• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II LANDASAN TEORI A. Tinjauan Pustaka

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II LANDASAN TEORI A. Tinjauan Pustaka"

Copied!
24
0
0

Teks penuh

(1)

commit to user BAB II LANDASAN TEORI A. Tinjauan Pustaka 1. Kebudayaan a. Pengertian Kebudayaan

Manusia dalam menjalani kehidupan dianugerahi oleh Tuhan suatu karunia akal dan budi. Manusia dengan akal dan budi telah mengembangkan berbagai macam tindakan dalam menjalani kehidupan dimuka bumi ini, dengan kemampuan berfikir manusia mengembangkan pola dasar kehidupan dengan memberikan penilaian terhadap lingkungan. Inti dari perjuangan hidup manusia adalah menentukan pilihan terhadap tata nilai sepanjang waktu sehingga tercipta suatu kebudayaan. Kebudayaan dalam suatu masyarakat di daerah tertentu akan berbeda dengan kebudayaan masyarakat di daerah lain, karena setiap kelompok masyarakat memiliki aspek nilai yang berbeda.

Kebudayaan, secara etimologis atau asal kata berasal dari bahasa Sansekerta yaitu dari kata buddhayah yang berarti budi dan akal. Secara sederhana kebudayaan dapat didefinisikan sebagai hal- hal yang berasal dari budi dan akal manusia (Koentjaraningrat, 1986). Pendapat lain tentang definisi dan asal kata kebudayaan dikemukakan oleh Imam Sutardjo (2008) bahwa :

Pengertian kebudayaan awalnya dari kata Yunani colore dan culture (kebudayaan) dari bahasa Inggris yang berbeda dengan kata civilisation yang berarti peradaban. Di Jerman istilah civilisation berarti peradaban lahir, yaitu tata pergaulan yang halus, teknik dan organisasi masyarakat yang tinggi derajatnya serta sistem hukum yang teratur baik. Sedangkan kebudayaan (culture) merupakan peradaban batin, yaitu kehalusan budi, keluhuran (ilmu) batiniah, ketinggian perkembangan ilmu pengetahuan dan kesenian (hlm. 10)

Kebudayaan erat kaitannya dengan kehidupan manusia, manusia adalah makhluk yang berbudaya, yang dalam setiap aspek kehidupan manusaia merupakan kebudayaan. Hal ini sejalan dengan pendapat oleh T.O. Ihromi (mengutip simpulan Ralph Linton, 1986) bahwa :

(2)

commit to user

Tiap masyarakat mempunyai kebudayaan, bagaimanapun sederhannya kebudayaan itu dan setiap manusia adalah mahluk berbudaya dalam arti mengambil bagian dalam sesuatu kebudayaan. Kebudayaan menyangkut segala aspek kehidupan yang meliputi cara–cara berlaku, kepercayaan dan sikap-sikap serta hasil dari kegiatan manusia yang khas dalam suatu masyarakat atau kelompok (2006 : 18).

Kebudayaan merupakan sistem, tindakan dan hasil karya yang terbentuk dari proses belajar manusia dalam masyarakat. Hal ini sejalan dengan pendapat Koentjaraningrat (1990) bahwa, “kebudayaan adalah keseluruhan sistem gagasan, tindakan, dan hasil karya manusia dalam rangka kehidupan masyarakat yang dijadikan milik diri manusia dengan belajar” (hlm. 180). Adanya kebudayaan merupakan usaha dari setiap diri manusia untuk memenuhi kehidupan sehari- hari dalam mempertahankan dan mencapai suatu kemakmuran hidup. Hal ini dapat berkaitan dengan kesimpulan seorang peneliti yang menyatakan, “kebudayaan adalah hasil buah budi manusia untuk mencapai kemakmuran hidup. Segala sesuatu yang diciptakan oleh manusia baik itu konkrit atau abstrak itulah kebudayaan” (Widagdo 2001: 20 ).

Dari berbagai definisi di atas dapat disimpulkan bahwa kebudayaan tercipta dari ide dan gagasan manusia di dalam masyarakat dalam rangka berjuang dan berusaha menghadapi tantangan alam, untuk mempertahankan dan mencapai suatu kemakmuran hidup manusia.

b. Wujud Kebudayaan

Manusia adalah pencipta dari suatu kebudayaan. Kebudayaan manusia terwujud karena adanya perkembangan norma hidup manusia dan lingkungan. Kebudayaan merupakan suatu sistem yang memiliki unsur-unsur kecil dan besar yang menyeluruh dan bersifat universal, dalam arti baik yang kecil dan terisolasi maupun yang besar dan kompleks dengan suatu jaringan yang luas. Hal ini sesuai dengan pendapat yang dikemukakan Koentjaraningrat (1990) bahwa, “unsur kebudayaan dapat diklasifikasikan kedalam tujuh unsur yakni bahasa, sistem pengetahuan, organisasi sosial, sistem peralatan hid up dan teknologi, sistem religi dan kesenian” (hlm. 203-204).

(3)

commit to user

Istilah universal kebudayaan memiliki arti bahwa semua unsur kebudayaan yang terdiri dari tujuh unsur tersebut bukan hanya dimiliki oleh satu bangsa, tetapi unsur tersebut juga dimiliki oleh kebudayaan bangsa lainnya di dunia ini. Jadi setiap kebudayaan bangsa sudah pasti terdapat dan memiliki unsur-usur kebudayaan tersebut.

Budaya manusia terwujud karena adanya perkembangan norma hidup manusia dan lingkungannya. Secara umum, wujud kebudayaan menurut Koentjaraningrat (1990), sebagai berikut :

Kebudayaan paling sedikit mempunyai tiga wujud, wujud yang pertama yaitu kebudayaan sebagai suatu kompleks dari ide- ide, gagasan, nilai- nilai, norma-norma, peraturaan dan sebagiannya. Kemudian yang kedua wujud kebudayaan sebagai suatu kompleks aktifitas serta tindakan berpola dari manusia dalam masyarakat dan yang ketiga, wujud kebudayaan sebagai benda-benda hasil karya manusia ( hlm. 186).

Wujud yang pertama di atas terdapat dalam alam pikiran masyarakat atau dapat pula berupa tulisan-tulisan, karangan-karangan, dari masyarakat yang bersangkutan, wujud yang kedua adalah berupa sistem sosial masyarakat yang bersangkutan, sedangkan wujud yang ketiga yaitu berupa kebudayaan fisik yang berbentuk nyata yang merupakan hasil karya masyarakat yang bersangkutan berupa benda ataupun artefak bangunan. Ketiga wujud kebudayaan di atas dalam kehidupan masyarakat tidak terpisah antara satu dengan yang lainnya.

Wujud dari suatu kebudayaan yang berupa artefak berupa salah satunya adalah bangunan rumah. Bangunan rumah begaya arsitektur Indis milik para saudagar batik yang banyak ditemui di Laweyan merupakan wujud ketiga dari kebudyanaan yang bersifat kongkret dan berupa benda nyata. Wujud yang ketiga dari kebudayaan ini memerlukan banyak keterangan untuk memahami karena merupakan total keseluruhan hasil fisik dari aktifitas, perbuatan manusia, serta karya manusia dalam masyarakat yang dapat menunjukan identitas bagi pemilik bangunan rumah tinggal bergaya Indis tersebut.

