• Tidak ada hasil yang ditemukan

ASIMETRI HARGA BERAS : STUDI KASUS 10 PROVINSI DI INDONESIA SELLY YANTY NANSYAH PUTRI

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "ASIMETRI HARGA BERAS : STUDI KASUS 10 PROVINSI DI INDONESIA SELLY YANTY NANSYAH PUTRI"

Copied!
70
0
0

Teks penuh

(1)

ASIMETRI HARGA BERAS : STUDI KASUS ', 10

PROVINSI DI INDONESIA

SELLY YANTY NANSYAH PUTRI

DEPARTEMEN ILMU EKONOMI FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

(2)
(3)

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN

SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Asimetri Harga Beras : Studi Kasus dL 10 Provinsi di Indonesia adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

Bogor, September 2016

Selly Yanty Nansyah Putri

(4)

ABSTRAK

SELLY YANTY NANSYAH PUTRI. Asimetri Harga Beras : Studi Kasus di 10 Provinsi di Indonesia. Dibimbing oleh Dr. SAHARA, S.P, M.Si

Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis pergerakan harga beras IR 64 dan asimetri harga antara produsen dengan konsumen di 10 provinsi Indonesia. Jenis data yang digunakan adalah data sekunder bentuk time series bulanan periode 2003-2015 yang diperoleh dari BPS. Menggunakan data harga GKP untuk beras di tingkat produsen dan harga beras eceran untuk tingkat konsumen. Metode yang digunakan adalah Error Correction Model (ECM).

Hasil penelitian menunjukan bahwa dalam jangka pendek transmisi harga beras konsumen terhadap harga beras produsen bersifat asimetris. Terjadi di 5 provinsi yaitu Sumatra Utara, Jawa Tengah, Jawa Timur, Kalimantan Barat dan Kalimantan Timur. Sedangkan pada jangka panjang bersifat simetris di Sumatra Utara, Jawa Tengah, Jawa Timur, NTB, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah dan Kalimantan Timur.

Kata kunci: Beras, Asimetri Harga , ECM

ABSTRACT

SELLY YANTY NANSYAH PUTRI. Asymmetry Rice Price : AStudy of 10 Provinces in Indonesia. Supervised by Dr. SAHARA, S.P, M.Si.

This research examines price movement of rice IR 64 and price asymmetry between the producer anf the consumer in 10 provinces in Indonesia. Data for this study is a secondary data from BPS, monthly time series in period 2003-2015. Using GKP price data of rice at the producer’s level and retail price of rice at the consumer’s level. The analytical tool on this research is Error Correction Model (ECM).

The results show that in short term, transmission of consumer price on producer price is asymmetry. It happens on 5 provinces which are North Sumatra, Central Java, East Java, West Kalimantan and East Kalimantan. While in the long term, it is symmetry in North Sumatra,Central Java, East Java, NTB, West Kalimantan, Central Kalimantan and East Kalimantan.

(5)

Skripsi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi

pada

Departemen Ilmu Ekonomi

ASIMETRI HARGA BERAS : STUDI KASUS D, 10

PROVINSI DI INDONESIA

DEPARTEMEN ILMU EKONOMI FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

2016

(6)
(7)
(8)

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Karya ilmiah ini disusun sebagai salah satu syarat untuk mendapatkan gelar Sarjana Ekonomi pada Departemen Ilmu Ekonomi, Fakultas Manajemen IPB. Judul yang dipilih dalam penelitian adalah Asimetri Harga Beras : Studi Kasus Pada 10 Provinsi Di Indonesia. Penulis mengucapkan terima kasih kepada orang-orang yang telah memberikan bantuan, dukungan dan semangat bagi penulis yaitu:

1. Dr. Sahara S.P M.Si selaku dosen pembimbing yang telah memberikan ilmu dan membimbing penulis dengan sabar sehingga karya ilmiah ini dapat diselesaikan dengan baik.

2. Dr. Widyastutik S.E M.Si dan Dr. Eka Puspitawati S.P M.Si sebagai dosen penguji yang telah menyumbangkan masukan yang sangat berharga dalam perkembangan skripsi

3. Orang tua, adik, serta keluarga yang selalu memberikan doa dan semangat. 4. Aminatus Sofiah, Novizariani Dewi dan Teguh Aditya selaku rekan

sebimbingan dan seperjuangan penulis dalam menyelesaikan karya ilmiah ini. 5. Ka Noratun J dan Ka Retno yang telah membantu memberikan masukan

dalam penelitian.

6. Bambang Aji N, teman dekat penulis yang telah memberikan dukungan dan doa selama penulisan karya ilmiah ini

7. Sahabat penulis, Shelvy Y, Indah KJE, Gisa R, Vicky A, Talitha N, Cassandra, Ratri D, Irman R, Faisal, M. Aulia

Teman-teman ESP 49, KKN-P Desa Cijolang, dan semua pihak yang telah membantu penulis dalam menyelesaikan karya ilmiah ini yang tidak bisa penulis sebutkan satu persatu. Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, September 2016

(9)

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL x DAFTAR GAMBAR x DAFTAR LAMPIRAN xi ABSTRAK iv PRAKATA viii PENDAHULUAN 1 Latar Belakang 1 Perumusan Masalah 2 Tujuan Penelitian 4 Manfaat Penelitian 4

Ruang Lingkup Penelitian 4

TINJAUAN PUSTAKA 5

Transmisi Harga 5

Transmisi Harga Tidak Simetris 5

Penyebab Asimetris Harga 8

Penelitian Terdahulu 9

Hipotesis 11

Kerangka Pemikiran 11

METODE PENELITIAN 12

Jenis dan Sumber Data 12

Metode Analisis Data 12

Model Asimetri Harga 15

GAMBARAN UMUM 15

Gambaran Pergerakan Harga Beras Indonesia 15

HASIL DAN PEMBAHASAN 21

Analisis Asimetri Harga Beras di 10 Provinsi Indonesia 22

Uji Stasioneritas 22

Uji Kointegrasi 23

(10)

Analisis Asimetris Harga 25

Rangkuman 32

SIMPULAN DAN SARAN 33

Kesimpulan 33

Saran 34

Daftar Pustaka 35

LAMPIRAN 37

(11)

DAFTAR TABEL

1. Produksi dan konsumsi beras di Indonesia tahun 2011-2015 1 2. Deskripsi statistik harga nominal produsendan konsumen beras di 10

provinsi di Indonesia tahun 2003-2015 21

3. Hasil uji stasioneritas data harga produsen dan konsumen pada level dan

first difference dengan ADF Test pada 10 provinsi Indonesia 22 4. Hasil uji kointegrasi pada data harga produsen dan konsumen beras di

10 provinsi Indonesia tahun 2003-2015 23

5. Hasil uji kausalitas dengan metode Granger Causality pada harga

produsen dan konsumen 24

6. Hasil model ECM pada harga berass konsumen dan harga produsen di 7

provinsi Indonesia 25

7. Uji Wald test dengan model ECMpada provinsi Sumatra Utara, Jawa

Tengah, dan Jawa Timur 30

8. Uji Wald test dengan model ECMpada provinsi NTB dan Kalimantan

Tengah 30

9. Uji Wald test dengan model ECMpada provinsi Kalimantan Barat dan

Kalimantan Timur 31

10. Pemilihan provinsi untuk uji asimetri harga beras jenis IR 64 di

Indonesia 32

DAFTAR GAMBAR

1 Kontribusi rata-rata produksi padi di 10 provinsi di Indonesia (%) tahun

2011-2015 1

2 Perkembangan rata-rata harga produsen dan harga konsumen beras di

Indonesia (Rp/Kg) 2

3 Perkembangan rata-rata harga produsen dan harga konsumen beras di 10

provinsi Indonesia (Rp/Kg) 3

4 Transmisi harga asimetris menurut kecepatan dan besaran 6 5 Transmisi harga tidak simetris positif dan negatif 7

6 Kerangka pemikiran 12

7 Perkembangan harga beras riil di tingkat produsen dan konsumen tahun

2003-2015 di Sumatra Utara 16

8 Perkembangan harga beras nominal di tingkat produsen dan konsumen

tahun 2003-2015 di Jambi 16

9 Perkembangan harga beras nominal di tingkat produsen dan konsumen

tahun 2003-2015 di Jawa Tengah 17

10 Perkembangan harga beras nominal di tingkat produsen dan konsumen

tahun 2003-2015 di Jawa Timur 17

11 Perkembangan harga beras nominal di tingkat produsen dan konsumen

tahun 2003-2015 di Bali 18

12 Perkembangan harga beras nominal di tingkat produsen dan konsumen

(12)

13 Perkembangan harga beras nominal di tingkat produsen dan konsumen

tahun 2003-2015 di Jawa Barat 19

14 Perkembangan harga beras nominal di tingkat produsen dan konsumen

tahun 2003-2015 di Kalimantan Barat 19

15 Perkembangan harga beras nominal di tingkat produsen dan konsumen

tahun 2003-2015 di Kalimantan Tengah 20

16 Perkembangan harga beras nominal di tingkat produsen dan konsumen

tahun 2003-2015 di Kalimantan Timur 20

DAFTAR LAMPIRAN

1 Transmisi harga beras produsen-konsumen 8 provinsi 37 2 Penentuan selang optimal (optimal lag) produsen-konsumen di 8

provinsi Indonesia 45

3 Pengujian kointegrasi pada data harga beras produsen-konsumen di 8

provinsi Indonesia 49

4 Pengujian kausalitas pada data harga beras produsen-konsumen di 7

provinsi Indonesia 53

(13)

