• Tidak ada hasil yang ditemukan

Hubungan asertivitas dengan kekerasan dalam berpacaran pada perempuan dewasa awal

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Hubungan asertivitas dengan kekerasan dalam berpacaran pada perempuan dewasa awal"

Copied!
139
0
0

Teks penuh

(1)

HUBUNGAN ASERTIVITAS DENGAN KEKERASAN DALAM

BERPACARAN PADA PEREMPUAN DEWASA AWAL

SKRIPSI

Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Psikologi

Program Studi Psikologi

Disusun oleh : Christi Indriya

099114047

PROGRAM STUDI PSIKOLOGI JURUSAN PSIKOLOGI FAKULTAS PSIKOLOGI

UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA

(2)

ii

Karya ini aku persembahkan untuk :

Tuhan Yesus Kristus, yang selalu menjadi sumber kekuatan dan harapan

Papa, Mama, mbak Wita, dan dek Nanda yang selalu mendoakan dan

mendukung setiap langkahku

Mas Bayu Ugro yang selalu setia menemani dan menjadi penyemangat dan

penghiburku

Yanti, Keket, Deta, Stenny, Dita, dan teman-teman yang selalu memberikan

(3)
(4)

iv

Karya ini aku persembahkan untuk :

❤ Tuhan Yesus Kristus, yang selalu menjadi sumber kekuatan dan harapan ❤ Papa, Mama, mbak Wita, dan dek Nanda yang selalu mendoakan dan

mendukung setiap langkahku

❤ Mas Bayu Ugro yang selalu setia menemani dan menjadi penyemangat dan

penghiburku

❤ Yanti, Keket, Deta, Stenny, Dita, dan teman-teman yang selalu memberikan

(5)

v

HALAMAN MOTTO

“SETIAP MASALAH PASTI ADA SOLUSINYA” (BAYU UGRO)

Tuhan mengulurkan tangan-Nya untuk menolong mereka yang telah berusaha keras.

(Aeschylus)

Terkadang, pelajaran terbaik tentang kehidupan datang saat

kondisi terburuk dalam hidupmu..

(Anonim)

Bagian kita adalah melakukan kehendak Allah, dan bagian Allah dalah

mengurus kita. Karenanya kita seharusnya tidak pernah takut pada apa

pun.

(MacDonald)

Pengharapan itu tidak pasif, tetapi merupakan suatu sikap yang aktif

(Ziglar)

Tuhan memberikan makanan kepada setiap burung, tetapi Dia tidak

melemparkan makanan itu kedalam sarangnya

(6)

vi

HALAMAN PERNYATAAN KEASLIAN KARYA

Saya menyatakan dengan sesungguhnya bahwa skripsi yang saya tulis ini

tidak memuat karya atau bagian karya orang lain, kecuali yang telah disebutkan

dalam kutipan dan daftar pustaka, sebagaimana layaknya karya ilmiah.

Yogyakarta, 24 Januari 2014

Penulis,

(7)

vii

HUBUNGAN ASERTIVITAS DENGAN KEKERASAN DALAM BERPACARAN PADA PEREMPUAN DEWASA AWAL

Christi Indriya

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara asertivitas dengan kekerasan dalam berpacaran yang dialami perempuan dewasa awal. Hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini adalah ada hubungan negatif antara asertivitas dengan kekerasan dalam berpacaran yang dialami perempuan dewasa awal. Subjek penelitian ini adalah 66 perempuan dewasa awal dengan menggunakan teknik purposive sampling.Pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah skala asertivitas dan skala kekerasan dalam berpacaran. Koefisien reliabilitas pada skala asertivitas sebesar 0,741 dan skala kekerasan dalam berpacaran sebesar 0,895. Data hasil penelitian dianalisis dengan menggunakan teknik korelasi Product Moment dari Carl Pearson, hasilnya menunjukkan bahwa ada hubungan negatif antara asertivitas dan kekerasan dalam berpacaran pada perempuan dewasa awal dengan koefisien korelasi yang bernilai -0,412 (p>0,01). Nilai koefisien korelasi yang negatif mempunyai arti adanya hubungan yang negatif dan signifikan antara asertivitas dan kekerasan dalam berpacaran. Selain itu, hasil tersebut juga menunjukkan bahwa hipotesis awal penelitian ini diterima yaitu ada hubungan negatif antara asertivitas dan kekerasan dalam berpacaran yang dialami perempuan dewasa awal.

(8)

viii

THE RELATION BETWEEN ASSERTIVENESS AND DATING VIOLENCE OF EARLY ADULT WOMEN

Christi Indriya

ABSTRACT

This objective of this reserach was to find out the correlation between assertiveness and dating violence of young women. The hypothesis proposed in this reserach is there is a negative correlation between assertiveness and dating violence of young women. The subject of this research are 66 young women that acquired by purposive sampling technique. The method of data collection in this research are assertiveness scale and dating violence scale. The reliability coefficient of assertiveness scale is 0,741 and reliability coefficient dating violence scale is 0, 895. The data was analyzed by using correlational Product Moment technique, and the result showed that there was a negative correlation between assertiveness and dating violence of young women can be seen from in the amount of -0,412 (p< 0,01). This indicates that there is a negative and significant relationship between assertiveness and dating violence. In addition, this result also indicate that the initial hypothesis of this study accepted that there is a negative relationship between assertiveness and dating violence of young women.

(9)

ix

LEMBAR PERNYATAAN PERSETUJUAN

PUBLIKASI KARYA ILMIAH UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS

Yang bertanda tangan di bawah ini, saya mahasiswa Universitas Sanata Dharma

Nama : Christi Indriya

Nomor Mahasiswa : 099114047

Demi pengembangan ilmu pengetahuan, saya memberikan kepada Perpustakaan

Universitas Sanata Dharma karya ilmiah saya yang berjudul :

Hubungan Asertivitas dengan Kekerasan dalam Berpacaran yang Dialami Perempuan Dewasa Awal

Beserta perangkat yang diperlukan (bila ada). Dengan demikian saya memberikan

kepada Perpustakaan Universitas Sanata Dharma hak untuk menyimpan,

mengalihkan dalam bentuk media lain, mengelolanya di internet atau media lain

untuk kepentingan akademis tanpa perlu meminta ijin dari saya maupun

memberikan royaliti kepada saya selama tetap mencantumkan nama saya sebagai

penulis.

Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya

Dibuat di Yogyakarta

Pada tanggal : 24 Januari 2014

Yang menyatakan,

(10)

x

KATA PENGANTAR

Puji Syukur bagi Tuhan Yesus Kristus atas segala berkat dan kasih-Nya

sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan baik. Penulis menyadari

bahwa skripsi ini dapat terselesaikan atas bantuan berbagai pihak, oleh karena itu

dengan segala kerendahan hati, penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada :

1. Tuhan Yesus Kristus, yang selalu memberi kekuatan serta pengaharapan

saat semua terasa berat.

2. Bapak C. Siswa Widyatmoko, M.Psi., selaku Dekan Fakultas Psikologi

Universitas Sanata Dharma Yogyakarta.

3. Ibu Ratri Sunar Astuti, M.Si selaku dosen pembimbing skripsi dan Kaprodi

Psikologi Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma.

4. Ibu MM. Nimas Eki S., M.Si., Psi dan Ibu Sylvia Carolina MYM., S.Psi.,

M.Si selaku dosen penguji skripsi.

5. Ibu Dr. Tjipto Susana, selaku dosen pembimbing akademik.

6. Rifka Annisa Women Crisis Center yang telah membantu dalam

menyediakan subjek penelitian serta berbagi info yang membantu proses

pengerjaan skripsi.

7. Segenap staf pengajar Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma yang

telah memberikan segala bekal ilmu pengetahuan mengenai dunia psikologi.

8. Segenap karyawan Fakultas Psikologi : Mbak Nanik, Mas Gandung & Pak

(11)

xi

9. Keluargaku tersayang, Papa, Mama, mbak Wita, dan dek Nanda yang selalu

mendoakan serta memberi dukungan.

10. Bayu Ugro, terima kasih sudah setia menemaniku dalam proses skripsi ini,

sudah mendukung, menguatkanku, mendoakan, serta bantuan yang sangat

berharga untukku.

11. Sahabat-sahabatku, Keket, Deta, Yanty, Stenny, dan Dita, terima kasih

untuk dukungan, bantuan, doa kalian. Kehadiran kalian meringankan

langkahku untuk terus maju.

12. Lusy, Silvi, Chelia, Anggel, Asti, Anggit, dan teman-teman Psikologi

angkatan 2009, terima kasih atas segala bantuan dan semangat yang kalian

berikan.

13. Teman-teman yang telah bersedia mengisi angket penelitian. Terima kasih

atas partisipasi dan kerja sama yang baik sehingga pengambilan data

penelitian ini dapat berjalan lancar.

14. Semua pihak yang tanpa sengaja belum penulis sebut di sini, terima kasih

atas segala bantuan yang telah diberikan.

Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari sempurna.Oleh karena

itu, penulis sangat berterimakasih atas semua masukan baik berupa saran maupun

kritis yang dapat membangun.Akhir kata, penulis berharap semoga skripsi ini

dapat berguna bagi semua pihak.