(4)

commit to user

2. Arsitektur

a. Pengetian Arsitektur

Arsitektur berawal dari gagasan yang bersifat abstrak, meskipun bersifat abstrak, arsitektur pada dasarnya mengandung pesan, makna dan kehendak tertentu dari seorang arsitek. Arsitektur rumah tinggal adalah sebagai hasil kebudayaan, yang memadukan unsur seni dan ilmu bangunan yang harus diperhatikan aspek keindahan dan konstruksi banguan.

Arsitektur meliputi proses dan hasil perencanaan, mendesain serta konstruksi. Suatu hasil karya arsitektur mencerminkan atau sebagai simbol suatu karya seni juga kemajuan atau penguasaan teknik bangunan. Arsitektur suatu bangunan mencerminkan fungsi, teknik, sosial, lingkungan dan estetika dari hasil perencanaan desain dan bentuk konstruksinya. Secara etimologis, arsitektur (architecture) berasal dari bahasa Latin architectura dan bahasa Yunani dari kata arkhitekton yang berarti pembangun, tukang kayu (Krlhanta, 2012).

Samsudi (Mengutip simpulan Sidartha, 1984) menyatakan bahwa arsitektur adalah lingkungan yang diciptakan manusia sendiri dari aIam yang dikuasainya untuk memungkinkan kedudukannya (kondisinya) dan sikap hidupnya daIam suasana yang diinginkan dan dalam status yang diharapkan (2000: 12)

Arsitektur dalam arti yang sempit tercipta dari tangan sang pencipta atau perancang dan dapat dipandang dari aspek lingkungan, bentuk dan ruang . Hal ini sesuai dengan pernyataan Samsudi (mengutip simpulan Lois I Khan, 1987) bahwa arsitektur adalah pandangan terhadap suatu bangunan, dimana arsitektur terbentuk karena ruang, bentuk atau wujud, dan bahan (2000: 28). Secara sederhana arsitektur dapat diartikan sebagai ilmu seni untuk merancang banguan. Asitektur bukan hanya menunjukkan bangunan, arsitektur dapat dilihat sebagai manifestasi politik, sosial, budaya, teknik dan lain- lain.

Arsitektur dapat dilihat sebagai manifestasi sosial, budaya teknik, ritual dan lain- lain yang mampu mengekspresikan kaidah kaidah bersifat kosmologis dan mampu menginformasikan sistem nilai dalam kehidupan masyarakat. Hal tersebut berkaitan dengan simpulan Eko Budiharja (mengutip simpulan Sidharta, 1984) yang menyatakan, arsitektur sebagai lingkungan yang diciptakan manusia sendiri

(5)

commit to user

dari alam yang dikuasainya untuk memungkinkan kedudukannya (kondisinya) dan sikap hidupnya dalam suasana yang diinginkan dan dalam status yang diharapkan (1996: 7). Jadi, arsitektur tidak hanya wujud fisik susunan material yang berdiri di atas tanah semata tetapi dapat menginformasikan sistem nilai dan budaya masyarakat serta penunjukan identitas sosial di masyarakat.

Budaya manusia terwujud karena adanya perkembangan norma hidup manusia dan lingkungannya, dalam proses akulturasi menyebabkan timbulnya wujud budaya baru, karena pada dasarnya manusia dan kebudayaan tidak bisa dipisahkan satu sama lainnya, begitu pula dengan wujud asitektur yang perkembangan mengikuti peradaban manusia. Hal ini dikarenakan wujud arsitektur sebagai bent uk suatu bangunan poduk manusia, baik individu maupun masyarakat, oleh karena itu dinamika sosial dan budaya yang berkembang di masyarakat akan mempengaruhi dinamika wujud arsitektur tersebut (Samsudi, 2000).

Arsitektur dalam prakteknya mempunyai tiga prinsip yang saling berkaitan satu dengan lainnya, Soekiman (2000); Ronald (2008) berpendapat bahwa, arsitektur mempunyai tiga buah prinsip, yang satu dengan yang lainnya saling mengikat. prinsip itu adalah fungsi, estetika, dan konstuksi. Prinsip-prinsip tersebut merupakan modal utama dari seorang arsitek dalam membuat suatu karya atau bangunan.

Arsitektur bukan hanya ilmu seni bangunan tanpa makna tetapi wujud arsitektur mempunya pesan simbolis yang ingin disampaikan oleh perancang (arsitek) yang dapat menunjukan sistem nilai dan sosial dalam suatu masyarakat serta sebagai dapat menginformasikan budaya masyarakat.

b. Arsitektur Jawa

Arsitektur adalah seni dan ilmu dalam me rancang bangunan. Dalam artian yang lebih luas, arsitektur mencakup merancang dan membangun keseluruhan lingkungan binaan.

Arsitektur tradisonal Jawa adalah arsitektur yang berkembang di pulau jawa khususnya Jawa Tengah, Yogyakarta dan Jawa Timur, yang terkandung berbagai

(6)

commit to user

makna filosofis yang berkaitan dengan kepercayaan. Bentuk fisik dari kebudayaan masyarakat Jawa termasuk arsitekturnya merupakan jabaran dari konsep hubungan manusia dengan alam sekitarnya. Manusia Jawa banyak belajar menyesuaikan diri dengan alam sekitarnya; mereka berusaha hidup selaras dengan alam, walaupun demikian tidak berusaha takluk kepada alam. Masyarakat Jawa merasa berkewajiban untuk “memayu-ayuning bawana”, yaitu pandangan hidup untuk selalu berupaya memperindah dunia (Koentjaraningrat, 1994)

Arsitektur Jawa, merupakan salah satu wujud dari arsitektur tradisional. Mengenai arsitektur tradisional, Sugiyarto Dakung (1998) menyatakan bahwa, “arsitektur tradisional adalah suatu bangunan yang bentuk, struktur, fungsi, ragam hias, dan cara pembuatanya diwariskan secara turun temurun serta dapat dipakai untuk melakukan aktifitas kehidupan dengan sebaik-baiknya” (hlm. 3).

Arsitektur tradisional dalam pekembangannya menunjukkan sebuah perkembangan dan tidak hanya terikat oleh kaidah yang telah dikenal. Hal ini sejalan dengan pendapat Soekiman (menguitip simpulan Pramono Atmadi, 1985) bahwa, pengertian arsitektur tradisonal tidak selalu sama, ada yang cukup berdasarkan bentuk atap atau komponen yang becorak arsitektur saja, ada pula yang harus mengikuti sejumlah kaidah yang melekat pada arsitektur tradisional yang sudah umum dikenal (2000 : 6).

Arsitektur Jawa pada prinsipnya yang terlihat secara fisik terdiri dari pondasi atau batur, tiang (saka), dan atap (empyak). Ini merupakan dasar atau basis dari keseluruhan bangunan dan merupakan bagian yang sangat menentukan. Atap rumah pada arsitektur tradisional Jawa dijadikan sebuah ciri atau tanda identitas dari pemilik bangunan rumah tersebut. Bentuk atap joglo merupakan bentuk atap yang biasanya digunakan kalangan bangsawan dan tidak untuk rakyat kebanyakan (Widayati, 2002).

