• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "BAB II TINJAUAN PUSTAKA"

Copied!
33
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Kajian Pustaka dan Kerangka Berpikir 1. Hakikat Novel

a. Pengertian Novel

Kata novel berasal dari kata Latin novellus yang diturunkan pula dari kata novies yang berarti “baru”. Dikatakan baru karena kalau dibandingkan dengan jenis-jenis sastra lainnya seperti puisi, drama, dan lain-lain, maka jenis novel ini muncul kemudian (Tarigan, 1984:164).

Sebutan novel berasal dari bahasa Italia novella berarti ‘sebuah barang baru yang kecil’, kemudian diartikan sebagai ‘cerita pendek dalam bentuk prosa (Abrams dalam Nurgiyantoro, 2002:9). Menurut Robert Lindell (dalam Waluyo, 2011:5), karya sastra yang berupa novel, pertama kali lahir di Inggris dengan judul Pamella yang terbit pada tahun 1740. Awalnya Pamella merupakan sebuah catatan harian seorang pembantu rumah tangga. Kemudian berkembang menjadi bentuk prosa fiksi seperti yang kita kenal saat ini.

Menurut Virginia Wolf (dalam Tarigan, 1984:164), sebuah roman atau novel ialah terutama sekali sebuah eksplorasi atau suatu kroni penghidupan; merenungkan dan melukiskan dalam bentuk yang tertentu, pengaruh, ikatan, hasil, kehancuran, atau tercapainya gerak-gerik manusia. Sederhananya, mungkin ungkapan di atas mengacu kepada ciri suatu novel. Seperti halnya ciri lain tentang novel sederhananya seperti yang diungkapkan oleh Waluyo (2011:6) bahwa pelaku utamanya mengalami perubahan nasib hidup. Menurut Semi (1993:32), novel mengungkapkan suatu konsentrasi suatu kehidupan pada suatu saat yang tegang, dan pemusatan kehidupan yang tegas: roman dikatakan sebagai menggambarkan kronik kehidupan yang lebih luas yang biasanya melukiskan peristiwa dari masa kanak-kanak sampai dewasa dan

(2)

meninggal dunia. Ada yang menyebutkan bahwa roman merupakan karya fiksi yang menggambarkan tentang tokoh dan peristiwa-peristiwa yang hebat-hebat: mengagumkan, mengerikan, atau menyeramkan; sedangkan novel merupakan karya fiksi yang mengungkapkan aspek-aspek kemanusiaan yang lebih mendalam dan disajikan dengan halus.

Sumarjo (dalam Semi, 1993:33) menjelaskan bahwa definisi seperti di atas keluar lantaran sekitar tahun 1950-an novel-novel Indonesia yang ditulis oleh Pramudya Ananta Toer, Mochtar Lubis, dan Achdiat memang bersifat demikian. Roman dalam pengertian di atas, banyak ditemukan dalam buku-buku Balai Pustaka lama. Novel yang lebih “memusat” dan roman yang lebih “luas” sebenarnya terdapat pada istilah novel maupun roman. Ketegasan tersebut juga beralasan lain yakni pengertian novel tercakup pengertian roman yang sering digunakan pada masa sebelum perang kemerdekaan. Novel Indonesia secara “resmi”

muncul setelah terbitnya buku Si Jamin dan Si Johan, tahun 1919, yang merupakan novel saduran dari novel Belanda, kemudian pada tahun berikutnya terbit novel Azab dan Sengsara oleh pengarang yang sama;

sejak saat itulah berkembang sastra fiksi yang dinamai novel ini dalam khazanah sastra Indonesia.

Berangkat dari pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa novel adalah rekaan cerita dari kisah nyata atau sepenuhnya fiksi yang disampaikan dengan bahasa tulis dengan unsur pembangun yang secara struktural mencipta keindahan penceritaan dengan pesan kemanusiaan.

Novel adalah salah satu bentuk dari ekspresi karya sastra. Dalam novel sebagai ekspresi sastra yang memotret perubahan nasib sang tokoh, tentunya pengarang akan mendekatkan berbagai kejadian dalam novel sedekat mungkin dengan realita.

(3)

b. Struktur Novel 1) Unsur Intrinsik

Sebuah karya fiksi yang jadi merupakan sebuah bangun cerita yang menampilkan sebuah dunia yang sengaja dikreasikan pengarang.

Unsur intrinsik adalah unsur-unsur yang membangun karya sastra itu sendiri. Unsur intrinsik sebuah novel adalah unsur-unsur yang (secara langsung) turut serta membangun cerita. Sebuah novel merupakan sebuah totalitas, sebuah kemenyeluruhan yang bersifat artistik.

Sebagai sebuah totalitas, novel mempunyai bagian-bagian, unsur- unsur, yang saling berkaitan satu dengan yang lain secara erat dan saling menggantungkan. Jika novel dikatakan sebagai sebuah totalitas, unsur kata, bahasa, misalnya salah satu bagian dari totalitas itu, salah satu unsur pembangun cerita itu, salah satu subsistem organisme itu (Nurgiyantoro, 2002:23).

Menurut Waluyo (2011:7), unsur-unsur pembangun cerita fiksi meliputi: tema cerita, plot atau kerangka cerita, penokohan dan perwatakan, setting atau tempat kejadian cerita atau disebut juga latar, sudut pandang pengarang atau poin of view, latar belakang atau back- ground, dialog atau percakapan, gaya bahasa/gaya bercerita, waktu cerita dan waktu penceritaan, dan amanat.

a) Tema Cerita Atau Pokok Pikiran

Ide dasar suatu karya sastra biasanya akan diarahkan pada suatu tema oleh pengarangnya. Tema pada suatu karya sastra akan bersifat lebih kentara karena mudah ditafsir oleh penikmatnya.

Menurut Siswanto (2008: 161), tema adalah ide yang mendasari suatu cerita. Menurut Waluyo, (2011: 7), tema adalah gagasan pokok dalam cerita fiksi. Hampir senada dengan yang diungkapkan Hartoko dan Rahmanto (dalam Nurgiyantoro, 2002: 68), tema merupakan gagasan

(4)

dasar umum yang menopang sebuah karya sastra dan yang terkandung di dalam teks sebagai struktur semantis dan yang menyangkut persamaan-persamaan atau perbedaan-perbedaan.

Menurut Stanton dan Kenny (dalam Tarigan, 1984: 67), tema adalah makna yang dikandung oleh sebuah cerita. Makna disini lebih mengacu kepada arti dibalik arti suatu karya sastra. Dalam pendapat ini, bukankah makna dalam suatu prosa bisa bermacam-macam dan bisa saja menjadi banyak tergantung dari penikmatnya. Dan akan sulit dipastikan makna yang mana yang akan menjadi tema suatu karya sastra.

Berdasarkan beberapa pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa tema adalah suatu kerangka dasar sutu karya sastra yang menyelimuti secara menyeluruh karya itu dan mudah dipahami penikmatnya. Keberadaan tema ini bukan hanya menopang kerangka cerita tetapi meresap sampai hal-hal yang diungkap dalam karya tersebut. Tentunya agar lebih mudah dalam memahami tema suatu karya sastra, haruslah mampu memahami seluruh cerita yang disajikan.

b) Alur atau Plot

Alur atau plot sering juga disebut kerangka cerita, yaitu jalinan cerita yang disusun dalam urutan waktu yang menunjukkan hubungan sebab dan akibat dan memiliki kemungkinan agar pembaca menebak- nebak peristiwa yang akan datang (Waluyo, 2011: 9). Menurut Stanton (dalam Nurgiyantoro, 2002:113), plot adalah cerita yang berisi urutan kejadian, namun tiap kejadian itu hanya dihubungkan secara sebab akibat, peristiwa yang satu disebabkan atau menyebabkan terjadinya peristiwa yang lain. Abrams (dalam Nurgiyantoro, 2002: 113) menjelaskan bahwa plot sebuah karya fiksi

(5)

merupakan struktur peristiwa-peristiwa, yaitu sebagaimana yang terlihat dalam pengurutan dan penyajian berbagai peristiwa tersebut untuk mencapai efek emosional dan efek artistik tertentu.

Siswanto (2008: 198), mengemukakan bahwa alur adalah rangkaian peristiwa yang direka dan dijalin dengan seksama yang menggerakan jalan cerita melalui rumitan ke arah klimaks dan selesaian. Menurut Semi (1993:43), alur atau plot adalah struktur rangkaian kejadian dalam cerita yang disusun sebagai sebuah interrelasi fungsional yang sekaligus menandai urutan bagian-bagian dalam keseluruhan fiksi.

