commit to user
ANALISIS JALUR FAKTOR RISIKO LINGKUNGAN DAN PERILAKU YANG BERPENGARUH TERHADAP KEJADIAN
LEPTOSPIROSIS DI KABUPATEN BOYOLALI
NASKAH PUBLIKASI
Disusun untuk memenuhi sebagian persyaratan mencapai derajat Magister
Program Studi Pascasarjana Kesehatan Masyarakat Minat Utama Epidemiologi dan Biostatitiska
Oleh Sri Andari NIM. S021408063
PROGRAM PASCASARJANA UNVERSITAS SEBELAS MARET
commit to user
Sri Andari. S021408063. ANALISIS JALUR FAKTOR RISIKO LINGKUNGAN DAN PERILAKU YANG BERPENGARUH TERHADAP KEJADIAN LEPTOSPIROSIS DI KABUPATEN BOYOLALI. TESIS. Pembimbing I: Prof. Dr. Ambar Mudigdo, dr., Sp. PA (K). Pembimbing II: Dr. Rita Benya Adriani., S.Kp., M.Kes. Program Studi Ilmu Kesehatan Masyarakat Minat Utama Epidemiologi dan Biostatistika. Program Pascasarjana Universitas Sebelas Maret Surakarta
ABSTRAK
Latar Belakang. Leptospirosis merupakan penyakit yang disebabkan
oleh patogen Leptospira, ditularkan dari hewan ke manusia. Kejadian
lepotopsirosis diduga dipengaruhi oleh kontak tikus/hewan peliharaan, mandi dikolam, mandi di sungai, banjir, luka di kaki, pekerjaan tani, kontak air kotor, dan selokan yang kotor. Penelitian ini bertujuan menganalisis faktor lingkungan dan perilaku yang mempengaruhi kejadian leptospirosis.
Subjek dan Metode. Penelitian ini merupakan penelitian observasional
analitik, dengan pendekatan kasus kontrol. Penelitian ini dilakukan di
Kabupaten Boyolali. Sampel dipilih denganexhaustive sampling.Variabel
dependen yaitu kejadian penyakit leptospirosis. Variabel independen faktor lingkungan dan perilaku. Data dianalisis dengan model analisis jalur (path analysis).
Hasil. Ada pengaruh riwayat luka (b=1.43; CI 95% 0.59 sd 2.26;
p<0.001), jenis kelamin perempuan (b=0.10; CI 95% -0.74 sd 0.95; p=0.813), dan usia <40 tahun (b= -0.07; CI 95% -0.92 sd 0.79; p = 0.878) terhadap penurunan logit risiko Leptospirosis. Ada pengaruh keberadaan hospes (b=0.94; CI 95% -0.11 sd 1.90; p=0.053), perilaku higiene dan penggunaan APD (b=2.08; CI 95% 1.15 sd 3.02; p<0.001) terhadap peningkatan logit risiko riwayat luka. Ada pengaruh kondisi selokan yang buruk (b=3.59; CI 95 % = 2.28 sd 4.89; p<0.001) dan kondisi TPS yang buruk (b=2.47; CI 95% =1.17 sd 3.76; p<0.001) terhadap peningkatan logit risiko keberadaan hospes. Ada pengaruh perilaku higiene dan penggunaan APD yang buruk terhadap peningkatan logit risiko kondisi selokan yang buruk (b=1.69; CI 95 % =0.85 sd 2.25; p<0.001). Ada pengaruh kondisi selokan yang buruk terhadap peningkatan logit kondisi TPS (b=0.55; CI 95 % = 0.39 sd 0.10; p<0.001).
Kesimpulan. Ada pengaruh langsung dari riwayat luka, usia dan jenis
kelamin terhadap kejadian leptospirosis. Ada pengaruh tidak langsung dari keberadaan hospes, perilaku higiene, penggunaan APD, kondisi selokan yang buruk, kondisi TPS terhadap kejadian Leptospirosis.
commit to user
Sri Andari. S021408063. PATH ANALYSIS AND ENVIRONMENTAL RISK FACTORS THAT INFLUENCE BEHAVIOR IN THE DISTRICT BOYOLALI leptospirosis cases. THESIS. Supervisor I: Prof. Dr. Ambar Mudigdo, dr., Sp. SIR). Supervisor II: Dr. Rita Benya Adriani., S.Kp., M.Kes. Science Program in Public Health Epidemiology and Biostatistics Main Interest. Sebelas Maret University
ABSTRACT
Background.Leptospirosis is a disease caused by pathogenic Leptospira,
it is transmitting from animals to humans. Incidence of lepotopsirosis influenced by contacting of rat / pet, bathing in pond, bathing in the river, floods, wound in the leg, farm work, contact with dirty water, and dirty sewer. This study aimed to analyze the environmental and behavioral factors that influence the incidence of leptospirosis.
Subjects and Methods.This research is an analytic observational study,
with a case-control approach. This research was conducted in Boyolali. The sample was selected by exhaustive sampling. The dependent variable is the incidence of leptospirosis. The independent variable environmental factors and behaviors. Data were analyzed with path analysis model (path analysis).
