• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "BAB II TINJAUAN PUSTAKA"

Copied!
27
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Kerangka Teori

1. Tinjauan Umum tentang Anak a. Pengertian Anak

Anak merupakan individu yang dilahirkan dari sebuah hubungan antara pria dan wanita yang terikat dalam suatu ikatan perkawinan yang bisa di sebut sebagai suami istri (Abu Huraerah, 2006 : 36). Namun pada kenyataannya pendapat mengenai anak sampai saat ini masih mengalami perbedaan, baik dalam hal pengertian maupun dalam hal batasan usia, berikut beberapa pengertian tentang anak:

1) Kitab Undang-Undang Hukum Perdata tidak dijelaskan secara pasti tentang definisi anak, tetapi berdasarkan Pasal 330 dijelaskan bahwa belum dewasa adalah belum berusia 21 tahun dan belum menikah.

2) Anak adalah seseorang yang belum mencapai umur 21 tahun dan belum pernah menikah (Pasal 1 angka 2 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak).

3) Anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan (Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 35 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak).

4) Anak adalah orang yang dalam perkara anak nakal telah mencapai umur 8 tahun tetapi belum mencapai umur 18 tahun dan belum pernah menikah (Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak).

5) Anak adalah setiap manusia yang berusia dibawah 18 tahun dan belum menikah, termasuk anak yang masih didalam kandungan apabila hal

(2)

tersebut adalah demi kepentingannya (Pasal 1 angka 5 Undang- Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia).

b. Macam-macam Anak 1) Anak Kandung

Anak yang lahir dari perkawinan sah antara ayahnya dan ibunya adalah anak kandung yang sah. Ada kemungkinan dalam hidupnya ada seorang anak yang mengikuti ayah dan ibu yang melahirkannya, ada kemungkinan hanya mengikuti ibu kandung tanpa ayah kandung, atau mungkin juga mengikuti ayah kandung tanpa ibu kandung (Endang Sumiarni & Chandera Halim, 2000 : 3).

2) Anak Tidak Sah

Anak tidak sah yang sering disebut dengan istilah setempat

“anak kampang, anak haram jadah, anak kowar, anak sastra”, dan sebagainya, adalah anak yang lahir akibat dari suatu perbuatan orang tua yang tidak menurut ketentuan seperti:

a) Anak dari kandungan ibu sebelum terjadi perkawinan sah, b) Anak dari kandungan ibu setelah bercerai lama dari suaminya, c) Anak dari kandungan ibu tanpa melakukan perkawinan yang sah, d) Anak dari kandungan ibu yang karena berbuat zina dengan orang

lain,

e) Anak dari kandungan ibu yang tidak diketahui siapa ayahnya (Endang Sumiarni & Chandera Halim, 2000 : 4).

Anak kandung yang sah adalah ahli waris dari orang tua yang melahirkannya, sedangkan anak kandung yang tidak sah dalam hal pewarisan ada kemungkinan sebagai berikut:

a) Tidak berhak sebagai ahli waris dari orang tua yang melahirkannya baik dari ayahnya maupun dari ibunya.

b) Hanya berhak sebagai ahli waris dari ibu yang melahirkannya, atau mungkin dari ayahnya saja tanpa ibunya.

(3)

c) Berhak sama dengan anak kandung yang sah sebagai ahli waris dari ayahnya ibu kandungnya (Endang Sumiarni & Chandera Halim, 2000 : 5).

3) Anak Angkat

Anak angkat merupakan anak yang di angkat oleh orang tua angkat untuk diberikan bimbingan, pemeliharaan, perawatan, pendidikan dan kesehatan karena orang tua kandung tersebut sudah tidak mampu mensejahterakan kehidupan anak dengan cara melakukan persetujuan antara orang tua kandung atau wali yang sah atau keluarga dari anak angkat dengan orang tua angkat yang bertujuan agar mensejahterakan anak angkat tersebut tanpa memutus hubungan antara orang tua kandung dengan orang tua angkat.

Kedudukan anak angkat sama dengan kedudukan anak kandung yang akan menjadi penerus dan menjadi ahli waris dari orang tua angkatnya. Di jawa anak angkat berhak mewaris dari dua sumber yaitu dari orang tua kandung dan orang tua angkatnya yang dapat dikenal dengan istilah “ngangsu sumur loro” (Endang Sumiarni &

Chandera Halim, 2000 : 5-6).

4) Anak Asuh

Anak asuh adalah anak yang diasuh oleh seseorang atau lembaga untuk diberikan bimbingan, pemeliharaan, perawatan, pendidikan, dan kesehatan karena orang tuanya atau salah satu orang tuanya tidak mampu menjamin tumbuh kembang anak secara wajar (Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 35 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak).

5) Anak Piara

Anak piara yang juga dapat disebut “anak titip” ialah anak yang diserahkan orang lain untuk dipelihara sehingga orang yang tertitip merasa berkewajiban untuk memelihara anak itu. Dalam hal demikian hubungan hukum antara anak dengan orang tua kandungnya tetap ada,

(4)

anak tersebut tetap sebagai ahli waris dari orang tua kandungnya, bukan dari orang tua yang memeliharanya. Orang tua kandung si anak tetap berhak mengambil si anak kembali ketangannya atau sebaliknya orang tua kandung berhak menerima penyerahan kembali si anak dari tangan pemeliharanya. Apabila si anak piara diambil kembali atau diserahkan kembali kepada orang tua kandungnya, maka orang tua kandung berkewajiban memberi ganti kepada orang yang telah memelihara anak tersebut. Tuntutan ganti rugi kepada orang yang telah memelihara anak tersebut tidak berlaku jika pemeliharaan terhadap anak tersebut dilakukan secara sukarela (Endang Sumiarni &

Chandera Halim, 2000 : 6-7).

6) Anak Tiri

Anak tiri adalah anak bawaan dalam perkawinan yang dibawa oleh salah satu pihak suami atau istri. Kedudukan anak tiri dikalangan masayarakat berbeda-beda baik dikarenakan susunan kekerabatan maupun karena bentuk perkawinan ayah atau ibu kandung dengan ayah atau ibu tirinya. Kewajiban orang tua tiri terhadap anak tiri untuk memelihara atau mendidik anak tidak ubahnya dengan anak sendiri.