Yogyakarta, 24 Januari 2014

Penulis,

(12)

xii

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ... i

HALAMAN PERSETUJUAN DOSEN PEMBIMBING ... ii

HALAMAN PENGESAHAN ... iii

HALAMAN MOTTO DAN PERSEMBAHAN ... iv

HALAMAN PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ... vi

ABSTRAK ... vii

ABSTRACT... viii

HALAMAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH ... ix

KATA PENGANTAR ... x

DAFTAR ISI ... xii

DAFTAR TABEL ... xvi

DAFTAR LAMPIRAN ... xvii

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Rumusan Masalah ... 12

C. Tujuan Penelitian ... 12

D. Manfaat Penelitian... 12

1. Manfaat Teoritis ... 12

(13)

xiii

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ... 14

A. Kekerasan dalam Berpacaran ... 14

1. Pengertian ... 14

2. Bentuk-bentuk Kekerasan dalam Berpacaran ... 15

3. Dampak Kekerasan dalam Berpacaran ... 18

4. Faktor yang Mempengaruhi Kekerasan dalam Berpacaran ... 19

B. Asertivitas ... 23

1. Pengertian ... 23

2. Ciri-ciri Orang Asertif ... 25

3. Manfaat Asertivitas ... 29

C. Dewasa Awal ... 31

1. Pengertian dan Batasan Usia Dewasa Awal ... 31

2. Tugas Perkembangan Dewasa Awal ... 32

D. Hubungan antara Asertivitas dengan Kekerasan dalam Berpacaran yang Dialami Perempuan Dewasa Awal ... 33

E. Hipotesis ... 36

BAB III METODOLOGI PENELITIAN ... 37

A. Jenis Penelitian ... 37

B. Identifikasi Variabel Penelitian ... 37

C. Definisi Operasional Variabel Penelitian ... 37

D. Subjek Penelitian ... 38

E. Metode Pengumpulan Data ... 39

(14)

xiv

2. Skala Kekerasan dalam Berpacaran ... 41

F. Validitas dan Reliabilitas Alat Ukur ... 43

1. Validitas ... 43

2. Seleksi Item ... 44

3. Reliabilitas ... 49

G. Metode Analisis Data ... 49

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ... 51

A. Pelaksanaan Penelitian ... 51

1. Persiapan ... 51

2. Pengambilan Data ... 52

B. Deskripsi Subjek ... 52

C. Uji Asumsi ... 53

1. Uji Normalitas ... 53

2. Uji Linearitas ... 54

D. Hasil Penelitian ... 55

1. Uji Hipotesis... 55

2. Kategorisasi Tingkat Asertivitas dan Kekerasan dalam Berpacaran yang Dialami Perempuan Dewasa Awal ... 57

3. Gambaran Proporsi Bentuk Kekerasan dalam Berpacaran ... 59

4. Gambaran Hubungan antara Asertivitas dengan Kekerasan dalam Berpacaran dilihat dari bentuk-bentuk kekerasan dalam berpacaran ... 59

(15)

xv

BAB V PENUTUP... 65

A. Kesimpulan ... 65

B. Saran ... 65

1. Bagi Perempuan Dewasa Awal ... 65

2. Bagi Penelitian Selanjutnya ... 66

DAFTAR PUSTAKA ... 67

(16)

xvi

DAFTAR TABEL

Tabel 1.1 Data Kasus Rifka Annisa 2009-2012 ... 3

Tabel 2.1 Sebaran Nomor Item Skala Asertivitas (sebelum Uji Coba) ... 40

Tabel 2.2 Sebaran Nomor Item Skala Kekerasan dalam Berpacaran (sebelum Uji Coba) ... 43

Tabel 3.1 Sebaran Nomor Item Valid dan Gugur Skala Asertivitas ... 45

Tabel 3.2 Sebaran Nomor Item Baru Skala Asertivitas ... 47

Tabel 3.3 Sebaran Nomor Item Valid dan Gugur Skala Kekerasan dalam Berpacaran ... 47

Tabel 3.4 Sebaran Nomor Item Baru Skala Kekerasan dalam Berpacaran. 49

Tabel 4.1 Deskripsi Usia Subjek Penelitian ... 53

Tabel 5.1 Deskripsi Status Subjek Penelitian ... 53

Tabel 6.1 Hasil Uji Normalitas ... 54

Tabel 6.2 Hasil Uji Linearitas ... 55

Tabel 6.3 Hasil Uji Korelasi ... 56

Tabel 6.4 Norma Kategorisasi ... 57

Tabel 6.5 Hasil Analisis Kategorisasi ... 57

Tabel 6.6 Hasil Kategorisasi Item Asertivitas ... 58

Tabel 6.7 Hasil Kategorisasi Item Kekerasan dalam Berpacaran ... 58

Tabel 6.8 Hasil Proporsi Bentuk Kekerasan dalam Berpacaran... 59

(17)

xvii

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1. Skala Asertivitas (Uji Coba)... 70

Lampiran 2. Skala Kekerasan dalam Berpacaran (Uji Coba) ... 77

Lampiran 3. Uji Reliabilitas Asertivitas (Uji Coba) ... 82

Lampiran 4. Uji Reliabilitas Kekerasan dalam Berpacaran (Uji Coba) ... 87

Lampiran 5. Skala Asertivitas ... 93

Lampiran 6. Skala Kekerasan dalam Berpacaran ... 100

Lampiran 7. Uji Reliabilitas Asertivitas ... 104

Lampiran 8. Uji Reliabilitas Kekerasan dalam Berpacaran ... 107

Lampiran 9. Uji Normalitas dan Uji Linearitas ... 110

Lampiran 10. Uji Korelasi Asertivitas dan Kekerasan dalam Berpacaran ... 113

Lampiran 11. Analisis Kategori Tingkat Asertivitas ... 115

Lampiran 12. Analisis Kategori Tingkat Kekerasan dalam Berpacaran ... 117

(18)

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Sepanjang kehidupan manusia, setiap individu akan melalui suatu

tahap perkembangan dan dihadapkan pada tugas perkembangan yang

berbeda. Pada masa dewasa awal, selain kondisi fisik yang berada pada

masa puncaknya, individu dewasa muda juga dianggap telah memiliki

kematangan psikologis (Mappiare, 1983). Dengan kematangan psikologis

ini, individu dianggap siap untuk menjalani tugas perkembangan

berikutnya, yaitu menjalin hubungan intim-akrab dengan orang lain, serta

siap mengembangkan daya-daya yang dibutuhkan untuk memenuhi

komitmen-komitmen. Nilai cinta muncul selama tahap perkembangan

keintiman (Hall & Lindzey, 1993). Pemenuhan tugas perkembangan ini

diwujudkan oleh sebagian besar individu melalui pernikahan dan

pengalaman menjadi orang tua. Sebelum melakukan pernikahan, individu

akan melalui hubungan pacaran. Hubungan ini juga dapat dikatakan

sebagai masa persiapan individu sebelum memilih dan menetapkan calon

pasangan hidupnya.

Knight (2004) mendefinisikan pacaran merupakan suatu hubungan

yang dijalani antara seorang pria dengan seorang wanita. Pada dasarnya,

berpacaran merupakan pengaturan atau perencanan khusus antara dua

(19)

berbagai tingkat tertentu. Masa berpacaran umumnya hanyalah

masapendahuluan sebelum pemilihan akhir teman hidup.Pada masa ini,

individu memperoleh pengalaman dalam berbagai aspek kehidupan.

Mereka akan saling mengerti, saling memperlihatkan watak

masing-masing, menunjukkan tipe kepribadian, dan mulai mengerti tipe-tipe tabiat

dasar. Menurut Wisnuwardani dan Mashoedi (2012) individu menilai

bahwa masa pacaran merupakan sarana dimana terdapat hubungan

persahabatan, mendapatkan dukungan emosional, kasih sayang,

kesenangan, dan eksplorasi seksual.

Pada masa berpacaran sering muncul berbagai masalah. Dua

individu dengan dua kebiasaan dan gaya hidup yang berbeda, akan

menimbulkan berbagai permasalahan dalam hubungan mereka. Setiap

individu memiliki cara yang berbeda dan unik dalam menghadapi dan

menyelesaikan masalah yang terjadi dalam masa pacaran. Ada individu

yang memilih cara kekerasan untuk menyelesaikan masalahnya. Pada

masa pacaran, hal ini dinamakan kekerasan dalam pacaran (Kekerasan

dalam Pacaran / KDP atau Dating Violance).

Kekerasan dalam Berpacaran bukan merupakan sesuatu yang baru

dalam dunia berpacaran. Data PKBI Yogyakarta mulai bulan Januari

hingga Juni 2001, terdapat 47 kasus kekerasan dalam pacaran, 57% di

antaranya adalah kekerasan emosional, 20% mengaku mengalami

kekerasan seksual, 15% mengalami kekerasan fisik, dan 8% lainnya

(20)

Berdasarkan catatan tahunan Komnas Perempuan pada 2010

seperti yang diberitakan pada harian Jogja (Kamis, 18 Agustus 2011),

setidaknya ada 105.103 kasus kekerasan terhadap perempuan yang

ditangani oleh 384 lembaga pengada layanan. Dari tiga ranah kasus,

jumlah terbanyak ada di ranah personal, yaitu 96 persen kasus atau

101.128 kasus, publik 3.530 kasus dan ranah negara 445 kasus. Secara

detil, di ranah personal, persoalan terbanyak ialah kekerasan dalam rumah

tangga atau sekitar 98.577 kasus, selebihnya 1.299 kasus adalah kekerasan

dalam berpacaran dan 600 kasus kekerasan terhadap anak perempuan.