Results. There is a history of injuries effect (b = 1.43; 95% CI 12:59 till
2:26; p <0.001), female gender (b = 0:10; 95% CI -0.74 sd 0.95; p = 0813), and age <40 years (b = -0.07; 95% CI -0.92 sd 0.79; p = 0.878) to decrease the risk of leptospirosis logit. There is an effect where the host (b = 0.94; 95% CI -0.11 sd 1.90; p = 0.053), conduct hygiene and use of PPE (b = 2.08; 95% CI 1:15 till 3:02; p <0.001) to increased risk logit history of injuries. There is the influence of the condition of sewer bad (b = 3.59; 95% CI = 2.28 sd 4.89; p <0.001) and the condition TPS poor (b = 2.47; 95% CI = 1.17 sd 3.76; p <0.001) to increase logit risk where host. There is affecting the behavior of hygiene and use of PPE bad to increased risk logit ditch bad condition (b = 1.69; 95% CI 2:25 sd = 0.85; p <0.001). There is a bad influence sewer conditions to increase logit TPS condition (b = 0:55; CI 95% = 0:39 till 12:10; p <0.001).
Conclusion. There is a direct influence from history of injuries, age and
gender on the incidence of leptospirosis. There is the indirect effect from the presence of the host, hygiene behavior, PPE using, the bad condition of sewer, condition of TPS on the incidence of leptospirosis.
Keywords: Path Analysis, Leptospirosis, behavioral, environmental.
1Graduate Students Public Health, University of March Surakarta
2Lecturer in the Graduate School of Public Health University March
commit to user
PENDAHULUAN
Leptospirosis adalah penyakit menular yang disebabkan oleh
bakteri patogen Leptospira, yang
ditularkan dari hewan ke manusia, sehingga penyakit ini digolongkan dalam zoonosis. Penyakit ini bisa berkembang di alam pada hewan baik liar maupun domestik dan
manusia merupakan infeksi
terminal (WHO, 2003).
Penyakit Leptospirosis muncul didaerah perkotaan dan pedesaan baik di negara maju maupun negara berkembang, kecuali daerah kutub. Penyakit Leptospirosis dapat terjadi sebagai risiko pekerjaan (occupational hazard) menyerang petani padi dan tebu, pekerja tambang, dokter hewan, peternak, peternak sapi perah, pekerja yang bekerja di pemotongan hewan, nelayan dan tentara (Chin, 2000).
Kasus Leptospirosis di daerah beriklim subtropis diperkirakan berjumlah 0,1-1/100.000 orang setiap tahun, sedangkan di daerah beriklim tropis kasus meningkat menjadi lebih dari 10/100.000 orang setiap tahun. (WHO, 2003)
Leptospirosis masih merupakan masalah kesehatan di Indonesia terutama daerah yang rawan banjir.
Pada tahun 2014 menyebutkan, terdapat empat provinsi yang
melaporkan adanya kasus
leptospirosis yaitu DKI Jakarta, Jawa Tengah, DI Yogyakarta, dan Jawa Timur. DKI Jakarta dan Jawa Tengah terjadi kenaikan kasus. Jumlah kasus di Jawa Tengah pada tahun 2012 sebanyak 129 kasus, tahun 2013 sebanyak 156 kasus dan tahun 2014 sebanyak 198 kasus, bahkan merupakan kasus tertinggi di kedua provinsi tersebut dalam lima tahun terakhir. Angka
kematian akibat leptospirosis
tertinggi terjadi di DKI Jakarta dengan CFR : 16,98%. Angka CFR akibat leptospirosis meningkat dari 9,36% pada tahun 2013 menjadi
11,75% pada tahun 2014
(Kemeskes,2014)
commit to user
Faktor risiko kejadian
leptospirosis yaitu, kontak
tikus/hewan hospes perantara, mandi dikolam, mandi di sungai, banjir, adanya luka di kaki, adanya tikus di dalam/di luar rumah, bertani, kontak air tergenang, membersihkan selokan/parit. Dari data tersebut di atas, maka penulis
ingin menganalisis faktor
lingkungan dan perilaku yang
mempengaruhi kejadian
leptospirosis di Kabupaten Boyolali. METODE PENELITIAN
Penelitian observasional
analitik, dengan pendekatan case
control study, yang mengkaji pengaruh faktor risiko lingkungan yaitu, kondisi sampah (TPS),
keberadaan selokan/parit,
keberadaan tikus/hewan hospes
perantara, kebiasaan memakai APD dengan kebiasaan menggunakan sabun/detergen, dan riwayat luka dengan kejadian leptospirosis.
Observasi dilakukan terhadap 144 responden yang terdiri dari 38 responden kelompok kasus dan 76 rersponden kelompok kontrol. Uji
statisti yang digunakan yaitu ujiChi
squaredilanjutkanpath analisis.