Jatim, 17.02 Jabar, 16.64 Jateng, 14.25 Jambi; 9.28 Sumut, 5.25 NTB, 3.05 Kalbar, 1.97 Bali, 1.23 Kaltim, 6.58 Kalteng, 1.13 Provinsi lainnya, 23.6

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Beras merupakan komoditas penting, sebagaibahan makanan utama bagi penduduk di Indonesia.Produksi beras di Indonesia lima tahun terakhir mengalami peningkatan tiap tahunnya. Terlihat dari Tabel 1 bahwa peningkatan produksi beras tahun 2014 hingga tahun 2015 adalah sebesar 2.61 juta ton. Walaupun demikian, produksi beras dalam negeri tetap tidak bisa memenuhi kebutuhan konsumsi beras dalam negeri. Konsumsi beras pada tahun 2015 mencapai 98.05 Kg/Kap/Tahun. Tabel 1 Produksi dan konsumsi beras di Indonesia tahun 2011-2015

Tahun Produksi (ton) Konsumsi Beras

(Kg/Kap/Tahun) Padi Beras 2011 65.756.904 41.558.363 102.87 2012 69.056.126 43.643.471 97.65 2013 71.279.709 45.048.776 97.40 2014 70.846.465 44.774.965 97.20 2015 74.991.788 47.394.810 98.05 Sumber : BPS (diolah), 2015

Di Indonesia terdapat beberapa jenis varietas beras yang di produksi. Beras yang paling sering beredar di pasaranadalah beras jenis IR 64, produksinya terdapat di 10 provinsi sentra yaitu Sumatra Utara, Jambi, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Bali, NTB, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah dan Kalimantan Timur. Pada Gambar 1 terlihat bahwa produksi beras masih didominasi oleh provinsi-provinsi di Pulau Jawa yaitu, Jawa Timur (17.02%), Jawa Barat (16.64%), Jawa Tengah (14.25%) dan sisanya tersebar di 7 provinsi sentra produksi lainnya.

Sumber : Pusdatin Kementrian Pertanian, 2015

Gambar 1 Kontribusi rata-rata produksi padi di 10 provinsi di Indonesia (%) tahun2011-2015

Walaupun Indonesia memiliki banyak provinsi sentra produksi beras, namun rata-rata konsumsi beras di Indonesia sangat tinggi dibandingkan dengan negara Asia lainnya. Pada tahun 2007 hingga tahun 2014 adalah sebesar rata-rata konsumsi beras di Indonesia sebesar 1.71 Kg/Kapita/Minggu. Hal ini menunjukkan tingkat

(14)

2,000 4,000 6,000 8,000 10,000 12,000 14,000 Jan -11 Ma y-1 1 Se p -11 Jan -12 Ma y-1 2 Se p -12 Jan -13 Ma y-1 3 Se p -13 Jan -14 Ma y-1 4 Se p -14 Jan -15 Ma y-1 5 Se p -15 Harga (R p/K g) Bulan

Harga Produsen Harga Konsumen

ketergantungan yang tinggi masyarakat Indonesia terhadap konsumsi beras.Dengan jumlah penduduk di Indonesia hingga tahun 2016 iniadalah sebesar 258.705 juta jiwa, kebutuhan konsumsi akan beras dalam negeri dipenuhi melalui impor. Menurut data BPS rata-rata volume impor beras dan bahan makanan lainnya yang berasal dari beras pada kurun waktu antara 2010-2014 sebesar 1.32 juta ton. Volume ekspor impor beras di Indonesia berfluktuasi cukup tajam, sehingga pergerakan harga beras di Indonesia perlu mendapatkan perhatian besar dari pemerintah.

Sumber : BPS (diolah),2015

Gambar 2 Perkembangan rata-rata harga produsen dan harga konsumen beras di Indonesia, (Rp/Kg)

Harga beras pada level produsen dan konsumen berfluktuatif dan cenderung meningkat di tahun 2015. Terlihat pada Gambar 2 bahwa harga beras di level produsen mengalami penurunan muali bulan Februari hingga April sebesar Rp.400/Kg sedangkan pada saat yang bersamaan, harga konsumen meningkat sebesar Rp.1.617/Kg dan turun kembali pada bulan April.

Perumusan Masalah

Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya bahwa di Indonesia, beras merupakan komoditas pangan utama sehingga harga beras merupakan hal penting untuk diteliti. Beras yang paling sering beredar dipasaran adalah jenis beras IR 64 yang produksi nya berada di 10 provinsi Indonesia yaitu Sumatra Utara, Jambi, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Bali, NTB, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah dan Kalimantan Timur.

Kondisi harga beras pada 10 provinsi di Indonesia menunjukkan pola pergerakan yang tidak sama. Pergerakan harga di tingkat konsumen cenderung berfluktuasi dibandingkan harga di tingkat produsen. Hal tersebut menimbulkan kekhawatiran baik pada produsen ataupun konsumen, bahwa apabila terjadi kenaikan atau penurunan harga di tingkat konsumen apakah kenaikan ataupun penurunan tersebut benar-benar ditransmisikan secara sempurna pada harga di tingkatkonsumen ataupun sebaliknya.

(15)

0 1000 2000 3000 4000 5000 6000 7000 8000 (Rp/K g ) Provinsi

Harga Produsen Harga Konsumen

Sumber : BPS (diolah), 2015

Gambar 3 Perkembangan rata-rata harga produsen dan harga konsumen beras di 10 provinsi Indonesia tahun 2003-2015 (Rp/Kg)

Berdasarkan Gambar 3 terlihat bahwa adanya perbedaaan pola pergerakan harga beras di tingkat produsen dan tingkat konsumen. Harga konsumen tertinggi terdapat pada provinsi Kalimantan Barat yaitu sebesar Rp 6.874/Kg sedangkan harga beras di tingkat konsumen terendah terdapat di provinsi NTB sebesarRp 5.669/Kg. Sedangkan harga beras di tingkat produsen tertinggi terdapat pada provinsi Jawa Barat yaitu sebesar Rp 4.162/Kg. Harga rata-rata produsen berada di provinsi NTB yaitu hanya sebesar Rp 3.024/Kg. Hal ini menunjukkan tingginya harga di tingkat konsumen di Kalimantan Barat tidak diikuti oleh harga di tingkat produsen di Kalimantan Barat. Hal ini mengindikasikan adanya transmisi harga yang tidak ditransmisikan secara sempurna.

Efisiensi pemasaran dan kesejahteraan yang didapat oleh produsen ataupun konsumen beras dapat diketahui melalui analisis transmisi harga. Transmisi harga vertikal pada umumnya dilakukan terhadap suatukomoditas pada tingkat yang berbeda dalam rantai pasok. Transmisi harga vertikalmengindikasikan adanya market

power yang umumnya dipicu oleh konsentrasi pasaryang lebih tinggi pada suatu

guncangandalam rantai pasok. Sementara itu transmisi hargaspasial dilakukan untuk melihat respon perubahan harga yang dipicu oleh perubahanharga komoditas yang sama di wilayah lain, baik antar daerah dalam suatu Negara (Goodwin 2006) maupun antara negara eksportir dengan negara importir (Liu 2011).

Menurut Irawan (2007) transmisi harga dari pasar konsumen kepada petani cenderung bersifat asimetris, dalam pengertian bahwa jika terjadi kenaikan harga di tingkat konsumen maka kenaikan harga tersebut tidak diteruskan kepada petani secara cepat dan sempurna, sebaliknya jika terjadi penurunan harga akan diteruskan kepada petani secara cepat dan sempurna. Transmisi harga ini terkait dengan perubahan dua faktor utama dalam pembentukan harga yaitu permintaan dan penawaran (Tomek 2000).

Salah satu penyebab transmisi harga yang tidak simetris antar pasar yang terhubung secara vertikal (dalam satu rantai pemasaran) adalah adanya perilaku tidak kompetitif antara para pedagang perantara, khususnya apabila pedagang perantara

(16)

tersebut berada pada pasar yang terkonsentrasi. Umumnya pedagang perantara akan berusaha mempertahankan tingkat keuntungannya dan tidak akan menaikkan atau menurunkan harga sesuai dengan sinyal harga yang sebenarnya. Sehingga pedagang perantara akan lebih cepat bereaksi terhadap kenaikan harga dibandingkan dengan penurunan harga. Pada akhirnya pasar petani dan konsumen menjadi tidak tertransmisi (Vavra dan Goodwin 2005). Oleh karena ituuntuk membuktikan bahwa apakah harga beras pada tingkat produsen dan tingkat kosumen terjadi secara asimetris atau tidak, maka dapat dirumuskan beberapa permasalahan sebagai berikut :

1. Bagaimana pergerakan harga beras pada tingkat produsen dan konsumen di 10 provinsi Indonesia?

2. Apakah terjadi asimetri harga beras di 10 provinsi produsen beras di Indonesia?

Tujuan Penelitian

Berdasarkan latar belakang dan permasalahan yang telah dirumuskan, maka tujuan dari penelitian ini diantaranya :

1. Menganalisispergerakan harga beras pada tingkat produsen dan konsumen di 10 provinsi Indonesia

2. Menganalisis simetris harga beras di 10 provinsi Indonesia Manfaat Penelitian

Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat berguna :

1. Bagi pemerintah,diharapkan penelitian ini dapat menjadi bahan pertimbangan dalam menetapkan kebijakan stabilitas harga beras.

2. Bagi akademisi, diharapkan penelitian ini dapat menjadi sumber informasi dan referensi bagi penelitian-penelitian lainnya.