Anak tiri hanya berhak mewaris dari ibu atau ayah kandungnya saja, terhadap ibu atau ayah tirinya anak tiri tdiak berhak mewaris (Endang Sumiarni & Chandera Halim, 2000 : 7).

c. Macam-macam hak Anak

Diatur dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 35 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak Pasal 1 angka 12 Hak Anak adalah bagian dari hak asasi manusia yang wajib dijamin, dilindungi, dan dipenuhi oleh orang tua, keluarga, masyarakat, negara, pemerintah, dan pemerintah daerah. Adapun hak-hak anak yang diatur dalam Pasal 9 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 35 Tahun 2014 Tentang

(5)

Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak:

1. Setiap Anak berhak memperoleh pendidikan dan pengajaran dalam rangka pengembangan pribadinya dan tingkat kecerdasannya sesuai dengan minat dan bakat.

2. Setiap Anak berhak mendapatkan perlindungan di satuan pendidikan dari kejahatan seksual dan kekerasan yang dilakukan oleh pendidik, tenaga kependidikan, sesama peserta didik, dan/atau pihak lain.

3. Anak Penyandang Disabilitas berhak memperoleh pendidikan luar biasa dan Anak yang memiliki keunggulan berhak mendapatkan pendidikan khusus.

Apabila ditinjau dari Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak, pada Bab II Pasal 2 sampai dengan Pasal 8 diatur tentang hak-hak anak untuk mendapatkan kesejahteraanya, Adapun hak-hak tersebut adalah sebagai berikut:

1. Hak atas kesejahteraan, perawatan, asuhan dan bimbingan

Anak berhak atas kesejahteraan, perawatan, asuhan dan bimbingan berdasarkan kasih sayang baik di dalam keluarga maupun di dalam asuhan khusus untuk tumbuh dan berkembang dengan wajar (Pasal 2 Ayat 1 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak).

2. Hak atas pelayanan

Anak berhak atas pelayanan untuk mengembangkan kemampuan dan kehidupan sosialnya, sesuai dengan kepribadian dan kebudayaan bangsa untuk menjadi warga negara yang baik dan berguna (Pasal 2 Ayat 2 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak).

3. Hak atas pemeliharaan dan perlindungan

Anak berhak atas pemeliharaan dan perlindungan baik semasa dalam kandungan maupun sudah dilahirkan (Pasal 2 Ayat 3 Undang- Undang Nomor 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak).

(6)

4. Hak atas perlindungan lingkungan hidup

Anak berhak atas perlindungan terhadap lingkungan hidup yang dapat membahayakan atau menghambat pertumbuhan dengan wajar (Pasal 2 Ayat 4 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak).

5. Hak mendapatkan pertolongan pertama

Dalam keadaan yang membahayakan anaklah yang pertama- tama berhak mendapatkan pertolongan, bantuan dan perlindungan (Pasal 3 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak).

6. Hak memperoleh asuhan

Anak yang tidak mempunyai orangtua berhak memperoleh asuhan dari Negara atau orang atau badan yang lain (Pasal 4 Ayat 1 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak).

7. Hak memperoleh bantuan

Anak yang tidak mampu berhak memperoleh bantuan agar dalam lingkungan keluarganya dapat tumbuh dan berkembang dengan wajar (Pasal 5 Ayat 1 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak).

8. Hak diberi pelayanan dan asuhan

Anak yang mengalami masalah kelakuan diberi pelayanan dan asuhan yang bertujuan untuk menolongnya guna mengatasi hambatan yang terjadi dalam masa pertumbuhan dan perkembangannya. Pelayanan juga diberikan kepada anak yang telah dinyatakan bersalah melakukan pelanggaran hukum berdasarkan keputusan hakim (Pasal 6 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak).

9. Hak memperoleh pelayanan khusus

Anak yang mengalami cacat berhak memperoleh pelayanan khusus untuk mencapai tingkat petumbuhan dan perkembangan sejauh batas kemampuan dan kesanggupan anak yang

(7)

bersangkutan(Pasal 7 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak).

10. Hak mendapatkan bantuan dan pelayanan

Anak berhak mendapatkan bantuan dan pelayanan yang bertujuan mewujudkan kesejahteraan anak tanpa membedakan jenis kelamin, agama, pendirian politik, dan kedudukan sosial (Pasal 8 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak).

Kewajiban dan tanggung jawab masyarakat terhadap perlindungan anak dilaksanakan melalui kegiatan masyarakat dengan melibatkan organisasi kemasyarakatan, akademisi, dan pemerhati anak.

2. Tinjauan Umum tentang Perwalian a. Pengertian Perwalian

Menurut bahasa Indonesia, istilah perwalian berasal dari kata dasar “wali”, yang mendapat awalan per. Kata wali dalam bahasa Indonesia berarti orang yang menurut hukum (agama, adat) diserahi kewajiban mengurus anak yatim dan hartanya selama anak itu belum dewasa. Adapun kata perwalian berarti segala sesuatu mengenai urusan wali pemeliharaan dan pengawasan anak yatim dan hartanya.

Perwalian adalah salah satu bagian dari hukum keluarga yang tidak terdefinisikan secara khusus dalam ketentuan-ketentuan perwalian yang terdapat di Kitab Undang-Undang Hukum Perdata maupun dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Hukum keluarga mengatur sesuatu yang menyangkut kedudukan hukum dan setiap hubungan hukum dalam lingkungan atau ruang lingkup keluarga yang meliputi perkawinan, status anak, hubungan periparan atau persemendaan, hubungan anak dengan orangtuanya (terhadap diri si anak dan harta kekayaan), hubungan anak dengan kerabatnya, tentang perwalian dan pengangkatan anak (Yulita Dwi Pratiwi. 2019. Jurnal Suara Hukum, Vol. 1, No. 1, Maret 2019: 5). Dalam Undang-Undang

(8)

Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan Pasal 50 ayat 1 hanya di sebutkan bahwa anak yang belum mencapai usia 18 tahun atau belum pernah menikah yang tidak berada di bawah kekuasaan orang tua maka berada di bawah kekuasaan wali, perwalian tersebut juga baik mengenai pribadi anak sendiri maupun harta bendanya.