Masyarakat Jawa dalam menjalani kehidupan banyak mengandung makna filosofis, begitu pula dalam membangun rumah Jawa, masyarakat Jawa telah memiliki pengetahuan di dalam aras fisik (ragawi) dan aras konseptual. Hal ini sejalan dengan pendapat Muqqofa dan Santosa (menguti simpulan Prijotomo, 2006) menyatakan bahwa Arsitektur Jawa merupakan gubahan dari tiga

(7)

commit to user

komponen dasar, yaitu: angsar, guna griya, dan dhapur griya. Ketiga hal tersebut ditunjang oleh asas manjing. Di samping itu rumah Jawa mempunyai terminologi omah, griya (grha), dan dalem. Rumah Jawa juga terdiri atas gugus bangunan tunggal dan majemuk. Dengan demikian pengetahuan Arsitektur Jawa terkonstruksi sebagai pengetahuan atas fungsi arsitektur di dalam aras fisik (ragawi) dan aras konseptual (2008: 54).

Arsitektur Jawa yang dikenal hanya rumah berbentuk joglo, pada kenyataannya rumah tradisional Jawa bukan hanya berbentuk joglo melainkan ada bentuk lainnya. Joglo ha nyalah sebuah sebutan untuk atap suatu bangunan tradisional Jawa. Hal ini dapat dikaitkan dengan simpulan Ismunandar yang menyatakan, ”rumah tradisional Jawa berdasarkan bentuk atapnya dapat dibedakan menjadi, rumah bentuk joglo, rumah bentuk limasan, rumah bentuk kampung, rumah bentuk tajug dan masjid, rumah bentuk panggang” (2007: 102).

Rumah bentuk Joglo dengan konstruksi bangunan yang khas dengan fungsi dari setiap bagian yang berbeda satu sama lain, mengandung unsur filosofis yang sarat dengan nilai- nilai religi, kepercayaan, norma dan nilai budaya adat etnis Jawa. Bangunan rumah tradisonal Jawa dapat dilihat dari dua skala, yaitu skala horizontal dan skala vertikal yang memiliki makna filosofis tersendiri dalam pandangan hidup orang Jawa (Djono, 2009). Hal ini sejalan dengan pendapat Prijotomo (1992) yang menyatakan bahwa:

Sebuah bangunan tidak didirikan atas perbuatan iseng belaka. Bangunan hadir dengan segenap pemikiran, cita rasa, kesepakatan, norma, seleksi, modifikasi, imitasi atau mimesis, kreatifitas kepercayaan, dan keyakinan yang ada di dalam diri pembuatnya. Setiap bangunan tersusun dari berbagai unsur ragawi seperti tiang, dinding, jendela, atap, dan sebagainya yang dengan komposisi tertentu membentuk kesatuan yang tunggal dan utuh. Dengan adanya komposisi ini, menghadirkan berbagai wujud dan kesan. (hlm. 14)

Konsep tata ruang dalam rumah Jawa terdiri dari beranda, ruang induk dan karang kitri yang memilik makna filosofis tersendiri bagi orang Jawa. Beranda rumah disebut latar merupakan prototype dari alun-alun. Ruang Induk berada di tengah yang didalamnya selalu ada unsur gebyok, sentong kanan dan sentong kiri, sentong tengah serta dapur (pawon) tempat untuk memasak. Dan paling belakang

(8)

commit to user

adalah karang kitri. Lingkungan hidup tersebut disebut sukma (Sunarmi, Guntur, & Prasetyo, 2007)

Bentuk arsitektur rumah Jawa selain mengandung unsur filosofis yang sarat akan nilai religi dan kepercayaan masyarakat Jawa juga mempunyai ciri lain yang berkaitan dengan bentuk rumah yang menyesuaikan dengan keadaan iklim Jawa. Eko Budihardjo (me ngutip simpulan Sidharta, 1984) berpendapat bahwa, ciri dari arsitektur tradisional Jawa pada umumnya adalah memiliki atap yang mempunyai lonjongan (verhang) yang panjang dan mempunyai sudut yang tidak terlalu landai, ruang-ruang terbuka tidak menutup rapat ke atas sehingga memungkinkan adanya ventilasi yang leluasa (1996 : 5).

Masyarakat Jawa dalam membangun rumah, sangat menjunjung tinggi norma dan kaidah budaya Jawa. Bagi masyarakat Jawa, bangunan rumah bukan hanya sekedar tempat belindung belaka tetapi mempunyai nilai filosofis tersendiri bagi pemilik rumah. Muqqofa & Santosa (mengutip simpulan Prijotomo, 1992) mengemukakan bahwa rumah Jawa disusun berdasarkan aturan yang bersifat linier dan sentripetal, dan hal tersebut mengacu pada prinsip pusat dan dualitas (2008: 54).

c. Arsitektur Indis

Arsitektur Indis merupakan arsitektur hasil dari proses akulturasi yang panjang antara dua kebudayaan yang berbeda yaitu Jawa dan Eropa. Dalam pertemuan ini dapat terjadi tukar-menukar ciri kebudayaan, yang merupakan pembauran dari kedua kebudayaan tersebut. Atau dapat juga ciri kebudayaan yang satu demikian dominannya, sehingga menghapus ciri kebudayaan dari kelompok yang lain.

Kebudayaan Indis merupakan kebudayaan yang lahir akibat adanya kontak (akulturasi) kultural atau kebudayaan antara kebudayaan kolonial Belanda dengan kebudayaan masyarakat Indonesia, khususnya masyarakat pulau Jawa. Pertumbuhan budaya Indis pada awalnya terjadi hanya dilingkup para pejabat kolonial Belanda tingkat rendah, yang didukung oleh kebiasaan hidup membujang karena tidak diperkenankan membawa istri, akibatnya terjadi kontak dengan

(9)

commit to user

pribumi jawa yang menyebabkan lahirnya kebudayaan baru, yaitu kebudayaan Indis, termasuk didalamnya adalah arsitektur Indis (Soekiman, 2000).

Periode sebelum berkembangnya arsitektur Belanda yang telah menunjukkan ciri arsitektur Belanda, yaitu pada masa Vereenigde Oost-Indische Compagnie (VOC) berkuasa, awalnya membangun gudang-gudang untuk menimbun rempah-rempah dan kantor daga ng yang dikelilingi benteng pertahanan. Gudang dan kantor tersebut, sekaligus dijadikan sebagai tempat tinggal. Segala kesibukan perdagangan dan kehidupan sehari- harri pejabat VOC terjadi di dalam benteng, kemudaian lambat laun berkembang menjadi arsitektur landhuis, yang dibangun sebagai rumah peristirahatan pejabat Belanda (Sujayanto, 2000).

Arsitektur Indis di Hindia-Belanda pada masa VOC, pada awalnya berkembang mengikuti gaya arsitektur Belanda, secara umum rumah-rumah yang dibangun oleh para pejabat pemerintahaan Belanda belum mencirikan arsitektur yang dapat beradaptasi dengan lingkungan alam dan iklim tropis yang ada di Jawa sehingga buruk bagi kesehatan dan tidak menggambarkan ciri arsitektur Belanda, Jessup (1986), menyatakan bahwa;

In these genuinely colonial conditions, Indies architecture of the nineteenth century tended less to reflect its Netherlands roots, as the structures of the transitory VOC traders among many examples of monumental colonial buildings of this type. Had and more to stress the ideas of grandeur commen surate with ruler status. The buildings typifying this period did not draw on the consciously Dutch revivalism (hlm. 139).

