• Tidak ada hasil yang ditemukan

The Duality of Islam and Arabic: Criticism of The Expression Take The Islam And Through The Arabic

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "The Duality of Islam and Arabic: Criticism of The Expression Take The Islam And Through The Arabic"

Copied!
12
0
0

Teks penuh

(1)

p-ISSN 2580-7056; e-ISSN 2580-7064 DOI. 10.23971/tf.v6i1.3881

65

The Duality of Islam and Arabic: Criticism of The Expression

“Take The Islam And Through The Arabic”

Firmansyah1, Ahmad Aziz Masyhadi2, Deden Fardan Hamdani3 UINSunan Ampel Surabaya1,2,3

firmansyah@dlb.uinsby.ac.id1, ahmadazizmasyhadi@student.uinsby.ac.id2, dedenfardanhamdani@student.uinsby.ac.id3

Abstract: This article reveals that it is impossible to understand Islam except by understanding the Arabic language, the context of the revelation of Islamic orders in Arabia, and the last Prophet of the Arabs. Islam and Arabic are dualities that cannot be separated, like two sides of a coin. Meanwhile, the phrase "Take Islam and throw away the Arabs" is a sentence that considers Islam and Arabic as dualism, so they must be separated in order to take the purity of the teachings of Islam itself. Dualism is a philosophical concept which assumes that there are two entities; physical and non-physical in an object, while duality is a state that is interconnected with one another so that it cannot be separated. Therefore, this article seeks to reveal the relationship between Islam and Arabia as a duality, and to reveal the consequences of the separation of Islam and Arabia. This study uses a literary method with a phenomenological descriptive method and a duality approach to the structure of Anthony Giddens. The findings obtained show a lack of thinking in separating texts (Islamic teachings) from their history, and opening up absurd wild interpretations of Islamic texts. In the end, the effort to separate Islam from its context is not a solution to purifying Islam, but rather an effort to eliminate Islam, as has happened in the Modern Era in the history of philosophy, namely the desire to liberate humans from the shackles of religion, instead creating new shackles for humans themselves.

Keywords: Islam, Duality

Abstrak : Artikel ini mengungkap bahwa Islam tidak mungkin bisa dipahami kecuali dengan jalan memahami bahasa arab, konteks turunnya perintah Islam di Arab, dan Nabi terkhir dari bangsa Arab. Islam dan Arab merupakan dualitas yang tidak bisa dipisahkan, seperti dua sisi pada sebuah koin. Sementara itu, ungkapan “Ambil Islamnya dan buang Arabnya” merupakan kalimat yang menganggab Islam dan Arab sebagai dualisme, sehingga harus dipisahkan demi mengambil kemurnian ajaran Islam itu sendiri. Dualisme adalah konsep filosofi yang menganggap bahwa terdapat dua entitas; fisik dan non-fisik pada suatu benda, sementara dualitas merupakan keadaan yang saling berhubungan satu dengan lainnya sehingga tidak bisa dipisahkan.

Oleh sebab itu artikel ini berupaya mengungkap hubungan antara Islam dan Arab sebagai dualitas, dan mengungkap akibat pemisahan Islam dan Arab. Penelitian ini menggunakan metode literer dengan cara deskriptif fenomenologis dan pendekatan dualitas struktur Anthony Giddens. Adapun temuan yang diperoleh memperlihatkan kejumudan berfikir dalam memisahkan teks (ajaran Islam) dengan sejarahnya, dan membuka tafsir liar yang absurd terhadap teks keIslaman. Pada akhirnya, upaya memisahkan Islam dengan konteksnya bukanlah sebuah solusi pemurnian Islam, melainkan upaya menghilangkan Islam, seperti yang terjadi di Era Modern dalam sejarah filsafat yaitu keinginan memerdekakan manusia dari belenggu agama, justru membuat belenggu baru untuk manusia itu sendiri.

Kata kunci: Islam, Dualitas

Copyrigt © 2022 Firmansyah, Ahmad Aziz Masyhadi, Deden Fardan Hamdani

This work is licensed under a Creative Commons Attribution 4.0 International License

(2)

66 INTRODUCTION

Pada akhirnya dimengerti bahwa al quran hadir sebagai kitab suci terakhir sekaligus penyempurna kitab suci sebelumnya, yakni taurat, zabur, dan injil.(Agus Salim Syukran 2019) Al Quran diturunkan secara bertahap dalam kurun waktu sekitar 23 tahun, (Admin 2017) melalui perantaraan malaikat Jibril dari Allah kepada Nabi Muhammad, sebagai Nabi penutup. Nabi Muhammad adalah seorang manusia (Fattah 2014) yang memiliki kebudayaan dan kebangsaan, oleh karena itu sejak diturunkan wahyu kepadanya telah diyakini bahwa wahyu tersebut melebur dalam suatu kebudayaan dan suatu kebangsaan, dengan demikian untuk memahami wahyu, harus juga memahami kebudayaan dan kebangsaan yang membawanya, dalam hal ini Nabi Muhammad sebagai rasul pilihan. Menurut Arkoun, wahyu Tuhan yang diturunkan kepada seorang utusanNya merupakan teks yang termakan oleh sejarah,(Wardi and Kunci 2014) oleh karena tafsiran terhadap wahyu tersebut harus melakukakn pembaruan terus menerus, pada bagian lain ada pula wahyu yang tidak tertulis atau terbukukan seperti al Quran yang berada di lauhin mahfuz}, namun wahyu tersebut di luar jangkauan manusia karena tidak berhuruf dan bersuara.(Fattah 2014)

