• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II TINJAUAN PUSTAKA"

Copied!
40
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Tinjauan Pustaka 1. Konsep Dasar Koping

a. Pengertian

Setiap manusia tidak akan pernah lepas dari permasalahan (problem) dan sering kali masalah-masalah tersebut menyebabkan individu mengalami stress. Tiap-tiap individu mempunyai reaksi yang berbeda-beda untuk mengatasi setiap permasalahannya masing-masing. Setiap individu mempunyai cara atau perilaku untuk menghindari atau mengalihkan perasaan hati yang menekan atau stres yang sering disebut dengan koping (El-Nafis, 2009).

Koping adalah cara yang dilakukan individu, dalam menyelesaikan masalah, menyesuaikan diri dengan keinginan yang akan dicapai, dan respons terhadap situasi yang menjadi ancaman bagi diri individu (Keliat, 1999). Sedangkan menurut Lazarus (1985), koping adalah perubahan kognitif dan perilaku secara konstan dalam upaya untuk mengatasi tuntutan internal dan atau eksternal khusus yang melelahkan atau melebihi sumber individu.

Berdasarkan kedua definisi maka yang dimaksud mekanisme koping adalah cara yang digunakan individu dalam menyelesaikan

(2)

masalah, mengatasi perubahan yang terjadi dan situasi yang mengancam baik secara kognitif maupun perilaku (Mustikasari, 2006).

Roy (1991) menguraikan bagaimana individu mampu meningkatkan kesehatannya dengan cara mempertahankan perilaku secara adaptif serta mampu merubah perilaku yang mal adaptif. Secara ringkas, menurut Roy (Roy dalam Hidayat) mengemukakan bahwa individu sebagai makhluk biospsikososial dan spiritual sebagai satu kesatuan yang utuh memiliki mekanisme koping untuk beradaptasi terhadap perubahan lingkungan sehingga individu selalu berinteraksi terhadap perubahan lingkungan (Hidayat, 2004).

Roy (1991) mengidentifikasi bahwa input sebagai stimulus, merupakan kesatuan informasi, bahan-bahan atau energi dari lingkungan yang dapat menimbulkan respon (adaptasi). Terdapat tiga tingkatan adaptasi pada manusia yang dikemukakan oleh Roy, antara lain: (1) Fokal stimulus yaitu stimulus yang langsung beradaptasi dengan seseorang dan akan mempunyai pengaruh kuat terhadap individu; (2) Konsektual stimulus merupakan stimulus lain yang dialami seseorang, baik stimulus internal maupun eksternal, yang dapat mempengaruhi, kemudian dapat dilakukan observasi dan diukur secara subjektif; (3) Residual stimulus, merupakan stimulus lain yang merupakan ciri tambahan atau sesuai dengan situasi dalam proses penyesuaian dengan lingkungan yang sukar dilakukan observasi (Hidayat, 2004).

(3)

b. Sumber Koping

Dalam sistem yang sederhana, proses kontrol datang dari sebuah mekanisme internal. Roy mengartikan proses kontrol yang kompleks di dalam seseorang adalah sebagai mekanisme koping dan mekanisme kontrol ini memiliki kategori yang luas yaitu mekanisme regulator subsistem dan kognator subsistem (Roy, 1991).

Subsistem regulator mempunyai komponen-komponen proses input dan output. Input stimulus berupa internal atau eksternal, yang merespon secara otomatis melalui saraf, kimia, dan kelenjar endokrin. Refleks otonom adalah respon saraf dan sistem otak dan sumsum tulang belakang yang diteruskan sebagai perilaku output dari regulator subsistem.

Stimulus pada subsistem kognator dapat berupa eksternal maupun internal. Perilaku output dari regulator subsistem dapat menjadi stimulus umpan balik untuk kognator subsistem. Subsistem ini merespon melalui empat saluran kognitif-emosional yaitu pengolahan informasi, belajar, keputusan dan emosi.