Hal ini serupa dengan penelitian dari Rifka Annisa Women Crisis

Center yang dapat dilihat pada tabel di bawah ini:

Tabel 1.1 Data Kasus Rifka Annisa 2009 – 2012

Kategori Tahun Jumlah

2009 2010 2011 2012

KTI (Wife

Abuse) 203 226 219 226

874

KDP (Dating

Violence) 28 43 40 28 139 PERKOSAAN

(Rape) 28 31 43 29 131 PEL-SEKS

(Sexual Harassment)

17 10 35 9 71

KDK (Family

Violence) 6 10 9 11 36 Trafficking 1 1 1 0 3

LAIN-LAIN*** 2 - - - 2

TOTAL

(21)

Berdasarkan tabel dapat dilihat bahwa kekerasan dalam

berpacaran menempati urutan kedua setelah kekerasan dalam rumah

tangga.Hal ini menunjukkan bahwa kekerasan dalam berpacaran

merupakan hal yang cenderung banyak terjadi di dalam relasi berpacaran.

Beberapa kejadian kekerasan dalam berpacaran yang diungkap

Lembaga Pratista Indonesia Bogor (dalam Alvita, 2007) yang bergerak di

bidang perlindungan terhadap anak dan perempuan dari tindak kekerasan

menemukan beberapa kasus tindak kekerasan dalam berpacaran yang

terjadi di kota Bogor yang masuk melalui hot line service yaitu pada usia 17 sampai 25 tahun, kasus-kasus kekerasan yang terjadi adalah seks pra

nikah sampai hamil, pacar meninggalkannya, kekerasan seksual dengan

bujukan (janji akan menikahi), kekerasan fisik (pemukulan), kekerasan

psikis (dimarah-marahi, dilecehkan, dibanding-bandingkan dengan pelacur,

pembatasan ruang gerak bergaul, dimarah-marahi, diancam, tidak boleh

putus), dan kekerasan ekonomi (dimintai uang untuk kebutuhan pelaku).

Berdasarkan data-data yang telah disebutkan, hal ini menunjukkan bahwa

kekerasan dalam berpacaran merupakan hal yang cukup mengkhawatirkan

dan merugikan bagi para perempuan.

Menurut Ferlita (2008), kekerasan dalam berpacaran adalah

perilaku atau tindakan seseorang dalam percintaan (pacaran) bila salah

satu pihak merasa terpaksa, tersinggung, dan disakiti dengan apa yang

telah dilakukan pasangannya. Asumsi tersebut didukung oleh Offenhauer

(22)

sebagai pola perilaku yang kasar dan kejam oleh pasangan yang digunakan

untuk mengontrol orang lain.

Kekerasan dalam berpacaran meliputi kekerasan fisik, kekerasan

psikologis/emosional atau kekerasan verbal, dan kekerasan seksual.

Contoh kekerasan fisik dalam berpacaran adalah mencakar, menampar,

mendorong, membanting atau menahan seseorang di dinding, menggigit,

mencekik, membakar, memukul seseorang, dan penganiayaan dengan

kekerasan. Kekerasan psikologis/ emosional/ verbal, mencakup menghina,

mengkritik, memalukan di depan teman-teman, atau memaki-maki

pasangan, mengancam bunuh diri, mengabaikan pasangan, atau

mengancam putus. Bentuk umum lainnya adalah perilaku yang merusak

harga diri dan kemandirian pasangan, misalnya mencoba untuk

mengisolasi pasangan dari keluarga, teman, atau dukungan sosial,

menguntit dan memantau pasangan secara berlebihan. Ketiga adalah

pelecehan seksual. Pelecehan seksual antara pasangan dapat melibatkan

pemerkosaan, percobaan pemerkosaan, dan bentuk-bentuk pemaksaan

seksual termasuk menggagalkan kehamilan. Tekanan untuk melakukan

hubungan seksual juga merupakan bentuk pelecehan seksual.(Offenhauer

dan Buchalter, 2011).

Menurut Rennision dan Welchans (2000)dalam U.S. Department of Justice, kekerasan dalam berpacaran banyak dialami perempuan pada rentang usia 16-24 tahun. Seperti diberitakan pada Harian Joglosemar

(23)

dan HAM (LRC KJHAM) Semarang menerima empat laporan kasus

kekerasan dalam berpacaran selama Januari-September 2006 dengan

korban berjenis kelamin perempuan yang melapor berusia 16-27 tahun

dengan tingkat pendidikan SMA hingga sarjana. Hal ini menunjukkan

bahwa mahasiswa dan pelajar menduduki peringkat tertinggi sebagai

pelaku dan/atau korban kekerasan dalam berpacaran.

Korban pada kasus di atas termasuk masa dewasa awal. Valliant

(dalam Papalia, Old & Feldman, 2008) mengatakan bahwa masa dewasa

awal ini merupakan masa adaptasi dengan kehidupan, sekitar usia 20

sampai 30 tahun. Erikson (dalam Papalia, Old & Feldman, 2008)

menyebut tahap ini sebagai tahap Intimacy vs Isolation. Pada tahap ini, individu menjalin hubungan yang intim dengan orang lain. Hal ini serupa

dengan yang dijelaskan oleh Santrock (1995) dimana tugas perkembangan

dewasa awal menurut Erikson adalah membentuk relasi yang intim dengan

orang lain. Aspek yang penting dari hubungan ini adalah komitmen

individu satu sama lain. Penelitian ini memilih kategori usia dewasa awal

karena pada tahap ini individu dihadapkan pada tugas perkembangan yaitu

membangun relasi intim. Individu dewasa awal mendambakan

hubungan-hubungan yang intim-akrab serta siap mengembangkan daya-daya yang

dibutuhkan untuk memenuhi komitmen-komitmen meskipun memerlukan

suatu pengorbanan (Hall & Lindzey, 1993).

Kekerasan dalam berpacaran dapat dicegah dengan dimulai dari

(24)

ini harus dipahami oleh perempuan yang sedang dimabuk cinta ketika

masih pacaran. Saling menyepakati untuk membina hubungan yang sehat

sejak awal pacaran dan mengutarakan harapan akan masa depan

masing. Saling terbuka membicarakan risiko yang ditanggung

masing-masing pihak, apabila batasan-batasan tersebut dilanggar. Selanjutnya,

memahami bahwa mereka berhak atas badan mereka, tidak ada yang boleh

menyakiti tak terkecuali pasangan. Berani berkata tidak jika pasangan

memaksakan berbagai bentuk tindak kekerasan dengan disertai argumen

yang dapat diterima oleh pasangan. Tidak memaksakan diri sendiri untuk

menyenangkan pasangan apabila hal tersebut tidak kita kehendaki (Annisa,

2012).

Faktor-faktor ini berkaitan erat dengan kemampuan individu

dalam mengungkapkan perasaan, pikiran, kebutuhan yang dimiliki secara

jujur tanpa merugikan orang lain dan diri sendiri (asertif). Hal ini didukung

oleh pernyataan Nelson-Jones (dalam Uyun, 2004) yang menyatakan

bahwa asertivitas dapat membuat pasangan menjadi saling terbuka,

sehingga dapat mengungkapkan apa yang dipikirkan dan dirasakannya

tanpa rasa bersalah. Keterbukaan dapat meningkatkan kemampuan

individu untuk mengatasi masalah, serta terhindar dari prasangka yang

sering menyebabkan konflik.

Menurut Stein dan Book (2004), sikap asertif berarti kemampuan

untuk berkomunikasi dengan jelas, spesifik, dan tidak berbelit-belit,

(25)

sesuai dengan situasi yang ada. Sikap asertif meliputi tiga komponen

dasar yaitu kemampuan untuk dapat mengungkapkan perasaan secara

tepat, kemampuan untuk mengungkapkan keyakinan dan pemikiran secara

terbuka, dan kemampuan untuk dapat mempertahankan hak-hak

pribadi.Dengan demikian, orang yang asertif bukan pemalu melainkan

mereka dapat mengungkapkan perasaannya (biasanya secara langsung)

tanpa bertindak agresif ataupun melecehkan.

Menurut Kanfer dan Goldstain (Santosa, 1999) orang yang asertif

akan menguasai atau dapat mengendalikan diri sesuai dengan situasi yang

ada, dapat memberikan respon dengan wajar pada hal-hal yang disukai,

dan dapat menyatakan kasih sayang dan cintanya. Dengan demikian

perempuan yang asertif akan dapat mengungkapkan kebutuhan dan

perasaannya jika ia merasa tertekan secara wajar sesuai situasi dengan

tetap mempertahankan dan mengakomodasikan kepentingan pasangannya.

Sebaliknya, perempuan yang tidak asertif tidak memiliki keterampilan

komunikasi yang membuatnya mampu menegosiasikan kepentingannya,

maka tanpa disadari ia telah menjadi korban kekerasan karena

kegagalannya menyatakan pikiran dan kebutuhannya secara terus terang

dan telah memberi peluang pada orang lain untuk tidak menghargainya.

Hal tersebut sama halnya dengan membiarkan diri mereka disakiti secara

fisik, emosi, maupun sosial.

