• Tidak ada hasil yang ditemukan

KEDUDUKAN KREDITOR SEPARATIS TERHADAP RENCANA PERDAMAIAN DALAM PROSES PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "KEDUDUKAN KREDITOR SEPARATIS TERHADAP RENCANA PERDAMAIAN DALAM PROSES PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG"

Copied!
20
0
0

Teks penuh

(1)

ALETHEA

Jurnal Ilmu Hukum

Volume 5 Nomor 2, Februari 2022, Halaman 91-110 Doi: 10.24246/alethea.vol5.no2.p91-110 Open access at: http://ejournal.uksw.edu/alethea Penerbit: Fakultas Hukum Universitas Kristen Satya Wacana

KEDUDUKAN KREDITOR SEPARATIS TERHADAP RENCANA PERDAMAIAN DALAM PROSES PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG

Yohanes Alexander Kenting

Fakultas Hukum Universitas Kristen Satya Wacana Jl. Diponegoro 52 – 60 Salatiga, Jawa Tengah, 50711, Indonesia Email: yohaneskenting@yahoo.co.id | Penulis korespondensi

Hizkia Dapot Parulian

Fakultas Hukum Universitas Kristen Satya Wacana Jl. Diponegoro 52 – 60 Salatiga, Jawa Tengah, 50711, Indonesia Email: hizkia.sianipar@gmail.com

Abstrak

Secara spesifik tulisan ini bertujuan untuk menganalisis hak suara kreditor separatis berkenaan dengan rencana perdamaian yang diajukan oleh debitor dalam proses penundaan kewajiban pembayaran utang. Penulis berpendapat bahwa pemberian hak suara kepada kreditor separatis bertentangan dengan ketentuan Pasal 244 Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang yang menyatakan bahwa kreditor separatis bukan bagian dari pihak penundaan kewajiban pembayaran utang sebab kreditor separatis dapat mengeksekusi hak jaminan kebendaan yang ada padanya seolah- olah tidak terjadi kepailitan. Selain itu, terdapat kekosongan pengaturan terkait akibat hukum dari diberikannya kompensasi dari nilai terendah jaminan kepada kreditor separatis yang tidak menyetujui rencana perdamaian sehingga berimplikasi kepada timbulnya ketidakadilan bagi debitor dan ketidakpastian hukum bagi kreditor separatis itu sendiri.

Abstract

This paper aims to analyze secured creditors' voting rights regarding a settlement plan by the debtor in the process of postponing debt repayment obligations. The author believes that granting secured creditors the voting rights is contrary to Article 244 of Law No. 37 of 2004 concerning Bankruptcy and Suspension of Debt Payment Obligations. The Law states that secured creditors are not part of the party to suspend debt repayment obligations because secured creditors can execute their material security rights as if there was no bankruptcy. In addition, there is a regulatory vacuum regarding the legal consequences of providing compensation from the lowest value of collateral to secured creditors who do not agree to the settlement plan, which has implications for injustice for debtors and legal uncertainty for secured creditors themselves.

A R T I C L E I N F O Article history:

Received 28 April 2022 Revised 11 Mei 2022 Accepted 14 Juni 2022

Kata-kata kunci:

Kreditor Separatis;

Kompensasi;

Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang;

Rencana Perdamaian.

Keywords:

Secured Creditors;

Compensation;

Restructurisation;

Proposal of Restructurisation.

(2)

PENDAHULUAN

Faillissements-verordening atau dalam bahasa Indonesia disebut dengan undang-undang kepailitan merupakan salah satu pranata hukum yang dapat digunakan untuk menyelesaikan persoalan mengenai utang piutang antara seorang debitor (si berhutang) dengan para kreditornya (si berpiutang). Dalam tataran hukum positif di Indonesia, Faillissements-verordening berlaku berdasarkan Staatsblad No. 276 Tahun 1905 dan Staatsblad No. 348 Tahun 1906 yang kemudian diubah dengan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas Undang-Undang tentang Kepailitan dan ditetapkan menjadi undang-undang dengan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1998 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas Undang-Undang tentang Kepailitan Menjadi Undang- Undang (Selanjutnya UU Kepailitan). Perubahan tersebut dilakukan karena penerapan Faillissements-verordening tidak berlaku kepada masyarakat pribumi melainkan hanya kepada pedagang yang tunduk pada hukum perdata dan dagang saja1. Oleh karena itu, International Monetary Fund (IMF) mendesak Pemerintah Republik Indonesia untuk melaksanakan salah satu komitmen dalam Letter of Intent and Memorandum of Economic and Financial Policies yang telah disepakati antara Pemerintah Indonesia dan IMF yaitu mengamandemen Faillissements-verordening.

Dalam pelaksanaannya, UU Kepailitan mengalami beberapa kekurangan yang berakibat tereduksinya asas-asas yang terkandung dalam norma kepailitan itu sendiri. Salah satu kekurangan yang dimaksud yaitu definisi utang yang tidak dijelaskan sehingga menimbulkan banyak penafsiran yang berujung pada ketidakpastian hukum. Pada tanggal 18 Oktober 2004, UU Kepailitan dicabut dan digantikan dengan Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (Selanjutnya UUK-PKPU) yang diharapkan dapat mengatasi kekurangan-kekurangan yang terdapat dalam UU Kepailitan.

Tujuan dari kehadiran UUK-PKPU dapat ditemukan lebih lanjut dalam penjelasan umum UUK-PKPU yang secara eksplisit dikemukakan sebagai berikut:

Pertama, untuk menghindari perebutan harta debitor apabila dalam waktu yang sama ada beberapa kreditor yang menagih piutangnya dari debitor. Kedua, untuk menghindari adanya kreditor pemegang hak jaminan kebendaan yang menuntut haknya dengan cara menjual barang milik debitor tanpa memperhatikan kepentingan debitor atau para kreditor lainnya. Ketiga, untuk menghindari adanya kecurangan-kecurangan yang dilakukan oleh salah seorang kreditor atau debitor sendiri. Misalnya, debitor berusaha untuk memberikan keuntungan kepada seorang atau beberapa orang kreditor tertentu sehingga kreditor lainnya dirugikan, atau adanya perbuatan curang debitor untuk melarikan semua harta kekayaannya dengan maksud untuk melepaskan tanggung jawabnya terhadap kreditor.

Secara implisit, tujuan dari lahirnya UUK-PKPU dalam penjelasan umum UUK- PKPU dapat diuraikan sebagai berikut:2

1 Nina Noviana, ‘Perubahan Pokok dalam Peraturan Kepailitan Menurut Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang’ (2006) 36 (2) Jurnal Hukum dan Pembangunan 129, 131.

2 Elyta Ras Ginting, Teori Hukum Kepailitan (Sinar Grafika 2018) 282-283.

(3)

1. Bahwa peraturan kepailitan dibuat untuk kepentingan dunia usaha dalam menyelesaikan masalah utang piutang secara adil, cepat, terbuka, dan efektif.

2. Bahwa syarat utang untuk dapat dinyatakan pailit adalah jika debitor memiliki paling sedikit 2 (dua) kreditor dan tidak membayar lunas salah satu utangnya yang sudah jatuh tempo.

3. Bahwa harta debitor pailit akan digunakan untuk membayar kembali seluruh utang debitor secara adil dan merata serta seimbang.

4. Bahwa peraturan kepailitan dibuat untuk menghindari perebutan harta debitor jika dalam waktu yang sama ada beberapa kreditornya yang menagih utang pada debitor.

5. Bahwa peraturan kepailitan dibuat untuk melindungi kepentingan kreditor lainnya dari perbuatan curang kreditor yang dijamin pembayarannya (kreditor separatis).