Persepsi atau proses informasi berhubungan dengan proses internal dalam memilih perhatian, mencatat dan mengingat. Belajar berhubungan dengan proses imitasi, reinforcement (penguatan) dan pengertian yang mendalam (insight). Penyelesaian masalah dan pengambilan keputusan adalah proses internal yang berhubungan dengan penilaian atau analisa. Emosi adalah proses pertahanan untuk

(4)

mencari keringanan, mempergunakan penilaian dan kasih sayang (Roy, 1991).

Menurut Stuart dan Sundeen (1995), sumber koping terdiri atas 2 faktor yaitu faktor dari dalam (internal) dan faktor dari luar (eksternal) yaitu:

1) Faktor internal meliputi : kesehatan dan energi, sistem kepercayaan seseorang termasuk kepercayaan eksistensial (iman, kepercayaan, agama), komitmen atau tujuan hidup, perasaaan seseorang seperti harga diri, kontrol dan kemahiran, ketrampilan, pemecahan masalah, ketrampilan sosial.

2) Faktor eksternal meliputi : dukungan sosial dan sumber material. Dukungan sosial sebagai rasa informasi terhadap seseorang atau lebih dengan tiga kategori yaitu: dukungan emosi dimana se-seorang merasa dicintai; dukungan harga diri berupa pengakuan dari orang lain akan kemampuan yang dimiliki; perasaan memiliki dalam sebuah kelompok.

c. Jenis Koping

Lazarus mengemukakan 2 jenis proses koping yaitu koping yang berfokus emosi (Emotional focus coping) dan koping yang berfokus pada masalah (Problem focus coping). Fokus emosi ini digunakan untuk mengatur respon emosinal terhadap stres. Pengaturannya melalui perilaku individu, bagaimana menghilangkan fakta-fakta yang tidak menyenangkan dengan strategi kognitif. Metode ini dipakai jika

(5)

individu merasa tidak mampu mengubah kondisi yang membuat stres. Sedangkan koping yang berfokus pada masalah adalah koping yang digunakan untuk mengurangi stresor individu, mengatasi dan mempelajari cara-cara baru atau ketrampilan baru. Individu akan menggunakan strategi ini bila dirinya yakin dapat mengubah situasi (Smet, 1994).

Menurut Potter and Perry, (2005) ada dua jenis mekanisme koping: 1) Reaksi berorientasi pada tugas (Task oriented reaction) Cara ini digunakan untuk menyelesaikan masalah, menyelesaikan konflik dan memenuhi kebutuhan. Ada 3 macam reaksi berorientasi pada tugas yaitu perilaku menyerang, dapat konstruktif (akan bertindak asertif) dan dapat juga destuktif (akan bertindak agresif dan bermusuhan); perilaku menarik diri (with drawl behavior) yaitu bisa secara fisik berupa melarikan diri atau menarik diri dari sumber stress (menjauhi polusi, menjauhi sumber infeksi), bisa juga secara psikologis yaitu apatis, mengisolasi diri, tidak berminat, sering disertai perasaan takut dan bermusuhan; kompromi (compromise), ini merupakan cara yang konstruktif yaitu terjadi pendekatan dan penyelesaian masalah dengan negosiasi.

2) Reaksi berorientasi pada ego (Ego oriented reaction) Sering disebut mekanisme pertahanan mental. Reaksi ini berguna untuk melindungi diri yang merupakan garis pertahanan jiwa

(6)

pertama. Setiap orang menggunakan mekanisme pertahanan dan sering berubah untuk mengatasi stressor karena dapat melindungi individu dari perasaan tidak adekuat, tidak berguna, tidak berharga, dan mencegah kesadaran terhadap stres. Jika berlangsung lama dapat mengakibatkan gangguan orientasi realistis, gangguan hubungan interpersonal dan menurunnya produktivitas. Koping ini berorientasi secara tidak sadar sehingga penyelesai-an.sering.tidak.realistis.

d. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Koping

Tingkat adaptasi seseorang sebagai sistem adaptasi dipengaruhi oleh perkembangan individu itu sendiri, dan penggunaan mekanisme koping. Penggunaan mekanisme koping yang maksimal mengembangkan tingkat adaptasi seseorang dan meningkatkan rentang stimulus agar dapat berespon secara positif. Untuk subsistem kognator, Roy tidak membatasi konsep proses kontrol, sehingga sangat terbuka untuk melakukan riset tentang proses kontrol dari subsitem kognator sebagai pengembangan dari konsep adaptasi Roy. Selanjutnya Roy mengembangkan proses internal seseorang sebagai sistem adaptasi dengan menetapkan sistem efektor. Faktor-faktor yang mempengaruhi mekanisme koping, yaitu: fungsi fisiologis, (physiological), konsep diri (self concept), fungsi peran (role function), dan interdependensi (interdependence) (Roy, 1991).

(7)

Fungsi fisiologis berhubungan dengan struktur tubuh dan fungsinya. Roy mengidentifikasi sembilan kebutuhan dasar fisiologis yang harus dipenuhi untuk mempertahankan integritas, yang dibagi menjadi dua bagian, mode fungsi fisiologis tingkat dasar yang terdiri dari lima kebutuhan yaitu oksigenasi , nutrisi, eliminasi, aktivitas dan istirahat, dan perlindungan; dan fungsi fisiologis dengan proses yang kompleks terdiri dari empat bagian yaitu : perasaan (the senses), cairan dan elektrolit, fungsi syaraf atau neurologis, dan fungsi endokrin.

Oksigenasi merupakan kebutuhan tubuh terhadap oksigen dan prosesnya, yaitu ventilasi, pertukaran gas dan transport gas. Nutrisi, mulai dari proses ingesti dan asimilasi makanan untuk mempertahankan fungsi, meningkatkan pertumbuhan dan mengganti jaringan yang rusak Eliminasi yaitu ekskresi hasil dari metabolisme dari instestinal dan ginjal. Aktivitas dan istirahat merupakan kebutuhan keseimbangan aktivitas fisik dan istirahat yang digunakan untuk mengoptimalkan fungsi fisiologis dalam memperbaiki dan memulihkan semua komponen-komponen tubuh. Proteksi atau perlindungan, sebagai dasar pertahanan tubuh termasuk proses imunitas dan struktur integumen ( kulit, rambut dan kuku) dimana hal ini penting sebagai fungsi proteksi dari infeksi, trauma dan perubahan suhu. Perasaan meliputi penglihatan, pendengaran, perkataan, rasa dan bau memungkinkan seseorang berinteraksi dengan lingkungan. Sensasi nyeri penting dipertimbangkan dalam pengkajian perasaan. Cairan dan

(8)

elektrolit meliputi keseimbangan cairan dan elektrolit di dalamnya termasuk air, elektrolit, asam basa dalam seluler, ekstrasel dan fungsi sistemik. Sebaliknya inefektif fungsi sistem fisiologis dapat menyebabkan ketidakseimbangan elektrolit. Fungsi syaraf / neurologis, hubungan-hubungan neurologis merupakan bagian integral dari regulator koping mekanisme seseorang. Mereka mempunyai fungsi untuk mengendalikan dan mengkoordinasi pergerakan tubuh, kesadaran dan proses emosi kognitif yang baik untuk mengatur aktivitas organ-organ tubuh. Fungsi endokrin, adalah pengeluaran hormon sesuai dengan fungsi neurologis, untuk menyatukan dan mengkoordinasi fungsi tubuh. Aktivitas endokrin mempunyai peran yang signifikan dalam respon stress dan merupakan dari regulator koping mekanisme (Roy, 1991).

