DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA
RISALAH RAPAT PANITIA KERJA DPR-RI
RANCANGAN UNDANG-UNDANG TENTANG PEMBINAAN DAN PERLINDUNGAN KETENAGA KERJAAN·(PPK), DAN RUU TENTANG PENYELESAIAN
PERSELISIHAN INDUSTRIAL (PPI)
===========================================================================
Tahun Sidang Masa Persidangan Jenis Rapat Sifat Rapat 2001-2002Rapat Panitia Kerja Terbuka
Hari/T anggal Rapat Waktu
Rabu, 17 Oktober 2001 13.50 WIB
Deng an Tempat
Ke tu a Dr. Surya Chandra Surapaty, MPH, P.HD/Ketua Pansus RUU PPK & PPI DPR-RI
Anita Soekardjo, SH Sekretaris
Acara
Anggota Hadir dari 49 orang anggota Panja RUU PPK & PPI DPR-RI orang ijin
PIMPINAN PANSUS RUU PPK & PPI DPR-RI :
1. Dr. SURYA CHANDRA SURAPATY, MPH, P.HD (F-PDIP/ KETUA) 2. DRS. T JARDA MUCHTAR, MBA (F-PG/WAKIL KETUA)
3. H.A. SYAHRUDJI TANJUNG, MBA (F-PPP/WAKIL KETUA) 4. H. AMRU AL MUTASHIM, SH, MM (F-PKB/WAKIL KETUA)
F-PDIP:
5. DRS. AGUS CONDRO PRAYITNO 6. ORA. BUDININGSIH
7. H. SAMBAS SOERJADI
8. DRS. JACOBUS K. MAYONG PADANG 9. DRS. HADI WASIKOEN
10. H. SYAHRUL AZMIR MATONDANG 11. RUSMAN LUMBANTORUAN B.TH 12. H. WOWO IBRAHIM
13. WILLIAM M. TUTUARIMA 14. IRMADI LUBIS
15. ERWIN PARDEDE
16. DR. REKSO AGENG HERMAN 17.DRS.MARSUDIPANDINEGARA
F-PKB:
34. ORA. NY. IDA FAUZIYAH 35. AHMAD MUBASYIR MAHFUD 36. K.H. KHALILURRAHMAN 37. KH. MACHRUS USMAN 38. DR. AN. RADJAWANE F· TNI I POLRI :
39. T AA T TRI JAN UAR 40. PRAYOGO, SIP 41. GADIONO, SIP 42. ROCHMULYATI, BSC
:
F-PG:
18. RAMBE KAMARUL ZAMAN, MSC
19. DRS. H.A. DJAHIDIN 20. AZAR MUCHLIS, SH
21. DRS. H. BAMBANG W. SOEPRAPTO 22. H. HASANUDDIN MURAD, SH 23. DR. BURHAN DJABIR MAGENDA 24. SYAMSUL BACHRI, MSC
25. DRS. IBNU MUNZIR 26. PEDDY TANDAWUYA, BA 27. ORA. HJ. YET JE LANASI 28. DRS. RUBEN GOBAY F·PPP:
29. H.M. ARSYAD PANA
30. HJ. CHODIDJAH H.M. SALEH 31. H. AMALUDDIN NASUTI ON 32. H. ABDUL KADIR AKLIS 33. HM. IZZUL ISLAM
F·REFORMASI :
43. H. ROQIB ABDUL KADIR 44. IR. AFNI ACHMAD 45. H. PATRIALIS AKBAR 46.KH.LUTFHIACHMAD F·KKI:
47. BIRINUS JOSEPH RAHAWADAN F-PBB:
48. ORA. HJ. NURBALQIS
F·PDU:
49. DRS. MUCHAROR, AM
KETUA PANSUS (SURYA CHANDRA) : Assalamu'alaikum Wr. Wb.
Rapat Pansus skors saya cabut
(SKORS DICABUT)
Kita mulai dengan pembahasan kemarin sudah sampai 14 a baru, 14 a baru kan kemarin disepakati menjadi 6 ayat oh bukan tapi pasal 8 sudah selesai ya, silahkan pemerintah untuk memulai.
PEMERINT AH :
Pasal 14 a baru ini kami maksudkan sebagai konsekuensi dari pada perubahan pasal-pasal sebelumnya karena di mediasi kita buatkan perjanjian bersama, maka untuk arbiter pada pemerantaraan bipartit ada perjanjian bersama maka mediasi pun kita cantumkan perlu adanya penjelasan mengenai perjanjian bersama sehingga pasal 14 a baru ini berbunyi :
Ayat (1): Da/am ha/ penye/esaian melalui mediasi mencapai kesepakatan sebagaimana dimaksud dalam pasa/ 14 ayat (1) dan ayat (6), perjanjian bersama tersebut didaftar pada pengadilan negeri di wilayah pihak-pihak mengadakan perjanjian bersama dimana ayat sebelumnya.
Ayat (2) : Perjanjian bersama yang te/ah didaftar sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diberikan akta bukti pendaftaran perjanjian bersama dan merupakan bahagian dari perjanjian bersama.
Tiga : Apabila perjanjian bersama sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tidak dilaksanakan o/eh salah satu pihak maka pihak yang dirugikan dapat mengajukan permohonan kepada pengadilan negeri di wilayah pihak yang tidak melaksanakan perjanjian bersama untuk mendapatkan penetapan eksekusi.
KETUA PANSUS (SURYA CHANDRA):
Ya silahkan kalau ada tanggapan, dari pak Suwitno.
F· TNl/POLRI (SUWITNO ADI) :
Terima kasih pimpinan, jadi pada pasal 14 a baru itu kan menunjuk ayat (1), menunjuk pasal 14 ayat (1) dan ayat (6), ayat (1) pasal 14 itu dalam hal penyelesaian melalui mediasi sebagaimana dimaksud dalam pasal 9, pasal 11 dan pasal 12 tercapai sepakat penyesuaian maka dibuat perjanjian bersama yang ditandatangani oleh para pihak dan diketahui oleh mediator.
Terus kemudian pasal 14 ayat (6), Dalam hal para pihak menyetujui anjuran tertulis dari mediator paling lama 5 hari kerja dan anjuran tertulis disetujui mediator harus sudah membantu para pihak membuat persetujuan bersama. Antara pasal 14 ayat (1) dan ayat (6) kan mungkin beda itu pak ya konteksnya gitu ya, kalau yang ayat {1) kan tidak perlu didaftarkan mungkin yang perlu didaftarkan adalah ayat (6) tersebut saya kira dan secara keseluruhan mungkin pasal 14 a baru ayat (3) ini mungkin konkordan dengan yang kemarin kita bahas itu pasal 8 ya, demikian dari kami terima kasih.
KETUA PANSUS (SURYA CHANDRA): Silahkan yang lain, pak Syahrudji
WAKIL KETUA (SYAHRUDJI TANJUNG/F·PPP) :
Terima kasih ini saya tanya pada pemerintah dihubungkan dengan pasal 14 yang lalu itu ada tidak penggusuran dari pasal 14 yang lama itu atau bagaimana urutan-urutannya dikaitkan dengan pasal14 a baru terima kasih.
KETUA PANSUS (SURYA CHANDRA): Pak Rusman
f. POI P (RUSMAN LUMBANTORUAN) :
Saya juga ada pertanyaan kepada pemerintah didalam pasal 14 lama yang dibacakan tadi oleh pak Witno itu perjanjian bersama belum ada masih persetujuan bersama, ini muncul kalau dikatakan ini merupakan konsekuensi logis dari pada itu seperti juga sebenarnya ini harus ada rujukan kita untuk merubah itu pasal 14 yang lama itu.
Yang kedua di wilayah pihak yang tidak melaksanakan perjanjian bersama ayat (3) ini memang kita sesuaikan dengan ayat (5) yang kemarin dan tentunya ada penambahan ayat {4) baru nantinya disini yaitu ayat (6) kemarin yang konkordan dengan ayat (6) pasal 8 kemarin.
KETUA PANSUS (SURYA CHANDRA):
Saya persilahkan pemerintah untuk menanggapi tiga ini. PEMERINT AH :
Jadi menanggapi beberapa pertanyaan yang disampaikan dapat kami jawab sebagai berikut: Pasal 14 ayat (1) lama itu terbatas hanya sampai dengan pendataan oleh mediator yang kemudian dilanjutkan pendaftaran kepada pengadilan negeri, cuma persetujuan bersama ini kita ganti dengan perjanjian bersama karena ini konsep lama. Sebab kalau nanti tidak didaftar maka untuk pelaksanaan eksekusi mengalami kesulitan menurut tata cara proses di peradilan.
WAKIL KETUA (SYAHRUDJI TANJUNG/F-PPP) :
Tadi ada pertanyaan apakah dengan adanya pasal 14 a baru ini dikaitkan dengan pasal 14 yang lama, ada tidak yang di drop pasal 14 yang lama ini.
_.
PEMERINTAH:
Tidak ada pak, karena 14 ini sudah kita setujui dulu dengan adanya perubahan-perubahan baru apakah misalnya memang harus berdiri sendiri atau kita kawinkan itu terserah pada persetujuan kita bersama pak ini. Jadi kalau 14 lama ini sampai dengan ditandatangani persetujuan bersama dan diketahui oleh mediator yang selanjutnya perjanjian bersama itu harus didaftarkan kepada pengadilan negeri setempat.
WAKIL KETUA (SYAHRUDJI TANJUNG/F-PPP) :
ltu untuk mengintegrasikannya gimana apa karena tadi pada pasal 14 a baru dikaitkan dengan pasal 14 ayat (1), apakah pasal 14 a baru ayat (1) ini menjadi ayat (2) atau bagaimana di pasal 14 lama.
PEMERINTAH:
lni prinsipnya begini pak sebetulnya antara pasal 14 ayat (1) dengan pasal 14 a ayat (1) itu saling melengkapi kelanjutan dari pada proses 14 ayat (1) lama, tapi kita tidak bisa mengubah ini karena ini sudah kita setujui dulu sehingga kalau memang kita setujui untuk dirubah dijadikan kelanjutan dari pasal 14 lama ini saya kira tidak mengubah isi dari pada kedua ayat ini.