3. Bagi masyarakat umum, diharapkan penelitian ini dapat memberikan informasi dan pengetahuan umum mengenai transmisi harga beras pada level produsen dan konsumen di Indonesia.

Ruang Lingkup Penelitian

Penelitian ini menganalisis asimetris harga beras jenis IR 64di tingkat produsen dan tingkat konsumen pada 10 provinsi Indonesia. Provinsi tersebut yaitu Sumatra Utara, Jambi, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Bali, NTB, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, Kalimantan Timur. Data yang digunakan merupakan data sekunder bentuk time series bulanan periode 2003-2015.. Menggunakan data harga GKP untuk beras di tingkat produsen dan harga beras eceran di tingkat konsumen.

(17)

TINJAUAN PUSTAKA

Transmisi Harga

Teori harga berperan penting dalam ekonomi neo-klasik. Harga mendorong alokasi sumber daya dan pengambilan keputusan oleh pelaku ekonomi. Para ekonom neo-klasik mengungkapkan bahwa harga merupakan indikator utama yang dapat mencerminkan tingkat efisiensi suatu pasar.

Transmisi harga dan tingkat integrasi dapat dijadikan indikasi efisiensi yang terbentuk antar dua pasar yang saling berinteraksi, baik secara vertikal maupun spasial (Meyer dan von Cramon-Taubadel 2004).

Pada kasus spasial, interaksi harga akan berjalan sesuai hukum satu harga (Law

of One Price/LOP) dimana harga antara dua pasar yang berbeda lokasi adalah sama,

selisih harga yang terjadi hanya sebesar biaya transfer antar kedua pasar tersebut. Pada model tersebut, perubahan yang terjadi di sisi permintaan dan penawaran di salah satu pasar akan mempengaruhi perdagangan dan harga jual di pasar yang lain, sampai pada akhirnya mencapai suatu titik keseimbangan harga yang tidak memungkinkan terjadinya pertukaran perdagangan antara kedua pasar tersebut (Goodwin 2006).

Pada kasus vertikal, tingkat transmisi harga pada satu rantai pemasaran dapat menjadi petunjuk kinerja dari setiap lembaga pemasaran yang berada dalam rantai pemasaran tersebut. Suatu rantai pemasaran dikatakan efisien dan tertransmisi secara vertikal apabila pola interaksi harga antar level hanya tergantung pada biaya produksinya. Dengan kata lain, perubahan harga pada suatu level pemasaran akan ditransmisikan kepada level pemasaran lainnya secara selaras (Goodwin 2006). Asimetris harga secara teoritis dapat terjadi dalam hubungannya dengan karakteristik kompetisi yang tidak sempurna, misalnya akibat adanya lag informasi, promosi, dan konsentrasi pasar (Meyer dan vonCramon-Taubadel 2004).

Transmisi Harga Tidak Simetris

Transmisi harga dikatakan tidak simetris apabila terdapat perbedaan respon harga antara guncangan harga positif (saat terjadi kenaikan harga) dengan guncanganharga negatif (saat terjadi penurunan harga): Meyer dan von Cramon-Taubadel (2004) mengklasifikasikan 3 (tiga) kriteria transmisi harga yang tidak simetris sebagai berikut:

Kriteria yang pertama merujuk kepada kondisi transmisi harga yang tidak simetris dari sisi kecepatan waktu dan besaran penyesuaian harga. Dalam hal kecepatan waktu penyesuaian, fenomena asimetris terjadi apabila guncangan harga di salah satu pasar tidak dengan segera ditransmisikan oleh pasar lainnya. Sementara dari sisi besaran, fenomena asimetris terjadi pada saat guncangan harga di satu pasar tidak ditransmisikan secara penuh oleh pasar lainnya. Kondisi transmisi harga yang tidak simetris dari sisi kecepatan waktu dan besaran penyesuaian harga ditampilkan pada Gambar 4

(18)

a. Besaran b. Kecepatan

c. Besaran & Kecepatan Sumber: Meyer dan von Cramon-Taubadel 2004

Gambar 4 Transmisi harga asimetris menurut kecepatan dan besaran

Pada Gambar 4 diasumsikan sumber dari guncangan harga terjadi pada Pin. Dari Gambar 4.a dapat dilihat bahwa terjadi perbedaan respon dari sisi besaran penyesuaian harga di Pout antara guncangan positif dengan guncangan negatif yang terjadi di Pin. Pada saat terjadi guncanganpositif di Pin, Pout akan mentransmisikan guncangan tersebut secara sempurna, dimana kenaikan harga yang terjadi di Pout sama dengan kenaikan yang terjadi di Pin. Sementara saat terjadi guncangan negatif di Pin, penurunan harga yang terjadi di Pout tidak terjadi dengan sempurna. Hanya setengah dari guncangannegatif di Pin yang ditransmisikan oleh Pout.

Gambar 4.b menjelaskan transmisi hargayang tidak simetris dari sisi kecepatan waktu penyesuaian. Saat terjadi kenaikan harga di Pin pada waktu t1, Pout akan dengan segera melakukan penyesuaian pada waktu yang sama. Sementara saat di Pin terjadi penurunan harga, Pout tidak dengan segera merespon penurunan harga tersebut, melainkan terdapat lag selama n. Sehingga guncangan negatif di Pin baru akan ditransmisikan di Pout pada waktu t1+n.

Gambar 4.c menjelaskan transmisi yang tidak simetris dari sisi kecepatan waktu dan besaran. Kenaikan harga yang terjadi di Pin pada waktut1, tidak ditransmisikan seluruhnya pada waktu yang sama, melainkan hanya setengahnya. Pada waktu t2 barulah seluruh guncangan positif di Pin ditransmisikan secara sempurna. Sementara saat terjadi penurunan harga pada waktu yang sama di Pin, proes transmisinya dilakukan pada waktu yang lebih lama dibandingkan saat terjadi guncangan positif, yaitu pada waktu t3. Respon penurunan harga yang terjadi di Pout pun tidak sebesar penurunan harga yang terjadi di Pin. Hal ini menggambarkan bahwa terjadi transmisi yang tidak sempurna dari sisi kecepatan waktu dan besaran penyesuaian yang ditunjukan oleh Pout saat terjadi guncangan negatif di Pin.

Dalam Gambar 4 ditampilkan pula dampak hilangnya kesejahteraan akibat adanya transmisi harga yang tidak sempurna, yang digambarkan dalam bentuk area yang gelap. Menurut Meyer dan vonCramon-Taubadel (2004), transmisi harga tidak simetris dari sisi besaran menyebabkan hilangnya kesejahteraan secara permanen (Gambar 4.a), dan ukurannya hanya tergantung pada besarnya respon perubahan harga dan volume transaksi yang dilakukan. Sedangkan transmisi harga tidak

(19)

simetris dari sisi kecepatan akan menghilangkan kesejahteraan yang sifatnya sementara. Adapun ukuran atau besaran kesejahteraan yang hilang sementara tersebut sangat tergantung pada panjangnya interval waktu transmisi antara t1 dan t1+n, besarnya respon perubahan, dan volume transaksi yang dilakukan (Gambar 4.b). Terakhir, transmisi tidak simetris dari sisi kecepatan dan besaran akan menyebabkan perubahan kesejahteraan yang bersifat sementara sekaligus permanen (Gambar 4.c). Meyer dan von Cramon-Taubadel (2004) menambahkan bahwa hilangnya kesejahteraan yang sifatnya sementara dalam jumlah besar dapat memberikan dampak yang lebih buruk dibandingkan dengan hilangnya kesejahteraan permanen dalam jumlah kecil yang terjadi saat ini.

Kriteria kedua, mengacu pada Peltzman (2000) dalam Meyer dan von Cramon-Taubadel (2004), transmisi harga yang tidak simetris dapat diklasifikasikan menjadi transmisi tidak simetris yang positif dan transmisi tidak simetris yang negatif. Transmisi tidak simetris yang positif adalah kondisi dimana guncangan positif akan direspon secara lebih cepat dan/atau lebih sempurna dibandingkan saat terjadi guncangan negatif (Gambar 5.a). Sebalikannya, transmisi tidak simetris yang negatif adalah situasi dimana guncangannegatif akan lebih cepat dan/atau lebih sempurna direspon dibandingkan guncangan positif (Gambar 5.b).

a.Transmisi Harga Tidak Simetris positif b.Transmisi Harga Tidak Simetris negatif Sumber: Meyer dan von Cramon-Taubadel 2004

Gambar 5 Transmisi harga tidak simetris positif dan negatif.

Pada konteks transmisi harga vertikal dalam satu rantai pemasaran, transmisi tidak simetris yang positif ataupun negatif tidak hanya dapat terjadi dari hulu ke hilir saja, melainkan dapat pula terjadi sebaliknya (dari hilir ke hulu), contohnya pada saat terjadi pergesaran kurva permintaan. Untuk menghindari kesalahan penafsiran, Meyer dan von Cramon-Taubadel (2004) mendefinisikan transmisi harga tidak simetris yang positif adalah kondisi transmisi harga yang lebih cepat dan/atau lebih sempurna terjadi saat adanya tekanan terhadap marjin (squeeze marjin) dibandingkan saat adanya penambahan marjin (stretch marjin). Yang dimaksud dengan squeeze

marjin adalah pada saat terjadi kenaikan harga di hulu (Pin) atau penurunan harga di hilir (Pout), sementara stretch marjin adalah saat terjadi penurunan Pin atau kenaikan Pout.

