Makalah REVIEW
Alternatif Teknik Konservasi Tanah untuk Kawasan Budidaya Sayuran di Lahan Kering Dataran Tinggi Beriklim Basah
Alternative of Soil and Conservation Techniques for Vegetable Farming Area in Upland of Wet Climate
Umi Haryati
Balai Penelitian Tanah, Jl. Tentara Pelajar No. 12, Cimanggu, Bogor 16114. Email: [email protected]
Diterima 18 September 2016; Direview 10 Oktober 2016; Disetujui dimuat 28 Oktober 2016
Abstrak. Kawasan budidaya sayuran di lahan kering dataran tinggi beriklim basah terletak pada ketinggian diatas 700 m dpl, topografi datar-berombak sampai bergunung dengan kemiringan > 25%, curah hujan 2.000 – 4.500 mm tahun-1 dengan jenis tanah Andisol, Inceptisols, Ultisols, Oxisols, dan Entisols. Luas lahan kering beriklim basah ini mencapai 31.715.064 ha atau 21,95% dari luas lahan kering di Indonesia. Kawasan ini pada umumnya diusahakan secara intensif dengan tanaman sayuran bernilai ekonomi tinggi dalam pola tanam monokultur dan atau tumpangsari dengan berbagai macam tanaman sayuran. Pola tanam yang biasa dilakukan petani sangat bervariasi secara spasial maupun temporal. Areal ini sangat potensial untuk dikembangkan menjadi sentra produksi sayuran dataran tinggi, namun usahatani sayuran di kawasan ini sangat rawan erosi, sehingga teknik konservasi tanah mutlak diperlukan. Di lain pihak, petani di kawasan ini belum sepenuhnya menerapkan kaidah- kaidah konservasi tanah yang baik pada sistem usahataninya. Makalah ini mengemukakan alternatif teknik konservasi tanah dan air yang dapat diterapkan di kawasan budidaya sayuran dataran tinggi beriklim basah berdasarkan: efektivitas teknik pengendalian erosi, hasil tanaman, efisiensi usahatani serta persepsi dan preferensi petani terhadap teknik konservasi tanah di dataran tinggi beriklim basah. Berdasarkan hal tersebut, maka alternatif teknik konservasi tanah yang dapat diimplementasikan pada kawasan budidaya sayuran di lahan kering dataran tinggi beriklim basah adalah : 1) teras bangku, dilengkapi dengan tanaman penguat teras; 2) bedengan searah lereng pada teras bangku miring; 3) bedengan searah kontur pada teras bangku miring; 4) bedengan searah lereng, dipotong gulud per 5 m panjang lereng; 5) bedengan searah lereng, dipotong gulud dan rorak per 5 m panjang lereng; 6) bedengan searah kontur; dan 7) bedengan searah kontur + mulsa plastik/jerami.
Kata kunci: Erosi / Efisiensi Usahatani / Preferensi Petani / Teknik Konservasi Tanah / Lahan Kering Dataran Tinggi Beriklim Basah Abstract. Vegetable farming area in upland wet climate is located in altitude more than 700 m above sea level, flat to undulating up to mountaineous tophography, and more than 25% of slope, rain fall 2,000 – 4,500 mm per year, and soils ordo were Andisol, Inceptisols, Ultisols, Oxisols, and Entisols. This area was approximately 31,715,064 ha or 21.95% of upland area in Indonesia, and generally cultivated intensively by farmers for high economic value vegetable farming in monoculture or multiple cropping systems. Farmer’s cropping pattern was spacially and temporally varied. The upland wet climate area was very potential to be developed as highland vegetable production center, however, mostly vegetable farming in this area was susceptible to erosion, so that the soil conservation practices has to be absolutely implemented. On the other hand, farmers in this region have not yet implemented the principles of soil conservation technique properly in their farming systems. This paper proposes the alternative justifications of soil conservation practices that can be applied in upland vegetable farming i wet climate highland based on the effectiveness of erosion control, crop yield, financial farming efficiency as well as farmer’s perceptions and preferences on soil conservation techniques in the upland wet climate. Based on the variables mentioned the alternative soil conservation techniques that can be implemented in upland vegetable farming of wet climate are : 1) bench terraces with strengthening the terrace raiser by plants; 2) raise beds in the direction of slope on sloping bench terraces; 3) raise beds in the same direction of contour on sloping bench terraces; 4) raise beds in the same direction of the slope, cut by ridge every 5 m long of slope; 5) raise beds parallel with the slope, cut by ridge and ditch every 5 m long of slope; 6) raise beds parallel with the contour; and 7) raise beds parallel with contour plus plastic/straw mulch.
Keywords: Erosion / Financial Farming Efficiency / Farmers Preferences / Soil Conservation Techniques/ Upland Wet Climate
PENDAHULUAN
ahan kering dataran tinggi adalah hamparan lahan yang tidak pernah tergenang atau digenangi dalam penggunaannya sepanjang tahun dan terletak pada ketinggian > 700 m di atas permukaan laut (dpl). Lahan kering di dataran tinggi dibatasi pada hamparan lahan yang terletak pada ketinggian 700 m dpl atau lebih dan dasar penentuan ketingian tersebut adalah karena adanya perubahan suhu udara dan tingkat adaptasi tanaman terhadap suhu udara pada ketinggian tersebut (Undang Kurnia et al. 2000). Berdasarkan tipe iklim, lahan kering dataran tinggi dapat dikategorikan ke dalam lahan kering dataran tinggi berikilim basah dan lahan kering dataran tinggi beriklim kering (Badan Litbang Pertanian 2014).
Diasumsikan, lahan kering dataran tinggi beriklim basah mempunyai curah hujan rata-rata > 2000 mm tahun-1 sedangkan yang beriklim kering < 2000 mm tahun-1. Tipe iklim ini akan sangat berpengaruh terhadap proses pembentukan dan pelapukan tanah, sehingga sifat-sifat tanah baik secara fisik, kimia dan biologi akan berbeda. Selanjutnya perbedaan sifat-sifat tanah tersebut berpengaruh terhadap strategi pengelolaan tanahnya. Lebih lanjut hal tersebut juga akan berpengaruh terhadap pengambilan keputusan tentang rekomendasi teknologi pengelolaan tanah.
Kawasan atau wilayah pertanian hortikultura sayuran banyak tersebar di dataran tinggi dengan kemiringan lahan yang curam (lereng 8 - > 45%) disertai curah hujan yang tinggi (>2.000 mm tahun-1) dan sebagian besar tanahnya termasuk Ordo Andisol yang peka terhadap erosi (Undang Kurnia et al. 2000).
Hilman et al. (2009) menyatakan bahwa salah satu tantangan lingkungan yang dihadapi pembangunan pertanian khususnya yang berbasis komoditas sayuran di dataran tinggi adalah kerusakan lahan pertanian akibat erosi dan longsor.
Di lain pihak, petani di kawasan hortikultura sayuran dataran tinggi belum sepenuhnya menerapkan kaidah-kaidah konservasi tanah dan air dengan baik dan benar. Sebagian besar petani di kawasan ini menanam sayuran pada bedengan-bedengan yang dibuat sejajar lereng atau menanam sayuran searah dengan lereng (Undang Kurnia et al. 2000; Badan Litbang Pertanian 2014) sehingga erosi dan aliran permukaan sangat tinggi, yang akhirnya mempercepat terjadinya kerusakan lahan atau degradasi lahan.
Usahatani sayuran sering dituding sebagai kegiatan yang tidak ramah lingkungan karena banyak dilakukan
pada lahan berlereng curam , curah hujan tinggi, tanpa tindakan konservasi tanah yang memadai (Rachman dan Dariah 2009). Oleh karena itu kaidah-kaidah konservasi tanah dan air mutlak diperlukan pada wilayah ini agar tanah tidak cepat rusak/terdegradasi, sehingga tanah bisa digunakan secara lestari/
berkelanjutan.
Penerapan teknik konservasi tanah dan air sangat bermanfaat karena dapat: a) menghambat erosi dan aliran permukaan, b)mengurangi hara yang hilang, c) meningkatkan efisiensi pemupukan, d) menyeimbang- kan kehilangan dan laju pembentukan tanah dan e) meningkatkan hasil tanaman (Haryati et al. 2013a).
Telah banyak hasil-hasil penelitian teknologi konservasi tanah dan air, baik teknik konservasi tanah mekanik (Abunyamin dan Suwardjo 1979; Haryati et al.
1992; Thamrin et al. 1990; Tala’ohu et al. 1992; Haryati et al. 1993; Haryati et al. 1995; Suganda et al. 1997;
Haryati dan Undang Kurnia 2001; Erfandi et al. 2002;
Dariah et al. 2004; Haryati 2008; Haryati et al. 2013c) maupun vegetatif (Suwardjo 1980; Suwardjo et al. 1989;
Sutapraja dan Ashandi 1998; Haryati et al. 1991, Suganda et al. 1994) yang secara teknis telah berhasil dapat mengendalikan erosi, aliran permukaan, dan degradasi lahan.