Menurut Kenny alur atau plot (dalam Waluyo, 2011: 10) dibagi menjadi tiga tahap, yaitu: (1) beginning atau exposition; (2) the middle, atau konflik, komplikasi, dan klimaks; dan (3) the end atau denoument. Dalam Nurgiyantoro (2002: 149) juga disebutkan ada tiga tahap plot, yaitu: (1) tahap awal cerita membawa kita dari ekposisi dan pengenalan setting ke tanda-tanda munculnya konflik; (2) tahap tengah menyajikan semakin meningkatnya konflik, pertautan dan kompleksitas konflik untuk akhirnya sampai ke klimaks yang kesemuanya merupakan inti cerita; dan (3) tahap akhir membawa kita dari klimaks ke penyelesaian. Dari banyak pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa plot atau alur adalah rangkaian kejadian atau peristiwa yang saling berhubungan satu dengan lainnya menjadi suatu konstruksi bangunan suatu cerita dari unsur-unsur peristiwa cerita.

c) Tokoh dan Penokohan

Tokoh dalam karya rekaan selalu memiliki sifat, sikap, tingkah laku, atau watak-watak tertentu (Siswanto, 2008: 143). Menurut Abrams (dalam Nurgiyantoro, 2002: 165), tokoh cerita (character), adalah orang-orang yang ditampilkan dalam suatu karya naratif, atau

(6)

drama, yang oleh pembaca ditafsirkan memiliki kualitas moral dan kecenderungan tertentu seperti yang diekspresikan dalam ucapan dan apa yang dilakukan dalam tindakan. Dalam Nurgiyantoro (2002: 165), istilah tokoh menunjukkan pada pelaku dalam cerita, sedangkan penokohan menunjukkan pada sifat, watak atau karakter yang melengkapi dari tokoh tersebut. Penokohan adalah pelukisan gambaran yang jelas tentang seseorang yang ditampilkan dalam sebuah cerita.

Tokoh cerita biasanya mengemban suatu perwatakan tertentu yang diberi bentuk dan isi oleh pengarang. Perwatakan (karakterisasi) dapat diperoleh dengan memberi gambaran mengenai tindak-tanduk, ucapan, kebiasaan, dan sebagainya. Cara mengungkapkan sebuah sebuah karakter dapat dilakukan melalui pernyataan langsung, melalui peristiwa, melalui percakapan, melalui monolog batin, melalui tanggapan atas pernyataan atau perbuatan dari tokoh-tokoh lain, dan melalui kiasan atau sindiran (Semi, 1993: 37). Menurut Waluyo (2011: 21), dalam menggambarkan watak tokoh, pengarang mempertimbangkan tiga dimensi watak, yaitu dimensi psikis (kejiwaan), dimensi fisik (jasmaniah), dan dimensi sosiologis (latar belakang kekayaan, pangkat, dan jabatan). Dari beberapa pemahaman di atas, tokoh merupakan pelaku yang menyambung dari satu kejadian ke kejadian yang lain dalam karya sastra. Jalinan tindak laku tokoh inilah yang menjabarkan plot, cerita, sampai pada pesan yang ingin diungkapkan.

d) Latar atau Setting

Menurut Semi (1993: 46), latar atau landas tumpu (setting) cerita adalah lingkungan tempat peristiwa terjadi. Siswanto (2008:

149) berpendapat bahwa latar dan setting adalah penggambaran

(7)

terjadinya peristiwa dalam sebuah cerita meliputi, tempat, waktu, sosial budaya, dan keadaan lingkungan.

Menurut Abrams (dalam Nurgiyantoro, 2002: 216), latar atau setting yang disebut juga dengan landas tumpu menyaran pada pengertian tempat, hubungan waktu, dan lingkungan sosial tempat terjadinya peristiwa-peristiwa yang diceritakan.

Setting adalah tempat kejadian cerita. Tempat kejadian cerita dapat berkaitan dengan aspek fisik, aspek sosiologis, dan aspek psikis.

Namun, setting juga dapat dikaitkan pula dengan tempat dan waktu.

Setting berkaitan dengan pengadegan, latar belakang, waktu cerita, dan waktu penceritaan. Pengadegan, artinya penyusunan adegan- adegan di dalam cerita (Waluyo, 2011: 23 – 24). Dapat disimpulkan bahwa latar atau setting mencakup ruang, waktu, dan suasana dalam suatu cerita, yang tentunya menjadikan penguat keadaan atau peristiwa dalam karya sastra.

e) Sudut Pandang Pengarang (Point Of View)

Menurut Abrams (dalam Tarigan, 2002: 248), sudut pandang, point of view, menyaran pada cara sebuah cerita dikisahkan. Ia merupakan cara dan atau pandangan yang dipergunakan pengarang sebagai sarana untuk menyajikan tokoh, tindakan, latar, dan berbagai peristiwa yang membentuk cerita dalam sebuah karya fiksi kepada pembaca. Hal tersebut sejalan dengan pendapat Siswanto (2008: 151), sudut pandang adalah tempat sastrawan memandang ceritanya. Dari tempat itulah sastrawan bercerita tentang tokoh, peristiwa, tempat dan waktu dengan gayanya sendiri.

Menurut Sayuti (dalam Wiyatmi, 2006: 40 – 41), sudut pandang atau point of view memasalahkan siapa yang bercerita. Sudut pandang dibedakan menjadi sudut pandang orang pertama dan orang

(8)

ketiga. Masing-masing sudut pandang tersebut kemudian dibedakan lagi menjadi: (1) sudut pandang first person central atau akuan sertaan; (2) sudut pandang first person peripheral atau akuan tak sertaan; (3) sudut pandang third person omniscient atau diaan maha tahu; (4) sudut pandang third person limited atau diaan terbatas.

Menurut Waluyo (2011: 25), point of view dinyatakan sebagai sudut pandang pengarang, yaitu teknik yang digunakan oleh pengarang untuk berperan dalam cerita itu. Apakah ia sebagai orang pertama (juru cerita) ataukah sebagai orang ketiga (menyebut pelaku sebagai dia). Shipley (dalamWaluyo, 2011: 25) menyebut ada dua jenis point of view, yaitu internal point of view dan external point of view. Internal point of view ada empat macam, yaitu: (1) tokoh yang bercerita; (2) pencerita menjadi salah seorang pelaku; (3) sudut pandang akuan; (4) pencerita sebagai tokoh sampingan dan bukan tokoh hero. Sementara untuk gaya eksternal, dikemukakan ada dua jenis, yaitu: (1) gaya diaan; dan (2) penampilan gagasan dari luar tokoh-tokohnya. Cara pandang pengarang disajikan dalam cerita melalui tokoh dalam bertindak-laku, hal inilah yang disebut sudut pandang pengarang.

f) Gaya Bahasa atau Gaya Penceritaan

Gaya penceritaan yang dimaksud di sini adalah tingkah laku pengarang dalam menggunakan bahasa. Tingkah laku berbahasa ini merupakan suatu sarana sastra yang amat penting. Pada dasarnya karya sastra itu merupakan salah satu kegiatan pengarang membahasakan sesuatu atau menuturkan sesuatu kepada orang lain (Semi, 1993: 47).

Menurut Abrams (dalam Nurgiyantoro, 2002: 276), stile (style, gaya bahasa), adalah cara pengucapan bahasa dalam prosa, atau

(9)

bagaimana seorang pengarang mengungkap sesuatu yang akan diungkapkan. Menurut Nurgiyantoro (2002: 277), stile pada hakikatnya merupakan teknik, teknik pemilihan ungkapan kebahasaan, yang dirasa dapat mewakili sesuatu yang akan diungkapkan. Hampir sependapat dengan Wiyatmi (2006: 42), yang mengungkapkan gaya (gaya bahasa) merupakan cara pengungkapan seorang yang khas bagi seorang pengarang. Gaya meliputi penggunaan diksi (pilihan kata), imajiner (citraan), dan sintaksis (pilihan pola kalimat).

Dapat disimpulkan gaya bahasa adalah tentang teknik penggunaan diksi sebagai sarana penuangan daya cipta dan daya rasa atau gagasan dalam suatu karya sastra.

2) Unsur Ekstrinsik

Unsur ekstrinsik adalah unsur-unsur yang berada di luar karya sastra yang secara tidak langsung mempengaruhi suatu bangunan karya sastra. Unsur ekstrinsik mampu mempengaruhi suatu bangunan karya sastra namun tidak berada dalam karya tersebut. Unsur ekstrinsik ini sangatlah berpengaruh dalam kehadiran karya sastra tersebut, tentunya tetap dipandang sebagai sesuatu yang penting.