Ungkapan “Ambil Islamnya dan buang Arabnya” mengarah pada suatu paham dualisme(Richard 1978), yang berkeyakinan bahwa jiwa dan raga merupakan dua substansi yang sama sekali lain, lalu muncul anggapan bahwa jiwa terpenjara dalam raga.(Descartes n.d.) Paham ini pernah terjadi di masa pemerintahan Mustafa Kemal Ataturk, yang menggantikan bahasa turki dalam melantunkan azan.(Mulyati 2014) Oleh karena itu paham dualisme dalam Islam, bisa memberi dampak yang lebih berbahaya, misalnya mengganti bahasa al Quran ke dalam semua bahasa sesuai kebudayaan masing-masing. Sebagaimana telah menjalar di Indonesia kini, dalam membaca al quran menggunakan langgam jawa,(Yaser 2017) tentu fenomena tersebut bisa dikatakan sebagai gejala awal paham dualisme Islam, dan ke depan akan bermunculan kreativitas budaya sebagai keniscayaan menggeser simbol-simbol arab dalam Islam.

Dengan demikian menjadi lokus dalam penelitian ini adalah pertama harus memahami identitas Islam sebagai Agama yang diturunkan oleh Allah, kemudian memahami Arab sebagai tempat diturunkannya Agama tersebut, yang kemudian disebar ke seluruh penjuru atau belahan bumi. Kedua, Islam dan Arab merupakan dualitas yang tidak bisa dipisahkan, karena terdapat sejarah sebagai kata kunci memahami ajaran Islam.

Uraian di atas memperlihatkan, sedemikian persoalan yang ditimbulkan oleh penganut paham dualisme Islam, yang memisahkan Islam dengan Arab, di antaranya terjadi kemacetan yang akut dalam berpikir, kebuntuan yang mengambang dan kehilangan momentum memahami nilai keIslaman. Oleh karena itu Islam dan arab harus dilihat sebagai dualitas, suatu yang berbeda namun saling berhubungan, seperti dua sisi sebuah koin. Dari sini bisa diperoleh rumusan

(3)

67 permasalahan yang akan dibahas yaitu, bagaimana identitas Islam dan Arab? Dalam rangka mencari batasan-batasan arab sebagai kebudayaan dan bangsa serta Islam sebagai Agama yang turun dari Tuhan. Kemudian, bagaimana Islam dan Arab dalam perspektif dualitas struktur Anthony Giddens? Yakni menjelaskan hubungan antara Islam dan Arab.

METODE

Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif menggunakan metode literer, yaitu mengandalkan data-data yang telah disediakan, baik dalam bentuk teks berupa buku, jurnal, koran, dan media online, atau pun dalam bentuk audio visual mp4/mp3 seperti youtube dan sejenisnya, dengan cara yang deskriptif strukturatif. Adapun pendekatan yang digunakan adalah dualitas struktur Anthony Giddens, yang menjelaskan bahwa struktur merupakan hasil dari integrasi sistem dan sosial.

Adapun temuan yang di dapat yaitu, Islam sebagai agama tidak akan pernah dipahami kecuali dengan simbol-simbol yang digunakan oleh Islam dalam hal ini bahasa Arab, kemudian tempat pertama diturunkan yaitu tanah arab sebagai konteks, dan terkahir diturunkan kepada Nabi yang berbangsa arab yang memiliki kebudayaan tinggi, bahkan mendapat gelar “orang yang dapat dipercaya”. Terakhir, ungkapan “Ambil Islamnya dan buang Arabnya” menginkan kemurnian Islam, namun menjadi ambigu dan absurd saat harus menghilang sejarahnya, karena bangsa arab, budaya arab dan orang arab merupakan sejarah penting dalam memahami risalah keIslaman itu sendiri.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Pada era Mekah kuno yakni, sebelum Islam (pra-Islam) merupakan tempat lalu lintas perdagangan antara negeri Yaman (Arab bagian Selatan) dan Syam dekat lautan tengah. Kedua negeri tersebut telah mencapai peradaban tinggi dan di hubungkan oleh beberapa negeri kecil, seperti Mekah yang hampir terletak ditengah-tengah jazirah Arab, oleh karena itu kelompok-kelompok arab tidaklah terlalu sulit menempuh jarak ke kota Mekah. Seperti halnya juga penduduk Mekah tidaklah sukar untuk keluar ke negeri tetangganya seperti ke Syam, Hirah, dan Yaman. Sehingga tidaklah heran jika semangat dagang penduduk Mekah berkembang. Sebelum kelahiran Nabi Muahmmad saw. Di kota Mekah itu terdapat rumah suci yang disebut Baitullah atau Ka’bah, bangsa Arab pada umumnya sangat memuliakan Ka’bah yang dibangun dan pelihara oleh Nabi Ibrahim dan putranya (Ismail as), putranya Ismail as menikah dengan penduduk Mekah suku Jurhum yang berasal dari Yaman yang turun temurun, kemudian keturunan Ismail as. disebut bani Ismail atau Adnaniyyun yang berkembang biak di kota tersebut.