Makalah ini bertujuan untuk menyajikan tentang alternatif teknik konservasi tanah dan air untuk diterapkan di kawasan budidaya sayuran dataran tinggi beriklim basah agar degradasi lahan dapat dikendalikan dan produktivitas lahan dapat dioptimalkan secara berkelanjutan
TIPE AGROEKOSISTEM
Topografi dan Kemiringan Lahan
Topografi dan kemiringan lahan kering dataran tinggi berkisar dari datar-berombak (0-8%) sampai bergunung (>25%). Topografi datar-berombak menempati 9,6%, bergelombang 2,24%, berbukit 14,76% dan topografi bergunung mendominasi (71, 4%) wilayah lahan kering dataran tinggi beriklim basah.
Wilayah lahan kering dataran tinggi dengan topografi bergunung (> 25%) tersebut tersebar di Pulau Sumatera, Kalimantan, Sulawesi dan Irian Jaya (Tabel 1).
Topografi dan kemiringan lahan sangat berpengaruh terhadap keputusan atau pilihan alternatif teknologi konservasi tanah dan air yang dapat
L
diimplementasikan di wilayah yang bersangkutan.
Pemilihan jenis teknik konservasi tanah dan air yang akan diterapkan harus didasarkan kepada kemiringan lahan, kedalaman solum dan kepekaan tanah terhadap erosi (Sukmana et al. 1990).
Ciri/karakteristik lahan kering dataran tinggi adalah : ketinggian tempat > 700 m dpl, lereng > 25%
(Badan Litbang Pertanian, 2014). Arsanti dan Boehme (2006) melaporkan kondisi fisik geografis kawasan budidaya sayuran di lahan kering dataran tinggi di daerah Kec. Pangalengan, Kab. Bandung, Prov. Jawa Barat; Kec. Kejajar, Kab. Wonosobo, Prov. Jawa Tengah serta Kec. Berastagi dan Simpang Empat, Kab.
Karo, Prov. Sumareta Utara. Kawasan tersebut mempunyai topografi yang didominasi oleh kategori berombak sampai bergunung dengan kemiringan 25 - >
40%, dan terletak pada ketinggian 1.000 – 3.000 m dpl.
Beberapa daerah kawasan budidaya sayuran mempunyai topografi berombak sampai bergunung, dengan kemiringan 9 - > 45%, pada ketinggian tempat 800 – 2.000 m dpl (Haryati 2014).
Iklim dan Jenis Tanah
Karakteristik lahan kering dataran tinggi berdasarkan iklim dapat dibagi 2, yaitu lahan kering dataran tinggi beriklim basah dan lahan kering dataran tinggi beriklim kering. Karakteristik tersebut dibedakan berdasarkan elevasi, curah hujan, jenis tanah (ordo), regim kelembaban, solum, fragmen kasar serta sifat kimia yang meliputi pH, bahan organik, kejenuhan Al, kejenuhan basa, dan KTK. Dataran tinggi iklim basah
banyak tersebar di provinsi Aceh, Sumatera Utara, Sumatera Barat, Jawa Timur, Sulawesi Selatan, Sulawesi Utara, Papua, dan Papua Barat sedangkan dataran tinggi beriklim kering banyak tersebar di provinsi Jawa Timur, Bali, Nusa Tenggara Barat (NTB), dan Nusa Tenggara Timur (NTT) (Tabel 2).
Tabel 1. Luas lahan kering dataran tinggi (>700 m dpl) berdasarkan bentuk wilayahnya Table 1. Upland in highland area (>700 m above sea level) based on the land form
No Pulau Datar -
berombak (0- 8%)
Bergelombang (8 – 15%)
Berbukit (15 – 25% )
Bergunung
(>25%) Total ……….. ha ………..
1 Sumatera 816.850 396.900 641.400 3.349.950 5.205.100
2 Jawa dan Bali 600 386.300 215.250 900.600 1.505.750
3 NTB 132.500 67.200 122.900 972.400 1.295.000
4 NTT 65.300 15.900 586.800 456.200 1.124.200
5 Kalimantan 711.600 163.000 1.016.600 4.867.600 6.758.800
6 Sulawesi 187.100 180.700 540.420 4.511.000 5.418.220
7 Maluku 37.200 24.300 561.500 444.000 1.067.000
8 Irian Jaya 962.400 15.200 676.500 5.513.900 7.168.000
Indonesia 2.913.550 1.252.500 4.361.370 21.015.650 29.543.070
Persentase 9,86 4,24 14,76 71,14 100,00
Sumber : Undang Kurnia et al (2000)
Tabel 2. Karakteristik lahan kering dataran tinggi berdasarkan iklim
Table 2. Upland of highland characteristic based on the climate No Karakteristik Dataran Tinggi Iklim
Basah
Dataran Tinggi Iklim Kering
1 Elevasi (m dpl) > 700 >700 2 Curah hujan
(mm/tahun)
>2000 <2000
3 Tanah
Ordo Entisols, Inceptisols, Ultisols, Oxisols, Andisols
Entisols, Inceptisols, Andisols, Alpfisols, Mollisols
Regim kelembaban
Udik Ustik
Solum Tebal Tipis
Fragmen kasar Halus-sedang Sedang – Kasar berbatu 4 Kimia
pH <5,5 >5,5
Bahan Organik (%)
<1,5 >1,0
Kej Al (%) >10 <10
Kej Basa (%) <50 >50 KTK
(cmol+/kg)
<16 >16
5 Penyebaran Aceh, Sumut, Sumbar, Jatim, Sulsel, Sulut, Papua, Papua Barat
Jatim, Bali, NTB, NTT
Sumber : Badan Litbang Pertanian (2014)
Lahan kering dataran tinggi iklim basah didominasi oleh tanah Ultisols, Oxisols, dan Inceptisols, yang mempunyai reaksi tanah masam dan didominasi kelerengan yang curam. Pada daerah volkan, ditemukan tanah Andisols dengan tekstur lebih berpasir dan warna lebih hitam. Kualitas lahan Andisols tergolong lebih baik daripada Ultisols, Oxisols atau Inceptisols, sehinga banyak diusahakan untuk tanaman sayuran dataran tinggi. (>700 m dpl), seperti tomat, wortel, kentang, dan aneka sayuran daun.
Selain itu dijumpai pula beberapa tanaman tahunan yang cocok pada dataran tinggi seperti apel, kopi arabika, dan kelengkeng. Sampai saat ini, sayuran banyak diusahakan pada lahan berlereng curam (>
25%), tanpa usaha konservasi tanah yang memadai, sehingga proses erosi sulit dihindari (Badan Litbang Pertanian 2014).
Luas daratan Indonesia mencapai 191,09 juta ha, sekitar 144,47 juta ha atau 75,60% diantaranya merupakan lahan kering. Lahan kering dataran rendah mencakup areal dominan, seluas 111,33 juta ha atau 77,06% dari total luas lahan kering, sisanya berupa dataran tinggi sekitar 33,14 juta ha (Tabel 3).
Arsanti dan Boehme (2006) melaporkan iklim dan jenis tanah kawasan budidaya sayuran di lahan kering dataran tinggi di daerah Kec. Pangalengan, Kab.
Bandung, Prov. Jawa Barat; Kec. Kejajar, Kab.
Wonosobo, Prov. Jawa Tengah serta Kec. Berastagi dan Simpang Empat, Kab. Karo, Prov. Sumareta Utara. Kawasan tersebut mempunyai curah hujan 2.300 - 4.700 mm tahun-1 dengan jenis tanah Latosol, Litosol, Regosol dan Andisol (Pangalengan), Latosol dan Regosol (Kejajar) dan Andosol dan Latosol (Berastagi dan Simpang Empat). Peneliti lain (Haryati 2014) merangkum bahwa pada beberapa daerah,
kawasan budidaya sayuran mempunyai curah hujan 2.800 – 3.300 mm tahun-1 dengan jenis tanah Inceptisol dan Andisol (dominan).
Pola tanam existing
Potensi lahan kering untuk usahatani tanaman sayuran cukup tinggi. Ditinjau dari segi luasan, lahan kering yang potensial untuk diusahakan tanaman sayuran mencapai 1,00 juta ha (1,19% dari total lahan kering dataran tinggi), umumnya berada di kawasan Gunungapi yang masih aktif dan area tersebut didominasi oleh tanah-tanah Andisol dan atau tanah- tanah yang mempunyai sifat andik (Tabel 4).