Pada dasarnya, UUK-PKPU memberikan alternatif pilihan pembayaran utang bagi debitor yang tidak mampu membayar salah satu utang yang telah jatuh tempo dan memiliki kreditor lebih dari satu melalui mekanisme permohonan pailit atau penundaan kewajiban pembayaran utang (Selanjutnya PKPU). M. Hadi Shubhan memberikan pengertian Pailit sebagai ‘suatu keadaan di mana debitor tidak mampu untuk melakukan pembayaran-pembayaran terhadap utang-utang dari para kreditornya.’3 Selain itu, dalam ensiklopedia ekonomi keuangan perdagangan menyatakan bahwa pailit adalah ‘seseorang yang oleh suatu pengadilan dinyatakan bankrupt dan yang aktivanya atau warisannya telah diperuntukkan untuk membayar utang-utangnya.’ Sedangkan pengertian kepailitan menurut M. Hadi Shubhan merupakan ‘putusan pengadilan yang mengakibatkan sita umum atas seluruh kekayaan debitor pailit, baik yang telah ada maupun yang akan ada di kemudian hari.’4 Dengan demikian, mengingat pernyataan pailit terhadap debitor harus terlebih dahulu melalui proses persidangan, maka segala sesuatu yang berhubungan dengan pailit disebut kepailitan.5

Dalam tataran hukum positif di Indonesia, pengertian kepailitan dapat ditemukan secara eksplisit dalam UUK-PKPU. Berdasarkan Pasal 1 angka (1) UUK- PKPU, pengertian kepailitan adalah ‘sita umum atas semua kekayaan debitor pailit yang pengurusan dan pemberesannya dilakukan oleh kurator di bawah pengawasan hakim pengawas’. Dari pengertian kepailitan yang terdapat dalam UUK-PKPU, tidak cukup jelas memberikan definisi secara spesifik mengenai kepailitan tersebut, akan tetapi justru UUK-PKPU hanya menyebut akibat hukum kepailitan, yaitu berupa sita umum atas semua kekayaan debitor pailit.6

Akibat hukum kepailitan berupa sita umum sebagai wujud pelaksanaan ketentuan Pasal 1131 yang menentukan ‘Segala kekayaan debitor, baik yang bergerak maupun yang tidak bergerak, baik yang telah ada maupun yang masih akan ada di kemudian hari, merupakan jaminan untuk semua perikatannya’ dan Pasal 1132 KUHPerdata yang selengkapnya berbunyi:

3 M. Hadi Shubhan, Hukum Kepailitan: Prinsip, Norma, dan Praktik di Peradilan (Kencana 2008) 1

4 Ibid.

5 Serlika Aprita, Hukum Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (Perspektif Teori) (Setara Press 2018) 1

6 Shubban (n 3) 67.

(4)

Segala harta kekayaan debitor menjadi jaminan bersama-sama bagi semua kreditornya; pendapatan penjualan segala harta kekayaan debitor dibagi-bagi menurut keseimbangan, yaitu menurut besar kecilnya piutang kreditor, kecuali apabila di antara para kreditor ada alasan-alasan yang sah menurut hukum untuk didahulukan

Definisi kepailitan sebagai sita umum atas harta debitor pailit menggambarkan bahwa terjadi perubahan status harta milik debitor yang semula harta personal debitor kemudian berubah menjadi harta pailit untuk kepentingan semua kreditor yang kewenangan pengurusannya juga beralih dari debitor kepada kurator atau balai harta peninggalan untuk sementara waktu.

Dalam hukum kepailitan di Indonesia, sita umum sebagai tindakan hukum pertama yang harus dilakukan sebelum debitor dapat dinyatakan berada dalam keadaan insolvensi. Artinya, secara a contrario, sita umum dalam putusan pengadilan niaga baru dapat dikatakan memiliki kekuatan eksekutorial untuk melikuidasi harta pailit setelah keadaan debitor tidak dapat melunasi utangnya atau jumlah utang yang dimiliki debitor melebihi seluruh jumlah harta kekayaannya.

Akan tetapi tidak selamanya penyelesaian permasalahan pembayaran utang secara kolektif dilakukan dengan melikuidasi harta debitor melalui jalur kepailitan.

Bahkan jalur kepailitan sesungguhnya merupakan pranata hukum paling terakhir (ultimum remedium) yang dapat digunakan setelah terlebih dahulu dilakukan penyelesaian pembayaran utang secara berdamai dengan menggunakan instrumen PKPU. Secara yuridis normatif, instrumen kepailitan sebagai ultimum remidium diamanatkan dalam Pasal 229 ayat (3) UUK-PKPU yang menyatakan bahwa:

Apabila permohonan pernyataan pailit dan permohonan penundaan kewajiban pembayaran utang diperiksa bersamaan, permohonan penundaan kewajiban utang harus diputuskan terlebih dahulu.

Pengaturan PKPU dalam UUK-PKPU sangat berperan besar baik bagi kreditor yang memiliki kepentingan atas kembalinya dana yang telah dipinjamkan maupun bagi debitor dalam menyelesaikan utang-utangnya kepada para kreditornya dengan tetap menjaga keberlangsungan usahanya.7 Apabila merujuk pada pengaturan PKPU dalam UUK-PKPU tidak dapat ditemukan pengertian mengenai apa yang dimaksud dengan PKPU. PKPU dalam bahasa Belanda disebut dengan surseance van betlaling dan dalam bahasa Inggris dinamakan suspension of payment.8 Menurut Munir Fuady, yang dimaksud dengan PKPU yaitu:9

Suatu masa yang diberikan oleh undang-undang melalui putusan hakim niaga di mana dalam masa tersebut kepada pihak kreditor dan debitor diberikan kesempatan untuk memusyawarahkan cara-cara pembayaran utangnya dengan memberikan rencana pembayaran seluruhnya atau sebagian utangnya, termasuk apabila perlu untuk merekstrukturisasi utangnya tersebut. Jadi, penundaan kewajiban pembayaran utang sebenarnya merupakan sejenis moratorium, dalam hal ini legal moratorium.

Secara penafsiran sistematis, PKPU dapat diartikan sebagai:10

7 Dino Irwin Tengkano, ‘Perdamaian pada Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang Menurut Undang-Undang Kepailitan (Studi Kasus PT. Omeraco di Pengadilan Niaga Jakarta Pusat’ (Tesis, Magister Kenotariatan Universitas Indonesia 2007) 4.

8 Rindy Ayu Rahmadiyanti, ‘Akibat Hukum Penolakan Rencana Perdamaian Debitor oleh Kreditor dalam Proses Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang’ (2015) 8 (2) Notarius 252, 256.

9 Munir Fuady, Hukum Pailit dalam Teori dan Praktek (Citra Aditya Bakti 2014) 175.

10 Annalisa Yahanan, Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang: Alternatif Penyelesaian Utang Piutang (UNSRI 2007) 153.

(5)

Suatu jangka waktu yang diberikan oleh UUK-PKPU kepada debitor dan kreditor berdasarkan putusan hakim pengadilan niaga untuk bermusyawarah guna mencapai perdamaian dalam bentuk mengenai cara dan waktu pembayaran utang debitor kepada kreditor dalam jumlah seluruhnya atau sebagian dari utang kreditor

Permohonan PKPU dapat diajukan kepada Ketua Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Niaga oleh kreditor atau debitor yang memiliki lebih dari 1 (satu) kreditor.11 Permohonan PKPU diajukan apabila kreditor atau debitor dengan sendirinya memperkirakan atau sudah tidak dapat melanjutkan pembayaran atas utang-utangnya yang sudah jatuh tempo dan dapat ditagih, untuk debitor mengajukan rencana perdamaian yang meliputi tawaran pembayaran sebagian atau seluruh utang kepada kreditornya.12 Pemberian kewenangan kepada kreditor untuk mengajukan permohonan PKPU tidak sejalan dengan asas debt forgiveness karena pada dasarnya pengajuan PKPU sebagai upaya ‘tangkisan bagi debitor terhadap permohonan kepailitan yang diajukan oleh kreditornya’ dan inisiatif dari debitor sendiri ‘yang memperkirakan bahwa ia tidak mampu membayar utang-utangnya kepada kreditor.’13 Kendatipun demikian, alternatif penyelesaian pembayaran utang melalui PKPU merupakan pilihan yang paling tepat untuk melakukan restrukturisasi terhadap utang-utang debitor karena PKPU adalah salah satu cara untuk menghindari kepailitan yang lazimnya bermuara dalam likuidasi harta kekayaan debitor.14

Disisi lain, suatu perusahaan yang diberi waktu untuk menata kembali masalah keuangan yang dialaminya dan terdapat itikad baik yang dapat ditunjukkan dari debitor untuk membayar utang kepada kreditornya melalui langkah restrukturisasi utang, maka timbul hak yang rasional kemungkinan besar perusahaannya dapat pulih kembali dan keadaan debitor dalam pailit dapat dicegah.15 Hal ini sejalan dengan prinsip yang terdapat dalam UUK-PKPU yaitu asas kelangsungan usaha yang memungkinkan perusahaan debitor yang masih prospektif untuk tetap dapat dijalankan.16