HASIL PENELITIAN
1.Analisis Univariat
Analisis univariate bertujuan
untuk menjelaskan atau
mendeskrisipkan karakteristik
setiap variabel penelitian,
berdasarkan umur jenis kelamin, umur dan pekerjaan. Hasil analisis dapat dilihat pada tabel di bawah ini:
a. Distribusi responden berdasarkan Jenis Kelamin
Tabel 1 Distribusi frekuensi berdasarkan jenis kelamin obyek penelitian
Sumber: Hasil Analisis Data Primer 2016
Tabel 1 menunjukkan bahwa jenis kelamin obyek penelitian terbanyak yaitu jenis kelamin laki-laki,baik pada kelompok kasus
maupun kelompok kontrol, dengan jumlah masing-masing yaitu pada kelompok kasus sebanyak 23 orang
Jenis kelamin Laki-laki Perempuan Jumlah
f % f % f %
Kasus 23 60.5 15 39.5 38 100
commit to user
(60,5%) sedangkan pada kelompok kontrol 48 orang (63.1%). a. Distribusi responden berdasarkan Umur
Tabel 2 Distribusi frekuensi berdasarkan umur dan pekerjaan obyek penelitian
Sumber: Hasil Analisis Data Primer 2016
Tabel 3 menunjukkan
bahwa umur responden pada kelompok kasus yang paling banyak yaitu berusia > 50 tahun yaitu sebanyak 18 orang (47.3%). Sedangkan umur responden pada kelompok kontrol yang paling banyak yaitu berusia > 50 tahun dengan jumlah orang 35 orang (46%). Kelompok umur dengan jumlah responden paling sedikit adalah < 20 tahun dan umur 20-30 tahun yaitu 4 orang (10.5%) pada kelompok kasus dan < 20 tahun tahun sebanyak
6 orang (13.1%) pada kelompok kontrol.
Proporsi jenis pekerjaan responden baik pada kelompok kasus maupun kelompok kontrol adalah petani, dengan jumlah
masing-masing yaitu, pada
kelompok kasus sebanyak 20 orang (52.6%), dan kelompok kontrol sebanyak 57 orang (75%). Sedangkan pekerjaan responden dengan jumlah paling sedikit yaitu pelajar pada kelompok kasus sebanyak 2 orang (5,2%) dan wiraswasta pada kelompok kontrol sebanyak 2 orang (2,6%) 3. Distribusi responden berdasarkan variabel kondisi TPS,
Umur f Kasus% f Kontrol% Total
<20 tahun 4 10,5 6 13,1 10
20-30 tahun 4 10,5 9 11,8 13
31-40 tahun 7 18,4 12 31,5 19
41-50 tahun 5 13,5 14 36,8 19
>50 tahun 18 47,3 35 46 53
38 100 76 100 114
Pekerjaan
Petani 20 52.6 57 75 77
Peternak 4 10.5 6 7.8 10
Buruh 3 7.8 0 0 3
Wiraswasta 3 7.8 2 2.6 5
Ibu rumah tangga 6 15.7 2 2.6 8
Pelajar 2 5.2 9 11.8 11
commit to user
Tabel 4 Distribusi frekuensi obyek penelitian berdasarkan kondisi TPS, keberadaan selokan, keberadaan tikus/hewan hospes perantara, kebiasaan perilaku higiene dan penggunan APD,
adanya riwayat luka
Kondisi TPS fKasus% fKontrol% fJumlah%
Buruk 26 56.5 20 43.5 46 100
Baik 12 17.6 56 82.4 68 100
Keberadaan selokan
Buruk 29 63 17 37 46 100
Baik 9 13.2 59 86.8 68 100
Keberadaan hospes perantara
Ada 31 72.1 12 27.9 43 100
Tidak ada 7 9.9 64 90.1 71 100
Perilaku higiene dan penggunan
APD
Buruk 24 51.1 23 48.9 67 100
Baik 14 20.9 53 79.1 67 100
Riwayat luka
Ada luka 26 50 26 50 52 100
Tidak ada luka 12 19.4 50 80.6 65 100
Sumber: Sumber: Hasil Analisis Data Primer 2016 Tabel 4 menunjukkan
bahwa kondisi tempat
sampah (TPS) yang buruk
pada kelompok kasus
maupun kelompok kontrol, dengan jumlah masing-masing yaitu pada kelompok kasus sebanyak 26 orang (56.5%) sedangkan pada kelompok kontrol 20 orang (43.5%).
Proporsi kberadaan
selokan yang arnya
menggenang pada kelompok
kasus maupun kelompok kontrol, dengan jumlah masing-masing yaitu pada kelompok kasus sebanyak 29 orang (63%) sedangkan pada kelompok kontrol 59 orang (68%).
commit to user
kelompok kasus sebanyak 31 orang (72.1%) sedangkan pada kelompok kontrol 12 orang (27.9%).
Proporsi kebiasaan tidak berperilaku secara higienis dengan menggunakan APD
pada kelompok kasus
maupun kelompok kontrol, dengan jumlah masing-masing yaitu pada kelompok kasus sebanyak 24 orang (51.1%) sedangkan pada kelompok kontrol 12 orang (48.9%).
Proporsi adanya riwayat luka pada kelompok kasus maupun kelompok kontrol, dengan jumlah masing-masing yaitu pada kelompok kasus sebanyak 26 orang (50%) sedangkan pada kelompok kontrol 26 orang (48.9%).
2. Analisis Jalur
Analisis statistik
menggunakan model dengan
software stata 13, adalah sebagai
berikut :
a. Spesifikasi model
Spesifikasi model akan
menggambarkan hubungan
antara variabel-variabel yang diteliti. Dalam penelitian ini terdapat delapan variabel yang terukur yaitu jenis kelamin, usia, adanya riwayat luka
keberadaan tikus/hewan
hospes perantara, perilaku higiene dengan menggunakan APD, keberadaan selokan, kondisi tempat pengumpulan sampah (TPS), dan kejadian leptospirosis.
b. Identifikasi model
Jumlah variabel yang
terukur diidentifikasi beserta jumlah endogen dan variabel eksogen dan parameter yang akan diestimasi. Pada tahap ini
akan dihitung degree of
freedom (df) yang
menunjukkan analisis jalur bisa dilakukan atau seperti dibawah ini.