Penelitian yang dilakukan oleh Ekawati (2008) dengan Diskusi

(26)

seringkali terdapat kebingungan pada siswi dalam menghadapi kondisi

hubungan dengan lawan jenisnya.Para siswi ini seringkali merasa kesulitan

jika pasangannya meminta maupun mengajak mereka pacaran di tempat

yang sepi sehingga hanya ada mereka berdua, memegang tangan maupun

memeluk ketika sedang berdua. Di satu sisi, mereka merasa hal tersebut

wajar dilakukan orang yang sedang pacaran namun di sisi lain sebenarnya

mereka juga takut dan terkadang merasa tidak nyaman, tetapi mereka tidak

berani menolak karena takut hubungan mereka akan bermasalah, putus,

dan takut kehilangan orang yang dicintai. Salah satu siswi mengungkapkan

bahwa ia bahkan tidak pernah berani menolak apapun yang diinginkan

pasangannya karena memang sudah lama ia menyukai pasangannya

tersebut dan ia bersedia melakukan apa saja asal pasangannya selalu

mencintainya dan tidak berpaling pada orang lain.

Contoh kasus lain yaitu berdasarkan wawancara terhadap salah

satu mahasiswi korban KDP yang berusia 21 tahun yang dilakukan Jessica

(2007), menemukan bahwa subjek memiliki harga diri yang rendah.

Subjek merasa tidak berharga, minder ketika melihat teman-temannya

bahagia bersama pacar mereka, dan merasa dirinya dianggap seperti

barang atau seperti sampah oleh pacarnya. Subjek merasa tidak dapat

membuat orang lain bahagia. Selain itu, subjek juga merasa tertekan

karena mendapat banyak larangan dari pacarnya.Salah satu larangan dari

pacarnya adalah subjek dilarang pergi bersama teman-teman subjek.

(27)

mereka mempunyai pacar, dan mereka tidak pergi ke tempat-tempat yang

jauh, hanya sebatas dalam kota.

Pada kategori usia yang berbeda, contoh kasus lain yaitu

berdasarkan wawancara yang dilakukan oleh Samsi (2012) kepada siswa

SMK N 1 Depok yaitu Aya (nama samaran), merasa sungkan untuk

mengungkapkan penolakan ajakan pacar ketika Aya sedang sibuk

mengerjakan tugas dari sekolah. Sehingga Aya lebih memilih untuk

menuruti keinginan pacar dan tugas sekolah sering terabaikan. Begitu juga

dengan Ani (nama samaran), mengungkapkan bahwa ia merasa kesulitan

untuk mengungkapkan hak-haknya untuk dapat bersosialisasi dengan

lawan jenisnya, karena larangan pacarnya. Ani merasa terkekang dengan

sikap pacarnya yang posesif.Ani ingin mengungkapkan pikiran-pikirannya

tersebut tanpa harus kehilangan pacar.

Hal ini sesuai dengan yang diungkapkan oleh Arsitasari, dkk

(2006) yang mengatakan bahwa superioritas kaum laki-laki menjadikan

kaum perempuan selalu dalam posisi yang lemah dan tidak

berdaya.Ketidakberdayaan dalam diri kaum perempuan ini dapat memicu

berbagai perasaan negatif, seperti inferior, tergantung, pasrah, tidak kreatif, kurang inisiatif, dan mengalami ketakutan.Sedikitnya jumlah laporan ke

pihak yang berwenang (polisi) bahwa telah terjadi tindakan kriminal yang

telah dilakukan suami atau pacar karena melakukan kekerasan, merupakan

salah satu bukti kuat bahwa kaum perempuan masih terbelenggu oleh

(28)

mampu untuk berkata dan bertindak secara asertif, yakni menolak

diperlakukan keras dan kasar karena terdapat perasaan takut akan ditinggal

atau diceraikan oleh pasangannya.

Kekerasan dalam berpacaran masih belum begitu mendapat

perhatian jika dibandingkan dengan kekerasan dalam rumah tangga

sehingga terkadang masih diabaikan oleh korban dan pelakunya (Annisa,

2012). Selain itu, seperti pada kasus Kekerasan dalam Rumah Tangga,

korban kekerasan dalam berpacaran masih beranggapan jika melapor pada

orang lain seperti keluarga atau polisi maka akan membuat aib dan mereka

beranggapan bahwa ini adalah urusan intern dalam hubungan mereka

sehingga mereka cenderung untuk menutup-nutupi (Prastyowati, 2003).

Penelitian lain yang pernah menghubungkan kekerasan dalam

berpacaran dan asertivitas sebagian besarhanya melihat hubungan antara

asertvitas dengan kekerasan dalam berpacaran secara umum seperti yang

dilakukan oleh Prihatantrista (2010) tetapi tidak melihat bagaimana

hubungan asertivitas terhadap bentuk-bentuk kekerasan dalam berpacaran

secara spesifik. Penelitian ini bermaksud untuk melihat hubungan tersebut.

Berdasarkan bukti dan penjelasan di atas, peneliti tertarik untuk

meneliti lebih dalam tentang “Hubungan Asertivitas dengan Kekerasan

dalam Berpacaran pada Perempuan Dewasa Awal”. Penelitian ini

merupakan suatu tahapan proses yang dilakukan untuk menyelidiki suatu

fenomena hubungan antara asertivitas dengan kekerasan dalam berpacaran

(29)

B. Rumusan Masalah

Apakah ada hubungan antara asertivitas dengan kekerasan dalam

berpacaran pada perempuan dewasa awal

C. Tujuan Penelitian

Untuk mengetahui hubungan antara asertivitas dengan kekerasan

dalam berpacaran pada perempuan dewasa awal.

D. Manfaat Penelitian 1. Manfaat Teoritis

Secara teoritis penelitian ini diharapkan dapat memberikan

sumbangan yang berguna bagi Psikologi Perkembangan khususnya

mengenai manfaat asertivitas dalam hubungan berpacaran guna

mencegah terjadinya kekerasan baik secara fisik, psikologis, maupun

seksual yang dialami perempuan dewasa awal.

2. Manfaat Praktis.

a. Bagi Kaum Perempuan Dewasa Awal

Penelitian ini diharapkan bermanfaat bagi perempuan

dewasa awal agar dapat menyadari pentingnya perilaku asertif

dalam berbagai bidang termasuk dalam hubungan relasi-intim

dengan pasangan sehingga perempuan dapat lebih menghargai diri

sendiri serta dapat bersikap tegas menolak berbagai bentuk

(30)

b. Bagi Masyarakat

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan bagi

masyarakat umum agar dapat lebih peduli dalam hubungan pacaran

yang rentan akan terjadinya kekerasan sehingga masalah ini dapat

(31)

14

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Kekerasan dalam Berpacaran 1. Pengertian

Kekerasan dalam berpacaran adalah perilaku atau tindakan

seseorang dalam percintaan (pacaran) bila salah satu pihak merasa

terpaksa, tersinggung, dan disakiti dengan apa yang telah dilakukan

pasangannya Ferlita (2008). Asumsi tersebut didukung oleh

Offenhauer dan Buchalter (2011) menggambarkan kekerasan dalam

berpacaran sebagai pola perilaku yang kasar dan kejam oleh pasangan

yang digunakan untuk mengontrol orang lain. Peneliti tidak

menemukan adanya perbedaan teori Kekerasan dalam berpacaran

antara remaja dan dewasa awal baik berupa definisi, bentuk, dampak,

maupun manfaat.

Sedangkan menurut Abbot (dalam Ferlita, 2008), kekerasan

dalam berpacaran merupakan segala bentuk tindakan yang

mempunyai unsur pemaksaan, tekanan, perusakan, dan pelecehan fisik

maupun psikologis yang terjadi dalam hubungan pacaran. Hal ini

dapat dilakukan oleh pria maupun wanita, bahkan pada pasangan

sejenis seperti gay atau lesbi

Mengacu pada uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa kekerasan

(32)

pasangan yang belum menikah dan mempunyai unsur perilaku yang

kasar dan kejam yang digunakan untuk mengontrol.

2. Bentuk-bentuk Kekerasan dalam Berpacaran

Menurut Andari (2005), kekerasan dalam berpacaran dapat

berbentuk :

a. Kekerasan emosional : diancam, dipermalukan, dicaci maki,

difitnah, dicemburui, diintimidasi, diingkari janji, dibohongi.

b. Kekerasan fisik : diancam dengan benda tajam, dipukul, diancam

melakukan pemerasan, disekap di kamar kost, dirantai, disundut

dengan rokok, ditendang.

c. Kekerasan ekonomi : barang dipinjam tidak dikembalikan,

diekpoitasi ekonomi, dimanfaatkan, dimintai uang secara paksa,

diperas.

d. Kekerasan sosial : diisolasi dari teman-teman lainnya, dilarang

bergaul dengan laki-laki selain dirinya.

e. Kekerasan seksual : diajak berhubungan sex, dilecehkan, dipaksa

aborsi, diperkosa.