Dalam hal kesejahteraan, apabila transmisi harga tidak simetris berjalan dari hulu ke hilir, misal untuk kasus produk pertanian adalah dari petani ke konsumen, maka transmisi tidak sempurna yang negatif dianggap baik bagi konsumen. Hal ini disebabkan kenaikan harga input tidak akan ditransmisikan kepada konsumen, sehingga konsumen akan selalu menikmati harga yang rendah.Sebaliknya, transmisi harga tidak simetris yang positif akan merugikan konsumen karena konsumen tidak pernah menikmati penurunan harga yang terjadi di tingkat petani. Akibatnya, harga di tingkat konsumen cenderung tinggi dan kesejahteraan konsumen akan berkurang.

(20)

Meskipun demikian, Vavra dan Goodwin (2005) menyebutkan bahwa untuk menghitung tingkat kesejahteraan maka perlu memperhatikan faktor biaya transaksi (adjustment cost) pada kasus transmisi vertikal) dalam perhitungan transmisi harga.

Kriteria yang ketiga transmisi harga tidak simetris yang terjadi secara vertikal atau spasial. Transmisi harga vertikal yang tidak simetris terjadi pada saat kenaikan harga di level petani ditransmisikan lebih cepat dan lebih sempurna kepada harga di level konsumen, dibandingkan saat terjadi penurunan harga di level petani. Sementara transmisi harga spasial yang tidak simetris dapat dicontohkan melalui perbedaan respon harga domestik terhadap harga internasional, dimana kenaikan harga internasional lebih cepat dan lebih sempurna diadopsi oleh harga domestik dibandingkan saat terjadi penurunan harga internasional.

Penyebab Asimetris Harga

Market Power

Irawan (2007) menjelaskan proses transmisi harga yang tidak sempurna dan bersifat asimetris terjadi pada komoditas pertanian. Pada dasarnya dinamika harga komoditas pertanian di daerah konsumen memiliki pola yang sama dengan dinamika harga di daerah produsen karena permintaan yang dihadapi petani di daerah produsen merupakan turunan dari permintaan di daerah konsumen. Namun, informasi pasar mengenai naik turunnya harga diteruskan kepada petani secara lambat dan tidak sempurna. Hal ini menyebabkan fluktuasi harga di pasar konsumen lebih tinggi dibanding di pasar produsen dan perbedaan fluktuasi harga tersebut akan semakin besar apabila transmisi harga yang terjadi semakin tidak sempurna.

Berbagai literatur ekonomi telah secara khusus mengidentifikasi berbagai faktor yang dapat menyebabkan terjadinya transmisi harga secara tidak simetris, baik secara spasial maupun vertikal. Sebagian besar penelitian mengaitkan fenomena transmisi harga yang tidak simetri dengan dugaan adanya market power yang dimiliki pedagang di pasar. Sebagian lagi mengemukan bahwa kehadiran biaya transaksi yang tinggi akan menyebabkan transmisi harga antar pasar menjadi tidak simetris, meskipun pasar tersebut berada pada pasar persaingan sempurna (Meyer dan von Cramon-Taubadel 2004).

Ward (1982) menyebutkan bahwa transmisi harga tidak simetris yang disebabkan oleh market power juga dapat terjadi secara negatif, apabila manufaktur dan pedagang perantara yang berada pada struktur pasar oligopoli beranggapan bahwa kenaikan harga justru beresiko terhadap penurunan marjinnya. Bailey dan Brorsen (1989) menambahkan bahwa transmisi harga tidak simetris akan berjalan secara positif atau negatif tergantung dari reaksi dari pesaing. Apabila suatu perusahaan percaya bahwa tidak ada satu pun pesaingnya yang akan merespon perubahan kenaikan harga, sementara pada saat terjadi penurunan harga seluruh pesainganya akan dengan cepat merespon, maka yang terjadi adalah transmisi harga tidak simetris yang negatif. Begitu pula sebaliknya, apabila perusahaan percaya bahwa pesainganya akan lebih bereaksi terhadap kenaikan harga dibandingkan penurunan harga maka transmisi harga tidak simetris yang terjadi adalah positif. Senada dengan hal tersebut, Meyer dan von Cramon-Taubadel (2004) menambahkan bahwa pada struktur pasar oligopoli, transmisi harga tidak simetris dapat terjadi secara positif maupun negatif, tergantung pada struktur dan perilaku pasar. Sementara pada pasar monopoli, transmisi harga tidak simetris yang terjadi lebih akan mengarah pada bentuk positif daripada negatif.

(21)

Adjustment Cost

Transmisi harga tidak simetris dapat terjadi antar level dalam satu rantai pemasaran yang disebabkan karena adanya sejumlah biaya yang harus dikeluarkan oleh pelaku usaha untuk menyesuaikan harganya (adjustment cost). Biaya tersebut meliputi biaya transaksi, biaya yang digunakan untuk perubahan label dan katalog harga, biaya periklanan, serta biaya akibat penyimpanan (Meyer dan von Cramon-Taubadel 2004).

Beberapa faktor lain yang diduga menjadi penyebab transmisi harga tidak simetris antara lain: (1) masing-masing perusahaan akan menyikapi secara berbeda dalam penyesuaian biaya tergantung apakah harga sedang naik atau sedang turun; (2) pelaku pemasaran menahan barangnya pada saat harga naik karena takut kehabisan stok (3) adanya intervensi pemerintah (Vavra dan Goodwin 2005).

Penelitian Terdahulu

Sahara dan Wicaksena (2013) dalam penelitiannya tentang Asimetri Transmisi Harga Petani-Ritel pada Industri Cabai Indonesia. Sektor ritel modern meningkatkan kekuatan pasar dan mempengaruhi harga dalam model menyebutkan bahwa tidak ada asimetri harga pada rantai supply cabai di Indonesia. Menggunakan data bulanan selama 18 tahun di pulau Jawa. Dalam penelitian ini menggunakan dua metode yaitu model Houck’s dan Error Correction Model (ECM).

Cahyaningsih (2010) dalam penelitiannya tentang Integrasi Spasial dan Vertikal di Pasar Beras, penelitian ini menggunakan data sekunder dalam bentuk

time series bulanan periode 2001-2011. Metode analisis yang digunakan adalah Vector Error Correction Model (VECM), impuls response dan komposisi ragam.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa secara spasial dalam perdagangan beras di Indonesia terdapat pasar-pasar kunci di Indonesia yaitu pasar di Medan, Semarang, Pontianak, Surabaya dan Jakarta. Perubahan harga beras yang terjadi pada pasar di wilayah tersebut akan menyebabkan perubahan harga beras diwilayah lain. Secara vertikal, pasar beras dalam negeri tidak terintegrasi dengan pasar beras di Vietnam dan Thailand dalam jangka panjang. Pasar beras dalam negeri sudah terintegrasi dengan pasar beras Vietnam dalam jangka pendek namun tidak terintegrasi dengan pasar beras Thailand, dan pasar beras Vietnamsudah terintegrasi dengan pasar beras Thailand dalam jangka pendek. Implikasi kebijakan perdagangan beras di Indonesia cukup difokuskan pada pasar-pasar acuan yaitu di Medan, Semarang, Pontianak, Jakarta dan Surabaya. Harga beras luar negeri tidak begitu berpengaruh pada kenaikan harga beras dalam negeri namun pengendalian impor beras tetap perlu dilakukan.

Yustiningsih (2012) melakukan studi mengenai Analisa Integrasi Pasar dan Transmisi Harga Beras Petani Konsumen di Indonesia. Penelitian ini menganalisis pergerakan harga Gabah Kering Panen (GKP) di level petani dan konsumen. Penelitian menggunakan data sekunder bulanan harga GKP di level petani dengan harga beras di level konsumen, dengan rentang waktu (time series) dari tahun 2000 sampai 2011. Dengan menggunakan model Error Correction Model (ECM). Hasil pendugaan model menunjukkan bahwa dalam jangka pendek transmisi harga GKP petani terhadap harga beras konsumen bersifat simetris, sementara dalam jangka panjang bersifat asimetris. Fenomena transmisi harga asimetris disebabkan oleh dua

(22)

hal, yaitu penyalahgunaan market power oleh pedagang perantara dan kebijakan pemerintah. Kebijakan perberasan dirancang untuk mengintervensi harga di tingkat petani agar berada di atas level harga pemerintah, sementara harga di tingkat konsumen diserahkan kepada mekanisme pasar.

Bustaman (2003) dalam penelitian berjudul Analisis Integrasi Pasar Beras di Indonesia. Penelitian ini mengukur derajat integrasi pasar beras tingkat provinsi, meliputi 15 provinsi. Menggunakan model pendekatan (ARDL) Distributed LagAuto

Regressive, model ini dapat mengetahui dua aspek dari integrasi pasar yaitu integrasi

pasar jangka pendek dan integrasi pasar jangka panjang. Dilakukan pengujian terhadap harga rata-rata tingkat konsumen di Indonesia dengan harga beras Thai kualitas medium (25 persen) di pelabuhan Indonesia (CIF), yang dikonversikan ke dalam satuan rupiah. Pengujian dilakukan dua arah dengan masing-masing pasar bertindak sebagai pasar lokal dan pasar acuan. Hasil pengujian integrasi vertikal antara pasar di tingkat produsen dan tingkat konsumen, saling terintegrasi jangka pendek kecuali di provinsi Jawa Tengah, Jawa Timur, Sumatera Barat dan Sulawesi Selatan, namun hampir semua provinsi terintegrasi di jangka panjang, tetapi besaran transmisi perubahan harga di produsen terhadap perubahan harga di konsumen lebih tinggi dibandingkan sebaliknya.