(Pada hakekatnya, dalam kondisi penjajahan saat ini, Arsitektur Indis pada abad kesembilanbelas kurang menggambarkan diri mereka sendiri, sebagai pedagang VOC. Banyak contoh monumen bangunan kolonnial Belanda yang cenderung berbeda, dan lebih sering mengeluarkan ide- ide yang menekankan komentar yan bagus dengan berstatment peraturan. Bangunan yang ada pada saat ini tidak lagi dirawat, tanpa disadari oleh orang-orang mereka sendiri) (hlm.139).

Arsitektur Indis periode awal dinilai tidak sesuai dengan kondisi iklim di Jawa, sehingga menimbulkan ketidaknyamanan dan kurang sehat, sehingga lambat laun arsit ektur rumah pejabat belanda mulai menyesuaikan dengan kondisi iklim Jawa pada sekitar abad ke IXX. Adapatasi signifikan terjadi pada struktur atap dan bentuk bentuk banguan (facade). Hal ini sejalan dengan pendapat Peter

(10)

commit to user

Jm Nas (mengutip pendapat Widodo, 2007) bahwa, the most significant architectural adaptations appeared in the design of the roof and the façade. (Adaptasi arsitektur yang paling signifikan muncul dalam desain atap dan bentuk rumah) (2007: 21).

Arsitektur Kolonial adalah arsitektur yang sampai abad IXX sebagian besar elemen didatangkan dari negara penjajah. Handinoto (mengutip simpulan Hellen Jessup, 1988), menyatakan bahwa bangunan rumah milik pejabat Belanda sangat terikat dengan ciri-ciri nasionalis Belanda. Arsitektur kolonial adalah arsitektur milik penjajah dengan citra arsitektunya menunjukkan keangkeran dan kemenangan penjajah. Gaya arsitektur kolonial yang berkembang pada abad ke XVIII dan IXX tersebut lajim disebut Indische Empire Style (1996: 132 ).

Arsitektur Indis yang berkembang di seluruh Hindia Belanda mempunyai keunikan tersendiri, dan tidak terjadi di lain tempat. Arsitektur Kolonial di Indonesia adalah fenomena budaya yang unik, tidak terdapat tempat lain yang menjadi negara-negara bekas koloni Belanda. Dikatakan demikian karena terjadi percampuran budaya antara penjajah Belanda dengan budaya Indonesia yang beraneka ragam (Sumaloyo, 1993).

Arsitektur Indis yang berkembang di Hindia Belanda dapat dicirikan dengan melihat bentuk bangunan dengan tiang-tiang dan pilar-pilar seperti bangunan di Eropa, yaitu bergaya Doria, Ionia, dan Korinthia. Hal tersebut sesuai dengan pendapat Soekiman (2000) menyatakan, “penentu ciri suatu gaya bangunan di Eropa adalah bentuk tiang atau kepala tiang, dimana nama gaya bangunan tersebut berdasarkan gaya suatu masa atau periode. Perkembangan seni bangunan Eropa sendiri mengalami perjalanan yang panjang” (hlm. 257). Pilar-pilar rumah Indis bergaya Doria, Ionia, dan Korinthia yang merupakan gaya- gaya pada arsitektur klasik Eropa.

Penggunaan tiang gaya Doria, Korintia, dan Ionia, berhubungan dengan perkembangan arsitektur di Eropa abad 17. Pada sekitar tahun 1660-1760 arsitektur yang berkembang pada masa ini adalah arsitektur Barock. Pada zaman Barock arsitektur manjadi sebuah karya seni yang utama, dengan mengunakan lukisan dan ukiran yang merupakan elemen dari keseluruhan bangunan. Tema

(11)

commit to user

dasarnya adalah bangunan yang memusat pada mahkota kubah yang digabung dengan bangunan memanjang. Barock menyatukan berbagai unsur gaya tiang pada bangunan, yang pada zaman Renaissance bagian tiang dipisahkan berdasarkan ruang-ruang pada struktur bangunan (Budiono, 1997)

Bangunan rumah berarsitektur Indis merupakan bangunan yang memilki unsur percampuran antara dua kebudayaan, yaitu Jawa dan Eropa (Belanda). Penentuan bentuk bangunan berarsitektur Indis bukan hanya ditentukan dengan ciri tiang-tiang dan pilar yang menunjukan ciri dari bangunan bergaya Indis.

Ciri menonjol lainnya dari rumah-rumah bergaya arsitektur Indis ialah adanya telundak (semacam teras) yang lebar. Telundak atau sebut saja sebagai beranda yang lebar ini kebanyakan digunakan untuk bersantai dan menghirup udara segar di sore hari. Telundak tidak memiliki penyekat atau pembatas ruang, hal ini dimaksudkan untuk sirkulasi udara agar rumah lebih sejuk. Adanya telundak dan struktur bangunan yang luas serta atap yang tinggi merupakan suatu jawaban dari arsitektur Indis terhadap tantangan alam dan iklim tropis yang ada di Jawa (Sujayanto, 2000).

Wujud bangunan rumah tradisional bergaya arsitektur Indis ya ng ada di Surakarta pada umumnya dan yang berada di Laweyan khususnya, wujud arsitekturnya menunjukan percampuran antara arsitektur Jawa dengan arsitektur Kolonial Belanda. Arsitektur Jawa terlihat dari penyusunan atau pola ruang yang terbagi ke dalam beberapa ruang, sementara arsitektur Kolonial Belanda dapat di lihat dari struktur material pembentuk bangunan. Hal ini dapat dikaitkan dengan simpulan seorang peneliti yang menyatakan:

Pola rumah tersebut terdiri dari rumah induk di bagian tengah, diapit ruma h tambahan di kanan dan kiri rumah induk. Dalam istilah arsitektur Jawa dikenal dengan gandhok tengen dan gandhok kiwa. Kedua gandhok terhubung dengan dapur pada bagian belakang rumah induk, sehingga berbentuk U, tetapi para saudagar batik Laweyan bebas me nentukan letak gandhok, hanya satu di sisi kanan atau kiri saja, atau kedua sisi sampai sejajar dengan letak rumah induk bagian depan (Lestari, 2011 : 150).

Arsitektur gaya Indis yang terdapat di Laweyan disertai ornamen-ornamen penghias yang mempunyai makna simbolik tentang kejayaan para saudagar batik Laweyan serta sebagai sarana penunjukkan identitas diri dari komunitas yang

(12)

commit to user

termarginal dari kebudayaan di sekitarnya dan merupakan sebuah growing up dari masyarakat saudagar batik yang termarginalkan budaya feodalisme keraton.

3. Akulturasi

Manusia adalah makhluk yang dalam menjalani kehidupan sela lu berhubungan dengan manusia lain atau berinteraksi dengan mahluk lain, dalam interaksi manusia adanya pertemuan antar budaya, yang menyebabkan terjadinya kontak atau akulturasi kebudayaan.

Akulturasi kebudayan yang disebabkan oleh pertemuan antar dua kebudayaan yang berbeda, berlangsung terus- menerus dan intensif. Hal ini sejalan dengan simpulan Soekanto (2006) yang menyatakan bahwa:

Akulturasi merupakan proses bertemunya antara suatu kelompok masyarakat dengan kebudayaan yang dimilikinya dengan kelompok lain yang memiliki kebudayaan yang bebeda, sehingga unsur-unsur dari kebudayaan asing itu lambat laun diterima dan dihilangkan oleh kepribadiaan kebudayaan itu sendiri (hlm. 186).