KETUA PANSUS (SURYA CHANDRA) :
Kalau demikian berarti nanti pasal 14 ini bisa jadi 9 ayat kita. PEMERINT AH :
Kalau kita mau ringkas sebetulnya ini bisa dilanjutkan pak diketahui oleh mediator yang selanjutnya didaftarkan pada pengadilan setempat, dikawinkan ya.
KETUA PANSUS (SURYA CHANDRA): Ayat (2) nya pak, ayat (2) nya14 baru. PEMERINTAH:
Ayat (2) ini konkordan dengan ayat (8) yang lama itu pak, perjanjian bersama yang telah didaftar sebagaimana · dimaksud dalam ayat ( 1) diberikan akta bukti pendaftaran perjanjian bersama dan merupakan bahagian dari perjanjian bersama jadi sama dengan ayat (8) salah satu ayat (8) pasal 8, sekarang apakah ini runtutn kita masukan atau merupakan tambahan ayat kita pergunakan nanti pada sidang pak.
KETUA PANSUS (SURYA CHANDRA) : Silahkan pak Witno
F·TNl/POLRI (SUWITNO ADI):
Pasal 14 lama ayat (1) dan pasal 14 baru ayat (1) itu memang bisa dikawinkan tetapi hanya ayat (1) nya, ayat (6) tidak bisa dikawinkan itu yang pertama, terus di ayat lama itu masih kata-kata persetujuan bersama harus dirubah menjadi perjanjian bersama. Yang ketiga saya ingin menyanyakan itu kan anjuran tertulisnya, anjuran tertulis apabila tidak ada kesepakatan maka ada anjuran tertulis gitu lho ya dan anjuran tertulis itu seandainya disetujui itu perlu didaftarkan juga di pengadilan.
KETUA PANSUS (SURYA CHANDRA) : Silahkan.
F-PDI P (RUSMAN LUMBANTORUAN) :
Pak Ketua kalau ini mau dikait-kaitkan dengari pasal 14 mungkin bisa kita sepakati kutipan dari pada ayat (1) baru ini seperti tadi dan didaftar ke pengadilan negeri dan seterusnya memperlengkapi kalimat 14 lama ayat (1) nya, tetapi demikian kalau yang kedua ini menambah-nambah ayat ini kan hanya untuk menjelaskan merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari perjanjian bersama ayat (2) ini apakah tidak bisa menjadi penjelasan di pasal 14 ayat (1) nantinya.
Jadi bahwa perjanjian bersama yang sudah didaftar sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) ini bagaimana bunyinya terserah tapi itu maksudnya diberikan akta bukti pendaftaran itu dimasukan dalam penjelasan. Sekali lagi kalau ini masuk menjadi ayat baru ya kembali lagi yang tadi jadi berapa ayat nantinya pasal 14 itu.
Yang ketiga saya tidak tahu apakah sudah jelas pihak pemerintah sepakat ayat (3) ini disesuaikan bunyi-bunyian dengan yang kemarin belum ada tanggapan tadi dari pihak pemerintah mengenai itu ayat (3) yang ini jadi apakah disesuaikan dengan yang kemarin konkordan dengan yang kemarin yaitu pasal 8 ayat (5) dan (6) itu, itu saja dulu sementara pak.
PEMERINT AH :
Memang konkordan pak.
KETUA PANSUS (SURYA CHANDRA) : Jadi ayat (3) dirubah menjadi ayat (4), (5) dan (6). PEMERINT AH :
Ya karena kalau konsekuensi dari pada ayat {1) pasal 14 a baru ini kita kawinkan dengan pasal 14 lama itu konsekuensi ayat (2) dan ayat (3) ini memang runtunan dari pada ayat (1), supaya ada konsekuensi dalam penulisan pada pasal 8 pak. Sekarang apa bedanya ayat (2), (3) ini pada pasal 14 dengan ayat (2), (3) pada pasal 8 kalau dibuat di penjelasan ada kesan ada perbedaan gitu padahal tidak ada perbedaan.
F·PDI P (RUSMAN LUMBANTORUAN) :
lni mungkin menyangkut masalah hukum, dalam rangka penulisan sesudah bab, pasal, ayat apa masih ada dibawahnya jadi nanti ada ayat (1), dibawah ayat {1) itu ada lagi apa butir atau apa namanya apakah ada penulisan begitu supaya yang tiga ini bisa masuk merupakan bahagian dari pada ayat (1) itu tadi seperti yang disarankan oleh pihak pemerintah. Kalau memang mau masuk seluruhnya didalam bahagian dari pada ayat (1) didalam pasal 14 lama maka 1, 2, 3 ini merupakan sub bagian atau apa namanya itu, sub ayat dari pada ayat (1) itu apakah dimungkinkan itu dalam rangka penulisan kalau substansinya kita sudah sepakat maka penempatannya barangkali sekarang yang perlu kita pikirkan dimana dia masuk terima kasih.
KETUA PANSUS (SURYA CHANDRA): Silahkan pemerintah.
PEMERINT AH :
Saya kira teksnya hukum, pak Gunawan saya minta untuk menjelaskan apa ada istilah dibawah ayat lagi pak terima kasih.
-·
KETUA PANSUS (SURYA CHANDRA) : Bagian dari ayat maksudnya dilahkan. AHLI HUKUM (GUNAWAN) :
Singkat saja pak tidak ada pak, jadi dua pasal ini sebenarnya dimaksudkan untuk berdiri sendiri-sendiri. Jadi pasal 14 lama tetap karena itu hanya menjelaskan sampai dibuatnya perjanjian bersama kemudian pasal 14 a baru ini yang mungkin nanti menjadi pasal 15 ini merupakan langkah berikutnya yaitu bahwa setelah ada perjanjian bersama didaftarkan dan setelah didaftarkan diterbitkan apa bukti pendaftaran dan dengan apa bukti pendaftaran itu dapat dimintakan langsung eksekusi ke pengadilan negeri itu maksudnya pak. Jadi tentunya yang 14 a baru ini nanti diharapkan akan berdiri sendiri dalam pasal yang berbeda ya jadi 15 maksudnya demikian terima kasih.
F· POI P (RUSMAN LUMBANTORUAN) :
Dengan demikian pak ketua kalau memang begitu prosedurnya maka pembicaraan kita ini juga sekaligus mengarahkan kepada penyusunan sinkronisasi yang baru, kalau ini yang menjadi 15 baru maka seterusnya itu akan berubah sampai ke belakang berarti ada tugas dari panja ini yang merupakan bahagian dari pada tugas tim sinkronisasi untuk menyusunnya ke belakang. Jadi ada penambahan pasal yang secara beruntun nanti sampai ke belakang sana karena ada perubahan pasal-pasalnya, saya kira kalau sudah disepakati secara substansial yang sudah dipersoalkan tadi saya kira dari pihak kami ya bisa menerima ini untuk menjadi pasal baru terima kasih.
KETUA PANSUS (SURYA CHANDRA):
Tanggapan lain, jadi menjadi pasal baru dan pasal 14 a sementara kita sebut kemudian ayat (3) itu dipecah sesuai dengan pasal 8 kan jadi 4, 5, 6 menjadi 4 ayat.
WAKIL KETUA (SYAHRUDJI TANJUNG/F-PPP) :
Terima kasih jadi mungkin kalau tadi pak Prof. menawarkan adanya penambahan pasal, saya kira kalau masih mungkin ini di integrasikan akan lebih baik tanpa menambah pasal gitu. Saya melihat di dalam hal ini pasal 14 ayat (1) lama ini itu bisa di integrasikan dengan pasal 14 a baru ayat (1) dan (2) cuma kendalanya karena pada 14 a baru ini ada memuat ayat (6) sementara ini akan jadi ayat (1) sedangkan ayat (6) nya kan belakangan apa tidak janggal nanti kalau ayat (1) lalu menguraikan di dalamnya ayat (6) yang belum muncul gitu, lalu ini barangkali yang perlu kita selesaikan. Kalau penggabungannya begini pasal 14 ayat (1) itu sampai oleh para pihak dan diketahui oleh mediator kan tetap pak ya, tetap kemudian dilanjutkan dengan didaftar pada pengadilan negeri di wilayah pihak-pihak mengadakan perjanjian bersama dan oleh pengadilan negeri tersebut diberikan akta bukti pendaftaran ini berarti kita sudah menjadikan satu ayat dari pasal 14 ayat (1) digabung dengan pasal 14 a baru ayat (1) dan (2) nya, cuma kendalanya karena memuat ayat (6) tadi itu gimana cara membuang ayat (6) ini kira-kira terima kasih.
KETUA PANSUS (SURYA CHANDRA): Silahkan pak Suwitno.
F· TNl/POLRI (SUWITNO ADI) :
Terima kasih, jadi apabila kita sudah sepakat 14 lama dan 14 baru itu di kawinkan maka memang cukup banyak itu ayat-ayatnya.
Yang pertama kira-kira bunyinya : Dalam ha/ penye/esaian melalui mediasi sebagaimana dimaksud dalam pasal 9 , 11 dan 12 tercapai kesepakatan penyelesaian maka dibuat perjanjian bersama
:
yang ditandatangani o/eh para pihak dan diketahui oleh moderator serta didaftarkan pada pengadilan negeri di wilayah pihak-pihak mengadakan perjanjian bersama.
Terus ayat (6) pasal 14 lama akan berubah dikawinkan dengan 14 baru ayat (1) dikawinkan dengan ayat (6) 14 lama, dalam hal para pihak menyetujui anjuran tertulis dari mediator paling lama 5 (lima) hari kerja sejak anjuran tertulis disetujui, mediator harus sudah selesai membantu para pihak membuat perjanjian bersama dan selanjutnya mendaftarkannya pada pengadilan negeri di wilayah pihak-pihak mengadakan perjanjian bersama.
Dan kemudian ayat (2) 14 baru itu akan jadi ayat (7) bunyinya : Perjanjian bersama atau anjuran tertulis yang disetujui yang te/ah didaftarkan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (6) diberikan akta bukti pendaftaran perjanjian bersama atau anjuran perjanjian bersama dan merupakan bagian tidak terpisahkan dari perjanjian bersama.
