• Tidak ada hasil yang ditemukan

Analisis Pengendalian Mutu pada Pengolahan Ikan Pelagis Beku di PT Perikanan Nusantara (Persero) Cabang Benoa Bali.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Analisis Pengendalian Mutu pada Pengolahan Ikan Pelagis Beku di PT Perikanan Nusantara (Persero) Cabang Benoa Bali."

Copied!
64
0
0

Teks penuh

(1)

i

ANALISIS PENGENDALIAN MUTU PADA

PENGOLAHAN IKAN PELAGIS BEKU DI PT

PERIKANAN NUSANTARA (PERSERO) CABANG

BENOA BALI

SKRIPSI

Oleh

KADEK PUTRI TRISNA DEVI

KONSENTRASI PENGEMBANGAN BISNIS

PROGRAM STUDI AGRIBISNIS

FAKULTAS PERTANIAN

UNIVERSITAS UDAYANA

(2)

i

ANALISIS PENGENDALIAN MUTU PADA PENGOLAHAN

IKAN PELAGIS BEKU DI PT PERIKANAN NUSANTARA

(PERSERO) CABANG BENOA BALI

SKRIPSI

Skripsi ini diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Pertanian pada Fakultas Pertanian Universitas Udayana

Oleh

Kadek Putri Trisna Devi NIM. 1205315052

KONSENTRASI PENGEMBANGAN BISNIS PROGRAM STUDI AGRIBISNIS

FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS UDAYANA

(3)

ii

PERNYATAAN KEASLIAN KARYA SKRIPSI

Dengan ini saya menyatakan bahwa dalam skripsi ini tidak terdapat karya yang pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu perguruan tinggi, dan sepanjang pengetahuan saya juga tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah ditulis atau diterbitkan oleh orang lain, kecuali yang secara tertulis diacu dalam naskah ini dan disebutkan dalam daftar pustaka. Saya bersedia dikenakan sanksi sebagaimana diatur dalam aturan yang berlaku apabila terbukti bahwa skripsi ini bukan hasil karya saya sendiri atau mengandung tindakan plagiarism.

Demikian pernyataan ini dibuat dengan sebenarnya untuk dapat dipergunakan seperlunya.

Denpasar, 5 Januari 2016 Yang menyatakan,

Materai Rp 6.000,-

(4)

iii ABSTRACT

Kadek Trisna Putri Devi. NIM. 1205315052. Quality Control Analysis on Frozen Pelagic Fish Processing PT Perikanan Nusantara (Persero) Branch Benoa Bali. Supervised by: Dr. Ir. I Ketut Suamba, MP. and Ir. Ni Wayan Putu Artini, MP.

PT Perikanan Nusantara (Persero) Branch Benoa Bali since 1972, has implemented a quality control. But in reality, there is pelagic fish damage in 2014 with a percentage of 2.74%. The aim of this research are determining the implementation of quality control at frozen pelagic fish processing and quality control systems using statistical quality control approach with controlling map and quality cost.

Results of this research is the implementation of quality control in processing frozen pelagic fish viewed from good manufacturing practices meets the standards of the company, it is evidenced by the statement of the customer. When monitoring using the map control, quality control that occurs has not been implemented properly, because of a lot of damaged fish are out of the control limits. Quality control using quality cost that implemented by the company is still loose, because the real quality cost incurred for quality control cost are 48,801,869 IDR, quality assurance fee of 441,122,00 IDR, and the total cost for the quality of 489,923,869 IDR with the level of damage 40,102 kg, it is greater than the should quality cost with 146,727,587 IDR for quality control cost, quality assurance fee of 147,718,000 IDR, and the total cost for the quality level is 293,445,587 IDR with level of damage 13,338 kg. Thus, companies need to increase intensively on ship handling and processing as well as quality control.

(5)

iv

ABSTRAK

Kadek Putri Trisna Devi. NIM. 1205315052. Analisis Pengendalian Mutu pada Pengolahan Ikan Pelagis Beku di PT Perikanan Nusantara (Persero) Cabang Benoa Bali. Dibimbing oleh: Dr. Ir. I Ketut Suamba, MP. dan Ir. Ni Wayan Putu Artini, MP.

PT Perikanan Nusantara (Persero) Cabang Benoa Bali sejak tahun 1972, telah menerapkan pengendalian mutu. Namun kenyataannya, masih terdapat kerusakan ikan pelagis tahun 2014 dengan persentase kerusakan sebesar 2,74%. Tujuan penelitian untuk mengetahui pelaksanaan pengendalian mutu pada pengolahan ikan pelagis beku dan sistem pengendalian mutu menggunakan pendekatan statistical quality control yaitu peta kendali dan biaya mutu.

Hasil penelitian yaitu pelaksanaan pengendalian mutu pada pengolahan ikan pelagis beku dilihat dari good manufacturing practices telah memenuhi standar perusahaan, hal tersebut dibuktikan dengan pernyataan pelanggan. Melihat batasan pengawasan menggunakan peta kendali, pengendalian mutu yang terjadi belum dilaksanakan dengan baik, karena kerusakan ikan yang terjadi banyak yang keluar dari batas kendali. Pengendalian mutu menggunakan biaya mutu yang dilakukan perusahaan masih longgar, karena biaya mutu riil yang dikeluarkan yaitu biaya pengawasan mutu sebesar Rp 48.801.869, biaya jaminan mutu sebesar Rp 441.122.000, dan total biaya atas mutu sebesar Rp 489.923.869 dengan tingkat kerusakan sebesar 40.102 kg lebih besar dibandingkan dengan biaya mutu seyogianya yaitu biaya pengawasan mutu sebesar Rp 146.727.587, biaya jaminan mutu sebesar Rp 147.718.000, dan total biaya atas mutu sebesar Rp 293.445.587 dengan tingkat kerusakan sebesar 13.338 kg. Dengan demikian, perusahaan perlu meningkatkan penanganan secara intensif pada kapal dan pengolahan serta pengendalian mutunya.

(6)

v

RINGKASAN

Hasil perikanan merupakan bahan pangan yang mudah rusak oleh mikroorganisme pembusuk dan enzim, sehingga perlu penanganan yang baik untuk mempertahankan mutunya dengan tujuan dapat memenuhi standar kesehatan atau mengurangi risiko buruk, sehingga terjaminnya mutu dan kualitas dapat mendorong perusahaan untuk bersaing dan meningkatkan pendapatan

(income) ataupun devisa negara. PT Perikanan Nusantara (Persero) Cabang Benoa

Bali merupakan salah satu perusahaan milik Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang bergerak di bidang penangkapan, pengolahan, dan penyimpanan perikanan tangkap untuk diekspor keluar negeri maupun yang dijual untuk domestik. PT Perikanan Nusantara (Persero) Cabang Benoa Bali sudah berdiri dan beroperasi sejak tahun 1972, yang mana perusahaan ini telah menerapkan sistem pengendalian mutu. Namun dalam kenyataannya, peneliti masih menemukan kerusakan ikan pelagis di tahun 2014 dengan persentase kerusakan sebesar 2,74%. Berdasarkan hal tersebut, maka perlu mengetahui pelaksanaan pengendalian mutu pada pengolahan ikan pelagis beku dan dilakukan analisis pengendalian mutu dengan menggunakan pendekatan statistical quality control (SQC) yaitu peta kendali (control chart) dan biaya mutu (quality cost).

Metode wawancara dan survei digunakan untuk mencari data primer dari lima orang responden penelitian yaitu tiga orang dari pihak perusahaan dan dua orang dari pelanggan perusahaan. Data sekunder yang digunakan pada penelitian ini didapatkan dari sumber yang terpercaya dan bahan pustaka yang relevan. Analisis data yang digunakan yaitu analisis deskriptif dan analisis kuantitatif. Analisis deskriptif digunakan untuk mengetahui pelaksanaan pengendalian mutu pada pengolahan ikan pelagis beku yang dilakukan oleh perusahaan dilihat dari

good manufacturing practices (GMP), sedangkan analisis kuantitatif digunakan

(7)

vi

Hasil penelitian menunjukkan bahwa pelaksanaan pengendalian mutu pada pengolahan ikan pelagis beku dilihat dari good manufacturing practices (GMP) sudah dilakukan oleh perusahaan dan telah memenuhi standar perusahaan yang diharapkan, hal tersebut juga dibuktikan dengan pernyataan pelanggan yang menyatakan bahwa mutu dari ikan pelagis beku sudah baik dan kemasan dari produk yang menarik, sehingga dapat mempertahankan mutu meskipun akan dijual kepada konsumen akhir. Namun, melihat batasan pengawasan serta kejadian selama satu tahun dengan menggunakan peta kendali (control chart), dikatakan pengendalian mutu terhadap pengolahan ikan pelagis beku belum dilaksanakan dengan baik, karena kerusakan ikan yang terjadi banyak yang keluar dari batas kendali dan hanya lima titik yang berada di dalam batas kendali yaitu bulan Juni, Juli, September, Oktober, dan November, sehingga dapat dikatakan bahwa proses tidak terkendali. Hal tersebut dikarenakan antara lain ikan mengalami gesekan akibat gelombang laut yang besar, ikan yang ditumpuk terlalu banyak mengakibatkan ikan tertekan atau terhimpit, robek, dan kulit-kulit ikan menjadi terkelupas, terjadi kerusakan panel yang patah di cold storage,dan listrik mati menyebabkan suhu ruangan di cold storage menjadi turun.