Harmini, et al (2011) dalam penelitiannya yang berjudul Analisis Transmisi Harga dalam SupplyChain Beras Indonesia. Penelitian ini menelaah pemasaran beras, transmisi harga beras spasial dan vertikal internasional, menggunakan data primer sebanyak 34 responden petani padi Kabupaten Karawang dan 12 pedagang beras serta data sekunder dan menggunakan model VAR/VEC. Pelaku-pelaku yang terlibat dalam pemasaran beras adalah petani padi yang menjual seluruh hasil panenya ke penggilingan padi, penggilingan padi yang menjual beras ke pedagang grosir di kecamatan dan di pasar Cipinang dan selanjutnya disalurkan pada para pedagang pengecer di daerah Jabodetabek. Marjin pemasaran terbesar diterima oleh penggilingan. Farmer’s share terbesar pada saluran dari petani ke pedagang grosir kecamatan ke pengecer pasar Kabupaten Karawang. Rasio keuntungan dan biaya pemasaran terbesar pada saluran dari petani ke penggilingan ke pasar grosir Cipinang ke pasar pengecer Jabodetabek. Struktur pasar petani mendekati persaingan sempurna, sedangkan pelaku lainnya menghadapi oligopoli dan oligopsoni. Petani memiliki integrasi yang lemahdengan pasar Cipinang dan tidak memiliki integrasi dengan penggilingan dan pasar Karawang. Penggilingan memiliki integrasi yang lemah dengan pasar Karawang tetapi memiliki integrasi yang kuat dengan pasar Cipinang. Pasar Karawang memiliki integrasi yang lemah dengan pasar Cipinang. Elastisitas transmisi harga beras tertinggi terjadi antara penggilingan dengan Pasar Cipinang.

Aryani (2012) dalam penelitian berjudul Integrasi Vertikal Pasar Produsen Gabah dengan Pasar Ritel Beras di Indonesia. Menganalisis integrasi pasar secara vertikal antara produsen gabah dan pasar ritel beras di Indonesia. Data yang digunakan adalah data sekunder berupa data bulanan dari Januari tahun 2000 sampai dengan Desember tahun 2008 menggunakan model Vector Autoregression. Hasil penelitianmenunjukkan bahwa pergerakan harga gabah produsen dengan harga beras konsumen di Indonesiamenunjukkan arah yang hampir sama, tetapi harga gabah produsen lebih fluktuatif dibandingkan harga beras konsumen. Pasar produsen gabah dengan pasar ritel beras di Indonesia belum terpadu secarapenuh. Dalam jangka pendek pasar gabah produsen dipengaruhi oleh harga beras ritel tetapi hargagabah produsen tidak mempengaruhi harga beras ritel. Intervensi pemerintah sangat diperlukan dalampasar gabah produsen. Apabila pasar gabah produsen dengan pasar

(23)

ritel beras terpadu secara penuh maka artinya perubahan yang terjadi pada harga ritel beras juga diikuti oleh perubahan harga gabahprodusen dengan arah perubahan yang sama, begitu juga sebaliknya.

Hipotesis

Hipotesis yang akan diajukan dalam penelitian ini untuk menganalisis transmisi harga beras pada level produsen dan level konsumen di 10 Provinsi Indonesia yaitu :

1. Terdapat pergerakan harga beras di 10 provinsi Indonesia baik pada tingkat produsen maupun konsumen.

2. Transmisi harga beras antara produsen dan konsumen di 10 provinsi bersifat asimetris.

Kerangka Pemikiran

Beras merupakan kebutuhan pokok masyarakat Indonesia,sehingga tingkat ketergantungan yang tinggi terhadap beras dan membuat kurva permintaan beras bersifat inelastis. Produk dengan kurva permintaan inelastis akan memberikan keuntungan yang besar bagi produsen atau petani beras, kondisi ini akan menyebabkan petani beras memiliki posisi tawar yang relatif lebih tinggi dibandingkan konsumen, sehingga produsen akan dengan mudah menaikkan harga beras tanpa harus takut kehilangan konsumen (Yustiningsih 2012).

Dalam investigasi yang dilakukan oleh Otoritas Pengawas Persaingan di Inggris, basis penelitiannya adalah melihat transmisi harga yang dilakukan oleh supermarket akibat adanya penurunan harga di tingkat petani, apabila harga tidak ditransmisikan secara sempurna antar setiap tingkat pemasaran maka konsumen akhir tidak akan mendapatkan keuntungan dari penurunan harga tingkat petani dan sebaliknya (McCorriston et al. 2000) dan (Vavra dan Goodwin,2005).

Sehingga harga beras merupakan merupakan hal penting untuk diperhatikan. Dalam pembentukan harga beras itu sendiri, faktor distribusi merupakan salah satu hal yang memengaruhinya, pendistribusian beras tersebut melalui beberapa lembaga yang ada dalam rantai pemasaran beras mulai dari petani hingga sampai pada konsumen akhir. Menurut Prastowo et al. (2008) menjelaskan bahwa efisiensi dalam sistem distribusi disebabkan dua hal, yaitu rantai pemasaran yang terlalu panjang, dan besarnya marjin keuntungan yang ditetapkan oleh setiap mata rantai distribusi. Analisis transmisi harga vertikal digunakan untuk melihat tercapainya efisiensi pasar, yaitu apakah harga pada tingkat konsumen ditransmisikan secara sempurna terhadap harga pada tingkat produsen ataupun sebaliknya. Selain itu perlunya analisis integrasi antar pasar, karena ketika pasar tidak terintegrasi, maka fluktuasi harga yang terjadi akan menurunkan daya beli masyarakat dan kebijakan pemerintah diperlukan saat efisiensi pasar belum berjalan dengan efisien.

(24)

Gambar 6 Kerangka pemikiran

METODE PENELITIAN

Jenis dan Sumber Data

Penelitian ini menggunakan data sekunder yaitu datatime series, yaitu harga bulanan beras jenis IR 64 selama tahun 2003-2015. Data tersebut terdiri dari data harga GKP di tingkat produsen dan harga beras eceran di tingkat konsumen. Pemilihan provinsi untuk penelitian didasarkan pada ketersediaan data harga beras jenis IR 64 yang terdapat di 10 provinsi sentra di Indonesia yaitu Sumatra Utara, Jambi, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Bali, NTB, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah dan Kalimantan Timur.Data tersebut diperoleh dari Badan Pusat Statistik (BPS).

Metode Analisis Data

Metode yang digunakan untuk menganalisis asimetris hargaantara konsumen dan produsen dengan menggunakan Error Correction Model(ECM), Pengolahan data dilakukan melalui program Microsoft Excel 2007 dan Eviews 6.0. Untuk mencapai tujuan-tujuan dalam penelitian, digunakan beberapa model analisis, yaitu analisis deskriptif dan inferensia.

Uji ECM

Pergerakan harga beras di 10 provinsi Indonesia

Harga di levelkonsumen lebih berfluktuatif daripada

hargalevelprodusen

Analisis asimetri harga konsumen dan produsen

Rekomendasi kebijakan bagi pemerintah

(25)

Analisis deskriptif

Analisis deskriptif merupakan suatu metode analisis data yang bersifat eksploratif yang bertujuan untuk mendeskripsikan suatu kondisi dengan memaparkannya ke dalam bentuk tabel maupun gambar sehingga dapat memudahkan dalam menafsirkan hasil penelitian. Analisis deskriptif pada penelitian inidigunakan untuk menjawab tujuan pertama, yaitu menganalisis pergerakan harga beras pada tingkat produsen dan konsumen di 10 provinsi Indonesia.

Analisis inferensia

Analisis inferensia dalam penelitian ini digunakan untuk menjawab tujuan kedua yaitu menganalisis asimetris harga antara produsen dan konsumen. Analisis inferensia dilakukan dengan menggunakan ECM.

Model ECM Von Cramon-Taubadel dan Loy dalam analisa transmisi harga telah dinyatakan valid oleh Hassouneh et al.(2012). Hassouneh et al.(2012) membandingkan beberapa model ekonometri dalam analisa transmisi harga, dengan mempertimbangkan ada atau tidaknya unit roots dan kointegrasi dalam dua data

series harga. Mereka menyimpulkan ECM dan VECM adalah model yang valid

untuk menguji pola transmisi harga pada kondisi data yang tidak stasioner namun terkointegrasi.

Konsep error correction model (ECM) digunakan untuk menganalisis transmisi harga asimetri diperkenalkan Von Cramon-Taubadel dan Fahlbusch (1994) dengan melihat signifikansi penyimpangan (error) dari model keseimbangan jangka panjangnya. Pada konsep kointegrasi, apabila terdapat pergerakan harga yang menyimpang, maka akan dimasukan sebagai bentuk error correction (error

correction term/ECT) (Vavra dan Goodwin 2005). Teknik prekointegrasi untuk

analisa transmisi harga asimetri dapat menghasilkan regresi yang spurious karena menggunakan series data yang tidak stasioner.

Metode Pemilihan Model 1. Uji Stasioneritas Data

Data yang stasioner terjadi jika mean, variance, dan covariance bersifat konstan sepanjang waktu. Sedangkan data non stasioner ditunjukkan dengan adanya perubahan mean, variance, dan covariance sejalan dengan perubahan waktu. Data

time series yang tidak stasioner (mengandung unit root) menyebabkan masalah spurious regression (Thomas 1997). Oleh karena itu, uji stasioneritas digunakan

untuk mengetahui kestasioneran data dan menghindari masalah spurious regression (Asmarantaka 2012).