Kreditor yang dapat mengajukan permohonan kepailitan atau PKPU yang dimaksud di atas adalah kreditor yang telah diatur dalam UUK-PKPU. Berdasarkan penjelasan Pasal 2 ayat (1) UUK-PKPU yang dimaksud dengan kreditor adalah kreditor konkuren, kreditor separatis, dan kreditor preferen. Bagi kreditor separatis dan kreditor preferen dapat mengajukan permohonan pernyataan pailit tanpa kehilangan hak atas jaminan kebendaan dan hak untuk didahulukan. Yang dimaksud dengan kreditor separatis (secured creditors) adalah kreditor yang memegang hak untuk melakukan eksekusi terhadap benda yang dibebankan

11 Pasal 222 ayat (1) UUK-PKPU.

12 Pasal 222 ayat (1) UUK-PKPU.

13 Shubban (n 3) 47.

14 Rudhy A Lontoh, ‘Konsep Utang dalam Hukum Kepailitan Dikaitkan dengan Pembuktian Sederhana (Studi Putusan No.: 04/PDT.SUS.PAILIT/2015/PN.NIAGA.JKT.PST)’ (2016) 4 (4) USU Law Journal 30, 35.

15 Marihot Janpieter Hutajulu, ‘Kajian Yuridis Klausula Arbitrase dalam Perkara Kepailitan’ (2019) 3 (2) Refleksi Hukum: Jurnal Ilmu Hukum 175, 183.

16 Hasdi Hariyadi, ‘Restrukturisasi Utang sebagai Upaya Pencegahan Kepailitan pada Perseroan Terbatas’ (2020) 1 (2) SIGn Jurnal Hukum 119, 121.

(6)

sebagai jaminan.17 Dengan demikian kreditor yang memegang hak jaminan berupa hak tanggungan, hipotek, gadai, dan fidusia dengan segala hak eksekusi yang melekat padanya dapat dikategorikan sebagai kreditor separatis.

Keberadaan kreditor separatis memiliki peranan yang signifikan dan besar dalam menentukan keberhasilan proses perdamaian melalui jalur PKPU. Hal ini ditunjukkan dengan adanya hak suara yang dimiliki kreditor separatis dalam pemungutan suara terhadap proposal perdamaian (rencana perdamaian) sebagaimana diatur pada Pasal 281 ayat (1) yang selengkapnya berbunyi:

Rencana perdamaian dapat diterima berdasarkan:

a) persetujuan lebih dari 1/2 (satu per dua) jumlah kreditor konkuren yang haknya diakui atau sementara diakui yang hadir pada rapat Kreditor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 268 termasuk Kreditor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 280, yang bersama-sama mewakili paling sedikit 2/3 (dua pertiga) bagian dari seluruh tagihan yang diakui atau sementara diakui dari kreditor konkuren atau kuasanya yang hadir dalam rapat tersebut; dan b) persetujuan lebih dari 1/2 (satu per dua) jumlah Kreditor yang piutangnya dijamin dengan gadai, jaminan fidusia, hak tanggungan, hipotek, atau hak agunan atas kebendaan lainnya yang hadir dan mewakili paling sedikit 2/3 (dua per tiga) bagian dari seluruh tagihan dari Kreditor tersebut atau kuasanya yang hadir dalam rapat tersebut.

Salah satu kasus yang relevan dengan uraian di atas, dapat dilihat dalam perkara dengan Nomor Register: 01/Pdt.Sus-PKPU/2017/PN. Niaga JKT. PST., yaitu PT. Kembang Delapan Delapan Multifinance (Selanjutnya PT. K88) selaku debitor yang mengajukan PKPU atas kewajibannya kepada beberapa kreditor, dimana pada proses pemungutan suara (voting), para kreditor separatis dari debitor PT. K88 seperti Bank BCA Syariah, Bank BRI Syariah, Bank Mandiri Syariah, dan Bank Mandiri turut menjalankan haknya untuk memberikan suara terhadap rencana perdamaian yang telah diajukan debitor.

Berdasarkan laporan kepengurusan tim pengurus PT. K88 dalam PKPU, ketika dilakukan pemungutan suara ulang terhadap proposal perdamaian final (proposal restrukturisasi PT. K88 dalam rangka PKPUT tertanggal 17 Mei 2018) pada tanggal 5 Juli 2017, terdapat beberapa kreditor separatis yang menolak proposal restrukturisasi tersebut dan lebih memilih menggunakan haknya untuk mendapatkan kompensasi sebesar nilai terendah di antara nilai jaminan atau nilai aktual pinjaman yang sebagaimana diatur dalam Pasal 281 ayat (2) UUK-PKPU.

Keberadaan ketentuan Pasal 281 ayat (2) UUK-PKPU seolah-olah terlihat memberikan perlindungan dan kepastian hukum kepada kreditor separatis yang memegang hak jaminan kebendaan. Namun, dalam penerapannya justru ketentuan a quo dapat berimplikasi pada timbulnya ketidakpastian hukum terhadap hak agunan atas kebendaan yang dipegang oleh kreditor separatis setelah kreditor separatis memilih untuk mendapatkan kompensasi daripada tunduk pada proposal perdamaian yang telah dihomologasi. Selain itu, apabila kreditor separatis diperkenankan untuk meminta kompensasi setelah menolak rencana perdamaian

17 Sutan Remy Sjahdeini, Sejarah, Asas, dan Teori Hukum Kepailitan: Memahami Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (ed. 2, Prenadamedia Grup 2018) 13.

(7)

dalam proses pemungutan suara, maka hal ini juga tentunya hanya mementingkan kepentingan kreditor separatis tanpa memfokuskan tujuan dari PKPU untuk kelangsungan usaha debitor.

Berkaitan dengan persoalan di atas, permasalahan lainnya yang dapat terjadi adalah perihal kewajiban kreditor separatis dalam mengikuti pemungutan suara terhadap rencana perdamaian pada proses PKPU yang sebagaimana diatur dalam Pasal 281 ayat (1) UUK-PKPU. Dengan diberikannya hak pemungutan suara kepada kreditor separatis untuk mempertimbangkan dan menyetujui rencana perdamaian yang diajukan oleh debitor, kemudian terdapat minoritas kreditor separatis yang tidak menyetujui rencana perdamaian, sehingga berdasarkan Pasal 268 UUK-PKPU;

rencana perdamaian yang telah dihomologasi tidak berlaku terhadap kreditor separatis tersebut yang lebih memilih untuk diberikan kompensasi.

Terhadap isu hukum di atas, penulis berpendapat bahwa implikasi yuridis dari diterapkannya ketentuan a quo menimbulkan kontradiksi pengaturan ketika diperhadapkan dengan ketentuan Pasal 244 UUK-PKPU yang menerangkan bahwa:

Dengan tetap memperhatikan ketentuan Pasal 246, penundaan kewajiban pembayaran utang tidak berlaku terhadap:

a. tagihan yang dijamin dengan gadai, jaminan fidusia, hak tanggungan, hipotek, atau hak agunan atas kebendaan lainnya;

b. tagihan biaya pemeliharaan, pengawasan, atau pendidikan yang sudah harus dibayar dan Hakim Pengawas harus menentukan jumlah tagihan yang sudah ada dan belum dibayar sebelum penundaan kewajiban pembayaran utang yang bukan merupakan tagihan dengan hak untuk diistimewakan; dan c. tagihan yang diistimewakan terhadap benda tertentu milik Debitor maupun

terhadap seluruh harta Debitor yang tidak tercakup pada ayat (1) huruf b.

Berdasarkan uraian di atas diketahui bahwa kreditor separatis tidak memiliki kepentingan untuk ikut serta dalam pembicaraan mengenai PKPU, mengingat kreditor separatis memiliki kedudukan yang istimewa, sehingga seharusnya kreditor separatis tidak diperkenankan untuk mengikuti pemungutan suara seperti sama halnya dengan kedudukan kreditor separatis dalam proses perdamaian di Kepailitan.