Koentjaraningrat (1990) menyimpulkan mengenai pengertian akulturasi, adalah sebagai berikut :

Akulturasi merupakan proses yang timbul bila suatu kelompok manusia dengan suatu kebudayaan asing dengan sedemikian rupa, sehingga unsur-unsur kebudayaan asing itu lambat laun diterima dan diolah kedalam kebudayaan sendiri tanpa menyebabkan hilangnya kepribadian kebudayaan itu sendiri. perhatian terhadap saluran-saluran yang dilalui unsur-unsur kebudayaan asing untuk masuk kedalam kebudayaan penerima, akan memberi suatu gambaran yang konkret tentang jalannya suatu proses akulturasi (hlm. 248).

Akulturasi budaya dapat terjadi karena adanya keterbukaan suatu komunitas masyarakat yang menyebabkan kebudayaan yang dimiliki akan terpengaruh dengan kebudayaan komunitas masyarakat lain. Dalam proses akulturasi secara umum, kebudayaan yang tingkatan lebih tinggi akan memipin kebudayaan yang tingkatan rendah.

Apabila proses tersebut berjalan dengan baik akan menghasilkan integrasi dari unsur-unsur kebudayaan penerima, begitu pula sebaliknya. Hal ini dapat dikaitkan dengan simpulan Sachari yang menyatakan bahwa, ”akulturasi

(13)

commit to user

merupakan proses jalan tengah antara konfrontasi dan fusi, isolasi dan absorbsi serta masa lampau dan masa depan. Jika dua pihak bertemu dalam sikap bermusuhan, maka akan muncul konflik dan jika keseimbangan tercapai tanpa perselisihan, suasana damai maka akan tercapai” (2007: 30). Jadi dalam proses akulturasi ada unsur pemberi dan penerima kebudayaan.

Proses akulturasi dalam sejarah kebudayaan manusia sudah ada sejak dahulu kala, tetapi sifat akulturasi yang besifat khusus timbul ketika bangsa-bangsa Eropa melakukan ekspansi keluar benua Eropa dengan membawa kebudayaan asal dan bercampur dengan kebudayaan lokal (Koentjaraningrat, 1990).

Kehadiran bangsa Eropa di Indonesia menyebabkan budaya bangsa Eropa lambat laun melakukan penetrasi terhadap budaya Indonesia yang menyebabkan adanya akulturasi budaya. Proses akulturasi yang intensif dan berlangsung lama yang terjadi terutama di Jawa menyebabkan timbulnya budaya baru yang disebut kebudayaan Indis, meliputi pola dan gaya hidup beserta arsitektur tempat tinggal yang begaya arsitektur Indis.

4. Simbolisme

a. Pengertian Simbolisme

Manusia dan simbol seperti gambar di dalam kepingan mata uang logam yang tidak dapat dipisahkan antara satu dengan yang lainnya. Manusia sebagai mahluk simbolik dalam kehidupan tidak terlepas dari simbolisme, setiap tindakan dan ucapan yang dilakukan oleh manusia mengandung ungkapan-ungkapan simbolik. Subiantoro (mengutip simpulan Ernest Cassier 1944) menyatakan bahwa, manusia adalah animal symbolicium dalam arti keberadaannya tidak bisa dilepaskan dengan alam semesta simbolis (2009: 167).

Simbol secara etimologis menurut Alex Sobur (2006); Satoto (2008) bahwa, kata simbol (symbol) berasal dari kata Yunani sym-ballein yang berarti melemparkan bersama suatu (benda, perbuatan) dikaitkan dengan ide.

Simbolisme adalah gerakan bertujuan untuk mengkomunikasikan suatu perasaan pribadi yang unik melalui gabungan yang membangkittkan asosiasi berbagai gagasan yang kompleks. Simbolisme menghadirkan secara komplek

(14)

commit to user

pertautan antara emosi, persepsi indrawi dan pemikiran melalui metaphor dan simbol sebagai roh yang menghidupi karya (Darmono, 2010).

Simbolisme adalah suatu tata pemikiran atau paham yang menekankan atau mengikuti pola-pola yang mendasarkan diri kepada simbol-simbol atau lambang-lambang. Simbolisme merupakan sesuatu melalui wujud atau bentuk dalam seni dan mempunyai kaitan khusus dengan pemindaha n dan perubahan dari perwujudan imajinasi. Simbolisme selalu berhubungan dengan pemakaian lambang dan tanda. Secara sederhana simbol dapat diartiakan suatu lambang atau tanda yang melambangkan sesuatu (Samsudi, 2000).

Simbol secara sederhana dapat diartikan suatu lambang atau tanda yang melambangkan sesuatu. Perlambangan itu di wujudkan dalam bentuk benda, perbuatan atau kelakuan dari manusia. Satoto (2008), menyatakan bahwa “simbol adalah sesuatu hal atau keadaan yang merupakan pengantara pemahaman terhadap obyek” (hlm.18). Sementara itu, Triyanto (mengutip simpulan Geertz, 1973) menyatakan bahwa simbol adalah sarana untuk mengungkapkan makna- makna baik itu berupa gagasan-gagasan, sikap-sikap, pertimbangan-pertimbangan hasrat atau kepecayaaan serta abstraksi dai pengalaman tertentu dalam bentuk yang bisa di mengerti (2001 : 21).

Simbol atau lambang dapat dipahami pada dua sisi. Simbol dapat dipahami atau dimaknai sebagai sesuatu yang nampak (visual sign) dan sesuatu yang tidak nampak. Simbol yang nampak bekaitan dengan pemahaman mistik supranatural atau metafisika. Simbol yang nyata melukiskan keadaan yang rill, sehingga dapat dianalisisis dengan dasar penalaran. Sedangkan simbol yang tidak tampak mempunyai arti simbolik yang mengarah pada moral dan semangat hidup manusia (Subiantoro , 2009)

Masyarakat merupakan gambaran kolektif yang di dalamnya terdapat simbol-simbol untuk memahami diri dan berperilaku dalam tatanan masyarakat. Masyarakat dalam kehidupan menghsailkan kebudayaan, kebudayaan erat kaitannya dengan simbolisme. Sebagai mahluk yang diberi akal, manusia memilkiki keterikatan dengan sejarah, kebudayaan dan simbol yang tidak dapat dipisahkan antar ketiganya, seperti di jelaskan oleh Satoto (2008) bahwa:

(15)

commit to user

Sebagai makhluk historis, manusia harus menerima dan menjalankan segala proses perjalanan hidupnya. Sebagai makhluk budaya, manusia harus terus menerus menggali, menggiatkan dan mengembangkan semua bakat yang ada bahkan menciptakan kemungkinan-kemungkinan baru dalam kehidupannya yang terdiri dari gagasan-gagasan, simbol-simbol dan nilai-nilai sebagai hasil karya dan perilaku manusia. Dari pernyataan tersebut maka dapat dijelaskan bahwa begitu eratnya kebudayaan manusia dengan simbol-simbol sehingga manusia dapat disebut sebagai makhluk bersimbol atau dapat disebut juga dunia kebudayaan adalah dunia penuh simbol (hlm. 16).

Simbol dan kebudayaan merupakan dua hal yang tidak dapat dipisahkan satu dengan yang lainnya. Triyanto (mengutip simpulan Suparlan, 1983), bahwa simbol merupakan komponen utama dalam kebudayaan karena setiap hal yang di lihat dan di alami oleh manusia itu sebenarnya di olah menjadi serangkaian simbol yang dimengerti oleh manusia. Oleh karena itu bisa dikatakan bahwa, kebudayaan dapat ditanggapi sebagai suatu sistem simbol (2011: 19).