1) Jumlah variabel terukur : 8
2) Variabel endogen : 7
3) Variabel eksogen : 1
4) Jumlah parameter 10
Rumus degree of freedom
sebagai berikut :
commit to user
+ variabel eksogen + jumlah parameter)
= (8 X 7)/2 (7+1+10) = 26 18
= 8
Analisis jalur bisa dilakukan apabila df 0, sedangkan pada
identifikasi model pada analisis kali ini di dapatkan nilai df adalah 8 dan disebut analisis
jalur over identified yang
berarti analisis jalur bisa dilakukan.
c. Kesesuaian model
Gambar 1 Spesifikasi model analisis jalur
Gambar 1 menyajikan
spesifikasi model
analisis jalur dengan
estimasi pengaruh
masing-masing variabel
dependen dan
independen. Hasil
analisis jalur tersebut disajikan pada tabel 5
Tabel 5 Hasil analisis jalur faktor risiko lingkungan dan perilaku
Jenis kelamin
commit to user
yang berpengaruh terhadap kejadian Leptospirosis Koefisien
Jalur BatasCI (95 %) P
bawah Batasatas
Leptospirosis
Riwayat luka (ada) 1.43 0.59 2.26 <0.001
Jenis kelamin
(Perempuan) 0.10 -0.74 0.95 0.813
Umur (<40 th) -0.07 -0.92 0.79 0.878
Riwayat luka
Hospes (tikus) 0.94 -0.11 1.90 0.053
Higiene (APD) 2.08 1.15 3.02 <0.001
Hospes
Selokan (buruk) 3.59 2.29 4.89 <0,001
TPS (buruk) 2.47 1.17 3.76 <0.001
Higiene dan
penggunakan APD
buruk
Selokan (buruk) 1.69 0.85 2.52 <0.001
Kondisi TPS buruk
Selokan (buruk) 0.55 0.39 0.10 <0.001
Sumber: Data Primer 2016 d. Hasil Hipotesis dan Estimasi
Tabel 5 menunjukkan ada
pengaruh riwayat luka
terhadap peningkatan logit risiko kejadian Leptospirosis
dan secara statistik
signifikan. Orang dengan riwayat luka memiliki logit risiko kejadian Leptospirosis sebesar 1.43 unit lebih tinggi daripada orang yang tidak
memiliki riwayat luka
(b=1.43; CI 95 % = 0.59 sd 2.26; p < 0.001).
Ada pengaruh jenis
kelamin perempuan terhadap
penurunan logit risiko
kejadian Leptospirosis tetapi
secara statistik tidak
signifikan. Jenis kelamin perempuan memiliki logit risiko kejadian Leptospirosis sebesar 0.10 unit lebih rendah daripada laki-laki (b=0.10; CI 95%= -0.74 sd 0.95; p = 0.813).
Ada pengaruh usia <40 tahun terhadap penurunan
logit risiko kejadian
commit to user
tahun memiliki logit risiko
kejadian Leptospirosis
sebesar 0.07 unit lebih
rendah daripada yang
berusia 40 tahun (b= -0.07; CI 95% = -0.92 sd 0.79; p = 0.878).
Ada pengaruh keberadaan hospes terhadap penurunan logit risiko adanya riwayat luka dan secara statistik
mendekati signifikan.
Keberadaan hospes
meningkatkan logit risiko riwayat luka sebesar 0.94 unit lebih rendah daripada tidak ada hospes (b=0.94; CI 95 % = -0.11 sd 1.90; p=0.053).
Ada pengaruh perilaku higiene dan penggunaan APD terhadap peningkatan logit risiko adanya riwayat luka
dan secara statistik
signifikan. Perilaku higiene dan penggunaan APD yang buruk meningkatkan logit risiko riwayat luka sebesar 2.08 unit lebih tinggi
daripada yang perilaku
higienisnya baik (b=2.08; CI 95% =1.15 sd 3.02; p<0.001).
Ada pengaruh kondisi selokan yang buruk terhadap peningkatan logit risiko keberadaan hospes dan secara statistik signifikan. Kondisi selokan yang buruk meningkatkan logit risiko keberadaan hospes sebesar 3.59 unit lebih tinggi daripada kondisi selokan yang baik (b=3.59; CI 95 % = 2.28 sd 4.89; p<0.001).
Ada pengaruh kondisi TPS yang buruk terhadap peningkatan logit risiko keberadaan hospes dan secara statistik signifikan. Kondisi TPS yang buruk meningkatkan logit risiko keberadaan hospes sebesar 2.47 unit lebih tinggi daripada kondisi tempat sampah yang baik (b=2.47; CI 95 % =1.17 sd 3.76; p<0.001).