Saya kira gitu pak. Saya ulangi di 14 lama karena pasal 6 lama itu dikawinkan dengan pasal 1 maka akan ada pasal 7 yang bunyinya : Perjanjian bersama atau anjuran tertulis yang telah didaftar sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (6) diberikan akta bukti pendaftaran perjanjian bersama atau anjuran tertulis bersama apa ini, tapi kira-kira begitu pak maksud saya adalah ada ayat (7) yang merangkum antara perjanjian bersama dan anjuran tertulis itu, kemudian masuk ke ayat (3) 14 baru itu dipecah seperti kemarin terima kasih.
KETUA PANSUS (SURYA CHANDRA): Silahkan pemerintah.
PEMERINT AH :
Kalau prinsip mungkin kalau tidak bertentangan dengan teknis penulisan kita setuju pak cuma untuk merumuskan redaksionalnya kan perlu waktu itu pak, kalau menurut pak Prof. bagaimana itu.
AHLI HUKUM:
Kalau saya ikuti pembicaraan ini sidang agak keberatan untuk menambah pasal kalau tidak keliru tanggap saya, jadi kalau memang hanya berkeberatan untuk menambah jumlah pasal dan sekaligus tidak meradukan urutan-urutan dari stet yang diatur didalam ayat-ayat ini maka saya mengusulkan agar cara penulisannya yang agak dirubah. Jadi pasalnya tetap pasal 14 kemudian ayat (1) yang lama ini menjadi a, b, c, d, e, f dan kemudian ayat (2) a, b, c jadi tetap dalam satu pasal, urut-urutannya tetap terjaga sehingga mudah dimengerti dan tidak melanggar ketentuan didalam legal drafter terima kasih.
KETUA PANSUS (SURYA CHANDRA):
Maksud bapak ayat (1) a, b, c, d, e itu merupakan bagian ayat (1) gitu tapi pertanyaan tadi tidak mungkin penulisan itu pak.
AHLI BAHASA :
Boleh pak ayat (1) a, b, c bisa, ayat (1) butir a, ayat (1) butir b itu boleh pak. Kemudian ayat (2) juga butir a, butir b, butir c sehingga urut-urutan dari langkah proses peristiwanya ini tidak terganggu dan ada pemisahan antara peristiwa terjadinya perjanjian bersama itu sampai kemudian tahap yang kedua pendaftaran dari perjanjian bersama itu sampai untuk pelaksanaan eksekusi, jadi urut-urutannya masih terjaga terima kasih.
KETUA PANSUS (SURYA CHANDRA) : Silahkan komentar.
WAKIL KETUA (SYAHRUDJI TANJUNG/F-PPP) :
Cuma persoalannya adalah hanya terdapat pada pasal ini saja yang kita memakai butir-butir itu sedangkan pada pasal lain kan tidak ada, apakah ini tidak menimbulkan kejanggalan gitu walaupun tidak salah tapi kalau bisa kita bentuk adanya keseragaman dari pasal-pasal yang lain juga.
AHLI HUKUM:
Mohon maaf mungkin dalam pasal 1 ini juga ada pak, pasal 1 ayat (6) a, b, c kemudian pasal 7 juga ada pak pasal 7 ayat (2) a, b, c, d, e, f terima kasih.
KETUA PANSUS (SURYA CHANDRA): Ada tanggapan.
F· TNl/POLRI (SUWITNO ADI) :
Prinsip setuju pak substansinya saya kira sudah terpenuhi semua. KETUA PANSUS (SURYA CHANDRA) :
Jadi kita dapat setujui pasal 14 ini menjadi ayat (1) a, b, c, d, e dan ayat (2) a, b, c substansi seperti tadi sudah dibicarakan, silahkan.
f ·PKB (KHALILURAHMAN) :
Substansi saya setuju rumusannya coba dirumuskan oleh pemerintah terima kasih. KETUA PANSUS (SURYA CHANDRA):
Jadi kita lanjutkan pasal selanjutnya gitu ya nanti dirumuskan sebelum istirahat kita baca, kita lanjutkan selanjutnya pasal 21 silahkan pemerintah.
PEMERINT AH :
Semulanya berbunyi : Barang siapa yang diminta keterangannya oleh konsiliator guna penyelidikan untuk penyelesaian perselisihan hubungan industrial berdasarkan undang-undang ini wajib memberikannya tanpa syarat termasuk membukakan buku dan memperlihatkan surat-surat yang diperlukan kemudian kita ubah menjadi dua ayat.
Ayat (1) : Barang siapa yang diminta keterangannya oleh konsiliator guna penyelidikan untuk penyelesaian perselisihan hubungan industrial ini sama dengan pasal 21 lama, kemudian kita tambahkan ayat (2) konsiliator wajib merahasiakan semua keterangannya yang diminta sebagaimana dimaksud dalam ayat (1). lni gunanya untuk mencegah hal-hal yang tidak diinginkan karena dengan dibukakannya semua pembukuan tanpa syarat itu membuka kemungkinan untuk dapat dipergunakan tidak sebagaimana mestinya, oleh karena itu dijaga agar itu tidak terjadi maka kita usulkan atas saran dari dirjrn perundang-undangan itu ditambah satu ayat lagi sebagai perlindungan terhadap pihak yang dimintakan membukakan buku terima kasih.
KETUA PANSUS (SURYA CHANDRA): Silahkan tanggapan pak Rusman
F-PDI P (RUSMAN LUMBANTORUAN) :
Jadi barangkali penambahan ayat (2) ini merupakan bandul kembalikan dari pada KPKPN seenaknya bisa membebaskan harta kekayaan pak K.H. Khalil Roch man ini tidak apakah kira-kira begitu, ini sekarang ada bandul yang sekarang terjadi di era reformasi ini yang pada saatnya LSM-LSM sekarang banyak menuntut kebebasan untuk memperoleh informasi. Tapi memang ini konteksnya lain barangkali sehingga mungkin ini menjaga seperti itu barangkali maksudnya ini, yang ada dibelakangnya penulisan ini pencantuman ini supaya jadinya isi perut dari pada perusahaan segala macam itu tidak jadi seenaknya begitu padahal ada persoalan didalamnya yang sebenamya masalahnya dalam masalah upah, harus diteliti dari pada oleh konsiliator itu masalah upah yang sudah tercantum dan segala macam bagaimana penulisannya. Tidak tahu sampai arsip perusahaan ada kredit macetnya jadi bisa terbongkar semua itu barangkali yang mau dijaga, jadi penyakit sebenarnya yang mau dijaga dirahasiakan gitu, dosa-dosa perusahaan itu supaya tertutup itu saja barangkali yang dimaksudkan dengan jadi kalau begitu maksudnya saya kira secara etis saya kira ini memang perlu dicantumkan, walaupun barangkali juga masih debat sekarang ini tentang informasi-informasi seperti ini seberapa jauh kita maksudkan transparansi di dalam pengungkapan informasi apabila misalnya ada dua pihak yang berselisih.
Yang kedua kaitannya dengan ini adalah konsiliator bebas membuka buku, bebas membuka surat dari pada salah satu atau para pihak begitu apakah ini juga berarti hanya menjadi kesempatan untuk bagi konsiliator untuk membuka itu tidak di dalam bisa dikonfirmasikan kepada pihak yang lain yang berselisih begitu seperti saya dengan tadi misalnya atau contohnya soal upah yang menjadi masalah perselisihan begitu. Lain di kata 8 lain yang di pembukuan si perusahaan kan gitu, nah apakah ini juga informasi-informasi yang ada dari buku dan dari surat-surat itu apakah itu juga dimasukan dirahasiakan atau tidak bisa diberikan juga di konformasikan kepada pihak lawannya itu pihak yang lain itu. Apakah tidak bisa minta dikonfirmasi tentang kebenaran akulasi dari pada informasi yang diperoleh dari pada buku-buku dan surat-surat itu kepada pihak lain, apakah itu juga arti dari pada merahasiakan disini mungkin perlu sedikit penjelasan terima kasih.
KETUA PANSUS (SURYA CHANDRA) : Silahkan pemerintah menganggapi. PEMERINT AH :
Jadi kami kira sesuai dengan pembicaraan kita terdahulu bahwa segala sesuatu yang ada kaitannya dengan pokok perkara, jadi apakah itu memang masih dalam. Yang jadi pertanyaan sekarang adalah apakah bukti-bukti atau surat-surat yang diminta untuk diperlihatkan itu masih kontekstual dengan pokok perkara, kalau pokok perkara saya kira memang boleh pak tanpa ada batasan.
F-PDI P (RUSMAN LUMBAN TORUAN) :
Bukan hanya itu soal istilah merahasiakan ini jadi kan misalnya saya konsiliatomya pak, bapak pengusahanya, pak Kiyai ini buruhnya yang berselisih lalu menurut KKB yang sangat terbuka itu ketahuan bahwa upahnya pak kiyai X rupiah. Di dalam pembukuan bapak perusahaan itu ketahuan X tambah satu yang dicantumkan apakah ini tidak dianggap membuka rahasia atau membocorkan rahasia, kalau saya minta konfirmasi dari bapak dan dari pak kiyai mana yang bener bapak katakan di KKB X rupiah menurut disana X tambah satu. Apakah ini juga tidak termasuk membocorkan rahasia kalau disini katakana menjaga dan wajib merahasiakan semua informasi dan keterangan itu, maksud saya perlu hati-hati merumuskan itu jangan nanti jadi terjebak juga si konsiliatornya itu bahkan dibetulkan atau di apakan begitu karena dianggap membocorkan rahasia gitu, itu saja bagaimana itu dirumuskan dan menurut bahasa hukum terima kasih.
:
WAKIL KETUA (SYAHRUDJI TANJUNG/F-PPP) :
Jadi memang ini menimbulkan pertanyaan wajib merahasiakan semua keterangan diminta itu merahasiakannya kemana gitu, apakah kesemua pihak sementara ini akan ada penyelesaian. Jadi barangkali wajib merahasiakannya kepada umum tapi kalau dalam konteks penyelesaian tentu terbuka ini yang pertama kemudian yang kedua pada ayat (1) wajib memberikannya tanpa syarat sementara pada ayat (2) pada syarat itu wajib merahasiakan, jadi kalau tanpa syarat itu tidak usah lagi wajib merahasiakan. Jadi kalau dipakai ayat (2) nya kata-kata tanpa syarat harus bilang ini mohon penjelasan terima kasih.
