HUBUNGAN ASERTIVITAS DENGAN KEKERASAN DALAM
BERPACARAN PADA PEREMPUAN DEWASA AWAL
SKRIPSI
Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Psikologi
Program Studi Psikologi
Disusun oleh : Christi Indriya
099114047
PROGRAM STUDI PSIKOLOGI JURUSAN PSIKOLOGI FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA
ii
Karya ini aku persembahkan untuk :
❤Tuhan Yesus Kristus, yang selalu menjadi sumber kekuatan dan harapan
❤Papa, Mama, mbak Wita, dan dek Nanda yang selalu mendoakan dan
mendukung setiap langkahku
❤Mas Bayu Ugro yang selalu setia menemani dan menjadi penyemangat dan
penghiburku
❤Yanti, Keket, Deta, Stenny, Dita, dan teman-teman yang selalu memberikan
iv
Karya ini aku persembahkan untuk :
❤ Tuhan Yesus Kristus, yang selalu menjadi sumber kekuatan dan harapan ❤ Papa, Mama, mbak Wita, dan dek Nanda yang selalu mendoakan dan
mendukung setiap langkahku
❤ Mas Bayu Ugro yang selalu setia menemani dan menjadi penyemangat dan
penghiburku
❤ Yanti, Keket, Deta, Stenny, Dita, dan teman-teman yang selalu memberikan
v
HALAMAN MOTTO
“SETIAP MASALAH PASTI ADA SOLUSINYA” (BAYU UGRO)
Tuhan mengulurkan tangan-Nya untuk menolong mereka yang telah berusaha keras.
(Aeschylus)
Terkadang, pelajaran terbaik tentang kehidupan datang saat
kondisi terburuk dalam hidupmu..
(Anonim)
Bagian kita adalah melakukan kehendak Allah, dan bagian Allah dalah
mengurus kita. Karenanya kita seharusnya tidak pernah takut pada apa
pun.
(MacDonald)
Pengharapan itu tidak pasif, tetapi merupakan suatu sikap yang aktif
(Ziglar)
Tuhan memberikan makanan kepada setiap burung, tetapi Dia tidak
melemparkan makanan itu kedalam sarangnya
vi
HALAMAN PERNYATAAN KEASLIAN KARYA
Saya menyatakan dengan sesungguhnya bahwa skripsi yang saya tulis ini
tidak memuat karya atau bagian karya orang lain, kecuali yang telah disebutkan
dalam kutipan dan daftar pustaka, sebagaimana layaknya karya ilmiah.
Yogyakarta, 24 Januari 2014
Penulis,
vii
HUBUNGAN ASERTIVITAS DENGAN KEKERASAN DALAM BERPACARAN PADA PEREMPUAN DEWASA AWAL
Christi Indriya
ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara asertivitas dengan kekerasan dalam berpacaran yang dialami perempuan dewasa awal. Hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini adalah ada hubungan negatif antara asertivitas dengan kekerasan dalam berpacaran yang dialami perempuan dewasa awal. Subjek penelitian ini adalah 66 perempuan dewasa awal dengan menggunakan teknik purposive sampling.Pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah skala asertivitas dan skala kekerasan dalam berpacaran. Koefisien reliabilitas pada skala asertivitas sebesar 0,741 dan skala kekerasan dalam berpacaran sebesar 0,895. Data hasil penelitian dianalisis dengan menggunakan teknik korelasi Product Moment dari Carl Pearson, hasilnya menunjukkan bahwa ada hubungan negatif antara asertivitas dan kekerasan dalam berpacaran pada perempuan dewasa awal dengan koefisien korelasi yang bernilai -0,412 (p>0,01). Nilai koefisien korelasi yang negatif mempunyai arti adanya hubungan yang negatif dan signifikan antara asertivitas dan kekerasan dalam berpacaran. Selain itu, hasil tersebut juga menunjukkan bahwa hipotesis awal penelitian ini diterima yaitu ada hubungan negatif antara asertivitas dan kekerasan dalam berpacaran yang dialami perempuan dewasa awal.
viii
THE RELATION BETWEEN ASSERTIVENESS AND DATING VIOLENCE OF EARLY ADULT WOMEN
Christi Indriya
ABSTRACT
This objective of this reserach was to find out the correlation between assertiveness and dating violence of young women. The hypothesis proposed in this reserach is there is a negative correlation between assertiveness and dating violence of young women. The subject of this research are 66 young women that acquired by purposive sampling technique. The method of data collection in this research are assertiveness scale and dating violence scale. The reliability coefficient of assertiveness scale is 0,741 and reliability coefficient dating violence scale is 0, 895. The data was analyzed by using correlational Product Moment technique, and the result showed that there was a negative correlation between assertiveness and dating violence of young women can be seen from in the amount of -0,412 (p< 0,01). This indicates that there is a negative and significant relationship between assertiveness and dating violence. In addition, this result also indicate that the initial hypothesis of this study accepted that there is a negative relationship between assertiveness and dating violence of young women.
ix
LEMBAR PERNYATAAN PERSETUJUAN
PUBLIKASI KARYA ILMIAH UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS
Yang bertanda tangan di bawah ini, saya mahasiswa Universitas Sanata Dharma
Nama : Christi Indriya
Nomor Mahasiswa : 099114047
Demi pengembangan ilmu pengetahuan, saya memberikan kepada Perpustakaan
Universitas Sanata Dharma karya ilmiah saya yang berjudul :
Hubungan Asertivitas dengan Kekerasan dalam Berpacaran yang Dialami Perempuan Dewasa Awal
Beserta perangkat yang diperlukan (bila ada). Dengan demikian saya memberikan
kepada Perpustakaan Universitas Sanata Dharma hak untuk menyimpan,
mengalihkan dalam bentuk media lain, mengelolanya di internet atau media lain
untuk kepentingan akademis tanpa perlu meminta ijin dari saya maupun
memberikan royaliti kepada saya selama tetap mencantumkan nama saya sebagai
penulis.
Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya
Dibuat di Yogyakarta
Pada tanggal : 24 Januari 2014
Yang menyatakan,
x
KATA PENGANTAR
Puji Syukur bagi Tuhan Yesus Kristus atas segala berkat dan kasih-Nya
sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan baik. Penulis menyadari
bahwa skripsi ini dapat terselesaikan atas bantuan berbagai pihak, oleh karena itu
dengan segala kerendahan hati, penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada :
1. Tuhan Yesus Kristus, yang selalu memberi kekuatan serta pengaharapan
saat semua terasa berat.
2. Bapak C. Siswa Widyatmoko, M.Psi., selaku Dekan Fakultas Psikologi
Universitas Sanata Dharma Yogyakarta.
3. Ibu Ratri Sunar Astuti, M.Si selaku dosen pembimbing skripsi dan Kaprodi
Psikologi Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma.
4. Ibu MM. Nimas Eki S., M.Si., Psi dan Ibu Sylvia Carolina MYM., S.Psi.,
M.Si selaku dosen penguji skripsi.
5. Ibu Dr. Tjipto Susana, selaku dosen pembimbing akademik.
6. Rifka Annisa Women Crisis Center yang telah membantu dalam
menyediakan subjek penelitian serta berbagi info yang membantu proses
pengerjaan skripsi.
7. Segenap staf pengajar Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma yang
telah memberikan segala bekal ilmu pengetahuan mengenai dunia psikologi.
8. Segenap karyawan Fakultas Psikologi : Mbak Nanik, Mas Gandung & Pak
xi
9. Keluargaku tersayang, Papa, Mama, mbak Wita, dan dek Nanda yang selalu
mendoakan serta memberi dukungan.
10. Bayu Ugro, terima kasih sudah setia menemaniku dalam proses skripsi ini,
sudah mendukung, menguatkanku, mendoakan, serta bantuan yang sangat
berharga untukku.
11. Sahabat-sahabatku, Keket, Deta, Yanty, Stenny, dan Dita, terima kasih
untuk dukungan, bantuan, doa kalian. Kehadiran kalian meringankan
langkahku untuk terus maju.
12. Lusy, Silvi, Chelia, Anggel, Asti, Anggit, dan teman-teman Psikologi
angkatan 2009, terima kasih atas segala bantuan dan semangat yang kalian
berikan.
13. Teman-teman yang telah bersedia mengisi angket penelitian. Terima kasih
atas partisipasi dan kerja sama yang baik sehingga pengambilan data
penelitian ini dapat berjalan lancar.
14. Semua pihak yang tanpa sengaja belum penulis sebut di sini, terima kasih
atas segala bantuan yang telah diberikan.
Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari sempurna.Oleh karena
itu, penulis sangat berterimakasih atas semua masukan baik berupa saran maupun
kritis yang dapat membangun.Akhir kata, penulis berharap semoga skripsi ini
dapat berguna bagi semua pihak.