Ada pengaruh perilaku higiene dan penggunaan APD
yang buruk terhadap
peningkatan logit risiko kondisi selokan yang buruk
dan secara statistik
commit to user
buruk meningkatkan logit risiko kondisi selokan yang buruk sebesar 1.69 unit lebih tinggi daripada perilaku higiene dan penggunaan APD yang baik (b=1.69; CI 95 % =0.85 sd 2.25; p<0.001).
Ada pengaruh kondisi selokan yang buruk terhadap peningkatan logit kondisi TPS dan secara statistik signifikan. Kondisi selokan yang buruk memiliki risiko logit sebesar 0.55 unit lebih
tinggi daripada kondisi
selokan yang baik (b=0.55; CI 95 % = 0.39 sd 0.10; p<0.001).
PEMBAHASAN
1. Pengaruh riwayat luka
terhadap kejadian
Leptospirosis
Hasil analisis
menunjukkan ada
pengaruh riwayat luka terhadap peningkatan logit
risiko kejadian
Leptospirosis dan secara statistik signifikan. Orang
dengan riwayat luka
memiliki logit risiko
kejadian Leptospirosis
sebesar 1.43 unit lebih
tinggi daripada orang yang tidak memiliki riwayat luka (b=1.43; CI 95 % = 0.59 sd 2.26; p < 0.001).
Penelitian sejalan
dengan penelitian Cahyati,
(2009), menunjukkan
bahwa ada hubungan
antara riwayat adanya luka
dengan terjadinya
leptospirosis di wilayah kerja RS Sunan Kalijaga Demak. Hal ini didasarkan
pada hasil uji chi square
yang diperoleh p=0,027 (p < 0,05). Penelitian ini tidak sejalan dengan penelitian
Ningsih, (2009) yang
menyatakan bahwa, tidak
ada hubungan antara
riwayat luka terhadap kejadian leptospirosis.
2.Pengaruh jenis kelamin
terhadap kejadian
Leptospirosis
Ada pengaruh jenis
kelamin perempuan
terhadap penurunan logit
risiko kejadian
Leptospirosis tetapi secara statistik tidak signifikan. Jenis kelamin perempuan
commit to user
kejadian Leptospirosis
sebesar 0.10 unit lebih rendah daripada laki-laki (b=0.10; CI 95%= -0.74 sd 0.95; p = 0.813).
Hal tersebut
kemungkinan karena laki-laki lebih sering terpapar dengan lingkungan yang
terkontaminasi bakteri
Leptospira sp. Sebagian besar aktifitas kelompok laki-laki dewasa lebih banyak kontak dengan air sungai, di sawah, dan di
tempat kerja yang
berhubungan dengan air
yang terkontaminasi
bakteri Leptospira sp
(Assimina Z. 2008).
Perbedaaan insidensi
berdasarkan gender
tersebut terkait dengan pekerjaan (work task) dan
personal higiene yang
menyebabkan peluang
untuk terpapar bakteri
Leptospira sp yang infektif
(Thronly, JN.2002)
3.Pengaruh usia terhadap
kejadian Leptospirosis Ada pengaruh usia <40 tahun terhadap penurunan
logit risiko kejadian
Leptospirosis tetapi secara statistik tidak signifikan. Orang yang berusia <40 tahun memiliki logit risiko
kejadian Leptospirosis
sebesar 0.07 unit lebih rendah dari pada yang berusia 40 tahun (b= -0.07; CI 95% = -0.92 sd 0.79; p = 0.878).
Kejadian leptospirosis lebih banyak menyerang pada kelompok usia dewasa (41-60 tahun) sebanyak 43,2%, demikian juga dengan angka kematian (7,6%).
Penelitian ini sejalan dengan penelitian Okatini (2007), yang menyatakan
bahwa umur tidak
berhubungan dengan
kejadian Letpsospirosis,
dengan nilai OR = 0,85 ; CI95%=0,47 sd1,49 ; p = 0,663.
4.Pengaruh keberadaan
hospes terhadap riwayat luka
Hasil analisis
menunjukkan ada
commit to user
hospes terhadap
penurunan logit risiko adanya riwayat luka dan secara statistik mendekati
signifikan. Keberadaan
hospes meningkatkan logit risiko riwayat luka sebesar 0.94 unit lebih rendah daripada tidak ada hospes (b=0.94; CI 95 % = -0.11 sd 1.90; p=0.053).
Bakteri Leptospira
masuk ke dalam tubuh manusia melalui kulit yang terluka atau membran mukosa, terutama sekitar kaki dan kelopak mata, hidung, dan selaput lendir yang terpapar. Menurut
beberapa penelitian,
Leptospira yang paling
sering menginfeksi
manusia adalah
Icterohaemorrogic dengan
reservoir tikus, Canicola
dengan reservoir anjing
dan Pomona dengan
reservoir babi. (Depkes RI, 2008).
Penelitian ini sejalan
dengan penelitian
Suratman (2006),
menyatakan bahwa hasil
analisis statistik secara multivariat menunjukkan bahwa adanya riwayat luka mempunyai risiko 12,16 kali
lebih besar untuk
terjadinya leptospirosis
berat dibandingkan tidak
ada riwayat luka
(OR=12,16; CI 95%=
2,99sd49,37; p<0.001). Penelitian ini tidak sejalan dengan penelitian
Ningsih, (2009) yang
menyatakan bahwa, tidak
ada hubungan antara
riwayat luka terhadap
kejadian leptospirosis
tetapi mempunyai p < 0,25 sehingga dianalisis lebih lanjut secara multivariat tetapi tetap tidak ada pengaruhnya.