PEMERINT AH :
Yang pertama mungkin ini adalah konteks dengan penyelesaian perselisihannya pak, jadi sepanjang itu masih dianggap dalam konteks penyelesaian tidak ada yang harus boleh dirahasiakan.
Yang kedua terhadap pihak-pihak yang punya kompentensi di dalam penyelesaian itu kalau di luar itu berarti sudah tidak di dalam rangka penyelesaian, tapi kalau memang sudah menagkap ... (rekaman tidak jelas) siapapun yang punya relefansi dengan permasalahan itu saya kira boleh juga itu pengertian dari pada bukan rahasia, merahasiakan itu semua yang diminta supaya masuk satu hanya kepada orang-orang punya relefansi di dalam penyelesaian. Kemudian yang tanpa syarat di atas itu maksudnya dia membukakan itu persyaratannya yang ini boleh yang itu boleh tapi yang tanpa syarat yang di bawah ini bukan syarat untuk merahasiakan dokumen-dokumen yang mestinya patut dirahasiakan kepada orang yang tidak punya kompeten, jadi ada memang beda tanpa syarat di atas dengan persyaratan di bawah yang merupakan perlindungan terhadap yang mempunyai rahasia terima kasih.
F-PG (HASANUDIN MURAD) :
Terima kasih ini saya mohon maaf karena terlambat tapi saya ada satu hal yang sangat mengkhawatirkan terhadap pasal 21 ini berkaitan dengan wajib memberikannya tanpa syarat termasuk membukakan buku. Saya khawatir bahwa apakah semua yang berkaitan dengan masalah-masalah pembukuan yang sebenarnya tidak ada kaitannya dengan kasus itu akan bisa dibuka gitu Iha, nah oleh karena itu saya cenderung untuk menambah kalau ada kalimat bahwa termasuk membukakan buku yang berkaitan dengan kasus tersebut gitu lho. Nah dalam konteks itu oke bahwa dia wajib tanpa syarat tetapi yang ada kaitannya jadi tidak itu kan bisa diterjemahkan termasuk pembukuan apa saja, yang bisa inginkan jadi harus kontekstual lah dalam yang berkaitan dengan membukakan buku itu. Jadi tidak semua hal dan jadi katakanlah perusahaan buka buku yang berkaitan dengan kasus itu saja, jadi tidak ada kewajiban bagi perusahaan untuk membuka buku-buku lain yang sebenarnya tidak ada kaitannya dengan perkara itu ada batasannya di dalam konteks pasal ini. Saya mohon maaf kalau itu sudah katakanlah sudah ada persetujuan ini paling tidak saya mengingatkan untuk tidak salah menafsirkan terima kasih.
KETUA PANSUS (SURYA CHANDRA): Silahkan PKB.
F-PKB (KHALILURAHMAN) :
Berkaitan dengan khusus dari pak Hasanudin ini saya kira memang betul itu tapi kalau kita mau membaca ayat (1) itu dengan teliti barang siapa yang diminta keterangannya oleh konsiliator guna penyelidikan untuk penyelesaian hubungan industrial berdasarkan undang-undang ini, wajib memberikan tanpa syarat termasuk membukakan buku dan memperlihatkan surat-surat yang diperlukan. Berarti kalau yang tidak perlu tidak usah dikasih tahu inilah saya kira dalam hal wajib merahasiakan, saya tidak keberatan kalau ini yang hubungannya yang ada keperluannya yang tidak perlu tidak usah dibukakan kepada orang lain begitu terima kasih.
.
.
KETUA PANSUS (SURYA CHANDRA): Silahkan pemerintah .
PEMERINT AH :
Saya kira penjelasan kami seperti yang pak kiyai itu pak, jadi batasannya itu surat-surat yang diperlukan itu mana yang boleh dibuka mana yang tidak termasuk buku itu.
KETUA PANSUS (SURYA CHANDRA):
Bagaimana dapat kita setujui pasal 21 ini ayat (1) dan (2)? (RAPAT: SETUJU) Lanjutkan pasal 22 a baru.
PEMERINT AH :
Ayat (1), Dalam hal penyelesaian melalui konsiliator mencapai kesepakatan sebagaimana yang dimaksud dalam pasal 22 ayat 91) dan ayat (6) perjanjian bersamanya di daftar kepada pengadilan negeri, di wilayah pihak yang melaksanakan perjanjian bersama ini pada hakekatnya konkordan dengan pasal 8 yang sudah dibicarakan pak. Penulisannya kita sesuaikan dengan yang sebelumnya gitu pak pasal 8 mungkin pak karena ini merupakan bagian seperti persis pasal 8 kecuali dari pasal 14 karena dia memang ada dua proses tapi disini kan satu proses jadi sama dengan pasal 8 persis.
KETUA PANSUS (SURYA CHANDRA) :
Jadi konkordan dengan pasal 8 enam ayat gitu ya, jadi pasal 22 a baru ini dijadikan dari tiga ayat menjadi enam ayat.
F· TNl/POLRI (SUWITNO ADI)
Pasal 14 pak, justru yang konkordan dengan pasal 14 bukan pasal 8. PEMERINT AH :
Kalau pasal 14 itu dua proses, yang pertama proses mediasi sendiri sedangkan yang kedua adalah persetujuan bersama atas anjuran tertulisnya pak tapi kalau ini hanya sama dengan proses bipartit.
KETUA PANSUS (SURYA CHANDRA) :
Tidak pak ini konsiliator sama dengan mediator hanya orangnya saja yang berbeda sama dengan mediasi, ya konkordan dengan pasal 14 ini pak. Pasal 22 a baru konkordan dengan pasal 14 yang sedang dirumuskan, jadi ayat (1) a, b, c, d dan ayat (2) a, b, c, lanjutkan pasal 49 a baru.
PEMERINT AH :
Dalam hal penyelesaian perselisihan hubungan industrial oleh arbiter melalui perdamaian mencapai kesepakatan sebagaimana yang dimaksud dalam pasal 22 ayat (2) dan arbiter telah menetapkan putusan arbiter sebagaimana dimaksud dalam pasal 28 perjanjian bersama dan putusan arbiter di daftar kepada pengeadilan negeri di wilayah arbiter mengadakan perdamaian dan mantapkan putusan ini kita cantumkan karena sebelumnya tidak tersebut sama sekali di dalam pasal 49 lama.
Frasa UUD 45 dituliskan sesudah penyebutan Pasal terakhir dan kedua huruf UU ditulis dengan huruf kapital. Contohnya, misalnya Pasal 5 ayat (1 ), P-nya besar, 5 ayat (1) biasa dan Pasal lagi P-nya besar.
UUD itu dalam huruf besar semua
1945.
Contohnya, dasar hukum yang bukan Undang-undang Dasar tidak perlu mencantumkan Pasal, tetapi cukup mencantumkan nama peraturan perundang-undangan. Penulisan UU selain jenis UUD 45 cukup UU pertama, U-pertama ditulis dengan huruf kapital. Jadi misalnya UU Nomor 21 Tahun 2000, huruf U-kapital itu yang pertama.
UU, PP dan Keppres tertentu perlu dilengkapi dengan pencantuman lembaran Negara dan tambahan lembaran Negara yang diletakkan diantara tanda baca kurung, kurung buka dan kurung tutup, contohnya, saya tidak baca.
Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Tap MPR tidak digunakan sebagai dasar hukum, jadi tidak dapat digunakan sebagai dasar hokum, kecuali jika secara tegas memerintahkan pembentukan Peraturan perundang-undangan yang dimaksud, kecuali ada Tap yang memang berisi perintah membuat undang-undang tertentu, baru Tap itu dapat digunakan sebagai dasar hukum.
Judul Peraturan Perundang-undangan dari jaman Hindia Belanda atau yang dikeluarkan oleh Pemerintah Kolonia! Belanda sampai dengan tanggal 27 Desember 1949 yang digunakan sebagai dasar hukum ditulis lebih dahulu terjemahannya dalam bahasa Indonesia dan kemudian judul asli bahasa Belanda dan dilengkapi dengan tahun dan nomor Staatblad yang dicetak miring di antara tanda baca kurung, kurung buka kurung tutup, kalau ada UU atau ketentuan Peraturan Perundang-undangan, seperti contohnya, Kitab Undang-Undang hukum dagang, dalam kurung ledugvan vonhander, kurung tutup staatblad 1847 nomor 23, caranya menulis demikian. Cara penulisan sebagaimana dimaksud dalam nomor 30 berlaku juga untuk pencabutan Peraturan Perundang-undangan yang berasal dari jaman Hindia Belanda atau yang dikeluarkan oleh Pemerintah Kolonia! Belanda, sampai dengan tanggal 27 Desember 1949. Jika dasar hukum menguat,
KETUA RAPAT:
Saya kira yang berkaitan dengan dasar hukum sudah kita dengar tadi sudah dijelaskan. AHLI HUKUM:
Saya mungkin kalau diperkenankan untuk menyimpulkan. Jadi kesimpulan dari ketentuan ini sebenarnya dasar hukum itu hanya menyebutkan ketentuan yang mengatur kompetensi pejabat untuk membuat bentuk hukum peraturan tersebut. Kalau di dalam Keppres ini. Tetapi sebenarnya kalau di dalam teori ada tambahannya Pak, selain kompetensi untuk membuat Peraturan Perundang-undangan dasar hukumnya, yang kedua adalah ketentuan peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan materi yang diatur di dalam undang-undang yang sedang disusun ini. Kalau dalam teori, tetapi kalau di dalam Keppres ini hanya ketentuan yang mengatur mengenai kompetensi pejabat untuk menanda tanganinya. Dan tidak jelas Peraturan Perundang-undangan lain yang disebut lebih dari satu itu apakah juga mengenai kompetensi tidak dijelaskan, kalau di dalam teori jelas, satu adalah dasar hukum si pejabat itu untuk dapat menerbitkan dan menanda tangani bentuk hukum peraturan yang diterbitkan.