Beberapa pendapat mengenai pengertian perwalian:

1) Perwalian adalah pengawasan terhadap pribadi dan pengurusan harta kekayaan seorang anak yang belum dewasa, jika anak itu tidak berada di tangan kekuasaan orang tua. Perwalian hanyalah ada bilamana terhadap seseorang anak atau beberapa orang anak tidak berada di bawah kekuasaan orang tuanya sama sekali (Ishak.

2017. Kanun Jurnal Ilmu Hukum Vol. 19 No. 3: 5).

2) Menurut Ali Afandi, Perwalian adalah pengawasan terhadap pribadi dan pengurusan harta kekayaan seorang anak yang belum dewasa, jika anak itu tidak berada di tangan kekuasaan orang tua (Ali Afandi, 2000: 156).

3) Perwalian adalah suatu bentuk perlindungan dengan otoritas penuh atas dasar tanggung jawab dan cinta kasih, untuk memberikan pertolongan atas ketidakmampuan seseorang dalam melakukan perbuatan-perbuatan hukum, baik yang berhubungan dengan harta benda maupun dengan dirinya (Zahratul Idami. 2012. Jurnal Dinamika Hukum Vol. 12 No. 1: 4).

4) Perwalian (voogdij) adalah pengawasan terhadap anak yang di bawah umur yang tidak berada di bawah kekuasan orang tua serta pengurusan harta kekayaan si anak tersebut sebagaimana di atur oleh Undang-Undang. Perwalian adalah pemeliharaan dan pengawasan anak yatim beserta hartanya (Atika Farah. 2016.

Diponegoro Law Jurnal Vol. 5 No. 3: 3).

5) Perwalian adalah kewenangan yang diberikan kepada seseorang untuk melakukan sesuatu perbuatan hukum sebagai wakil atau kepentingan dan atas nama anak yang tidak mempunyai kedua

(9)

orang tua atau kedua orang tua yang masih hidup masih cakap melakukan perbuatan hukum (Pasal 1 Huruf H Instruksi Presiden No. 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam)

Berdasarkan uraian di atas dapat di simpulkan bahwa perwalian merupakan suatu kewajiban hukum untuk melakukan pengawasan dan pemeliharaan terhadap pribadi anak yang belum dewasa yang tidak berada di bawah kekuasaan orang tuanya dan bertugas untuk menggantikan kekuasaan orang tua terhadap anak dan harta kekayaannya. Perwalian karena kedua orang tuanya tidak cakap melakukan tindakan hukum yang telah meninggal.

Berdasarkan KUHPerdata Belum dewasa yaitu mereka yang belum mencapai umur 21 tahun, dan tidak lebih dahulu kawin. Dalam tiap perwalian, hanya ada satu orang wali (Pasal 331 KUH Perdata).

Anak yang berada di bawah perwalian adalah:

a) Anak sah yang kedua orang tuanya telah dicabut kekuasaan sebagai orang tua.

b) Anak sah yang orang tuanya telah bercerai.

c) Anak sah yang salah satu atau kedua orang tuanya telah meninggal dunia.

d) Anak yang lahir di luar perkawinan.

b. Macam-macam Perwalian

Berdasarkan ketentuan tentang orang-orang yang di angkat menjadi wali, perwalian dapat di bedakan menjadi 3 macam:

1. Perwalian menurut Undang-undang

Jika salah satu orang tua meninggal maka perwalian demi hukum dilakukan oleh orang tua yang masih hidup terhadap anak kawin yang belum dewasa (Pasal 345 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata)

(10)

2. Perwalian dengan Wasiat

Tiap orang tua yang melakukan kekuasaan orang tua atau perwalian, berhak mengangkat seorang wali bagi anaknya jika perwalian tersebut berakhir karena ia meninggal dunia atau berakhir dengan penetapan hakim (Pasal 355 Kitab Undang- Undang Hukum Perdata)

3. Perwalian Datif (Perwalian yang diangkat oleh hakim)

Menurut Pasal 359 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata apabila tidak ada wali menurut undang-undang atau wali dengan wasiat oleh hakim ditetapkan seorang wali.

4. Kawan wali, yaitu jika yang menjadi wali itu si ibu dan ibu ini kawin lagi, maka suaminya menjadi kawan wali (Pasal 351 KUH Perdata).

c. Tugas dan Kewajiban Seorang Wali

Wali berkewajiban mengurus diri dan harta orang yang berada di bawah perwaliannya dengan sebaik-baiknya dan berkewajiban memberikan bimbingan agama, pendidikan dan keterampilan lainnya untuk masa depan orang yang berada di bawah perwaliannya (Iman Jauhari. 2011. Kanun Jurnal Ilmu Hukum edisi Agustus 2011:18).

Wali dilarang mengikatkan, membebani dan mengasingkan harta orang yang berada di bawah perwaliannya, kecuali bila perbuatan tersebut menguntungkan bagi orang yang berada di bawah perwaliannya atau merupakan suatu kenyataan yang tidak dapat dihindarkan (Iman Jauhari. 2011. Kanun Jurnal Ilmu Hukum edisi Agustus 2011:18).

Wali bertanggung jawab terhadap harta orang yang berada di bawah perwaliannya, dan mengganti kerugian yang timbul sebagai akibat kesalahan dan kelalaiannya dengan tidak mengurangi ketentuan yang di atur dalam Pasal 51 ayat (4) Undang-undang Perkawinan, pertanggungjawaban wali tersebut harus dibuktikan pembukuan yang

(11)

ditutup tiap satu tahun satu kali (Iman Jauhari. 2011. Kanun Jurnal Ilmu Hukum edisi Agustus 2011:18).

1. Diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, dalam menjalankan tugasnya wali mempunyai kewajiban-kewajiban yang mengikat antara lain sebagai berikut:

a) Memberitahukan kepada BHP (Balai Harta Peninggalan) terkait adanya perwalian, diatur dalam Pasal 368 KUHPerdata: “Segala wali tersebut dalam bagian ketiga bab ini, berwajib, segera setelah perwalian mulai berjalan, memberitahukan kepada Balai tentang terjadinya perwalian itu. Dalam hal dilalaikannya itu, mereka boleh dipecat, dengan tak mengurangi penggantian biaya, kerugian dan bunga”.

b) Dalam tenggang waktu 3 bulan setelah terjadinya kematian wali bertugas mendaftarkan harta kekayaan suami/istri (Pasal 127 KUHPerdata).

c) Mengadakan inventarisasi mengenai harta si anak yang diperwalikannya (Pasal 386 ayat (1) KUHPerdata).

d) Mengadakan jaminan (Pasal 335 KUHPerdata).

e) Menentukan jumlah yang dapat dipergunakan tiap-tiap tahun oleh anak tersebut dan biaya pengurusan (Pasal 338 KUHPerdata).

f) Mengusahakan supaya dijual segala meja kursi atau perabot rumah yang mana pada permulaan perwalian jatuh dalam kekayaan si belum dewasa, seperti segala benda tidak bergerak yang tidak memberikan hasil, pendapatan atau keuntungan, terkecuali benda-benda itulah di antaranya, yang dalam wujud boleh disimpan dengan persetujuan/izin (Pasal 389 KUHPerdata).

g) Mendaftarkan surat-surat piutang negara jika ternyata dalam harta kekayaan anak tersebut ada surat piutang negara (Pasal 392 KUHPerdata).

(12)

h) Menanam sisa uang milik anak tersebut setelah dikurangi biaya penghidupan tersebut (Pasal 371 KUHPerdata).

i) Menyelenggarakan pengurusan harta kekayaan anak di bawah umur itu dengan baik sesuai dengan undang-undang (Pasal 371 KUHPerdata).

j) Setiap tahun berkewajiban memberikan perhitungan dan tanggung jawab atas pengurusan yang sudah dilakukan (Pasal 373 jo. 409 KUHPerdata).

2. Kewajiban seorang wali adalah mensejahterakan anak, karena kesejahteraan anak adalah suatu tata kehidupan anak yang dapat menjamin pertumbuhan dan perkembangannya dengan wajar, baik secara jasmani, rohani, maupun sosial. Hal ini diatur dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak. Dalam Undang-Undang tersebut mengacu kepada Pasal 34 UUD 1945 yang menyatakan : Fakir miskin dan anak terlantar dipelihara oleh negara. Dengan demikian apabila ketentuan Pasal 34 UUD 1945 ini berlaku secara konsekuen maka kehidupan fakir miskin dan anak terlantar akan terjamin (Darwan Prinst, 2003 : 79).

Demi mendapatkan kesejahteraan bagi sang anak, wali juga memiliki kewajiban untuk melindungi diri anak karena anak adalah karunia Tuhan Yang Maha Esa yang harus dijaga karena dalam dirinya melekat harkat, martabat, hak-hak sebagai manusia yang harus di junjung tinggi. Anak adalah masa depan bangsa dan generasi penerus cita-cita bangsa sehingga setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh, berkembang, berpartisipasi serta berhak atas perlindungan dari tindak kekerasan dan diskriminasi serta hak sipil dan kebebasan (Poerwadarminta, 2006 : 11). Diatur dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 35 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, Perlindungan anak adalah segala kegiatan untuk menjamin dan melindungi anak dan hak-haknya

(13)

agar dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.

3. Tinjauan Umum tentang Pengangkatan Anak (Adopsi) a. Pengertian Pengangkatan Anak (adopsi)

Adopsi berasal dari kata adoptie, bahasa Belanda atau adopsi (adoption) dalam bahasa Inggris yang berarti pengangkatan anak atau mengangkat anak. Dalam bahasa Arab adopsi dikenal dengan istilah

"tabanni yang diartikan dengan "mengambil anak angkat" (Muderis Zaini, 2002: 4).

Beberapa pendapat yang ada mengenai adopsi pada garis besarnya dapat diklasifikasikan dalam dua pengertian; Pertama, adopsi diartikan sebagai salah satu perbuatan hukum yang berupa pengambilan anak orang lain ke dalam keluarga sendiri sedemikian rupa, sehingga antara orang yang memungut anak dan anak yang dipungut itu timbul suatu hubungan hukum kekeluargaan yang sama seperti anak kandungnya sendiri. Kedua, adopsi diartikan sebagai penyatuan seseorang terhadap anak orang lain ke dalam keluarga, diperlakukan sebagai anak dalam segala kecintaan, kasih sayang, pendidikan dan pelayanan serta pemenuhan segala kebutuhan, akan tetapi tidak diperlakukan sebagai nasabnya (Muderis Zaini, 2002: 5).

Diatur dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 35 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, dinyatakan bahwa: Anak angkat adalah Anak yang haknya dialihkan dari lingkungan kekuasaan keluarga orang tua, wali yang sah, atau orang lain yang bertanggung jawab atas perawatan, pendidikan, dan membesarkan anak tersebut ke dalam lingkungan keluarga orang tua angkatnya berdasarkan putusan atau

penetapan pengadilan.

(14)

Sedangkan pendapat Ter Haar tentang pengangkatan anak, sebagaimana dikutip oleh Muderis menyatakan bahwa : “dengan jalan suatu perbuatan hukum, dapatlah orang mempengaruhi pergaulan- pergaulan yang berlaku sebagai ikatan biologis dan tertentu dalam kedudukan sosialnya; sebagai contoh dapat disebutkan : kawin ambil anak (inlijfhuwelijk)”. Kedudukan yang dimaksud membawa dua kemungkinan, yaitu :

a. Sebagai anak, sebagai anggota keluarga melanjutkan keturunan, sebagai ahli waris (yuridis).

b. Sebagai anggota masyarakat (sosial) dan menurut tata cara adat, perbuatan pengangkatan anak itu pasti dilakukan dengan terang dan tunai (Jean K. Matuankotta, 2011. Jurnal Sasi Vol. 17: 73).

Pendapat Ter Haar tersebut secara jelas menyatakan bahwa seseorang anak yang telah diangkat sebagai anak angkat, melahirkan hak- hak yuridis dan sosial baik dalam aspek hukum kewarisan, kewajiban nafkah dan perlindungan anak, perkawinan, dan sosial kemasyarakatan.

b. Pengangkatan anak berdasarkan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 54 Tahun 2007 tentang Pelaksanaan Pengangkatan Anak.