Pada waktu bendungan besar Ma’rib di Arab selatan pecah dan menimbulkan mala petaka yang besar bagi penduduknya, sehingga mereka berpindah ke Mekah yang dipimpin oleh Harits bin ‘Amir juga disebut khuza’ah mereka berhasil mengalahkan suku Jurhum dan seterusnya menjadi penguasa. Dalam masa pemerintahannya ibnu Ismail berangsur-angsur bertebaran kepelosok pelosok jazirah Arab. Kira-kira pada abad ke 5 M seorang pemimpin kabilah Quraisy yang

(4)

68 bernama Qushai telah berhasil merebut kekuasaan kota Mekah dari pemerintahan Harist bin ‘Amar (khuza’ah) setelah mereka berabad-abad lamanya menguasai Mekah. Pada masa pemerintahan Qushai nampaklah pertumbuhan kota Mekah dengan organisasinya yang sederhana, kepentingan kota lebih diutamakan dari pada kepentingan suku sendiri, dan segala sengketa di antara mereka selalu diselesaikan secara damai.

Setelah Qushai meninggal kahidupan penduduk kota Mekah dalam kegelapan dan kehilangan pegangan hidupnya. Pada tanggal 12 Rabiulawal tahun gajah atau 20 April 571 M kota Mekah diserang oleh pasukan tentara bergajah yang dipimpin oleh Abrahah, Gubernur dari kerajaan Nasrani Abessiania yang memerintah di Yaman. Bertepatan kejadian tersebut lahirlah seorang bayi laki –laki disambut oleh neneknya dan diberi nama Muhammad. Madinah sebagai tempat tujuan nabi berhijrah dan Madinah kota pertama Islam berdiri yang ditandai dengan berbagai aspek kehidupan masyarakat di Madinah, seperti sistem persaudaraan (muakhah) dan suatu dokumen yang biasanya dikenal dengan sebutan Piagam Madinah (Budi Yatim 1999) hingga berakhir pemerintahan al-Khulafa alRasyidun. Semenjak itu Hijaz menjadi pusat politik dan pusat “rohani” Islam sekaligus (Umari 1999). Islam berkembang di Hijaz dan meluas sampai ke Jazirah Arabiah lainnya yang meliputi Yaman, Tihamah, Nejd dan ‘Arud, bukan dengan kekerasan tanpa alasan, namun Islam menjadi agama yang diterima di Jazirah Arabiah karena suatu hal yang berdampak dahsyat yang ditanamkan Islam pada wacana pendidikan generasi periode awal Islam, seperti purifikasi jiwa, pemurnian pikiran, ketulusan keyakinan agama, dan pengabdian kepada Tuhan; merefleksikan secara jelas bahwa keikutsertaan mereka dalam pertempuran militer yang dikenal dengan al-Futuh (pendudukan dan pembukaan suatu wilayah) sama sekali tidak dimotifasi oleh ambisi duniawi.

Mekah dan Madinah ditakdirkan oleh Allah sebagai kota-kota ibadah dan keagamaan. Nabi Muhammad memang sempat mendirikan kekuasaan politik di Madinah setelah hijrah dari Mekah; Negara ini kemudian dikenal sebagai “Negara- kota” Madinah, di sana Nabi melalui “Piagam Madinah” meletakkan prinsip- prinsip ketatanegaraan berdasarkan kebebasan dan respek terhadap pluralitas keagamaan dan budaya (Budi Yatim 1999). Hal ini terjadi karena begitu Muawiyah bin Abi Sufyan menjadi penguasa monarki dengan Dinasti Umaiyahnya, maka pusat kekuasaan politik dipindahkan ke Damaskus. Hal ini disadari oleh para penguasa Dinasti Umaiyah bahwa kebijakan-kebijakan, tindakantindakan politik mereka tidak pantas dilakukan di haramain, karena bisa mencemarkan kedua kota suci itu. Keadaan seperti ini berlangsung hingga Daulah Abbasiyah yang menggantikan Dinasti Umaiyah memilih Baghdad sebagai ibu kota Daulah Abbasiyah (Budi Yatim 1999). Dua kota suci, Mekah dan Madinah merupakan tempat perubahan paham keagamaan terjadi dan juga merupakan pusat studi tradisional keagamaan Islam sejak berabad abad. Paham yang sudah lama mengakar di sana dan kemudian menyebar ke segala penjuru dunia Islam, dalam waktu yang dapat dikatakan tidak terlalu lama, harus menerima paham baru yang justru menjadi

(5)

69 lebih dominan. Oleh karena itu, sangat menarik untuk mengetahui proses perubahan tersebut.