Konsep diri mempunyai pengertian bagaimana seseorang mengenal pola interaksi sosial dalam berhubungan dengan orang lain dan difokuskan pada aspek psikologi dan spiritual seseorang. Konsep diri menurut Roy terdiri dari dua komponen yaitu the physical self dan the personal self. The physical self, yaitu bagaimana seseorang memandang dirinya berhubungan dengan sensasi tubuhnya dan gambaran tubuhnya. Kesulitan pada area ini sering terlihat pada saat merasa kehilangan, seperti setelah operasi, amputasi atau hilang kemampuan seksualitas. The personal self, yaitu berkaitan dengan konsistensi diri, ideal diri, moral - etik dan spiritual diri orang tersebut.

(9)

Perasaan cemas, hilangnya kekuatan atau takut merupakan hal yang berat dalam area ini.

Fungsi peran merupakan proses penyesuaian yang berhubungan bagaimana peran seseorang dalam mengenal pola-pola interaksi sosial dalam berhubungan dengan orang lain. Fokusnya pada bagaimana seseorang dapat memerankan dirinya dimasyarakat sesuai dengan kedudukannya.

Interdependensi berhubungan dengan kemampuan seseorang untuk memberi dan menerima cinta, kasih sayang, penghormatan, dan nilai. Interdependensi dapat dilihat dari keseimbangan antara dua nilai ekstrim, yaitu memberi dan menerima (Roy, 1991).

e. Mekanisme Koping

Mekanisme koping diartikan sebagai cara yang diturunkan sejak lahir (innate) atau diperoleh (acquired) untuk merespon terhadap perubahan lingkungan. Mekanisme koping innate adalah diturunkan secara genetik atau umum dengan jenis dan biasanya dilihat sebagai proses yang otomatis. Mekanisme koping acquired dapat dikembangkan melalui proses seperti belajar. Roy mengkategorikan lebih lanjut mekanisme koping innate dan acquired menjadi dua subsistem utama, yaitu subsistem regulator dan subsistem kognator (Roy, 1991).

(10)

Mekanisme koping adalah cara yang dilakukan individu dalam menyelesaikan masalah, menyesuaikan diri dengan perubahan, serta respon terhadap situasi yang mengancam (Keliat, 1999).

Menurut Stuart,dan,Sundeen,(1995),,mekanisme koping berdasarkan penggolongannya dibagi menjadi dua yaitu:

1) Mekanisme koping adaptif

adalah mekanisme koping yang mendukung fungsi integrasi, pertumbuhan, belajar dan mencapai tujuan. Kategorinya adalah berbicara dengan orang lain, memecahkan masalah secara efektif, teknik relaksasi, latihan seimbang dan aktivitas konstruktif.

2) Mekanisme koping maladaptif

Adalah mekanisme koping yang menghambat fungsi integrasi, memecah pertumbuhan, menurunkan otonomi dan cenderung menguasai lingkungan. Kategorinya adalah makan berlebihan atau tidak makan, bekerja berlebihan, menghindar.

Secara Umum Mekanisme Koping pada Remaja antara lain:

(1) Penguasaan Kognitif, merupakan usaha untuk belajar terhadap situasi atau stresor, dengan cara memperbaiki informasi atau pengetahuan dengan berbagi (sharing) dan diskusi; (2) Penyesuaian (conformity), dengan menyesuiakan diri remaja akan mendapatkan pengakuan dalam kelompok; (3) Perilaku terkontrol, remaja membutuhkan perubahan dalam hidupnya, tidak dapat menerima peraturan keluarga dan sekolah tanpa bertanya; (4) Fantasi, membantu

(11)

mengembangkan berfikir fantasi yang kreatif; (5) Aktivitas gerak, dapat membantu mengalihkan perhatian dari stresor (Yamin, 2008). f. Karakteristik Mekanisme Koping