Uji stasioneritas dilakukan untuk menguji karakteristik data yang digunakan. Langkah pertama dalam analisa ini adalah memeriksa stasioneritas data deret waktu dapat digunakan Augmented Dickey Fuller (ADF) test.

Persamaan 1

………(3.1) Dimana , t adalah periode waktu,



dan aj merupakankoefisien model, sedangkan εt adalah galat model. Hipotesis statistik yang diujiadalah Ho:



= 0 (data deret waktu xt bersifat tidak stasioner); H1:



≠ 0 (dataderetwaktu bersifat stasioner). Data yang tidak stasioner selanjutnyadistasionerkan melalui proses pendifferensian, yang dapat dilakukan beberapa kali(d kali) hingga diperoleh pola data yang stasioner.

(26)

2. Penentuan Lag (Ordo) Optimal

Penentuan jumlah lag yang digunakan dalam model dapat memanfaatkan beberapa informasi yaitu dengan Akaike Information Criterion (AIC), Schwarz

Information Criterion (SIC), dan Hannan-Quinn Criterion (HQ). Dalam penelitian

ini kriteria yang digunakan adalah

( ) (

( )

)

…………...…...………(3.2) Dimana :

T = Jumlah observasi

k = Panjang lag

SSR = Sum Squares Residual

n = Jumlah parameter yang diestimasi 3. Uji Kointegrasi

Uji kointegrasi bertujuan untuk menentukan apakah variabel yang tidak stasioner mengalami kointegrasi atau tidak. Dua atau lebih variabel yang dinyatakan berkointegrasi berarti memiliki hubungan atau keseimbangan jangka panjang (long

run equilibrium). Selanjutnya untuk mengetahui adanya kointegrasi antara

variabel-variabel dapat dilakukan melalui dua uji statistik yaitu trace test (λtrace (τ)) dan

maximum eigenvalue test (λmax) yang dituliskan dalam persamaan berikut:

(

)

………..……...……….(3.3)

( ) (

)

………...………(3.4)

Dimana: k = 0,1,…, n-1

T = Jumlah observasi yang digunakan

λi = Estimasi nilai ke-i ordo eigenvalue dari matriks Π r = Jumlah vektor dari vektor kointegrasi pada hipotesis nol

Hipotesis nol yang digunakan pada pengujian λtrace dan λmax, yaitu: H0: r ≤ 0 atau tidak terdapat hubungan kointegrasi

H0: r ≤ 1 atau paling banyak terdapat satu persamaan kointegrasi H0: r ≤ n-1 atau paling banyak terdapat n-1 persamaan kointegrasi

Jika uji statistik lebih besar dibandingkan dengan critical value pada tabel Johansen maka H0 ditolak artinya terdapat hubungan kointegrasi.

4. Uji Kausalitas

Dalam analisa transmisi harga, uji kausalitas bertujuan untuk memastikan arah hubungan sebab-akibat antara variabel yang diuji. Pada penelitian ini menggunakan uji kuasalitas Engle and Granger karena dapat digunakan pada variabel yang terkointegrasi. Sedangkan uji kausalitas Granger standar memiliki kelemahan sering terjadi autokorelasi. Pengujian dilakukan untuk melihat hubungan antar variabel apakah kausalitas yang terbentuk dalam dua arah (sisi permintaan dan penawaran) atau hanya satu arah saja.

Pada penelitian ini uji kuasalitas megunakan metode Granger. Apabila hasil pengujian secara statistik dengan metode Granger menunjukkan hubungan kausalitas dua arah, pengujian asimetris harga selanjutnya menggunakan ECM. Hal ini untuk

(27)

membuktikan apakah pergerakan harga yang terjadi dari sektor hulu merupakan penentu utama pergerakan harga di hilir atau sebaliknya.

Model Asimetri Harga

Penelitian ini mengkaji apakah terjadi asimetri harga beras pada tingkat produsen dan konsumen dengan menggunakan harga beras riil yang didapat dari harga nominal dibagi dengan inflasi dari masing-masing provinsi di 10 provinsi Indonesia. Adapunmodel ECM harga beras melalui dua tahap, yaitu:

Pada saat PP mempengaruhi PC

( )

Pada saat PC mempengaruhi PP

( ) Dimana :

PPt = Harga beras di tingkat produsen periode ke-t (Rp/Kg)

PCt = Harga beras di tungkat konsumen periode ke-t (Rp/Kg)

PPt-1 = Harga beras di tingkat produsen periode sebelumnya (Rp/Kg)

PCt-1 = Harga beras di tungkat konsumen periode sebelumnya (Rp/Kg) = Intersep

P =Panjangnya lag =Error correction term

ε = Error term

Wald Test

Untuk membuktikan adanya transmisi harga asimetris, pengujian hipotesis dilakukan dengan menggunakan F-test (uji wald).

simetris pada jangka pendek ; simetris pada jangka panjang

GAMBARAN UMUM

Gambaran Pergerakan Harga Beras di Indonesia

Perkembangan harga beras di 10 provinsi di Indonesia antara produsen dan konsumen seperti yang terlihat pada Gambar 1 sampai dengan Gambar 10, secara keseluruhan menunjukkan pola pergerakan dan tren yang sama yaitu cenderung meningkat. Berikut gambaran pergerakan harga beras di 10 provinsi di Indonesia.

(28)

Sumatera Utara

Gambar 7 Perkembangan harga beras nominal dan riil di tingkat produsen dan konsumen di Sumatra Utara tahun 2003-2015

Berdasarkan Gambar 7 terlihat adanya perbedaan respon terhadap perubahan harga saat kenaikan dan penurunan harga yang terjadi pada pasar beras di Sumatra Utara. Harga beras di tingkat produsen dan konsumen cenderung stabil selama periode 2003-2010 dan mulai berfluktuasi pada awal periode 2011. Pada tahun 2011-2013 terlihat adanya perbedaan pola pergerakan harga antara produsen dan konsumen. Kenaikan harga di tingkat konsumen diikuti oleh penurunan harga di tingkat produsen.

Jambi

Gambar 8 Perkembangan harga beras nominal dan riil di tingkat produsen dan konsumen di Jambi tahun 2003-2015

Berdasarkan Gambar 8 terlihat fluktuasi harga beras di tingkat konsumen dan produsen di Jambi. Harga berasdi tingkat produsen dan konsumen cenderung berfluktuasi pada periode 2009-2015, dengan fluktuasi terbesar terjadi pada periode 2014sampai 2015.

(29)

Jawa Tengah

Gambar 9 Perkembangan harga beras nominal dan riil di tingkat produsendan konsumen di Jawa Tengah tahun 2003-2015

Berdasarkan Gambar 9 terlihat bahwa adanya perbedaaan pergerakan harga beras di tingkat produsen dan tingkat konsumen.Harga beras di tingkat produsen dan konsumen cenderung berfluktuasi pada periode 2005-2010, dan 2013 dengan fluktuasi terbesar terjadi pada periode 2005sampai 2010.

Jawa Timur

Gambar 10 Perkembangan harga beras nominal dan riil di tingkat produsen dan konsumen di Jawa Timurtahun 2003-2015

Pada Gambar 10 terlihat bahwaadanya perbedaan respon terhadap perubahan harga saat kenaikan dan penurunan harga yang terjadi pada pasar beras di Jawa Timur.Pada tahun 2007 dan 2011 terlihat adanya perbedaan pola pergerakan harga antara produsen dan konsumen. Penurunan harga di tingkat konsumen diikuti oleh kenaikan harga di tingkat produsen.Harga beras di tingkat produsen dan konsumen mulaiberfluktuasi pada awal periode 2011.

(30)

Bali

Gambar 11 Perkembangan harga beras nominal dan riil di tingkat produsen dan konsumen di Bali tahun 2003-2015

Berdasarkan Gambar 11 terlihat bahwa adanya perbedaaan pergerakan harga beras di tingkat produsen dan konsumen.Pada 2011 terlihat adanya perbedaan pola pergerakan harga antara produsen dan konsumen. Kenaikan harga produsen tidak diikuti oleh penurunan harga ditingkat konsumen, konsumen meresponnya dengan penurunan harga. Harga beras di tingkat produsen dan konsumen cenderung berfluktuasi pada periode 2010-2015, dengan fluktuasi terbesar terjadi pada periode 2010.

NTB

Gambar 12 Perkembangan harga beras nominal dan riil di tingkat produsen dan konsumen di NTB

Gambar 12 menunjukkan adanya perbedaan respon terhadap perubahan harga saat kenaikan dan penurunan harga yang terjadi antara produsen dan konsumen pada pasar beras di NTB. Pada tahun 2009, kenaikan harga di tingkat produsen diikuti oleh penurunan harga di tingkat konsumen. Harga beras di tingkat produsen dan konsumen mulai berfluktuasi pada awal periode 2004.

(31)

Jawa Barat

Gambar 13 Perkembangan harga beras nominal dan riil di tingkat produsen dan konsumen di Jawa Barat tahun 2003-2015

Gambar 13 menunjukkan adanya perbedaan respon terhadap perubahan harga saat kenaikan dan penurunan harga yang terjadi anatara konsumen dan produsen pada pasar beras di Jawa Barat. Harga beras di tingkat produsen dan konsumen mulai berfluktuasi pada awal periode 2007 hingga 2015.

Kalimantan Barat

Gambar 14 Perkembangan harga beras nominal dan riil di tingkat produsendan konsumen di Kalimantan Barattahun 2003-2015.

Berdasarkan Gambar 14 terlihat harga beras antara produsen dan konsumen mulai berfluktuasi pada awal periode 2004. Fluktuasi harga antara produsen dan konsumen terbesar terjadi pada tahun 2009. Kenaikan harga produsen tidak diikuti oleh penurunan harga ditingkat konsumen, konsumen meresponnya dengan penurunan harga.