Tabel 4. Potensi lahan kering untuk pertanian tanaman sayuran dataran tinggi Table 4. The potency of upland for highland vegetable
farming
Sumber : Badan Litbang Pertanian (2014), *) termasuk tanaman pangan, tanaman tahunan dan buah2an, dan penggembalaan ternak
No Pulau Tanaman sayuran
dataran tinggi (ha)
Total (ha)*)
1 Sumatera 39.573 20,192.005
2 Jawa 1.008.677 8.786.488
3 Bali & NT 44.534 4.285.967
4 Kalimantan 0 30.480.524
5 Sulawesi 24.416 9.361.239
6 Maluku 5.194 5.079.118
7 Papua 0 13.345.042
Indonesia 1.008.140 91.530.383
% Potensi lahan 1,19 100
% Lahan kering 0,759 63,42
Tabel 3. Luas Lahan Kering (ha)berdasarkan iklim Table 3. Upland area (ha) based on the climate
No Pulau Dataran Tinggi Iklim Basah Dataran Tinggi Iklim Kering Total (termasuk LK DR)
1 Sumatera 10.426.569 0 33.254.797
2 Jawa 2.454.816 508.781 10.274.607
3 Bali & NT 415.979 652.942 6.704.411
4 Kalimantan 1.576.455 0 41.614.619
5 Sulawesi 6.109.154 267.093 16.574.626
6 Maluku 1.162.130 0 7.449.186
7 Papua 9.569.970 0 28.600.966
Indonesia 31.715.064 1.428.816 144.473.211
% Lahan Kering 21,95 0,99 100,00
% Indonesia 16,60 0,75 75,60
Sumber : Badan Litbang Pertanian (2014), LKDR = Lahan kering dataran rendah
Kawasan budidaya sayuran di lahan kering dataran tinggi beriklim basah pada umumnya diusahakan secara intensif dengan tanaman sayuran bernilai ekonomi tinggi dalam pertanaman monokultur dan atau tumpangsari dengan tanaman sayuran lainnya. Di dalam satu tahun musim tanam, terdapat beberapa jenis tanaman sayuran semusim yang ditanam secara berurutan mengikuti pola tanam yang biasa diusahakan oleh petani setempat. Pola tanam yang biasa dilakukan petani sangat bervariasi secara spasial maupun temporal, sebagai contoh pada lokasi yang sama (Desa Pelompek, Kec. Gn. Tujuh, Kab. Kerinci, Prov. Jambi) pada tahun yang berbeda (tahun 2010 dan 2013) mempunyai pola tanam yang berbeda (Tabel 5).
Variasi jenis dan pola tanam beberapa usahatani di kawasan budidaya sayuran di lahan kering dataran tinggi beriklim basah diantaranya adalah (Tabel 5).
EFEKTIVITAS PENGENDALIAN EROSI
Beberapa hasil penelitian menunjukkan bahwa efektivitas pengendalian erosi beberapa teknikkonservasi pada lahan budidaya sayuran di lahan kering dataran tinggi tergantung pada kemiringan, jenis tanah, curah hujan, jenis komoditas/tanaman, dan jenis teknik konservasi yang diterapkan (Lampiran 1).
Teknik konservasi tanah akan lebih efektif apabila dikombinasikan antara teknik konservasi mekanik dan vegetatif.
Teknik konservasi berupa bedengan (B) yang dibuat searah kontur (K) (memotong lereng) atau (B//K) pada pertanaman kentang di Kec. Batur, Kab.
Banjarnegara dapat menurunkan erosi sampai 50%
(Sutapraja dan Ashandi 1998) dan, bahkan apabila bedengan tersebut dibuat pada teras bangku miring keluar yang diperkuat dengan rumput pada tampingan dan bibir terasnya pada pertanaman kubis dapat menurunkan erosi sampai lebih kecil dari pada erosi yang diperbolehkan (tolerable soil loss = TSL)(Haryati et al. 2000). Teknik konservasi B//K yang diaplikasikan pada pertanaman kentang dapat menurunkan erosi 80%
dibandingkan apabila bedengan (B) tersebut dibuat sejajar lereng(L) atau (B//L), sedangkan pada
Tabel 5. Variasi jenis dan pola tanam di kawasan budidaya sayuran di lahan kering dataran tinggi beriklim basah Table 5. Kind and cropping pattern variation in vegetable farming area in upland of wet climate
No Lokasi Altitude
(m dpl)
Pola tanam sayuran Sumber
1 Desa Pelompek, Kec.
Gn.Tujuh, Kab. Kerinci, Prov.
Jambi
1.400 - 1.500 kentang-kubis-cabai Hartatik et al.
2010 kentang-cabai/tomat-ubi jalar
bawang daun, bawang merah, buncis, tomat dan wortel (ditanam secara sporadis)
2 Desa Ketep dan Banyuroto, Kec. Sawangan, Kab.
Magelang, Prov. Jawa Tengah
800 – 1.200 Cabai + Kubis - tomat + Sawi Haryati et al.
2013 (b) Cabai + kol bunga - tomat + bawang daun
Tomat + kol bunga - cabai + caisin + bawang daun – tembakau
Cabai - tembakau + kubis/bawang daun Tomat + kubis – cabai
Tomat + bawang daun - tembakau + kubis Monokultur stroberi
3 Lembang, Kb. Bandung, Prov.
Jawa Barat
1.000-1.300 Kubis-buncis/jagung/caisin-kubis/kentang Maryati dan Murtiani 2013 Kubis - buncis - jagung/ ubi jalar
Kol bunga - buncis - bunga kol/jagung/ ubi jalar Kubis - jagung - kentang - kubis
Buncis - jagung – kubis Kubis - wortel – kentang Kubis -kentang –wortel
Kubis + bawang- wortel + tomat – kentang + tomat
Kubis + jagung – wortel - bawang 4 Desa Pelompek, Kec. GnTujuh,
Kab. Kerinci, Prov. Jambi
> 700 Kentang - kubis – wortel Suratman dan
Kasno 2013 Kentang - Cabai - kubis - wortel
Cabai + kentang - kubis - wortel Cabai + bawang - kubis - wortel
pertanaman cabai keriting teknik konservasi B//K dapat menurunkan erosi sampai 85% (Suganda et al.
1999) serta erosi yang terjadi lebih kecil dari pada TSL (Tabel Lampiran 1). TSL untuk daerah kawasan budidaya sayuran di lahan kering dataran tinggi menurut Thompson (1957 dalam Arsyad 2010) adalah 13,46 t ha-1 tahun-1.
Selanjutnya hasil penelitian yang lain di Kab.
Kerinci (Haryati dan Erfandi 2014) dan di Kab. Garut (Haryati et al. 2015) juga menunjukkan bahwa teknik konservasi cara petani (CP) berupa tanaman pada bedengan yang dibuat searah lereng (B//L) dipotong gulud dan atau rorak setiap 5 m panjang lereng juga dapat menurunkan erosi sampai lebih kecil dari pada TSL. Bedengan searah lereng (B//L) meskipun diberi mulsa plastik, erosi yang terjadi masih diatas TSL (Lampiran 1).
PRODUKTIVITAS TANAMAN SAYURAN
Beberapa hasil penelitian menunjukkan bahwa produktivitas beberapa jenis tanaman sayuran di beberapa daerah kawasan budidaya sayuran di lahan kering dataran tinggi sangat berfluktuasi (Lampiran 2).Tanaman kentang mempunyai produksi yang berkisar dari 3 - 36 t ha-1 (rata-rata 11,09 t ha-1) di Kab. Kerinci dan 14-22 t ha-1 (rata-rata 14,68 t ha-1) di Kab.
Banjarnegara. Rendahnya hasil kentang di Kab.
Kerinci saat itu karena tanaman diserang layu fusarium, namun demikian hasil kentang dengan teknik konservasi tanah bedengan searah kontur (B//K) mempunyai hasil lebih tinggi dari pada cara petani (B//L) (Hartatik et al. 2010, Haryati et al. 2013e, Haryati dan Erfandi 2014). Sebagai pembanding pada tingkat provinsi rata-rata produktivitas kentang di Jambi dan Sumatera Barat masing-masing mencapai 17,9 dan 18,1 t ha-1. Demikian juga halnya hasil penelitian Edison et al. (2010) yang menunjukkan bahwa produktivitas kentang di wilayah Kayu Aro mencapai 14,6 t ha-1.
Hasil panen kubis (berat segar tanaman kubis) berkisar dari 30 - 35 t ha-1 dengan rata-rata 32,48 t ha-1. Produksi ini relatif tinggi dan hasil kubis pada perlakuan teknik konservasi tanah berupa bedengan yang dibuat searah kontur (B//K) maupun 45o terhadap kontur (B45K) lebih tinggi dibandingkan cara petani (B//L) (Haryati et al. 2000) (Lampiran 2).
Berdasarkan data statistik produktivitas rata-rata tanaman kubis di Provinsi Jambi adalah sekitar 22,9 t ha-1 (tahun 2009) dan 26,6 t ha-1 (tahun 2011) atau di
Provinsi Sumatera Barat sekitar 31,4 t ha-1 (tahun 2000) dan 31,4 t ha-1 (tahun 2011)
.
Produktivitas tanaman cabai juga sangat fluktuatif tergantung varietasnya dan kejadian serangan penyakit pada saat itu. Hasil tersebut berkisar dari 0,03 t ha-1 (Suganda et al. 1999) sampai 17,4 t ha-1 (Haryati et al. 2015) (Lampiran 2). Namun demikian, hasil tanaman cabai pada perlakuan teknik konservasi tanah bedengan searah kontur (B//K) lebih tinggi dibandingkan cara petani (B//L). Pemberian mulsa plastik baik pada B//K maupun B//L dapat meningkatkan produsi cabai. Barisan tanaman dan arah bedengan tidak berpengaruh terhadap hasil tanaman kacang merah (Suganda et al. 1999) (Lampiran 2).