Berdasarkan penelitian, dengan menggunakan perhitungan biaya mutu

(quality cost) didapatkan biaya mutu riil yang dikeluarkan perusahaan lebih besar

dibandingkan dengan biaya mutu yang seyogianya. Kerusakan ikan yang

seyogianya sebesar 13.338 kg, diperoleh biaya pengawasan mutu (QCC*) sebesar Rp 146.727.587, biaya jaminan mutu (QAC*) sebesar Rp 147.718.000, dan total

biaya atas mutu (TQC*) sebesar Rp 293.445.587, sedangkan tingkat kerusakan ikan yang terjadi di perusahaan sebesar 40.102 kg, dihasilkan biaya pengawasan

mutu (QCC) sebesar Rp 48.801.869, biaya jaminan mutu (QAC) sebesar Rp 441.122.000, dan total biaya atas mutu (TQC) sebesar Rp 489.923.869. Hal ini

(8)

vii

ANALISIS PENGENDALIAN MUTU PADA PENGOLAHAN

IKAN PELAGIS BEKU DI PT PERIKANAN NUSANTARA

(PERSERO) CABANG BENOA BALI

Kadek Putri Trisna Devi NIM. 1205315052

Menyetujui,

Pembimbing I Pembimbing II

Dr. Ir. I Ketut Suamba, MP. Ir. Ni Wayan Putu Artini, MP. NIP. 19600820 198603 1 007 NIP. 19591231 198601 2 002

Mengesahkan, Dekan Fakultas Pertanian

Universitas Udayana

Prof. Dr. Ir. I Nyoman Rai, MS. NIP. 19630515 198803 1 001

(9)

viii

ANALISIS PENGENDALIAN MUTU PADA PENGOLAHAN

IKAN PELAGIS BEKU DI PT PERIKANAN NUSANTARA

(PERSERO) CABANG BENOA BALI

dipersiapkan dan diajukan oleh

Kadek Putri Trisna Devi NIM. 1205315052

telah diuji dan dinilai oleh Tim Penguji pada tanggal 5 Januari 2016

Berdasarkan SK Dekan Fakultas Pertanian Universitas Udayana Nomor : 2559 / UN14.1.23 / DL / 2015

Tanggal 29 Desember 2015 Tim Penguji Skripsi adalah:

Ketua : Ir. Nyoman Parining, M.Rur.M. Anggota :

(10)

ix

RIWAYAT HIDUP

Kadek Putri Trisna Devi lahir di Pekalongan pada 10 Mei 1994. Penulis merupakan anak kedua dari tiga bersaudara pasangan suami istri dari I Wayan Drohen dan Nur Nasetianingsih.

Pendidikan dasar ditempuh di SD Negeri 05 Sragi, Pekalongan Jawa Tengah (2000 s.d. 2006). Kemudian tahun 2006 s.d. 2009 melanjutkan pendidikan ke Sekolah Menengah Pertama di SMP Negeri 01 Wiradesa, Pekalongan Jawa Tengah. Pendidikan Sekolah Menengah Atas ditempuh di SMK TI Bali Global pada tahun 2009 s.d. 2012. Penulis, melalui ujian seleksi masuk perguruan tinggi negeri (SNMPTN) tahun 2012, dan diterima di Program Studi Agribisnis, Fakultas Pertanian, Universitas Udayana.

Selama masa kuliah, penulis aktif dalam berbagai kegiatan mahasiswa, baik dalam kegiatan program studi, fakultas, maupun universitas. Penulis juga aktif dalam organisasi diantaranya pernah menjabat sebagai bendahara II himpunan mahasiswa program studi agribisnis (HIMAGRI) periode 2013/2014. Dalam kepanitiaan pernah menjadi Bendahara kegiatan Agribusiness Futsal

Competition (ASC) 2014, Bendahara kegiatan Bazzar Himagri 2014, dan

(11)

x

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, atas berkat rahmatNya sehingga skripsi ini dapat terselesaikan. Penulisan skripsi ini dimaksudkan untuk memenuhi kewajiban terakhir sebagai mahasiswa guna melengkapi persyaratan dalam menyelesaikan studi Program Sarjana (S1) pada Fakultas Pertanian iversitas daya a da u judul skri si i i adalah “ alisis Pengendalian Mutu pada Pengolahan Ikan Pelagis Beku di PT Perikanan Nusa tara erser aba g Be a Bali”

Penulis ingin menyampaikan ucapan terima kasih kepada pihak-pihak yang telah membantu serta berpartisipasi dalam penelitian dan penulisan skripsi ini, antara lain sebagai berikut.

1. Prof. Dr. Ir. I Nyoman Rai, MS., selaku Dekan Fakultas Pertanian Universitas Udayana, karena telah memberikan ijin dan kemudahan dalam penelitian ini. 2. Ir. I Wayan Widyantara, MP., selaku Ketua Program Studi Agribisnis Fakultas

Pertanian Universitas Udayana atas segala fasilitas dan kemudahan yang diberikan penulis selama penyusunan skripsi.

3. Dr. Ir. I Ketut Suamba, MP., selaku Pembantu Dekan I dan sekaligus Pembimbing I yang telah membimbing dan mendidik penulis dari awal hingga akhir perkuliahan serta membantu dalam mengonsepkan penulisan skripsi. 4. Ir. Ni Wayan Putu Artini, MP., selaku Dosen Pembimbing II yang telah

membimbing serta memberikan berbagai masukan dan saran kepada penulis. 5. Ir. Nyoman Parining, M.Rur.M., selaku Ketua Tim Penguji Ujian Sarjana

yang telah memberikan masukan dan saran kepada penulis.

6. Prof. Dr. Ir. Dwi Putra Darmawan, MP., selaku Anggota Tim Penguji Ujian Sarjana yang telah memberikan masukan dan saran kepada penulis.

7. Dr. Ir. Ratna Komala Dewi, MP., selaku Anggota Tim Penguji Ujian Sarjana yang telah memberikan masukan dan saran kepada penulis.

8. Bapak dan Ibu Dosen Fakultas Pertanian Universitas Udayana yang telah mengajar dan mendidik penulis selama mengikuti perkuliahan.

(12)

xi

10.Bapak J Ronald R.A Tanamal, S.PI., selaku Kepala Cabang PT Perikanan Nusantara (Persero) Cabang Benoa Bali yang telah memberikan kesempatan dan ijin untuk mengadakan penelitian di perusahaan ini.

11.Seluruh staff atau karyawan PT Perikanan Nusantara (Persero) Cabang Benoa Bali yang telah ikut serta membantu dan berpartisipasi dalam penelitian ini. 12.Para ahli di UPT Laboratorium Pengendalian dan Pengujian Mutu Hasil

Perikanan serta Dinas Perikanan dan Kelautan Provinsi Bali yang telah memberikan informasi terkait penelitian ini.

13.Narasumber yang telah ikut membantu dan berpartisipasi dalam penelitian ini. 14.Keluarga tercinta terutama papah (I Wayan Drohen), mamah (Nur

Nasetianingsih), kakak (Ni Putu Ayu Destiyani Mifta Sari, S.E.), dan adik (I Komang Yudha Ega Prastha) yang telah mendukung dan membantu baik moral maupun material yang sangat besar, supaya dapat menyelesaikan perkuliahan dan penyusunan skripsi ini dalam rangka mendapatkan gelar Sarjana Pertanian.

15.Pacar (Gusti Made Offayana) yang selalu menemani dan mendukung selama perkuliahan maupun penyusunan skripsi ini.

16.Senior-senior angkatan 2011 yang telah memberikan masukan dan saran selama perkuliahan hingga penyusunan skripsi.

17.Terakhir tidak lupa penulis ucapkan terima kasih untuk teman-teman angkatan 2012 (geng gengges, Angga, Devy, geng PM, geng PB, dan teman-teman lainnya), segenap keluarga besar Fakultas Pertanian Universitas Udayana serta semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu per satu penulis ucapkan terima kasih.

Sebagai akhir kata, dengan kerendahan hati penulis akan selalu menghormati dan menerima segala kritik dan saran demi kesempurnaan skripsi. Semoga skripsi ini bermanfaat bagi dunia pendidikan khususnya di bidang pertanian serta dapat menjadi bahan kajian yang berarti nantinya.

Denpasar, Januari 2016

(13)

xii

2.5.5 Faktor-faktor kerusakan yang mempengaruhi kemunduran mutu ikan ... 22

(14)

xiii

4.2 Visi dan Misi PT Perikanan Nusantara (Persero) Cabang Benoa Bali 61

4.3 Lokasi Perusahaan ... 62

5.1 Pelaksanaan Pengendalian Mutu dalam Pengolahan Ikan Pelagis Beku di PT Perikanan Nusantara (Persero) Cabang Benoa Bali ... 73

5.1.1 Good manufacturing practices (GMP) ... 73

5.1.2 Kebersihan dan sanitasi ... 83

5.1.3 Mutu hasil ikan pelagis beku menurut pelanggan ... 84

(15)

xiv

5.2.2.3 Perbandingan biaya mutu kerusakan pengolahan ikan pelagis beku yang seyogianya (q*) dengan perusahaan

(q) ... 100

VI. SIMPULAN DAN SARAN ... 102

6.1 Simpulan ... 102

6.2 Saran ... 103

DAFTAR PUSTAKA ... 105

(16)

xv

DAFTAR TABEL

Nomor Halaman

2.1 Perbedaan Fisik Ikan Segar dan Ikan Busuk ... 18 2.2 Persyaratan Mutu dan Keamanan Pangan Ikan Beku ... 25 2.3 Persamaan dan Perbedaan Penelitian ... 43 3.1 Variabel Penelitian dan Pengukuran Pengendalian Mutu Pengolahan

Ikan Pelagis Beku di PT Perikanan Nusantara (Persero) Cabang Benoa Bali ... 52 4.1 Sarana dan Prasarana dalam Produksi Ikan Pelagis di PT Perikanan

Nusantara (Persero) Cabang Benoa Bali ... 70 5.1 Data Produksi, Kerusakan, dan Persentase Kerusakan pada Pengolahan