Wellek dan Warren (dalam Waluyo, 2011: 61) menyebutkan ada empat faktor ekstrinsik yang saling berkaitan dalam karya sastra yakni: (a) Biografi pengarang: bahwa karya seorang pengarang tidak akan lepas dari pengarangnya; (b) Psikologis (proses kreatif): adalah aktivitas psikologis pengarang pada waktu menciptakan karyanya terutama dalam penciptaan tokoh dan wataknya; (c) Sosiologis (kemasyarakatan) sosial budaya masyarakat diasumsikan. Bahwa cerita rekaan adalah potret atau cermin kehidupan masyarakat. Yang dimaksud dengan kehidupan sosial adalah profesi atau institusi, problem hubungan sosial, adat istiadat antar hubungan manusia satu

(10)

dengan lainnya, dan sebagainya; dan (d) Filosofis: bahwa pengarang menganut aliran filsafat tertentu dalam berkarya seni. Dengan aliran filsafat yang dianut oleh pengarang itu berkarya, pembaca akan lebih mudah menangkap makna karya sastra tersebut. Keempat faktor tersebut membangun kompleksitas dalam suatu karya sastra.

Tentunya, karya sastra tidaklah bisa dilepaskan dari latar belakang terciptanya karya tersebut.

2. Hakikat Pendekatan Antropologi Sastra a) Pengertian Antropologi

Seorang ahli antropologi bangsa Amerika pernah mengatakan, bahwa pokok-pokok yang tercakup oleh antropologi “dibatasi hanya oleh manusia”. Dalam pernyataan yang sederhana itu Alfred Kroeber memberi penghargaan kepada ruang lingkup yang sangat luas dari pengetahuan yang dicakup oleh ilmu antropologi. Secara harafiah dalam bahasa Yunani kata antropos berarti “manusia” dan logos berarti “studi” jadi antropologi merupakan suatu disiplin yang berdasarkan rasa ingin tahu yang tiada henti-hentinya tentang umat manusia (Ihromi, 2006:1).

Disiplin Antropologi adalah produk peradaban barat yang relatif baru. Di Amerika Serikat misalnya, kuliah antropologi umum yang diberi kredit di college atau universitas, diberikan di Universitas Vermont, namun baru pada tahun 1886 (Haviland, 1995:9). Lambatnya perkembangan disiplin antropologi dapat dijawab dengan merujuk pada keterbatasan teknologi yang dimiliki oleh manusia.

Dalam perkembangan disiplin antropologi Koentjaraningrat membaginya menjadi empat fase (2009: 1–6). Fase pertama adalah sebelum 1800, di mana tulisan-tulisan hasil dari para musafir, pelaut, pendeta penyiar agama nasrani, penerjemah Kitab Injil, dan pegawai pemerintah jajahan, dalam bentuk laporan dan sebagainya. Fase kedua

(11)

yakni sekitar pertengahan abad ke-19 dengan adanya karangan-karangan etnografi yang tersusun berdasarkan cara berpikir evolusi masyarakat.

Fase ketiga pada permulaan abad ke-20, sebagian negara penjajah Eropa mampu mencapai kemantapan kekuasaan, serta menyadari pentingnya ilmu antropologi sebagai disiplin ilmu yang mampu digunakan mempelajari bangsa-bangsa di luar Eropa. Fase keempat kira-kira sesudah tahun 1930, di mana disiplin Antropologi mengalami masa perkembangannya yang paling luas baik mengenai bertambahnya bahan pengetahuan yang jauh lebih teliti, maupun mengenai ketajaman metode- metode ilmiahnya. Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa antropologi adalah disiplin ilmu yang mempelajari tentang segala manusia dalam keanekaragamannya.

b) Pengertian Antropologi Sastra

Antropologi sastra terdiri atas dua kata, yaitu antropologi dan sastra. Secara singkat antropologi berarti ilmu tentang manusia, serta sastra adalah alat untuk mengajar. Dalam pengertian secara etimologi, tentu belum menunjukkan arti yang dimaksudkan. Secara luas yang dimaksud dengan antropologi sastra adalah ilmu pengetahuan dalam hubungan ini karya sastra yang dianalisis dalam kaitannya dengan masalah-masalah antropologi. Oleh karena disiplin antropologi sangat luas, maka kaitannya dengan sastra dibatasi pada antropologi budaya, sesuai dengan hakikat sastra itu sendiri, yaitu sastra sebagai hasil aktivitas kultural, baik dalam bentuk benda kasar, sebagai naskah (artifact), maupun interaksi sosial (socifact) dan kontemplasi diri (mentifact) (Ratna, 2011:6 – 7). Dalam Endraswara (2013:4) menjelaskan bahwa antropologi sastra dapat diartikan sebagai penelitian terhadap pengaruh timbal balik antara sastra dan kebudayaan. Sastra akan menyerap ide-ide dari budaya yang mengitarinya. Hal di atas sependapat

(12)

dengan Tatlow (2000: 2-3) dalam jurnal online "Comparative Literature as Textual Anthropology" yang menyatakan;

In one sense the whole of anthropology, concerned with the passage from nature to culture. the culture which it studies as criticism creates the work it interprets. Tatlow mengungkapkan bahwa antropologi berkaitan dengan alam dan budaya. Kebudayaan dapat diamati dengan studi kritik.

Dalam Ratna (2011:29), hubungan antara sastra dan antropologi pertama kali muncul dalam kongres ‘Folklore and Literary Anthropology’ (Poyatos, 1988:xi – xv) yang berlangsung di Calcutta (1978), diprakarsai oleh Universitas Kahyani dan Museum India. Oleh karena itu, tidak secara kebetulan buku yang diterbitkan pertama kali diberikan subjudul ‘a New Interdisciplinary Approach to People, Signs, and Literature’. Meskipun demikian, Poyatos mengakui bahwa sebagai istilah antropologi sastra pertama kali dikemukakan dalam tulisannya yang dimuat dalam Semiotica (1977).

Dalam khazanah kritik sastra Indonesia, buku pertama yang secara jelas mengemukakan hakikat antropologi sastra ditulis oleh Sudikan berjudul Anthropologi Sastra (2007). Menurut Sudikan (dalam Ratna, 2011:32), antropologi sastra mutlak diperlukan. Pertama, sebagai perbandingan terhadap psikologi sastra dan sosiologi sastra. Kedua, antropologi sastra diperlukan dengan pertimbangan kekayaan kebudayaan seperti diwariskan oleh nenek moyang.

Beberapa alasan yang menyebabkan kedekatan antropologi dengan sastra, yaitu (1) keduanya sama-sama memperhatikan aspek manusia dengan seluruh perilakunya; (2) manusia adalah mahkluk yang berbudaya, memiliki daya cipta rasa kritis untuk mengubah hidupnya; (3) antropologi dan sastra tidak alergi dalam fenomena imajinatif kehidupan manusia yang sering lebih indah dari warna aslinya; (4) banyak wacana

(13)

lisan dan sastra lisan yang menarik minat para antropolog dan ahli sastra;

dan (5) banyak interdisiplin yang mengitari bidang sastra dan budaya hingga menantang munculnya antropologi sastra (Endraswara, 2013: 6).

Di lain sisi Sudewa (2012: 65) juga mengungkapkan Penelitian antropologi sastra sangat memungkinkan untuk dilakukan. Hal ini mengingat sebuah karya sastra tidak hanya mengandung unsur yang bersifat naratif dengan segala pirantinya, tetapi juga mengandung hal-hal yang bersifat sosiologis, psikis, historis, maupun antropologis. Lain hal yang diungkapkan oleh Evans (2007: 5) dalam jurnal online

“Introduction: Rethinking the Disciplinary Confluence of Anthropology and Literary Studies” yang menyatakan;

“...the fact that the disciplinary confluence between anthropology and literary studies has always been but one particular manifestation of the larger cultural turn happening both inside and outside the academy.”

Evans menyatakan bahwa pertemuan antara disiplin antropologi dan sastra mampu mengungkap suatu bentuk dari kebudayaan yang luas serta mampu mempertemukan perubahan-perubahan yang ada di luar dan di dalam akademi.