Menurut Offenhauer dan Buchalter (2011), kekerasan dalam

berpacaran meliputi kekerasan fisik, kekerasan psikologis/emosional

atau kekerasan verbal, dan kekerasan seksual, contohnya :

a. Kekerasan fisik adalah mencakar, menampar, mendorong,

(33)

mencekik, membakar, memukul seseorang, dan penganiayaan

dengan kekerasan. Kekerasan secara fisik ini dapat terbagi menjadi

bentuk ringan, sedang, dan berat berdasarkan cedera yang

didapatkan oleh korban.

b. Kekerasan psikologis/ emosional/ verbal, mencakup menghina,

mengkritik, memalukan di depan teman-teman, atau memaki-maki

pasangan. Selanjutnya, pelecehan psikologis meliputi manipulasi

emosional, misalnya mengancam bunuh diri, mengabaikan

pasangan, atau mengancam putus. Bentuk umum lainnya adalah

perilaku yang merusak harga diri dan kemandirian pasangan,

misalnya mencoba untuk mengisolasi pasangan dari keluarga,

teman, atau dukungan sosial, dan mencoba untuk membuat

pasangan merasa “gila” dengan terus mempertanyakan keputusan

pasangan. Agresi dalam hubungan berpacaran seperti berusaha

merusak hubungan pasangan dengan teman-teman dengan

menyebarkan desas-desus palsu atau dengan mengungkapkan

informasi atau gambar yang bersifat pribadi. Pelecehan psikologis

mencakup menguntit dan memantau pasangan secara berlebihan,

serta memata-matai interaksi pasangan dengan orang lain atau

bersikeras bahwa pasangan harus selalu memperhatikan

keberadaannya.

c. Pelecehan seksual antara pasangan dapat melibatkan pemerkosaan,

(34)

termasuk mengagalkan kehamilan. Tekanan untuk melakukan

hubungan seksual juga merupakan bentuk pelecehan seksual.

Selanjutnya, tindakan-tindakan lain yang juga dapat termasuk

dalam definisi pelecehan seksual, sejauh "setiap tindakan yang

mengarah ke hubungan seksual dapat diklasifikasikan sebagai

pelecehan seksual jika tanpa izin, sakit, atau tidak dilindungi

dilakukan dengan cara merendahkan.”

Menurut Annisa (2012) kekerasan yang terjadi dalam relasi

personal perempuan ini biasanya terdiri dari beberapa jenis, misalnya

serangan terhadap fisik, mental/psikis, ekonomi dan seksual.

a. Segi fisik, yang dilakukan seperti memukul, menampar,

menendang, mendorong, mencekram dengan keras pada tubuh

pasangan dan serangkaian tindakan fisik lain.

b. Kekerasan terhadap mental seseorang biasanya seperti mengancam,

memanggil dengan sebutan yang memalukan psangan,

menjelek-jelekan, dan lainnya.

c. Kekerasan ekonomi seperti pasangan meminta pasangan untuk

mencukupi segala keperluan hidupnya (memanfaatkan pasangan).

d. Kekerasan seksual seperti memeluk, mencium, meraba hingga

memaksakan tindakan hubungan seksual dibawah paksaan dan

ancaman.

Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa

(35)

berpacaran meliputi kekerasan fisik, psikologis, seksual, sosial, dan

kekerasan ekonomi.Di dalam penelitian ini lebih memfokuskan pada

bentuk-bentuk kekerasan yang diungkapkan oleh Andari karena

bentuk kekerasan tersebut lebih spesifik pada konteks kekerasan

dalam berpacaran.

3. Dampak Kekerasan dalam Berpacaran

Andari (2005) mengemukakan dampak kekerasan yang diterima

perempuan dalam masa pacaran, yaitu:

a. Dampak fisik : cedera, memar, patah tangan, telinga berdenging,

bengkak, dan sering pusing.

b. Dampak psikis : cemas dan gelisah, depresi, insomia,

malu/tertekan, merasa terancam, minder, putus asa, ingin bunuh

diri, stress, dan takut.

Offenhauer dan Buchalter (2011) mengatakan korban kekerasan

dalam berpacaran dapat mengalami penurunan kesehatan mental post-traumatic stress, harga diri yang rendah, prestasi belajar menurun, dan menaikkan gangguan makan, dan penggunaan obat-obatan.Selain itu

dapat menyebabkan depresi dan perilaku beresiko yang lebih luas.

Dapat disimpulkan bahwa dampak berdampak secara fisik maupun

psikologis yang dapat mengganggu tugas kehidupan dan fungsi

(36)

4. Faktor yang Mempengaruhi Kekerasan dalam Berpacaran

Offenhauer dan Buchalter (2011) berpendapat terdapat beberapa

faktor yang dapat mempengaruhi terjadinya kekerasan dalam

berpacaran, diantaranya :

a. Faktor sosioekonomi dan demografi

Beberapa penelitian menemukan keadaan sosioekonomi

yang merugikan seperti apakah keluarga, sekolah, atau lingkungan

yang dapat menjadi faktor yang dapat meningkatkan kekerasan

dalam masa pacaran. Lingkungan yang banyak pengangguran,

permukiman yang miskin, keluarga yang single-parent, dan sebagainya. Selain itu, anak yang berasal dari desa dapat

meningkatkan resiko dalam kekerasan berpacaran dibandingkan

dengan daerah perkotaan.

b. Faktor kekerasan keluarga dan faktor lain dari keluarga

Faktor dari keluarga yang dapat menyebabkan terjadinya

kekerasan dalam berpacaran adalah adanya perlakuan orang tua

dengan hukuman fisik, bentuk disiplin dengan cara keras, atau

perlawanan dengan kekerasan terhadap anak dengan interaksi yang

membahayakan, dan anak menyaksikan kekerasan dalam keluarga

diantara orang tua. Hal ini didukung oleh pernyataan Lemme (1995)

yang menyatakan bahwa dengan memiliki pengalaman atau

(37)

perilaku agresif.Selain itu, hal ini serupa dikatakan oleh Dinastuti

(2008) dimana penyebab individu mengalami kekerasan dalam

berpacaran karena memiliki riwayat yang pernah mengalami

kekerasan semasa kecil. Mereka kurang memiliki keterampilan

untuk memulai dan mempertahankan hubungan yang sehat dengan

orang lain, termasuk dengan pasangan.

c. Faktor teman sebaya dan lingkungan

Pengaruh teman sebaya yang dapat menyebabkan

terjadinya kekerasan dalam berpacaran seperti perkelahian teman

sebaya atau keterlibatan teman sebaya dalam kekerasan berpacaran.

Penelitian menunjukkan bahwa memiliki teman dalam hubungan

kekerasan dapat menaikkan kemungkinan keterlibatan dalam agresi

berpacaran baik sebagai pelaku dan korban.

d. Faktor kepercayaan dan norma

Banyak bukti yang mengindikasikan bahwa memegang

kepercayaan tradisional mengenai peran jender dalam hubungan

pria dan perempuan merupakan faktor resiko dalam kekerasan

dalam berpacaran. Lebih khusus dalam budaya patriarkhi. Menurut

Arsitasari, dkk (2006) sistem budaya patriakhi yang sering

memperlakukan wanita dengan cara-cara kasar dan keras.

Perlakuan kurang manusiawi ini dimungkinkan dan dapat dipahami

karena kedudukan dan peran kaum wanita yang relatif lemah

(38)

diposisikan sebagai pelengkap atau subordinasi kaum

laki-laki.Oleh karena itu, wajib hukumnya bagi kaum wanita untuk

tunduk dan patuh terhadap kaum laki-laki

Patriarki secara harafiah berarti kekuasaan bapak atau

„patriakh (patriach)‟. Istilah patriarki ini digunakan secara lebih

umum untuk menyebut kekuasaan laki-laki, hubungan kuasa

dengan apa laki-laki menguasai perempuan, dan untuk menyebut

sistem yang membuat perempuan tetap dikuasai melalui

bermacam-macam cara (Bhasin dalam Hermawati, 1996). Budaya

pada masyarakat secara umum tidak memberikan ruang pada

laki-laki yang menjadi korban. Hal ini menjadikan perempuan

mengabaikan dampak dari tindakan kekerasan untuk mengecilkan

kebutuhan mereka sendiri.

Adanya pengaruh konsep-konsep tradisional yang membuat

pria menghindari cap sebagai “pria lemah” membuat pria

menunjukkan bahwa dirinya maskulin. Untuk itu mungkin sekali

mereka selalu berusaha membuktikan diri sebagai yang berkuasa

atau kuat (Mappiare, 1983)

e. Faktor individu

Faktor penyebab individu menjadi pelaku kekerasan dalam

berpacaran merupakan individu yang memiliki masalah kesehatan

mental (seperti rendahnya harga diri, kecemasan, dan kemarahan

(39)

(seperti menggunakan obat-obatan, sex yang beresiko), rendahnya

prestasi akademik, kemampuan komunikasi yang buruk dan

menangani konflik dengan sikap agresif, serta kecenderungan

untuk membantu diri yang rendah. Hal ini didukung oleh Tolman

& Bennet (dalam Lemme, 1995) yang menyatakan karakteristik

pelaku kekerasan adalah memiliki harga diri yang rendah, pernah

mengalami atau menyaksikan kekerasan pada saat masih

anak-anak, memiliki kebutuhan yang tinggi untuk dominasi dan kontrol,

memiliki keterampilan untuk menipu, memiliki masalah dengan

alkohol, terisolasi secara sosial, berkepribadian ekstarvert,

bergantung pada korban untuk melakukan dominasi dan lainnya,

dan memiliki sejarah luka di kepala.