Ikan Pelagis Beku di PT Perikanan Nusantara (Persero) Cabang Benoa Bali Tahun 2014 ... 85 5.2 Batas Atas,Tengah, dan Bawah Peta Kendali pada Pengolahan Ikan

Pelagis Beku Tahun 2014 ... 89 5.3 Jumlah Ikan Rusak (q), Masing-masing Biaya (QCC, QAC, dan TQC) yang Seyogianya (q*) ... 96 5.4 Jumlah Ikan Rusak (q), Masing-masing Biaya (QCC, QAC, dan TQC)

(17)

xvi

DAFTAR GAMBAR

Nomor Halaman

1.1 Produksi Perikanan di Indonesia Tahun 2009 s.d. 2013 ( dalam ton) ... 2 2.1 Grafik Peta Kendali Model Andrew Shewhart ... 35 2.2 Grafik Biaya Mutu (quality cost) ... 40 2.3 Kerangka Pemikiran Analisis Pengendalian Mutu Pengolahan Ikan

Pelagis Beku di PT Perikanan Nusantara (Persero) Cabang Benoa Bali 45 4.1 Lokasi Perusahaan PT Perikanan Nusantara (Persero) Cabang Benoa ... 63 4.2 Tata Letak Perusahaan PT Perikanan Nusantara (Persero) Cabang

Benoa Bali ... 64 5.1 Diagram Alir Proses Pengendalian Mutu pada Pengolahan Ikan Pelagis

Beku di PT Perikanan Nusantara (Persero) Cabang Benoa Bali ... 82 5.2 Grafik Peta Kendali (control chart) pada Pengolahan Ikan Pelagis

Beku di PT Perikanan Nusantara (Persero)Cabang Benoa Bali Tahun 2014 ... 90 5.3 Grafik QCC, QAC, dan TQC Kerusakan Pengolahan Ikan Pelagis

Beku yang Seyogianya (q*) ... 96 5.4 Grafik QCC, QAC, dan TQC Kerusakan Ikan yang Benar-benar

Terjadi dalam PT Perikanan Nusantara (Persero) Cabang Benoa Bali

Tahun 2014 (q) ... 99 5.5 Grafik Perbandingan QCC, QAC, dan TQC Kerusakan Ikan yang

(18)

xvii

DAFTAR LAMPIRAN

Nomor Halaman

1. Data Produksi, Kerusakan, dan Persentase Kerusakan pada Pengolahan Ikan Pelagis Beku Tahun 2014 di PT Perikanan Nusantara (Persero)

Cabang Benoa Bali ... 110

2. Struktur Organisasi PT Perikanan Nusantara (Persero) Cabang Benoa Bali Tahun 2015 ... 111

3. Perhitungan Batas Kendali Pengolahan Ikan Pelagis Beku Tahun 2014 di PT Perikanan Nusantara (Persero) Cabang Benoa Bali ... 112 4. Dokumentasi Kegiatan Penelitian di PT Perikanan Nusantara (Persero)

(19)

1

I. PENDAHULUAN

1.1Latar Belakang

Indonesia memiliki banyak potensi dari sektor agribisnis yang dapat dijadikan tonggak pembangunan nasional. Salah satu sektor agribisnis yang memiliki potensi yang cukup besar yaitu sektor perikanan. Indonesia merupakan negara maritim yang

terbesar di dunia, hampir dua per tiga wilayahnya merupakan perairan (Dahuri et al., 1996 dalam Wijiono, 2015). Potensi sumber daya perairan yang

dimiliki cukup besar, hal ini mengingat wilayah Indonesia terdiri atas 17.502 buah pulau dan garis pantai sepanjang 81.000 km dengan luas wilayah perikanan di laut sekitar 5,8 juta km2, yang terdiri atas perairan kepulauan dan teritorial seluas 3,1 juta km2 serta perairan Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia (ZEEI) seluas 2,7 juta km2. Fakta tersebut menunjukkan bahwa prospek pembangunan perikanan dan kelautan Indonesia dinilai sangat cerah dan menjadi salah satu kegiatan ekonomi yang strategis (Adisanjaya, 2015). Produksi perikanan Indonesia berasal dari kegiatan perikanan tangkap dan budidaya perikanan. Sebagian dari hasil produksi digunakan untuk bahan baku pengolahan hasil perikanan dan sebagian hasil lainnya langsung dipasarkan untuk dikonsumsi secara segar.

(20)

2

9,18% dibandingkan dengan tahun 2013, untuk jelasnya dapat dilihat pada Gambar 1.1 berikut.

Gambar 1.1

Produksi Perikanan di Indonesia Tahun 2009 s.d. 2013 (dalam ton)

Industrialisasi perikanan tangkap merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari industrialisasi kelautan dan perikanan. Industrialisasi perikanan tangkap tidak hanya digunakan untuk mendukung pengembangan industri hilir (pengolahan) semata-mata, tetapi merupakan upaya terintegrasi dari seluruh stakeholder untuk meningkatkan produktivitas, nilai tambah, dan daya saing (Tulak, 2013).

(21)

3

kepercayaan ataupun keyakinan masyarakat, misalnya tercemar bahan yang berbahaya (Sumarwan, 1997 dalam Saragih, 2013). Semakin ketatnya standar kualitas pangan dunia dengan adanya sistem manajemen mutu keamanan pangan, menimbulkan penerapan keamanan pangan dunia termasuk hasil perikanan. Kecerobohan dalam penanganan dan pengolahan hasil perikanan dapat menyebabkan mutu dan kualitas menurun dan berakibat pada hasil penjualan yang ikut menurun, bahkan tidak jarang produk hasil perikanan Indonesia yang diekspor ditolak oleh negara penerima dikarenakan tidak sesuai dengan standar negara tersebut. Penerapan keamanan pangan sudah seharusnya dilakukan oleh industri-industri dalam penanganan hasil perikanan untuk memenuhi standar kesehatan atau mengurangi risiko buruk, sehingga dengan terjaminnya mutu dan kualitas dapat mendorong perusahaan untuk bersaing dan meningkatkan pendapatan (income) ataupun devisa negara. Banyaknya permintaan akan pangan yang aman dan bermutu menuntut agar setiap industri harus memenuhi standar yang sudah disepakati, baik itu standar dalam negeri maupun luar negeri (Saragih, 2013).

(22)

4

sejak tahun 1972, yang mana perusahaan ini telah menerapkan sistem pengendalian mutu produksi dengan tujuan produk yang dihasilkan oleh perusahaan memiliki mutu dan kualitas yang akan mampu bersaing dipasaran. Namun dalam kenyataannya, peneliti masih menemukan kerusakan ikan pelagis di tahun 2014 dengan persentase kerusakan sebesar 2,74% yang dapat dilihat pada data produksi dan kerusakan ikan pelagis di PT Perikanan Nusantara (Persero) Cabang Benoa Bali tahun 2014

(Lampiran 1). Mengingat pentingnya pengendalian mutu dalam penanganan dan pengolahan hasil perikanan, maka peneliti tertarik untuk meneliti dan mengkaji tentang “Analisis Pengendalian Mutu pada Pengolahan Ikan Pelagis Beku di PT Perikanan Nusantara (Persero) Cabang Benoa Bali”.

1.2Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang tersebut, maka dirumuskan beberapa permasalahan sebagai berikut.

1. Bagaimana pelaksanaan pengendalian mutu pada pengolahan ikan pelagis beku yang dilakukan oleh PT Perikanan Nusantara (Persero) Cabang Benoa Bali ? 2. Bagaimana menerapkan sistem pengendalian mutu untuk meminimumkan

kerusakan pengolahan ikan pelagis beku dengan pendekatan statistical quality

control (SQC) yang dilakukan oleh PT Perikanan Nusantara (Persero) Cabang

(23)

5

1.3Tujuan Penelitian

Berkaitan dengan rumusan masalah di atas, maka yang menjadi tujuan dalam penelitian ini adalah untuk mengetahui hal-hal berikut ini.

1. Pelaksanaan pengendalian mutu pada pengolahan ikan pelagis beku yang dilakukan oleh PT Perikanan Nusantara (Persero) Cabang Benoa Bali.

2. Sistem pengendalian mutu untuk meminimumkan kerusakan pengolahan ikan pelagis beku dengan pendekatan statistical quality control (SQC)yang dilakukan oleh PT Perikanan Nusantara (Persero) Cabang Benoa Bali.

1.4Manfaat Penelitian

Setelah penelitian ini terlaksana, maka hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi beberapa pihak, antara lain sebagai berikut.

1. Peneliti

Sebagai sarana untuk meningkatkan kemampuan peneliti dalam mengidentifikasi masalah, menganalisis, dan menemukan solusi yang terkait dengan pengendalian mutu pada pengolahan ikan pelagis beku di PT Perikanan Nusantara (Persero) Cabang Benoa Bali menggunakan metode peta kendali dan biaya mutu pada pendekatan statistical quality control (SQC) serta sebagai syarat kelulusan sarjana dan untuk menerapkan ilmu-ilmu yang telah diperoleh selama perkuliahan.

2. PT Perikanan Nusantara (Persero) Cabang Benoa Bali

(24)

6

meminimumkan kerusakan pengolahan ikan pelagis beku dengan menggunakan pendekatan statistical quality control (SQC) dan sekaligus sebagai bahan masukan dalam menentukan strategi pengendalian mutu yang dilakukan perusahaan dimasa yang akan datang dalam upaya peningkatan mutu produksi. 3. Peneliti lain

Sebagai tambahan informasi dan arahan bagi kalangan akademisi atau peneliti lain untuk keperluan studi dan penelitian selanjutnya, sehingga dapat menambah pengetahuan dan referensi mengenai pengendalian mutu produk.