EFISIENSI USAHATANI
Suatu inovasi teknologi di dalam sistem usahatani akan diadopsi petani dan bersifat lumintu (berkelanjutan) apabila secara ekonomi menguntung- kan dan aman dari segi kelestarian lingkungan (ramah lingkungan). Arsanti dan Boehme (2006) menyatakan bahwa sebagian besar usahatani sayuran di Indonesia memiliki keunggulan kompetitif dan komparatif karena efisien secara finansial dalam pemanfaatan sumberdaya domestik. Hasil penelitian Irawan et al. (2004) di DAS Kaligarang, Jawa Tengah dan DAS Citarum, Jawa Barat menyimpulkan bahwa pendapatan petani sayuran 25 - 40 kali lebih besar dibanding petani tanaman pangan dan kebun campuran.
Suatu usahatani dikatakan menguntungkan apabila tingkat efisiensi usahataninya (R/C ratio) > 1 dan apabila nilai R/C ratio < 1, ini berarti usahatani tersebut mengalami kerugian. Beberapa hasil penelitian menunjukkan bahwa pada umumnya usahatani sayuran di lahan kering dataran tinggi cukup menguntungkan apabila hasil tanaman pada saat itu normal atau tidak ada serangan penyakit atau kekeringan (Tabel 6).
Nilai R/C ratio pada usahatani kentang (produksi normal) berkisar dari 1,2 - 2,2; tanaman kubis 1,25 - 2,63, tomat 1, 59 dan cabai 2,07 serta bawang merah 1,4 - 2,2 . Nilai R/C ratio kentang dan kubis di Desa Talun Berasap, Kec. Gn. Tujuh, Kab. Kerinci, Prov. Jambi pada saat itu rendah karena kentang diserang penyakit fusarium dan kubis mengalami kekeringan pada saat fase generatif (Haryati et al. 2012) (Tabel 6).
Nilai R/C ratio akan sejalan dengan nilai produksi tanaman, dengan demikian apabila produksi tanaman tinggi, maka nilai R/C ratio pun akan tinggi pula apabila harga produksi tidak jatuh pada saat itu.
Demikian juga sebaliknya, apabila nilai produksi rendah baik yang diakibatkan oleh produksi maupun harga yang rendah, maka R/C ratiopun akan rendah.
Dengan demikian apabila implementasi teknik konservasi dapat meningkatkan produksi, maka akan meningkatkan R/C ratio pula. Teknik konservasi tanh berupa bedengan pada teras bangku, teras bangku sederhana, pemberian pukan dan kompos, bedengan searah lereng yang dipotong dengan guludan setiap 5 m panjang lereng (B//L, G per 5 m) serta tanaman atau bedengan searah kontur (tanaman atau B//K) dapat meningkatkan R/C ratio (Tabel 6).
PERSEPSI DAN PREFERENSI PETANI
Hasil penelitian di Desa Talun Berasap, Kec.Gunung Tujuh, Kab. Kerinci, Prov. Jambi (Haryati 2012) menunjukkan bahwa petani cukup antusias terhadap inovasi teknologi konservasi tanah yang diintroduksikan, dan mereka cukup yakin bahwa teknik-teknik tersebut dapat mengendalikan erosi, aliran permukaan dan kehilangan hara, namun menurut mereka teknik-teknik tersebut akan menambah waktu dan volume tenaga kerja. Menurut persepsi
petani, penerapan teknik konservasi tanah dan air (Haryati 2012): memerlukan tambahan tenaga kerja dan biaya; tidak bisa permanen karena pola tanam yang berubah-rubah; belum banyak bukti dapat meningkatkan hasil tanaman; dan petani cenderung mengadopsi teknik pemupukan dibandingkan teknik konservasi tanah dan air. Preferensi petani terhadap teknik konservasi yang diintroduksikan menurut rangking disajikan pada Tabel 7.
Tabel 7. Preferensi petani terhadap teknik konservasi tanah introduksi pada budidaya sayuran di Desa Talun Berasap, Kec. Gunung Tujuh, Kab. Kerinci, Prov. Jambi
Table 7. Farmers preferency on the introduction of soil conservation techniques in vegetable farming in Talun Berasap Village, Gunung Tujuh Subdistrict, Kerinci District, Jambi Province
Teknik konservasi tanah introduksi
Preferensi petani (ranking) Tanaman atau B//L, G per 5 m 1 Tanaman atau B//L, G dan Ro
per 5 m 3
Tanaman atau B//K 2
Keterangan : B = bedengan, // = searah, sejajar, G = gulud, Ro = rorak. K = kontur, Sumber : Haryati 2012
Tabel 6. Tingkat efisiensi usahatani sayuran dengan beberapa teknik konservasi tanah di kawasan budidaya sayuran di lahan kering dataran tinggi beriklim basah
Table 6. Vegetable farming efficiency level with some soil conservation techniques in vegetable farming area in upland of wet climate
No. Lokasi Teknik konservasi tanah Komoditas R/C ratio Sumber
1 Kec. Panga- lengan, Kab. Bandung, Prov.
Jawa Barat
Bedengan pada teras bangku
dengan penguat teras Kentang 1,20 Arsanti dan Boehme 2006
Kubis 1,25
Tomat 1,59
2 Kec. Kejajar.
Kab.Wonosobo, Prov. Jawa Tengah
Teras bangku sederhana Kentang 0,92 Arsanti dan Boehme 2006
Kubis 2,63
Cabai 2,07
3 Kec. Brastagi dan Simpang Empat, Kab.
Karo,Prov.
Sumatera Utara
Teras bangku sederhana,
pemberian pukan/kompos Kentang 1,78 Arsanti dan Boehme 2006
Bawang Pre 2,20
Bunga Kol 2,53
4 Desa Pelompek, Kec.
Gn. Tujuh,Kab.
Kerinci, Prov. Jambi
CP (B//L) Kentang 0,77 Diolah dari : Hartatik et al.
2010
B//L, G per 5 m 1,58
Tanaman atau B//K 1,83
5 Desa Talun Berasap, Kec. Gn. Tujuh, Kab.
Kerinci, Prov. Jambi
CP (B//L) Kubis*) 0,37 Diolah dari :
Haryati 2012
B//L, G per 5 m 0,48
Tanaman atau B//K 0,34
CP (B//L) Kentang**) 0,22
B//L, G per 5 m 0,21
Tanaman atau B//K 0,26
6 Desa Wukirsari, Kec.
Cangkringan, Kab.
Sleman, Prov. DIY
B//K Kentang 2,22 Hanafi dan Sutardi 2013
7 Desa Bayongbong, Kec. Bayongbong, Kab. Garut, Prov.
Jawa Barat
B//K, M-0 Bawang merah 1,90 Diolah dari : Maswar et al.
2016
B//K,M-1 2,06
B//K,M-2 1,64
Keterangan : P-1 = tanaman/bedengan searah lereng (cara petani), P-2 = Tanaman/bedengan searah lereng, setiap 5 m dipotong gulud, P-3
= tanaman/bedengan searah kontur, M-0 = Bedengan searah lereng, tanpa mulsa, M-1= M-0 + mulsa plastik, M-1 = M-0 + mulsa jerami, B//K b d j j k *) l i k k i **) di l f i
Hasil penelitian Haryati et al. (2013b) di Desa Ketep dan Banyuroto, Kec. Sawangan, Kab. Magelang membuktikan bahwa pengetahuan petani tentang teknik konservasi tanah dan air sangat bervariasi.
Persepsi petani tentang teknik konservasi tanah dan air pada umumnya adalah bahwa teknik konservasi tanah adalah suatu cara agar tanah dan pupuk serta air tidak hanyut, sehingga tanaman dapat tumbuh dengan subur.
Beberapa alasan petani menerapkan dan tidak menerapkan teknik konservasi tanah dan air pada budidaya sayuran berbeda tergantung jenis teknik konservasi tanah yang diintroduksikan/diterapkan (Tabel 8).
Katharina et al. (2007) mengemukanan bahwa keengganan petani kentang untuk menerapkan konservasi tanah di Pengalengan karena penggunaan teras bangku ataupun penanaman searah kontur tidak saja mengurangi luasan areal tanam tetapi juga meningkatkan serangan layu bakteri.