Yang kedua, Peraturan Perundang-undangan yang ada kaitannya dengan materi yang diatur di dalam Peraturan Perundang-undangan yang disusun. Sehingga kalau hal ini diikuti maka apakah dibenarkan UU lain yang mengatur mengenai kekuasaan kehakiman dicantumkan. Sedangkan mengenai ketenaga kerjaannya sama sekali tidak ada, itu kalau dihubungkan dengan teori. Terima kasih.
KETUA RAPAT:
Terima kasih Pak Gunawan, yang sudah menjelaskan pada kita, lalu dalam hal ini bagaimana pendapat kita dengan keterangan tadi. Silahkan.
F· TNl/POLRI (SUWITNO ADI) :
Kalau berkaitan dengan kompetensi sesuai dengan teori, justru UU Nomor 20, 21 ini sangat kompeten sekali, karena dibentuknya Serikat Pekerja itu bertujuan memberikan perlindungan, pembelaan hak dan kepentingan serta meningkatkan kesejahteraan yang layak bagi pekerja dan buruh dan keluarganya. Untuk mencapai tujuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1 ), maka mempunyai fungsi sebagai pihak dalam pembuatan perjanjian kerja bersama dan penyelesaian perselisihan. Padahal kita sedang berbicara tentang penyelesaian perselisihan. Terima kasih.
KETUA RAPAT:
Terima kasih. Jadi memang kalau kita perhatikan bahwa dari penjelasan tadi bahwa undang-undang yang setingkat atau setara itu bisa dijadikan dasar hukum. Kemudian kita lihat pada Bab IX, Pasal 35 dan 36, pada UU Serikat Pekerja, Serikat Buruh itu memang ada judul penyelesaian perselisihan. Jadi dengan demikian pad a Pasal 36-nya kan dalam hal musyawarah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 tidak mencapai kesepakatan, perselihan antara Serikat Pekerja, Serikat Buruh, Federasi dan Konfederasi diselesaikan sesuai dengan Peraturan Perundang-undangan yang berlaku. Jadi inilah yang sedang kita bikin UU yang dimaksud antara lain. Jadi oleh karenanya kami berikan waktu ke Fraksi P3.
F·PPP (HJ. CHODIDJAH H.M SALEH) :
Teri ma kasih Bapak Pimpinan. Karena tadi yang mengutarakan itu adalah dari Pakar Hukum, tentunya kita harus taslim ya, karena beliau ini adalah Pakar. Tetapi kami ingin merespon tadi masalah dasar hukum yang bisa dijadikan, ini sudah salah kaprah Konsideran Mengingat ini, adalah undang-undang paling kurang adalah tingkatannya sama, atau lebih tinggi, lebih tinggi dari kepada Tap MPR sudah tidak berlaku lagi tadi dikatakan. Jadi paling kurang itu tingkatannya sama, saya masih tetap berpegang pada histories yang tadi telah kami kemukakan, kami menganggap bahwa UU Nomor 21 Tahun 2000, tentang Serikat Pekerja I Serikat Buruh, tingkatannya sama Pak dengan undang-undang yang kita bahas. Kemudian nanti satu lagi karena memang dari historiesnya lahir dari penjabaran UU Nomor 25 Tahun 77, dan tadi saya juga tidak mengemukakan bahwa UU Nomor 25 Tahun 77 itu harus masuk, tidak, tapi saya hanya menyetujui tentang usulan dari Sarbumusi itu.
Kalau kita melihat pada Ketentuan Umum dalam undang-undang ini Bab I, pada butir 5, ini juga perselisihan antar Serikat Pekerja. Kemudian lebih tegas lagi pada Ketentuan Umum butir 8, disini juga diadop lagi Serikat Pekerja I Serikat Buruh adalah dan lain sebagainya. Justru kami juga menggarisbawahi apa yang tadi rekan kami telah mengemukakan Serikat Pekerja itu justru menjadi berdiri sebagai fungsi pihak-pihak yang bermasalah.
Oleh karena itu, tepat sekali apabila ini dijadikan dasar hukum di dalam konsideran dalam tanda kutip, saya masih tetap mengatakan begitu, Mengingat Pak. Terima kasih Pimpinan.
KETUA RAPAT:
Ada tambahan Pak Radja.
F·PDKB (DR. A.N. RADJAWANE)
Terima kasih Pak Ketua. Bapak-lbu sekalian yang saya hormati. Saya tidak tahu apakah memang informasi yang disampaikan kepada kita dari Keppres 64 Tahun 99 itu memang bermaksud untuk memperlihatkan bahwa walaupun substansinya memang sama Pak,
UU
Nomor 21 Tahun 2000 dengan RUU yang kita susun, tapi dimana letak kewenangan pembuatan undang-undang, itu barangkali yang disebut kompetensi untuk membuat undang-undang. Kalau itu Mengingat, barangkali kalau dia masuk, dia masuk di luar Mengingat, Menimbang barangkali, kalau kita mau lihat, tapi Mengingat itu kan bicara soal kompetensi membuat undang-undang, kalau kita lihat. Oleh karena itu kita lihat disini Undang-Undang tentang Ketentuan Umum, Kekuasaan Kehakiman dan sebagainya, Mahkamah Agung di dalam Mengingat, jadi hanya untuk minta klarifikasi Pak, mungkin bisa diteruskan informasinya dari pihak Pemerintah. Kalau saya tadi tangkap Bapak membicarakan tentang kewenangan pembuatan undang-undang tentang kompetensi dalam bagian Mengingat, dan itu mungkin tidak terdapat di dalam undang-undang Nomor 21 Tahun 2000, bahwa substansinya sangat erat dengan itu perlu masuk apakah itu masuk di Memperhatikan atau Menimbang saya nggak tahu. ltu pertanyaan. Terima kasih Pak.KETUA RAPAT:
Lanjutkan dulu Partai Golkar. F·PG (PEDDY TANDAWUYA, BA):
Setelah mendengarkan penjelasan dari Ahli Hukum, dan mengamati dasar hukum ini khusus dalam Mengingat, dan memperhatikan kop dari pada UU ini, dengan Rahmat Tuhan Yang Maha Esa, Presiden Republik Indonesia, berarti ini ditanda tangan oleh Presiden. Apa dasar Hukum Presiden tanda tangan tidak dimuat disini. Tadi disebut bahwa Tap MPR itu jika berkait dengan UU itu boleh dimuat, tapi Tap MPR yang tidak menyinggung kewenangan dalam kompetensi menyusun UU tidak dimuat. Ada Tap MPR yang mengangkat Presiden, saya pikir itu juga perlu dinyatakan disini sehingga Presiden yang sekarang dia yang berhak menanda tangani, itu barangkali dasar hukum, dasar hukum Presiden menanda tangani undang-undang ini harus dimuat, kecuali ada ketentuan lain menurut undang-undang, ya terserah. Tapi bagaimanapun juga dijelaskan tadi undang-undang yang terkait dengan undang-undang ini, juga dapat dimuat dalam Mengingat.
Di dalam undang-undang yang kita sedang susun ini juga memuat tentang adanya Organisasi Perburuhan yang sudah diatur dengan UU Nomor 21 Tahun 2000, saya kira tidak berlebihan kalau itu dimuat. Terima kasih.
KETUA RAPAT:
Terima kasih. Silahkan Fraksi PBB. Jadi sudah dua tahap kita berikan kesempatan kepada Fraksi-fraksi, kelihatannya Fraksi juga masih berpendapat itu baik untuk dimasukkan, karena itu kami berikan kesempatan Pemerintah.
PEMERINT AH :
Karena setelah mendengar beberapa masukan atau pun pendapat yang disampaikan oleh Bapak dan lbu Anggota yang terhormat, kami pada dasarnya bisa menyetujuilah Pak, cuma dengan catatan, mengingat bahwa Rancangan Undang-undang yang kita sosialisasikan ini mendapat tanggapan yang cukup beragam, yang telah siap bekerja bahkan respon yang juga menyulitkan kita, akan lebih baik nanti apabila dalam rangka tahapan selanjutnya kita mendahulukan pengundang-undangan PPK dari pada PHI, karena apa, karena kami ingin mencantumkan, juga kalau begitu di dalam dasar hukum Mengingat ini undang-undang tentang PPK itu, karena nampaknya mereka tidak mau menerima PPI ini, karena tidak mencantumkan beberapa hal yang mereka anggap memberikan perlindungan cukup layak, karena tidak mengetahui bahwa di PPK itu memang sudah kita cantumkan. Terima kasih Pak.
KETUA RAPAT:
Terima kasih. Jadi dengan demikian, Pemerintah dapat menyetujui dengan catatan nanti setelah kita selesaikan PPK, maka Undang-Undang PPK pun akan dimasukkan dalam PPK. Setelah selesai PPK, kita akan bahas PPK dan nanti PPK itu akan selesai, maka menurut Pemerintah itu juga akan dimasukkan sebagai dasar hukum disini. Jadi dengan demikian baik, masih ada tambahan Pak.
F·PG (PEDDY TANDAWUYA, BA):
Undang-undang ini yang buat ini Panja, Pansus, Tim dan segala macam, apa dasar kita susun ini, kita yang susun ini, tidak ada dasar hukum kita susun, sebab tidak dicantumkan tentang pengangkatan kita sebagai Anggota Dewan, kita hanya terobos saja kebetulan sudah lebih teliti, kita melihat, kalau ini mengingat dasar hukum kita rakyat bicara, kita hadir disini atas dasar hukum, membicarakan undang-undang dasar hukum, tidak dimuat dalam Mengingat, itu tambahan. Terima kasih.
KETUA RAPAT:
lni kita mintalah pendapat Pakar Hukum ini melalui Pemerintah, bagaimana, apa memang harus dibikin itu Tap yang mengangkat DPR, kemudian Tap yang mengangkat Presiden, disini itu kita mintakan pendapatnya. Silahkan Pak Gunawan.
AHLI HUKUM:
Jadi mohon maaf Pak, yang dimaksudkan Bapak ini sebenarnya sudah tercantum Pak, yaitu Pasal 5 ayat (1) UUD, yang mempunyai kompetensi untuk membuat undang-undang itu adalah kalau dulu Presiden bersama-sama DPR.