Kebudayaan Jawa memiliki beberapa ciri-ciri yang salah satunya adalah mengutamakan keseimbangan, keselarasan dan keserasian. Semua unsur kehidupan di dunia harus harmonis dan saling berdampingan. Dalam kebudayaan Jawa, naiknya status sosial individu dapat diwujudkan dengan berbagai simbol, sebagai tanda yang dianggap mampu mewakili sebuah makna tertentu. Hal ini dipertegas dengan simpulan seorang peneliti yang menyatakan, “bentuk-bentuk simbolisme dalam budaya Jawa sangat dominan dalam segala hal dan segala bidang” (Satoto, 2008:155).

Simbolisme dalam unsur-unsur kebudayaan sangat banyak ditemukan, seperti pada wayang, tembang macapat dan wujud artefak bangunan atau rumah. Simbolisme merupakan perlambangan dari sesuatu. Perlambangan itu di wujudkan dalam bentuk benda, perbuatan atau kelakuan dari manusia dan perlambangan tersebut mempunyai makna dan arti filosofis tersendiri yang menggambarkan kehidupan.

Simbolisme selalu berhubungan dengan pemakaian tanda atau lambang yang tumbuh dari pengalaman pengindraan, perwujudan dari imajinasi curahan perasaan seni. Dalam simbol terdapat suatu hubungan yang erat dan hubungan timbal balik antara simbol yang dipilih dengan benda yang disimbolkan, keduanya

(16)

commit to user

mempunyai arti yang sama dan juga mempunyai hubungan erat dengan kepercayaan manusia sebagai pencipta simbol. Jadi, dalam setiap aspek kehidupan manusia terikat oleh simbol-simbol yang menyertai kehidupan tersebut (Satoto, 2008).

b. Simbolisme dalam Arsitektur

Arsitektur bukan sebuah bangunan atau monumen yang tanpa jiwa. Arsitektur rumah tingga l sebagai hasil budaya merupakan perpaduan karya seni dan pengetahuan tentang bangunan, sehingga arsitektur juga membicarakan berbagai aspek keindahan dalam kontruksi bangunan. Keindahan suatu bangunan memilki makna simbolis tertentu sesuai dengan keadaan pemilik dari bangunan tersebut.

Simbol dalam arsitektur merupakan cara dari seorang arsitek dalam menyampaikan makna suatu bangunan yang mengandung bobot ekspresi (signifirer) dan bobot makna (signified), sehingga diharapkan suatu simbol yang ingin disampaikan dapat dimengerti, dipahami dan dihayati dengan mudah oleh masyarakat atau pengamat sehingga tidak ada kontradiksi-kontradiksi dalam pemaknaan dari maksud bangunan tersebut (Samsudi, 2000).

Masyarakat Jawa dalam menjalani kehidupan tidak bisa lepas dengan simbol-simbol, spiritual dan mitos yang menyangkut dengan kepercayaan kehidupan dalam rangka memperoleh keselamatan lahir dan batin dalam hidup. Kehidupan bagi masyarakat Jawa adalah sesuatu yang dicari bukan bukan dihindari. Bangunan rumah sendiri me rupakan tiruan gunung bagi masyarakat Jawa, dan masyarakat Jawa menganggap gunung dan samudera sebagai sesuatu yang sakral dan disucikan karena merupakan gambaran kosmos kehidupan yang saling berhadapan (Djono, 2009).

Kehidupan masyarakat jawa identik dengan keseimbangan antara makrokosmos dan mikrokosmos, dalam hal arsitektur mikrokosmos ditunjukkan dengan sebuah rumah dan mikrokosmos adalah alam lingkungan. Makrokosmos manusia jawa adalah lingkungan alam, sedangkan mikrokosmos adalah arsitektur

(17)

commit to user

sebagai ruang tempat hidup yang merupakan gambaran makrokosmos yang tak terhingga (Lestari , 2011)

Simbol-simbol dalam kebudayaan masyarakat Jawa erat kaitannya dengan kosmologi. Kosmologi menurut Djono (mengutip simpulan Sunarningsih, 1999) bahwa:

Kosmologi adalah konsep yang sudah dikenal orang Jawa sebelum datangnya pengaruh agama Hindu. Namun dengan datangnya pengaruh Hindu India, konsep tersebut nuannsa luasnya semakin disempurnakan meskipun isinya sama, atau ibaratnya ganti pakaian baru meskipun tubuhnya tetap yang lama (2012: 273).

Masyarakat Jawa termasuk didalamnya adalah saudagar batik Laweyan menganggap rumah bukan hanya sekedar tempat bernaung semata, rumah yang dibangun tidak sekedar iseng belaka, hal ini dipertegas oleh pendapat Prijotomo (1992) yang menyatakan bahwa, ”sebuah bangunan tidak didirikan atas perbuatan iseng belaka. Bangunan hadir dengan segenap pemikiran, cita rasa, kesepakatan, norma, seleksi, modifikasi, imitasi, mimesis, kreatifitas kepercayaan dan keyakinan yang ada di dalam diri pemb uatnya” (hlm. 14).

Rumah sebagai wujud keberhasilan para saudagar Laweyan dalam mengumpulkan kekayaan. Perkembangan budaya Indis menyebar dari wilayah pesisir pantai ke wilayah pedalaman. Wilayah Surakarta merupakan wilayah pedalaman yang terpengaruh kebudayaan Indis. Kebudayaan Indis di Surakarta sebagai daerah vorstenlanden didukung oleh kalangan priyayi dan bangsawan keraton. Secara khusus saudagar batik di Laweyan, juga merupakan salah satu pendukung dari kebudayaan Indis yang di dalamnya termasuk membuat rumah tinggal bergaya arsitektur Indis (Soekiman, 2000).

Rumah merupakan salah satu sarana penting dalam penampakan kelas sosial bagi para saudagar batik Laweyan yang termarjinal dalam sistem sosial budaya, dengan kata lain, rumah tidak hanya sebagai sarana pemenuhan kebutuhan tempat tinggal saja, tetapi juga sebagai bagian dari identitas sosial. Rumah bergaya arsitektur Indis merupakan wujud simbolisme arsitektur yang menunjukan status sosial dari para saudagar batik yang termarginalkan dalam sistem budaya Jawa. Dalam membangun rumah para saudagar batik Laweyan tidak meninggalkan jati

(18)

commit to user

diri sebagai orang Jawa walaupun bangunan rumah berarsitektur Indis, khusunya dalam penempatan pola ruang (Lestari, 2011). Jadi simbol merupakan sesuatu hal atau keadaan pengantar terhadap objek, dalam hal ini adalah arsitektur rumah tinggal bergaya Indis di Laweyan memiliki makna-makna tersendiri dari simbol tersebut.

c. Simbolisme dalam Ornamen

Ornamen merupakan aspek yang menentukan keindahan suatu arsitektur bangunan., di samping aspek konstruksi bangunan. Soekiman yang menyatakan bahwa, “dalam arsitektur ada tiga unsur yang merupakan faktor dasar dalam arsitektur dan harus diperhatikan yaitu masalah kenyamanan (convinience), kekuatan atau kekukuhan (strength), dan keindaha n (beauty)” (2000: 240). Hal ini sejalan dengan pendapat Zulkiflianto (mengutip simpulan Amiuza, 2006) berpendapat bahwa, arsitektur dapat dikatakan sebagai perpaduan suatu karya seni dan pengetahuan tentang bangunan, keindahan, dan teknologi konstruksi. Salah satu faktor yang berkaitan dengan keindahan bangunan adalah ragam hias yang penggunaannya sangat berkaitan dengan unsur estetis yang dapat memperindah sekaligus menampilkan karakter suatu bangunan (2010 : 1).