Antropologi sastra adalah ilmu pengetahuan mengenai manusia dalam masyarakat (Ratna, 2004: 63). Manusia dalam konteks ini tentu saja manusia sebagai individu yang membentuk suatu kebudayaan, bukan manusia sebagai mahkluk sosial dalam masyarakat yang nantinya melahirkan pendekatan sosisologi sastra. Antropologi sastra memberi perhatian pada manusia sebagai agen kultural, sistem kekerabatan, sistem mitos, dan kebiasaan-kebiasaan lainnya. Artinya, antropologi sastra menganalisis sebuah karya sastra dengan memperhatikan teori dan data- data yang bersifat antropologis yang ada di dalamnya (Ratna, 2004:353 – 357). Dalam konteks yang lebih operasional, dapat disimpulkan bahwa penelitian antropologi sastra terhadap sebuah karya sastra adalah

(14)

berusaha melihat perjalanan atau sikap individu tokoh cerita yang mewarnai dan pengungkap budaya masyarakat tertentu yang terkandung dalam karya sastra itu sendiri. Sebagai contoh penelitian dari Setiyoningsih (2015) tentang kehidupan masyarakat Tionghoa di Semarang pada tahun 1960-an. Dengan kehidupan yang kental akan kepercayaan tentang mahkluk gaib, pandang hidup tentang keseimbangan kebaikan dan keburukan, status sosial dan peran hubungan keluarga atau kerabat, peran manusia di alam semesta, dan karya manusia sebagai sumber nafkah hidup juga kehormatan.

Analisis antropologi adalah usaha untuk mencoba memberikan identitas terhadap karya dengan menganggapnya mengandung aspek tertentu, seperti ciri-ciri kebudayaan. Ciri-ciri yang dimaksud di antaranya memiliki kecenderungan masa lampau, citra primordial, citra arketipe. Ciri yang lain, misalnya mengandung aspek kearifan lokal dengan fungsi kedudukannya masing-masing, berbicara mengenai suku- suku bangsa dengan subkategorinya, seperti: trah, klan, dan kasta.

Antropologi sastra tentunya memiliki tugas yang penting untuk mengungkapkan aspek-aspek kebudayaan, khususnya kebudayaan dalam masyarakat tertentu. Karya sastra dalam bentuk apapun, termasuk karya- karya yang dikategorikan sebagai bersifat realis tidak pernah secara eksplisit mengemukakan apa-apa yang akan ditampilkan, ciri-ciri antropologis yang terkandung di dalamnya (Ratna, 2011:39 – 41). Hal tersebut senada dengan hasil penelitian Yulisetiani (2014) tentang gambaran keragaman budaya yang pernah berkembang di wilayah Banyumas. Di mana tercermin pada kepercayaan terhadap makhluk gaib.

Adanya gagasan untuk melestarikan kesenian khas banyumas (ebeg dan ronggeng), gagasan penggunaan bahasa Jawa dialek Banyumas, berjiwa ksatria dan sabar lan nrima, dan peraturan dalam tata upacara cowongan.

Dapat disimpulkan bahwa antropologi sastra secara operasionalnya

(15)

adalah suatu cara mengungkap pergumulan yang menghasilkan suatu sistem dan bentuk budaya dalam kaitanya dengan karya sastra.

c) Langkah-langkah Penerapan Pendekatan Antropologi Sastra terhadap Novel Canting Karya Arswendo Atmowiloto

Kajian antropologi dimanfaatkan untuk mengungkapka nilai-nilai budaya dalam novel Canting karya Arswendo Atmowiloto yang terbagi dalam tiga gejala wujud kebudayaan. Menurut Koentjaraningrat (2009:

150), kebudayaan ada tiga wujud, yaitu: (1) Wujud kebudayaan sebagai suatu kompleks dari ide, gagasan, nilai, norma, peraturan dan sebagainya;

(2) wujud kebudayaan sebagai suatu kompleks aktivitas serta tindakan berpola dari manusia dalam masyarakat; dan (3) wujud kebudayaan sebagai benda-benda hasil karya manusia.

Dalam Koentjaraningrat (2009:151), ketiga wujud kebudayaan tersebut diuraikan sebagai berikut; Wujud pertama adalah wujud ideal dari kebudayaan. Sifatnya abstrak, tidak dapat diraba atau difoto. Ide dan gagasan manusia banyak yang hidup bersama dalam suatu masyarakat, memberi jiwa dalam masyarakat itu. Gagasan itu satu dengan yang lain selalu berkaitan menjadi suatu sistem. Para ahli antropologi dan sosiologi menyebut sistem ini menyebut sistem budaya atau cultural system. Dalam bahasa Indonesia terdapat istilah lain yang sangat tepat untuk menyebut wujud ideal dari kebudayaan ini, yaitu adat atau adat istiadat untuk bentuk jamaknya.

Wujud kedua dari kebudayaan disebut sistem sosial atau social system, mengenai tindakan berpola dari manusia itu sendiri. sistem sosial ini terdiri dari aktivitas-aktivitas manusia yang berinteraksi, berhubungan dan bergaul satu sama lain dari detik ke detik, dari hari ke hari, dan dari tahun ke tahun, selalu menurut pola-pola tertentu yang berdasarkan adat tata kelakuan. Sebagai rangkaian aktivitas manusia-manusia dalam suatu

(16)

masyarakat, sistem sosial itu bersifat konkret, terjadi di sekeliling kita sehari-hari, bisa diobservasi, difoto, dan didokumentasi.

Wujud ketiga dari kebudayaan disebut kebudayaan fisik. Berupa seluruh hasil fisik dan aktivitas, perbuatan, dan karya semua manusia dalam masyarakat. Sifatnya paling konkret berupa benda-benda atau hal- hal yang dapat diraba, dilihat, dan difoto.

Ketiga wujud dari kebudayaan yang terurai di atas, dalam kenyataan kehidupan masyarakat tentu tidak terpisah satu dengan yang lain. Kebudayaan dan adat-istiadat mengatur dan memberi arah kepada manusia. Baik pikiran-pikiran dan ide-ide, maupun tindakan dan karya manusia, menghasilkan benda-benda kebudayaan fisiknya. Sebaliknya, kebudayaan fisik membentuk suatu lingkungan hidup tertentu yang makin lama makin menjauhkan manusia dari lingkungan alamiahnya sehingga mempengaruhi pula pola-pola perbuatannya, bahkan pula cara berpikirnya.

d) Kebudayaan Masyarakat Jawa di Indonesia

Menurut Kodiran (dalam Koentjaraningrat, 2002:329) daerah kebudayaan Jawa itu luas, yaitu meliputi seluruh bagian tengah dan timur dari pulau Jawa. Sungguh pun demikian ada daerah-daerah yang secara kolektif disebut sebagai daerah Kejawen. Sebelum terjadi perubahan- perubahan status wilayah seperti sekarang ini, daerah itu ialah Banyumas, Kedu, Yogyakarta, Surakarta, Madiun, Malang, dan Kediri. Daerah di luar itu dinamakan pesisir atau ujung timur.

Sehubungan dengan hal itu, maka dalam seluruh rangka kebudayaan Jawa ini, dua daerah luas bekas kerajaan mataram sebelum terpecah pada tahun 1755, yaitu Yogyakarta dan Surakarta, adalah merupakan pusat dari kebudayaan tersebut. Sudah barang tentu di sekian banyak daerah tempat kediaman orang Jawa ini terdapat berbagai variasi dan perbedaan-perbedaan yang bersifat lokal dalam beberapa unsur-unsur

(17)

kebudayaanya, seperti perbedaan mengenai berbagai istilah teknis, dialek bahasa dan lain-lainnya. Sungguh pun demikian variasi-variasi dan perbedaan tidaklah besar karena apabila diteliti hal-hal itu masih menunjukkan satu pola ataupun satu sistem kebudayaan Jawa.

Menurut Wertheim (dalam Koentjaraningrat 1984:71) pertumbuhan kota-kota administratif memang merupakan akibat utama dari pemerintahan kolonial di Indonesia. Sebelumnya, kota-kota adalah pusat kerajaan, pusat kegiatan agama, atau pelabuhan. Pusat kerajaan dahulu hanya merupakan tempat tinggal raja dan orang-orang yang dekat dengannya. Bentuk kota seperti itu, terdiri dari sekelompok tempat tinggal yang dibangun menurut suatu tata-kota tertentu yang melambangkan susunan alam semesta seperti yang dibayangkan oleh sistem keyakinan orang Jawa.