(32)

Kalimantan Tengah

Gambar 15 Perkembangan harga beras nominal dan riil di tingkat produsen dan konsumen di Kalimantan Barat tahun 2003-2015

Gambar 15 menunjukkan adanya perbedaan respon terhadap perubahan harga saat kenaikan dan penurunan hargayang terjadi pada pasar beras di Kalimantan Tengah. Pada tahun 2009, kenaikan harga di tingkat produsen diikuti oleh penurunan harga di tingkat konsumen. Harga beras di tingkat produsen dan konsumen cenderung stabil selama periode 2003 - 2007 dan mulai berfluktuasi pada awal periode 2008.

Kalimantan Timur

Gambar 16 Perkembangan harga beras nominal dan riil di tingkat produsen dan konsumen di Kalimantan Timur tahun 2003-2015

Gambar 16terlihat bahwa adanya perbedaan respon terhadap perubahan harga saat kenaikan dan penurunan harga antara produsen dan konsumen yang terjadi pada pasar beras di Kalimantan Timur. Pada tahun 2006, 2007, dan 2011 kenaikan harga di tingkat produsen diikuti oleh penurunan harga di tingkat konsumen. Harga beras di tingkat produsen dan konsumen cenderung stabil selama periode 2003 - 2005 dan mulai berfluktuasi pada awal periode 2006.

(33)

HASIL DAN PEMBAHASAN

Transmisi Harga Beras di 10 Provinsi Indonesia

Berdasarkan data harga nominal selama periode Januari 2003 sampai Desember 2015,terdapat perbedaan respon terhadap perubahan harga baik saat terjadi kenaikan hargaatau pada saat penurunanharga yang terjadi pada pasar beras.Secara keseluruhan, berdasarkan nilai coefficient of variance (CV) pada harga beras di 10 provinsi Indonesia menunjukkan bahwaharga di tingkat konsumen yang paling bervariasi. Hal ini menunjukkan bahwa harga di tingkat konsumen lebih berfluktuasi daripada harga beras di tingkat produsen. Terlihat pada Tabel 2 bahwa masing-masing provinsi menunjukkan karakteristik fluktuasi harga yang berbeda. Tabel 2 Deskripsi statistik dari harga nominal produsen dan konsumen beras di 10

provinsi di Indonesia tahun 2003-2015

Provinsi Level Mean Minimum

Price

Maximum

Price Std.Dev CV

Sumatra Utara Harga Produsen 3656.24 1988.00 4858.00 712.12 19.48

Harga Konsumen 6304.87 2500.00 10542.00 2547.44 40.40

Jambi Harga Produsen 3905.67 2303.00 5350.00 701.72 17.97

Harga Konsumen 6435.09 2500.00 12579.40 2580.30 40.10

Jawa Tengah Harga Produsen 3962.98 1978.00 5572.00 76.69 1.94

Harga Konsumen 6060.30 2892.00 10462.50 182.89 3.02 Jawa Barat Harga Produsen 3530.31 2100.00 5232.00 875.40 24.80 Harga Konsumen 5931.39 2000.00 10575.67 2652.64 44.72 Bali Harga Produsen 3519.59 1963.00 4735.00 630.44 17.91 Harga Konsumen 6736.11 2700.00 11767.00 2889.16 42.89

Kalimantan Barat Harga Produsen 3351.99 2200.00 5166.00 745.17 22.23

Harga Konsumen 6874.12 2600.00 11767.00 2879.91 41.89

KalimantanTengah Harga Produsen 3482.60 1406.00 2500.00 1557.75 44.73

Harga Konsumen 6273.85 7346.00 14000.00 3087.61 49.21

Kalimantan Timur Harga Produsen 3014.81 2000.00 4200.00 568.66 18.86

Harga Konsumen 5904.97 2325.00 10555.00 2401.74 40.67

NTB Harga Produsen 3024.34 2115.00 4901.00 50.4418 1.67

Harga Konsumen 5669.38 2500.00 11105.00 187.383 3.31

Jawa Barat Harga Produsen 4162.87 1994.00 5771.00 899.059 21.60

Harga Konsumen 6015.13 2605.00 11056.50 2484.72 41.31

Pada Tabel 2 menunjukkan bahwa CV pada harga di tingkat konsumen yang memiliki nilai paling tinggi berada di provinsi Kalimantan Tengah. Hal ini menunjukkan bahwa harga beras di tingkat konsumen di Kalimantan Tengah lebih berfluktuasi dibandingkan dengan provinsi lainnya. Sedangkan pada provinsi NTB, terlihat pada Tabel 2 bahwa nilai CV nya lebih kecil dibandingkan 9 provinsi lainnya, baik pada harga di tingkat produsen maupun harga di tingkat konsumen. Hal ini menunjukkan bahwa harga di provinsi NTB tidak begitu berfluktuasi jika dibandingkan dengan kesembilan provinsi lainnya.

(34)

Analisis Asimetri Harga Beras di 10 Provinsi Indonesia

Analisis asimetri harga pada 10 provinsi dilakukan melalui beberapa tahapan, yaitu uji stasioneritas data, uji kointegrasi, uji kausalitas, analisis asimetri harga menggunakan ECM dan terakhir uji Wald test.

Uji Stasioneritas

Untuk menganalisa pergerakan data time series dan melihat hubungan antara variabel, maka perlu dilakukan pengujian stasioneritas data series tersebut. Pengujian ini dilakukan untuk melihat konsistensi pergerakan data time series serta mencegah terjadinya spurious regression, yaitu kondisi dimana sebuah regresi terhadap satu variabel terhadap variabel lainnya menghasilkan nilai R2yang tinggi namun sebenarnya tidak ada hubungan yang berarti secara teori ekonomi. Hal ini sering terjadi pada saat kedua data time series menunjukkan karakteristik tren yang kuat dalam runtun waktu.

Dalam penelitian ini, pengujian stasioneritas dilakukan dengan tes Augmented

Dickey Fuller (ADF) pada kondisi level, Apabila data tidak stasioner adalah hasil

pengujian stasioner data harga beras di tingkat produsen dan konsumen.

Tabel 3 Hasil uji stasioneritas data harga produsen dan konsumen pada level dan first

difference dengan ADF Test pada 10 provinsi di Indonesia

Provinsi Variabel Nilai ADF

Level First Difference

Sumatra Utara PC PP -0.88 -2.70 -13.49*** -11.27*** Jambi PC PP -0.82 -2.49 -18.43*** -15.27*** Jawa Barat PC PP -0.44 -2.64 -13.51*** -9.56*** Jawa Tengah PC PP -0.76 -2.17 -13.69*** -12.37*** Jawa Timur PC PP -0.59 -2.02 -12.58*** -12.58*** NTB PC PP -0.77 -2.35 -11.00*** -10.35*** Bali PC PP -0.57 -2.76 -12.85*** -12.47*** Kalimantan Barat PC PP -0.76 -1.55 -13.99*** -12.93*** KalimantanTengah PC PP -1.20 -1.43 -12.24*** -11.68*** Kalimantan Timur PC PP -0.52 -2.52 -13.71*** -16.40***

Keterangan : *** pada taraf nyata 1 persen

Hasil pengujian uji stasioneritas data menunjukkan bahwa variabel harga produsen dan konsumen di 10 provinsi tidak stationer pada level. Selanjutnya dilakukan pengujian pada kondisi first difference. Pada kondisi first difference dengan menggunakan ADF test, hasilnya menunjukkan semua variabel yang digunakan bersifat stasioner di 10 provinsi tersebut.

(35)

Uji Kointegrasi

Pengujian adanya hubungan kointegrasi pada 10 provinsi ini dapat dilihat dari nilai trace statistic yang menunjukkan nilai trace statistic lebih besar dari nilai

critical value 5 persen.Pada model antara tingkat produsen dan tingkat

konsumenyang memiliki t-statistik yang nyata pada level 5 persen dan level 10 persen, menunjukkan bahwa pada model tersebut terjadi hubungan kointegrasi. Hal inimenunjukkan adanya indikasi antara harga di tingkat produsen dengan harga di tingkat konsumen terintegrasi pada jangka panjang, sehingga model ECM dapat digunakan dalam penelitian ini.

Tabel 4 Hasil uji kointegrasi pada data harga produsen dan konsumen beras di 10 provinsi Indonesia

Provinsi r ≤ Trace Statistic

Sumatra Utara 0 15.49** 1 0.58 Jambi 0 4.63 1 0.87 Jawa Barat 0 17.73** 1 0.02 Jawa Tengah 0 30.88** 1 14.37** Jawa Timur 0 24.3* 1 9.23 Bali 0 6.60 1 0.37 NTB 0 32.8** 1 11.35* Kalimantan Barat 0 29.0* 1 8.09 Kalimantan Tengah 0 30.34** 1 12.38* Kalimantan Timur 0 25.5* 1 8.54

Keterangan : ** Taraf nyata 5 %, * Taraf nyata 10 %

Hasil uji kointegrasi pada harga produsen-konsumen di 10 Provinsi Indonesia, dari Tabel 4 menunjukkan bahwa hanya 8 provinsi yang memiliki hubungan kointegrasi yaitu pada provinsi Sumatra Utara, Jawa Tengah, Jawa Timur, Jawa Barat, NTB, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, Kalimantan Timur. Sedangkan pada provinsi Jambi dan Bali tidak terjadi hubungan kointegrasi. Hal ini menunjukkan bahwa pada kedua provinsi tersebut hubungan antara harga di tingkat produsen dengan harga di tingkat konsumen tidak terintegrasi pada jangka panjang, sehingga provinsi Jambi dan Bali tidak dapat dilanjutkan ke uji kausalitas.