Sebagaimana Islam dan Arab dalam sejarah yang diutarakan secara umum sebelumnya, terdapat kemandirian keduanya sebagai struktur yang utuh. Isam memiliki kepribadian sendiri dan Arab memiliki kepribadian sendiri, hingga pada akhirnya dua kepribadian ini bertemu pada satu titik, saling mempengaruhi dan tukar tambah sesuatu. Dalam teori fusi horizon Gadamer, dapat menggambarkan bagaimana saling keterhubungan antara keduaya (Islam dan Arab). Masing-masing melebur dalam sebuah pertemuan zona, sehingga membentuk zona baru yang disebut sebagai peleburan, namun sebagai catatan penting bahwa peleburan itu bukanlah berarti memusnahkan karakter bawaan, melainkan karakter bawaan sebagai modal dasar membentuk karakter baru (Admin 2017)

FENOMENA ISLAM DI INDONESIA Sejarah Singkat Islam dan Arab

Upaya sekelompok gerakan mencabut Islam dari akar sejarahnya semakin terlihat, dari berbagai faktor yang terbaca dalam kehidupan publik di Indonesia. Mulai dari narasi simbolik yang mengarah ketidaksukaan terhadap budaya arab, seperti jenggot, celana cingkrang, sorban dan lain sebagainya, sampai kepada perampasan hak demokrasi beberapa tokoh yang di cap radikal, untuk berdakwah tanpa diadili secara proposional (Siauw 2019). Sebelum masuk pada penjelasan lebih mendalam perlu kira untuk memahami terlebih dahulu pengertian dualisme Islam.

Dualisme, sebagaimana sempat disinggung sebelumnya di atas, merupakan suatu faham yang berkeyakinan bahwa setiap sesuatu memiliki dua substansi yang sebenarnya berdiri sendiri. setiap benda memiliki substansi ruh dan sekaligus materi. Substansi materi ialah segala suatu yang mampu ditangkap oleh pancaindra, sifatnya berubah-ubah sesuai dengan hukum alam. Sementara berbicara soal substansi non material yang melekat pada sebuah materi, sifatnya abadi, substansi ini menetap sebagai sandera materi. Keyakinan seperti ini kemudian merasuk dalam pemikiran sekelompok orang di Indonesia, sehingga mereka dalam upaya untuk mencari kemurnian Islam, bertaruh pada sebuah konsekuensi yang fatal terhadap Islam itu sendiri, yaitu dengan cara mencabut Islam dari sejarahnya.

Golongan dualisme Islam di Indoensia ini terdapat kedua bagian besar, pertama golongan yang Moderat, yaitu kelompok yang tidak berupaya untuk mengotak-atik teks Islam, namun hanya bermain pada penafsiran kontekstual. Bagian kedua, ialah golongan yang ektrem. Yaitu sebuah gerakan pemurnian radikal Islam, sehingga mencabut segala kebudayaan yang melekat pada Islam, karena hanya dengan itu Islam bisa masuk ke dalam budaya lain sebagai transformasi Islam pada setiap kondisi.

Kelompok yang kedua inilah yang selalu mengeluarkan narasi-narasi anti arab, dalam upayanya untuk menjauhi arab dari Islam atau sebalinya, berbicara Islam tanpa ada kosa kata arab di dalamnya. Sebagai contoh narasi yang populer, ialah

(6)

70 narasi yang sedang dibahas dalam artikel ini “ambil Islamnya dan buang arabnya”.

Narasi yang senada dan semakna lainya “ke arab pulang membawa ilmu bukan membawa budaya” (Siraj 2016), Aqil Siraj menerang dalam sebuah pertemuan di stasiun Tv swasta, bahwa Islam dan arab harus dipisahkan agar tidak terjadi Islam simbolis di Indonesia, agar tidak seolah-olah kesalehan seseorang hanya dinilai dari jubah, jenggot dan panjang sorban yang melingkar di kepalanya. Hal tersebut akan membingungkan kita sebagai bangsa, karena sibuk dengan tampilan dari pada substansi dari tampilan tersebut. oleh karena itu dalam upaya dakwah Islam, harus mennyampaikannya dengan ciri khas keindonesiaan yang santun dan ramah, budaya arab penuh dengan tumpah darah, dan dalam upaya penyebaran Islam pun di arab melalui perang.

Tidak berhenti pada sebuah narasi tersebut, narasi yang lebih pada doktrinisasi juga diucapkan oleh Aqil Siraj ketika itu yakni “budaya Indonesia lebih mulia dan terhormat dari pada bangsa arab”. Pakaian gamis tidaklah menandai seseorang lebih saleh dari orang lain, di sisi lain agama hanya menyuruh untuk menutup aurat dengan pakaian yang bersih, alangkah baik dan bagus, serta lebih terhormat seorang yang berkebangsaan indonesia memperdayakan pakaian khasnya seperti batik dan lain sebagainya.