Untuk itu, agar memberikan suatu “justifikasi” preskriptif tentang peristiwa hukum18 di atas, sehingga penelitian menjadi terarah serta memiliki petunjuk, penelitian hukum (legal research) ini akan menggunakan jenis penelitian hukum normatif atau penelitian hukum doktrinal yang mencakup penelitian terhadap asas- asas hukum, penelitian terhadap sistematika hukum, penelitian terhadap taraf sinkronisasi hukum, penelitian sejarah hukum, dan penelitian perbandingan hukum.19 Pendekatan yang dilakukan yaitu pendekatan peraturan (statute approach) yaitu dengan mengkaji peraturan perundang-undangan tentang Kepailitan dan PKPU.

18 Mukti Fajar dan Yulianto Achmad, Dualisme Penelitian Hukum Normatif & Empiris (Pustaka Belajar 2010) 36.

19 Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum (UI Publishing 1984) 51.

(8)

PEMBAHASAN

Kedudukan Kreditor Separatis dalam Pemungutan Suara terhadap Rencana Perdamaian pada Proses PKPU

Kreditor dalam proses PKPU dikategorikan menjadi 3 (tiga), yakni kreditor preferen (preferential creditor atau preferred creditor), kreditor pemegang hak jaminan atau kreditor separatis (secured creditor) dan kreditor konkuren (unsecured creditor).20 Masing-masing kreditor tersebut memiliki kedudukan hukum yang berbeda dalam hal menyangkut prioritas haknya dalam memperoleh pelunasan piutangnya dari debitor terhadap golongan kreditor lain.

Kreditor separatis (secured creditors) adalah kreditor yang memegang hak untuk melakukan eksekusi terhadap benda yang dibebankan sebagai jaminan.

Dengan demikian kreditor yang memegang hak jaminan berupa hak tanggungan, hipotek, gadai, dan fidusia dengan segala hak eksekusi yang melekat padanya dapat dikategorikan sebagai kreditor separatis.

Dewasa ini, pengajuan permohonan PKPU oleh kreditor separatis sempat menimbulkan polemik yang disebabkan karena dikeluarkannya Surat Keputusan Mahkamah Agung No. 3/KMA/SK/I/2020 tentang Pemberlakuan Buku Pedoman Penyelesaian Perkara Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (Selanjutnya SKMA No. 3/KMA/SK/I/2020) yang pada intinya beleid a quo mengatur mengenai pembatasan hak terhadap kreditor separatis untuk mengajukan permohonan PKPU. Berdasarkan pendapat praktisi yang mahir di bidang hukum kepailitan yaitu G. P. Wijaya, terkait kebijakan tersebut, Mahkamah Agung sebagai supreme court dan lembaga judex juris sudah sepatutnya berani melakukan penemuan hukum (rechtsvinding) terkhusus dalam keadaan darurat seperti masa pandemi virus Covid-19. SKMA No. 3/KMA/SK/I/2020 merupakan terobosan yang sangat membantu mengurangi pengajuan permohonan PKPU dan Pailit oleh kreditor separatis akibat hambatan bisnis yang terjadi di masa pandemi virus Covid-19.

Kemudian, Mahkamah Agung pada tanggal 29 April 2020, melalui Surat Keputusan Mahkamah Agung No. 109/KMA/SK/IV/2020 tentang Pemberlakuan Buku Pedoman Penyelesaian Perkara Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (Selanjutnya SKMA No. 109/KMA/SK/IV/2020) kembali memberikan hak kepada kreditor separatis untuk mengajukan permohonan PKPU dan mencabut pemberlakuan SKMA No. 3/KMA/SK/I/2020. Pada dasarnya, pembatasan hak kreditor separatis untuk mengajukan permohonan PKPU bertentangan dengan Penjelasan Pasal 222 UUK-PKPU yang memberikan hak kepada kreditor dan debitor, tanpa membedakan jenis kreditor untuk mengajukan permohonan PKPU.

Menurut Pasal 222 ayat (1) UUK-PKPU bahwa PKPU dapat diajukan oleh kreditor atau debitor yang memiliki lebih dari 1 (satu) kreditor. Pada dasarnya, PKPU merupakan kompetensi absolut dari Pengadilan Niaga, sehingga permohonan PKPU yang diajukan pemohon harus ditandatangani oleh pemohon dan/atau advokatnya sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 224 ayat (1) UUK-PKPU.

Maksud dan tujuan dari diajukannya permohonan PKPU oleh debitor dan/atau kreditor sebagai pemohon PKPU yaitu agar debitor mengajukan rencana perdamaian kepada para kreditornya yang berisi tawaran pembayaran terhadap sebagian atau seluruh utang-utangnya yang telah jatuh tempo dan dapat ditagih.21 Dalam hal

20 Sjahdeini (n 17) 13.

21 Pasal 222 ayat (1) dan (2) UUK-PKPU

(9)

permohonan PKPU diajukan secara sukarela yaitu debitor sebagai pemohon PKPU, rencana perdamaian dapat dilampirkan bersamaan dengan permohonan PKPU atau sebelum sidang PKPU yang telah ditetapkan dimulai. Terhadap rencana perdamaian tersebut sudah dapat dilakukan pemungutan suara dalam rapat kreditor yang tanggal dan waktunya telah ditentukan oleh Hakim Pengawas.

Disamping kapan dan dimana ditentukannya rapat kreditor, Hakim Pengawas juga harus memperhatikan mengenai tenggang waktu antara hari terakhir pengajuan tagihan kepada pengurus dan pelaksanaan rapat kreditor yaitu paling singkat 14 (empat belas) hari.

Terdapat beberapa perbedaan yang mendasar antara perdamaian (accord) melalui tahap kepailitan dengan perdamaian pada instrumen PKPU. Perbedaan tersebut dapat ditinjau dari segi maksud dan tujuan dilaksanakannya suatu perdamaian antara debitor dengan para kreditornya yaitu;22 Pertama, rencana perdamaian yang diajukan oleh debitor pada proses PKPU bertujuan untuk menghindari agar harta debitor tidak dalam keadaan pailit. Sedangkan rencana perdamaian yang diajukan pada tahap kepailitan bertujuan mencegah agar harta debitor tidak jatuh dalam keadaan insolvensi dan untuk mengakhiri debitor dalam status pailit. Kedua, rencana perdamaian yang ditawarkan dalam instrumen PKPU ditujukan kepada seluruh kreditor tanpa terkecuali. Sedangkan pada fase kepailitan, rencana perdamaian hanya berlaku kepada kreditor konkuren. Ketiga, rencana perdamaian yang telah disetujui kreditor berubah menjadi perdamaian (accord), yang kemudian dimintakan pengesahan (homologasi) kepada Pengadilan Niaga yaitu Majelis Hakim yang memutus PKPU. Perdamaian dalam fase kepailitan mengikat kepada seluruh kreditor baik yang menyetujui maupun menolak.

Sementara itu, perdamaian pada fase PKPU tidak mengikat kepada seluruh kreditor melainkan hanya kepada para kreditor yang menyetujui perdamaian tersebut. Bagi pihak kreditor separatis yang tidak menyetujui perdamaian yang ditawarkan akan diberikan kompensasi sebesar nilai terendah diantara nilai jaminan atau nilai aktual pinjaman yang secara langsung dijamin dengan hak agunan kebendaan yang jumlahnya akan ditentukan oleh tim penaksir yang ditunjuk oleh hakim pengawas.

Mengingat dalam proses PKPU, penawaran rencana perdamaian ditujukan kepada seluruh kreditor, sehingga menimbulkan konsekuensi logis bahwa rencana perdamaian yang diajukan oleh debitor dapat diterima apabila telah mendapatkan persetujuan dari kreditor konkuren dan kreditor separatis yang selengkapnya diatur dalam Pasal 281 ayat (1) UUK-PKPU, sebagai berikut:

Rencana perdamaian dapat diterima berdasarkan:

a. persetujuan lebih dari 1/2 (satu per dua) jumlah kreditor konkuren yang haknya diakui atau sementara diakui yang hadir pada rapat Kreditor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 268 termasuk Kreditor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 280, yang bersama-sama mewakili paling sedikit 2/3 (dua pertiga) bagian dari seluruh tagihan yang diakui atau sementara diakui dari kreditor konkuren atau kuasanya yang hadir dalam rapat tersebut; dan b. persetujuan lebih dari 1/2 (satu per dua) jumlah Kreditor yang piutangnya

dijamin dengan gadai, jaminan fidusia, hak tanggungan, hipotek, atau hak agunan atas kebendaan lainnya yang hadir dan mewakili paling sedikit 2/3

22 Elyta Ras Ginting, Hukum Kepailitan: Rapat-Rapat Kreditor (Sinar Grafika 2018) 145-146.

(10)

(dua per tiga) bagian dari seluruh tagihan dari Kreditor tersebut atau kuasanya yang hadir dalam rapat tersebut.