Kalau sekarang ini kan dengan Amandemen DPR bersama-sama dengan Presiden, ini sudah pertama kali Pak Pasal 5 ayat (1), Pasal 20. Jadi ini Pasal-pasal yang kompetensi dari Bad an yang berwenang untuk membuat undang-undang.
Kalau menurut teori yang tadi saya bacakan itu Pak, sebenarnya satu poin ini saja sudah cukup, maksudnya karena disitu sudah dicantumkan pejabat yang berkompeten membuat undang-undang sudah ada disitu Pak. Tapi karena di dalamnya ternyata dibentuk satu kamar dalam peradilan umum yang diatur oleh UU Nomor 14 Tahun 1970, maka undang-undang ini juga harus menyebutkan dasar hukum UU Nomor 14 Tahun 1970, serta kemudian UU Nomor 14 Tahun 1985 itu tentang Peradilan Umum-nya dan UU nomor maaf tadi yang mengenai Mahkamah Agung, kemudian yang Nomor 2 Tahun 1986 itu mengenai Peradilan Umum, karena memang ada kaitannya. Dan kalau tadi apa yang disampaikan oleh Dirjen disepakati, maka berarti yang kelima adalah UU Nomor 21 Tahun 2000, dan kemudian UU nomor berapa nanti Tahun 2002 mungkin, tentang Pembinaan dan Perlindungan Ketenagakerjaan itu yang dimaksudkan. Sehingga apa yang diharapkan oleh RDPU, masukan dari RDPU itu telah kita akumulukasikan. Terima kasih.
KETUA RAPAT: Terima kasih.
Jadi undang-undang yang lebih tinggi UUD 1945, itu sudah memuat tentang kewenangan. Jadi dengan demikian dapat kita setujui untuk dimasukkan UU Nomor 21 Tahun 2000 pada Konsiderans Mengingat. Setuju ?.
(RAPAT: SETUJU)
F-PPP (HJ. CHODIDJAH H.M SALEH) :
Dari Pakar Hukum tadi mengingatkan kepada kita sekalian bahwa di dalam Mengingat itu tidak cukup hanya penambahan satu dasar hukum saja, yaitu UU Nomor 21 Tahun 2000, tentang Serikat Pekerja dan Serikat Buruh, tetapi menjadi kesepakatan kita yaitu satu lagi dasar hukum yang belum dan akan lahir lnsya Allah, dan nomornya berapa kita tidak tahu tapi tahunnya sudah jelas menginjak tahun 2002, siapa tahu selesainya 2001 Pak. Judulnya juga belum jelas, tapi ini sudah orang Jawa bilang dioma-omahi, berarti nanti di dalam penomorannya undang-undang itu sendiri PPK harus didahulukan, iya Pak begitu. Terima kasih, asal jelas saja dan masuk rekaman supaya tidak lupa. Terima kasih.
KETUA RAPAT:
Baik, terima kasih. Kita lanjut, berikutnya Pasal 1, ayat (1) ini ada yang dari Apindo, kemudian ada yang dari AAKI tentang judul, dari Apindo judulnya PPI menjadi PPHI, kata hubungan dihilangkan jadi menjadi Penyelesaian Perselisihan Industrial.
Kemudian dari SP/SB, kata industrial dihilangkan diganti Perburuhan, jadi · menjadi penyelesaian perselisihan perburuhan. Sedangkan dari AAKI, diubah menjadi perselisihan hubungan industrial, adalah perbedaan pendapat yang mengakibatkan pertentangan antara pengusaha atau gabungan garis miring perkumpulan pengusaha dengan Serikat Pekerja serta Buruh, karena adanya perselisihan mengenai hak, kepentingan, PHK, syarat-syarat kerja dan atau perselihan antara Serikat Pekerja dalam satu Perusahaan.
Dalam hal ini ada dua persoalan, yang pertama tentang judul itu sendiri, kemudian menyangkut tentang definisi. Dengan ini kami berikan waktu pertama kepada Fraksi TNI dahulu.
F· TNl/POLRI (SUWITNO ADI) :
Kebetulan memang Fraksi TNl/Polri juga minta klarifikasi tentang perselisihan tentang Serikat Pekerja dan Serikat Buruh ini. Kalau kita mengacu pada rumusan dalam RUU PPHI ini tentang Serikat Pekerja itu mencuplik persis dari Ketentuan Umum nomor 9, yang berbunyi. Perselisihan antar Serikat Pekerja atau Serikat Buruh Federasi dan Konfederasi dan selanjutnya. Karena tidak adanya persesuaian paham mengenai keanggotaan serta pelaksanaan hak dan kewajiban keserikat pekerjaan rumusan di PPHI ini, itu persis, jadi walaupun itu di dalam satu perusahaan, yaitu karena tidak adanya persesuaian paham mengenai keanggotaaan serta pelaksanaan hak dan kewajiban keserikat pekerjaan. Jadi dengan demikian maka perselisihan Serikat Pekerja atau Serikat Buruh di dalam satu perusahaan itu masih bisa diselesaikan dengan undang-undang ini. Apabila dengan jalan mufakat tidak bisa diselesaikan, maka dia mengikuti Pasal 36, dalam ha/ musyawarah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 tidak mencapai kesepakatan perselisihan antara Serikat Pekerja atau Serikat Buruh itu diselesaikan sesuai Peraturan · Perundangan yang ber/aku. Jadi masih bisa diselesaikan dengan undang-undang ini kalau rumusan tentang Serikat Pekerja dengan Serikat Buruh yang kita buat di dalam RUU PPHI yang bunyinya begini. lni masih bisa berlaku, ini UU nomor 21 Tahun 2000, tidak perlu dimasukkan di dalam PPHI ini. Terima kasih.
KETUA RAPAT:
Terima kasih. Silahkan Fraksi Partai Golkar. F-PG (PEDDY TANDAWUYA, BA):
Sesuai permintaan Pimpinan tentang judul ini sebagaimana yang disampaikan waktu kita terima waktu sosialisasi, dan judul ini memang diperoleh cukup lama dibahas ini. Dan ini pun dibahas setelah yang kesepakatan pertama dirubah, kemudian ini datang lagi, mungkin ada yang mimpi bagus maka diperolehlah judul ini. Dan saya pikir ini benar-benar adalah kesepakatan atau
keputusan politik ini. Oleh sebab itu masih relevan ini penggunaan kata hubungan industrial, oleh sebab itu saya belum melihat urgensinya kita harus merobah judul ini. Terima kasih Pak.
KETUA RAPAT :
Silahkan dari Fraksi PDKB.
F-PDKB (DR. A.N. RADJAWANE)
Terima kasih Pak Ketua, dan Bapak-lbu sekalian. Seperti dikatakan dari Fraksi Golkar, memang judul yang kita gunakan sekarang untuk RUU yang sekarang kita bahas ini, memang suatu hasil katakanlah perundingan diantara kita yang cukup alot Pak, yang cukup makan waktu lama. Dan oleh karena itu dan ada alasannya memang saya tidak ingat mengapa istilah hubungan masuk, tapi kalau hanya karena ini menyangkut manusianya, maka hubungan itu perlu itu Pak, karena industrialnya itu bisa hanya bersifat antar pabrik dengan pabrik, antar industri dengan industri dan sebagainya. Tapi industri masalahnya disini antara manusia Pengusaha, manusia Buruh dan hubungan Pengusaha dan hubungan manusia Buruh oleh karena itu hubungan ini mungkin perlu dipertahankan Pak, jadi saya merasa sebaiknya kita pertahankan saja judul yang sudah kita sepakati. Terima kasih.
KETUA RAPAT: Silahkan Fraksi PBB.
F-PBB (ORA. HJ. NURBALQIS)
Terima kasih, Pimpinan. Kita telah mengkaji ini telah cukup lama, kita perjuangkan bahwa kita sampai mimpi-mimpi yang indah, tapi kalau ini masih ada pertentangan, saya kira kita perlu mempertahankan. Namun kita juga minta suatu rekomendasi dari ahli hukum kita apa kira-kira urgensinya kalau kita pertahankan judul ini, jadi kita lebih kuat kalau ditanyakan kenapa sih dipertahankan. Terima kasih.
KETUARAPAT
Terima kasih. Fraksi PPP?
F-PPP (HJ. CHODIDJAH H.M SALEH) :
Terima kasih. Tadi dari beberapa pembicara mengatakan bahwa perdebatan kita itu sudah cukup lama dan cukup sengit. Oleh karena itu kami analog saja, pada waktu menentukan judul apakah Serikat Pekerja, apakah Serikat Buruh, sebagian harus Serikat Buruh judulnya, sebagai juga yang Serikat Pekerja, masing-masing argumentasinya kuat sekali, tetapi kami melihat memang targetnya target politik.
Kami tidak menggugat, karena memang pembicaraan kedua belah pihak dari lembaga eksekutif dan lembaga legislatif, itu produknya produk politik. Jadi kalau targetnya target politik itu wajar, memang begitulah adanya. Tetapi mengingat sudah dibicarakan cukup lama, perdebatan sudah cukup sengit, daripada dirubah, misalnya kita merubah kembali kepada judul awal PPI, wah ini Pansus membela APINDO, karena ini usul dari APINDO.
Kemudian sementara Serikat Pekerja dan Serikat Buruh juga masih mempertahankan Penyelesaian Perselisihan Perburuhan, lebih baik kita kembali kepada pendirian kita yang memang selama ini kita sudah berjuang atau berdialog, berdebat panjang lebar. Namun demikian kami tidak menolak dari saran rekan kami dari FPBB, lbu Balqis yang terhotmat ini, hanya untuk membekali, memantapkan kami barangkali nanti, kenapa kok masih tetap judulnya PPHI, kalau begitu sosialisasi tidak ada gunanya, diabaikan begitu saja. Terima kasih, Pimpinan. Waktu kami haturkan kembali.
KETUA RAPAT: Fraksi TNl/POLRI
F· TNl/POLRI (SUWITNO ADI) :
Karena tadi memang ada dua masalah yang dilemparkan, masalah judul dan rumusan-rumusan hubungan industrial yang baru saja adalah Perselisihan Hubungan Industrial.
Tentang judul saya sepakat tetap pak, karena sudah perdebatan panjang dan ada negara-negara yang menggunakan masalah hubungan industrial. Terima kasih.