5.Pengaruh perilaku higiene
dan penggunaan APD terhadap riwayat luka
commit to user
risiko riwayat luka sebesar 2.08 unit lebih tinggi daripada yang perilaku higienisnya baik (b=2.08; CI 95% =1.15 sd 3.02; p<0.001).
Berperilaku hygienis
dengan penggunaan APD saat beraktifitas di tempat yang berisiko terkena
paparan urin tikus
penyebab leptospirosis,
merupakan salah satu cara
melakukan pencegahan
terhadap penularan
penyakit leptospirosis.
Yang dimaksudkan dengan
berperilaku hygienis
dengan APD pada
penelitian ini yaitu
menggunakan sarung
tangan, alas kaki (sandal), pada saat membersihkan selokan/parit dan pada saat
beraktifitas sehari-hari
(misalnya membersihkan rumah, bekerja disawah sebagai petani). Dan selalu menggunakan sabun atau bahan antiseptik setelah
melakukan aktifitas
tersebut.
6.Pengaruh kondisi selokan
terhadap keberadaan
hospes
Hasil analisis
menunjukkan ada
pengaruh kondisi selokan
yang buruk terhadap
peningkatan logit risiko keberadaan hospes dan secara statistik signifikan. Kondisi selokan yang buruk meningkatkan logit risiko keberadaan hospes sebesar 3.59 unit lebih tinggi daripada kondisi selokan yang baik (b=3.59; CI 95 % = 2.28 sd 4.89; p<0.001).
Suratman (2006)
dalam penelitiannya
menyatakan bahwa kondisi
selokan yang buruk
mempunyai risiko 5,58 kali
lebih besar untuk
terjadinya leptospirosis
berat dibandingkan kondisi
selokan yang baik
(OR=5,58; 95%CI: 1,55-20,01; p=0.008).
Selokan yang sehat
yaitu, yang dapat
commit to user
lancar tanpa mencemari lingkungan dan tidak dapat dijangkau serangga dan tikus.
Selokan menjadi tempat
yang sering dijadikan
tempat tinggal tikus
ataupun merupakan jalur tikus untuk masuk ke rumah, sehingga dapat
menjadi media untuk
menularkan penyakit
leptospirosis. Kondisi
selokan yang menggenang sering meluap serta jarak dari rumah kurang 2 meter merupakan faktor yang
berpengaruh terhadap
kejadian leptospirosis
(Suratman, 2006. Priyanto, 2008)
7. Pengaruh kondisi TPS
terhadap keberadaan
hospes
Ada pengaruh kondisi TPS yang buruk terhadap peningkatan logit risiko keberadaan hospes dan secara statistik signifikan. Kondisi TPS yang buruk meningkatkan logit risiko keberadaan hospes sebesar 2.47 unit lebih tinggi
daripada kondisi tempat sampah yang baik (b=2.47; CI 95 % =1.17 sd 3.76; p<0.001).
Adanya kumpulan
sampah di sekitar rumah akan menjadi tempat yang
disenangi tikus.
Keberadaan sampah
terutama sampah sisa
sisa makanan yang
diletakkan ditempat
sampah yang tidak tertutup
akan mengundang
kehadiran tikus.
Penelitian ini sejalan
dengan penelitian
Ramadhani (2010) yang
menunjukkan ada
hubungan antara kondisi
sampah yang terbuka
terhadap kejadian
Leptospirosis (OR=3.55 ;
CI95%=0.97sd13.07 ;
p=0.045). Penelitian
Priyanto menunjukkan ada hubungan antara sampah di dalam rumah dan
kejadian leptospirosis
commit to user
dalamnya tidak terdapat sampah (Priyanto, 2008; Ramadhani, 2010).
8.Pengaruh kondisi selokan
terhadap perilaku higiene dan penggunaan APD
Hasil analisis
menunjukkan ada
pengaruh perilaku higiene dan penggunaan APD yang
buruk terhadap
peningkatan logit risiko kondisi selokan yang buruk dan secara statistik
signifikan. Perilaku
higiene dan penggunaan
APD yang buruk
meningkatkan logit risiko kondisi selokan yang buruk sebesar 1.69 unit lebih tinggi daripada
perilaku higiene dan
penggunaan APD yang baik (b=1.69; CI 95 % =0.85 sd 2.25; p<0.001).
Selokan/parit sering
menjadi tempat tinggal
tikus/wirok ataupun
merupakan jalur tikus untuk masuk ke rumah, serta sering juga dilalui
oleh hewan-hewan
peliharaan seperti kucing,
anjing, dan kambing
sehingga selokan dapat menjadi media untuk
menularkan penyakit
leptospirosis. Peran
selokan sebagai jalur
penularan penyakit
leptospirosis terjadi ketika air selokan terkontaminasi oleh urin tikus atau hewan peliharaan yang terinfeksi bakteri leptospira dan aliran air selokan tidak lancar atau tergenang
sehingga meluap ke
lingkungan sekitar rumah.