Dilihat dari ketentuan di atas dapat dipahami bahwa kreditor separatis yang memiliki hak keistimewaan diberikan kewenangan untuk mengeluarkan suara berkenaan dengan rencana perdamaian tanpa perlu melepaskan haknya untuk barang jaminan piutang yang ada padanya.

Berbeda halnya dengan pemungutan suara dalam kepailitan. Dalam perkara kepailitan, kedudukan kreditor separatis memiliki posisi yang sangat kuat, sehingga diperlukan pembatasan terhadap kedudukannya agar tidak berdampak kepada pendistribusian harta kekayaan debitor yang masuk dalam harta pailit. Pembatasan terhadap hak suara dari kreditor separatis harus diuraikan dalam UUK-PKPU agar memberikan suatu kepastian hukum bagi pelaksanaan perdamaian. Pengaturan mengenai pembatasan pemberian hak suara kepada kreditor separatis untuk tidak memiliki hak suara dalam pengambilan keputusan terhadap rencana perdamaian telah ditegaskan dalam Pasal 149 ayat (1) UUK-PKPU yang menyatakan:

1. Pemegang gadai, jaminan fidusia, hak tanggungan, hipotek, atau hak agunan atas kebendaan lainnya dan kreditor yang diistimewakan, termasuk kreditor yang mempunyai hak didahulukan yang dibantah, tidak boleh mengeluarkan suara berkenaan dengan rencana perdamaian, kecuali apabila mereka telah melepaskan haknya untuk didahulukan demi kepentingan harta pailit sebelum diadakannya pemungutan suara tentang rencana perdamaian tersebut.

Lebih lanjut pada ayat (2) pasal a quo mengatur:

2. Dengan pelepasan hak sebagaimana dimaksud pada ayat (1), mereka menjadi Kreditor konkuren, juga dalam hal perdamaian tersebut tidak diterima.

Berdasarkan ketentuan di atas, pada prinsipnya kreditor separatis dalam rencana perdamaian pada proses kepailitan tidak dapat menggunakan hak suaranya. Namun jika kreditor separatis telah melepaskan haknya untuk didahulukan yakni hak jaminan yang dimilikinya sehingga kreditor separatis kedudukannya sama dengan kreditor konkuren, maka kreditor separatis dapat menggunakan hak suaranya dalam rencana perdamaian dengan mengikuti pemungutan suara.

Determinasi kaidah pembatasan hak suara kreditor separatis dalam pemungutan suara pada fase kepailitan didasarkan kepada Pasal 1132 KUHPerdata yang memberikan pemahaman bahwa setiap kreditor memiliki kedudukan yang sama terhadap kreditor lain, namun dapat ditentukan pula oleh undang-undang pengecualian terhadap kreditor lainnya karena memiliki alasan yang sah untuk didahulukan. Pasal 1132 KUHPerdata menjelaskan pengecualian tersebut, yang berbunyi:

Barang-barang itu menjadi jaminan bersama bagi semua kreditor terhadapnya hasil penjualan barang-barang itu dibagi menurut perbandingan piutang masing- masing kecuali bila di antara para kreditor itu ada alasan-alasan sah untuk didahulukan.

Frasa “kecuali bila di antara para kreditor itu ada alasan-alasan yang sah untuk didahulukan” mengisyaratkan bahwa terdapat kreditor tertentu untuk diberikan kedudukan hukum yang lebih tinggi dari kreditor lainnya. Kreditor yang dapat diberikan kedudukan untuk didahulukan dapat dilihat dalam Pasal 1133 KUHPerdata yang berbunyi sebagai berikut:

(11)

Hak untuk didahulukan di antara para kreditor bersumber pada hak istimewa, pada gadai dan pada hipotek. Tentang gadai dan hipotek dibicarakan dalam Bab 20 dan 21 buku ini.

Di samping Pasal 1133 KUHPerdata mengatur bentuk-bentuk hak jaminan, terdapat ketentuan dalam peraturan perundang-undangan lain yang juga mengenal bentuk hak jaminan kebendaan di luar dari KUHPerdata, yaitu:

a. Hak Tanggungan yang diatur dalam Undang-Undang No. 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-Benda Yang Berkaitan Dengan Tanah.

b. Hak Jaminan Fidusia yang diatur dalam Undang-Undang No. 42 Tahun 1999 tentang Hak Jaminan Fidusia jo. Peraturan Pemerintah No. 21 tentang Tata Cara Pendaftaran Jaminan Fidusia dan Biaya Pembuatan Akta Jaminan Fidusia.

Selanjutnya pengaturan pembayaran piutang kreditor separatis yang dilakukan berdasarkan hak istimewanya juga telah diakomodir dalam UUK-PKPU.

Hal mana diatur pada Pasal 55 ayat (1) UUK-PKPU yang menerangkan bahwa:

Dengan tetap memperhatikan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 56, Pasal 57, dan Pasal 58, setiap Kreditor pemegang gadai, jaminan fidusia, hak tanggungan, hipotek, atau hak agunan atas kebendaan lainnya, dapat mengeksekusi haknya seolah-olah tidak terjadi kepailitan.

Eksistensi dari kaidah di atas merupakan dasar bagi kreditor separatis untuk dapat mengeksekusi sendiri (parate executie) barang objek jaminan utang seolah- olah debitor tidak sedang berada dalam keadaan pailit dan kemudian mengambil sendiri hasil penjualan aset tersebut untuk pembayaran utangnya. Apabila kreditor separatis dapat secara bebas melaksanakan parate executie pada semua tahap kepailitan tanpa dibatasi dengan ketentuan Pasal 149 ayat (1) UUK-PKPU yang menentukan kreditor separatis tanpa harus terlebih dahulu melepaskan hak istimewanya, maka akan menimbulkan ketidakadilan dalam pendistribusian harta kekayaan debitor kepada para kreditor.23

Kendatipun kreditor separatis memiliki hak untuk mengeksekusi secara khusus terhadap objek jaminan kebendaan, namun hak tersebut tetap harus tunduk akan hukum penangguhan eksekusi yang terkandung dalam Pasal 56 ayat (1) UUK-PKPU. Masa penangguhan eksekusi (automatic stay) berlangsung selama jangka waktu tertentu yaitu paling lama 90 (sembilan puluh) hari dalam perkara kepailitan dan selama berlangsungnya PKPU, yang tidak melebihi 270 hari dalam proses PKPU tersebut, kecuali terdapat faktor-faktor untuk mengakhiri masa penangguhan lebih dini.

Mengingat pemahaman penangguhan atau masa stay dalam proses kepailitan di atas, hal ini juga berlaku dalam proses PKPU. Lebih lanjut mengenai masa stay dalam PKPU dijelaskan dalam Pasal 246 UUK-PKPU yang berbunyi:

Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 56, Pasal 57, dan Pasal 58 berlaku mutatis mutandis terhadap pelaksanaan hak Kreditor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 55 ayat (1) dan Kreditor yang diistimewakan, dengan ketentuan bahwa penangguhan berlaku selama berlangsungnya penundaan kewajiban pembayaran utang.

23 Kemala Atika Hayati, dkk, ‘Hak Suara Kreditor Separatis dalam Proses Pengajuan Upaya Perdamaian Menurut Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang’ (2016) 4 (1) USU Law Journal 116, 120.

(12)

Tegasnya, dalam Pasal 246 UUK-PKPU masa stay bagi kreditor dilakukan selama proses PKPU berjalan. Dengan demikian berdasarkan pemahaman tersebut, kreditor separatis tidak dapat melakukan tindakan apapun terhadap harta debitor selama proses PKPU berlangsung baik itu PKPU sementara maupun PKPU tetap.

Terlepas dari perdebatan apakah pemberlakuan masa stay bertentangan atau tidak dengan hukum jaminan. Pengaturan masa stay dalam PKPU sebagai bentuk pembatasan kepada kreditor separatis yang dapat melakukan eksekusi terhadap objek jaminan utang sehingga berdasarkan Pasal 244 huruf (a) UUK-PKPU menyatakan bahwa kreditor separatis tidak termasuk bagian dalam pihak PKPU yang berarti kreditor separatis tidak dapat melakukan PKPU.