1.5Ruang Lingkup Penelitian

Ruang lingkup penelitian ini adalah kajian mengenai pelaksanaan pengendalian mutu pada pengolahan ikan pelagis beku di PT Perikanan Nusantara (Persero) Cabang Benoa Bali dan pengendalian mutu untuk meminimumkan kerusakan ikan serta biaya mutu total minimum (minimize total cost quality) menggunakan alat bantu statistical quality control (SQC) yang meliputi analisis peta kendali (control chart) untuk mengetahui batas atas, tengah, dan bawah kerusakan ikan yang dapat ditoleransi dan analisis biaya mutu (quality cost) untuk mengetahui berapa biaya yang dikeluarkan oleh perusahaan dalam pengendalian mutu yang terdiri atas biaya pengawasan mutu (quality control cost), biaya jaminan mutu (quality

assurance cost), dan total biaya atas mutu (total quality cost). Data yang digunakan

(25)

7

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi Perikanan

Perikanan merupakan semua kegiatan yang berkaitan dengan ikan, termasuk memproduksi ikan, baik melalui penangkapan (perikanan tangkap) maupun budidaya (perikanan budidaya), atau mengolahnya untuk memenuhi kebutuhan manusia akan pangan sebagai sumber protein dan non pangan (pariwisata dan ikan hias). Ruang lingkup kegiatan usaha perikanan tidak hanya memproduksi ikan saja (on farm), tetapi juga mencakup kegiatan off farm, seperti pengadaan sarana dan prasarana produksi, pengolahan, pemasaran, pemodalan, riset dan pengembangan, perundang-undangan, serta faktor usaha pendukung lainnya. Jenis usaha perikanan dibagi menjadi tiga antara lain usaha melalui penangkapan, usaha melalui budidaya, dan usaha pengolahan ikan (Wiadnya, 2012).

Berdasarkan ketentuan dalam Pasal (1) ayat (1) Undang-Undang No. 31 Tahun 2004, perikanan dikatakan sebagai semua kegiatan yang berhubungan dengan

pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya ikan dan lingkungan, mulai dari pra-produksi, produksi, pengolahan sampai dengan pemasaran, yang dilaksanakan

dalam suatu sistem bisnis perikanan. Aktifitas perikanan sangat beragam dan berbeda antara satu lokasi dengan lokasi lainnya. Sebagai aktifitas primer, perikanan dibedakan ke dalam aktifitas penangkapan (capture fisheries) dan budidaya (culture

(26)

8

2.2 Perikanan Budidaya

Perikanan budidaya adalah kegiatan untuk memproduksi biota (organisme) akuatik di lingkungan terkontrol dalam rangka mendapat keuntungan (profit). Organisme akuatik yang diproduksi mencakup kelompok ikan, udang, hewan bercangkang (moluska), ekinodermata, dan alga. Perikanan budidaya juga dapat didefinisikan sebagai campur tangan (upaya-upaya) manusia untuk meningkatkan produktivitas perairan melalui kegiatan budidaya. Kegiatan budidaya yang dimaksud adalah kegiatan pemeliharaan untuk memperbanyak (produksi), menumbuhkan (perbesaran), dan meningkatkan mutu biota akuatik sehingga diperoleh keuntungan (Effendi, 2004 dalam Kesuma, 2006).

2.3 Perikanan Tangkap

Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009 menyebutkan definisi penangkapan ikan ialah kegiatan memperoleh ikan di perairan yang tidak dalam keadaan dibudidayakan dengan alat atau dengan cara apapun, melainkan kegiatan yang menggunakan kapal untuk memuat, mengangkut, menyimpan, mendinginkan, menangani, mengolah, dan mengawetkan. Perikanan tangkap merupakan kegiatan ekonomi dalam penangkapan atau pengumpulan binatang dan tanaman air, baik di laut maupun perairan umum secara bebas.

(27)

9

1. Berdasarkan spesies target : perikanan cakalang, perikanan udang, cumi-cumi, dan perikanan kekerangan.

2. Berdasarkan tingkat teknologi : tradisional dan modern.

3. Berdasarkan skala usaha : komersial (industri dan artisanal) dan subsistem.

4. Berdasarkan habitatnya : perikanan demersal, perikanan karang, dan perikanan pelagis (Sihombing, 2015).

2.3.1 Perikanan demersal

Ikan demersal adalah jenis ikan yang habitatnya berada di bagian dasar perairan, dapat dikatakan juga bahwa ikan demersal adalah ikan yang tertangkap dengan alat tangkap ikan dasar seperti trawl dasar (bottom trawl), jaring insang dasar

(bottom gillnet), rawai dasar (bottom long line), dan bubu (Wijayanti, 2013). Ciri

utama sumberdaya ikan demersal antara lain memiliki aktifitas rendah, gerak ruang yang tidak terlalu jauh dan membentuk gerombolan tidak terlalu besar, sehingga penyebarannya relatif merata dibandingkan dengan ikan pelagis.

Ikan demersal sangat dipengaruhi oleh faktor oseanografi seperti suhu, salinitas, arus, dan bentuk dasar perairan. Jenis ikan ini pada umumnya menyenangi dasar perairan bersubstrat lumpur atau lumpur berpasir (Dwiponggo et al., 1989

dalam Wijayanti, 2013). Perikanan demersal Indonesia menghasilkan berbagai jenis

ikan (multi species) yang dieksploitasi dengan menggunakan berbagai alat tangkap

(multi gear). Hasil tangkapan ikan demersal pada umumnya terdiri atas berbagai jenis

(28)

10

(Arius spp), kurisi (Nemipterus spp), kuniran (Upeneus spp), tiga waja (Epinephelus

spp), dan bawal (Pampus spp).

2.3.2 Perikanan karang

Ikan karang merupakan ikan yang terdapat hidup dari masa juvenil hingga dewasa di terumbu karang (Sale,1991 dalam Ahmad, 2013). Keberadaan ikan karang di terumbu memiliki keterkaitan yang erat dengan kondisi fisik terumbu karang tersebut. Perbedaan pada kondisi tutupan karang akan mempengaruhi kelimpahan ikan karang, terutama yang memiliki keterkaitan kuat dengan karang hidup (Chabanet et al., 1997 dalam Ahmad, 2013).

Pengelompokan ikan karang berdasarkan periode aktif mencari makan adalah ikan noktural (aktif ketika malam hari), ikan diurnal (aktif ketika siang hari), dan ikan crepuscular (aktif di antara). Menurut Dartnall dan Jones, (1986 dalam Ahmad, 2013), ikan karang dapat juga dikelompokkan dalam 3 kelompok berdasarkan tujuan pengelolaan, yaitu kelompok ikan target (ekonomis atau konsumsi), ikan indikator, dan ikan mayor (berperan dalam rantai makanan).

2.3.3 Perikanan pelagis

(29)

11

berenang mendekati permukaan perairan hingga kedalaman 200 m. Ikan pelagis umumnya berenang berkelompok dalam jumlah yang sangat besar.

Ikan pelagis berdasarkan ukurannya dapat dibagi menjadi dua bagian, yaitu ikan pelagis besar seperti kelompok Tuna (Thunidae), kelompok Marlin (Makaira sp), dan Tenggiri (Scomberomorus spp). Jenis ikan pelagis kecil seperti Cakalang

(Katsuwonus pelamis), kelompok Tongkol (Euthynnus spp), Ikan Bandeng (Chanos

chanos), Ikan Teri (Thryssa setirostris), Ikan Kembung lelaki (Rastrelliger

kanagurta), Ikan Bawal hitam (Parastromateus niger), Ikan Ekor kuning (Caesio

cuning), Ikan Japuh (Dussumieria acuta), Ikan Kwee (Caranx melampygus), Ikan

Layang (Decapterus russelli), Ikan Lemuru (Sardinella lemuru), dan Ikan Selanget

(Anodontostoma chacunda). Penggolongan ini lebih dimaksudkan untuk

memudahkan dalam pemanfaatan dan pengelolaan, karena karakter aktivitas yang berbeda kedua kelompok jenis ikan tersebut (Nelwan, 2004).

2.4 Proses Pengolahan Ikan Pelagis Beku

(30)

12

kristal es, dehidrasi, dan peningkatan padatan (pembekuan menghilangkan kadar air ikan pelagis). Pembekuan dan thawing menyebabkan kerusakan sel jaringan, lepasnya enzim dari mitokondria ke sarkoplasma. Daging thawing memiliki daya potong lebih rendah dari daging yang tidak mengalami pembekuan. Kekerasan daging ikan pelagis meningkat berhubungan dengan kerusakan protein myosin sama dengan penyatuan protein myofibril. Penyatuan dan kerusakan jaringan protein ada hubungannya dengan formasi ikatan disulfida (Strike et al., 2007 dalam Saulina, 2009).

Proses pengolahan ikan pelagis beku pada suhu -18°C merupakan standar suhu yang ditetapkan dalam perusahaan. Penyimpanan beku berarti meletakkan produk yang sudah beku di dalam ruangan dengan suhu yang dipertahankan sama dan telah ditentukan sebelumnya (yaitu -25°C). Adapun tahap-tahap penurunan suhu selama proses pembekuan sebagai berikut.