Menurut Magnis-Suseno (1988:12-13) menyatakan bahwa orang Jawa membedakan dua golongan sosial yakni, wong cilik (orang kecil), terdiri dari sebagian besar massa petani dan mereka yang berpendapatan rendah di kota, dan kaum priyayi di mana termasuk kaum pegawai dan orang-orang intelektual. Selain itu masih ada kelompok lain yakni kaum ningrat (ndara) namun mereka tidak begitu berbeda dari kaum priyayi. Hal yang bisa menjadi suatu pembeda dalam kedua golongan tersebut adalah gaya hidup. Wong cilik yang biasanya terdiri dalam status petani, pedagang, pengrajin, tukang dan beberapa status lainnya. Di mana posisi wong cilik seakan berada di bawah kelas sosial kaum priyayi. Kaum priyayi di sini selain berprofesi sebagai pekerja seperti pegawai negeri, juga ada kaum ningrat yang secara gaya hidup dan pandangan dunia tidaklah terlalu berbeda. Kartodirdjo, Sudewo, dan Hatmosuprobo (1993:54) menyatakan bahwa gaya hidup yang dipandang dari perspektif simbolik itu merupakan suatu subkultur dar tradisi kejawen sebagai tradisi besar Jawa, yang didukung oleh golongan sosial tertentu. Terciptalah

(18)

ruang sosio-kultural, di mana golongan yang memiliki gaya hidup itu dapat menghayati hidupnya sesuai dengan status dan peranannya dalam masyarakat. Di sini kita menjumpai nilai khas yang berkaitan dengan status, ialah apa yang dalam bahasa Jawa juga disebut praja atau istilah lainnya gengsi.

Menurut Kayam (dalam Rustopo 2007:28), perjalanan budaya Jawa yang berabad-abad bagaimanapun mengalami transformasi.

Transformasi dapat diandaikan sebagai proses pengalihan total ke suatu bentuk budaya baru yang akan mapan. Juga dapat dibayangkan sebagai proses yang lama dan bertahap-tahap atau sebaliknya sebagai suatu titik balik yang begitu cepat. Akan tetapi, dalam proses perubahan itu, unsur- unsur budaya yang menjadi pilar-pilar penyangganya pada suatu saat akan meruyak, membusuk, dan tidak dapat berfungsi lagi sebagai pengikat kesatuan kebudayaan. Yang menarik dari transformasi budaya di Jawa adalah, bahwa nenek moyang masyarakat Jawa bersikap lentur, luwes, adabtable, dan kreatif dalam menghadapi berbagai pengaruh (asing) dari luar. Candi Borobudur dan Prambanan adalah sintesa jenius lokal Jawa Tengah dengan Hindu-Budha pada abad ke-8, yang sekaligus menunjukkan betapa kreatif para pengagas dan arsitek Jawa dalam menghadapi dan merangkul peradaban besar India. Munculnya Demak sebagai sosok sintesa budaya Jawa-Islam, sekaligus menghentikan transformasi Jawa-Hindu.

Keluwesan, kelenturan dan kekreatifan Jawa ternyata tidak muncul ketika menghadapi kebudayaan barat yang dibawa oleh orang-orang Portugis, Inggris, dan Belanda. Raja-raja Mataram setelah Sultan Agung tidak berdaya menghadapi ekspansi Belanda dan akhirnya takluk sama sekali. Belanda yang menekankan prinsip-prinsip rasionalitas, efisiensi, produktifitas di dalam kolonialisme yang serakah, tidak memberikan ruang kreatif kepada para penguasa pribumi yang menghadapinya. Untung

(19)

sintesa Jawa-Islam tidak terpenggal. Masa renaisans kesustraan Jawa justru terjadi pada masa-masa itu, yang ditandai dengan munculnya karya- karya pujangga Jawa baru seperti, Yasadipura, Ranggawarsita, yang merupakan sintesa Jawa-Islam.

3. Hakikat Nilai-nilai Pendidikan Karakter a. Pengertian Nilai Pendidikan Karakter

Nilai (value) sebenarnya bermula dari dunia ekonomi. Dalam arti ini, nilai merupakan harga yang harus dibayar atas penggunaan barang atau jasa, kemampuan sebuah benda untuk dapat dipertukarkan dengan yang lain, tentang pekerjaan, dan tentang bahan-bahan pokok untuk produksi. Seiring perjalanan waktu, nilai masuk dalam ruang lingkup moral, mengacu pada etika, kebaikan, dan tujuan akhir sebuah tindakan.

Pemahaman tentang nilai mendorong dan menggerakkan individu untuk meraih idealismenya, serta mengukuhkan komitmen untuk bertindak di dunia. Dengan pemahaman di atas, konsep-konsep nilai dalam pendidikan tidaklah tanpa masalah (Koesoema, 2012: 30).

Karya sastra adalah salah satu medium memiliki kaitan erat dengan nilai-nilai pendidikan. Beberapa hal berkenaan nilai pendidikan dalam karya sastra diungkap oleh Waluyo (2011: 27) sebagai nilai sastra berarti kebaikan yang ada dalam makna karya sastra bagi kehidupan. Nilai sastra dapat berupa nilai medial (menjadi sarana), nilai final (yang dikejar seseorang), nilai kultural, nilai kesusilaan, dan nilai agama. Ramli (dalam Aqib dan Sujak, 2011: 3) menyatakan bahwa pendidikan karakter memiliki esensi dan makna yang sama dengan pendidikan moral dan pendidikan akhlak. Tujuannya adalah membentuk pribadi anak, supaya menjadi manusia yang baik, warga masyarakat, dan warga negara yang baik. Oleh karena itu, hakikat dari pendidikan karakter dalam konteks pendidikan di Indonesia adalah pendidikan nilai, yakni pendidikan nilai-

(20)

nilai luhur yang bersumber dari budaya bangsa Indonesia sendiri dalam rangka membina kepribadian generasi muda.

Menurut Azzet (2011:27), pendidikan karakter adalah pendidikan budi pekerti plus, yaitu yang melibatkan aspek pengetahuan (cognitive), perasaan (feeling), dan tindakan (action). Thomas Lingkona (dalam Azzet, 2011:27) mengiyakan ketiga aspek di atas dalam hubungan pendidikan karakter.

Menurut Saptono (2011:23), nilai pendidikan karakter adalah upaya yang dilakukan dengan sengaja untuk mengembangkan karakter yang baik (good character) berlandaskan kebajikan-kebajikan inti (core virtues) yang secara objektif baik bagi individu maupun masyarakat.

Dapat disimpulkan nilai pendidikan karakter adalah suatu laku sadar berlandasan hal yang baik dalam usaha menumbuhkan nilai-nilai luhur peserta didik dan mampu diimplementasikan dalam hidup keseharian.

Dari semua pernyataan di atas dapat disimpulkan bahwa pendidikan karakter adalah proses pemahaman akan adanya nilai luhur yang baik bagi siswa dalam menjalankan kehidupan, yang berimbas pada semakin baiknya kepribadian siswa didik.

b. Macam-macam Nilai Pendidikan Karakter

Menurut Koentjaraningrat dam Mocthar Lubis (dalam Listyarti, 2012:4-5), karakter bangsa Indonesia yaitu meremehkan mutu, suka menerabas, tidak percaya diri sendiri, tidak berdisiplin, mengabaikan tanggung jawab, hipokrit, lemah kreativitas, etos kerja buruk, suka feodalisme, dan tak punya malu. Sedangkan menurut Winarno Surkhmad dan Pramoedya Ananta Toer, karakter asli bangsa Indonesia adalah nrimo, penakut, feodal, penindas, koruptif, dan tak logis. Nilai-nilai tersebut sudah ada sejak bangsa Indonesia masih dijajah bangsa asing beratus-ratus tahun yang lalu. Karakter tersebut mengkristal dalam jiwa

(21)

bangsa Indonesia bahkan sesudah masa kemerdekaan. Kondisi inilah yang menyadarkan betapa pentingnya pendidikan karakter bagi bangsa Indonesia.