Untuk jelasnya, Pasal 244 huruf a UUK-PKPU berbunyi sebagai berikut:

“Dengan tetap memperhatikan ketentuan Pasal 246, penundaan kewajiban pembayaran utang tidak berlaku terhadap:

Tagihan yang dijamin dengan gadai, jaminan fidusia, hak tanggungan, hipotek, atau hak agunan atas kebendaan lainnya;”

Namun apabila kaidah hukum di atas disandingkan dengan Pasal 281 ayat (1) UUK-PKPU yang pada intinya memberikan hak suara kepada kreditor separatis terhadap rencana perdamaian, hal ini menunjukkan inkonsistensi yang berakibat timbulnya ketidakpastian hukum terhadap kedudukan dari kreditor separatis.

Disamping adanya kontradiksi pengaturan, pemberian hak suara kepada kreditor separatis dalam proses perdamaian, dikhawatirkan akan menghambat rencana perdamaian atau sebaliknya akan melancarkan proses perdamaian yang mana perdamaian tersebut senyatanya merugikan bagi kreditor konkuren.24

Proses pemungutan suara berkenaan dengan rencana perdamaian dalam proses PKPU seharusnya berpedoman kepada ketentuan hukum mengenai pembatasan hak suara kreditor separatis terhadap rencana perdamaian yang terdapat dalam perkara kepailitan sebagaimana telah diuraikan di atas. Dengan diberikannya hak suara kepada kreditor separatis untuk menerima atau menolak rencana perdamaian yang diajukan oleh debitor sudah barang tentu hanya memberikan kedudukan kreditor separatis tanpa mempedulikan perlindungan hukum kepada kreditor lainnya.

Implikasi terhadap Pemberian Kompensasi Kepada Kreditor Separatis yang Tidak Menyetujui Rencana Perdamaian

Perdamaian dalam proses PKPU berhak ditawarkan oleh debitor kepada kreditor sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 265 UUK-PKPU yaitu:

Debitor berhak pada waktu mengajukan permohonan penundaan kewajiban pembayaran utang atau setelah itu menawarkan suatu perdamaian kepada Kreditor.

Berdasarkan ketentuan di atas, debitor dapat menawarkan rencana perdamaian tidak harus bersamaan dengan diajukannya permohonan PKPU akan tetapi dapat ditawarkan setelah diajukannya permohonan PKPU. Dalam hal rencana perdamaian yang ditawarkan debitor kepada kreditor, yang berhak untuk

24 Ibid.

(13)

mengeluarkan suara terhadap rencana perdamaian tersebut yaitu kreditor konkuren dan kreditor separatis.

Perdamaian yang telah disetujui oleh para kreditor, harus dihomologasi di Pengadilan. Pengadilan dalam memeriksa permohonan homologasi dapat menerima serta menolak permohonan tersebut. Dalam hal pengadilan menolak homologasi, terdapat beberapa alasan yang dapat dijadikan landasan untuk menolak yaitu:25 a. harta debitor, termasuk barang-barang dengan hak retensi, jauh lebih besar

daripada jumlah yang disetujui dalam perdamaian;

b. pelaksanaan perdamaian tidak cukup terjamin;

c. perdamaian itu dicapai karena penipuan, atau persengkongkolan dengan satu atau lebih kreditor, atau karena pemakaian upaya-upaya lain yang tidak jujur dan tanpa menghiraukan apakah debitor atau pihak lain bekerja sama untuk mencapai hal ini; dan/atau

d. imbalan jasa dan biaya yang dikeluarkan oleh ahli dan pengurus belum dibayar atau tidak diberikan jaminan untuk pembayarannya.

Berdasarkan Pasal 286 UUK-PKPU menyatakan bahwa rencana perdamaian yang disetujui oleh mayoritas kreditor baik kreditor separatis maupun kreditor konkuren dan telah dihomologasi oleh pengadilan menimbulkan akibat hukum yaitu mengikat kepada semua kreditor. Akan tetapi, perdamaian tersebut tidak mengikat terhadap minoritas kreditor separatis yang menolak rencana perdamaian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 281 ayat (2) UUK-PKPU. Selengkapnya Pasal 286 UUK-PKPU mengatur sebagai berikut:

Perdamaian yang telah disahkan mengikat semua kreditor, kecuali kreditor yang tidak menyetujui rencana perdamaian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 281 ayat (2).

Selanjutnya Pasal 281 ayat (2) UUK-PKPU menjelaskan sebagai berikut:

Kreditor sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b yang tidak menyetujui rencana perdamaian diberikan kompensasi sebesar nilai terendah di antara nilai jaminan atau nilai aktual pinjaman yang secara langsung dijamin dengan hak agunan atas kebendaan.

Norma yang diatur dalam Pasal 281 ayat (2) di atas dapat dipahami sebagai implikasi terhadap jaminan yang dimiliki kreditor separatis jika kreditor separatis tidak setuju terhadap rencana perdamaian tersebut, maka kreditor separatis akan mendapatkan kompensasi sebesar nilai terendah dari nilai jaminan yang dimilikinya. Nilai jaminan sebagaimana dijelaskan pada penjelasan Pasal 281 ayat (2) UUK-PKPU yaitu:

Yang dimaksud dengan “nilai jaminan” adalah nilai jaminan yang dapat dipilih diantara nilai jaminan yang telah ditentukan dalam dokumen jaminan atau nilai objek jaminan yang ditentukan oleh penilai yang ditunjuk oleh Hakim Pengawas.

Poin eksesif terkait dengan kaidah di atas yaitu pemberlakuan ketentuan a quo masih menimbulkan kerancuan dalam mengakomodir kepentingan hukum bagi kreditor dan debitor. Kerancuan yang dimaksud yaitu tidak terdapat pengaturan lebih lanjut mengenai akibat hukum terhadap hak agunan atas kebendaan yang dipegang oleh kreditor separatis setelah kreditor separatis menerima kompensasi tersebut. Apakah kemudian setelah diberikannya kompensasi, jaminan hak

25 Pasal 285 ayat (2) UUK-PKPU

(14)

kebendaan yang ada pada kreditor separatis diberikan kepada debitor atau kreditor separatis diwajibkan untuk tunduk pada proposal perdamaian yang telah dihomologasi setelah kompensasi diberikan? Selain itu, yang perlu pula dijadikan perhatian adalah apakah dengan diberikannya kompensasi tidak mengurangi tagihan dari debitor terhadap piutang kreditor separatis. Ketidakjelasan akibat hukum dari diberikannya kompensasi kepada kreditor separatis yang menolak rencana perdamaian berakibat munculnya ketidakpastian hukum baik bagi debitor maupun kreditor separatis itu sendiri.

Permasalahan nyata adanya ketidakpastian hukum tersebut dapat dilihat dalam perkara antara PT. K88 (dalam PKPU) melawan para kreditor separatisnya yang terdaftar di Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dengan nomor registrasi perkara Nomor: 02/Pdt.Sus-Gugatan Lain-lain/2018/PN. Niaga.

Jkt. Pst, atas tindak lanjut dari perkara permohonan PKPU terhadap PT. K88 terdahulu.

Pada mulanya, PT. K88 selaku debitor dinyatakan PKPU Sementara berdasarkan Putusan Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dengan nomor 01/Pdt.Sus-PKPU/2017/PN.Niaga.Jkt.Pst. Kemudian PT. K88 mengajukan rencana perdamaian, yang dimana dalam rencana perdamaian yang diajukan salah satunya terdapat klausul untuk kreditor separatis agar menyerahkan jaminannya. PT. Bank Mandiri, Tbk, PT. Bank Syariah Mandiri, PT.

Bank BCA Syariah, dan PT. Bank BRI Syariah selaku kreditor separatis PT. K88 memberikan suara tidak setuju terhadap rencana perdamaian dengan alasan sangat merugikan. Setelah dilakukan pemungutan suara, diperoleh mayoritas kreditor setuju terhadap rencana perdamaian yang berimplikasi pada proses homologasi. Setelah dilakukannya proses homologasi, maka status PKPU dinyatakan berakhir, namun terhadap para kreditor separatis yang tidak setuju terhadap rencana perdamaian tidak diberikan kompensasi sebagaimana diatur dalam Pasal 281 ayat (2) UUK-PKPU.