Menurut Dariah et al. (2013) penyebab rendahnya aplikasi teknik konservasi pada lahan usahatani sayuran adalah : a) adanya keyakinan dari sebagian besar pelaku usahatani sayuran bahwa aplikasi teknik konservasi tanah dapat memicu perkembangan penyakit pada tanaman akibat drainase yang buruk, b) keengganan petani untuk menyisihkan bidang olah untuk aplikasi teknik konservasi tanah, dan c)
diperlukan biaya tambahan untuk penerapan dan pemeliharaan bangunan/tanaman konservasi. Di lain pihak terdapat beberapa kendala dalam hal penerapan teknik konservasi tanah dan air di kawasan budidaya sayuran di lahan kering dataran tinggi diantaranya adalah : a) keterbatasan pengetahuan petani, b) status pemilikan lahan, c) keterbatasan sumberdaya lahan, d) keterbatasan modal dan e) keterbatasan tenaga kerja produktif (Haryati et al. 2013b). Keterbatasan pengetahuan petani dalam hal perbaikan teras bangku adalah mengenai kelengkapan teras (SPA=saluran pembuangan air, BTA=bangunan terjunan air, saluran teras), dalam hal rorak adalah mengenai ukuran dan dimensinya yang tepat, cara pembuatannya yang benar serta letaknya yang tepat.
PEMILIHAN ALTERNATIF TEKNIK KONSERVASI TANAH
Teknik konservasi tanah yang dapat diimplementasikan di kawasan budidaya sayuran di lahan kering dataran tinggi beriklim basah adalah teknik konservasi yang efektif mengendalikan erosi, dapat meningkatkan produksi, efisien, murah biayanya dapat dijangkau petani, mudah diterapkan sehingga petani dapat mengadopsinya.
Tabel 8. Teknik konservasi tanah dan alasan petani menerapkan atau tidak menerapkannya di Desa Ketep dan Banyuroto, Kec. Sawangan, Kab. Magelang, Prov. Jawa Tengah
Table 8. Soil conservation techniques and the reason of farmers implementing or not implementing the technicque in Ketep and Banyuroto Village, Sawangan Subdistrict, Magelang District, Central Java Province
Teknik konservasi tanah Menerapkan/Tidak menerapkan
Alasan petani Mekanik
Teras bangku Menerapkan Agar tidak erosi
Bedengan tanaman Menerapkan Lebih mudah mengelola
SPA Menerapkan Untuk mengalirkan air
BTA Tidak menerapkan Tidak terlalu miring
Vegetatif
Tanaman penguat teras Menerapkan Agar tidak erosi, untuk pakan ternak
Tanaman tahunan Menerapkan Agar tidak erosi, untuk
menyimpan air
Mulsa sisa tanaman Menerapkan Agar tidak ada jamur
Mulsa plastik Menerapkan Agar tidak ada gulma, tanah
lebih lama lembab Tanman sejajar kontur Tidak menerapkan Tidak tahu, sudah diteras
Penanaman cover crop Tidak menerapkan Tidak tahu
Kimiawi
Pestisida organik Menerapkan Menghemat obat
Pupuk organik/kandang Menerapkan Tanaman lebih subur
Pembenah tanah Tidak menerapkan Tidak tahu
Agen hayati Tidak menerapkan Tidak tahu
Sumber : Haryati et al. 2013(b)
Didasarkan pada efektivitas pengendalian erosi, tingkat produktivitas, efisiensi usahatani serta persepsi dan preferensi petani, maka beberapa teknik konservasi tanah yang dapat dijadikan sebagai alternatif teknik konservasi tanah untuk diimplementasikan di kawasan budidaya sayuran di lahan kering dataran tinggi beriklim basah disajikan pada Tabel 9.
Berdasarkan data kejadian erosi pada beberapa hasil penelitian, tingkat efektivitas pengendalian erosi bervariasi dari rendah sampai tinggi. Efektivitas pengendalian erosi dikatakan tinggi apabila dapat menurunkan erosi sampai dibawah TSL, dikatakan sedang apabila dapat menurunkan erosi tetapi erosi yang terjadi masih diatas TSL dan rendah apabila hanya dapat menurunkan erosi < 10%.
Produktivitas tanaman dikatakan tinggi apabila hasil tanaman diatas rata-rata yang diperoleh petani setempat, dikatakan sedang apabila berkisar pada hasil produksi yang diperoleh petani dan rendah apabila produksinya dibawah hasil yang diperoleh oleh petani setempat.
Efisiensi usahatani dikatakan tinggi apabila nilai R/C ratio > 1,5; sedang apabila nilai R/C ratio 1,0 - 1,5 dan rendah apabila R/C ratio < 1,0 (berdasarkan kisaran nilai yang diperoleh dari beberapa hasil penelitian) dan preferensi petani dilihat dari antusias dan atau banyaknya petani yang menyukai dan melakukannya.
Berdasarkan hal tersebut diatas, maka teknik konservasi tanah alternatif yang terpilih adalah teknik konservasi yang minimal mempunyai 3 kategori tinggi atau mempunyai tanda * (bintang) > (lebih dari) 9 buah
Dengan demikian, alternatif teknik konservasi tanah pada kawasan budidaya sayuran dataran tinggi adalah : 1) teras bangku, dilengkapi tanaman penguat teras; 2) bedengan searah lereng pada teras bangku miring; 3) bedengan searah kontur pada teras bangku miring; 4) bedengan searah lereng, dipotong gulud per 5 m panjang lereng; 5) bedengan searah lereng, dipotong gulud dan rorak per 5 m panjang lereng; 6) bedengan searah kontur; 7) bedengan searah kontur + mulsa plastik/jerami (Tabel 9).
KESIMPULAN
Kawasan budidaya sayuran di lahan kering dataran tinggi beriklim basah terletak pada ketinggian diatas 700 m dpl, topografi datar-berombak sampai bergunung dengan kemiringan > 25%, curah hujan
2.000 – 4.500 mm tahun-1 dengan jenis tanah Andisol, Inceptisols, Ultisols, Oxisols, dan Entisols. Mengingat hal itu kawasan tersebut sangat peka terhadap erosi.
Kawasan budidaya sayuran di lahan kering dataran tinggi beriklim basah pada umumnya diusahakan secara intensif dengan tanaman sayuran bernilai ekonomi tinggi dalam pola tanam monokultur dan atau tumpangsari dengan berbagai macam tanaman sayuran. Pola tanam yang biasa dilakukan petani sangat bervariasi secara spasial maupun temporal. Oleh karena itu implementasi teknik konservasi tanah mutlak dilakukan di kawasan ini agar usahatani sayuran dapat lestari/berkelanjutan.
Berdasarkan efektivitas pengendalian erosi, produktivitas tanaman, efisiensi usahatani dan preferensi petani, maka alternatif teknik konservasi tanah yang dapat diimplementasikan pada kawasan budidaya sayuran di lahan kering dataran tinggi beriklim basah adalah : 1) teras bangku, dilengkapi dengan tanaman penguat teras; 2) bedengan searah lereng pada teras bangku miring; 3) bedengan searah kontur pada teras bangku miring; 4) bedengan searah lereng , dipotong gulud per 5 m panjang lereng; 5) bedengan searah lereng, dipotong gulud dan rorak per 5 m panjang lereng; 6) bedengan searah kontur; 7) bedengan searah kontur + mulsa plastik/jerami.
DAFTAR PUSTAKA
Abunyamin, S dan Suwardjo. 1979. Pengaruh teras, sistem pengelolaan tanaman, dan sifat-sifat hujan terhadap erosi dan aliran permukaan pada tanah Latosol Darmaga. Bagian Konservasi Tanah dan Air.
Lembaga Penelitian Tanah. Badan Litbang Pertanian.
Departemen Pertanian.
Arsanti, I. W. dan M. Boehme. 2006. Sistem usahatani tanaman sayuran di Indonesia. Apresiasi multifungsi pertanian, ekonomi, dan eksternalitas lingkungan:
Studi kasus di Dataran Tinggi Jawa dan Sumatera.
Hlm 195- 230 Dalam Dariah et al. (Ed.). Prosiding Seminar Multifungsi dan Revitalisasi Pertanian. Badan Litbang Pertanian. Departemen Pertanian.
Arsyad, S. 2010.Konservasi Tanah dan Air. Edisi ke 2.IPB Press. Bogor. 472 p
Badan Litbang Pertanian. 2014. Road Map Penelitian dan Pengembangan Lahan Kering. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Kementerian Pertanian.
Dariah, A., U. Haryati, dan T. Budhyastoro. 2004. Teknologi Konservasi Tanah Mekanik. Hlm. 109-132. Dalam Undang Kurnia et al. (Ed.). Teknologi Konservasi Tanah Pada Lahan Pertanian Berlereng. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanah dan Agroklimat.
Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian.
Departemen Pertanian. Bogor.
Dariah, A., W. Hartatik, dan S. Rochayati. 2013. Sistem Pengelolaan Lahan Sayuran yang Bersifat Lumintu.
Hlm. 7-20. Dalam Widowati et al. (Ed.). Prosiding
Seminar Nasional Peningkatan Produktivitas Sayuran Dataran Tinggi. Balai Besar Litbang Sumberdaya Lahan Pertanian, Badan Litbang Pertanian.
Kementrian Pertanian.
Erfandi, D., Undang Kurnia dan O. Sopandi. 2002.
Pengendalian Erosi dan Perubahan Sifat Fisik Tanah pada Lahan Sayuran Berlereng. Hlm. 277 - 286 Dalam Djaenudin et al. (Ed.). Prosiding Seminar Nasional Pengelolaan Sumberdaya Lahan dan Pupuk. Buku II.