Yogyakarta, 24 Januari 2014
Penulis,
xii
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ... i
HALAMAN PERSETUJUAN DOSEN PEMBIMBING ... ii
HALAMAN PENGESAHAN ... iii
HALAMAN MOTTO DAN PERSEMBAHAN ... iv
HALAMAN PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ... vi
ABSTRAK ... vii
ABSTRACT... viii
HALAMAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH ... ix
KATA PENGANTAR ... x
DAFTAR ISI ... xii
DAFTAR TABEL ... xvi
DAFTAR LAMPIRAN ... xvii
BAB I PENDAHULUAN ... 1
A. Latar Belakang Masalah ... 1
B. Rumusan Masalah ... 12
C. Tujuan Penelitian ... 12
D. Manfaat Penelitian... 12
1. Manfaat Teoritis ... 12
xiii
BAB II TINJAUAN PUSTAKA ... 14
A. Kekerasan dalam Berpacaran ... 14
1. Pengertian ... 14
2. Bentuk-bentuk Kekerasan dalam Berpacaran ... 15
3. Dampak Kekerasan dalam Berpacaran ... 18
4. Faktor yang Mempengaruhi Kekerasan dalam Berpacaran ... 19
B. Asertivitas ... 23
1. Pengertian ... 23
2. Ciri-ciri Orang Asertif ... 25
3. Manfaat Asertivitas ... 29
C. Dewasa Awal ... 31
1. Pengertian dan Batasan Usia Dewasa Awal ... 31
2. Tugas Perkembangan Dewasa Awal ... 32
D. Hubungan antara Asertivitas dengan Kekerasan dalam Berpacaran yang Dialami Perempuan Dewasa Awal ... 33
E. Hipotesis ... 36
BAB III METODOLOGI PENELITIAN ... 37
A. Jenis Penelitian ... 37
B. Identifikasi Variabel Penelitian ... 37
C. Definisi Operasional Variabel Penelitian ... 37
D. Subjek Penelitian ... 38
E. Metode Pengumpulan Data ... 39
xiv
2. Skala Kekerasan dalam Berpacaran ... 41
F. Validitas dan Reliabilitas Alat Ukur ... 43
1. Validitas ... 43
2. Seleksi Item ... 44
3. Reliabilitas ... 49
G. Metode Analisis Data ... 49
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ... 51
A. Pelaksanaan Penelitian ... 51
1. Persiapan ... 51
2. Pengambilan Data ... 52
B. Deskripsi Subjek ... 52
C. Uji Asumsi ... 53
1. Uji Normalitas ... 53
2. Uji Linearitas ... 54
D. Hasil Penelitian ... 55
1. Uji Hipotesis... 55
2. Kategorisasi Tingkat Asertivitas dan Kekerasan dalam Berpacaran yang Dialami Perempuan Dewasa Awal ... 57
3. Gambaran Proporsi Bentuk Kekerasan dalam Berpacaran ... 59
4. Gambaran Hubungan antara Asertivitas dengan Kekerasan dalam Berpacaran dilihat dari bentuk-bentuk kekerasan dalam berpacaran ... 59
xv
BAB V PENUTUP... 65
A. Kesimpulan ... 65
B. Saran ... 65
1. Bagi Perempuan Dewasa Awal ... 65
2. Bagi Penelitian Selanjutnya ... 66
DAFTAR PUSTAKA ... 67
xvi
DAFTAR TABEL
Tabel 1.1 Data Kasus Rifka Annisa 2009-2012 ... 3
Tabel 2.1 Sebaran Nomor Item Skala Asertivitas (sebelum Uji Coba) ... 40
Tabel 2.2 Sebaran Nomor Item Skala Kekerasan dalam Berpacaran (sebelum Uji Coba) ... 43
Tabel 3.1 Sebaran Nomor Item Valid dan Gugur Skala Asertivitas ... 45
Tabel 3.2 Sebaran Nomor Item Baru Skala Asertivitas ... 47
Tabel 3.3 Sebaran Nomor Item Valid dan Gugur Skala Kekerasan dalam Berpacaran ... 47
Tabel 3.4 Sebaran Nomor Item Baru Skala Kekerasan dalam Berpacaran. 49
Tabel 4.1 Deskripsi Usia Subjek Penelitian ... 53
Tabel 5.1 Deskripsi Status Subjek Penelitian ... 53
Tabel 6.1 Hasil Uji Normalitas ... 54
Tabel 6.2 Hasil Uji Linearitas ... 55
Tabel 6.3 Hasil Uji Korelasi ... 56
Tabel 6.4 Norma Kategorisasi ... 57
Tabel 6.5 Hasil Analisis Kategorisasi ... 57
Tabel 6.6 Hasil Kategorisasi Item Asertivitas ... 58
Tabel 6.7 Hasil Kategorisasi Item Kekerasan dalam Berpacaran ... 58
Tabel 6.8 Hasil Proporsi Bentuk Kekerasan dalam Berpacaran... 59
xvii
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1. Skala Asertivitas (Uji Coba)... 70
Lampiran 2. Skala Kekerasan dalam Berpacaran (Uji Coba) ... 77
Lampiran 3. Uji Reliabilitas Asertivitas (Uji Coba) ... 82
Lampiran 4. Uji Reliabilitas Kekerasan dalam Berpacaran (Uji Coba) ... 87
Lampiran 5. Skala Asertivitas ... 93
Lampiran 6. Skala Kekerasan dalam Berpacaran ... 100
Lampiran 7. Uji Reliabilitas Asertivitas ... 104
Lampiran 8. Uji Reliabilitas Kekerasan dalam Berpacaran ... 107
Lampiran 9. Uji Normalitas dan Uji Linearitas ... 110
Lampiran 10. Uji Korelasi Asertivitas dan Kekerasan dalam Berpacaran ... 113
Lampiran 11. Analisis Kategori Tingkat Asertivitas ... 115
Lampiran 12. Analisis Kategori Tingkat Kekerasan dalam Berpacaran ... 117
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Sepanjang kehidupan manusia, setiap individu akan melalui suatu
tahap perkembangan dan dihadapkan pada tugas perkembangan yang
berbeda. Pada masa dewasa awal, selain kondisi fisik yang berada pada
masa puncaknya, individu dewasa muda juga dianggap telah memiliki
kematangan psikologis (Mappiare, 1983). Dengan kematangan psikologis
ini, individu dianggap siap untuk menjalani tugas perkembangan
berikutnya, yaitu menjalin hubungan intim-akrab dengan orang lain, serta
siap mengembangkan daya-daya yang dibutuhkan untuk memenuhi
komitmen-komitmen. Nilai cinta muncul selama tahap perkembangan
keintiman (Hall & Lindzey, 1993). Pemenuhan tugas perkembangan ini
diwujudkan oleh sebagian besar individu melalui pernikahan dan
pengalaman menjadi orang tua. Sebelum melakukan pernikahan, individu
akan melalui hubungan pacaran. Hubungan ini juga dapat dikatakan
sebagai masa persiapan individu sebelum memilih dan menetapkan calon
pasangan hidupnya.
Knight (2004) mendefinisikan pacaran merupakan suatu hubungan
yang dijalani antara seorang pria dengan seorang wanita. Pada dasarnya,
berpacaran merupakan pengaturan atau perencanan khusus antara dua
berbagai tingkat tertentu. Masa berpacaran umumnya hanyalah
masapendahuluan sebelum pemilihan akhir teman hidup.Pada masa ini,
individu memperoleh pengalaman dalam berbagai aspek kehidupan.
Mereka akan saling mengerti, saling memperlihatkan watak
masing-masing, menunjukkan tipe kepribadian, dan mulai mengerti tipe-tipe tabiat
dasar. Menurut Wisnuwardani dan Mashoedi (2012) individu menilai
bahwa masa pacaran merupakan sarana dimana terdapat hubungan
persahabatan, mendapatkan dukungan emosional, kasih sayang,
kesenangan, dan eksplorasi seksual.
Pada masa berpacaran sering muncul berbagai masalah. Dua
individu dengan dua kebiasaan dan gaya hidup yang berbeda, akan
menimbulkan berbagai permasalahan dalam hubungan mereka. Setiap
individu memiliki cara yang berbeda dan unik dalam menghadapi dan
menyelesaikan masalah yang terjadi dalam masa pacaran. Ada individu
yang memilih cara kekerasan untuk menyelesaikan masalahnya. Pada
masa pacaran, hal ini dinamakan kekerasan dalam pacaran (Kekerasan
dalam Pacaran / KDP atau Dating Violance).
Kekerasan dalam Berpacaran bukan merupakan sesuatu yang baru
dalam dunia berpacaran. Data PKBI Yogyakarta mulai bulan Januari
hingga Juni 2001, terdapat 47 kasus kekerasan dalam pacaran, 57% di
antaranya adalah kekerasan emosional, 20% mengaku mengalami
kekerasan seksual, 15% mengalami kekerasan fisik, dan 8% lainnya
Berdasarkan catatan tahunan Komnas Perempuan pada 2010
seperti yang diberitakan pada harian Jogja (Kamis, 18 Agustus 2011),
setidaknya ada 105.103 kasus kekerasan terhadap perempuan yang
ditangani oleh 384 lembaga pengada layanan. Dari tiga ranah kasus,
jumlah terbanyak ada di ranah personal, yaitu 96 persen kasus atau
101.128 kasus, publik 3.530 kasus dan ranah negara 445 kasus. Secara
detil, di ranah personal, persoalan terbanyak ialah kekerasan dalam rumah
tangga atau sekitar 98.577 kasus, selebihnya 1.299 kasus adalah kekerasan
dalam berpacaran dan 600 kasus kekerasan terhadap anak perempuan.