Berdasar pada Pasal 286 UUK-PKPU, kreditor separatis yang tidak setuju terhadap rencana perdamaian, tidak terikat dengan rencana perdamaian dan akan diberikan kompensasi. Akibatnya, para kreditor separatis yang menolak rencana perdamaian tidak menyerahkan jaminan sebagaimana yang sudah diatur dalam perjanjian perdamaian yang sudah disahkan. Menanggapi hal tersebut PT. K88 selaku debitor mengajukan gugatan lain-lain terhadap kreditor separatis dalam register perkara Nomor 02/Pdt.Sus-Gugatan Lain-lain/2018/PN.Niaga.Jkt.Pst.

Dalam gugatannya PT. K88 menuntut PT. Bank Mandiri, Tbk, PT. Bank Syariah Mandiri, PT. Bank BCA Syariah dan PT. Bank BRI Syariah selaku kreditor separatis agar menyerahkan seluruh jaminan yang dimilikinya sebagai bentuk pelaksanaan perjanjian perdamaian. Namun terhadap gugatan tersebut Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat menyatakan menolak gugatan Penggugat in casu PT K88 terkait dengan penyerahan jaminan berupa relase BPKB motor konsumen dikarenakan PT. Bank Mandiri, Tbk, PT. Bank Syariah Mandiri, PT. Bank BCA Syariah dan PT. Bank BRI Syariah belum mendapatkan kompensasi.

Padahal UUK-PKPU sudah jelas menyatakan bahwa kreditor separatis yang tidak setuju terhadap rencana perdamaian untuk dapat diberikan kompensasi sebesar nilai terendah dari nilai aktual pinjaman yang secara langsung dijamin dengan hak agunan atas kebendaan.

(15)

In casu a quo, dengan mengingat tidak adanya mekanisme lebih lanjut terhadap pemberian kompensasi oleh debitor kepada minoritas kreditor separatis yang menolak rencana perdamaian, dalam hal PT. K88 selaku debitor menjalankan putusan yang dijatuhkan Majelis Hakim untuk melakukan pembayaran kompensasi kepada para kreditor separatisnya agar jaminan kebendaan yang ada pada kreditor separatis tersebut diserahkan kepada debitor. Maka para kreditor separatis selaku bank-bank yang memberikan fasilitas kredit/pembiayaan kepada masyarakat akan melanggar ketentuan hukum mengenai kewajiban pemberian fasilitas kredit yang harus dijamin dengan agunan yang memadai sebagaimana diatur dalam Undang-Undang No. 7 Tahun 1992 tentang Perbankan Jo. Undang- Undang No. 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas Undang-Undang No. 7 Tahun 1992 tentang Perbankan, yang penulis uraikan sebagai berikut:

Pasal 1 angka 23

Agunan adalah jaminan tambahan yang diserahkan nasabah debitor kepada bank dalam rangka pemberian fasilitas kredit atau pembiayaan berdasarkan prinsip syariah

Pasal 8

1) Dalam memberikan kredit atau pembiayaan berdasarkan prinsip syariah, bank umum wajib mempunyai keyakinan berdasarkan analisis mendalam atas iktikad baik dan kemampuan serta kesanggupan nasabah debitor untuk melunasi utangnya atau mengembalikan pembiayaan dimaksud sesuai dengan yang diperjanjikan,

2) Bank umum wajib memiliki dan menerapkan pedoman perkreditan dan pembiayaan berdasarkan prinsip syariah, sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan oleh Bank Indonesia.

Pasal 11

Pemberian kredit atau pembiayaan berdasarkan Prinsip Syariah oleh bank mengandung risiko kegagalan atau kemacetan dalam pelunasannya, sehingga dapat berpengaruh terhadap kesehatan bank. Mengingat bahwa kredit atau pembiayaan dimaksud bersumber dari dana masyarakat yang disimpan pada bank, risiko yang dihadapi bank dapat berpengaruh pula kepada keamanan dana masyarakat tersebut. Oleh karena itu, untuk memelihara kesehatan dan meningkatkan daya tahannya, bank diwajibkan menyebar risiko dengan mengatur penyaluran kredit atau pemberian pembiayaan berdasarkan Prinsip Syariah, pemberian jaminan ataupun fasilitas lain sedemikian rupa sehingga tidak terpusat pada Nasabah debitor atau kelompok Nasabah debitor tertentu.

Dalam hal Bank melakukan penyerahan jaminan yang ada padanya kepada debitor, maka dengan tidak diaturnya mekanisme secara lengkap mengenai pemberian kompensasi serta kekosongan pengaturan terkait akibat hukum terhadap hak jaminan kreditor yang dikuasai oleh kreditor separatis akan berimplikasi kepada status Bank yang sebelumnya berkedudukan sebagai kreditor separatis berubah menjadi kreditor konkuren. Hal ini tentunya memberikan peluang untuk dengan sengaja menghilangkan hak mendahului yang merupakan hak istimewa dari kreditor separatis sesuai ketentuan Pasal 27 Undang-Undang No. 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia sebagaimana tersebut di bawah ini:

1) Penerima Fidusia memiliki hak yang didahulukan terhadap kreditor lainnya.

(16)

2) Hak yang didahulukan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) adalah hak Penerima Fidusia untuk mengambil pelunasan piutangnya atas hasil eksekusi Benda yang menjadi objek Jaminan Fidusia.

3) Hak yang didahulukan dari Penerima Fidusia tidak hapus karena adanya kepailitan dan atau likuidasi Pemberi Fidusia.

Disamping itu, dilihat dari sudut pandang debitor terhadap pemberian kompensasi kepada kreditor separatis yang menolak rencana perdamaian. Dalam hal kapasitas debitor sebagai lembaga pembiayaan yang memberikan fasilitas kredit kendaraan bermotor kepada konsumen, maka penghasilan yang diperoleh debitor in casu PT. K88 yaitu berasal dari pembayaran yang dilakukan oleh para konsumen tersebut. Sedangkan, apabila kreditor separatis yang memegang BPKP sebagai jaminan kebendaan fidusia tidak tunduk pada rencana perdamaian sehingga diberikan kompensasi, maka sudah barang tentu konsumen tidak bersedia untuk membayar angsuran (cicilan) kepada debitor mengingat BPKB tersebut merupakan jaminan kebendaan.

Dengan demikian, konsekuensi yang akan terjadi adalah terpengaruhnya arus kas (cash flow) debitor yang telah dianggarkan untuk membayar utang-utangnya berdasarkan rencana perdamaian yang telah disahkan.26 Kondisi ini akan membawa debitor gagal dalam melaksanakan perdamaian (akkord) sehingga tujuan esensi dari PKPU untuk menyelamatkan usah debitor melalui restrukturisasi utang menjadi terhambat.27 Padahal filosofi pemberian kompensasi dalam Pasal 281 ayat (2) UUK-PKPU adalah untuk melindungi rencana perdamaian yang telah disahkan tetap dapat terlaksana.28

Seharusnya pemungutan suara dalam proses PKPU, berpedoman pada proses pemungutan suara dalam kepailitan sebagaimana diatur pada Pasal 149 UUK- PKPU yang memberikan larangan hak suara kepada kreditor separatis berkenaan dengan rencana perdamaian yang diajukan oleh debitor. Dikarenakan kedudukan kreditor separatis yang dapat mengeksekusi hak jaminan kebendaannya seolah- olah debitor tidak dalam keadaan pailit dan mengingat PKPU tidak dapat berlangsung terhadap tagihan milik kreditor separatis sebagaimana diatur dalam Pasal 244 UUK-PKPU. Apabila kreditor separatis hendak memberikan suara terhadap rencana perdamaian, maka harus terlebih dahulu menanggalkan haknya untuk mengikuti pemungutan suara dan berkedudukan sebagai kreditor konkuren, sehingga rencana perdamaian yang telah dihomologasi juga berlaku kepada seluruh kreditor baik yang menyetujui maupun yang tidak menyetujui.

Artinya, minoritas kreditor separatis yang menolak perdamaian harus tunduk pada rencana perdamaian yang telah disahkan oleh Pengadilan dan juga disetujui oleh mayoritas kreditor.