Ada sembilan karakter dasar yang ada di Indonesia. Karakter dasar tersebut disebutkan oleh Musfiroh (dalam Arismantoro, 2008:29) yang di dalamnya terdapat (1) Cinta kepada Allah dan semesta beserta isinya, (2) Tanggung jawab, disiplin, dan mandiri, (3) Jujur, (4) Hormat dan santun, (5) Kasih sayang, peduli, dan kerja sama, (6) Percaya diri, kreatif, kerja keras, dan pantang menyerah, (7) Keadilan dan kepemimpinan, (8) Baik dan rendah hati, (9) Toleransi, cinta damai dan persatuan. Sembilan karakter dasar tersebut tentunya berhubungan erat dengan nilai-nilai pendidikan karakter yang dikeluarkan oleh Kemendiknas. Dalam penelitian ini, nilai-nilai pendidikan karakter yang akandigunakan adalah nilai pendidikan karakter menurut Kemendiknas (2010: 9–10), yang membagi pendidikan karakter di antaranya adalah sebagai berikut:

1) Religius adalah sikap dan perilaku yang patuh dalam melaksanakan ajaran agama yang dianutnya, toleran terhadap pelaksanaan ibadah agama lain, dan hidup rukun dengan pemeluk agama lain;

2) Jujur adalah perilaku yang didasarkan pada upaya menjadikan dirinya sebagai orang yang selalu dapat dipercaya dalam perkataan, tindakan, dan pekerjaan;

3) Toleransi adalah sikap dan tindakan yang menghargai perbedaan agama, suku, etnis, pendapat, sikap, dan tindakan orang lain yang berbeda dari dirinya;

4) Disiplin adalah tindakan yang menunjukkan perilaku tertib dan patuh pada berbagai ketentuan dan peraturan;

5) Kerja keras adalah perilaku yang menunjukkan upaya sungguh- sungguh dalam mengatasi berbagai hambatan belajar dan tugas, serta menyelesaikan tugas dengan sebaik-baiknya;

(22)

6) Kreatif berpikir dan melakukan sesuatu untuk menghasilkan cara atau hasil baru dari sesuatu yang telah dimiliki;

7) Mandiri adalah sikap dan perilaku yang tidak mudah tergantung pada orang lain dalam menyelesaikan tugas-tugas;

8) Demokratis adalah cara berfikir, bersikap, dan bertindak yang menilai sama hak dan kewajiban pada dirinya dan orang lain;

9) Rasa ingin tahu adalah sikap dan tindakan yang selalu berupaya untuk mengetahui lebih mendalam dan meluas dari sesuatu yang dipelajarinya, dilihat, dan didengar;

10) Semangat kebangsaan adalah cara berpikir, bertindak, dan berwawasan yang menempatkan kepentingan bangsa dan negara di atas kepentingan diri dan kelompoknya;

11) Cinta tanah air adalah cara berfikir, bersikap, dan berbuat yang menunjukkan kesetiaan, kepedulian, dan penghargaan yang tinggi terhadap bahasa, lingkungan fisik, sosial, budaya, ekonomi, dan politik bangsa;

12) Menghargai/aprestasi adalah sikap dan tindakan yang mendorong dirinya untuk menghasilkan sesuatu yang berguna bagi masyarakat, dan mengakui, serta menghormati keberhasilan orang lain;

13) Bersahabat/komuniktif adalah tindakan yang memperlihatkan rasa senang berbicara, bergaul, dan bekerjasama dengan orang lain;

14) Cinta damai adalah sikap, perkataan, dan tindakan yang menyebabkan orang lain merasa senang dan aman atas kehadiran dirinya;

15) Gemar membaca adalah kebiasaan menyediakan waktu untuk membaca berbagai bacaan yang memberikan kebajikan bagi dirinya;

16) Peduli lingkungan adalah sikap dan tindakan yang selalu berupaya mencegah kerusakan pada lingkungan alam di sekitarnya, dan mengembangkan upaya-upaya untuk memperbaiki kerusakan alam yang sudah terjadi;

(23)

17) Peduli sosial sikap dan tindakan yang selalu ingin memberi bantuan pada orang lain dan masyarakat yang membutuhkan; dan

18) Tanggung jawab adalah sikap dan perilaku seseorang untuk melaksanakan tugas dan kewajibannya, yang seharusnya dilakukan, terhadap diri sendiri, masyarakat, lingkungan (alam, sosial dan budaya), Negara dan TuhanYang Maha Esa.

4. Hakikat Materi Pembelajaran Sastra di Sekolah Menengah Atas (SMA)

a. Materi Pembelajaran

Materi pembelajaran (instructional materials) adalah pengetahuan, keterampilan, dan sikap yang harus dipelajari siswa dalam rangka mencapai standar kompetensi yang telah ditentukan. Secara terperinci, jenis-jenis materi pembelajaran terdiri dari pengetahuan (fakta, konsep, prinsip, prosedur), keterampilan, dan sikap atau nilai (Mulyasa, 2006:46). Menurut Ismawati (2013: 39), bahan ajar atau materi ajar adalah sesuatu yang mengandung pesan yang akan disajikan dalam proses pembelajaran. Guru atau pengajar tentunya harus paham antara jenjang sekolah dengan materi pengajaran yang akan dipilih sebagai medianya. Apa lagi materinya berupa karya sastra. Seperti yang diungkap Rahmanto (1988:34) guru pengajar sastra hendaknya selalu menyadari prinsip ganda yang terdapat dalam karya sastra, yakni sastra sebagai pengalaman dan sastra sebagai bahasa.

Dalam pemilihan materi pembelajaran juga harus diperhatikan.

Dengan pemilihan materi pembelajaran yang tepat, tentunya akan mempermudah siswa mencapai kompetensi yang diharapkan. Menurut Iskandarwassid dan Sunendar (2011: 219), ada beberapa hal yang harus diperhatikan dalam menetapkan materi pelajaran, yaitu: (a) materi pelajaran hendaknya sesuai dengan kurikulum sehingga dapat

(24)

menunjang tercapainya tujuan instruksional; (b) materi pelajaran hendaknya sesuai dengan tingkat pendidikan dan perkembangan peserta didik pada umumnya; (c) materi pelajaran terorganisasi secara sistematik dan berkesinambungan; (d) materi pelajaran hendaknya mencangkup hal-hal yang bersifat faktual dan konseptual. Materi atau bahan pengajaran ditetapkan dengan merujuk pada tujuan-tujuan instruksional.

Sepaham dengan Abidin (2012:33) menyatakan bahwa bahan ajar atau materi pembelajaran (intructional materials) secara garis besar terdiri dari pengetahuan, keterampilan, dan sikap yang harus dipelajari siswa dalam rangka mencapai standar kompetensi yang telah ditentukan.

Rahmanto (1988: 27) menyatakan bahwa tiga aspek yang tidak boleh dilupakan guru dalam memilih bahan pengajaran sastra, yaitu pertama dari sudut bahasa, kedua dari segi kematangan jiwa (psikologi), dan ketiga dari latar belakang kebudayaan para siswa.

Berkaitan dengan penelitian antropologi sastra, nilai pendidikan karakter, dan relevansinya dengan materi pembelajaran sastra di SMA, peneliti merujuk pada penelitian sebelumnya untuk variabel nilai pendidikan karakternya, yaitu “Kajian Stilistika dan Nilai Pendidikan Karakter dalam Kumpulan Cerpen Rectoverso Karya Dewi Lestari serta Relevansinya sebagai bahan ajar Menulis Cerpen Kelas XI SMA.” Oleh Riza Perdana pada tahun 2015. Pada penelitian ini menganalisis kajian stilistika dan nilai pendidikan karakter dalam kumpulan cerpen Rectoveso Karya Dewi Lestari. Variabel yang sama antara penelitian ini dengan penelitian di atas adalah variabel nilai pendidikan karakter.

Penelitian tersebut menghasilkan kesimpulan berupa. Pada Rectoverso, nilai religius sebanyak 1 data, jujur sebanyak 7 data, mandiri sebanyak 1 data, toleransi sebanyak 4 data, disiplin sebanyak 8 data, demokratis sebanyak 1 data, kerja keras sebanyak 6 data, kreatif sebanyak 5 data, rasa ingin tahu sebanyak 25 data, bersahabat/komunikatif sebanyak 5

(25)

data, cintai damai sebanyak 6 data, gemar membaca sebanyak 2 data, peduli sosial sebanyak 10, dan tanggung jawab sebanyak 4 data. Oleh karena itu, nilai pendidikan karakter rasa ingin tahu paling banyak ditemukan di keempat cerpen tersebut. Materi yang tepat tentunya akan mempermudah siswa memahami materi. Dari semua uraian di atas dapat disimpulkan bahwa materi pembelajaran adalah materi yang secara sistematis mampu membantu siswa dalam memahami suatu materi untuk mencapai suatu kompetensi secara maksimal.

b. Pengertian Pembelajaran Sastra

Pengajaran sastra adalah pengajaran yang menyangkut seluruh aspek sastra, yang meliputi: teori sastra, sejarah sastra, kritik sastra, sastra perbandingan, dan apresiasi sastra (Ismawati, 2013:1). Belajar merupakan upaya penyadaran yang tentunya membutuhkan waktu dan tahapan yang baik. Apresiasi sastra adalah salah satu tahapan yang ingin dicapai dalam pembelajaran sastra. Apresiasi sastra ini menekankan pada pengajaran pada aspek afektif yang berurusan dengan rasa, nurani, serta nilai-nilai. Sejatinya pembelajaran sastra dapat membantu pendidikan secara utuh apabila cakupannya meliputi empat manfaat, yaitu: membantu ketrampilan berbahasa meningkatkan pengetahuan budaya, mengembangkan cipta dan rasa, dan menunjang pembentukan watak (Rahmanto, 1988:16).