Sedangkan dari sisi perempuan sebagai korban, faktor

penyebabnya adalah sikap perempuan yang cenderung menerima

perilaku kekerasan. Ada kecenderungan kaum wanita masih

menilai negatif atau rendah kemampuan diri sehingga kepercayaan

dan kebanggaan diripun menjadi rendah. Ini berakibat kaum wanita

cenderung suka menggantungkan pemenuhan kebutuhan hidup

pada kaum laki-laki. Ketergantungan yang berlebihan dan menilai

rendah kemampuan diri pada gilirannya akan mengakibatkan kaum

wanita mudah diperlakukan sebagai objek oleh kaum laki-laki

Arsitasari, dkk (2006). Selain itu, menurut Tolman & Bennet

(40)

rendahnya harga diri, pasif dan selalu mengalah, pernah mengalami

atau menyaksikan kekerasan pada saat masih anak-anak,

menggunakan pemikiran yang keliru untuk meminimalkan

kekerasan, berkepribadian introvert, dan terisolasi secara sosial.

Selain itu, hasil penelitian Greene dan Navaro (dalam

Uyun, 2003) menemukan bahwa keterampilan asertif dapat

membantu perempuan untuk terhindar dari korban kekerasan.

Semakin asertif seorang perempuan maka akan semakin terhindar

dari kekerasan. Hasil penelitian tersebut juga menunjukkan bahwa

asertivitas pada perempuan dapat menjadi faktor yang

mempengaruhi kekerasan yang dialami perempuan.

Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa

faktor-faktor yang mempengaruhi kekerasan terhadap perempuan

adalah faktor sosioekonomi dan demografi, faktor kekerasan

keluarga dan faktor lain dari keluarga, faktor teman sebaya dan

lingkungan, faktor kepercayaan dan norma dalam hal ini adalah

kepercayaan akan budaya patriarkhi, faktor individu baik dari

pelaku maupun korban.

B. Asertivitas 1. Pengertian

(41)

yang tepat (Santosa, 1999). Asertivitas merupakan ekpresi yang jujur

dari hak pribadi seseorang, perasaan, keyakinan, ketertarikan tanpa

melanggar atau menolak hak orang lain (Delamanter dalam

Zarnaghash & Porjali, 2010).

Menurut Lloyd (1991) perilaku asertif adalah perilaku bersifat

jujur, langsung, dan menghormati ketika berinteraksi dengan orang

lain. Perilaku ini mampu mengkomunikasikan kesan respek kepada

diri sendiri dan orang lain sehingga dapat memandang keinginan,

kebutuhan, dan hak kita sama dengan keinginan, kebutuhan dan hak

orang lain atau bisa diartikan juga sebagai gaya wajar yang tidak lebih

dari sikap langsung, jujur, dan penuh dengan hormat saat berinteraksi

dengan orang lain.

Lenz dan Adams (1995) mendefinisikan perilaku asertif sebagai

perilaku dimana mengerti apa yang dilakukan dan diinginkan serta

mampu menjelaskan hal tersebut kepada orang lain. Perilaku asertif

juga merupakan perilaku dimana kita bekerja dengan cara sendiri

untuk memenuhi kebutuhan sendiri dengan tetap menunjukkan hormat

kepada orang lain.

Menurut Alberti dan Emmons (1987), perilaku asertif

mempromosikan kesetaraan dalam hubungan manusia,

memungkinkan kita untuk bertindak sesuai dengan kepentingan kita

sendiri, untuk membela diri kita sendiri tanpa kecemasan yang tidak

(42)

nyaman, dan untuk melaksanakan hak-hak pribadi tanpa menyangkal

hak orang lain.

Pengertian lain menurut Stein dan Book (2004), sikap asertif

berarti kemampuan untuk berkomunikasi dengan jelas, spesifik, dan

tidak berbelit-belit, sekaligus tetap dapat memberikan respon sesuai

kebutuhan orang lain, dan sesuai situasi yang ada.

Berdasarkan beberapa definisi di atas dapat disimpulkan bahwa

perilaku asertif adalah kemampuan seseorang untuk bersikap tegas

dan berani dalam mempertahankan hak-haknya, mengekspresikan

perasaan, pikiran, serta kepercayaannya secara langsung, jujur, dan

tanpa menganggu hak orang lain.

2. Ciri-ciri Orang Asertif

Menurut Stein dan Book (2004), sikap asertif meliputi tiga

komponen dasar yaitu kemampuan untuk dapat mengungkapkan

perasaan secara tepat, kemampuan untuk mengungkapkan keyakinan

dan pemikiran secara terbuka, dan kemampuan untuk dapat

mempertahankan hak-hak pribadi. Dengan demikian, orang yang

asertif bukan pemalu melainkan mereka dapat mengungkapkan

perasaannya (biasanya secara langsung) tanpa bertindak agresif

(43)

Lenz dan Adams (1995) menyatakan bahwa orang yang

berperilaku asertif merupakan :

a. Terbuka terhadap diri sendiri secara jujur

b. Mampu menyatakan perasaan, kebutuhan-kebutuhan, dan ide

c. Mampu mempertahankan hak mereka dengan cara yang

sedemikian rupa sehingga tidak melanggar hak dan kebutuhan

orang lain.

d. Otentik, apa adanya, terbuka, dan langsung

e. Mampu bertindak demi kepentingan sendiri

f. Mampu mengambil inisiatif demi memenuhi kebutuhannya

g. Mampu meminta informasi dan bantuan dari orang lain bilamana

mereka membutuhkan

h. Bila sedang berkonflik dengan orang lain, mereka mampu

mencari penyelesaian yang memuaskan kedua belah pihak

Perilaku asertif menurut Alberti dan Emmons (1987) memiliki

ciri-ciri, yaitu :

a. Mempromosikan kesetaraan dalam hubungan manusia

Untuk mempromosikan kesetaraan dalam hubungan

manusia berarti menempatkan kedua belah pihak pada pijakan

yang sama, mengembalikan keseimbangan kekuasaan dengan

memberikan kekuatan pribadi kepada "yang tertindas" dan

memungkinkan bagi setiap orang untuk memperoleh dan tidak

(44)

b. Bertindak dalam kepentingan sendiri

Mengacu pada kemampuan untuk membuat keputusan

sendiri mengenai jadwal karir, hubungan, gaya hidup, dan jadwal

waktu, memiliki inisiatif memulai percakapan dan mengorganisir

kegiatan, mempercayai penilaian sendiri, menetapkan tujuan dan

bekerja untuk mencapainya, meminta bantuan dari orang lain, dan

berpartisipasi secara sosial.

c. Membela diri

Termasuk perilaku seperti mengatakan tidak, menetapkan

batas waktu dan energi, menanggapi kritik atau ejekan atau

kemarahan, mengekspresikan atau mendukung atau membela

pendapat.

d. Mengekspresikan perasaan dengan jujur dan nyaman

Berarti kemampuan untuk tidak setuju, menunjukkan

kemarahan, menunjukkan kasih sayang atau persahabatan,

mengakui ketakutan atau kecemasan, mengekspresikan

persetujuan atau dukungan, dan menjadi spontan - semua tanpa

kecemasan yang menyakitkan.

e. Melaksanakan hak-hak pribadi

Berkaitan dengan kompetensi sebagai warga negara,

sebagai konsumen, sebagai anggota sebuah organisasi atau

sekolah atau kelompok kerja, sebagai peserta dalam acara-acara

(45)

untuk menanggapi pelanggaran hak yang dimiliki seseorang atau

orang lain.

f. Tidak mengingkari hak orang lain

Adalah mencapai ekspresi di atas kepentingan pribadi tanpa

kritik yang tidak adil dari orang lain, tanpa perilaku menyakitkan

terhadap orang lain, tanpa manipulasi, dan tanpa mengontrol

orang lain.

Berdasarkan beberapa ciri-ciri yang telah dijelaskan di atas, dapat

disimpulkan bahwa orang yang asertif adalah yang dapat

mengendalikan diri, mampu mengekspresikan perasaan baik positif

maupun negatif, mampu berkomunikasi dengan baik,

mempertahankan hak-hak pribadi tanpa merugikan orang lain, serta

dapat mengendalikan diri sesuai situasi yang ada.

Pada penelitian ini ciri-ciri asertivitas yang akan digunakan

sebagai dasar penyusunan alat ukur adalah ciri-ciri asertivitas yang

diungkapkan oleh Alberti dan Emmons (1987) yaitu mempromosikan

kesetaraan hubungan manusia, bertindak dalam kepentingan sendiri,

membela diri, mengekspresikan perasaan dengan jujur dan nyaman,

melaksanakan hak-hak pribadi, dan tidak mengingkari hak orang lain,

karena ciri-ciri tersebut lebih lengkap dibandingkan dengan ciri-ciri

(46)

3. Manfaat Asertivitas

Menurut Stein dan Book (2004), manfaat yang dapat diperoleh

jika berperilaku asertif adalah memungkinkan kita memperoleh banyak

teman dan dapat mempengaruhi orang lain sehingga kita bisa membina

hubungan yang lebih akrab dan lebih jujur dengan orang lain. Saat kita

bersikap asertif, bahkan dalam situasi yang sulit dan tidak

menyenangkan, orang lain akan merasa dihargai dan diterima, bukan

merasa diremehkan. Selain itu, menurut Storm & Lowe (1986)

asertivitas dapat menghilangkan kecemasan dalam hubungan

interpersonal dan dapat membantu individu untuk memenuhi

kebutuhan mereka dengan lebih efektif.