Pengertian Anak Angkat diatur dalam Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 54 tahun 2007 tentang Pelaksanaan Pengangkatan Anak adalah anak yang haknya dialihkan dari lingkungan kekuasaan keluarga orang tua, wali yang sah, atau orang lain yang bertanggung jawab atas perawatan, pendidikan, dan membesarkan anak tersebut, ke dalam lingkungan keluarga orang tua angkatnya berdasarkan keputusan atau penetapan pengadilan.

Sedangkan pengertian pengangkatan anak menurut Peraturan Menteri Sosial Republik Indonesia Nomor: 110/HUK/2009 tentang Persyaratan Pengangkatan Anak adalah suatu perbuatan hukum yang mengalihkan seorang anak dari lingkungan kekuasaan orang tua, wali

(15)

yang sah, atau orang lain yang bertanggung jawab atas perawatan, pendidikan dan membesarkan anak tersebut, ke dalam lingkungan keluarga orang tua angkat.

Pengangkatan anak berdasarkan Peraturan Perundang-undangan mencakup pengangkatan anak secara langsung dan pengangkatan anak melalui lembaga pengasuhan anak yang dilakukan melalui penetapan pengadilan (Jean K. Matuankotta, 2011. Jurnal Sasi Vol. 17 No.3: 74).

Seseorang dapat mengangkat anak paling banyak 2 kali dengan jarak waktu paling singkat 2 tahun. Pengangkatan anak kembar dapat dilakukan sekaligus. Kategori orang tua angkat yang dapat melakukan pengangkatan anak ada dua, yaitu orang tua lengkap suami dan istri warga negara Indonesia atau suami warga negara Indonesia dan istri warga negara asing (Nanik Prasetyoningsih & Tanto Lailam, 2018. Jurnal Surya Masyarakat Vol. 1 No. 1: 6).

Pengawasan Pelaksanaan Pengangkatan Anak (adopsi) diatur dalam Bab VI Peraturan Pemerintah Nomor 54 Tahun 2007 tentang Pelaksanaan Pengangkatan Anak, yaitu bahwa pengawasan dilaksanakan agar tidak terjadi penyimpangan atau pelanggaran dalam pengangkatan anak dan pengawasan tersebut dilaksanakan untuk:

1. Mencegah pengangkatan anak yang tidak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;

2. Mengurangi kasus-kasus penyimpangan atau pelanggaran pengangkatan anak; dan

3. Memantau pelaksanaan pengangkatan anak (adopsi).

Dalam hal terjadi atau diduga terjadi penyimpangan atau pelanggaran terhadap pelaksanaan pengangkatan anak (adopsi), masyarakat dapat melakukan pengaduan kepada aparat penegak hukum dan/atau Komisi Perlindungan Anak Indonesia, instansi sosial setempat atau Menteri Sosial (Sri Suwarni dan R. Tri Yuli Purwono, 2017. Jurnal

Kajian Hukum Vol. 2 No.1: 10-11).

(16)

Pengangkatan anak merupakan suatu perbuatan hukum dalam rangka untuk menjalin kesanak saudaraan ataupun kekeluargaan.

Penetapan anak angkat di Indonesia termasuk dalam kategori Putusan Deklarator yaitu putusan yang bersifat menyatakan atau menegaskan suatu keadaan hukum semata-mata. putusan yang bersifat deklarator atau deklaratif (declaratoir vonnis) adalah pernyataan hakim yang tertuang dalam putusan yang dijatuhkannya. Pernyataan itu merupakan penjelasan atau penetapan tentang sesuatu hak atau titel maupun status, dan pernyataan tersebut dicantumkan dalam amar atau diktum putusan.

Dengan adanya pernyataan adanya putusan telah menentukan dengan pasti siapa yang berhak atau siapa yang mempunyai kedudukan atas permasalahan yang disengketakan. Putusan “declaratoir”, yaitu yang amarnya menyatakan suatu keadaan sebagai suatu keadaan yang sah menurut hukum (Dessy Balaati. .2013. Lex Privatum, Vol.I/No.1/Jan- Mrt/2013: 4). Maka dari itu keabsahan suatu pengangkatan anak merupakan titik tolak dalam menentukan atau menegaskan status hukum seseorang yang diangkat anak. Diatur di dalam peraturan perundangan yang terdapat beberapa prinsip yang mengindikasi beberapa sifat (legal nature) Pengangkatan anak di Indonesia:

1. Pengangkatan anak adalah suatu perbuatan hukum yang mengalihkan seorang anak dari lingkungan kekuasaan orang tua kandung, wali yang sah, atau orang lain yang bertanggungjawab atas perawatan, pendidikan, dan membesarkan anak tersebut kedalam lingkungan keluarga orang tua angkat, artinya bahwa pengangkatan anak menimbulkan akibat-akibat hukum yang di kehendaki oleh pihak-pihak yang terlibat.

2. Pengangkatan anak adalah suatu lembaga hukum untuk melindungi kepentingan anak, artinya peran lembaga pengangkatan anak bukan untuk melayani kepentingan calon orang tua angkat atau orang yang berkeinginan mengangkat anak, melainkan cara untuk melindungi kepentingan anak. Agar dengan lembaga terbuka kemungkinan

(17)

untuk kepentingan seorang anak bisa lebih terlindungi, pemeliharaan dan kesejahteraannya lebih baik. Sehingga hak-hak anak dapat terpenuhi.

3. Pengangkatan anak harus menjaga kesamaan agama yang dianut oleh calon anak angkat dan calon orang tua angkat, artinya kebijakan untuk melindungi hak anak dalam menjalankan ibadah ,menurut agamanya, maka dari itu agama dari orang tua yang mengangkat harus sama dengan agama yang di anut anak yang diangkat. Jika agama anak tersebut tidak di ketahui atau asal-usul anak (anak yang di buang/ anak terlantar) tersebut tidak di ketahui maka agama anak disesuaikan dengan agama mayoritas dia nut oleh penduduk setempat (satu desa atau satu keluarahan). Dengan demikian mengangkat anak yang agamanya berbeda dengan agama calon orang tua angkat adalah tidak diperkenankan.