1. Suhu produk diturunkan sampai titik beku, yaitu pemindahan sensible heat di atas proses pembekuan.

2. Kandungan air dalam produk berubah dari bentuk cair kebentuk padat, sedangkan suhunya tetap.

3. Suhu produk diturunkan sampai titik beku, yang ideal adalah sampai penyimpanan menjadi beku.

(31)

13

(1) Air Blast Freezing (ABF)

Metode pembekuan ini dilakukan dengan cara menempatkan produk pada rak-rak pembeku di dalam ruang pembekuan, kemudian udara bersuhu rendah dihembuskan ke sekitar produk yang disimpan pada rak-rak pembekuan tersebut. Prinsip dari teknik ini adalah pembekuan dilakukan dengan menghembuskan udara dingin melewati pipa-pipa pendingin ke permukaan produk dengan kecepatan yang tinggi. Keuntungan dari ABF adalah cara ini dapat membekukan segala macam produk dan pengoperasiannya mudah. Kerugiaannya adalah memerlukan jumlah udara dalam jumlah yang besar, waktu pembekuan relatif lama, ruang lebih besar, tenaga besar, dan adanya beban panas tambahan.

(2) Brine Freezer (BF)

Prinsip teknik pembekuan ini adalah pembekuan dengan media air garam merupakan suatu bak berisi air garam pekat yang didinginkan dengan pipa evaporator, sehingga air garam suhunya jauh di bawah titik beku air murni dan akibatnya produk yang berada didalamnya akan membeku. Kelebihan metode

Brine freezer yaitu bisa membekukan segala jenis, bentuk, dan ukuran produk.

Kekurangan metode ini yaitu adanya risiko tercemarnya produk oleh air garam dan caranya kurang praktis karena air dalam bak harus diganti dan ditambah secara teratur. Produk yang dibekukan dengan metode ini diantaranya ikan utuh dan sejenisnya.

(32)

14

a. Penerimaan bahan baku

Bahan baku yang diterima di unit pengolahan diuji secara organoleptik, untuk mengetahui mutunya. Bahan baku kemudian ditangani secara hati-hati, cepat, cermat, dan saniter dengan suhu pusat produk maksimal 5oC. Tujuan dari proses ini adalah untuk mendapatkan bahan baku yang bebas bakteri, patogen, dan memenuhi persyaratan mutu.

b. Sortasi

Pada tahap ini ikan dipisahkan berdasarkan mutu, jenis, dan ukuran. Sortasi mutu dilakukan secara organoleptik, sortasi jenis dilakukan untuk memisahkan jenis yang tidak dikehendaki dan sortasi ukuran dilakukan dengan cara penimbangan. Sortasi dilakukan secara hati-hati, cepat, cermat, dan saniter dengan mempertahankan suhu pusat produk maksimal 5oC. Tujuan dari proses ini adalah untuk mendapatkan mutu, jenis, dan ukuran yang sesuai, serta bebas dari kontaminasi bakteri patogen.

c. Penyiangan atau tanpa penyiangan

(33)

15

d. Pencucian

Ikan dicuci dengan hati-hati menggunakan air bersih dingin yang mengalir secara cepat, cermat, dan saniter dengan mempertahankan suhu pusat produk maksimal 5°C. Tujuan dari proses ini adalah menghilangkan sisa kotoran dan darah yang menempel di tubuh ikan.

e. Penimbangan

Agar ikan berukuran besar ditimbang satu per satu, sedangkan untuk ikan berukuran kecil ditimbang sesuai berat yang ditentukan, menggunakan timbangan yang telah dikalibrasi. Penimbangan dilakukan secara hati-hati, cepat, cermat, saniter, dan mempertahankan suhu pusat produk maksimal 5°C. Tujuan dari proses ini adalah mendapatkan berat ikan yang sesuai dengan ukuran yang telah ditentukan dan bebas dari kontaminasi bakteri patogen.

f. Penyusunan

Agar ikan berukuran besar disusun secara individu, sedangkan untuk ikan berukuran kecil disusun secara berlapis sesuai yang ditentukan. Penyusunan dilakukan dengan hati-hati, cepat, cermat, dan saniter dengan mempertahankan suhu pusat produk maksimal 5°C. Tujuan dari proses ini adalah mendapatkan bentuk susunan ikan yang sesuai dan bebas dari kontaminasi bakteri patogen. g. Pembekuan

(34)

16

adalah membekukan produk hingga mencapai suhu pusat maksimal -18°C secara cepat dan tidak mengakibatkan pengeringan terhadap produk.

h. Penggelasan atau tanpa penggelasan

Ikan yang telah dibekukan disemprot dengan air dingin. Proses penggelasan dilakukan secara cepat, cermat, dan saniter dengan mempertahankan suhu pusat ikan maksimal –18°C. Tujuan dari proses ini adalah melapisi ikan dengan air es agar tidak mudah terjadi pengeringan pada saat penyimpanan.

i. Pengepakan

Ikan beku yang telah mengalami proses penggelasan segera dikemas dalam plastik dan dimasukkan dalam master karton secara cepat, cermat, dan saniter dengan mempertahankan suhu pusat ikan maksimal –18°C. Tujuannya yaitu melindungi produk dari kontaminasi dan kerusakan fisik selama penyimpanan dan transportasi.

2.4.1 Pengemasan ikan pelagis beku

Pengemasan adalah suatu cara untuk melindungi dan mengawetkan produk pangan maupun non pangan, pengemasan juga merupakan penunjang untuk transportasi, distribusi, dan merupakan bagian penting dari usaha untuk mengatasi persaingan dalam pemasaran (Hambali dan Nasution, 1990 dalam Saulina, 2009). Kemasan dapat dibedakan menjadi tiga yaitu sebagai berikut (Soekarto, 1990 dalam Saulina, 2009).

(35)

17

3. Kemasan tersier yaitu kemasan setelah kemasan primer dan sekunder bila diperlukan sebagai pelindung selama pengangkutan.

Dalam keadaan beku produk dapat mengalami perubahan, untuk mencegah pengeringan, oksidasi, dan diskolorisasi maka produk harus dilindungi antara lain dengan cara sebagai berikut.

(1) Penggelasan (glassing) dengan cara melapisi produk beku dengan es yang menyelubungi produk.

(2) Mengepak produk dengan bahan-bahan kedap air (water proof), kedap oksigen

(oksigen proof), dan tidak menghimpun lemak atau mengepak vakum

(vacuum packaging).

Pengemasan bahan pangan harus memperlihatkan lima fungsi utama, yaitu sebagai berikut (Buckle et al.,1985 dalam Saulina, 2009).

a. Mempertahankan produk agar tetap bersih dan memberikan perlindungan dari kotoran dan pencemaran lainnya.

b. Memberikan perlindungan pada bahan pangan dari kerusakan fisik, air, oksigen, dan sinar matahari.

c. Berfungsi secara benar, efisien, dan ekonomis dalam proses pengolahan.

(36)

18

2.5 Kerusakan sebagai Salah Satu Penyebab Penurunan Mutu Ikan

Ikan merupakan sumber pangan yang mudah rusak karena sangat cocok untuk pertumbuhan mikroba baik patogen maupun non patogen. Kerusakan ikan terjadi segera setelah ikan keluar dari air. Kerusakan dapat disebabkan oleh faktor internal (isi perut) dan eksternal (lingkungan) maupun cara penanganan di atas kapal, di tempat pendaratan atau di tempat pengolahan (Djaafar, 2007 dalam Milo, 2013). Kerusakan ditandai dengan adanya lendir di permukaan ikan, insang memudar (tidak merah), mata tidak bening, berbau busuk, dan sisik mudah terkelupas (Djaafar, 2007

dalam Milo, 2013). Segera setelah ikan mati, akan mengalami perubahan-perubahan

yang mengarah pada pembusukan yang disebabkan oleh aktivitas bakteri, perubahan kimiawi yang ditimbulkan oleh enzim-enzim, serta proses oksidasi lemak ikan oleh udara (Ilyas, 1983 dalam Milo, 2013).

Kesegaran ikan dapat dicapai bila dilakukan penanganan yang baik terhadap ikan tersebut. Ikan dapat dikatakan masih segar apabila perubahan-perubahan biokimiawi, maupun fisika, dan semua yang terjadi belum menyebabkan kerusakan berat pada ikan. Beberapa ciri yang menandakan telah terjadinya kerusakan pada ikan dapat dilihat pada Tabel 2.1 berikut (Winarno, 1993 dalam Milo, 2013).

Tabel 2.1

Perbedaan Fisik Ikan Segar dan Ikan Busuk

Ikan Segar Ikan Busuk

Daging kenyal Daging keras

Tidak empuk Empuk

Badan kaku Badan tidak kaku

Sisik rapi dan rapat Sisik mudah lepas

Bau : segar, pada bagian luar insang Bau : busuk atau asam terutama pada bagian

(37)

19

Lanjutan Tabel 2.1

Ikan Segar Ikan Busuk

Sedikit berlendir pada kulit Kulit berlendir

Insang berwarna merah Insang tidak lagi berwarna merah

Ikan tenggelam bila dimasukkan dalam air Ikan terapung jika sudah sangat busuk

Sumber : Winarno, (1993 dalam Milo, 2013)

2.5.1 Penurunan mutu secara fisik

Penurunan mutu secara fisik adalah kerusakan pada bagian luar tubuh ikan yang terjadi akibat penanganan dan perlakuan yang tidak cepat dan tepat dapat mempengaruhi mutu. Penanganan awal ikan saat ditangkap diberikan perlakuan suhu dingin dengan ditambahkan es, sehingga memperpanjang masa simpan dan akan sangat berpengaruh terhadap kualitas mutu yang dihasilkan.

Perubahan fisik ikan yang terjadi pada proses kematian ikan karena diangkat dari air dapat dijelaskan sebagai berikut (Kushardiyanto, 2010 dalam Putra, 2013). 1. Lendir yang berada dipermukaan ikan akan keluar secara berlebih pada saat

ketika ikan mati dan ikan akan menggelepar mengenai benda disekelilingnya. Ikan yang terkena benturan benda yang keras, kemungkinan besar tubuh ikan akan menjadi memar dan luka-luka.