Hal ini serupa dengan penelitian dari Rifka Annisa Women Crisis
Center yang dapat dilihat pada tabel di bawah ini:
Tabel 1.1 Data Kasus Rifka Annisa 2009 – 2012
Kategori Tahun Jumlah
2009 2010 2011 2012
KTI (Wife
Abuse) 203 226 219 226
874
KDP (Dating
Violence) 28 43 40 28 139 PERKOSAAN
(Rape) 28 31 43 29 131 PEL-SEKS
(Sexual Harassment)
17 10 35 9 71
KDK (Family
Violence) 6 10 9 11 36 Trafficking 1 1 1 0 3
LAIN-LAIN*** 2 - - - 2
TOTAL
Berdasarkan tabel dapat dilihat bahwa kekerasan dalam
berpacaran menempati urutan kedua setelah kekerasan dalam rumah
tangga.Hal ini menunjukkan bahwa kekerasan dalam berpacaran
merupakan hal yang cenderung banyak terjadi di dalam relasi berpacaran.
Beberapa kejadian kekerasan dalam berpacaran yang diungkap
Lembaga Pratista Indonesia Bogor (dalam Alvita, 2007) yang bergerak di
bidang perlindungan terhadap anak dan perempuan dari tindak kekerasan
menemukan beberapa kasus tindak kekerasan dalam berpacaran yang
terjadi di kota Bogor yang masuk melalui hot line service yaitu pada usia 17 sampai 25 tahun, kasus-kasus kekerasan yang terjadi adalah seks pra
nikah sampai hamil, pacar meninggalkannya, kekerasan seksual dengan
bujukan (janji akan menikahi), kekerasan fisik (pemukulan), kekerasan
psikis (dimarah-marahi, dilecehkan, dibanding-bandingkan dengan pelacur,
pembatasan ruang gerak bergaul, dimarah-marahi, diancam, tidak boleh
putus), dan kekerasan ekonomi (dimintai uang untuk kebutuhan pelaku).
Berdasarkan data-data yang telah disebutkan, hal ini menunjukkan bahwa
kekerasan dalam berpacaran merupakan hal yang cukup mengkhawatirkan
dan merugikan bagi para perempuan.
Menurut Ferlita (2008), kekerasan dalam berpacaran adalah
perilaku atau tindakan seseorang dalam percintaan (pacaran) bila salah
satu pihak merasa terpaksa, tersinggung, dan disakiti dengan apa yang
telah dilakukan pasangannya. Asumsi tersebut didukung oleh Offenhauer
sebagai pola perilaku yang kasar dan kejam oleh pasangan yang digunakan
untuk mengontrol orang lain.
Kekerasan dalam berpacaran meliputi kekerasan fisik, kekerasan
psikologis/emosional atau kekerasan verbal, dan kekerasan seksual.
Contoh kekerasan fisik dalam berpacaran adalah mencakar, menampar,
mendorong, membanting atau menahan seseorang di dinding, menggigit,
mencekik, membakar, memukul seseorang, dan penganiayaan dengan
kekerasan. Kekerasan psikologis/ emosional/ verbal, mencakup menghina,
mengkritik, memalukan di depan teman-teman, atau memaki-maki
pasangan, mengancam bunuh diri, mengabaikan pasangan, atau
mengancam putus. Bentuk umum lainnya adalah perilaku yang merusak
harga diri dan kemandirian pasangan, misalnya mencoba untuk
mengisolasi pasangan dari keluarga, teman, atau dukungan sosial,
menguntit dan memantau pasangan secara berlebihan. Ketiga adalah
pelecehan seksual. Pelecehan seksual antara pasangan dapat melibatkan
pemerkosaan, percobaan pemerkosaan, dan bentuk-bentuk pemaksaan
seksual termasuk menggagalkan kehamilan. Tekanan untuk melakukan
hubungan seksual juga merupakan bentuk pelecehan seksual.(Offenhauer
dan Buchalter, 2011).
Menurut Rennision dan Welchans (2000)dalam U.S. Department of Justice, kekerasan dalam berpacaran banyak dialami perempuan pada rentang usia 16-24 tahun. Seperti diberitakan pada Harian Joglosemar
dan HAM (LRC KJHAM) Semarang menerima empat laporan kasus
kekerasan dalam berpacaran selama Januari-September 2006 dengan
korban berjenis kelamin perempuan yang melapor berusia 16-27 tahun
dengan tingkat pendidikan SMA hingga sarjana. Hal ini menunjukkan
bahwa mahasiswa dan pelajar menduduki peringkat tertinggi sebagai
pelaku dan/atau korban kekerasan dalam berpacaran.
Korban pada kasus di atas termasuk masa dewasa awal. Valliant
(dalam Papalia, Old & Feldman, 2008) mengatakan bahwa masa dewasa
awal ini merupakan masa adaptasi dengan kehidupan, sekitar usia 20
sampai 30 tahun. Erikson (dalam Papalia, Old & Feldman, 2008)
menyebut tahap ini sebagai tahap Intimacy vs Isolation. Pada tahap ini, individu menjalin hubungan yang intim dengan orang lain. Hal ini serupa
dengan yang dijelaskan oleh Santrock (1995) dimana tugas perkembangan
dewasa awal menurut Erikson adalah membentuk relasi yang intim dengan
orang lain. Aspek yang penting dari hubungan ini adalah komitmen
individu satu sama lain. Penelitian ini memilih kategori usia dewasa awal
karena pada tahap ini individu dihadapkan pada tugas perkembangan yaitu
membangun relasi intim. Individu dewasa awal mendambakan
hubungan-hubungan yang intim-akrab serta siap mengembangkan daya-daya yang
dibutuhkan untuk memenuhi komitmen-komitmen meskipun memerlukan
suatu pengorbanan (Hall & Lindzey, 1993).
Kekerasan dalam berpacaran dapat dicegah dengan dimulai dari
ini harus dipahami oleh perempuan yang sedang dimabuk cinta ketika
masih pacaran. Saling menyepakati untuk membina hubungan yang sehat
sejak awal pacaran dan mengutarakan harapan akan masa depan
masing. Saling terbuka membicarakan risiko yang ditanggung
masing-masing pihak, apabila batasan-batasan tersebut dilanggar. Selanjutnya,
memahami bahwa mereka berhak atas badan mereka, tidak ada yang boleh
menyakiti tak terkecuali pasangan. Berani berkata tidak jika pasangan
memaksakan berbagai bentuk tindak kekerasan dengan disertai argumen
yang dapat diterima oleh pasangan. Tidak memaksakan diri sendiri untuk
menyenangkan pasangan apabila hal tersebut tidak kita kehendaki (Annisa,
2012).
Faktor-faktor ini berkaitan erat dengan kemampuan individu
dalam mengungkapkan perasaan, pikiran, kebutuhan yang dimiliki secara
jujur tanpa merugikan orang lain dan diri sendiri (asertif). Hal ini didukung
oleh pernyataan Nelson-Jones (dalam Uyun, 2004) yang menyatakan
bahwa asertivitas dapat membuat pasangan menjadi saling terbuka,
sehingga dapat mengungkapkan apa yang dipikirkan dan dirasakannya
tanpa rasa bersalah. Keterbukaan dapat meningkatkan kemampuan
individu untuk mengatasi masalah, serta terhindar dari prasangka yang
sering menyebabkan konflik.
Menurut Stein dan Book (2004), sikap asertif berarti kemampuan
untuk berkomunikasi dengan jelas, spesifik, dan tidak berbelit-belit,
sesuai dengan situasi yang ada. Sikap asertif meliputi tiga komponen
dasar yaitu kemampuan untuk dapat mengungkapkan perasaan secara
tepat, kemampuan untuk mengungkapkan keyakinan dan pemikiran secara
terbuka, dan kemampuan untuk dapat mempertahankan hak-hak
pribadi.Dengan demikian, orang yang asertif bukan pemalu melainkan
mereka dapat mengungkapkan perasaannya (biasanya secara langsung)
tanpa bertindak agresif ataupun melecehkan.
Menurut Kanfer dan Goldstain (Santosa, 1999) orang yang asertif
akan menguasai atau dapat mengendalikan diri sesuai dengan situasi yang
ada, dapat memberikan respon dengan wajar pada hal-hal yang disukai,
dan dapat menyatakan kasih sayang dan cintanya. Dengan demikian
perempuan yang asertif akan dapat mengungkapkan kebutuhan dan
perasaannya jika ia merasa tertekan secara wajar sesuai situasi dengan
tetap mempertahankan dan mengakomodasikan kepentingan pasangannya.