Sedangkan menurut Lenz dan Adams (1995), manfaat seseorang

yang mampu berperilaku asertif dalam hubungan dengan orang lain

adalah memungkinkan kita untuk lebih mengenal diri sendiri. Selain

itu dengan terbuka menyatakan pikiran, perasaan, dan kebutuhan kita

pada orang lain, maka orang lain akan mengetahui apa yang kita

butuhkan dan inginkan dan hal ini mampu membuat orang lain untuk

bersedia bekerja sama dengan kita serta membantu memenuhi

kebutuhan kita.

Perilaku asertif juga dapat membuka jalan bagi orang lain untuk

lebih terbuka dalam berhubungan dengan kita. Hal ini dapat

menjadikan hubungan yang terjalin dapat semakin dalam dan

(47)

dijernihkan dan kesalahpahaman di kemudian hari dapat dicegah

sehingga rasa frustasi dan kebencian pun dapat berkurang. Hal ini pun

dapat terjadi di dalam hubungan berpacaran karena dengan

mengungkapkan secara jujur apa yang kita butuhkan, inginkan,

rasakan, dan pikiran kita kepada pasangan kita, pasangan dapat lebih

mengerti diri kita serta membuat pasangan untuk belajar asertif juga

dan bermanfaat untuk mencegah keretakan hubungan. Dalam suatu

hubungan intim termasuk dalam masa pacaran, keterbukaan

komunikasi merupakan hal yang penting

Nelson-Jones (dalam Uyun, 2004) menyatakan bahwa jika

individu mampu bersikap asertif, maka akan lebih mampu menghargai

diri sendiri, serta menghargai pasangannya. Penghargaan tersebut

menyebabkan masing-masing individu mampu menerima pasangannya

secara utuh, tidak akan menuntut sesuatu di luar kemampuannya.

Nelson-Jones (dalam Uyun, 2004) juga menyatakan bahwa berperilaku

asertif adalah menunjukkan komitmen dalam berhubungan dengan

pasangan, tidak hanya mencoba untuk menjadi orang yang selalu

berbuat menguntungkan kepada pasangan tetapi juga membantu

pasangan untuk lebih berbuat menguntungkan kepada dirinya.

Berdasar pendapat-pendapat di atas, manfaat yang dapat

diperoleh jika berperilaku asertif terutama dalam hubungan pacaran

adalah dapat membina hubungan yang lebih akrab dan jujur sehingga

(48)

lebih menghargai diri sendiri dan pasangan, dan dapat menunjukkan

komitmen dalam berhubungan dengan pasangan.

C. Dewasa Awal

1. Pengertian dan Batasan Usia Dewasa Awal

Santrock (1995) mendefinisikan dewasa awal sebagai masa

kemandirian secara ekonomi dan kemandirian dalam membuat

keputusan. Mendapat kemandirian ekonomi dari orang tua

berlangsung bertahap dan bukan proses yang tiba-tiba. Kemandirian

dalam membuat keputusan berkaitan dengan karir, nilai-nilai, keluarga,

dan hubungan, serta mengenai gaya hidup.

Menurut Mappiare (1983) seseorang dikatakan dewasa jika

memiliki kekuatan tubuh secara maksimal dan siap untuk

bereproduksi serta telah dapat diharapkan memiliki kesiapan kognitif,

afektif, dan psikomotor.Selain itu, individu dewasa juga diharapkan

memainkan perannya bersama dengan individu-individu lain dalam

masyarakat. Mappiare (1983) membagi dewasa awal adalah individu

yang berusia dua puluh-an sampai akhir tiga puluh-an. Lemme (1995)

juga mengungkapkan pendapat yang sama yaitu dewasa merupakan

karakteristik periode hubungan yang mandiri, finansial, dan

kebijaksanaan dari orang tua, serta menerima tanggungjawab dari

(49)

Sedangkan Valliant (dalam Papalia, Old & Feldman, 2008)

mengatakan bahwa masa dewasa awal ini merupakan masa adaptasi

dengan kehidupan, sekitar usia 20 sampai 30 tahun. Individu dewasa

awal mulai membangun apa yang ada pada dirinya, mencapai

kemandirian, menikah, mempunyai anak, dan membangun

persahabatan yang erat. Orang dewasa menurut Levinson (dalam

Papalia, Old & Feldman, 2008) membentuk struktur hidup yang

tumpang tindih antara usia 20 hingga 25 tahun. Levinson menyatakan

bahwa usia dewasa awal berada pada rentan 17 sampai 33 tahun.

Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa usia dewasa

awal berada pada rentan umur 18 sampai 30 tahun dengan ciri

memiliki kematangan secara fisik maupun psikologis.

2. Tugas Perkembangan Dewasa Awal

Erikson (dalam Papalia, Old & Feldman, 2008) menyebut tahap

ini sebagai tahap Intimacy vs Isolation. Pada tahap ini, individu menjalin hubungan yang intim dengan orang lain. Hal ini serupa

dengan yang dijelaskan oleh Santrock (1995) dimana tugas

perkembangan dewasa awal menurut Erikson adalah membentuk

relasi yang intim dengan orang lain. Erikson menggambarkan

keintiman sebagai penemuan diri sendiri sekaligus kehilangan diri

sendiri dalam diri orang lain. Aspek yang penting dari hubungan ini

(50)

Tugas perkembangan dewasa awal yaitu membangun relasi

intim.Individu dewasa awal mendambakan hubungan-hubungan yang

intim-akrab serta siap mengembangkan daya-daya yang dibutuhkan

untuk memenuhi komitmen-komitmen meskipun memerlukan suatu

pengorbanan (Hall &Lindzey, 1993).

Dapat disimpulkan bahwa salah satu tugas perkembangan pada

masa dewasa awal adalah membangun hubungan yang intim dengan

pasangan hidup yang sudah dipilih sesuai kriteria untuk dijadikan

sebagai pasangan dalam pernikahan.

D. Hubungan antara Asertivitas dengan Kekerasan dalam Berpacaran yang Dialami Perempuan Dewasa Awal

Salah satu tugas perkembangan pada dewasa awal yang paling

menonjol adalah membentuk relasi yang intim dengan orang yang

sepaham dengan dirinya. Oleh karena itu, individu dewasa awal akan

memilih individu yang paling dicintai dan dipercayai untuk dijadikan

pasangan. Hubungan ini dikenal dengan istilah pacaran.

Hubungan dalam pacaran tidak lepas dari masalah. Ketika terjadi

konflik, tidak sedikit terjadi tindakan kekerasan dalam berpacaran dimana

sebagian besar perempuan yang menjadi korban. Hal ini dapat terjadi

karena adanya budaya patriarkhi dimana menempatkan laki-laki pada

(51)

lemah. Budaya seperti ini dapat menjadikan laki-laki sebagai kaum yang

agresif dan perempuan sebagai posisi yang bergantung pada laki-laki.

Selain adanya pengaruh budaya patriarkhi, perempuan yang

memiliki karakteristik sebagai korban kekerasan yaitu rendahnya harga

diri, pasif dan selalu mengalah, pernah mengalami atau menyaksikan

kekerasan pada saat masih anak-anak, menggunakan pemikiran yang

keliru untuk meminimalkan kekerasan, berkepribadian introvert, dan

terisolasi secara sosial juga dapat menjadikan perempuan tidak dapat

bersikap asertif, yaitu menolak jika diperlakukan kasar serta keras oleh

laki-laki. Hal ini dapat menjadikan perempuan bergantung pada

pasangannya sehingga memiliki ketakutan akan ditinggal atau diceraikan

oleh pasangan.

Berdasarkan pada pendapat mengenai asertivitas di atas, maka

dapat diperoleh gambaran bahwa perempuan yang memiliki asertivitas

dapat menolak atau mengatakan ketidaksetujuan terhadap kekerasan yang

dilakukan oleh pacar. Hal ini dapat diwujudkan dengan kemampuan

membuat keputusan sendiri dan memiliki keyakinan atas keputusan

tersebut. Perempuan yang asetif ketika memiliki pasangan dengan

agresivitas tinggi, dapat membuat keputusan untuk mengakhiri hubungan

dan memiliki keyakinan bahwa keputusan yang sudah dibuat adalah tepat,

sehingga hal ini dapat membuat seorang perempuan tidak lagi mengalami

tindakan kekerasan dalam berpacaran. Sementara itu, bila perempuan yang

(52)

jujur apa yang dirasakan dan dipikirkannya. Perempuan yang tidak asetif

ketika memiliki pasangan dengan agresivitas tinggi, tidak memiliki

kemampuan untuk membuat keputusan untuk mengakhiri hubungan

karena bergantung pada pasangan dan memiliki pemikiran yang keliru

bahwa dirinya pantas diperlakukan kasar, sehingga hal ini membuat

perempuan rentan menjadi korban kekerasan dalam berpacaran. Alur

penjabaran tentang hubungan tingkat asertivitas dengan kekerasan dalam

berpacaran dapat dilihat pada bagan dibawah ini:

Pacaran Terjadi Kekerasan Dalam Berpacaran Budaya Patriarkhi Tugas perkembangan (relasi intim) Menolak Tidak berani menolak Asertif Tidak asertif Pasangan dengan agresivitas tinggi Pasangan dengan agresivitas tinggi Tidak terjadi Kekerasan Dalam Berpacaran

 Harga diri rendah

 Pasif

 Selalu mengalah

 Introvert

 Pernah

mengalami atau menyaksikan kekerasan

(53)

E. Hipotesis

Berdasarkan uraian teori yang telah dikemukakan di atas, maka

dapat disusun hipotesis penelitian yaitu : Ada hubungan negatif antara

asertivitas dengan kekerasan dalam berpacaran yang dialami perempuan

dewasa awal. Semakin tinggi asertivitas yang dimiliki maka kekerasan

dalam berpacaran yang dialami perempuan dewasa awal semakin jarang,

demikian juga sebaliknya semakin rendah asertivitas yang dimiliki maka

kekerasan dalam berpacaran yang dialami perempuan dewasa awal akan

(54)

37

BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

A. Jenis Penelitian

Penelitian ini adalah jenis penelitian yang menggunakan

pendekatan kuantitatif untuk menguji hipotesis yang telah dibuat.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara asertivitas

dengan kekerasan dalam berpacaran pada perempuan dewasa awal.