4. Pengangkatan anak tidak memutuskan hubungan darah antara anak dengan orang tua kandunganya.

5. Kewajiban terbuka kepada anak angkat tentang asal-usulnya dan orang tua asalnya, artinya bahwa setiap anak berhak mengetahui orang tua dan asal-usulnya untuk menghindari terputusnya silsilah dan hubungan darah antara anak dan orang tua kandunganya. Maka secara logis keterbukaan kepada anak angkat tentang asal-usulnya sert orang tua asalnya adalah sebuah keharusan.

6. Pelaksanaan pengangkatan anak dengan mendapatkan penetapan atau putusan pengadilan, kecuali pengangkatan anak melalui adat kebiaaan setempat.

7. Bimbingan dan pengawasan oleh pemerintah dan masyarakat, artinya pengangkatan anak bukan sekedar urusan atau kepentingan pribadi yang menyangkut calon anak angkat beserta orang tua kandungannya, melainkan tetap menjadi kepentingan masyarakat dan negara. Di samping orang tua, menurut Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 35 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas

(18)

Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, negara dan masyarakat memikul tanggung jawab untuk melindungi anak (Rusli Pandika, 2012. 108-110).

Syarat pengangkatan anak bagi calon anak angkat dan calon orang tua angkat yang akan mengangkat anak menurut Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 54 Tahun 2007 Tentang Pelaksanaan Pengangkatan Anak:

1. Calon Anak angkat yang dapat di angkat;

a. Anak belum berusia 18 (delapan belas) tahun, di bagi dalam 3 (tiga) kategori yang meliputi:

1) Anak belum berusia 6 (enam) tahun merupakan prioritas utama, yaitu anak yang mengalami keterlantaran, baik anak yang berada dalam situasi mendesak maupun anak yang memerlukan perlindungan khusus.

2) Anak berusia 6 (enam) tahun sampai dengan 12 (dua belas) tahun sepanjang ada alas an mendesak berdasarkan laporan sosial, yaitu anak terlantar yang berada dalam situasi darurat.

3) Anak berusia 12 (dua belas) tahun sampai dengan 18 (delapan belas) tahun yaitu anak terlantar yang memerlukan perlindungan khusus.

b. Merupakan anak terlantar atau diterlantarkan.

c. Berada dalam asuhan keluarga atau dalam Lembaga Pengasuhan Anak.

d. Memerlukan perlindungan khusus.

2. Calon Orang tua angkat;

a. Sehat jasmani dan rohani.

b. Berumur paling rendah 30 (tiga puluh) tahun dan paling tinggi 55 (lima puluh lima) tahun.

c. Beragama sama dengan agama calon anak angkat.

d. Berekelakuan baik dan tidak pernah di hukum karena melakukan tindak kejahatan.

(19)

e. Berstatus menikah secara sah paling singkat 5 (lima) tahun.

f. Tidak merupakan pasangan sejenis.

g. Tidak atau belum mempunyai anak atau hanya memiliki satu orang anak.

h. Dalam keadaan mampu secara ekonomi dan sosial.

i. Memperoleh persetujuan anak dan izin tertulis dari orang tua atau wali anak.

j. Membuat pernyataan tertulis bahwa pengangkatan anak adalah demi kepentingan terbaik bagi anak, kesejahteraan dan perlindungan anak.

k. Adanya laporan sosial dari pekerja sosial setempat.

l. Telah mengasuh calon anak angkat paling singkat 6 (enam) bulan, sejak izin pengasuhan diberikan.

m. Memperoleh izin Menteri atau Kepala Instansi Sosial Provinsi.

c. Tujuan Pengangkatan Anak (adopsi)

Tujuan dari pengangkatan anak (adopsi) adalah untuk meneruskan keturunan manakala didalam suatu perkawinan tidak memperoleh keturunan yaitu anak. Pengangkatan anak (adopsi) adalah salah satu jalan keluar dan alternatif positif terhadap naluri manusiawi kehadiran seorang anak dalam pelukan keluarga setelah bertahun-tahun belum di karunia seorang anak pun. Di atur dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 35 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak secara tegas menyatakan bahwa tujuan pengangkatan anak dan motivasi pengangkatan anak hanya dapat dilakukan untuk kepentingan yang terbaik bagi anak dan dilakukan berdasarkan adat kebiasaan setempat dan ketentuan peraturan perundang- undangan yang berlaku. Ketentuan ini sangat memberikan jaminan perlindungan bagi anak yang sifatnya memang sangat tergantung dari orang tuanya dengan proses pelaksanaan pengangkatan anak yang diatur dalam Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 54 tahun 2007

(20)

tentang Pelaksanaan Pengangkatan Anak agar dalam proses pengangkatan anak (adopsi) yang dilakukan oleh masyarakat mendapatkan pengawasan dari pemerintah, dinas sosial serta masyarakat itu sendiri dan tujuan dari undang-undang tersebut adalah agar anak mendapatkan kepastian hukum setelah anak tersebut diangkat.

Pengangkatan anak juga di pandang positif dari kepentingan yang terbaik bagi si anak, karena bertujuan untuk sarana meningkatkan kesejahteraan anak, dan untuk memperbaiki masa depan si anak angkat.

Hal ini tidak berarti melarang calon orang tua angkat mempunyai pertimbangan yang sah dalam mengangkat anak, seperti ingin mempunyai anak karena tidak mempunyai anak kandung, tetapi di dalam pengangkatan anak sisi kepentingan calon anak angkatlah yang utamanya harus menjadi pertimbangan. Mengenai adanya kepentingan terbaik bagi calon anak angkat, pengangkatan anak melalui permohonon untuk mendapatkan suatu penetapan atau putusan pengangkatan anak dari pengadilan (Rusli Pandika, 2012. 106-107).

4. Tinjauan Umum tentang Panti Asuhan a. Pengertian Panti Asuhan

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, Panti Asuhan adalah gabungan kata antara Panti dan Asuh. Panti sendiri diartikan sebagai rumah atau tempat kediaman, sedangkan asuh diartikan sebagai kegiatan menjaga, merawat dan mendidik anak. Maka jika kedua kata tersebut digabungkan menjadi Panti Asuhan artinya yaitu rumah atau tempat, kediaman yang digunakan untuk merawat dan memelihara (mengasuh) anak yatim, anak piatu, anak yatim piatu dan juga termasuk anak terlantar.