Ornamen pada arsitektur di samping sebagai aspek penentu keindahan suatu bangunanjuga merupakan sebuah media komunikasi yang di dalamnya terkandung pesan yang memiliki makna tertentu bagi pemilik rumah. Hal ini sejalan dengan pendapat Sunarmi, Guntur & Prasetyo (2007) bahwa, “Ornamen adalah media komunikasi yang di dalamnya terkandung sejumlah pesan untuk dikomunikasikan kepada anggota pemiliknya melalui simbol-simbol yang melaluinya makna- makna budaya dalam bentuk visual” (hlm. 129).

Ornamen adalah sebuah kata serapan yang berasal dari bahasa asing. Secara etimologis menurut Sunarmi, dkk (2007); Yoga Patra (2009) bahwa, secara leksial, ornamen berasal dari kata ornare (bahasa latin) yang berarti menghias. Ornamen juga berarti dekorasi atau hiasan, sehingga ornamen sering disebut sebagai disain dekoratif atau desain ragam hias. Ornamen juga berarti sesuatu

(19)

commit to user

yang dirancang untuk menambah keindahan benda, tapi biasanya tanpa kegunaan praktis dan ketiga tindakan, kualitas, dan sebagiannya yang menambah keindahan

Ornamen atau ragam hias pada bangunan rumah pada dasarnya ada dua macam, yaitu hiasan yang kontruksional dan hiasan yang tidak kontruksional. Yang dimaksud hiasan konstruksional ialah hiasan yang jadi satu dengan bangunannya. Jadi ini tidak dapat dilepas dari bangunannya. Contohnya adalah pilar-pilar pada bangunan. Sedangkan hiasan yang tidak konstruksional ialah hiasan bangunan yang dapat terlepas dari bangunannya dan tidak berpengaruh apa-apa terhadap kontruksi bangunan. Contohnya lampu gantung dan meubelair (Dakung, 1981).

Ornamen atau ragam hias yang ada dalam kehidupan masyarakat sebagai ungkapan perasaan yang diwujudkan dalam bentuk visual, poses penciptaannya tidak bisa terlepas dengan pengaruh lingkungan. Ornamen digunakan sebagai hiasan untuk memperindah suatu bangunan dan digunakan sebagai ungkapan perasaan pemilik rumah. Ornamen timbul karena diilhami oleh dua faktor, faktor pertama yaitu faktor emosi dan yang kedua adalah faktor teknik. Faktor emosi tercipta dari kepercayaan,agama dan magi, sedangkan faktor teknik dari apa ornamen tersebut dibuat (Soekiman, 2000).

Penciptaan ornamen atau ragam hias selain dipengaruhi oleh faktor emosi dan teknik juga dipengaruhi faktor lain, Samsudi (mengutip simpulan Sugeng, 1987) menyatakan bahwa, penciptaan suatu ragam hias dipengaruhi oleh kondisi lingkungan dan pandangan hidup penciptanya, ragam hias merupakan visualisasi atau ungkapan perasaan. Ragam hias atau ornamen ditunjukan sebagai pelengkap estetika yang mengandung makna simbolik tertentu, apa yang belaku di masyarakat (2000: 18).

Rumah sebagai tempat berlindung dan bernaung harus memiliki kekhasan dalam bentuk visual, karena rumah juga merupakan simbol penampakan kelas sosial. Kekhasan bentuk visual dan simbol penampakan sosial tersebut dapat ditunjukkan dengan pemasangan ornamen dan hiasan, agar tercipta rasa nyaman, senang dan indah pada bangunan rumah. Hal ini dapat dikaitkan dengan pendapat Dakung (1981) yang menyatakan:

(20)

commit to user

Dalam menempati suatu bangunan rumah, pemiliknya berusaha dan bertujuan untuk mendapatkan rasa senang, aman, dan nyaman. Untuk mendapatkan ketentraman hati dalam menempati bangunan rumah ini, orang berusaha untuk memberi keindahan pada bangunan tempat tinggalnya. Maka dipasanglah berbagi macam hiasan, baik yang kontruksional atau yang tidak (hlm. 123).

Ornamen dalam penerapannya di samping sebagai unsur penghias semata, sering pula ditemui sebagai bentuk visualisasi simbolis yang mengandung makna dan maksud tertentu sesuai dengan falsafah hidup, yang penciptaannya untuk mencapai sesuatu tujuan tertentu. Hal ini dapat dikaitkan dengan pendapat Samsudi (mengutip simpulan Gustami, 1980) bahwa, di dalam ornamen sering pula ditemukan nilai-nilai simbolik atau maksud- maksud tertentu yang ada hubungannya dengan pandangan hidup manusia atau masyarakat penciptanya, sehingga benda-benda yang dikenal oleh suatu ornamen akan mempunyai arti , dengan deisertai harapan-harapan tertentu (Samsudi, 2000 : 19).

Ornamen memiliki bentuk dan ciri yang beragam, ragam hias secara umum memilki corak stilisasi dan bercorak naturalis tetapi pada prinsipnya terbagi kedalam lima kelompok corak yaitu flora, fauna, alam, agama atau kepercayaan dan lain- lain (Ismunandar, 2007). Corak dan bentuk tersebut kesemuanya memiliki makna filosofis tersendiri.

Rumah bergaya arsitektur Indis di Laweyan, meskipun me miliki struktur banguan yang loji, tetapi masyarakat saudagar batik Laweyan masih menerapkan pola peruangan yang ada dalam rumah tradisional Jawa dan menerapkan hiasan ornamen yang terdapat pada rumah bangsawan. Ornamen ini selain sebagai penghias juga unt uk menunjukkan eksistensi masyarakat Laweyan yang termarjinalkan. Dari berbagai pengertian diatas, dapat disimpulkan bahwa ornamen adalah segala sesuatu yang diciptakan karena ungkapan perasaan manusia untuk memperhias rumah atau bangunan sehingga tercipta unsur kenyamanan dan keindahan suatu bangunan.

(21)

commit to user

d. Pendekatan Seimotika dalam Analisis Simbolisme

Arsitektur bukan sebuah bangunan atau monumen yang tanpa jiwa.Arsitektur rumah tinggal sebagai hasil budaya merupakan perpaduan karya seni dan pengetahuan tentang bangunan, sehingga arsitektur juga membicarakan berbagai aspek keindahan dalam kontruksi bangunan, di dalam arsitektur ada tiga faktor dasar yaitu, masalah kenyamanan (convinience), kekuatan hiasan yang kontruksional atau yang tidakatau kekukuhan (strength), keindahan (beauty) (Soekiman, 2000). Ketiga faktor tersebut selalu hadir dan saling berkaitan erat dalam struktur bangunan yang serasi. Keindahan seni dalam arsitektur rumah tinggal ditunjukan dalam ornamen yang menghiasinya, ornamen pada rumah tinggal. Keindahan suatu bangunan memilki makna simbolis tertentu sesuai dengan keadaan pemilik dari bangunan tersebut.