(38)

20

3. Perubahan tersebut akan meningkat intensitasnya sesuai dengan bertambahnya tingkat penurunan mutu ikan, sehingga ikan menjadi tidak layak untuk dikonsumsi atau busuk.

Kesegaran ikan dapat dinilai dengan mudah menggunakan metode inderawi atau organoleptik dengan mengamati bagian tubuh ikan yang sensitif terhadap perubahan mutu dagingnya. Perubahan mutu tersebut seperti warna, rasa, kekenyalan dan kekompakan daging, kondisi mata, kondisi insang, dinding perut, dan bau.

2.5.2 Penurunan mutu secara kimia

Hadiwiyoto, (1993 dalam Putra, 2013) menyatakan penurunan mutu secara kimia adalah penurunan mutu yang berhubungan dengan komposisi kimia dan susunan tubuhnya. Penurunan mutu secara kimia terdiri atas penurunan mutu secara autolisis dan oksidasi.

1. Penurunan mutu secara autolisis

Autolisis adalah proses perombakan sendiri yaitu proses perombakan jaringan

oleh enzim yang berasal dari produk perikanan. Menurut Ilyas, (1983 dalam Putra, 2013) enzim yang berperan dalam autolisis yaitu enzim proteolisis (pengurai

(39)

21

tergantung pada suhu dan tidak dapat dihentikan pada suhu 00C, tetapi berlangsung lebih lambat. Kegiatan enzim dapat direduksi dan dikontrol dengan cara pendinginan, penggaraman, pengeringan, dan pengasaman, atau dapat dihentikan dengan cara pemasakan ikan tersebut (Ilyas, 1983 dalam Putra, 2013).

2. Penurunan mutu secara oksidasi

Oksidasi adalah reaksi antara suatu zat dengan oksigen atau bisa diartikan juga suatu pelepasan elektron oleh sebuah molekul, atom, atau ion. Ikan termasuk salah satu produk perikanan yang mengandung asam lemak tidak jenuh. Selama penyimpanan ikan, asam lemak tidak jenuh akan mengalami proses oksidasi reduksi asam lemak yang menyebabkan bau tengik (rancid) pada tubuh ikan (Junizal, 1976

dalam Putra, 2013).

2.5.3 Penurunan mutu secara bakteriologis

(40)

22

oleh bakteri ini (disebut bacterial decomposition) menghasilkan pecahan-pecahan protein yang sederhana dan berbau busuk, seperti CO2, H2S, amoniak, indol, skatol,

dan sebagainya (Murniyati dan Sunarman, 2000 dalam Putra, 2013).

2.5.4 Histamin

Histidin merupakan salah satu asam amino bebas yang terdapat pada daging ikan merah segar, seperti tuna, cakalang, dan sardin. Secara umum, kandungan histidin pada protein daging antara 3% dan 5%, tetapi ikan jenis horse mackerel,

Japanese pilchard, mackerel, dan Pacific saury mengandung antara 4% dan 6%

histidin. Ikan cakalang, yellowtail, madidihang, bluefin tuna mengandung histidin antara 8% dan 9% (Alasalvar et al., 2011 dalam Putra, 2013). Kandungan histidin bebas pada jaringan ikan tuna lebih tinggi dibandingkan dengan spesies ikan lainnya, sehingga meningkatkan potensi peningkatan kadar histamin, khususnya jika penyimpanan dan penanganan salah (Wahyuni, 2011 dalam Putra, 2013). Hadiwiyoto, (1993 dalam Putra, 2013) menyatakan bahwa degradasi histidin menjadi histamin dikatalis oleh enzim histidine dekarboksilase. Senyawa histamin mungkin tidak berbau busuk, tetapi keberadaannya dalam daging ikan menjadi berbahaya, karena senyawa histamin bersifat racun.

2.5.5 Faktor-faktor kerusakan yang mempengaruhi kemunduran mutu ikan

(41)

23

dalam Djafar, 2014) faktor internal yang mempengaruhi kemunduran mutu ikan yaitu

sebagai berikut.

1. Jenis ikan. Jenis ikan pelagis cenderung lebih cepat mengalami kemunduran mutu dibanding ikan demersal, selain itu ikan air tawar cenderung lebih cepat mencapai kemunduran mutu dibanding ikan air laut.

2. Umur dan ukuran ikan. Ikan dewasa dengan ukuran yang besar lebih lama mengalami kemunduran mutu dari pada ikan kecil.

3. Kandungan lemak. Ikan yang mengandung lemak tinggi cenderung lebih cepat mengalami kemunduran mutu dibanding ikan-ikan berlemak rendah.

4. Kondisi fisikal ikan. Kondisi fisik yang lemah sebelum ditangkap karena kurang bergizi makanannya, baru menelurkan, dan sebagainya akan berpengaruh terhadap waktu memasuki tahap rigor (kaku).

5. Karakteristik kulit dan bentuk tubuh. Ikan yang memiliki kulit yang tebal akan cenderung lebih lama laju kemunduran mutunya dibanding ikan yang memiliki kulit yang tipis, begitu juga dengan ikan yang bentuk tubuhnya bulat lebih lama kemunduran mutunya dibanding ikan yang bentuknya pipih.

Faktor-faktor eksternal yang paling berpengaruh terhadap kemunduran mutu ikan adalah sebagai berikut.

(42)

24

dapat menekan tingkat stres pada ikan dan mengurangi gerakan ikan (meronta-ronta) sebelum mati.

2. Penanganan pascapanen yang dilakukan oleh para nelayan. Memperoleh ikan yang bermutu dan daya awet panjang, pokok utama dalam menangani ikan adalah bekerja cepat, cermat, bersih, dan pada suhu rendah.

3. Musim. Daya simpan ikan pada musim panas yang hangat sering lebih pendek. Daya awet ikan berfluktuasi secara musiman menurut suhu.

4. Wilayah penangkapan. Perbedaan dalam wilayah penangkapan dapat juga berpengaruh terhadap daya awet.

5. Suhu air saat ikan ditangkap. Air yang bersuhu tinggi dan ikan agak lama tinggal dalam air sebelum diangkat dapat mempercepat proses penurunan mutunya.

2.6 Pengertian Mutu

Mutu merupakan suatu produk atau jasa yang memenuhi syarat atau keinginan pelanggan, dimana pelanggan dapat menggunakan atau menikmati produk atau jasa tersebut dengan sangat puas dan mereka menjadi pelanggan tetap (Feigenbaum, 1991

dalam Saragih, 2013). Dalam perusahaan pabrik, istilah mutu diartikan sebagai

faktor-faktor yang terdapat dalam suatu barang atau hasil tersebut sesuai dengan tujuan untuk apa barang atau hasil itu dimaksudkan atau dibutuhkan (Assuari, 1999

dalam Hutapea, 2010).

(43)

25

sesuai dengan nilai uang yang telah dikeluarkan (Prawirosentono, 2001 dalam Hutapea, 2010). Dari pihak konsumen, mutu suatu barang ditentukan oleh harapan konsumen atas biaya-biaya yang harus ditanggung oleh konsumen apabila dia membeli barang tersebut di satu pihak dengan harga barang tersebut di lain pihak. Dalam hal ini konsumen membandingkan antara harga barang dibeli, kebutuhan diinginkan, serta biaya-biaya pemakaian barang tersebut.

Keseimbangan antara tiga hal tersebut menentukan pilihan konsumen atas mutu barang yang dipilihnya untuk dibeli atau dimilikinya (Gitosudarmo, 1998 dalam Hutapea, 2010). Oleh karena itu, produk yang dihasilkan oleh perusahaan hendaknya memperhatikan persyaratan mutu, baik persyaratan nasional maupun luar negeri. Mengetahui persyaratan mutu dan keamanan pangan pada hasil perikanan beku dapat dilihat pada Tabel 2.2 berikut.

Tabel 2.2

Persyaratan Mutu dan Keamanan Pangan Ikan Beku

(44)

26

Sumber : Badan Standarisasi Nasional, 2014

Catatan : a bila diperlukan

b

untuk ikan predator

c

untuk ikan scombroid, clupeidae, scombresocidae, pomatomidae, coryphaenedae

d untuk ikan yang dibudidayakan e untuk ikan karang

f

untuk ikan salmonidae

Performansi mutu dapat ditentukan dan diukur berdasarkan karakteristik mutu yang terdiri atas beberapa sifat atau dimensi sebagai berikut (Gaspersz, 1998 dalam Mentari, 2011).

1. Fisik : panjang, berat, dan diameter.

2. Sensory (berkaitan dengan panca indera) : rasa, penampilan, warna, bentuk, model,

dan lain-lainnya.

3. Orientasi waktu : keandalan, kemampuan pelayanan, kemudahan pemeliharaan, dan ketepatan waktu penyerahan produk.

(45)

27

2.7 Pengendalian Mutu

Ismiatun (2013) menyatakan bahwa pengendalian adalah apabila dalam pengawasan ternyata ditemukan adanya penyimpangan atau hambatan maka segera diambil tindakan koreksi. Perbedaan pengendalian dan pengawasan yaitu pengawasan tidak disertai tindak lanjut, tetapi cukup melaporkan, sedangkan pengendalian disertai tindak lanjut. Selanjutnya menurut Montgomery, (1996 dalam Saulina, 2009) pengendalian mutu adalah suatu aktivitas keteknikan dan manajemen, sehingga ciri-ciri kualitas (mutu) dapat diukur dan dibandingkan dengan spesifikasinya. Kemudian dapat diambil tindakan perbaikan yang sesuai apabila terdapat perbedaan atau penyimpangan antara penampilan yang sebenarnya dengan yang standar Tujuan utama pengendalian mutu adalah menjaga kepuasan pelanggan. Tujuan pengendalian mutu lainnya sebagai berikut (Ahyari, 2000 dalam Sutrisno, 2014).