Cisarua-Bogor, 30 -31 Oktober 2001. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanah dan Agroklimat. Badan Litbang Pertanian. Departemen Pertanian.
Edison, Suharyono, dan R. Hendrayana. 2010. Analisis Efisiensi Ekonomi Usahatani Kentang di Kayu Aro, Kabupaten Kerinci, Jambi. BBP2TP. Bogor.
Hanafi, H., dan Sutardi. 2013. Kajian Ekonomi Adaptasi Teknologi Budidaya Kentang di Lereng Gunung Merapi. Hlm. 110-117. Dalam Widowati et al. (Ed.).
Prosiding Seminar Nasional Peningkatan Produktivitas Sayuran Dataran Tinggi. Balai Besar Litbang Sumberdaya Lahan Pertanian. Badan Litbang Pertanian. Kementrian Pertanian.
Hartatik, W., Y. Soelaeman, D. Erfandi, E. Santosa, dan Irawan.2010. Penelitian dan Pengembangan Pengelolaan Lahan dan Pemupukan untuk Meningkatkan Produktivitas Hortikultura > 20%
Mendukung Pengembangan Kawasan Hortikultura.
Laporan Akhir 2010. Balai Penelitian Tanah. Balai Besar Litbang Sumberdaya Lahan Pertanian. Badan Litbang Pertanian. Kementerian Pertanian.
Haryati, U., M. Thamrin, dan Suwardjo. 1992. Evaluasi beberapa model teras pada Latosol Gunasari DAS Citanduy. Hlm. 187-195. Dalam Suhardjo et al. (Ed.).
Prosiding Pertemuan Teknis Penelitian Tanah: Bidang Konservasi Tanah dan Air. Bogor, 22-24 Agustus 1989.
Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat. Bogor.
Haryati, U., A. Rachman, Y. Soelaeman, T. Prasetyo, dan A.
Abdurachman. 1991. Tingkat erosi, hasil tanaman pangan dan daya dukung ternak dalam sistem pertanaman lorong. Hlm. 101-111. Dalam Prawiradiputra et al. (Ed.). Risalah Lokakarya Hasil Penelitian P3HTA/UACP-FSR. Sistem Usahatani Konservasi di DAS Jratunseluna dan Brantas.
Bandungan, 25-26 Januari 1991. Proyek Penelitian Penyelamatan Hutan Tanah dan Air (P3HTA). Badan Litbang Pertanian. Departemen Pertanian.
Haryati, U., A. Abdurachman, dan C. Setiani. 1993.
Alternatif teknik konservasi tanah untuk lahan kering di DAS Jratunseluna bagian hulu. Hlm. 83-106. Dalam Adimihardja et al. (Ed.). Risalah Lokakarya Pengembangan Penelitian dan Pengembangan Sistem Usahatani Konservasi di Lahan Kering Hulu DAS Jratunseluna dan Brantas. Tawangmangu, 7 - 8 Desember 1992. Penyelamatan Hutan Tanah dan Air (P3HTA). Badan Litbang Pertanian. Departemen Pertanian.
Haryati, U., Haryono, dan A. Abdurachman. 1995.
Pengendalian erosi dan aliran permukaan serta produksi tanaman pangan dengan berbagai teknik konservasi pada tanah Typic Eutropepts di Ungaran, Jawa Tengah. Pembrit. Penel. Tanah dan Pupuk 13:
40-50. Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat. Bogor.
Haryati, U., N. L. Nurida, H. Suganda, dan U. Kurnia.
2000. Pengaruh arah Bedengan dan Tanaman Penguat Teras terhadap Erosi dan Hasil Kubis (Brassica oleracea) di Dataran Tinggi Dieng. Hlm. 411-428. Dalam Agus et al. (Ed.). Prosiding Seminar Nasional Sumberdaya Tanah, Iklim dan Pupuk. Lido - Bogor, 6-8 Desember
1999. Buku II. . Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat. Badan Litbang Pertanian. Departemen Pertanian.
Haryati, U., dan Undang Kurnia. 2001. Pengaruh Teknik Konservasi terhadap Erosi dan Hasil kentang (Solanum tuberosum) pada Lahan Budidaya Sayuran di Dataran Tinggi Dieng. Hlm. 439-460. Dalam Saleh et al. (Ed.).
Prosiding Seminar Nasinoal Reorientasi Pendayagunaan Sumberdaya Tanah, Iklim, dan Pupuk. Cipayung- Bogor, 31 Oktober – 2 November 2000. Buku I. . Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat. Badan Litbang Pertanian. Departemen Pertanian. Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat.
Badan Litbang Pertanian. Departemen Pertanian.
Haryati, U. 2008. Strategi Implementasi Sistem Usahatani Konservasi di Lahan Kering Daerah Aliran Sungai Bagian Hulu. Konservasi Tanah dan Air Sebagai Solusi dalam Menghadapi Perubahan Iklim. Hlm. 15-37.
Dalam Murtilaksono et al. (Ed.). Prosiding Seminar dan Kongres Nasional MKTI VI, Safari Garden Hotel, Cisarua, Bogor 17 - 18 Desember 2007. Masyarakat Konservasi Tanah dan Air Indonesia (MKTI). Jakarta.
Haryati, U. 2012. Penelitian pengembangan teknologi pengelolaan lahan untuk meningkatkan produktivitas kentang dan kubis di Jambi mendukung pengembangan kawasan hortikultura. Laporan Akhir 2012. Balai Penelitian Tanah, Balai Besar Sumberdaya Lahan Pertanian, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Kementerian Pertanian.
Haryati, U., D. Erfandi, W. Hartatik, Sukristiyonubowo, Irawan dan Y. Soelaeman. 2013(a). Pengelolaan Lahan Kering Berlereng Untuk Budidaya Kentang di Dataran Tinggi. Badan Penelitian Dan Pengembangan Pertanian. Kementrian Pertanian. IAARD Press.
Jakarta. 47 p.
Haryati, U., Tati Budiarti dan Afra D Makalew. 2013(b).
Konservasi Lansekap Pertanian Lahan Kering Berbasis Sayuran Mendukung Pengembangan Agrowisata di Dataran Tinggi Merbabu. Hlm. 60-87. Dalam Widowati et al. (Ed.). Prosiding Seminar Nasional Peningkatan Produktivitas Sayuran Dataran Tinggi.
Balai Besar Litbang Sumberdaya Lahan Pertanian.
Badan Litbang Pertanian. Kementan.
Haryati, U., D. Erfandi, dan Yoyo Soelaeman. 2013(c).
Alternatif Teknik Konservasi Tanah Untuk Pengendalian Erosi dan Kehilangan Hara pada Pertanaman Kentang di Dataran Tinggi Kerinci. Hlm.
528-539. Dalam Arsyad et al. (Ed.). Prosiding Seminar Nasional Inovasi Pertanian Lahan Kering, Kupang 4 – 5 September 2012. Buku I. Balai Besar Pengkajian dan Pengembangan Teknologi Pertanian. Badan Litbang Pertanian. Kementrian Pertanian.
Haryati, U., D. Erfandi, dan Yoyo Soelaeman. 2013(d).
Alternatif Teknik Konservasi Tanah Untuk Pertanaman Kubis di Dataran Tinggi Kerinci. Hlm.
427-440. Dalam Wigena et al. (Ed.). Prosiding Seminar Nasional Teknologi Pemupukan dan Pemulihan Lahan Terdegradasi, Bogor 29-30 Juni 2012. Balai Besar Litbang Sumberdaya Lahan. Badan Litbang Pertanian.
Kementrian Pertanian.
Haryati, U., D. Erfandi, dan Yoyo Soelaeman. 2013(e).
Teknik Konservasi, Hubungannya dengan Sifat Fisik Tanah serta Serangan Penyakit pada Tanaman Kentang di Dataran Tinggi Kerinci. Hlm. 305-318.
Dalam Sulaeman et al. (Ed.). Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan, Bogor 29 Mei 2013. Balai Besar Litbang Sumberdaya Lahan. Badan Litbang Pertanian. Kementrian Pertanian.
Haryati, U., and D. Erfandi. 2014. The Efectiveness of Erosion and Run-off Control On Several Soil conservation Techniques In Horticultural Area In Kerinci Highland Of Indonesia. p.196-201. In Suwardi et al. (Ed.). Proceeding Of 11th International Conference The East and Southeast Asia Federation Of Soil Sciences Societies. Land For Sustaining Food and Energy Security, 21 – 24 October 2013. IPB International Convention Center- Bogor, Indonesia.
Indonesian Society Of Soil Science.
Haryati, U. 2014. Karakteristik Fisik Tanah Kawasan Budidaya Sayuran Dataran Tinggi, Hubungannya dengan Strategi Pengelolaan Lahan. Jurnal Sumberdaya Lahan 8 (2): 125-138. Balai Besar Litbang Sumberdaya Lahan Pertanian. Badan Litbang Pertanian. Kementrian Pertanian.