Sebaliknya, perempuan yang tidak asertif tidak memiliki keterampilan
komunikasi yang membuatnya mampu menegosiasikan kepentingannya,
maka tanpa disadari ia telah menjadi korban kekerasan karena
kegagalannya menyatakan pikiran dan kebutuhannya secara terus terang
dan telah memberi peluang pada orang lain untuk tidak menghargainya.
Hal tersebut sama halnya dengan membiarkan diri mereka disakiti secara
fisik, emosi, maupun sosial.
Penelitian yang dilakukan oleh Ekawati (2008) dengan Diskusi
seringkali terdapat kebingungan pada siswi dalam menghadapi kondisi
hubungan dengan lawan jenisnya.Para siswi ini seringkali merasa kesulitan
jika pasangannya meminta maupun mengajak mereka pacaran di tempat
yang sepi sehingga hanya ada mereka berdua, memegang tangan maupun
memeluk ketika sedang berdua. Di satu sisi, mereka merasa hal tersebut
wajar dilakukan orang yang sedang pacaran namun di sisi lain sebenarnya
mereka juga takut dan terkadang merasa tidak nyaman, tetapi mereka tidak
berani menolak karena takut hubungan mereka akan bermasalah, putus,
dan takut kehilangan orang yang dicintai. Salah satu siswi mengungkapkan
bahwa ia bahkan tidak pernah berani menolak apapun yang diinginkan
pasangannya karena memang sudah lama ia menyukai pasangannya
tersebut dan ia bersedia melakukan apa saja asal pasangannya selalu
mencintainya dan tidak berpaling pada orang lain.
Contoh kasus lain yaitu berdasarkan wawancara terhadap salah
satu mahasiswi korban KDP yang berusia 21 tahun yang dilakukan Jessica
(2007), menemukan bahwa subjek memiliki harga diri yang rendah.
Subjek merasa tidak berharga, minder ketika melihat teman-temannya
bahagia bersama pacar mereka, dan merasa dirinya dianggap seperti
barang atau seperti sampah oleh pacarnya. Subjek merasa tidak dapat
membuat orang lain bahagia. Selain itu, subjek juga merasa tertekan
karena mendapat banyak larangan dari pacarnya.Salah satu larangan dari
pacarnya adalah subjek dilarang pergi bersama teman-teman subjek.
mereka mempunyai pacar, dan mereka tidak pergi ke tempat-tempat yang
jauh, hanya sebatas dalam kota.
Pada kategori usia yang berbeda, contoh kasus lain yaitu
berdasarkan wawancara yang dilakukan oleh Samsi (2012) kepada siswa
SMK N 1 Depok yaitu Aya (nama samaran), merasa sungkan untuk
mengungkapkan penolakan ajakan pacar ketika Aya sedang sibuk
mengerjakan tugas dari sekolah. Sehingga Aya lebih memilih untuk
menuruti keinginan pacar dan tugas sekolah sering terabaikan. Begitu juga
dengan Ani (nama samaran), mengungkapkan bahwa ia merasa kesulitan
untuk mengungkapkan hak-haknya untuk dapat bersosialisasi dengan
lawan jenisnya, karena larangan pacarnya. Ani merasa terkekang dengan
sikap pacarnya yang posesif.Ani ingin mengungkapkan pikiran-pikirannya
tersebut tanpa harus kehilangan pacar.
Hal ini sesuai dengan yang diungkapkan oleh Arsitasari, dkk
(2006) yang mengatakan bahwa superioritas kaum laki-laki menjadikan
kaum perempuan selalu dalam posisi yang lemah dan tidak
berdaya.Ketidakberdayaan dalam diri kaum perempuan ini dapat memicu
berbagai perasaan negatif, seperti inferior, tergantung, pasrah, tidak kreatif, kurang inisiatif, dan mengalami ketakutan.Sedikitnya jumlah laporan ke
pihak yang berwenang (polisi) bahwa telah terjadi tindakan kriminal yang
telah dilakukan suami atau pacar karena melakukan kekerasan, merupakan
salah satu bukti kuat bahwa kaum perempuan masih terbelenggu oleh
mampu untuk berkata dan bertindak secara asertif, yakni menolak
diperlakukan keras dan kasar karena terdapat perasaan takut akan ditinggal
atau diceraikan oleh pasangannya.
Kekerasan dalam berpacaran masih belum begitu mendapat
perhatian jika dibandingkan dengan kekerasan dalam rumah tangga
sehingga terkadang masih diabaikan oleh korban dan pelakunya (Annisa,
2012). Selain itu, seperti pada kasus Kekerasan dalam Rumah Tangga,
korban kekerasan dalam berpacaran masih beranggapan jika melapor pada
orang lain seperti keluarga atau polisi maka akan membuat aib dan mereka
beranggapan bahwa ini adalah urusan intern dalam hubungan mereka
sehingga mereka cenderung untuk menutup-nutupi (Prastyowati, 2003).
Penelitian lain yang pernah menghubungkan kekerasan dalam
berpacaran dan asertivitas sebagian besarhanya melihat hubungan antara
asertvitas dengan kekerasan dalam berpacaran secara umum seperti yang
dilakukan oleh Prihatantrista (2010) tetapi tidak melihat bagaimana
hubungan asertivitas terhadap bentuk-bentuk kekerasan dalam berpacaran
secara spesifik. Penelitian ini bermaksud untuk melihat hubungan tersebut.
Berdasarkan bukti dan penjelasan di atas, peneliti tertarik untuk
meneliti lebih dalam tentang “Hubungan Asertivitas dengan Kekerasan
dalam Berpacaran pada Perempuan Dewasa Awal”. Penelitian ini
merupakan suatu tahapan proses yang dilakukan untuk menyelidiki suatu
fenomena hubungan antara asertivitas dengan kekerasan dalam berpacaran
B. Rumusan Masalah
Apakah ada hubungan antara asertivitas dengan kekerasan dalam
berpacaran pada perempuan dewasa awal
C. Tujuan Penelitian
Untuk mengetahui hubungan antara asertivitas dengan kekerasan
dalam berpacaran pada perempuan dewasa awal.
D. Manfaat Penelitian 1. Manfaat Teoritis
Secara teoritis penelitian ini diharapkan dapat memberikan
sumbangan yang berguna bagi Psikologi Perkembangan khususnya
mengenai manfaat asertivitas dalam hubungan berpacaran guna
mencegah terjadinya kekerasan baik secara fisik, psikologis, maupun
seksual yang dialami perempuan dewasa awal.
2. Manfaat Praktis.
a. Bagi Kaum Perempuan Dewasa Awal
Penelitian ini diharapkan bermanfaat bagi perempuan
dewasa awal agar dapat menyadari pentingnya perilaku asertif
dalam berbagai bidang termasuk dalam hubungan relasi-intim
dengan pasangan sehingga perempuan dapat lebih menghargai diri
sendiri serta dapat bersikap tegas menolak berbagai bentuk
b. Bagi Masyarakat
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan bagi
masyarakat umum agar dapat lebih peduli dalam hubungan pacaran
yang rentan akan terjadinya kekerasan sehingga masalah ini dapat
14
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Kekerasan dalam Berpacaran 1. Pengertian
Kekerasan dalam berpacaran adalah perilaku atau tindakan
seseorang dalam percintaan (pacaran) bila salah satu pihak merasa
terpaksa, tersinggung, dan disakiti dengan apa yang telah dilakukan
pasangannya Ferlita (2008). Asumsi tersebut didukung oleh
Offenhauer dan Buchalter (2011) menggambarkan kekerasan dalam
berpacaran sebagai pola perilaku yang kasar dan kejam oleh pasangan
yang digunakan untuk mengontrol orang lain. Peneliti tidak
menemukan adanya perbedaan teori Kekerasan dalam berpacaran
antara remaja dan dewasa awal baik berupa definisi, bentuk, dampak,
maupun manfaat.
Sedangkan menurut Abbot (dalam Ferlita, 2008), kekerasan
dalam berpacaran merupakan segala bentuk tindakan yang
mempunyai unsur pemaksaan, tekanan, perusakan, dan pelecehan fisik
maupun psikologis yang terjadi dalam hubungan pacaran. Hal ini
dapat dilakukan oleh pria maupun wanita, bahkan pada pasangan
sejenis seperti gay atau lesbi
Mengacu pada uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa kekerasan
pasangan yang belum menikah dan mempunyai unsur perilaku yang
kasar dan kejam yang digunakan untuk mengontrol.
2. Bentuk-bentuk Kekerasan dalam Berpacaran
Menurut Andari (2005), kekerasan dalam berpacaran dapat
berbentuk :
a. Kekerasan emosional : diancam, dipermalukan, dicaci maki,
difitnah, dicemburui, diintimidasi, diingkari janji, dibohongi.
b. Kekerasan fisik : diancam dengan benda tajam, dipukul, diancam
melakukan pemerasan, disekap di kamar kost, dirantai, disundut
dengan rokok, ditendang.
c. Kekerasan ekonomi : barang dipinjam tidak dikembalikan,
diekpoitasi ekonomi, dimanfaatkan, dimintai uang secara paksa,
diperas.
d. Kekerasan sosial : diisolasi dari teman-teman lainnya, dilarang
bergaul dengan laki-laki selain dirinya.
e. Kekerasan seksual : diajak berhubungan sex, dilecehkan, dipaksa
aborsi, diperkosa.