Menurut Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 1988 Pasal 1 angka 3 tentang Usaha Kesejahteraan Anak Bagi Anak Yang Mempunyai Masalah;

(21)

”Asuhan adalah berbagai upaya yang diberikan kepada anak yang tidak mempunyai orang tua dan terlantar, anak terlantar, dan anak yang mengalami masalah kelakuan, yang bersifat sementara sebagai pengganti orang tua atau keluarga agar dapat tumbuh dan berkembang dengan wajar baik secara rohani, jasmani, maupun sosial”,

artinya yaitu dengan adanya panti asuhan upaya dalam pelaksanaan asuhan terhadap anak yang tidak mempunyai orang tua, anak yang di buang oleh orang tua akibat hubungan diluar nikah, anak yang terlantar, anak yang mengalami masalah kelakuan dapat melangsungkan hidup secara wajar dan peran dari panti asuhan sendiri sebagai pengganti orang tua ataupun keluarga agar anak tersebut bisa tumbuh secara jasmani, rohani maupun sosialnya.

Bedasarkan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 35 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, Kuasa asuh adalah kekuasaan orang tua untuk mengasuh, mendidik, memelihara, membina, melindungi, dan menumbuhkembangkan anak sesuai dengan agama yang dianutnya dan sesuai dengan kemampuan, bakat, serta minatnya.

Beberapa jenis panti anak yang di bentuk oleh intansi pemerintahan maupun swasta menurut Peraturan Menteri Sosial Nomor:

106/HUK/2009 Tentang Organisasi Dan Tata Kerja Panti Sosial Di Lingkungan Departemen Sosial yang ada di Indonesia:

1. Panti Guna

Panti ini merupakan tempat untuk mengasuh anak-anak yang mengalami cacat tubuh dengan prinsip mengembangkan kemampuan anak sejauh mungkin.

2. Panti Pendidikan

Panti ini merupakan tempat untuk mengasuh anak untuk memberikan pelayanan sosial pada anak-anak yang mengalami hambatan belajar karena menyandang masalah sosial agar potensi dan

kapasitas belajarnya pulih kembali.

(22)

3. Panti Asuhan Anak

Panti ini merupakan tempat sementara bagi anak-anak dalam jangka waktu tertentu untuk memberikan pelayanan dan rehabilitasi sosial pada anak-anak normal yang mengalami gangguan sosial ekonomi ataupun keterlantaran.

b. Fungsi dan Tujuan dari Panti Asuhan

Panti asuhan bagi anak merupakan tempat tinggal atau rumah bagi anak yang mempunyai fungsi sebagai berikut:

1) Sebagai pengganti keluarga bagi anak dalam mengembangkan aspek fisik, psikis, maupun sosial dan menghindari anak dari perilaku yang sifatnya menyimpang.

2) Untuk menyiapkan anak-anak asuh menjadi manusia Indonesia yang berdiri sendiri sesuai situasi kondisi di lingkungannya dan bertanggung jawab baik ekonomi, sosial maupun mental.

3) Mengembangkan kesejahteraan bersama pemerintah serta dukungan dari masyarakat demi mendayagunakan anak sebagai penerus pembangunan bangsa yang lebih baik dan mencegah anak dari penelantaran, perlakuan salah terhadap anak ataupun perlakuan sewenang-wenang yang dilakukan oleh orang tua (Andayani Listyawati, 2008. 23-24).

Tujuan dari panti asuhan bagi anak menurut Peraturan Menteri Sosial Nomor: 106/HUK/2009 Tentang Organisasi Dan Tata Kerja Panti Sosial Di Lingkungan Departemen Sosial adalah sebagai berikut:

1) Memberikan pelayanan sosial yang meliputi perawatan, bimbingan, pendidikan, pengembangan dan rehabilitas, kemudian menyerahkan mereka menjadi anggota masyarakat yang dapat hidup lebih layak dan penuh tanggung jawab sebagaimana mestinya terhadap diri sendiri, keluarga maupun masyarakat.

2) Terbentuknya manusia-manusia yang berkepribadian matang dan berdedikasi, mempunyai keterampilan kerja yang mampu menopang

(23)

hidupnya dan hidup keluarganya, menjadikan manusia yang berkualitas.

Sesuai dengan tujuan panti asuhan sebagai lembaga kesejahteraan sosial, bahwa panti sosial tidak hanya memberikan pelayanan, pemenuhan kebutuhan fisik semata namun juga berfungsi sebagai tempat kelangsungan hidup dan tumbuh kembang anak-anak terlantar yang diharapkan mereka dapat hidup secara mandiri dan mampu bersaing dengan anak-anak lain yang masih mempunyai orang tua serta berkecukupan.

(24)

B. Kerangka Pemikiran

UUD 1945 Pasal 28 B

“setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh, dan berkembang serta berhak atas perlindungan atas kekerasan dan diskriminasi”

Perlindungan Bagi Anak Undang-Undang

Republik Indonesia Nomor 35 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak

Panti Asuhan Putra Bakti Kabupaten

Batang Jalan Garuda V No.

22 Dracik Kampus Proyonanggan Selatan, Batang

Kesejahteraan Bagi Anak

 UU No.4 Th. 1979 Tentang Kesejahteraan Anak

 UU No.39 Th. 1999

Tentang Hak Asasi Manusia

 PP No. 2 Th.1988 tentang Usaha Kesejahteraan Anak Bagi Anak Yang

mempunyai Masalah

Keputusan Terbaik Anak Pasal 9 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 35 Tahun 2014 Tentang

Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak

Pengangkatan Anak

Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 54 tahun 2007 tentang Pelaksanaan

Pengangkatan Anak

Pelaksanaan Pengangkatan Anak (adopsi) di Panti Asuhan Putra Bakti Kabupaten Batang

Permasalahan Yang Timbul dan Upaya

Mengatasi

(25)

Keterangan:

Menurut kerangka pemikiran diatas mencoba memberikan gambaran mengenai alur pemikiran penulis dalam mengangkat, menggambarkan dan menjelaskan dari permasalahan dalam penelitian ini. Berdasarkan Pasal 28 B ayat (1) Undang-undang Dasar 1945 yang berbunyi “setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh, dan berkembang serta berhak atas perlindungan atas kekerasan dan diskriminasi” yang artinya bahwa anak berhak tumbuh dan berkembang dengan layak dan mendapatkan pelindungan serta kesejahteraan. Maka pemerintah mempertegas agar anak mendapat pelindungan dan kesejahteraan dengan membentuk Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 35 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak dan Aspek-aspek kesejahteraan anak yang ada di dalam perwalian di Panti Asuhan sendiri yaitu Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1979 Tentang Kesejahteraan Anak, Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia, Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 1988 tentang Usaha Kesejahteraan Anak Bagi Anak Yang Mempunyai Masalah. Hal tersebut sebagai pedoman bagi anak yang masih di dalam perwalian agar mereka tetap hidup dalam keadaan yang sejahtera, layak dan tetap mendapat perlindungan dari wali atapun negara khususnya Undang-Undang. Anak yang ada di bawah Perwalian di Panti Asuhan Putra Bakti sendiri akan di bimbing, di didik, dan di beri bekal dalam menjalani kehidupan dengan sebaik-baiknya oleh pengurus Panti Asuhan Putra Bakti yang bertujuan agar jika hidup di masyarakat menjadi orang yang berguna bagi lingkungannya.

Panti Asuhan Putra Bakti merupakan panti asuhan yang berada di Kabupaten Batang beralamat di Jalan Garuda V No. 22 Dracik Kampus Proyonanggan Selatan, Batang, Jawa Tengah yang fungsinya sebagai memberikan perlindungan dan pelayanan kesejahteraan sosial bagi anak yang membutuhkan pengasuhan. Panti Asuhan Putra Bakti sendiri bertindak sebagai wali bagi anak yang dalam proses pengasuhannya harus

(26)

memperhatikan beberapa aspek kesejahteraan dan melindungi sepenuhnya anak.

Demi keputusan terbaik bagi sang anak agar mendapatkan kehidupan yang lebih layak dan mendapat kasih sayang di dalam keluarga maka anak yang berada di Panti Asuhan Putra Bakti Kabupaten Batang dapat di angkat asalkan orang tua yang ingin mengangkat anak tersebut menjamin kehidupan yang lebih baik bagi sang anak. Maka di dalam Pasal 9 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 35 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas Undang- Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak di sebutkan bahwa anak berhak mendapatkan pendidikan dan pengajaran dalam rangka pengembangan pribadinya dan tingkat kecerdasannya sesuai dengan minat dan bakat, anak berhak mendapatkan perlindungan di satuan pendidikan dari kejahatan seksual dan kekerasan yang dilakukan oleh pendidik, tenaga kependidikan, sesama peserta didik, dan/atau pihak lain, serta anak penyandang disabilitas berhak memperoleh pendidikan luar biasa dan Anak yang memiliki keunggulan berhak mendapatkan pendidikan khusus. Undang- undang tersebut sangat berkaitan dengan pelaksanaan pengangkatan anak (adopsi) agar anak yang diangkat terjamin kesejahteraan dalam kehidupannya dan mendapatkan perlindungan hukum setelah diangkat.

Pengangkatan anak harus sesuai dengan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 54 Tahun 2007 tentang Pelaksanaan Pengangkatan Anak melalui pengadilan dengan proses pengangkatan yang sesuai, baik berupa tata cara dan persyaratan yang harus di penuhi. Hal tersebut bertujuan untuk menjamin kepentingan anak angkat, jaminan atas kepastian, keamanan, keselamatan, pemeliharaan, pertumbuhan anak angkat, sehingga pengangkatan anak sendiri memberi peluang pada anak untuk hidup yang lebih sejahtera.

Pelaksanaan pengangkatan anak yang dilakukan oleh Panti Asuhan Putra Bakti Kabupaten Batang mempunyai beberapa permasalahan yang timbul, dimana proses pelaksanan pengangkatan anak (adopsi) dilakukan secara langsung tidak melalui proses penetapan pengadilan dengan cara

(27)

melalui persetujuan pihak keluarga saja. Panti Asuhan Putra Bakti Kabupaten Batang sendiri hanya sebagai pihak wali dari anak angkat dan sebagai pihak mempertemukan antara orang tua kandung dengan orang tua angkat yang nantinya akan memberikan keputusan sepenuhnya kepada orang tua kandung dan orang tua angkat dalam proses pengangkatan anak (adopsi) serta sebagai saksi dalam perjanjian yang disepakati antara kedua belah pihak, namun hal tersebut bisa diselesaikan dengan baik yang mana nantinya akan menjadi suatu solusi dalam kendala pelaksanaan pengangkatan anak yang dilakukan di

Panti Asuhan Putra Bakti Kabupaten Batang.

Referensi

Dokumen terkait

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui faktor-faktor yang mendorong petani mengkonversikan lahan pertanian, dampak dari konversi lahan pertanian, pengendalian

Selain mengenali gaya belajar, yang perlu dipahami tentang potensi otak anak dalam pembelajaran anak usia dini adalah terkait dengan amygdala yang berkembang pesat pada

Media pembelajaran interaktif sangat berperan penting di dalam pendidikan karena dengan media pembelajaran interaktif yang tepat materi dan sesuai dengan tujuan

Berdasarkan hasil analisis pengamatan pada lembar observasi kegiatan guru dan lembar observasi kegiatan siswa selama proses pembelajaran pada siklus I belum mencapai

Ada sebagian orang yang senang sekali membatasi hidup orang lain berdasarkan warna yang dia gunakan, misalnya mengatakan “kamu sih suka baju warna hitam,

The research is focused on the development a tool for converting IOTNE into IOTED and apply the tool to obtain EDM in the Indonesian industrial sector based on the 2008

Aspek sosial dilihat dari tingkat partisipasi petani kopi dalam kegiatan kelompok tani, petani mampu memiliki tingkat partisipasi yang tinggi dalam setiap

Penulis menyadari bahwa dalam proses perancangan program laundry dengan menggunakan bahasa pemrograman Visual Basic 6.0 ini masih banyak kekurangannya,