1. Mengusahakan agar penggunaan biaya serendah mungkin. 2. Agar dapat memproduksi selesai tepat pada waktunya. 3. Meningkatkan kepuasan konsumen.

Langkah-langkah pengendalian mutu adalah sebagai berikut (Bounds, 1994 dalam Sutrisno, 2014).

(1) Menilai kinerja kualitas aktual.

(2) Membandingkan kinerja dengan tujuan.

(3) Bertindak berdasarkan perbedaan antara kinerja dan tujuan.

(46)

28

a. Meningkatkan mutu, desain produk, dan aliran produksi.

b. Meningkatkan moral tenaga kerja dan kesadaran mengenai mutu. c. Meningkatkan pelayanan produk dan memperluas pangsa pasar.

Dalam menjalankan aktivitas, pengendalian mutu merupakan salah satu teknik yang perlu dilakukan mulai dari sebelum proses produksi berjalan, pada saat proses produksi, hingga proses produksi berakhir dengan menghasilkan produk akhir. Pengendalian mutu dilakukan agar dapat menghasilkan produk berupa barang atau jasa yang sesuai dengan standar yang diinginkan dan direncanakan, serta memperbaiki mutu produk yang belum sesuai dengan standar yang telah ditetapkan dan sedapat mungkin mempertahankan mutu yang telah sesuai.

Pengendalian mutu tidak dapat dilepaskan dari pengendalian produksi, karena pengendalian mutu merupakan bagian dari pengendalian produksi. Pengendalian produksi baik secara kualitas maupun kuantitas merupakan kegiatan yang sangat penting dalam suatu perusahaan. Hal ini disebabkan karena semua kegiatan produksi yang dilaksanakan akan dikendalikan, supaya barang dan jasa yang dihasilkan sesuai dengan rencana yang telah ditetapkan, dimana penyimpangan-penyimpangan yang terjadi diusahakan serendah-rendahnya (Assauri, 1998 dalam Fakhri, 2010).

2.7.1 Faktor-faktor pengendalian mutu

(47)

29

1. Kemampuan proses

Batas-batas yang ingin dicapai haruslah disesuaikan dengan kemampuan proses yang ada. Tidak ada gunanya mengendalikan suatu proses dalam batas-batas yang melebihi kemampuan atau kesanggupan proses yang ada.

2. Spesifikasi yang berlaku

Spesifikasi hasil produksi yang ingin dicapai harus dapat berlaku, bila ditinjau dari segi kemampuan proses dan keinginan atau kebutuhan konsumen yang ingin dicapai dari hasil produksi tersebut. Dalam hal ini haruslah dapat dipastikan dahulu apakah spesifikasi tersebut dapat berlaku dari kedua segi yang telah disebutkan di atas sebelum pengendalian mutu pada proses dapat dimulai.

3. Tingkat ketidaksesuaian yang dapat diterima

Tujuan dilakukan pengendalian suatu proses adalah dapat mengurangi produk yang berada di bawah standar seminimal mungkin. Tingkat pengendalian yang diberlakukan tergantung pada banyaknya produk yang berada di bawah standar yang dapat diterima.

2.7.2 Tahapan pengendalian mutu

Memperoleh hasil pengendalian mutu yang efektif, maka pengendalian terhadap mutu suatu produk dapat dilaksanakan dengan menggunakan teknik-teknik pengendalian mutu, karena tidak semua hasil produksi sesuai dengan standar yang telah ditetapkan. Menurut Prawirosentono, (2007 dalam Fakhri, 2010), terdapat beberapa standar mutu yang bisa ditentukan oleh perusahaan dalam upaya menjaga

(48)

30

1. Standar mutu bahan baku yang akan digunakan.

2. Standar mutu proses produksi (mesin dan tenaga kerja yang melaksanakannya). 3. Standar mutu barang setengah jadi.

4. Standar mutu barang jadi.

5. Standar administrasi, pengepakan, dan pengiriman produk akhir tersebut sampai ke tangan konsumen.

Dikarenakan kegiatan pengendalian mutu sangatlah luas, untuk itu semua pengaruh terhadap mutu harus dimasukkan dan diperhatikan. Secara umum menurut Prawirosentono, (2007 dalam Fakhri, 2010) menyatakan bahwa pengendalian atau pengawasan akan mutu di suatu perusahaan dilakukan secara bertahap yang meliputi hal-hal sebagai berikut.

(1) Pemeriksaan dan pengawasan mutu bahan mentah (bahan baku atau bahan baku penolong), mutu bahan dalam proses, dan mutu produk jadi. Demikian pula standar jumlah dan komposisinya.

(2) Pemeriksaan atas produk sebagai hasil proses pembuatan. Hal ini berlaku untuk barang setengah jadi maupun barang jadi. Pemeriksaan yang dilakukan tersebut memberi gambaran apakah proses produksi berjalan seperti yang telah ditetapkan atau tidak.

(3) Pemeriksaan cara pengepakan dan pengiriman barang ke konsumen. Melakukan analisis fakta untuk mengetahui penyimpangan yang mungkin terjadi.

(49)

31

penyimpangan, harus segera dilakukan koreksi agar produk yang dihasilkan memenuhi standar yang direncanakan.

Tahapan pengendalian atau pengawasan mutu terdiri atas dua tingkatan sebagai berikut (Assauri, 1998 dalam Fakhri, 2010).

a. Pengawasan selama pengolahan (proses)

Yaitu dengan mengambil contoh atau sampel produk pada jarak waktu yang sama, dan dilanjutkan dengan pengecekan statistik untuk melihat apakah proses dimulai dengan baik atau tidak. Apabila mulainya salah, maka keterangan kesalahan ini dapat diteruskan kepada pelaksana semula untuk penyesuaian kembali. Pengawasan yang dilakukan hanya terhadap sebagian dari proses, mungkin tidak ada artinya bila tidak diikuti dengan pengawasan pada bagian lain. Pengawasan terhadap proses ini termasuk pengawasan atas bahan-bahan yang akan digunakan untuk proses.

b. Pengawasan atas barang hasil yang telah diselesaikan

(50)

32

2.8 Statistical Quality Control (SQC)

Statistik merupakan teknik pengambilan keputusan pada suatu analisis informasi yang terkandung dalam suatu sampel dari populasi. Metode statistik memegang peranan penting dalam jaminan mutu. Metode statistik memberikan cara-cara pokok dalam pengambilan sampel produk, pengujian serta evaluasi, dan informasi didalam data yang digunakan untuk mengendalikan dan meningkatkan proses pembuatan.

Pengendalian mutu atau kualitas merupakan aktivitas teknik dan manajemen dimana mengukur karakteristik mutu atau kualitas dari produk atau jasa, kemudian membandingkan hasil pengukuran itu dengan spesifikasi produk yang diinginkan serta mengambil tindakan peningkatan yang tepat apabila ditemukan perbedaan kinerja aktual dan standar (Bakhtiar, Tahir, dan Hasni, 2013).

Statistic quality control (SQC) atau pengendalian kualitas statistik merupakan

teknik penyelesaian masalah yang digunakan untuk memonitor, mengendalikan, menganalisis, mengelola, memperbaiki produk, dan proses menggunakan metode-metode statistik. Pengendalian mutu atau kualitas statistik (statistic quality control atau SQC) sering disebut sebagai pengendalian proses statistik (statistical process

control atau SPC). Pengendalian mutu atau kualitas statistik dan pengendalian proses

(51)

33

Statistical quality control (SQC) mempunyai tiga penggunaan umum yaitu (1)

untuk mengawasi pelaksanaan kerja sebagai operasi-operasi individual selama pekerjaan sedang dilakukan, (2) untuk memutuskan apakah menerima atau menolak sejumlah produk yang telah diproduksi (baik dibeli atau dibuat dalam perusahaan), dan (3) untuk melengkapi manajemen dengan audit kualitas produk-produk perusahaan (Handoko, 1984 dalam Nadiah, 2013). Pada suatu perusahaan, statistical

quality control (SQC) sangat bermanfaat sebagai alat pengendali mutu. Pengendalian

mutu juga meliputi pengawasan pemakaian bahan-bahan, berarti secara tidak langsung statistical quality control (SQC) bermanfaat pula mengawasi tingkat efisiensi. Dengan demikian, statistical quality control (SQC) dapat digunakan sebagai alat untuk mencegah kerusakan dengan cara menolak (reject) dan menerima (accept) berbagai produk yang dihasilkan, sekaligus upaya efisiensi dalam penggunaan biaya pada pengendalian mutu produk (Prawirosentono, 2004 dalam Nadiah, 2013).

2.9 Metode Statistical Quality Control (SQC) 2.9.1 Peta kendali (control chart)

Reksohadiprojo, (1995 dalam Sutrisno, 2014) menyatakan bahwa peta kendali

(control chart) merupakan alat analisis untuk mengetahui rata-rata kerusakan

(52)

34

dan menghasilkan perbaikan mutu. Peta kendali menunjukkan adanya perubahan data dari waktu ke waktu, tetapi tidak menunjukkan penyebab penyimpangan meskipun penyimpangan itu akan terlihat pada peta kendali. Manfaat dari peta kendali adalah sebagai berikut.

1. Memberikan informasi apakah suatu proses produksi masih berada di dalam batas-batas kendali mutu atau tidak terkendali.

2. Memantau proses produksi secara terus-menerus agar tetap stabil. 3. Menentukan kemampuan proses (capability process).

4. Mengevaluasi performance pelaksanaan dan kebijaksanaan pelaksanaan dalam proses produksi.

5. Membantu menentukan kriteria batas penerimaan mutu produk sebelum produk akan dipasarkan.

Peta kendali digunakan untuk membantu mendeteksi adanya penyimpangan dengan cara menetapkan batas-batas kendali. Peta kendali yang sering digunakan adalah peta kendali model Andrew Shewhart yang pada dasarnya memiliki ciri-ciri sebagai berikut.