Hasil wawancara
dengan responden, kondisi selokan/parit pada saat hujan airnya selalu meluap sampai halaman dan sekitar rumah, hal ini di karenakan selokan/parit
selalu tidak bisa
menampung air pada saat
hujan, adapun hasil
pengamatan dengan
lembar observasi (cek list),
selokan/parit ada
commit to user
meter bahkan sebagian
dari responden
selokan/parit pembuangan air limbah rumah tangga berada tepat di belakang rumah, dengan kondisi terbuka, ada jalur (rongga-rongga) tikus, dan sangat
dimungkinkan sebagai
jalur (tempat
persembunyain), keluar
masuknya tikus dari
selokan/parit ke dalam rumah. Rejeki, (2009)
dalam penelitiannya
menyebutkan, selokan
sehat bila air selokan lancar/tidak menggenang, tidak meluap saat hujan dan tidak dilewati tikus.
Penelitian ini sejalan
dengan penelitian
Suratman (2006) dalam penelitiannya menyatakan bahwa kondisi selokan yang buruk mempunyai risiko 5,58 kali lebih besar
untuk terjadinya
leptospirosis berat
dibandingkan kondisi
selokan yang baik
(OR=5,58; CI95%=1,55
hingga 20,01; p=0.008).
Selokan/parit yang sehat
yaitu, yang dapat
mengalirkan air limbah dari sumbernya (kamar mandi, dapur) ketempat penampungan air dengan lancar tanpa mencemari lingkungan dan tidak dapat dijangkau serangga dan tikus.
9. Pengaruh kondisi selokan
terhadap kondisi TPS
Hasil analisis
menunjukkan ada
pengaruh kondisi selokan yang buruk terhadap peningkatan logit kondisi TPS dan secara statistik signifikan. Kondisi selokan yang buruk memiliki risiko logit sebesar 0.55 unit lebih tinggi daripada kondisi selokan yang baik (b=0.55; CI 95 % = 0.39 sd 0.10; p<0.001).
Penelitian ini sejalan dengan penelitian Tri
Ramadhani yang
menunjukkan ada
hubungan antara kondisi sampah yang tidak layak
(terbuka) terhadap
commit to user
0,045) dengan OR=3,55;
95% CI 95% =
0,97sd13,07. Dalam
penelitian Priyanto
menyatakan bahwa ada hubungan antara adanya sampah di dalam rumah
dengan kejadian
leptospirosis (p= <0,001)
dan beresiko untuk
terpapar sebesar 8,46 kali
dibandingkan dengan
rumah yang didalamnya tidak terdapat sampah
(Priyanto, 2008;
Ramadhani, 2010).
KESIMPULAN DAN SARAN 1. Kesimpulan
Ada pengaruh positip langsung riwayat luka terhadap peningkatan logit
risiko kejadian
Leptospirosis (b=1.43; CI 95 % = 0.59 sd 2.26; p < 0.001). Ada pengaruh positip langsung jenis
kelamin perempuan
terhadap penurunan logit
risiko kejadian
Leptospirosis tetapi secara statistik tidak signifikan (b=0.10; CI 95%= -0.74 sd 0.95; p = 0.813).
Ada pengaruh usia <40 tahun negatip langsung terhadap penurunan logit
risiko kejadian
Leptospirosis tetapi secara statistik tidak signifikan (b= -0.07; CI 95% = -0.92 sd 0.79; p = 0.878). Ada
pengaruh langsung
keberadaan hospes dan
adanya riwayat luka
terhadap penurunan logit risiko adanya riwayat luka
dan secara statistik
mendekati signifikan
(b=0.94; CI 95 % = -0.11 sd 1.90; p=0.053). Ada
pengaruh langsung
perilaku higiene dan
penggunaan APD terhadap peningkatan logit risiko
adanya riwayat luka
(b=2.08; CI 95% =1.15 sd
3.02; p<0.001). Ada
pengaruh langsung antara kondisi selokan yang
buruk terhadap
peningkatan logit risiko
keberadaan hospes
(b=3.59; CI 95 % = 2.28 sd
4.89; p<0.001). Ada
commit to user
buruk terhadap
peningkatan logit kondisi TPS (b=0.55; CI 95 % = 0.39 sd 0.10; p<0.001). Ada pengaruh langsung antara kondisi selokan yang buruk terhadap higiene dan penggunaan
APD terhadap
peningkatan logit risiko kondisi selokan yang buruk (b=1.69; CI 95 % =0.85 sd 2.25; p<0.001). Ada pengaruh langsung antara TPS yang buruk terhadap peningkatan logit risiko keberadaan hospes (b=2.47; CI 95 % =1.17 sd 3.76; p<0.001).
2. Saran
Masyarakat membuat
TPS yang tertutup, jarak dari rumah lebih dari 500 m dan membuang dan membuang secara rutin (2 kali sehari) ke tempat pembuangan akhir
(TPA). Menjaga selokan
dalam kondisi kering dan
mengalir. Mengendalikan
tempat perindukan tikus di dalam ataupun di luar
rumah. Membudayakan
penggunaan APD.
Membudayakan pola hidup bersih dan sehat. Merawat luka goresan luka atau
menutup pada saat
melakukan aktifitas sehari-hari
Institusi kesehatan
melakukan pengendalian
faktor risiko lingkungan kerjasama dengan dinas
terkait misalnya
mensosialisasikan cuci
tangan pakai sabun (CTPS) dan Program Kali Bersih
(PROKASIH). Melakukan
penyluhan tentang perilaku hidup bersih dan sehat (PHBS) secara periodik
(setiap bulan sekali).