Apresiasi sastra menurut Ismawati (2013:1) adalah kegiatan menggauli, menggeluti, memahami, dan menikmati cipta sastra hingga tumbuh pengetahuan, pengertian, kepekaan, pemahaman, penikmatan, dan penghargaan terhadap cipta sastra yang kita gauli, geluti, pahami, dan nikmati. Dalam Rahmanto (1988:34), seorang guru pengajar hendaklah menyadari prinsip ganda yang terdapat dalam karya sastra, yakni: sastra sebagai pengalaman, dan sastra sebagai bahasa. Dengan

(26)

menyadari dua hal di atas diharapkan akan tumbuh sikap apresiasi terhadap hal-hal yang indah, yang lembut, yang manusiawi, oleh peserta didik. Dari teori-teori di atas dapat disimpulkan bahwa pembelajaran sastra adalah suatu proses pengajaran atas segala latar belakang sastra serta pemahaman akan segala bentuk sastra sebagai sesuatu yang bernilai sebagai suatu karya manusia.

c. Tujuan Pembelajaran Sastra

Tujuan pembelajaran sastra tentunya memiliki aspek beragam sesuai dengan kepeluan pengajaran dengan konteks yang tentunya berbeda dengan tiap konteksnya. Secara umum, pengajaran sastra menurut Ismawati (2013: 30) dipilah menjadi dua bagian yakni tujuan jangka pendek dan tujuan jangka panjang. Tujuan jangka pendek adalah agar siswa dapat mengenal cipta sastra dan dapat menjawab pertanyaan- pertanyaan yang terkait dengannya. Di samping itu siswa dapat memberi tanggapan, menanyakan, tentang cipta sastra yang dibacanya, siswa dapat menyelesaikan tugas-tugas pengajaran sastra, mengunjungi kegiatan sastra, menyatakan tertarik dengan kegiatan pengajaran sastra dan memilih kegiatan sastra diantara kegiatan lain yang disediakan.

Tujuan pengajaran sastra jangka panjang adalah terbentuknya sikap positif terhadap sastra dengan ciri siswa mempunyai apresiasi yang tinggi terhadap karya sastra dan dapat membuat indah dalam setiap fase kehidupannya sebagaimana pepatah mengatakan dengan seni (sastra) hidup menjadi lebih indah.

Dalam mencapai tujuan yang ideal pembelajaran sastra tentunya berujung pada pengajaran sastra mampu membantu pendidikan secara utuh. Menurut Rahmanto (1988: 16) pengajaran sastra dapat membantu pendidikan secara utuh apabila cakupannya meliputi empat manfaat yaitu; membantu ketrampilan berbahasa; meningkatkan pengetahuan

(27)

budaya; mengembangkan cipta; dan menunjang pembentukan watak.

Dapat disimpulkan bahwa pembelajaran sastra memiliki tujuan di mana karya sastra sebagai materi pembelajaran dapat memberikan dampak yang positif kepada pembaca yang akhirnya mau mengapresiasi lebih dari sekadar materi pembelajaran.

d. Fungsi Sastra dan Fungsi Pengajaran Sastra

Fungsi pengajaran sastra memiliki ruang lingkup berkenaan dengan nilai kemanusiaan. Wellek dan Warrren (dalam Emzir dan Rohman, 2015: 9) menyatakan bahwa fungsi sastra di tengah masyarakat beberapa diantaranya yaitu; sebagai hiburan; sebagai renungan; sebagai bahan pelajaran; sebagai media komunikasi simbolik;

dan sebagai pembuka paradigma berpikir. Fungsi sastra maupun fungsi pengajaran sastra selain memiliki nilai sebagai hiburan sebagai suatu karya seni tentu juga mengandung nialai estetis. Kemudian secara sederhana Horace (dalam Ismawati, 2013:3) mengatakan bahwa sastra itu dulce et utile, artinya indah dan bermakna. Sastra sebagai sesuatu yang dipelajari atau sebagai bahan renungan dan refleksi kehidupan karena sastra bersifat koekstensif dengan kehidupan, artinya sastra berdiri sejajar dengan hidup.

Pengalaman dalam mengapresiasi karya seni apabila dilakukan dengan tujuan pencarian pengalaman batin tentu akan tepat memilih sastra sebagai medianya. Hal ini sesuai dengan yang diungkapkan Ismawati (2013:3) bahwa dalam kesusastraan dapat ditemukan berbagai gubahan yang mengungkap nilai-nilai kehidupan, nilai-nilai kemanusiaan, nilai-niali sosial budaya, di antaranya terdapat dalam puisi, prosa dan drama. Fungsi pengajaran sastra dapat dikatakan sebagai wahana untuk belajar menemukan nilai-nilai yang terdapat

(28)

dalam karya sastra yang dibelajarkan, dalam suasana yang kondusif dibawah bimbingan guru atau dosen.

Dalam hal pengajaran sastra memiliki fungsi yang maksimal apabila beberapa kecakapan yang bisa dicapai setelah pembelajaran sastra. Rahmanto (1988; 19) menyatakan bahwa kecakapan dalam pengajaran sastra yang perlu dikembangkan adalah kecakapan yang bersifat indra, penalaran, afektif, sosial, dan religius. Karya sastra, sebenarnya dapat memberikan peluang-peluang untuk mengembangkan kecakapan-kecakapan tersebut lebih dari apa yang disediakan oleh mata pelajaran yang lain, sehingga pengajaran sastra tersebut dapat lebih mendekati arah dan tujuan pengajaran dalam arti yang sesungguhnya.

Jadi Fungsi pengajaran sastra adalah suatu proses kesadaran menuju tujuan akan kegunaan sastra sebagai salah satu bentuk memahami nilai kemanusiaan.

e. Pengajaran Sastra di SMA dengan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP)

Di mana pun tempatnya, semua pendidikan pasti memiliki tujuan. Pengajaran sastra sebagai salah satu alternatif untuk menginternalisasi nilai-nilai karakter yang luhur. Hal ini jelas sekali karena sastra secara konteks pun sangat dekat dengan pendidikan karakter. Menurut Aunurrahman (2012:49 – 53), ranah tujuan pendidikan berdasarkan belajar secara umum dapat diklasifikasikan menjadi tiga, yaitu: (1) ranah kognitif berkaitan dengan pengetahuan dan pemahaman, (2) ranah afektif berhubungan dengan perilaku atau sikap, (3) ranah psikomotor berkaitan dengan aktivitas penyelarasan antara pemikiran, perasaan dan tindakan. Ketiga ranah tersebut tidaklah saling terpisah, tetapi saling menopang satu dengan yang lainnya untuk mencapai hasil belajar yang maksimal.

(29)

Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan yang dikembangkan sesuai dengan satuan pendidikan, potensi sekolah/daerah, karakteristik sekolah/daerah, sosial budaya masyarakat setempat, dan karakteristik peserta didik (Mulyasa, 2009:8). KTSP merupakan upaya untuk menyempurnakan kurikulum agar lebih familiar dengan guru, karena guru lebih banyak dilibatkan diharapkan memiliki tanggung jawab yang memadai.

Mulyasa (2009:20) menyatakan bahwa beberapa hal yang perlu dipahami dalam kaitannya dengan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) adalah sebagai berikut, (1) KTSP dikembangkan sesuai dengan kondisi satuan pendidikan, potensi, dan karakteristik daerah, serta sosial budaya masyarakat setempat dan peserta didik; (2) Sekolah dan komite sekolah mengembangkan silabusnya berdasarkan kerangka dasar kurikulum dan standar kompetensi lulusan, di bawah supervisi dinas pendidikan kabupaten/kota dan departemen agama yang bertanggung jawab di bidang pendidikan; (3) KTSP untuk setiap program studi di perguruan tinggi dikembangkan dan ditetapkan oleh masing-masing perguruan tinggi dengan mengacu pada Standar Nasional Pendidikan.

KTSP merupakan salah satu wujud reformasi pendidikan yang memberikan otonomi kepada sekolah dan satuan pendidikan untuk menggembangkan kurikulum sesuai dengan potensi, tuntutan, dan kebutuhan masing-masing. Otonomi dalam pengembangan kurikulum dan pembelajaran merupakan potensi bagi sekolah untuk meningkatkan kinerja guru dan staf sekolah, menawarkan partisipasi langsung kelompok-kelompok terkait, dan meningkatkan pemahaman masyarakat terhadap pendidikan, khususnya kurikulum.