Suasana semacam itu selalu menjadi pembicaraan yang hangat di Indonesia, di sisi lain keinginan kelompok dualisme Islam di Indonesia untuk berbicara soal substansi, namun dirinya sendiri terjebak pada sebuah keadaan yang hanya membicaraan penampilan, sehingga hilang momentum substansialnya, karena dihabiskan dengan menjelaskan narasi yang berkembang tentang ketidaksukaan terhadap budaya arab yang berkembang di Indoensia. Pada akhirnya muncul sebuah tagar yang lebih mencemoohkan lagi di media sosial, seperti Kadrun (kadal Gurun) (Damarji 2020) dan lain sebagainya.

Fenomena dualisme Islam di Indonesia telah berlansung lama, bahkan hingga hari ini masih terus bergulir narasi-narasi serupa yang lebih berani, jika dulu hanya menyerang mereka yang kearab-araban, namun hari ini lebih pada umumkan makna bahwa ada di dalam tubuh Islam, kelompok yang radikal sehingga issu terkini adalah agama terorisme berasal dari Islam. Islam telah menjadi tumbal, dan memang tujuannya adalah Islam itu sendiri. oleh karena itu, setiap kekeran dan teror yang tidak melantunkan takbir di dalamnya maka tidak akan diklaim sebagai tindak terorisme, namun sebaliknya disaat pelaku melantunkan takbir dalam yang aksi teror seperi nom bunuh diri, maka dipastikan klaim yang muncul adalah teorisme.

Narasi yang berkembang dalam upaya untuk menjatuhkan Islam yang bernuansa kearab-araban di Indonesia, ternyata memiliki sederet persolan yang serius.

Diantara berdampak pada kebencian terhadap arab bagi awam, kemudian tercabutnya sejarah kemersaraan Islam dan arab, dan pada akhirnya orang berIslam tanpa arab di dalamnya. Lalu pertanyaan yang mungkin sulit untuk dijawab, Islam yang rampa arab di dalamnya, dari mana? Inilah kemudian kebuntuan yang tidak berujung, menyebabkan, seolah persoalan ini hanya tentang politik namun disisi

(7)

71 yang serius, bahwa narasi terseut terus berjalan dan berkembang. Mungkin bisa ditebak-tebak bagaimana kemudian disaat seseorang berIslam, yang hanya mengambil Islamnya dan membuang arabnya.

Islam Dan Arab Dalam Dualitas Struktur Anthony Giddens

Dualitas struktur atau seperti dua sisi koin yang tidak bisa dipisahkan, merupakan sebuah pandangan yang memperhatikan bahwa tidak mungkin terbangun suatu struktur tanpa ada struktur lainnya yang mendukung. Dalam hal ini Gidden menjalsakan bahwa terdapat dua penyatuan yang sekaligus terpisah (dualitas), yakni Integrasi sosial dan Integrasi sitem (Anthony Gidden 2017). Sosial dan sistem merupakan subtansi yang berpisah, berpisah secara makna dan berpisah secara aplikasinya, namun kedua tidak mungkin berpisah secara struktural karena terapat di dalam sebuah struktur. Oleh karena itu, interaksi sosial selalu mehairkan sistem, begitu pula sebaliknya sistem merupakan sebuah pola yang teratur, dan akan dengan sendirinya membentuk sebuah bentuk sosial.

Di atas telah diuaraikan bagaimana upaya dualisme Islam, yang dapat dibaca melalui fenomena yang berkembang hingga hari ini. Gerakan untuk memisahkan Islam dari arab merupakan uapaya yang tidak bermakna, pada akhirnya akan menemukan sebuah kebuntuan definitif. Seperti yang dijelaskan oleh Giddens dalam sebuah struktur terdapat dualitas, namun jika dipaksakan menjadi sebuah dualisme, maka akan terdapat kebuntuan tersebut. bahwa interaksi sosial tanpa sistem, bukan berarti sedang membicarakan manusia, melainkan bicara tentang definisi sosial saja.

Melihat fenomena yang berkembang dengan narasi kebencian terhadap arab, yang sekaligus menjadi asupan pengetahuan bagi entitas mayarakat, akhirnya menumbuh dampak yang mengarah kepada: pertama, mencabut Islam dari sejarahnya.

Konsekuensi ini tentu sangat urgen sekali, dalam kesempatan lain, seperti yang disampaikan oleh Muhammed Arkoun, semua teks pasti memiliki sejarah, jika sejarahnya di cabut dari teks tersebut itu artinya kita sedang berbicara kekosongan makna. Dalam hal ini Islam merupakan agama yang lahir dan berkembang pertama kali di Arab, kemudian melakukan perluasan keseluruh penjuru belahan dunia. Oleh karena itu Islam sebagai teks tidak bisa lepas dari Arab, arab merupakan tempat dan sekaligus sebab berkembangnya makna ajaran yang dibawa oleh pemeluknya.

Islam dan Arab adalah sebuah integrasi, yang saling menghubungkan maknanya, atau pesan yang terus menjadi mesteri. Sementara itu, kebudayaan arab seperti jubah, sorban, jenggot dan celana cingkrang, dengan sendirinya terbawa oleh sebuah keadaan. Karena hanya dengan mebiarkan kebudayaan itu terus hidup, kita akan selalu mendapat momentum untuk menginterpretasikan Islam pada konteks kekinian.