KETUA RAPAT :
Terima kasih. Jadi kelihatannya dari fraksi-fraksi masih mempertahankan, sebetulnya judul yang diusulkan APINDO ini 'kan judul dari pemerintah ya. Pemerintah dulu juga judulnya itu, Penyelesaian Perselisihan Industrial. Sementara yang dari Serikan Pekerja dan Serikat Buruh masih berkeinginan Penyelesaian Perselisihan Perburuhan, yang ini juga sudah lama kita perdebatkan. Oleh karenanya saya kira perlu sesuai dengan harapan tadi dari segi pasal, atau apanya, mungkin bisa dijelaskan lagi untuk kita nanti di dalam berargumentasi mempunyai pegangan begitu, mungkin nanti ahli bahasa juga menjelaskan dan pakar juga. Sehingga dengan demikian kita lebih memahami dan mengetahu argumentasi yang benar. Pemerintah, silakan.
PEMERINTAH
Terima kasih. Secara singkat pak, nanti sebelum Bapak Prof. Gunawan menambahkan penjelasan, dulu sebetulnya andaikata kita memakai "industrial' sanggahan yang paling kuat karena mengandung konotasi "pabrik" 'kan begitu, sementara sesuai materi perselisihan tidak hanya sekedar buruh di pabrik, tetapi juga orang-orang yang bekerja pada orang-orang yang tidak mempunyai pabrik. Oleh karena itu dulu ingin ditambahkan kata "hubungan" ini supaya tidak ada kesan bahwa industrial itu pabrik.
Kemudian yang kedua, dengan penambahan "hubungan industrial' pun tidak menyalahi makna, karena menurut Bapak Suwinto tadi mengatakan bahwa banyak negara memakai istilah "industial relation".
Kemudian mengenai kata-kata "perburuhan" sengaja tidak kita sepakti dulu, karena memang jenis-jenis perselisihan yang kita cantumkan di dalam Rancangan Undang-undang ini setidaknya sekedar perselihan antara majikan dengan pekerja atau serikat pekerja, tetapi juga menyangkut perselisihan antara antar serikat pekerja. Selanjutnya Bapak Gunawan. Silakan.
AHLI HUKUM:
Terima kasih. Seingat saya dulu juga pernah kita bahas ini, jadi kalau kita amati pasal 1 Undang-undang Nomor 14 Tahun 1969 tentang Tenaga Kerja, disitu diberikan definisi Tenaga Kerja adalah setiap orang yang mempunyai kemampuan me/akukan pekerjaan baik di dalam maupun hubungan kerja yang menghasilkan barang atau jasa yang dibutuhkan masyarakat, jadi berarti tenaga kerja itu setiap orang yang mempunyai kemampuan melakukan pekerjaan. Di dalam melakukan pekerjaan itu dapat di dalam hubungan kerja maupun di luar hubungan kerja. Di luar hubungan kerja mereka biasa disebut swa pekerja atau swakarya atau wiraswasta, yaitu mereka yang melakukan pekerjaan atas inisatifnya sendiri, dengan modal sendiri, dengan pemikiran sendiri, menghasilkan sesuatu dan hasilnya itu dinikmati sendiri, contohnya misalnya pengrajin di rumah-rumah, advocat yang mendirikan usaha di rumahnya sendiri, dokter yang praktek di rumahnya, itu semua swakarya, swapekerja atau wira swasta.
Jadi seperti yang biasanya disebut dengan istilah kalau diperluas pekerja informal, tukang ojek misalnya, tukang jual koran di jalan-jalan, pedagang asongan yang barangnya bukan miliknya sendiri hanya prosentase yang diterimanya. Kalau kita perhatian yang di dalam hubungan kerja maka dapat dibagi dua : di sektor swasta dan di sektor pemerintah.
Di sektor swasta biasa kita sebut dengan buruh, kita melihat Undang-undangnya Nomor 12 Tahun 1948 tentang Kerja, Undang-undang Nomor 33 tahun 1947 tentang Kecelakaan, juga untuk buruh. Sedangkan di sektor pemerintah dapat dibagi 3 :
Pertama, adalah Pegawai Negeri yang dapat dibagi dalam 3 kelompok: Pegawai Negeri Sipil, dengan Undang-undang Nomor 8 Tahun 1974, Pegawai Negeri anggota TNI, dengan Undang-undang Nomor 2 Tahun 1981, kemudian yang ketiga, Pegawai Negeri yang anggota POLRI, Undang-undang Nomor 23 Tahun 1997;
Kedua, adalah Pejabat Negara atau Pegawai Negara, mereka adalah anggota lembaga tinggi negara. Anggota MPR-RI, Anggota DPR-RI, Presiden, Menteri, Anggota BPK, DPA, Anggota Mahkamah Agung, Hakim Agung. Mereka diatur dengan Keputusan Presiden.
Ketiga, adalah karyawan BUMN yang diatur oleh Keputusan Menteri tekhnis yang membawahi.
Ketiga-tiganya biasa disebut sebagai Pegawai Republik Indonesia, jadi kalau kita mengikuti ketentuan hukum positif yang berlaku di Indonesia, sebenarnya untuk tenaga kerja itu hanya dikenal adanya swa pekerja, buruh, Pegawai Republik Indonesia. Sedangkan istilah yang muncul pekerja sebenarnya istilah bahasa karena pekerja atau karyawan itu adalah orang yang bekerja atau berkarya. Jadi bukan istilah hukum, bukan tekhnis yuridis, bukan istilah teknis yuridis.
Oleh karena itu kalau di perguruan tinggi sebenarnya istilah pekerja ini dapat disamakan pengertiaannya dengan tenaga kerja luas. Sehingga ketika dalam diskusi-diskusi diforum yang lalu baik dengan pengusaha, dengan serikat pekerja/serikat buruh, dengan LSM, saya selalu menganjurkan bahwa sebaiknya digunakan istilah tekhnis yuridis yang memang sudah digunakan di dalam peraturan perundang-undangan kita. Sedang kalau kita menggunakan istilah pekerja ini merancukan pengertian, tetapi kuat sekali terutama kaum inteleksualis muda, eksekutif muda, ini tidak mau disebut buruh karena istilah buruh ini sebenarnya agak dijauhi karena dua hal : hal pertama istilah buruh itu katanya milik komunis, atau yang kedua istilah buruh itu merendahkan karena apa, karena memang pada jaman Hindia Belanda dulu, yang disebut buruh itu sebenarnya kuli, kalau pegawai pemerintah itu 'kan amtenaar namanya jadi kalau buruh itu kuli itu, sehingga seolah-olah pengertiannya ini rendah buruh.
Jadi dua alasan ini yang sebenarnya membuat kamu intelek muda ini tidak mau disebut buruh, atau penganut parta-partai tertentu juga tidak mau menggunakan istilah buruh karena dianggap buruh itu miliknya komunis. Oleh karena itu pada saat yang lalu ada usaha untuk merubah istilah buruh itu menjadi pekerja, dengan penyebutannya juga ketentuan peraturan perundang-undangan bukan perburuhan tapi industrial. Tapi kalau dalam bahasa "Industrial' sebenarnya 'kan kata sifat. Sehingga tentunya tidak dapat berdiri sendiri, dan memang kalau kita kejar lagi asal-usul isitilah industrial ini dari bahasa lnggris lengkapnya adalah "industrial ralation", yang kalau diterjemahkan dalam bahasa Indonesia kontak hubungan industrial.
Oleh karena itu dengan diperbaikinya istilah "industrial' saja dengan "hubungan industriaf' sebenarnya itu sudah menjadi lengkap, tidak aneh, karena suatu kata keadaan yang berdiri sendiri itu tidak lazim, selalu dia harus mengikutinya atau diikuti kata-kata lain sehingga lengkap. Maka kalau itu di lndonesia-kan "hubungan industrial", kalau "industrial"-nya itu tidak mau diterjemahkan pak. Tapi kalau kita dilingkungan perguruan tinggi memang tidak lazim kita menyebutkan "hubungan industrial" karena yang digunakan "hubungan perburuhan". Hukumnya jug a hukum perburuhan, sebab kalau kita menyebut hukum ketenaga kerjaan maka itu meliputi semua yang tadi saya sebutkan dengan definisi tenaga kerja itu.
Oleh karena itu di Fakultas Hukum ada hukum perburuhan, ada hukum kepegawaian, dan kesemuanya itu disebut hukum ketenagakerjaan. Sehingga kalau sekarang kita ada yang menghendaki kembali lagi ke istilah "perselisihan industrial" saya kira kembali ke hal yang sebenarnya kurang tepat, dan sudah kita sadara istilah itu kurang tepat, karena mengandung kekurangan satu patah kata, mestinya "perselisihan hubungan industrial".
Jadi mengapa dimasyarakat kita itu timbul keengganan menggunakan istilah buruh itu tadi karena dua kendala ; kendala akibat penjajahan dan kendala akibat politik. Sedangkan didalam peraturan perundang-undangan jelas masih digunakan istilah buruh itu didalam perataran peerundang-undangan yang lama. Undang-undang 12 Tahun 1948, Undang-undang Nomor 33 Tahun 1947, Undang-undang Nomorr 22 Tahun 1957, Undang-undang 21 Tahun 1957, semuanya menggunakan istilah buruh atau perburuhan.
Mudah-mudahan tidak ada yang terlewat dan cukup jelas. Terima kasih. KETUARAPAT
Dari ahli bahasa ada tambahan AHLI BAHASA :
T erima kasih. Keterangan dari Bapak Gunawan sudah cukup panjang lebar, saya ingin menambahkan sedikit saja bahwa isitilah usulan "hubungan industrial" itu, pertama kali dari Anggota DPR-RI yang terhormat waktu itu Bapak Jacob Nuwa Wea yang juga Ketua SP (Serikat Pekerja), kemudian pengertian perselisihan hubugan industrial ini muncul, jadi mengapa diberi istilah itu, jadi alasan mengapa diberi itu, diberi istilah itu salah satunya itu.