Menurut Offenhauer dan Buchalter (2011), kekerasan dalam
berpacaran meliputi kekerasan fisik, kekerasan psikologis/emosional
atau kekerasan verbal, dan kekerasan seksual, contohnya :
a. Kekerasan fisik adalah mencakar, menampar, mendorong,
mencekik, membakar, memukul seseorang, dan penganiayaan
dengan kekerasan. Kekerasan secara fisik ini dapat terbagi menjadi
bentuk ringan, sedang, dan berat berdasarkan cedera yang
didapatkan oleh korban.
b. Kekerasan psikologis/ emosional/ verbal, mencakup menghina,
mengkritik, memalukan di depan teman-teman, atau memaki-maki
pasangan. Selanjutnya, pelecehan psikologis meliputi manipulasi
emosional, misalnya mengancam bunuh diri, mengabaikan
pasangan, atau mengancam putus. Bentuk umum lainnya adalah
perilaku yang merusak harga diri dan kemandirian pasangan,
misalnya mencoba untuk mengisolasi pasangan dari keluarga,
teman, atau dukungan sosial, dan mencoba untuk membuat
pasangan merasa “gila” dengan terus mempertanyakan keputusan
pasangan. Agresi dalam hubungan berpacaran seperti berusaha
merusak hubungan pasangan dengan teman-teman dengan
menyebarkan desas-desus palsu atau dengan mengungkapkan
informasi atau gambar yang bersifat pribadi. Pelecehan psikologis
mencakup menguntit dan memantau pasangan secara berlebihan,
serta memata-matai interaksi pasangan dengan orang lain atau
bersikeras bahwa pasangan harus selalu memperhatikan
keberadaannya.
c. Pelecehan seksual antara pasangan dapat melibatkan pemerkosaan,
termasuk mengagalkan kehamilan. Tekanan untuk melakukan
hubungan seksual juga merupakan bentuk pelecehan seksual.
Selanjutnya, tindakan-tindakan lain yang juga dapat termasuk
dalam definisi pelecehan seksual, sejauh "setiap tindakan yang
mengarah ke hubungan seksual dapat diklasifikasikan sebagai
pelecehan seksual jika tanpa izin, sakit, atau tidak dilindungi
dilakukan dengan cara merendahkan.”
Menurut Annisa (2012) kekerasan yang terjadi dalam relasi
personal perempuan ini biasanya terdiri dari beberapa jenis, misalnya
serangan terhadap fisik, mental/psikis, ekonomi dan seksual.
a. Segi fisik, yang dilakukan seperti memukul, menampar,
menendang, mendorong, mencekram dengan keras pada tubuh
pasangan dan serangkaian tindakan fisik lain.
b. Kekerasan terhadap mental seseorang biasanya seperti mengancam,
memanggil dengan sebutan yang memalukan psangan,
menjelek-jelekan, dan lainnya.
c. Kekerasan ekonomi seperti pasangan meminta pasangan untuk
mencukupi segala keperluan hidupnya (memanfaatkan pasangan).
d. Kekerasan seksual seperti memeluk, mencium, meraba hingga
memaksakan tindakan hubungan seksual dibawah paksaan dan
ancaman.
Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa
berpacaran meliputi kekerasan fisik, psikologis, seksual, sosial, dan
kekerasan ekonomi.Di dalam penelitian ini lebih memfokuskan pada
bentuk-bentuk kekerasan yang diungkapkan oleh Andari karena
bentuk kekerasan tersebut lebih spesifik pada konteks kekerasan
dalam berpacaran.
3. Dampak Kekerasan dalam Berpacaran
Andari (2005) mengemukakan dampak kekerasan yang diterima
perempuan dalam masa pacaran, yaitu:
a. Dampak fisik : cedera, memar, patah tangan, telinga berdenging,
bengkak, dan sering pusing.
b. Dampak psikis : cemas dan gelisah, depresi, insomia,
malu/tertekan, merasa terancam, minder, putus asa, ingin bunuh
diri, stress, dan takut.
Offenhauer dan Buchalter (2011) mengatakan korban kekerasan
dalam berpacaran dapat mengalami penurunan kesehatan mental post-traumatic stress, harga diri yang rendah, prestasi belajar menurun, dan menaikkan gangguan makan, dan penggunaan obat-obatan.Selain itu
dapat menyebabkan depresi dan perilaku beresiko yang lebih luas.
Dapat disimpulkan bahwa dampak berdampak secara fisik maupun
psikologis yang dapat mengganggu tugas kehidupan dan fungsi
4. Faktor yang Mempengaruhi Kekerasan dalam Berpacaran
Offenhauer dan Buchalter (2011) berpendapat terdapat beberapa
faktor yang dapat mempengaruhi terjadinya kekerasan dalam
berpacaran, diantaranya :
a. Faktor sosioekonomi dan demografi
Beberapa penelitian menemukan keadaan sosioekonomi
yang merugikan seperti apakah keluarga, sekolah, atau lingkungan
yang dapat menjadi faktor yang dapat meningkatkan kekerasan
dalam masa pacaran. Lingkungan yang banyak pengangguran,
permukiman yang miskin, keluarga yang single-parent, dan sebagainya. Selain itu, anak yang berasal dari desa dapat
meningkatkan resiko dalam kekerasan berpacaran dibandingkan
dengan daerah perkotaan.
b. Faktor kekerasan keluarga dan faktor lain dari keluarga
Faktor dari keluarga yang dapat menyebabkan terjadinya
kekerasan dalam berpacaran adalah adanya perlakuan orang tua
dengan hukuman fisik, bentuk disiplin dengan cara keras, atau
perlawanan dengan kekerasan terhadap anak dengan interaksi yang
membahayakan, dan anak menyaksikan kekerasan dalam keluarga
diantara orang tua. Hal ini didukung oleh pernyataan Lemme (1995)
yang menyatakan bahwa dengan memiliki pengalaman atau
perilaku agresif.Selain itu, hal ini serupa dikatakan oleh Dinastuti
(2008) dimana penyebab individu mengalami kekerasan dalam
berpacaran karena memiliki riwayat yang pernah mengalami
kekerasan semasa kecil. Mereka kurang memiliki keterampilan
untuk memulai dan mempertahankan hubungan yang sehat dengan
orang lain, termasuk dengan pasangan.
c. Faktor teman sebaya dan lingkungan
Pengaruh teman sebaya yang dapat menyebabkan
terjadinya kekerasan dalam berpacaran seperti perkelahian teman
sebaya atau keterlibatan teman sebaya dalam kekerasan berpacaran.
Penelitian menunjukkan bahwa memiliki teman dalam hubungan
kekerasan dapat menaikkan kemungkinan keterlibatan dalam agresi
berpacaran baik sebagai pelaku dan korban.
d. Faktor kepercayaan dan norma
Banyak bukti yang mengindikasikan bahwa memegang
kepercayaan tradisional mengenai peran jender dalam hubungan
pria dan perempuan merupakan faktor resiko dalam kekerasan
dalam berpacaran. Lebih khusus dalam budaya patriarkhi. Menurut
Arsitasari, dkk (2006) sistem budaya patriakhi yang sering
memperlakukan wanita dengan cara-cara kasar dan keras.
Perlakuan kurang manusiawi ini dimungkinkan dan dapat dipahami
karena kedudukan dan peran kaum wanita yang relatif lemah
diposisikan sebagai pelengkap atau subordinasi kaum
laki-laki.Oleh karena itu, wajib hukumnya bagi kaum wanita untuk
tunduk dan patuh terhadap kaum laki-laki
Patriarki secara harafiah berarti kekuasaan bapak atau
„patriakh (patriach)‟. Istilah patriarki ini digunakan secara lebih
umum untuk menyebut kekuasaan laki-laki, hubungan kuasa
dengan apa laki-laki menguasai perempuan, dan untuk menyebut
sistem yang membuat perempuan tetap dikuasai melalui
bermacam-macam cara (Bhasin dalam Hermawati, 1996). Budaya
pada masyarakat secara umum tidak memberikan ruang pada
laki-laki yang menjadi korban. Hal ini menjadikan perempuan
mengabaikan dampak dari tindakan kekerasan untuk mengecilkan
kebutuhan mereka sendiri.