Oleh karena itu jika dalam pandangan dualisme, menganggap bahwa Islam terjebak pada sebuah kondisi kebudayaan arab sebagai substansi lain yang berdiri sendiri, dan Islam adalah substansi sendiri yang memiliki makna sendiri. Maka akan

(8)

72 bertemu pada sebuah kebuntuan, bagaimana Islam bisa disampaikan tanpa adanya kebudayaan? Kebudayaan arab bukanlah Islam dan sebaliknya demikian pula, bahwa Islam bukanlah arab. Akan tetapi Islam tidak akan pernah ada tanpa sebuah kebudayaan, seperti halnya sebuah sistem tidak mungkin terbentuk tanpa terdapat di dalamnya integrasi sosial yang melibatkan manusia. Mengkritik sistem adalah sebuah keniscayaan, sama halnya saat kita akan menkritik budaya arab juga merupakan keniscayaan. Namun untuk tidak percaya dengan sistem adalah sebuah kebodohan dalam membicarakan tentang sosial.

Dimensi Ungkapan “Ambil Islamnya Dan Buang Arabnya”

Suatu ungkapan, baik tertulis atau pun verbal pasti tidak akan pernah lepas dari konteks sebagai catatan sejarah lahirnya ungkapan tersebut,(Saputra and Latipah 2019) karena hanya dengan begitu bisa mengambil makna yang terkandung di dalam sebuah teks. Setiap peristiwa sosial yang terjadi sebenarnya adalah teks terbuka, sehingga author sebagai pemilik teks telah mati atau tidak memiliki kukuatan untuk memaknai teks tersebut dalam arti sesungguhnya, oleh karena itu semua teks akan terjebak dalam dimensi makna, paling tidak terdapat tiga dimensi;

makna subjektif, makna lingkungan, dan makna hukum.(Siregar M S and Nasution M K M 2005)

Untuk mengetahui kedalaman dan kemungkinan makna atau maksud dari ungkapan

“ambil Islamnya buang arabnya”, tentu harus memiliki dasar pemikiran, yang dalam hal ini menggunakan dua teori yang relevan untuk melihat kedalam makna kalimat tersebut, yakni hermeneutika Muhammad Arkoun dan dimensi makna.

Arkoun mengatakan bahwa ridak terdapat satu teks pun yang terlepas dari sejarah, kecuali firman Tuhan yang berada di luar dimensi manusia yaitu firman-firman Tuhan yang berada di lauhin mahfuz, sementara itu firman Tuhan yang telah disampaikan kepada Nabi utusan Muhammad SAW, telah melebur dalam sejarah dan sejarah tersebut tidak mungkin bisa dipisahkan. Pemisahan antara teks dan sejarahnya, merupakan langkah untuk menghilangkan makna teks tersebut dengan kata lain teks telah mati, disaat seseorang berupaya memisahkannya dengan sejarahnya.

Oleh karena itu dalam upaya menyelami kandungan makna ungkapan “ambil Islamnya, buang arabnya” harus melakukan tiga tahapan dimensi, sebagaimana yang telah dituangkan pada paragraf sebelumnya. yaitu dimensi makna subjektif, makna lingkungan, dan makna hukum.

Dimensi makna subjektif

Secara filosofis, subjektif merupakan sebuah bangunan sudut pandang yang terukur, melalui metode logis dan rasional atau mampu diterima oleh akal. Lawan dari kata subjektif ialah objektif, namun keduanya hanya terdapat perbedaan antara umum dan khusus atau dalam istilah lain, kesepakatan jumhur (mayoritas) sudut pandang subjektif, sehingga membentuk objektifitas. Oleh karena itu, Gadamer juga mengomentari hal tersebut, hingga dalam bukunya yang berjudul Kebenaran

(9)

73 dan Metode, mengatakan bahwa tidak ada objektifitas dalam sebuah kebenaran, melainkan hanya terdapat subjektifitas yang dipengaruhi oleh sejarah.

Berdasarkan konsep pemikiran Gadamer tentang subjektifitas, maka bisa dipastikan bahwa ungkapan “ambil Islamnya, buang arabnya” merupakan ungkpan yang tidak bisa terlepas dari sejarah, atau ada suatu konsep pemikiran yang mempengaruhi ungkapan tersebut. untuk melacak persembunyian makna subjektif itu, dapat dimulai dengan konteks ungkapan tersebut dilontarkan ke publik. bahwa, diketahui ungkapan tersebut mulai populer saat KH Aqil Siraj menyatakannya dalam sebuah perbincangan di salah satu televisi suwasta TV One, yang juga dihadirkan berbagai tokoh dari berbagai kalangan, terdapat tokoh agama, perwakilan ormas, perwakilan partai politik dan cendikiawan lainnya. Diketahui juga bahwa perkumplan tersebut terjadi, saat setelah usai pemilihan Gubernur Jakarta ketika itu yang ramai karena salah satu calon, mendapat sambutan hangat dari masyarakat disebabkan keteledorannya atas ungkapan yang diluar kapasitasnya sebagai pemimpin.

Sehingga mengundang demo berjilid, yang kemudian disebut sebagai gerakan bela Islam dan bela Al Quran (Admin 2016).