Mengingatkan masyarakat tentang bahaya leptospirosis melalui penyuluhan dan media yang mudah diterima
oleh semua lapisan
masyarakat.
Peneliti lain melanjutkan
penelitian tentang
leptospirosis dengan
pemeriksaan serologi dengan
Microscopic Aglutination
Test (MAT) baik untuk
commit to user
agar diketahui jenis
Leptospira patogen atau
tidak, serta pemeriksaan badan air agar dapat diketahui badan air tersebut
sudah tercemar bakteri
Leptospiraatau tidak.
DAFTAR PUSTAKA
Balai Besar Teknologi
Kesehatan. 2014. Laporan
Hasil Investigasi Penyakit
Leptospirosis Di
Kabupaten Boyolali.
Yogyakarta.
Widya Hary Cahyati,
H.W,.dan Lestari, F,.2009.
Hubungan Kebersihan
Pribadi Dan Riwayat Luka
Dengan Kejadian
Leptospirosis. Jurnal
Kesehatan Masyarakat. Semarang
Chin, J. 2000. Manual
Pemberantasan Penyakit Menular. Edisi 17. Jakarta. Departemen Kesehatan RI.
2008. Pedoman Diagnosa
dan Penatalaksanaan
Penanggulangan Kasus
Leptopsirosis di
Indonesia. Jakarta: Ditjen PP&PL.
Dinas Kesehatan Kabupaten
Boyolali. 2014. Laporan
Mingguan EWARS.
Boyolali: P3PL DKK
Boyolali.
Dinas Kesehatan Prop. Jawa
Tengah. 2015. Profil
Kesehatan Propinsi Jawa Tengah Tahun 2014. Semarang: DinKes Jawa Tengah
Febrian, F. 2011. Analisis
Spasial Kejadian Penyakit
Leptospirosis Di
Kabupaten Sleman
Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta Tahun 2011.
Yogyakarta: Tesis.
Universitas Gadjah Mada. Kementerian Kesehatan RI.
2015. Profil Kementerian
Kesehatan R.I. Tahun 2014. Jakarta.
Kerlinger, Fred. N. 2003.
Asas-asas Penelitian
Behavioral. Terj. Landung
R Simatupang,
Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
Lemeshow, et.al. 1997. Besar
Sampel Dalam Penelitian
Kesehatan. Yogyakarta:
Gadjah Mada University Press.; 1997.p.21-26.
Maesyaroh, B., Siti. 2014. Faktor Lingkungan Yang
Berkaitan Dengan
Kejadian Leptospirosis di Kabupaten Pati Jawa
Tengah. Pati. Jurnal
Kesehatan Lingkungan
Indonesia. Vol. 13 No. 2 Meites, et al. 2004. Emerging
Infectious Diseases. DCD. A Peer-Reviewed Journal Tracking and Analyzing
Disease Trends.
commit to user
Murti, Bhisma. 2013. Desain
Dan Ukuran Sampel
Untuk Penelitian
Kuantitatif Dan Kualitatif Di Bidang Kesehatan. Yogyakarta. Gadjah Mada University Press. Cetakan ketiga.
Ningsih, R. 2009. Faktor
Risiko Lingkungan
Terhadap Kejadian
Leptospirosis Di Jawa
Tengah (Studi Kasus Di
Kota Semarang,
Kabupaten Demak Dan Pati). Tesis. Universitas Diponegoro Semarang.
Okatini, Mari. 2007.
Hubungan Faktor
Lingkungan Dan
Karakteristik Individu
Terhadap Kejadian
Penyakit Leptospirosis di
Jakarta 2003-2005.
Jurnal. Makara
Kesehatan. Vol. 11, No. 1, Juni 2007: 17-24
Priyanto, Agus. 2008. Faktor-Faktor Yang Berpengaruh
Terhadap Kejadian
Leptospirosis (Studi Kasus Di Kabupaten Demak). Tesis.
Ramadhani, T., Yunianto, B.
2010. Kondisi lingkungan
pemukiman Yang tidak sehat berisiko Terhadap
kejadian leptospirosis
(studi kasus di kota
semarang). Suplemen
Media Penelitian dan
Pengembangan Kesehatan Volume XX Tahun 2010
Rejeki, D,S,S. 2005. Faktor
Risiko Lingkungan Yang
Berpengaruh Terhadap
Kejadian Leptospirosis
Berat (Studi Kasus di
Rumah Sakit Dr. Kariadi
Semarang). Tesis.
Universitas Diponegoro
Semarang.
Rusmini, 2011. Bahaya
Leptospirosis (Penyakit
Kecing Tikus) dan Cara Pencegahannya. Gosyen
Publishing. Cetakan
Pertama 2011.
Suratman. 2006. Tesis
Analisis Faktor Risiko Lingkungan Dan Perilaku
Yang Berpengaruh
Terhadap Kejadian
Leptospirosis Berat Di
Kota Semarang (Studi
Kasus Leptospirosis yang Dirawat di Rumah Sakit Dr. Kariadi Semarang).
Tesis. Universitas
Diponegoro Semarang.
WHO. 2003. Human
Leptospirosis : Guaidance