Adanya pengaruh konsep-konsep tradisional yang membuat
pria menghindari cap sebagai “pria lemah” membuat pria
menunjukkan bahwa dirinya maskulin. Untuk itu mungkin sekali
mereka selalu berusaha membuktikan diri sebagai yang berkuasa
atau kuat (Mappiare, 1983)
e. Faktor individu
Faktor penyebab individu menjadi pelaku kekerasan dalam
berpacaran merupakan individu yang memiliki masalah kesehatan
mental (seperti rendahnya harga diri, kecemasan, dan kemarahan
(seperti menggunakan obat-obatan, sex yang beresiko), rendahnya
prestasi akademik, kemampuan komunikasi yang buruk dan
menangani konflik dengan sikap agresif, serta kecenderungan
untuk membantu diri yang rendah. Hal ini didukung oleh Tolman
& Bennet (dalam Lemme, 1995) yang menyatakan karakteristik
pelaku kekerasan adalah memiliki harga diri yang rendah, pernah
mengalami atau menyaksikan kekerasan pada saat masih
anak-anak, memiliki kebutuhan yang tinggi untuk dominasi dan kontrol,
memiliki keterampilan untuk menipu, memiliki masalah dengan
alkohol, terisolasi secara sosial, berkepribadian ekstarvert,
bergantung pada korban untuk melakukan dominasi dan lainnya,
dan memiliki sejarah luka di kepala.
Sedangkan dari sisi perempuan sebagai korban, faktor
penyebabnya adalah sikap perempuan yang cenderung menerima
perilaku kekerasan. Ada kecenderungan kaum wanita masih
menilai negatif atau rendah kemampuan diri sehingga kepercayaan
dan kebanggaan diripun menjadi rendah. Ini berakibat kaum wanita
cenderung suka menggantungkan pemenuhan kebutuhan hidup
pada kaum laki-laki. Ketergantungan yang berlebihan dan menilai
rendah kemampuan diri pada gilirannya akan mengakibatkan kaum
wanita mudah diperlakukan sebagai objek oleh kaum laki-laki
Arsitasari, dkk (2006). Selain itu, menurut Tolman & Bennet
rendahnya harga diri, pasif dan selalu mengalah, pernah mengalami
atau menyaksikan kekerasan pada saat masih anak-anak,
menggunakan pemikiran yang keliru untuk meminimalkan
kekerasan, berkepribadian introvert, dan terisolasi secara sosial.
Selain itu, hasil penelitian Greene dan Navaro (dalam
Uyun, 2003) menemukan bahwa keterampilan asertif dapat
membantu perempuan untuk terhindar dari korban kekerasan.
Semakin asertif seorang perempuan maka akan semakin terhindar
dari kekerasan. Hasil penelitian tersebut juga menunjukkan bahwa
asertivitas pada perempuan dapat menjadi faktor yang
mempengaruhi kekerasan yang dialami perempuan.
Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa
faktor-faktor yang mempengaruhi kekerasan terhadap perempuan
adalah faktor sosioekonomi dan demografi, faktor kekerasan
keluarga dan faktor lain dari keluarga, faktor teman sebaya dan
lingkungan, faktor kepercayaan dan norma dalam hal ini adalah
kepercayaan akan budaya patriarkhi, faktor individu baik dari
pelaku maupun korban.
B. Asertivitas 1. Pengertian
yang tepat (Santosa, 1999). Asertivitas merupakan ekpresi yang jujur
dari hak pribadi seseorang, perasaan, keyakinan, ketertarikan tanpa
melanggar atau menolak hak orang lain (Delamanter dalam
Zarnaghash & Porjali, 2010).
Menurut Lloyd (1991) perilaku asertif adalah perilaku bersifat
jujur, langsung, dan menghormati ketika berinteraksi dengan orang
lain. Perilaku ini mampu mengkomunikasikan kesan respek kepada
diri sendiri dan orang lain sehingga dapat memandang keinginan,
kebutuhan, dan hak kita sama dengan keinginan, kebutuhan dan hak
orang lain atau bisa diartikan juga sebagai gaya wajar yang tidak lebih
dari sikap langsung, jujur, dan penuh dengan hormat saat berinteraksi
dengan orang lain.
Lenz dan Adams (1995) mendefinisikan perilaku asertif sebagai
perilaku dimana mengerti apa yang dilakukan dan diinginkan serta
mampu menjelaskan hal tersebut kepada orang lain. Perilaku asertif
juga merupakan perilaku dimana kita bekerja dengan cara sendiri
untuk memenuhi kebutuhan sendiri dengan tetap menunjukkan hormat
kepada orang lain.
Menurut Alberti dan Emmons (1987), perilaku asertif
mempromosikan kesetaraan dalam hubungan manusia,
memungkinkan kita untuk bertindak sesuai dengan kepentingan kita
sendiri, untuk membela diri kita sendiri tanpa kecemasan yang tidak
nyaman, dan untuk melaksanakan hak-hak pribadi tanpa menyangkal
hak orang lain.
Pengertian lain menurut Stein dan Book (2004), sikap asertif
berarti kemampuan untuk berkomunikasi dengan jelas, spesifik, dan
tidak berbelit-belit, sekaligus tetap dapat memberikan respon sesuai
kebutuhan orang lain, dan sesuai situasi yang ada.
Berdasarkan beberapa definisi di atas dapat disimpulkan bahwa
perilaku asertif adalah kemampuan seseorang untuk bersikap tegas
dan berani dalam mempertahankan hak-haknya, mengekspresikan
perasaan, pikiran, serta kepercayaannya secara langsung, jujur, dan
tanpa menganggu hak orang lain.
2. Ciri-ciri Orang Asertif
Menurut Stein dan Book (2004), sikap asertif meliputi tiga
komponen dasar yaitu kemampuan untuk dapat mengungkapkan
perasaan secara tepat, kemampuan untuk mengungkapkan keyakinan
dan pemikiran secara terbuka, dan kemampuan untuk dapat
mempertahankan hak-hak pribadi. Dengan demikian, orang yang
asertif bukan pemalu melainkan mereka dapat mengungkapkan
perasaannya (biasanya secara langsung) tanpa bertindak agresif
Lenz dan Adams (1995) menyatakan bahwa orang yang
berperilaku asertif merupakan :
a. Terbuka terhadap diri sendiri secara jujur
b. Mampu menyatakan perasaan, kebutuhan-kebutuhan, dan ide
c. Mampu mempertahankan hak mereka dengan cara yang
sedemikian rupa sehingga tidak melanggar hak dan kebutuhan
orang lain.
d. Otentik, apa adanya, terbuka, dan langsung
e. Mampu bertindak demi kepentingan sendiri
f. Mampu mengambil inisiatif demi memenuhi kebutuhannya
g. Mampu meminta informasi dan bantuan dari orang lain bilamana
mereka membutuhkan
h. Bila sedang berkonflik dengan orang lain, mereka mampu
mencari penyelesaian yang memuaskan kedua belah pihak
Perilaku asertif menurut Alberti dan Emmons (1987) memiliki
ciri-ciri, yaitu :
a. Mempromosikan kesetaraan dalam hubungan manusia
Untuk mempromosikan kesetaraan dalam hubungan
manusia berarti menempatkan kedua belah pihak pada pijakan
yang sama, mengembalikan keseimbangan kekuasaan dengan
memberikan kekuatan pribadi kepada "yang tertindas" dan
memungkinkan bagi setiap orang untuk memperoleh dan tidak
b. Bertindak dalam kepentingan sendiri
Mengacu pada kemampuan untuk membuat keputusan
sendiri mengenai jadwal karir, hubungan, gaya hidup, dan jadwal
waktu, memiliki inisiatif memulai percakapan dan mengorganisir
kegiatan, mempercayai penilaian sendiri, menetapkan tujuan dan
bekerja untuk mencapainya, meminta bantuan dari orang lain, dan
berpartisipasi secara sosial.
c. Membela diri
Termasuk perilaku seperti mengatakan tidak, menetapkan
batas waktu dan energi, menanggapi kritik atau ejekan atau
kemarahan, mengekspresikan atau mendukung atau membela
pendapat.
d. Mengekspresikan perasaan dengan jujur dan nyaman
Berarti kemampuan untuk tidak setuju, menunjukkan
kemarahan, menunjukkan kasih sayang atau persahabatan,
mengakui ketakutan atau kecemasan, mengekspresikan
persetujuan atau dukungan, dan menjadi spontan - semua tanpa
kecemasan yang menyakitkan.
e. Melaksanakan hak-hak pribadi
Berkaitan dengan kompetensi sebagai warga negara,
sebagai konsumen, sebagai anggota sebuah organisasi atau
sekolah atau kelompok kerja, sebagai peserta dalam acara-acara
untuk menanggapi pelanggaran hak yang dimiliki seseorang atau
orang lain.
f. Tidak mengingkari hak orang lain
Adalah mencapai ekspresi di atas kepentingan pribadi tanpa
kritik yang tidak adil dari orang lain, tanpa perilaku menyakitkan
terhadap orang lain, tanpa manipulasi, dan tanpa mengontrol
orang lain.
Berdasarkan beberapa ciri-ciri yang telah dijelaskan di atas, dapat
disimpulkan bahwa orang yang asertif adalah yang dapat
mengendalikan diri, mampu mengekspresikan perasaan baik positif
maupun negatif, mampu berkomunikasi dengan baik,
mempertahankan hak-hak pribadi tanpa merugikan orang lain, serta
dapat mengendalikan diri sesuai situasi yang ada.