Haryati, U., D. Erfandi dan E. Suyitno. 2015. Teknologi Konservasi Tanah dan Air untuk Meningkatkan Produktivitas Tanah dan Tanaman Cabai di dataran Tinggi. Hlm. 63-80. Dalam Rejekiningrum et al. (Ed.) Prosiding Seminar Nasional Sistem Informasi dan Pemetaan Sumberdaya Lahan Mendukung Swasembada Pangan. BBSDLP, Bogor, 29 - 30 Juli 2015. Buku III - Teknologi Pengelolaan Lahan. Balai Besar Litbang Sumberdaya Lahan Pertanian. Badan Litbang Pertanian.
Hilman, Y., E. Sofiyati, Kusmana, M. Ameriana, dan R. S.
Basuki. 2009. Arah dan Strategi Penelitian Kentang dalam Mendukung Ketahanan Pangan dan Kelestarian Lingkungan. Hlm. 307-315. Dalam Soeganda et al.
(Ed.). Prosiding Seminar Nasional Pekan Kentang 2008. Peningkatan Produktivitas Kentang dan Sayuran Lainnya dalam Mendukung Ketahanan Pangan, Perbaikan Nutrisi, dan Kelestarian Lingkungan.
Lembang 20 - 21 Agustus 2008, Vol 1. Puslitbang Hortikultura. Badan Litbang Pertanian. Departemen Pertanian. Jakarta.
Irawan, E. Husen, Maswar. R. L. Watung, dan F. Agus.
2004. Persepsi dan Apresiasi Masyarakat terhadap Multifungsi Pertanian: Studi kasus di Jawa Barat dan Jawa Tengah. Hlm. 23-46. Dalam Agus et al. (Ed.).
Prosiding Seminar Multifungsi Pertanian dan Konservasi Sumberdaya Lahan. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanah dan Agroklimat, Bogor.
Katharina, R. 2007. Adopsi Sistem Pertanian Konservasi Usahatani Kentang di Lahan Kering Dataran Tinggi Kecamatan Pangalengan, Bandung. Disertasi Doktor (S3) pada Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan. Sekolah Pasca Sarjana Institut Pertanian Bogor, 2007.
Maryati, T., dan S. Murtiani. 2013. Studi Kelayakan Rotasi Tanaman Sayuran untuk Menekan Penyakit Akar Gada (Studi Kasus di Desa Langensari, Kecamatan Lembang, Kabupaten Bandung). Hlm. 21-30. Dalam Widowati et al.(Ed.). Prosiding Seminar Nasional Peningkatan Produktivitas Sayuran Dataran Tinggi.
Balai Besar Litbang Sumberdaya Lahan Pertanian.
Badan Litbang Pertanian. Kementerian Pertanian.
Maswar, A. Dariah, N. L. Nurida, dan U. Haryati.
Penelitian Pengelolaan Lahan Suboptimal dan Lahan Terdegradasi untuk Mendukung Peningkatan Produktivitas Cabai Merah dan Bawang Merah.
Laporan Akhir 2016. Balai Penelitian Tanah, Balai Besar Sumberdaya Lahan Pertanian, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Kementerian Pertanian.
Rachman, A., dan A. Dariah. 2009. Pengelolaan Tanah Terpadu Lahan Sayuran di Pegunungan. Hlm. 48-58.
Dalam Soeganda et al. (Ed.). Prosiding Seminar Nasional Pekan Kentang 200. Peningkatan Produktivitas Kentang dan Sayuran Lainnya dalam Mendukung Ketahanan Pangan, Perbaikan Nutrisi, dan Kelestarian Lingkungan. Lembang 20 - 21 Agustus 2008, Vol 1 Puslitbang Hortikultura. Badan Litbang Pertanian Departemen Pertanian. Jakarta.
Suwardjo. H. 1981. Peranan Sisa-sisa Tanaman dalam Konservasi Tanah dan Air pada Usahatani Tanaman Semusim. Disertasi Doktor Sekolah Pasca Sarjana.
Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Suwardjo, H., A. Abdurachman, and S. Abunyamin.
1989.The use of crop residu mulch to minimize tillage frequency. Pembrit. Pen. Tanah dan Pupuk 8: 30 - 37.
Suganda, H., S. Abujamin, A. Dariah, dan S. Sukmana. 1994.
Pengkajian Teknik Konservasi Tanah dalam Usahatani Tanaman Sayuran pada Tanah Andisol di Batulawang, Pacet. Pembrit. Tanah dan Pupuk 12: 47-57.
Suganda, H., M. S. Djunaedi, D. Santoso, dan S. Sukmana.
1997. Pengaruh cara pengendalian erosi terhadap aliran permukaan, tanah tererosi dan produksi sayuran pada Tanah Andisol. Jurnal Tanah dan Iklim 15 : 38 - 50.
Suganda, H., H. Kusnadi, dan U. Kurnia, 1999. Pengaruh Arah Barisan Tanaman dan Bedengan dalam Pengendalian Erosi pada Budidaya Sayuran Dataran Tinggi. Jurnal Tanah dan Iklim 17: 55 - 64.
Sukmana, S., M Syam, dan A Adimihardja. 1990. Petunjuk Teknis Usahatani Konservasi Daerah Aliran Sungai.
Proyek Penelitian Penyelamatan Hutan Tanah dan Air (P3HTA).Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Departemen Pertanian. 84 p.
Sutapraja, H., dan Ashandi. 1998. Pengaruh arah guludan, mulsa, dan tumpangsari terhadap pertumbuhan dan hasil kentang serta erosi di Dataran Tinggi Batur.
Jurnal Hortikultura 8 (1) : 1.006 - 1.013.
Suratman dan A. Kasno. 2013. Wilayah Primatani Kabupaten Kerinci Sebagai Salah Satu Model Pengelolaan Komoditas Sayuran Dataran Tinggi. Hlm.
152-166. Dalam Widowati et al. (Ed.). Prosiding Seminar Nasional Peningkatan Produktivitas Sayuran Dataran Tinggi. Balai Besar Litbang Sumberdaya Lahan Pertanian. Badan Litbang Pertanian. Kementrian Pertanian.
Tala’ohu, S.H., A. Abdurachman dan H. Suwardjo. 1992.
Pengaruh teras bangku, teras gulud, slot mulsa flemingia dan strip rumput terhadap erosi, hasil tanaman dan ketahanan tanah Tropudult di Sitiung. Hlm. 79-89.
Dalam Suhardjo et al. (Ed.). Prosiding Pertemuan Teknis Penelitian Tanah: Bidang Konservasi Tanah dan Air.
Bogor, 22-24 Agustus 1989. Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat. Bogor.
Thamrin, M., H. Sembiring, G. Kartono, dan S. Sukmana.
1990. Pengaruh bebagai macam teras dalam pengendalian erosi tanah Tropudalf di Srimulyo, Malang. Hlm. 9-17.
Dalam Adimihardja et al. (Ed.). Risalah Pembahasan Hasil Penelitian Pertanian Lahan Kering dan Konservasi Tanah. Tugu-Bogor, 11-13 Januari 1990. P3HTA. Badan Litbang Pertanian. Departemen Pertanian.
Undang Kurnia, Y. Sulaeman dan A. Muti K. 2000. Potensi dan Pengelolaan Lahan Kering Dataran Tinggi. Hlm.
227-246. Dalam Adimihardja et al. (Ed.). Sumberdaya Lahan Indonesia dan Pengelolaannya. Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat. Badan Litbang Pertanian.
DepartemenPertanian
44 urnal Sumberdaya Lahan Edisi Khusus, Desember 2016; 33-46 Lampiran 1. Efektivitas pengendalian erosi dan aliran permukaan berbagai teknik konservasi tanah pada lahan budidaya sayuran di lahan kering dataran tinggi
beriklim basah
Attachment 1. Erosion and run-off control effectivity of some soil conservation techniques on vegetable farming area in upland wet climate No Lokasi Jenis tanah/
tanaman Kemiringan
(%) Teknik konservasi tanah Erosi (t ha-1) Run-off
(% Curah hujan) Sumber 1 Kec. Batur, Kab.
Banjarnegara, Prov. Jawa Tengah
Andisols/
kentang 20 -30 Arah Bedengan Sutapraja dan
Ashandi, 1998
B//K 32,06 tad
X K 68,63 tad
Pola tanam dan mulsa
Mono kentang + mulsa jerami 53,52 tad
Mono kentang + mulsa plastik 55,77 tad
Mono kentang, tanpa mulsa 49,48 tad
2 Desa
Karangtengah, Kec. Batur, Kab.
Banjarnegara, Prov. Jawa Tengah
Andisol/ kubis 20 - 30 CP 3,25 c 1,7 b Diolah dari :
Haryati et al. 2000
CP , Vbt 3,44 c 1,9 b
B//K, Rt, Vbt 1,48 d 1,7 b
B//K, Rt, Pbt 2,15 cd 1,9 b
B//K, Rt, Kbt 3,02 c 2,0 ab
B45K, Rt, Vbt 5,48 a 2,2 a
B45K, Rt, Pbt 4,81 ab 2,1 ab
B45K, Rt, Kbt 3,96 bc 1,9 b
Curah hujan (mm) 1291
Desa Pekasiran, Kec. Batur, Kab.