B. Identifikasi Variabel Penelitian

1. Variabel Terikat (dependent variabel/Y) : Kekerasan dalam Berpacaran pada Perempuan Dewasa Awal.

2. Variabel Bebas (independent variabel/X) : Asertivitas.

C. Definisi Operasional Variabel Penelitian

1. Kekerasan dalam Berpacaran adalah suatu tindakan yang mempunyai

unsur pemaksaan, menghancurkan, mendominasi, mengendalikan, baik

secara fisik, psikologis, ataupun gabungan-gabungannya. Kekerasan

dalam berpacaran diungkap melalui skala kekerasan dalam berpacaran.

Skala tersebut terdiri dari bentuk-bentuk kekerasan dalam berpacaran

berupa kekerasan fisik, kekerasan psikologis, kekerasan ekonomi,

kekerasan seksual, dan kekerasan sosial. Semakin tinggi skor yang

(55)

demikian juga sebaliknya.

2. Asertivitas adalah kemampuan seseorang untuk bersikap tegas dan

berani dalam mempertahankan hak-haknya, mengekspresikan perasaan,

pikiran, serta kepercayaannya secara langsung, jujur, dan tanpa

menganggu hak orang lain. Asertivitas ini diukur melalui skala

asertivitas yang terdiri dari ciri-ciri asertivitas yang meliputi

mempromosikan kesetaraan hubungan manusia, bertindak dalam

kepentingan sendiri, membela diri, mengekspresikan perasaan dengan

jujur dan nyaman, melaksanakan hak-hak pribadi, dan tidak

mengingkari hak orang lain. Semakin tinggi skor yang diperoleh maka

semakin tinggi asertivitas, demikian juga sebaliknya.

D. Subjek Penelitian

Subjek pada penelitian ini dibatasi pada subjek yang memiliki

karakteristik yang sama dengan rancangan penelitian. Oleh karena itu,

penelitian ini menggunakan teknik pengambilan sampel purposive sampling karena pengambilan sampel berdasarkan keperluan penelitian (Purwanto, 2007).Teknik ini sengaja memilih populasi berdasarkan

pertimbangan tertentu.

Pada penelitian ini, subjek penelitian adalah perempuan yang

berada pada masa dewasa awal yaitu memiliki usia sekitar 18 tahun

(56)

E. Metode Pengumpulan Data 1. Skala Asertivitas

Skala asertivitas disusun berdasarkan ciri-ciri asertivitas yaitu

mempromosikan kesetaraan hubungan manusia, bertindak dalam

kepentingan sendiri, membela diri, mengekspresikan perasaan dengan

jujur dan nyaman, melaksanakan hak-hak pribadi, dan tidak

mengingkari hak orang lain. Skala ini menggunakan model skala

Likert yang terdiri dari item yang mencakup item favourable dan item

unfavourable, serta disusun secara acak. Item favourable yaitu item yang mempunyai nilai positif atau sesuai dengan pernyataan,

sedangkan item yang unfavourable yaitu item yang bertentangan dengan pernyataan yang sebenarnya.

Alternatif pilihan jawaban dalam Skala Asertivitas yang digunakan

dalam penelitian ini dibedakan menjadi empat yaitu :

a. SS : Jawaban yang menyatakan bahwa subjek “sangat sesuai”

dengan pernyataan yang diajukan.

b. S : Jawaban yang menyatakan bahwa subjek “sesuai” dengan

pernyataan yang diajukan.

c. TS : Jawaban yang menyatakan bahwa subjek “tidak sesuai”

dengan pernyataan yang diajukan.

d. STS : Jawaban yang menyatakan bahwa subjek “sangat tidak

(57)

Sistem penilaian Skala Asertivitas bergerak dari satu sampai

empat. Pernyataan yang tergolong favourable atau positif, subjek akan memperoleh skor 4 jika menjawab sangat sesuai (SS), nilai 3 jika

menjawab sesuai (S), nilai 2 jika menjawab tidak sesuai (TS), dan

nilai 1 jika menjawab sangat tidak sesuai (STS). Pernyatan yang

tergolong unfavourable atau negatif, subjek akan memperoleh skor 4 jika menjawab sangat tidak sesuai (STS), nilai 3 jika menjawab tidak

sesuai (TS), nilai 2 jika menjawab sesuai (S), dan nilai 1 jika

menjawab sangat sesuai (SS). Sebaran item skala asertivitas dapat

dilihat pada tabel 2.1

Tabel 2.1 Sebaran Nomor Item Skala Asertivitas (sebelum Uji Coba)

Ciri-ciri Asertivitas

Favorable Unfavorable Total Mempromosikan

kesetaraan hubungan manusia

1, 16 9, 19 4 (10,5 %)

Bertindak dalam kepentingan sendiri

17, 18, 23, 27

2, 3, 20, 32 8 (21,1 %)

Membela diri 6, 22 5, 33 4 (10,5 %)

Mengekspresi-kan perasaan dengan jujur dan nyaman

4, 21, 36, 37 8, 25, 30, 38 8 (21,1 %)

Melaksanakan hak-hak pribadi

7, 24, 28, 34 10, 11, 14, 29 8 (21,1 %)

Tidak

mengingkari hak orang lain

13, 31, 35 12, 15, 26 6 (15,8 %)

(58)

2. Skala Kekerasan dalam Berpacaran

Skala kekerasan dalam berpacaran disusun berdasarkan

bentuk-bentuk kekerasan dalam berpacaran yang meliputi :

a. Kekerasan fisik, seperti diancam dengan benda tajam, dipukul,

diancam melakukan pemerasan, disekap di kamar kost, dirantai,

disundut dengan rokok, ditendang.

b. Kekerasan psikologis, seperti diancam, dipermalukan, dicaci maki,

difitnah, dicemburui, diintimidasi, diingkari janji, dibohongi

c. Kekerasan ekonomi, seperti barang dipinjam tidak dikembalikan,

diekpoitasi ekonomi, dimanfaatkan, dimintai uang secara paksa,

diperas.

d. Kekerasan seksual, seperti diajak berhubungan sex, dilecehkan,

dipaksa aborsi, diperkosa.

e. Kekerasan sosial, seperti diisolasi dari teman-teman lainnya,

dilarang bergaul dengan laki-laki selain dirinya.

Skala ini menggunakan model skala Likert yang akan disajikan menjadi dua kelompok item (pernyataan), yaitu item favourable dan item unfavourable, serta disusun secara acak. Item favourable yaitu item yang mempunyai nilai positif atau sesuai dengan pernyataan,

(59)

Alternatif pilihan jawaban dalam skala kekera

Gambar

Tabel 1.1 Data Kasus Rifka Annisa 2009 – 2012
Tabel 2.1 Sebaran Nomor Item Skala Asertivitas (sebelum Uji
Tabel 2.2 Sebaran Nomor Item Skala Kekerasan dalam
Tabel 3.1 Sebaran Nomor Item Valid dan Gugur Skala Asertivitas
+7

Referensi

Dokumen terkait

(Studi Kasus Desa Dahu, Kecamatan Jiput Kabupaten Pandeglan, Banten (Fak. Pertanian IPB Bogor: Jurusan Ilmu-Ilmu Sosial Ekonomi Pertanian, 2002).. dengan mengikuti

Pembelian kembali saham umumnya efektif jika saham dibeli kembali (repurchased) dengan harga yang rendah, artinya manajemen hanya perlu membutuhkan dana lebih

Berada pada object FORM, dan klik create form by using wizard, klik design, pilih dan klik table2, klik symbol &gt;&gt;, pilih dan klik table3, dan pindah field, D/K ( klik &gt;),

Woolfolk (2004) menambahkan bahwa aktivitas mencatat membantu siswa untuk memfokuskan perhatian selama proses belajar dan membantu untuk mengkodekan informasi dalam

Hitunglah momen inersia seluruh penampang dan tegangan geser satuan pada bidang AA dan pada bidang sumbu netral yang disebabkan oleh gaya geser total V sebesar 2.5

[r]

Produktivitas Kelapa Sawit (Elaeis guinensis jacq) Yang di Pupuk dengan Tandan Kosong dan Limbah Cair Pabrik Kelapa Sawit.. Pusat Data dan Sistem

Akibat hukum yang terjadi terhadap pengalihan objek leasing kepada pihak ketiga tanpa persetujuan leasing terjadi akibat tidak adanya komunikasi yang baik antara