Uji Kausalitas

Dalam penelitian ini pengujian kausalitas dilakukan untuk memastikan arah transmisi harga. Dalam kasus vertikal, shock harga yang disebabkan oleh perubahan permintaan (transmisi harga dari hilir ke hulu) akan memberikan efek transmisi harga yang berbeda dengan shock akibat perubahan penawaran (transmisi harga dari hulu ke hilir) (Kinnucan dan Forker 1987). Dalam penelitian ini pengujian kausalitas

(36)

dilakukan melalui pengujian secara statistik dengan menggunakan metode Granger

test. Berikut adalah hasil pengujian kausalitas secara statistik dengan menggunakan Granger test.

Pada penelitian ini uji kuasalitas menggunakan metode Granger. Apabila hasil pengujian secara statistik dengan metode Granger menunjukkan hubungan kausalitas dua arah, pengujian asimetris harga selanjutnya menggunakan VECM dan apabila hasil pengujian menunjukkan kausalitas satu arah maka akan pengujian asimetris harga selanjutnya menggunakan ECM. Hal ini untuk membuktikan apakah benar pergerakan harga dari sektor hulu merupakan penentu utama pergerakan harga di hilir, ataukah pergerakan harga disektor hulu lebih ditentukan oleh transaksi yang terjadi antar pelaku usaha di tingkat hilir.

Tabel 5 Hasil uji kausalitas dengan metode Granger Causality pada harga produsen dan konsumen

Provinsi Jumlah Lag F-Statistik Hubungan

Sumatra Utara 1 7.67*** PC →PP PP → PC 1 0.25 Jawa Tengah 1 5.84** PC →PP PP → PC 1 0.77 Jawa Timur 1 3.66* PC →PP PP → PC 1 1.88 NTB 1 5.28** PC →PP PP → PC 1 0.55 Kalimantan Barat 1 7.10*** PC→ PP PP → PC 1 0.00 KalimantanTengah 1 12.06*** PC→PP PP → PC 1 2.07 Kalimantan Timur 1 8.19*** PC → PP PC → PP 1 0.00 Jawa Barat 1 0.08 - 1 2.35

Keterangan : *** nyata pada alfa 1 persen, ** nyata pada alfa 5 persen, * nyata pada alfa 10 persen

Berdasarkan Tabel 5 melalui variabel PC (harga konsumen) dan PP (harga produsen) terlihat bahwa terdapat hubungan kausalitas. Hubungan kausalitas yang terjadi adalah PC mempengaruhi PP, terjadi di 7 provinsi yaitu Sumatra Utara, Jawa Tengah, Jawa Timur, NTB, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, Kalimantan Timur. Sedangkan di Jawa Barat arah hubungan antara harga konsumen dengan harga produsen tidak terlihat arah hubungan sebab-akibat, Maka Jawa Barat tidak dapat dilanjutkan kedalam model penelitian. Pada variabel PP mempengaruhi PC bernilai tidak signifikan, artinya harga di tingkat produsen tidak mempengaruhi harga di tingkat konsumen.Pada uji kausalitas terlihat hubungan yang terjadi adalah satu arah. Sedangkan di Jawa Barat arah hubungan antara harga konsumen dengan harga produsen tidak terlihat arah hubungan sebab-akibat, Maka Jawa Barat tidak dapat dilanjutkan kedalam model penelitian.

(37)

Analisis asimetris harga (konsumen-produsen)

Pengujian analisis asimetris harga (konsumen-produsen) dilakukan untuk melihat apakah transmisi harga terjadi secara sempurna antara produsen dengan konsumen. Model asimetris harga pada penelitian ini menggunakan model ECM Von Cramon-Taubadel dan Loy. Model ini memisahkan transmisi harga tidak simetris antara transmisi jangka panjang dengan transmisi jangka pendek

Analisis asimetris harga beras antara konsumen dengan produsen dilakukan pada 10 provinsi Indonesia. Sebelum masuk kedalam model ECM telah dilakukan beberapa uji, dari 10 provinsi tersebut hanya 7 provinsi yang dapat dilanjutkan kedalam model yaitu provinsi Sumatra Utara, Jawa Tengah, Jawa Timur, NTB, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah dan Kalimantan Timur.

Tabel 6 Hasil model ECM pada harga beras konsumen dan harga produsen di 7 provinsi

Keterangan : a parameter estimate, bp-value,*** nyata pada 1 persen, ** nyata pada 5 persen, *nyata 10 persen

Hasil proses transmisi harga pada Tabel 6 terlihat bahwa pada harga konsumen pada periode ke-t di Sumatra Utaramenunjukkan perubahan penurunan harga bernilai tidak signifikan sedangkan perubahan kenaikan memiliki nilai yang signifikan. Ini menunjukkan bahwa pada saat terjadi kenaikan harga beras pada periode t di tingkat konsumen akan direspon oleh produsen, namun pada saat terjadi penurunan harga ditingkat konsumen tidak akan direspon oleh produsen.

Lebih lanjut, untuk variabel indepedennya pada hubungan tingkat konsumen-produsen dalam transmisi jangka pendek terjadi perbedaan respon harga konsumen terhadap guncanganpositif dan negatif dari harga produsen. Pada harga konsumen

Sumut Jateng Jatim NTB Kalbar Kalteng Kaltim

PC → PP PC → PP PC → PP PC → PP PC → PP PC → PP PC → PP Intersep 0.005a (0.988)b 0.650** (0.08) 0.077 (0.82) 0.133 (0.64) 0.143 (0.55) 0.562 (0.22) 0.166 (0.63) -0.261*** (0.00) -0.004 (0.96) 0.095 (0.96) -0.078 (0.36) -0.141 (0.18) -0.106 (0.27) -0.132 (0.10) 0.351*** (0.00) 0.020 (0.84) 0.007 (0.91) -0.093 (0.32) 0.078 (0.36) -0.068 (0.43) -0.207*** (0.01) -0.052 (0.66) 0.034 (0.79) -0.054 (0.70) 0.168** (0.02) 0.023 (0.80) 0.097 (0.20) 0.282** (0.05) 0.410*** (0.00) 0.441*** (0.00) 0.364*** (0.00) 0.238*** (0.00) 0.288*** (0.00) 0.280*** (0.00) 0.367*** (0.00) -0.086 (0.45) 0.192 (0.17) -0.192 (0.17) 0.057 (0.43) 0.152 (0.12) 0.103 (0.18) 0.112 (0.44) -0.029 (0.47) 0.247*** (0.00) 0.082 (0.29) 0.209*** (0.00) 0.144*** (0.00) 0.213** (0.02) 0.366*** (0.00) -0.026 (0.47) 0.084 (0.38) -0.029 (0.44) -0.068 (0.42) 0.172** (0.03) 0.184** (0.02) 0.231*** (0.01) -0.057 (0.14) 0.333*** (0.00) -0.057** (0.05) -0.116 (0.29) 0.130 (0.22) 0.317*** (0.00) 0.256** (0.04) R2 R2-adj F-statistik 0.28 0.24 7.03 (0.000) 0.31 0.27 7.98 (0.000) 0.22 0.18 5.29 (0.000) 0.20 0.15 4.58 (0.000) 0.31 0.27 7.80 (0.000) 0.21 0.17 4.94 (0.000) 0.40 0.36 12.09 (0.000) DW-Stat 2.02 1.94 1.98 2.07 1.78 2.02 1.86

Gambar

Tabel 1 Produksi dan konsumsi beras di Indonesia tahun 2011-2015
Gambar 2  Perkembangan  rata-rata  harga  produsen  dan  harga  konsumen  beras  di  Indonesia, (Rp/Kg)
Gambar 4.b menjelaskan transmisi hargayang tidak simetris dari sisi kecepatan  waktu penyesuaian
Gambar 7  Perkembangan  harga  beras  nominal  dan  riil  di  tingkat  produsen  dan  konsumen di Sumatra Utara tahun 2003-2015
+7

Referensi

Dokumen terkait

Uraian pembahasan dalam makalah ini dapat kerucutkan menjadi poin-poin penting sebagai simpulan. Berikut adalah simpulan makalah ini: 1) Pembelajaran coopertive

Semakin beraneka ragam spesies makhluk hidup di dalam ekosistem, jaring-jaring makanan yang terbentuk semakin kompleks dan ekosistem menjadi semakin stabil sehingga jika salah satu

Berdasarkan data peningkatan kejadian anemia, dampak yang dapat timbul dari kejadian anemia serta beberapa faktor yang berhubungan dengan kejadian anemia, maka

Hasil asuhan pada kasus Ny.I setelah dilakukan pengkajian sampai pelaksanaan dari kehamilan, bersalin, nifas, bayi baru lahir, dan KB sejak tanggal 24 November 2015 sampai dengan

Prinsip kerja MPLS ialah penggabungan kecepatan switching pada layer kedua dengan kemampuan routing dan skalabilitas pada layer ketiga dengan menyelipkan label di antara

[r]

Tujuan dilaksanakannya penelitian ini adalah mengetahui jenis fitoplankton, kandungan nitrat, fosfat dan klorofil-a di Sungai Cimanuk sebelum memasuki waduk dan sesudah

(3) Observasi, meliputi : Pada penelitian siklus II, pengamatan dilakukan oleh Nini Edny, S.Th sebagai observer yang dilakukan keoada peneliti yang melaksanakan