peningkatan volume (hipertropi) sehingga mengakibatkan sel terlepas satu

Aplikasi teori belajar kognitivisme dalam pendidikan dan pembelajaran, yaitu guru harus memahami bahwa siswa bukan sebagai orang dewasa yang mudah dalam proses