Pengajaran sastra di SMA tercakup dalam mata pelajaran bahasa Indonesia. Pada kelas XI semester I dan kelas XII semester I SMA

(30)

terdapat materi yang berkaitan dengan analisis novel. Pembelajaran tentang novel tersebut tentuya dapat diekplorasi ke pembelajaran sastra yang sesuai dengan KTSP. Pembelajaran tentang novel di kelas XI semester II, yaitu dengan Standar Kompetensi (SK) memahami berbagai hikayat, novel Indonesia/novel terjemahan dengan kompetensi dasar (KD), antara lain: (a) menemukan unsur-unsur intrinsik dan ekstrinsik hikayat, (b) menganalisis unsur-unsur intrinsik dan ekstrinsik novel Indonesia/terjemahan; sedangkan pada kelas XII semester I dengan standar kompetensi (SK) memahami pembacaan novel dengan kompetensi dasar (KD), (a) menanggapi pembacaan penggalan novel dari segi vokal, intonasi, dan pengahayatan; (b) menjelaskan unsur intrinsik dari pembacaan novel.

f. Pengembangan Materi Pembelajaran Sastra

Rahmanto (1988:34) menyatakan bahwa harus ada kesadaran guru tentang sastra sebagai pengalaman dan sastra sebagai bahasa. Sastra sebagai pengalaman tentu adalah suatu hal yang baik bagi siswa. Dalam hal penerapan prinsip pengalaman dalam pengajaran sastra di sekolah, setiap karya sastra yang guru sajikan hendaknya menghadirkan pengalaman baru yang kaya bagi siswa. Karya sastra yang terpilih hendaknya mempunyai pengaruh yang jelas pada siswa. Karya sastra yang disajikan harus dapat dipahami siswa sehingga siswa dapat mengungkapkan apa yang dia dapatkan dari karya itu. Sastra sebagai bahasa tentu harus sadar bahwa belajar sastra harus berpangkal pada realisasi bahwa setiap karya pada pokoknya merupakan kumpulan kata yang bagi siswa yang harus diteliti, ditelusuri, dianalisis, dan diintegrasikan. Pengalaman dari karya sastra bagaimanapun hanya dapat dimulai dan dilanjutkan dengan mempelajari analisis verbal.

(31)

Menurut Ismawati (2013: 35) bahwa beberapa hal penting terkait pemilihan materi pembelajaran yakni; (a) materi harus spesifik, jelas, akurat, mutakhir; (b) materi harus bermakna, otentik, terpadu, berfungsi, kontekstual, komunikatif; dan (c) materi harus mencerminkan kebhinekaan dan kebersamaan, pengembangan budaya, ipteks, dan pengembangan kecerdasan berpikir, kehalusan perasaan, kesantunan sosial. Dalam pengembangan materi pembelajaran, beberapa cara berikut bisa menjadi alternatif dalam pembelajaran sastra yakni; (a) bahan bersumber pada pada tujuan pengajaran; (b) bahan dikembangkan dalam bentuk permasalahan; (c) bahan dikembangkan dlam bentuk skenario atau alur cerita untuk disimulasikan dalam bentuk drama atau sejenisnya; (d) bahan dikembangkan dari buku-buku referensi; (e) bahan dikembangkan dari bahan-bahan cetakan seperti koran, majalah, buletin, dan sebagainya; (f) bahan dikembangkan dari karya guru; dan (g) bahan dikembangkan berdasarkan tema yang diangkat dalam pembelajaran.

Pengembangan materi pembelajaran sastra tentunya akan berkembang selalu sesuai dengan konteks zaman dan konteks pelakunya. Guru sebagai pembawa pengetahuan baru kepada siswa tentunya juga harus memiliki disiplin yang baik serta kecintaan dalam mempelajari perkembangan dunia sastra. Seperti yang diungkapkan oleh Oemarjati (2012: 97) sesuai dengan hakikatnya, tugas mengajar kita laksanakan tidak berdasarkan asas pemerataan, melainkan asas pemerkayaan. Kita tidak lagi membagi waktu dan cinta ke dalam porsi- porsi, melainkan menggandakan cinta kita sebanyak yang memerlukannya.

B. Kerangka Berpikir

Suatu karya sastra adalah wujud dari daya cipta sang sastrawan.

Terciptanya suatu karya sastra tentunya karena ada respons dari sastrawan

(32)

akan suatu hal yang ingin disuarakan akan segala kegelisahannya yang bermedia bahasa. Sebagai salah satu bentuk karya sastra, novel tentunya memiliki banyak nilai-nilai moral, potret sosial, bahkan suatu kebudayaan dari masyarakat penciptanya. Penelitian ini berfokus dalam meneliti novel sebagai salah satu genre sastra yang terlahir dari lingkungan hidup sastrawan. Sebagai seorang yang selalu mengalami perkembangan dalam lingkungan sosialnya, tentu novel ini lahir dari segala kegelisahannya akan cara pandangnya tentang hidup bersama.

Penelitian ini difokuskan pada wujud kebudayaan dan nilai pendidikan yang terdapat dalam Novel Canting karya Arswendo Atmowiloto serta relevansinya sebagai alternatif materi pembelajaran mata pelajaran bahasa Indonesia di sekolah menengah atas. Penelitian secara antropologi sastra ini berusaha mengungkap wujud budaya yang dicipta oleh tokoh rekaan dalam menjalani kehidupan. Selain itu penelitian juga mencari nilai-nilai pendidikan karakter yang terkandung dalam novel serta mengaitkannya dengan kurikulum KTSP sebagai alternatif materi pembelajaran sastra di SMA.

Pendekatan antropologi sastra dalam penelitian ini berusaha mendeskripsikan wujud budaya yang terkandung dalam novel Canting karya Arswendo Atmowiloto. Fokus dari wujud budaya tersebut yakni; (a) kompleksitas ide, (b) kompleksitas tokoh, (c) kompleksitas hasil budaya, (d) nilai-nilai pendidikan karakter dalam novel tersebut, dan (e) relevansinya dengan materi pembelajaran sastra di sekolah menengah atas.

Sesuai dengan fokus permasalahan yang akan dikaji dalam penelitian ini, maka pada akhir penelitian ini akan diperoleh hasil penelitian berupa (1) Wujud budaya (kompleksitas ide, kompleksitas hasil budaya, kompleksitas hasil budaya), (2) nilai pendidikan karakter dalam novel Canting karya Arswendo Atmowiloto, (3) relevansi aspek-aspek budaya dan

(33)

nilai pendidikan karakter dengan materi pembelajaran sastra di sekolah menengah atas.

Lebih jelasnya kerangka berpikir dalam penelitian ini dapat dilihat pada Gambar 1 berikut.

Gambar 1. Kerangka Berpikir Penelitian Novel Canting karya

Arswendo Atmowiloto

Antropologi Sastra Nilai Pendidikan Karakter

Relevansi Novel dengan Materi Pembelajaran Sastra di SMA

1. Kompleksitas Ide Novel Canting 2. Kompleksitas Aktivitas Tokoh Novel

Canting

3. Kompleksitas Hasil Budaya Novel

Nilai Pendidikan Karakter dalam Novel Canting

Referensi

Dokumen terkait

apakah anaknya tersebut sesuai dengan gambaran ideal orangtua, pengalaman awal sikap orang tua terhadap anaknya yang ditandai dengan respon individu pertama kali

Juga menurut Koentjaraningrat (1985) dalam Yudohusodo, perumahan dan pemukiman (rumah dan lingkungannya) sebagai ujud fisik kebudayaan (physical culture) merupakan hasil

Pertama wujud kebudayaan sebagai ide, gagasan, nilai, atau norma. Kedua wujud kebudayaan sebagai aktifitas atau pola tindakan manusia dalam masyarakat. Ketiga adalah wujud

Berdasarkan analisis dan pembahasan yang telah diuraikan pada bab-bab sebelumnya maka diperoleh kesimpulan sebagai berikut: (1) Variabel dana pihak ketiga (DPK) dan capital

Wujud ini disebut juga kebudayaan fisik, di mana seluruhnya merupakan hasil fisik. Sifatnya paling konkret dan bisa diraba, dilihat dan didokumentasikan. Di dalam buku

Untuk meningkatkan efisiensi siklus Rankine maka dari siklus Rankine ideal dilakukan perubahan dengan memanaskan ulang uap hasil ekspansi turbin pertama ke reheater dengan

Menurut koentjaraningrat, kebudayaan itu mempunyai tiga wujud, yaitu 1 wujud kebudayaan sebagai suatu kompleks dari ide-ide, gagasan, nilai-nilai, norma-norma, peraturan dan sebagainya,

Honigman dalam Koentjaraningrat 2005 membagi wujud kebudayaan tersebut dalam 3 bagian, yakni: • Sistem Kebudayaan Cultural System yang bersifat abstrak berupa nilai atau pandangan