Pada penelitian ini ciri-ciri asertivitas yang akan digunakan
sebagai dasar penyusunan alat ukur adalah ciri-ciri asertivitas yang
diungkapkan oleh Alberti dan Emmons (1987) yaitu mempromosikan
kesetaraan hubungan manusia, bertindak dalam kepentingan sendiri,
membela diri, mengekspresikan perasaan dengan jujur dan nyaman,
melaksanakan hak-hak pribadi, dan tidak mengingkari hak orang lain,
karena ciri-ciri tersebut lebih lengkap dibandingkan dengan ciri-ciri
3. Manfaat Asertivitas
Menurut Stein dan Book (2004), manfaat yang dapat diperoleh
jika berperilaku asertif adalah memungkinkan kita memperoleh banyak
teman dan dapat mempengaruhi orang lain sehingga kita bisa membina
hubungan yang lebih akrab dan lebih jujur dengan orang lain. Saat kita
bersikap asertif, bahkan dalam situasi yang sulit dan tidak
menyenangkan, orang lain akan merasa dihargai dan diterima, bukan
merasa diremehkan. Selain itu, menurut Storm & Lowe (1986)
asertivitas dapat menghilangkan kecemasan dalam hubungan
interpersonal dan dapat membantu individu untuk memenuhi
kebutuhan mereka dengan lebih efektif.
Sedangkan menurut Lenz dan Adams (1995), manfaat seseorang
yang mampu berperilaku asertif dalam hubungan dengan orang lain
adalah memungkinkan kita untuk lebih mengenal diri sendiri. Selain
itu dengan terbuka menyatakan pikiran, perasaan, dan kebutuhan kita
pada orang lain, maka orang lain akan mengetahui apa yang kita
butuhkan dan inginkan dan hal ini mampu membuat orang lain untuk
bersedia bekerja sama dengan kita serta membantu memenuhi
kebutuhan kita.
Perilaku asertif juga dapat membuka jalan bagi orang lain untuk
lebih terbuka dalam berhubungan dengan kita. Hal ini dapat
menjadikan hubungan yang terjalin dapat semakin dalam dan
dijernihkan dan kesalahpahaman di kemudian hari dapat dicegah
sehingga rasa frustasi dan kebencian pun dapat berkurang. Hal ini pun
dapat terjadi di dalam hubungan berpacaran karena dengan
mengungkapkan secara jujur apa yang kita butuhkan, inginkan,
rasakan, dan pikiran kita kepada pasangan kita, pasangan dapat lebih
mengerti diri kita serta membuat pasangan untuk belajar asertif juga
dan bermanfaat untuk mencegah keretakan hubungan. Dalam suatu
hubungan intim termasuk dalam masa pacaran, keterbukaan
komunikasi merupakan hal yang penting
Nelson-Jones (dalam Uyun, 2004) menyatakan bahwa jika
individu mampu bersikap asertif, maka akan lebih mampu menghargai
diri sendiri, serta menghargai pasangannya. Penghargaan tersebut
menyebabkan masing-masing individu mampu menerima pasangannya
secara utuh, tidak akan menuntut sesuatu di luar kemampuannya.
Nelson-Jones (dalam Uyun, 2004) juga menyatakan bahwa berperilaku
asertif adalah menunjukkan komitmen dalam berhubungan dengan
pasangan, tidak hanya mencoba untuk menjadi orang yang selalu
berbuat menguntungkan kepada pasangan tetapi juga membantu
pasangan untuk lebih berbuat menguntungkan kepada dirinya.
Berdasar pendapat-pendapat di atas, manfaat yang dapat
diperoleh jika berperilaku asertif terutama dalam hubungan pacaran
adalah dapat membina hubungan yang lebih akrab dan jujur sehingga
lebih menghargai diri sendiri dan pasangan, dan dapat menunjukkan
komitmen dalam berhubungan dengan pasangan.
C. Dewasa Awal
1. Pengertian dan Batasan Usia Dewasa Awal
Santrock (1995) mendefinisikan dewasa awal sebagai masa
kemandirian secara ekonomi dan kemandirian dalam membuat
keputusan. Mendapat kemandirian ekonomi dari orang tua
berlangsung bertahap dan bukan proses yang tiba-tiba. Kemandirian
dalam membuat keputusan berkaitan dengan karir, nilai-nilai, keluarga,
dan hubungan, serta mengenai gaya hidup.
Menurut Mappiare (1983) seseorang dikatakan dewasa jika
memiliki kekuatan tubuh secara maksimal dan siap untuk
bereproduksi serta telah dapat diharapkan memiliki kesiapan kognitif,
afektif, dan psikomotor.Selain itu, individu dewasa juga diharapkan
memainkan perannya bersama dengan individu-individu lain dalam
masyarakat. Mappiare (1983) membagi dewasa awal adalah individu
yang berusia dua puluh-an sampai akhir tiga puluh-an. Lemme (1995)
juga mengungkapkan pendapat yang sama yaitu dewasa merupakan
karakteristik periode hubungan yang mandiri, finansial, dan
kebijaksanaan dari orang tua, serta menerima tanggungjawab dari
Sedangkan Valliant (dalam Papalia, Old & Feldman, 2008)
mengatakan bahwa masa dewasa awal ini merupakan masa adaptasi
dengan kehidupan, sekitar usia 20 sampai 30 tahun. Individu dewasa
awal mulai membangun apa yang ada pada dirinya, mencapai
kemandirian, menikah, mempunyai anak, dan membangun
persahabatan yang erat. Orang dewasa menurut Levinson (dalam
Papalia, Old & Feldman, 2008) membentuk struktur hidup yang
tumpang tindih antara usia 20 hingga 25 tahun. Levinson menyatakan
bahwa usia dewasa awal berada pada rentan 17 sampai 33 tahun.
Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa usia dewasa
awal berada pada rentan umur 18 sampai 30 tahun dengan ciri
memiliki kematangan secara fisik maupun psikologis.
2. Tugas Perkembangan Dewasa Awal
Erikson (dalam Papalia, Old & Feldman, 2008) menyebut tahap
ini sebagai tahap Intimacy vs Isolation. Pada tahap ini, individu menjalin hubungan yang intim dengan orang lain. Hal ini serupa
dengan yang dijelaskan oleh Santrock (1995) dimana tugas
perkembangan dewasa awal menurut Erikson adalah membentuk
relasi yang intim dengan orang lain. Erikson menggambarkan
keintiman sebagai penemuan diri sendiri sekaligus kehilangan diri
sendiri dalam diri orang lain. Aspek yang penting dari hubungan ini
Tugas perkembangan dewasa awal yaitu membangun relasi
intim.Individu dewasa awal mendambakan hubungan-hubungan yang
intim-akrab serta siap mengembangkan daya-daya yang dibutuhkan
untuk memenuhi komitmen-komitmen meskipun memerlukan suatu
pengorbanan (Hall &Lindzey, 1993).
Dapat disimpulkan bahwa salah satu tugas perkembangan pada
masa dewasa awal adalah membangun hubungan yang intim dengan
pasangan hidup yang sudah dipilih sesuai kriteria untuk dijadikan
sebagai pasangan dalam pernikahan.
D. Hubungan antara Asertivitas dengan Kekerasan dalam Berpacaran yang Dialami Perempuan Dewasa Awal
Salah satu tugas perkembangan pada dewasa awal yang paling
menonjol adalah membentuk relasi yang intim dengan orang yang
sepaham dengan dirinya. Oleh karena itu, individu dewasa awal akan
memilih individu yang paling dicintai dan dipercayai untuk dijadikan
pasangan. Hubungan ini dikenal dengan istilah pacaran.
Hubungan dalam pacaran tidak lepas dari masalah. Ketika terjadi
konflik, tidak sedikit terjadi tindakan kekerasan dalam berpacaran dimana
sebagian besar perempuan yang menjadi korban. Hal ini dapat terjadi
karena adanya budaya patriarkhi dimana menempatkan laki-laki pada
lemah. Budaya seperti ini dapat menjadikan laki-laki sebagai kaum yang
agresif dan perempuan sebagai posisi yang bergantung pada laki-laki.
Selain adanya pengaruh budaya patriarkhi, perempuan yang
memiliki karakteristik sebagai korban kekerasan yaitu rendahnya harga
diri, pasif dan selalu mengalah, pernah mengalami atau menyaksikan
kekerasan pada saat masih anak-anak, menggunakan pemikiran yang
keliru untuk meminimalkan kekerasan, berkepribadian introvert, dan
terisolasi secara sosial juga dapat menjadikan perempuan tidak dapat
bersikap asertif, yaitu menolak jika diperlakukan kasar serta keras oleh
laki-laki. Hal ini dapat menjadikan perempuan bergantung pada
pasangannya sehingga memiliki ketakutan akan ditinggal atau diceraikan
oleh pasangan.