Konteks tersebutlah yang diyakini oleh peneliti, yang menyebabkan atau sebagai asbabun nuzul turunnya kalimat tersebut. Kenapa demikian? Karena terdapat berbagai komentar miring tentang garakan bela Islam, terdapat sebutan kadrun (Mth 2019) yang mengarah secara langsung mereka yang berdemo menggunakan jubah dan sorban. Sehingga kalimat yang satir dikeluarkan oleh KH Aqil Siraj, bahwa dirinya juga keluran arab namun tidak membawa budaya tapi membawa ilmu.

Dalam dimensi makna subjektif, terdapat makna yang sangat menghakimi golongan jubah dan sorban, seolah-olah mengatakan bahwa budaya tersebut telah menjajah bangsa ini dan dengan bangga juga mempromosikan bahwa Islam Nusantara bukan seperti Islam di Arab. Jadi jelas bahwa ungkapan tersebut memisahkan Islam dari akar sejarahnya yaitu arab, yang bertedensi mengubur Islam dengan elan tapi pasti.

Dimensi makna Lingkungan

Dalam carut marut politik sebagai konteks lahirnya kalimat “ambil Islamnya, buang arabnya”, menjadi penambah persoalan dalam politik yang telah carut marut.

Ungkapan tersebut menjadi bom waktu yang bisa saja meledak pada waktu yang tidak terduga, sebagaimana bom; dia akan menghilangkan banyak jiwa, dengan arogansi suara ledakan serta muatan, tekanan kehancuran serta jangkauannya.

Lingkungan merupakan keadaan, situasi serta tempat bernaung manusia dan biasanya lingkungan patuh dengan hukum alamiah. Lingkungan memiliki kemampuan memperbaiki diri, namun tidak sebanding dengan kehancuran yang terjadi oleh ulah manusia, sehingga pada akhirnya lingkungan bergantung pada manusia untuk membantunya lebih cepat dalam upaya memperbaiki diri.

Oleh karena itu dalam dimensi makna lingkungan pun terdapat makna negatif, terhadap ungkapan “ambil Islamnya, buang Arabnya”. Ungkapan tersebut berupaya menafikan realita atau menolak ekosistem yang telah terbentuk oleh lingkungan itu

(10)

74 sendiri, sehingga akan terjadi penyeseuian baru bagi lingkungan, karena terus menerus terjadi penolakan yang saling menggeser ditengah lingkungan, padahal keduanya adalah sebuah ekosistem yang saling mendukung.

Dimensi makna Hukum

Hukum merupakan aturan, ada yang berupa tulisan ada pula berupa kebiasaan dalam sebuah kebudayaan. Fungsinya adalah menghakami pelanggar aturan dan memberi hukuman yang sesuai dengan apa yang dikerjakan, sesuai aturan dalam hukum tersebut. ungkapan “ambil Islamnya, buang arabnya” merupakan kalimat perintah, yang berarti pengharusan atau dalam bahasa hukum mewajibkan.

Seseorang harus melakukan itu, karena jika tidak akan mendapat konsekensinya.

Dimensinya mengarahkan pada penghakiman, menjadi hakim atas kebenaran, atau bisa dikatakan melampaui objektifitas.

Ungkapan tersebut juga menjadi sebuah struktur hirarki yang menindas perbedaan dengan dalil hukum, yang dibut untuk menghancurkan ragam warna kehidupan.

hukum berjalan lurus dengan kesatuan maksud, oleh karena hukum memiliki ketegasan dan bersifat hitam di atas putih (jelas dan tegas). Oleh karana itu pula tidak bisa hadir dengan nafsu kekuasaan, karena itu ciri dari sistem kerajaan, hukum harus lahir dari kesepakatan atau dasar kebudayaan.

Setelah menyelami dimensi makna ungkapan “ambil Islamnya dan buang arabnya”, maka terdapat makna yang tidak menguntungkan bagi sesama, bahwa di dalamnya ada upaya untuk menghapus Islam dari sejarahnya, kemudian upaya merusak kebersamaan serta menghakimi kebenaran.

KESIMPULAN

Akhirnya sampai pada sebuah kesimpulan bahwa artikel ini berupaya untuk melihat sebuah konteks, tanpa meninggalkan sebab kemunculan konteks tersebut. Dualitas struktur berarti terdapat dua hal yang berbeda di dalam sebuah struktur, namun tidak bisa dipisahkan karena saling mendukung, seperti dua sisi koin yang saling terhubung. Sementara itu, dualisme struktur merapakan paham yang berbicara tentang suatu struktur yang terpisah dari struktur lainya, karena setiap struktur memiliki substansi yang berdiri sendiri.

Islam dan arab merukan sebuah dualisme, karena Islam sebagai teks memerlukan konteks sebagai suatu keadaan untuk menafsirkan maksud dan pesan yang disampakan oleh Islam dalam bentuk ajaranya. Oleh karena itu, dengan sendirinya bahwa narasi “ambil Islamnya dan buang arabnya” merupakan narasi yang memiliki resiko besar, dan yang paling besar di antara semua resiko tersebut ialah tercabutnya sebuah sejarah tentang teks keIslaman, padahal konteks atau sejarah pada sebuah teks merupakan alamat untuk memahami pesan dan maksud dari sebuah teks.