Alasan kedua, ditengah masyarakat ada nama yang tadi disebut Bapak Gunawan, ada karyawan, ada pekrja, ada buruh, ada pegawai, kalau kita mengakomodasi salah satu berarti menafikkan yang lain. Kalau kita menafikkan yang lain berarti mengakomodasi yang lain. lstilah hubungan industrial ini, saya pikir paling netral artinya tanpa menafikkan yang satu dan yang lain, tapi mengakomodasi semua. Dan yang perlu ditegaskan adalah bahwa yang terpenting bukan nama tetapi substansi, apakah substansi sudah mengakomodasi kepentingan buruh atau belum, saya kira itu yang lebih penting. Munkgin nanti kalau ditanyakan oleh para pengusul itu. Jadi dengan menggunakan istilah perselisihan industrial misalnya akan menafikan usul yang lain. Kenyataannya ada sekelompok pekerja yang tidak mau disebut buruh, walupun buruh itu secara konotasi bis a baik, bis a tidak baik, bis a positif bis a negatif. Karena namanya konotasi itu selalu subyektif dan selalu berubah dari waktu ke waktu.
Buruh selama ini memang dikonotasikan negatif karena tadi sudah disebutkan diasosiakan dengan kuli, yang dioposisikan dengan amtenar. Selain itu konotasi yang lain itu berbau atau berbau kiri. Tetapi bagi mereka yang memilih buruh itu mempunyai konotasi yang baik, karena mungkin mempunyai nilai perjuangan, jadi konotasi itu bisa positif bisa negatif karena itu subyektif sekali.
F-PPP (HJ. CHODIDJAH H.M SALEH) :
lnterupsi pimpinan. Mengingat waktunya dan masalahnya masih banyak mohon singkat, padat, begitu pak.
AHLI BAHASA :
Saya akhiri penjelasan saya bahwa pemilihan hubungan industrial itu memang alasan utamanya adalah untuk tidak menafi'kan atau mengakomodasi salah satu pihak, tapi itu adalah istilah yang paling netral.
Kemudian alasan yang terakhir, mungkin tidak bisa dijadikan, yang paling lemah, waktu itu sudah pernah digunakan Hubungan Industrial Pancasila, zaman sebelum reformasi ini. Karena untuk tidak terkait dengan masa lalu "Pancasila"-nya ditiadakan tetapi "Hubungan lndustriaf' saja. T api yang paling kuat dijadikan dasar adalah kenetralan tadi dan yang penting substansinya. T erima kasih.
KETUA RAPAT:
Terima kasih. Jadi Pak Surya dari POI Perjuangan, kita sudah membahas menyangkut judul, dari semua fraksi tadi masih berpendapat bahwa judul ini masih bisa kita pertahankan, walaupun ada usul dari APINDO untuk menghilangkan untuk menghilangkan hubungan, kemudian dari Serikat Pekerja/Serikat Buruh mengusulkan "Penyelesaian Perselisihan Perburuhan".
Karena dari Fraksi POI Perjuangan sudah hadir, untuk kita mintakan pendapatnya KETUA PANSUS, dr. SURYA CHANDRA S. MPH, Ph.D.:
Saya sependapat saja kita pertahankan. Terima kasih. KETUA RAPAT:
Dengan demikian mengenai judul tetap "Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial'. (RAPAT: SETUJU)
Baik, terima kasih. Masih dalam Pasal 1 ayat (1), ini menyangkut tentang adanya usulan dari Serikat Pekerja/Serikat Buruh, tentang definisi perselisihan hubungan industrial, dimana dikemukakan disini, Perselisihan hubungan industrial adalah perbedaan pendapat yang mengakibatkan pertentangan antara pengusaha atau gabungan/perkumpulan pengusaha dengan Serikat Pekerja/Serikat Buruh atau pekerja/buruh karena adanya perselihan hak, kepentingan, PHK, syarat-syarat kerja, dan atau perselisihan antara serikat pekerja dalam satu perusahaan.
Jadi ini tentu kita bandingkan dengan pasal 1 yang kita hasilkan begitu, dari apa yang kita hasilkan ini ada perbedaan-perbedaan, dimana disini tidak ditemukan adanya tentang syarat-syarat kerja, sedangkan yang diusulkan oleh Serikat Pekerja/Serikat Buruh ini itu dimaksudkan syarat-syarat kerja.
Saya kira ini dulu yang kita lihat, kira-kira mana yang paling tepat dari definisi yang diusulkan ini dengan apa yang telah kita hasilkan begitu. Silakan.
F· TNl/POLRI ( SUWINTO ADI, S.IP) :
Terima kasih. Apa yang sudah dibacakan oleh pimpinan, sebenarnya masih ada kaitannya dengan berikutnya yaitu yang masalah jenis perselisihan. Dari Serikat Buruh/Serikat Pekerja dalam hal ini SBSI itu menghendaki tidak dimasukkannya perselisihan antar serikat pekerja, dan bahkan FNBI itu hanya dua, hanya setengah persen hak dan perselisihan kepentingan.
Saya tadi sudah menanggapi masalah mengenai perselisihan serikat pekerja, karena kalau kita perhatikan di pasal di Undang-undang 21 Tahun 2000, Pasal 1 Nomor 9, berbunyi "Perselisihan antar Serikat Pekerja, antar Serikat Buruh, Federasi dan Konfederasi Serikat Pekerja/Serikat Buruh adalah perselisihan antara Serikat Pekerja, Serikat Buruh, Federasi dan Konfederasi Serikat Pekerja/Serikat Buruh dan Serikat Pekerja/Serikat Buruh, Federasi dan Konfederasi Serikat Pekerja/Serikat Buruh lain karena tidak adanya persesuaian paham mengenai keanggotaan serta pelaksanaan hak dan kewajiban ke serikat pekerja, saya u/angi karena tidak adanya persesuaian paham mengenai keanggotaan serta pelaksanaan hak dan kewajiban ke serikat pekerjaan.
Kalau terjadi perselisihan antar serikat pekerja, konfederasi atau federasi maka penyelesaiannya melalui Pasal 35 dan 36.
Sekarang kita lihat pada rumusan kita, perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh, perselisihan serikat pekerja/serikat buruh dengan serikat pekerja/serikat buruh lain dalam satu perusahaan karena tidak adanya persesuaian mengenai keanggotaan. Pelaksanaan hak, dan kewajiban keserikat pekerjaan, sama, karenanya sama. Rumusan di Undang-undang Nomor 21 Tahun 2000 ini bisa terjadi didalam satu perusahaan atau bisa juga terjadi di luar perusahaan. Memang di dalam RUU PPHI ini terjadi di dalam satu perusahaan tetapi karenanya itu sama, jadi masih bisa diselesaikan dengan Undang-undang Nomor 21 Tahun 2000 ini yaitu Pasal 35 dengan musyawarah. Apabila tidak bisa dengan musyawarah, maka dilakukan dengan sesuai dengan peraturan peerundang-undangan yang berlaku. Demikian pak, jadi memang ini sangat prinsip pak, sangat prinsip. Terima kasih
KETUA RAPAT:
Terima kasih. Jadi dengan penjelasan atau tanggapan dari Fraksi TNl/POLRI tadi, maka itu tidak saja melihat pada Pasal 1 tapi juga dikaitkan dengan Pasal 1 ayat (2), yang menyangkut tentang perselisihan, jenis perselisihan, kemudian juga tentang perselisihan hak, kepentingan, kemudian juga tentang PHK.
Jadi oleh karenanya kita didalam hal ini, ini menyangkut masalah yang prinsip, apakah didalam RUU Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial ini akan mengatur juga tentang perselisihan antar serikat pekerja dalam satu perusahaan atau tidak karena masih memungkinkan di dalam Undang-Undang 21/2000 ini tentang Penyelesaian Perselisihan antar Serikat Pekerja itu.
Sementara tuntutan dari Serikat Pekerja Serikat Buruh bahwa memang mereka tidak menginginkan itu dimasukkan, karena menurut mereka dengan dimasukkannya itu sekaligus UU ini akan memicu adanya perselisihan tersebut, padahal itu tidak mereka inginkan. lni persoalannya. Saya kira silakan fraksi yang lain, mungkin FPPP barangkali.
F-PPP (HJ. CHODIDJAH H.M SALEH) :
Baik, Saudara Pimpinan. Kami ingin merespon untuk yang pertama yaitu perselisihan antar serikat pekerja dalam satu kerjaan. Kita ingat pada waktu pembahasan UU 21/2000 alasan yang mereka kemukakan itu perselisihan antar serikat pekerja dalam satu perusahaan, itu dikhawatirkan di satu sisi karena di dalam satu perusahaan itu ada beberapa atau lebih dari satu serikat pekerja. Satu serikat pekerja dipakai alat untuk membela perusahaan dihadapkan dengan serikat pekerja yang lain, sehingga tidak sempat mengabdi kepada pengusahanya untuk membela kesejahteraan buruh secara keseluruhan sudah diadu dulu di situ, ini masalahnya kekhawatiran-kekhawatiran itu timbul. Kami belum berpendapat masalah ini.
Kemudian yang kedua, kalau kita lihat dari Pasal 1 ayat (1) usulan SP dan SB serta AAD ini akan memperluas pak. Jadi bukan hanya sekedar serikat pekerja atau federasi pekerja dengan perusahaan, tetapi disini kita dibawa untuk lebih luas lagi yaitu pertentangan antara pengusaha atau gabungan/perkumpulan pengusaha dengan serikat pekerja. Kalau disini disebutkan sampai kepada kepentingan, PHK, pemutusan kerja lalu syarat-syarat kerja ini memang sangat menarik sekali dari kalimat ini, tetapi kami menyadari dari F.PPP bahwa ini sudah di penghujung pembahasan yang sudah kita tunggu penyelesaiannya. Kalau ini kita adopsi saya yakin bahwa ini akan mempengaruhi pasal-pasal berikutnya, mengadopsi masalah pengusaha bahkan sampai pada gabungan pengusaha. Oleh karena itu, kami cenderung dengan rumusan yang sudah ada saja, masalah pengusaha ini nampaknya apakah itu satu perusahaan atau satu pengusaha ataukah gabungan dihadapkannya sama dengan pekerja atau serikat pekerjanya itu sendiri. Terima kasih Pimpinan. Waktu kami haturkan kembali.