Berdasarkan pada pendapat mengenai asertivitas di atas, maka
dapat diperoleh gambaran bahwa perempuan yang memiliki asertivitas
dapat menolak atau mengatakan ketidaksetujuan terhadap kekerasan yang
dilakukan oleh pacar. Hal ini dapat diwujudkan dengan kemampuan
membuat keputusan sendiri dan memiliki keyakinan atas keputusan
tersebut. Perempuan yang asetif ketika memiliki pasangan dengan
agresivitas tinggi, dapat membuat keputusan untuk mengakhiri hubungan
dan memiliki keyakinan bahwa keputusan yang sudah dibuat adalah tepat,
sehingga hal ini dapat membuat seorang perempuan tidak lagi mengalami
tindakan kekerasan dalam berpacaran. Sementara itu, bila perempuan yang
jujur apa yang dirasakan dan dipikirkannya. Perempuan yang tidak asetif
ketika memiliki pasangan dengan agresivitas tinggi, tidak memiliki
kemampuan untuk membuat keputusan untuk mengakhiri hubungan
karena bergantung pada pasangan dan memiliki pemikiran yang keliru
bahwa dirinya pantas diperlakukan kasar, sehingga hal ini membuat
perempuan rentan menjadi korban kekerasan dalam berpacaran. Alur
penjabaran tentang hubungan tingkat asertivitas dengan kekerasan dalam
berpacaran dapat dilihat pada bagan dibawah ini:
Pacaran Terjadi Kekerasan Dalam Berpacaran Budaya Patriarkhi Tugas perkembangan (relasi intim) Menolak Tidak berani menolak Asertif Tidak asertif Pasangan dengan agresivitas tinggi Pasangan dengan agresivitas tinggi Tidak terjadi Kekerasan Dalam Berpacaran
Harga diri rendah
Pasif
Selalu mengalah
Introvert
Pernah
mengalami atau menyaksikan kekerasan
E. Hipotesis
Berdasarkan uraian teori yang telah dikemukakan di atas, maka
dapat disusun hipotesis penelitian yaitu : Ada hubungan negatif antara
asertivitas dengan kekerasan dalam berpacaran yang dialami perempuan
dewasa awal. Semakin tinggi asertivitas yang dimiliki maka kekerasan
dalam berpacaran yang dialami perempuan dewasa awal semakin jarang,
demikian juga sebaliknya semakin rendah asertivitas yang dimiliki maka
kekerasan dalam berpacaran yang dialami perempuan dewasa awal akan
37
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
A. Jenis Penelitian
Penelitian ini adalah jenis penelitian yang menggunakan
pendekatan kuantitatif untuk menguji hipotesis yang telah dibuat.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara asertivitas
dengan kekerasan dalam berpacaran pada perempuan dewasa awal.
B. Identifikasi Variabel Penelitian
1. Variabel Terikat (dependent variabel/Y) : Kekerasan dalam Berpacaran pada Perempuan Dewasa Awal.
2. Variabel Bebas (independent variabel/X) : Asertivitas.
C. Definisi Operasional Variabel Penelitian
1. Kekerasan dalam Berpacaran adalah suatu tindakan yang mempunyai
unsur pemaksaan, menghancurkan, mendominasi, mengendalikan, baik
secara fisik, psikologis, ataupun gabungan-gabungannya. Kekerasan
dalam berpacaran diungkap melalui skala kekerasan dalam berpacaran.
Skala tersebut terdiri dari bentuk-bentuk kekerasan dalam berpacaran
berupa kekerasan fisik, kekerasan psikologis, kekerasan ekonomi,
kekerasan seksual, dan kekerasan sosial. Semakin tinggi skor yang
demikian juga sebaliknya.
2. Asertivitas adalah kemampuan seseorang untuk bersikap tegas dan
berani dalam mempertahankan hak-haknya, mengekspresikan perasaan,
pikiran, serta kepercayaannya secara langsung, jujur, dan tanpa
menganggu hak orang lain. Asertivitas ini diukur melalui skala
asertivitas yang terdiri dari ciri-ciri asertivitas yang meliputi
mempromosikan kesetaraan hubungan manusia, bertindak dalam
kepentingan sendiri, membela diri, mengekspresikan perasaan dengan
jujur dan nyaman, melaksanakan hak-hak pribadi, dan tidak
mengingkari hak orang lain. Semakin tinggi skor yang diperoleh maka
semakin tinggi asertivitas, demikian juga sebaliknya.
D. Subjek Penelitian
Subjek pada penelitian ini dibatasi pada subjek yang memiliki
karakteristik yang sama dengan rancangan penelitian. Oleh karena itu,
penelitian ini menggunakan teknik pengambilan sampel purposive sampling karena pengambilan sampel berdasarkan keperluan penelitian (Purwanto, 2007).Teknik ini sengaja memilih populasi berdasarkan
pertimbangan tertentu.
Pada penelitian ini, subjek penelitian adalah perempuan yang
berada pada masa dewasa awal yaitu memiliki usia sekitar 18 tahun
E. Metode Pengumpulan Data 1. Skala Asertivitas
Skala asertivitas disusun berdasarkan ciri-ciri asertivitas yaitu
mempromosikan kesetaraan hubungan manusia, bertindak dalam
kepentingan sendiri, membela diri, mengekspresikan perasaan dengan
jujur dan nyaman, melaksanakan hak-hak pribadi, dan tidak
mengingkari hak orang lain. Skala ini menggunakan model skala
Likert yang terdiri dari item yang mencakup item favourable dan item
unfavourable, serta disusun secara acak. Item favourable yaitu item yang mempunyai nilai positif atau sesuai dengan pernyataan,
sedangkan item yang unfavourable yaitu item yang bertentangan dengan pernyataan yang sebenarnya.
Alternatif pilihan jawaban dalam Skala Asertivitas yang digunakan
dalam penelitian ini dibedakan menjadi empat yaitu :
a. SS : Jawaban yang menyatakan bahwa subjek “sangat sesuai”
dengan pernyataan yang diajukan.
b. S : Jawaban yang menyatakan bahwa subjek “sesuai” dengan
pernyataan yang diajukan.
c. TS : Jawaban yang menyatakan bahwa subjek “tidak sesuai”
dengan pernyataan yang diajukan.
d. STS : Jawaban yang menyatakan bahwa subjek “sangat tidak
Sistem penilaian Skala Asertivitas bergerak dari satu sampai
empat. Pernyataan yang tergolong favourable atau positif, subjek akan memperoleh skor 4 jika menjawab sangat sesuai (SS), nilai 3 jika
menjawab sesuai (S), nilai 2 jika menjawab tidak sesuai (TS), dan
nilai 1 jika menjawab sangat tidak sesuai (STS). Pernyatan yang
tergolong unfavourable atau negatif, subjek akan memperoleh skor 4 jika menjawab sangat tidak sesuai (STS), nilai 3 jika menjawab tidak
sesuai (TS), nilai 2 jika menjawab sesuai (S), dan nilai 1 jika
menjawab sangat sesuai (SS). Sebaran item skala asertivitas dapat
dilihat pada tabel 2.1
Tabel 2.1 Sebaran Nomor Item Skala Asertivitas (sebelum Uji Coba)
Ciri-ciri Asertivitas
Favorable Unfavorable Total Mempromosikan
kesetaraan hubungan manusia
1, 16 9, 19 4 (10,5 %)
Bertindak dalam kepentingan sendiri
17, 18, 23, 27
2, 3, 20, 32 8 (21,1 %)
Membela diri 6, 22 5, 33 4 (10,5 %)
Mengekspresi-kan perasaan dengan jujur dan nyaman
4, 21, 36, 37 8, 25, 30, 38 8 (21,1 %)
Melaksanakan hak-hak pribadi
7, 24, 28, 34 10, 11, 14, 29 8 (21,1 %)
Tidak
mengingkari hak orang lain
13, 31, 35 12, 15, 26 6 (15,8 %)
2. Skala Kekerasan dalam Berpacaran
Skala kekerasan dalam berpacaran disusun berdasarkan
bentuk-bentuk kekerasan dalam berpacaran yang meliputi :
a. Kekerasan fisik, seperti diancam dengan benda tajam, dipukul,
diancam melakukan pemerasan, disekap di kamar kost, dirantai,
disundut dengan rokok, ditendang.
b. Kekerasan psikologis, seperti diancam, dipermalukan, dicaci maki,
difitnah, dicemburui, diintimidasi, diingkari janji, dibohongi
c. Kekerasan ekonomi, seperti barang dipinjam tidak dikembalikan,
diekpoitasi ekonomi, dimanfaatkan, dimintai uang secara paksa,
diperas.
d. Kekerasan seksual, seperti diajak berhubungan sex, dilecehkan,
dipaksa aborsi, diperkosa.
e. Kekerasan sosial, seperti diisolasi dari teman-teman lainnya,
dilarang bergaul dengan laki-laki selain dirinya.
Skala ini menggunakan model skala Likert yang akan disajikan menjadi dua kelompok item (pernyataan), yaitu item favourable dan item unfavourable, serta disusun secara acak. Item favourable yaitu item yang mempunyai nilai positif atau sesuai dengan pernyataan,
Alternatif pilihan jawaban dalam skala kekera