26 Verry Sitorus, ’Hak Kreditor Separatis yang Kalah dalam Pemungutan Suara pada Proses Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) Berdasarkan Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaaan Kewajiban Pembayaran Utang’ (Tesis, Universitas Gadjah Mada 2019) 104.

27 Ibid, 106.

28 Annes William Siadari, ‘Kepastian Hukum Pemberian Kompensasi terhadap Kreditor Separatis yang Menolak Rencana Perdamaian (Studi Kasus Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 56/PK/PDT.SUS-PAILIT/2019 juncto Putusan Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Nomor 02/PDT.SUS-GUGATAN LAINLAIN/2018/PN.NIAGA.JKT.PST)’ (Tesis, Universitas Pelita Harapan 2022) 21.

(17)

PENUTUP

Proses pemungutan suara berkenaan dengan rencana perdamaian dalam proses PKPU seharusnya berpedoman kepada ketentuan hukum mengenai pembatasan hak suara kreditor separatis terhadap rencana perdamaian yang terdapat dalam perkara kepailitan. Pemberian hak suara kepada kreditor separatis berkenaan dengan rencana perdamaian yang diajukan oleh debitor dalam PKPU sebagaimana diatur dalam Pasal 281 ayat (1) huruf b UUK-PKPU menimbulkan ketidakpastian hukum bagi kedudukan kreditor separatis karena bertentangan dengan Pasal 244 UUK-PKPU yang pada intinya mengatur bahwa kreditor separatis tidak termasuk bagian dari pihak PKPU. Disamping itu, diizinkannya kreditor separatis untuk menentukan rencana perdamaian dapat menghambat rencana perdamaian atau sebaliknya akan melancarkan proses perdamaian yang mana perdamaian tersebut senyatanya merugikan bagi kreditor konkuren.

Kekosongan hukum dalam pengaturan terhadap akibat hukum dan mekanisme dari diberikannya kompensasi sebesar nilai terendah diantara nilai jaminan atau nilai aktual pinjaman kepada minoritas kreditor separatis yang tidak menyetujui rencana perdamaian menimbulkan ketidakpastian hukum baik bagi kreditor maupun debitor dan pertentangan dengan pengaturan mengenai hukum pemberian fasilitas kredit/pembiayaan yang dilakukan oleh Bank. Sebaiknya terhadap minoritas kreditor separatis yang telah mengikut pemungutan suara berkenaan dengan rencana perdamaian juga wajib untuk mematuhi rencana perdamaian yang telah dihomologasi menjadi perdamaian.

DAFTAR REFERENSI Buku

Aprita S, Hukum Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (Perspektif Teori) (Setara Press 2018).

Fajar M dan Achmad Y, Dualisme Penelitian Hukum Normatif & Empiris (Pustaka Belajar 2010).

Fuady M, Hukum Pailit dalam Teori dan Praktek (Citra Aditya Bakti 2014).

Ginting ER, Hukum Kepailitan: Rapat-Rapat Kreditor (Sinar Grafika 2018).

--- , Teori Hukum Kepailitan (Sinar Grafika 2018).

Shubhan MH, Hukum Kepailitan: Prinsip, Norma, dan Praktik di Peradilan (Kencana 2008).

Sjahdeini SR, Sejarah, Asas, dan Teori Hukum Kepailitan: Memahami Undang- Undang No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (ed. 2, Prenadamedia Grup 2018).

Soekanto S, Pengantar Penelitian Hukum (UI Publishing 1984).

Yahanan A, Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang: Alternatif Penyelesaian Utang Piutang (UNSRI 2007).

Jurnal

(18)

Hariyadi N, ‘Restrukturisasi Utang sebagai Upaya Pencegahan Kepailitan pada Perseroan Terbatas’ (2020) 1 (2) SIGn Jurnal Hukum.

Hayati KA, dkk, ‘Hak Suara Kreditor Separatis dalam Proses Pengajuan Upaya Perdamaian Menurut Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang’ (2016) 4 (1) USU Law Journal.

Hutajulu MJ, ‘Kajian Yuridis Klausula Arbitrase dalam Perkara Kepailitan’ (2019) 3 (2) Refleksi Hukum: Jurnal Ilmu Hukum.

Lontoh RA, ‘Konsep Utang dalam Hukum Kepailitan Dikaitkan dengan Pembuktian Sederhana (Studi Putusan No.: 04/PDT.SUS.PAILIT/2015/PN.NIAGA.

JKT.PST)’ (2016) 4 (4) USU Law Journal.

Noviana N, ‘Perubahan Pokok dalam Peraturan Kepailitan Menurut Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang’ (2006) 36 (2) Jurnal Hukum dan Pembangunan.

Rahmadiyanti RA, ‘Akibat Hukum Penolakan Rencana Perdamaian Debitor oleh Kreditor dalam Proses Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang’ (2015) 8 (2) Notarius.

Tesis/Disertasi

Siadari AW, ‘Kepastian Hukum Pemberian Kompensasi terhadap Kreditor Separatis yang Menolak Rencana Perdamaian (Studi Kasus Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 56/PK/PDT.SUS-PAILIT/2019 juncto Putusan Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Nomor 02/PDT.SUS- GUGATAN LAINLAIN/2018/PN.NIAGA.JKT.PST)’ (Tesis, Universitas Pelita Harapan 2022).

Sitorus V, ‘Hak Kreditor Separatis yang Kalah dalam Pemungutan Suara padaProses Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) Berdasarkan Undang- Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaaan Kewajiban Pembayaran Utang’ (Tesis, Universitas Gadjah Mada 2019).

Tengkano DI, ‘Perdamaian pada Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang Menurut Undang-Undang Kepailitan (Studi Kasus PT. Omeraco di Pengadilan Niaga Jakarta Pusat’ (Tesis, Magister Kenotariatan Universitas Indonesia 2007).

Putusan Pengadilan

PT. Kembang Delapan-Delapan vs. Kreditor, Nomor 01/Pdt.Sus- PKPU/2017/PN.Niaga.Jkt.Pst, Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, 17 Januari 2017.

PT. Kembang Delapan Delapan Multifinance vs. PT. Bank Mandiri, Tbk, PT. Bank Syariah Mandiri, PT. Bank BCA Syariah, dan PT. Bank BRI Syariah, Nomor 02/Pdt.Sus-Gugatan Lain-lain/2018/PN.Niaga.Jkt.Pst, Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, 29 Agustus 2018.

Peraturan Perundang-undangan

Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan.

(19)

Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas Undang Undang Nomor 7 Tahun 1992 Tentang Perbankan.

Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia.

Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang.

Surat Keputusan Mahkamah Agung Nomor 3/KMA/SK/I/2020 tentang Pemberlakuan Buku Pedoman Penyelesaian Perkara Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang

Surat Keputusan Mahkamah Aagung Nomor 109/KMA/SK/IV/2020 tentang Pemberlakuan Buku Pedoman Penyelesaian Perkara Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang

(20)

Referensi

Dokumen terkait

Skripsi Sebagai Satu Syarat Untuk Dapat Memperoleh Gelar Sarjana Pertanian Pada Program Studi Agroekoteknologi. Fakultas Pertanian Universitas

Tingkat kepuasan hasil yang diharapkan akan menentukan bagaimana investor menanam dananya dalam surat berharga (sekuritas), sedangkan tingkat harga sekuritas dipasar

Bismillahirrohmanirrohim Puji syukur yang teramat dalam penulis panjatkan kepada Allah SWT, karena atas rahmat dan ridho-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan laporan

Menurut kajian Garfield dan Ben-Zvi (2007) perlaksaan model tersebut di dalam kelas akan memberi impak yang besar kepada pelajar dalam memahami statistik. SRLE

Siti Rahayu (1985), menyatakan bahwa anak dan menyatakan bahwa anak dan permainan merupakan dua hal yang tidak dapat dipisahkan satu dengan yang

Teori receptie ini digunakan pada pasal 134 ayat (2) IS ( Indische Staatsregeling ) tahun 1919, “Dalam hal terjadinya perkara perdata antar sesama orang Islam akan

Pokok pertama disiplin adalah peraturan. Peraturan adalah pola yang ditetapkan untuk tingkah laku. Pola tersebut mungkin ditetapkan orang tua, guru, atau teman bermain. Dalam

Penyebab waktu penyediaan dokumen rekam medis di Puskesmas tersebut dikatakan sudah memenuhi standar pelayanan minimal (SPM) karena jarak antara tempat pendaftaran pasien,