Simbol dalam arsitektur merupakan cara dari seorang arsitek dalam menyampaikan makna suatu bangunan yang mengandung bobot ekspresi (signifirer) dan bobot makna (signified), sehingga diharapkan suatu simbol yang ingin disampaikan dapat dimengerti, dipahami dan dihayati dengan mudah oleh masyarakat atau pengamat sehingga tidak ada kontradiksi-kontradiksi dalam pemaknaan dari maksud bangunan tersebut (Samsudi, 2000).

Tanda adalah perangkat yang dipakai dalam mengkaji atau mencari jalan di dunia ini, ditengah tengah manusia. Suatu tanda menandakan sesuatu selain dirinya sendiri, dan makna meaning ialah hubungan antara suatu objek atau idea dan suatu tanda (Alex Sobur, 2002).

Seimotika pada dasarnya adalah ilmu yang megkaji tentang makna atau arti dari suatu tanda atau lambang. Hal ini berkatan dengan pendapat Ricoeur (2012) yang menyatakan bahwa “semiotik adalah ilmu tentang tanda, bersifat formal sampai batas disosiasi bahasa kedalam bagian-bagian pokoknya” (hlm.30).

Broadbent (1980) menyatakan bahwa seimotika berasal dari bahasa Yunani yaitu “semeion” yang berarti tanda. Tanda-tanda tersebut menyampaikan suatu informasi sehingga bersifat komunikatif, mampu menggantikan yang lain (stand for something else) yang dapat dipikirkan atau dibayangkan (Dharma, 2000: 2)

(22)

commit to user

Simbol atau lambang dapat dipahami pada dua sisi atau fenomena dua dimensi. Subiantoro (2009); (Ricoeur, 2012), menyatakan bahwa Simbol dapat dipahami atau dimaknai sebagai sesuatu yang nampak (visual sign) dan sesuatu yang tidak nampak .simbol yang nampak bekaitan dengan pemahaman mistik supranatural atau metafisika. Simbol yang nyata melukiskan keadaan yang rill, sehingga dapat dianalisisis dengan dasar penalaran. Sedangkan simbol yang tidak tampak mempunyai arti simbolik yang mengarah pada moral dan semangat hidup manusia. Kajian Simbol mempunyai dua makna dua dimensi, semiotik simbol sebuah teori yang mengilhami strukturnya dalam terma makna dan signifikasi.

Simbol merupakan fenomena dua dimensi dalam tahapan bentuk sematik Jadi dapat disimpulkan bahwa Simbol merupakan sesuatu hal atau keadaan pengantar terhadap objek dan pendekatan seimotika dapat mengkaji simbol lebih mendala m.

(23)

commit to user

B. Kerangaka Berfikir

Gambar. 2.1. Kerangka Berfikir Penelitian Kajian Arsitektur dan Ornamen pada Bangunan Rumah Tradisional di Kampung Batik Laweyan Surakarta

Keterangan :

Secara khusus kebudayaan dibagi kedalam dua, yaitu kebudayaan Eropa dan kebudayaan Jawa, yang telah megalami proses akulturasi, wujud kebudayaan hasil akulturasi ini menyebabkan adanya suatu budaya baru yang disebut Kebudayaan

Kebudayaan Jawa

Makna Simbolik Arsitektur dan Ornamen Rumah bergaya Indis

Kebudayaan Barat (Belanda)

Arsitektur Rumah Tradisional Bergaya Indis Masyarakat Laweyan Akulturasi Kebudayaan Kebudayaan Indis Kebudayaan

(24)

commit to user

Indis, yang berkembang hampir di seluruh Hindia Belanda. Pendukung kebudayaan Indis awalnya hanya para pengusaha perkebunan Eropa yang menetap di Indonesia, khususnya di Jawa.

Salah satu wujud kebudayaan yang terpengaruh oleh kebudayaan Indis adalah bentuk bangunan atau arsitektur rumah yang merupakan wujud ketiga dari kebudayaan yang berupa benda-benda hasil karya manusia. Bangunan rumah Indis pada tingkat awal lebih bercirikan Belanda, hal ini dikarenakan pada awal kedatangannya mereka membawa kebudayaan murni dari negeri Belanda. Namun lama kelamaan kebudayaan mereka bercampur dengan kebudayaan orang jawa sehingga hal tersebut ikut mempengaruhi gaya arsitektur mereka.

Laweyan merupakan daerah dimana pengusaha batik pribumi mendirikan tempat produksi batik dalam skala besar. Kampung Laweyan membentuk komunitas tersendiri, dengan saudagar sebagai pusat hierarki. Sistem gelar juga berlaku pada masyarakat saudagar batik Laweyan, namun gelar tersebut hanya berlaku ke dalam untuk menandai status sosial dan tidak berlaku terhadap komunitas lainnya. Dengan keuntungan yang besar dari berdagang batik, saudagar batik Laweyan mampu membangun rumah-rumah yang besar dan mewah menyerupai bangunan-bangunan rumah tinggal para pejabat pemerintah kolonial Belanda.

Para pengusaha dan pedagang di Laweyan merupakan salah satu golongan yang berperan besar dalam perkembangan arsitektur gaya Indis di Surakarta. Sebagai kawula yang kekayaannya melebihi para bangsawan di lingkungan keraton, masyarakat laweyan atau para saudagar batik di Laweyan merasa perlu membentuk identitas diri dan menunjukkan kelas sosialnya. Rumah merupakan sarana penting dalam penampakan kelas sosial bagi para saudagar batik, rumah bukan hanya sebagai tempat berlindung saja tetapi juga merupakan bagian dari status sosial saudagar batik. Di dalam arsitektur, tata ruang, interior dan ornamen pada bangunan tradisional bercorak Indis yang terdapat di rumah saudagar batik di kampung Laweyan, terdapat pesan-pesan simbolik yang memiliki makna filosofis.

Referensi

Dokumen terkait

Hasil dari penelitian ini menunjukan bahwa guru sejarah memahami bahwa implementasi nilai – nilai kepahlawanan merupakan upaya mengoptimalkan pembelajaran sejarah

62 SAHAT SAURTUA BERNART H PEMBORAN JB III PERTAMINA GEOTHERMAL ENERGY 63 BAMBANG HERMANTO PEMBORAN JB III PT.. TRITAMA MEGA PERSADA 64 CAHYADI PEMBORAN JB III

Sejauh ini penulis belum menemukan penelitian yang membahas secara khusus tentang, “Pengaruh Polusi Udara Terhadap Kegiatan Rukyatul Hilal (Studi kasus Rukyatul Hilal

Salah satu problem yang sangat penting untuk dikaji pertama kali dari sebuah ilmu adalah epistemologi, tidak terkecuali dalam ilmu keislaman khususnya ilmu tafsir1. Geliat

Seseorang yang menderita hipertensi disebabkan karena ada masalah dari dalam diri atau dari luar, kemudian penderita hipertensi tersebut memiliki keyakinan

Ringkasan: Penelitian ini merupakan kegiatan yang dilakukan untuk mendapatkan beberapa manfaat dari pembuatan lubang biopori dan sampah organik yang tersimpan didalam

Selama bulan April 2013, sebanyak dua kelompok pengeluaran mengalami penurunan indeks harga yang mengakibatkan deflasi di Kota Kupang. Kelompok bahan makanan

Freight : Biaya angkutan barang yang dibeli 238. Sundry account :