(1) Upper control limit atau batas kendali atas (UCL)

(53)

35

(2) Central line atau garis pusat atau tengah (CL)

Merupakan garis yang melambangkan tidak adanya penyimpangan dari karakteristik sampel. Nilai baku yang akan menjadi pangkalan perhitungan terjadinya penyimpangan hasil pengamatan pada tiap sampel.

(3) Lower control limit atau batas kendali bawah (LCL)

Merupakan garis batas bawah untuk suatu penyimpangan dari karakteristik sampel. Dapat dinotasikan sebagai batas penyimpangan terendah yang masih berada dalam batas-batas pengendalian.

Pengendalian mutu akan berjalan baik jika kerusakan produk masih dalam batas normal yaitu terletak antara batasan pengawasan atas (UCL) dan batasan pengawasan bawah (LCL). Apabila kerusakan produk di atas garis UCL, maka perusahaan akan mengalami kerugian yang dikarenakan jumlah kerusakan produk tinggi dan jika jumlah kerusakan produk di bawah garis LCL, maka perusahaan akan memperoleh keuntungan atau laba besar yang dikarenakan jumlah kerusakan produknya sedikit. Bentuk grafik peta kendali berdasarkan model Andrew Shewhart dapat ditunjukkan seperti Gambar 2.1 berikut.

Gambar 2.1

Grafik Peta Kendali Model Andrew Shewhart

Periode (bulan) Persentase kerusakan (%)

(54)

36

Menurut Reksohadiprojo, (1995 dalam Sutrisno, 2014) metode control chart merupakan analisis untuk mengetahui rata-rata kerusakan penyimpangan, batas atas, dan batas bawah pengawasan mutu dengan menggunakan rumus sebagai berikut. a. Mencari rata-rata kerusakan

... (1) Keterangan:

P = persentase kerusakan produk (%/tahun) X = jumlah produk rusak (kg/tahun)

n = jumlah produksi selama periode (kg/tahun) b. Menentukan standar deviasi atau penyimpangan

√ -

... (2) Keterangan:

P = persentase kerusakan produk (%/tahun) Sp = standar deviasi atau penyimpangan (kg/tahun) n = rata-rata produksi selama periode (kg/tahun) c. Menentukan batas pengawasan

(a) Batasan pengawasan atas (Upper Control Limit = UCL)

... (3) (b) Batas pengawasan bawah (Lower Control Limit = LCL)

- ... (4) Keterangan:

(55)

37

2.9.2 Biaya mutu (quality cost)

Gitosudarmo, (1993 dalam Sutrisno, 2014) menyatakan bahwa biaya mutu

(quality control) merupakan metode yang digunakan untuk mengetahui jumlah

produk rusak yang optimal yaitu jumlah produk rusak dengan biaya mutu yang efisien. Biaya-biaya yang diperhitungkan tersebut sebagai berikut.

1. Biaya pengawasan mutu (quality control cost)

Biaya pengawasan mutu (QCC) merupakan biaya yang dikeluarkan oleh perusahaan dalam melakukan pengawasan mutu produknya. Adapun biaya-biaya yang merupakan biaya pengawasan mutu (quality control cost) sebagai berikut. (1) Biaya kerusakan ikan karena kurangnya pengawasan pada waktu penyimpanan

ikan di palkah pada saat di kapal atau di perusahaan dan kurang stabilnya mutu ikan, sehingga waktu ikan akan diproses mutunya mengalami penyusutan, biaya uji mutu ikan, dan biaya penyusutan peralatan untuk proses pengendalian mutu. (2) Biaya tenaga kerja yang terlibat dalam pengawasan mutu. Biaya ini merupakan

biaya tambahan karena perusahaan sering mengadakan kerja lembur untuk pemeriksaan mutu. Besarnya biaya pengawasan mutu dipengaruhi oleh ketat tidaknya intensitas pengawasan mutu produk. Hal tersebut dapat diketahui dengan menggunakan rumus sebagai berikut.

... (5)

Keterangan:

QCC = total biaya pengawasan mutu (Rp/tahun) R = jumlah produksi selama periode (kg/tahun) o = biaya pengetesan (Rp/tahun)

(56)

38

2. Biaya jaminan mutu (quality assurance cost)

Biaya jaminan mutu (QAC) dikeluarkan perusahaan diakibatkan karena kerusakan produk selama perjalanan dari perusahaan ke distributor atau ke konsumen bahkan masih di dalam perusahaan. Biaya jaminan mutu (quality

assurance cost) ini meliputi sebagai berikut.

(1) Biaya perbaikan atau reparasi produk yang rusak. (2) Biaya penggantian produk rusak dan cacat.

(3) Biaya atas ditanggungnya risiko menyebabkan berkurangnya volume penjualan karena biaya produk yang rusak atau cacat telah dibeli oleh konsumen. Besarnya biaya jaminan mutu (QAC) dapat dicari menggunakan rumus sebagai berikut.

... (6) Keterangan:

QAC = total biaya jaminan mutu (Rp/tahun) c = biaya jaminan mutu tiap kilogram (Rp/kg) q = jumlah produk rusak selama periode (kg/tahun) 3. Total biaya atas mutu (total quality cost)

Total biaya atas mutu (TQC) merupakan biaya yang harus ditanggung oleh perusahaan, dimana besarnya merupakan penjumlahan dari biaya pengawasan mutu (QCC) dengan biaya jaminan mutu (QAC), secara matematis total biaya atas mutu (TQC) dirumuskan sebagai berikut.

... (7) Keterangan:

TQC = total biaya atas mutu (Rp/tahun)

(57)

39

4. Dari kedua biaya tersebut yaitu biaya pengawasan mutu (QCC) dan biaya jaminan mutu (QAC), maka dapat dicari titik temu antara kedua biaya tersebut dan menemukan jumlah ikan rusak yang menanggung total biaya mutu yang rendah. Caranya adalah dengan menyamakan persamaan garis dari kedua biaya tersebut. Titik temu itu dapat ditentukan dengan rumus berikut.

√ ... (8)

Keterangan:

q* = jumlah produk rusak optimum (kg/tahun) R = jumlah produksi selama periode (kg/tahun) o = biaya pengetesan (Rp/tahun)

c = biaya jaminan mutu tiap kilogram (Rp/kg)

a. q* untuk mengetahui jumlah produk rusak yang menanggung biaya terendah. b. Intensitas pengawasan kualitas sudah berjalan baik jika ikan rusak yang

benar-benar terjadi (q) lebih kecil dari ikan rusak yang dikehendaki (q*).

(58)

40

Grafik Biaya Mutu (quality cost)

Sumber : Gitosudarmo, (1998 dalam Hutapea, 2010) Keterangan:

TQC = total biaya atas mutu (Rp/tahun)

QCC = total biaya pengawasan mutu (Rp/tahun) QAC = total biaya jaminan mutu (Rp/tahun) q* = jumlah produk rusak optimum (kg/tahun) C* = total biaya mutu kerusakan optimum (Rp/tahun)

Gambar 2.2 menjelaskan bahwa grafik total biaya mutu (TQC) memiliki titik rendah yaitu pada saat jumlah kerusakan produk optimal sebesar q*, maka total biaya mutunya terendah yaitu sebesar C*. Apabila intensitas pengawasan mutu dilakukan semakin ketat, maka jumlah produk yang rusak akan semakin kecil menjadi sebesar q1. Hal ini mengakibatkan semakin besar total biaya yang dikeluarkan yaitu sebesar C1 dan biaya jaminan mutu akan semakin kecil. Sebaliknya apabila pengawasan mutu

dilakukan terlalu longgar, maka jumlah produk yang rusak semakin meningkat

Gambar

Gambar 1.1 berikut.
Tabel 2.1
Tabel 2.2
Gambar 2.1 Grafik Peta Kendali Model Andrew Shewhart
+4

Referensi

Dokumen terkait

Tabel 3.2 Model Analisis Taksonomi Implementasi Pengendalian Mutu Dalam Proses Produksi Kakao Lindak Pasca Panen pada PT. Perkebunan Nusantara XII (Persero)

Di dalam rencana strategis Kementerian Kelautan dan Perikanan 2020 - 2024, arah kebijakan dan strategi pembangunan Badan Karantina Ikan Pengendalian Mutu dan

Konsistensi penerapan pengendalian official control Sistem Jaminan Perkarantinaan, Mutu dan Keamanan Hasil Perikanan pada unit kerja lingkup Otoritas Kompeten

Di dalam rencana strategis Kementerian Kelautan dan Perikanan 2020 - 2024, arah kebijakan dan strategi pembangunan Badan Karantina Ikan Pengendalian Mutu dan

Sarana dari Balai Karantina Ikan Pengendalian Mutu dan Keamanan Hasil Perikanan Kelas I Surabaya I untuk kegiatan laboratorium pemeriksaan penyakit. Sarana untuk kegiatan

Rencana kerja dan anggaran BKIPM tahun 2016 diarahkan untuk mencapai target-target kinerja pembangunan karantina ikan pengendalian mutu dan keamanan hasil perikanan yang

Badan Karantina Ikan Pengendalian Mutu, dan Keamanan Hasil Perikanan, Kementerian kelautan dan Perikanan salah satu tugasnya adalah menjamin mutu dan kesehatan produk

Manusia pada Unit Pelaksana Teknis Karantina Ikan, Pengendalian Mutu dan Keamanan Hasil Perikanan, perlu meninjau kembali Keputusan Kepala Badan Karantina Ikan,