(11)

75 DAFTAR PUSTAKA

Admin. 2016. “Aksi 4 November.” kompas.com. https://kompas.comi/Aksi_4_November (December 9, 2021).

———. 2017. “Islam Nusantara, Disintegrasi Kehidupan Beragama.” Asy Syariah.com:

112. https://asysyariah.com/Islam-nusantara-disintegrasi-kehidupan-beragama/.

Agus Salim Syukran, Agus Salim Syukran. 2019. “Fungsi Al-Qur’an Bagi Manusia.” Al- I’jaz : Jurnal Studi Al-Qur’an, Falsafah dan KeIslaman 1(2): 90–108.

Anthony Gidden. 2017. Teori Strukturasi Dasar-Dasar Pembentukan Struktur Sosial Msyarakat. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Budi Yatim. 1999. Sejarah Sosial Keagamaan Tanah Suci, Hijaz. Jakarta: Logos Wacana Ilmu.

Damarji, Danu. 2020. “Asal Mula Istilah Kampret-Kadrun: Dari Persaingan Jokowi Vs Prabowo.” DetikNews. https://news.detik.com/berita/d-5299004/asal-mula- istilah-kampret-kadrun-dari-persaingan-jokowi-vs-prabowo.

Descartes, René. “René Descartes and the Legacy of Mind/Body Dualism.”

Serendip.“Meditation 1: 79–94.

Fattah, Abdul. 2014. “Kemanusiawian Nabi Muhammad Dalam Al-Quran.”

http://repository.uin-malang.ac.id/2028/1/2028.pdf.

Mth. 2019. “[DISINFORMASI] Istilah Kadrun Berasal Dari PKI.” kominfo.

https://www.kominfo.go.id/content/detail/27297/disinformasi-istilah-kadrun- berasal-dari-pki/0/laporan_isu_hoaks (December 9, 2021).

Mulyati, Sri. 2014. “Transformasi Budaya Dari Khilafah Turki Utsmani Menuju Republik Turki Modern (1830-1950).” Jurnal CMES 7(1): 4–13.

Richard, Jean-Claude. 1978. 232 Les Origines de La Plèbe Romaine. Essai Sur La Formation Du Dualisme Patricio-Plébéeien. Persée-Portail des revues scientifiques en SHS.

Saputra, Deden Mula, and Ny Latipah. 2019. “KONSEP HISTORISITAS TEKS AL- QUR’AN: Telaah Atas Pembacaan Kontemporer Muhammad Arkoun.” Jurnal Al-Dirayah 2(1): 35–45.

Siauw, Felix. 2019. “‘212: Perlukah Reuni?’” Youtubr.com: menit 12.

https://youtu.be/WeK8SmFeDVU.

(12)

76 Siraj, Aqil. 2016. “Budaya Indoensia Lebih Mulia Dan Bermartabat Dari Bangsa Arab.”

Youtube.com: menit 5.

Siregar M S, and Nasution M K M. 2005. “Dimensi Informasi Dalam Bahasa Al- Khawarizmi.” Journal of Computer Science 1(2): 47–53.

Umari, Akram Dhiyauddin. 1999. Masyarakat Madani, Tinjauan Historis Kehidupan Zaman Nabi. Jakarta: Gema Insani Press.

Wardi, Moh, and Kata Kunci. 2014. “INTERPRETASI KENABIAN (Peran Ganda Nabi Muhammad Sebagai Manusia Biasa Dan Rasul).” (11).

Yaser, Muhammad. 2017. “Memperkenalkan Tilawah Langgam Jawa.” ARICIS PROCEEDINGS 1.

Referensi

Dokumen terkait

Raya Tioq Tataq

Program Swish 2.0 telah menyediakan beberapa contoh animasi yang dapat anda gunakan untuk membuat animasi baik teks, gambar, button (tombol), link ke halaman lain maupun link ke

masyarakat Melayu Patani di Selatan Thai untuk berunding dengan pihak. kerajaan pusat di

Pada gambar diatas efisiensi thermal optimum yang dihasilkan oleh engine saat menggunkan jenis bahan bakar spiritus sedangkan efisiensi thermal terendah

Apabila perusahaan meningkatkan pembayaran dividen, maka dapat dikatakan bahwa manajer perusahaan telah berhasil untuk meningkatkan kinerja perusahaan sehingga

baik secara fisik dalam setiap kegiatan, program dan layanan yang disediakan oleh perpustakaan seperti program Library 101, Online Research Management (ORM), Aplikasi Reference

Catatan : Agar membawa dokumen penawaran asli sesuai yang di-upload lewat aplikasi SPSE2. Demikian undangan dari kami dan atas perhatiannya disampaikan

Catatan : Agar membawa dokumen perusahaan asli sesuai dalam isian kualifikasi serta menyerahkan rekaman/copy-nyaM. Demikian undangan dari kami dan atas perhatiannya