Banjarnegara, Jawa Tengah
Andisol/
kentang 5 - 15 CP (B//L) 10,5 b 1,9 ab Haryati et al. 2001
CP, strip Vt 11,0 b 1,6 b
B//K,Gper6m+Vt 7,2 cd 1,7 ab
B//K,Gper6m + Pn 9,5 bc 2,2 a
B//K,G per6m + Fl 6,8 d 2,1 a
B45K,Gper6m+Vt 13,0 a 2,2 a
B45K,Gper6m+Pn 13,4 2,4 a
B45K,Gper6m +Fl 7,3 cd 1,5 b
Curah hujan (mm) 2.451,2
Desa Talun Berasap, Kec.
Gunung Tujuh, Kab. Kerinci, Prov.
Jambi
Hapludant/
Kentang 15 - 25 Teknik konservasi tanah 2011 2012 2011 2012 Haryati and
Erfandi 2014
CP 14,7 a 5,3 a 9,5 a 21,4 a
CP + G per 5 m 11,3 c 1,3 b 7,7 b 9,6 b
CP + G dan Ro per 5 m 10,9 c 0,4 c 7,4 b 5,7 c
Tanaman // K 12,7 b 0,1 c 8,9 a 6,9 c
Curah hujan (mm) 1591 479 1591 479
Batulawang, Kec.Pacet, Kab.
Cianjur, Jawa Barat
Ultic Hapludands/
Kentang - Cabai keriting
9 - 22 Arah Barisan tanaman Suganda et al. 1999
// L 20,9 a 18,6 a 3,1 a 1,8 a
// K 16,4 c 15,6 b 2,4 b 1,7 a
Segitiga sama kaki 18,3 b 14,9 b 2,8 c 1,7 a
Arah bedengan
B//L 31,1 a 25,8 a 3,6 a 2,2 a
B//L + G dit. katuk 22,7 b 17,1 b 3,0 b 1,8 b
B//L + G dit. cabai 23,4 b 18,8 b 3,0 b 1,7 b
B//K 6,8 c 3,8 c 1,5 c 1,2 c
Curah hujan (mm) 946,4 799,0 946,4 799,0
45
Umi Haryati: Alternatif Teknik Konservasi Tanah untuk Kawasan Budidaya SayuranKeriting Keriting
Desa Cikareo, Kec.Sukaresmi, Kab. Cianjur, Jawa Barat
Andic Dystropepts/
Cabai keriting - kacang merah
10 - 13 Arah Barisan tanaman Suganda et al. 1999
// L 89,4 a 9,8 a 9,2 a 5,2 a
// K 85,0 ab 6,8 b 8,7 b 3,0 b
Segitiga sama kaki 80,3 b 7,0 b 8,3 c 3,0 a
Arah bedengan
B//L 143,0 a 9,3 a 12,0 a 5,8 a
B//L+ G dit. katuk 62,8 b 8,1 a 7,5 bc 4,8 c
B//L+ G di, cabai 67,2 b 6,6 a 7,5 c 4,9 c
B//K 66,6 b 7,5 a 7,9 b 4,3 b
Curah hujan (mm) 946,4 186,6 946,4 186,6
Tanaman Cabai
Keriting Kacang
merah Cabai
Keriting Kacang merah Desa Cisurupan,
Kec. Cisurupan, Kab. Garut, Jawa Barat
Andisol/ Cabai B//L 18,154 ab 9,02 a Haryati et al., 2015
B//K + mul. plastik 13,294 b 8,40 ab
B//L, G per 5 m 12,630 b 7,30 b
B//L + mul. plastik 19,605 a 6,71 bc
B//K 9,883 c 9,34 a
Curah hujan (mm) 564,5
Keterangan : tad = tidak ada data, tolerable soil loss (TSL) = 13,46 t ha-1 tahun-1 (Thompson, 1957 dalam Arsyad 2010), // = sejajar atau searah, X = diagonal, B= bedengan, K = kontur, L= lereng, Mono = monokultur, CP = cara petani (tanman // lereng), Rt = rumput lapang di tampingan, Vbt = Vetiveria zizanoides di bibir teras, Pbt = Paspalum notatum di bibir teras, Kbt = kopi kate di bibir teras, B45K = bedengan 45o terhadap kontur , Vt = Vetiveria zizanoides, Pn = Paspalum notatum, Fl = Flemingia congesta, G = gulud, Ro = rorak, dit = ditanami, mul = mulsa
Lampiran 2. Produktivitas tanaman sayuran di beberapa daerah kawasan budidaya sayuran di lahan kering dataran
tinggi beriklim basah
Attachment 2. Vegetable productivity in some vegetable farming area in upland wet climate
No Lokasi Jenis tanaman Perlakuan Produksi (t ha-1) Sumber
1 Kec. Batur, Kab.
Banjarnegara, Jawa Tengah
Kentang Arah Bedengan Sutapraja dan
Ashandi 1998
B//K 14,88
X K 15,55
Pola tanam dan mulsa
Mono kentang + mulsa jerami 20,71
Mono kentang + mulsa plastik 21,64
Mono kentang, tanpa mulsa 14,12
2 Desa Karangtengah, Kec. Batur, Kab.
Banjarnegara, Jawa Tengah
Kubis, teras
bangku miring CP 29,47 a Haryati et al.
2000
CP , Vbt 34,69 a
B//K, Rt, Vbt 35,05 a
B//K, Rt, Pbt 33,68 a
B//K, Rt, Kbt 30,19 a
B45K, Rt, Vbt 33,10 a
B45K, Rt, Pbt 30,80 a
B45K, Rt, Kbt 26,26 a
3 Desa Pekasiran, Kec.
Batur, Kab.
Banjarnegara, Jawa Tengah
Kentang CP (B//L) 16,29 a Haryati et al.
2001
CP, strip Vt 16,32 a
B//K,G per 6 m +Vt 16,12 a
B//K, G per 6 m + Pn 15,51 a
B//K, G per 6 m + Fl 15,01 a
B45K,Gper6m +Vt 15,20 a
B45K,G per 6m +Pn 16, 15 a
B45K,G per 6m +Fl 16, 14 a
4 Desa Talun Berasap, Kec. Gunung Tujuh, Kab. Kerinci, Prov.
Jambi
Kubis CP, B//L 31,03 b Haryati et al.
2013 (d)
B//L, G per 5m 29,14 c
B//L, G+ Ro per 5m 32,81 a
B//K 26,06 d
5 Desa Talun Berasap, Kec. Gunung Tujuh, Kab. Kerinci, Prov.
Jambi
Kentang Teknik konservasi 2011 2012 Haryati and
Erfandi 2014
CP, B//L 4,4 c 3,5 c
CP + G per 5 m 4,8 b 3,1 c
CP + G dan Ro per 5 m 6,1 b 4,8 b
Tanaman // K 8,3 a 7,8 a
6 Batulawang, Kec.Pacet, Kab.
Cianjur, Jawa Barat
Kentang Arah Barisan tanaman : Suganda et al.
1999
// L 6,40 a
// K 5,82 a
Segitiga sama kaki 6,49 a
Arah bedengan
B//L 6,86 a
B//L+ G dit. katuk 6,55 a
B//L+ G di, cabai 6,07 a
B//K 5,46 a
7 Desa Cikareo, Kec.Sukaresmi, Kab.
Cianjur, Jawa Barat
Cabai keriting – Kacang merah
Arah Barisan tanaman : Cabai
keriting Kacang
merah Suganda et al.
1999
// L 3,52 a 2,43 a
// K 3,16 a 2,41 a
Segitiga sama kaki 3,34 a 2,53 a
Arah bedengan
B//L 3,48 a 2,38 a
B//L+ G dit. katuk 3,13 a 2,54 a
B//L+ G dit. cabai 3,06 a 2,37 a
B//K 3,67 a 2,53 a
8 Desa Cisurupan, Kec.Cisurupan, Kab.
Garut, Jawa Barat
Cabai merah B//L 4,1 c Haryati et al.
2015
B//K + mulsa plastik 17,4 a
B//L, G per 5 m 3,9 c
B//L + mulsa plastik 15,1 b
B//K 4,9 c
9 Desa Pelompek, Kec.
Gunung Tujuh, Kab.
Kerinci, Prov. Jambi
Kentang Tanaman atau B//L 13,2 Hartatik et al.
2010
B//L, G per 5 m 29,7
Tanaman atau B//K 36,3
Keterangan : // = sejajar atau searah, X = diagonal, B= bedengan, K = kontur, L= lereng, Mono = monokultur, CP = cara petani (tanman // lereng), Rt = rumput lapang di tampingan, Vbt = Vetiveria zizanoides di bibir teras, Pbt = Paspalum notatum di bibir teras, Kbt = kopi kate di bibir teras, B45K = bedengan 45o terhadap kontur , Vt = Vetiveria zizanoides, Pn = Paspalum notatum, Fl = Flemingia congesta, G = gulud, Ro = rorak, dit = ditanami