Menurut Roy (1991), rentang respon mekanisme koping dibagi menjadi dua, yaitu respon adaptif dan respon inefektif (tidak efektif). Respon adaptif merupakan promosi integritas seseorang dalam tujuan adaptasi yaitu untuk kelangsungan kehidupan, pertumbuhan, reproduksi, dan keunggulan. Respon inefektif merupakan respon yang tidak mendukung integritas juga tidak membantu kepada tujuan adaptasi. Itulah sebabnya, mereka mungkin, dalam situasi yang langsung atau jika terjadi terus melalui sepanjang waktu, dapat mengancam kelangsungan kehidupan, pertumbuhan, reproduksi, atau keunggulan. Jika menolak untuk makan selama satu hari tidak dapat menjadi ancaman serius untuk hidup, tetapi jika berkelanjutan seperti puasa selama bertahun-bulan mungkin akan menjadi ancaman serius dan tidak efektif untuk kehidupan.

Dalam menilai efektivitas, maka satu melihat efek dari perilaku pada umumnya dari tujuan adaptasi. Pada saat yang sama, dari tujuan individual seseorang adalah pertimbangan yang utama. Tanggapan tidak efektif dalam situasi ini akan menjadikan orang-orang yang tidak memberikan kontribusi kepada orang yang memiliki tujuan adaptif (Roy, 1991).

Sistem adaptasi menurut Roy dapat digambarkan sebagai berikut :

Respon Adaptif dan Inefektif Fungsi fisiologis Konsep diri Fungsi peran Interdepedensi Mekanisme Koping Regulator Kognator Stimulus Tingkat Adaptasi (Roy, 1991)

(12)

Roy dan McLeod (1981) menjelaskan tingkat adaptasi sebagai standar terhadap variabel yang mempunyai dampak stimuli baru dan tanggapan dari tanggapan sebelumnya dibandingkan untuk tanggapan selanjutnya output langsung dari sistem. Selain dari interaksi stres, atau output dimensi, melibatkan aktivasi satu atau beberapa mekanisme koping (subsystem kognator dan regulator), yang kemudian menghasilkan perilaku yang adaptif atau tidak efektif (inefektif). Dalam memelihara integritas seseorang, regulator dan kognator subsistem diperkirakan sering bekerja sama (Roy, 1991).

Menurut Roy dan McLeod (1981), seorang individu akan memperlihatkan tanggapan yang adaptif dalam dua situasi. Yang pertama adalah situasi ketika ada perbedaan antara fokal stimuli dan tingkat adaptasi yang cukup kecil, orang biasa memberikan tanggapan yang cukup untuk mengatasi keadaan. Contoh yang kedua terjadi ketika tanggapan pertama individu yang tidak memadai. Namun, orang tetap memiliki kemampuan untuk mengaktifkan subsistem kognator dan atau regulator, yang pada akhirnya akan membuktikan keadekuatan koping dengan situasi.

Meskipun kedua subsistem kognator dan regulator menentukan total respon tubuh terhadap stres, bagian dari adaptasi respon yang terkait dengan fungsi kelenjar endokrin berada dalam mekanisme koping regulator. Bagian utama dari subsistem regulator adalah saraf, kimia, dan

(13)

kelenjar endokrin, ketiganya sudah diaktifkan dalam menanggapi rangsangan yang besar (Roy, 1991).

Menurut Stuart dan Sundeen (1998), rentang respon mekanisme koping dapat digambarkan sebagai berikut :

Adaptif Maladaptif

Jadi karakteristik mekanisme koping adalah sebagai berikut :

1) Adaptif, menurut Friedman dalam Carpenito (2000), jika memenuhi kriteria sebagai berikut : (1) Dapat menceritakan secara verbal tentang perasaannya, (2) Mengembangkan tujuan realistis, (3) Dapat mengidentifikasi sumber koping, (4) Dapat menimbulkan mekanisme koping yang efektif, (5) Mengidentifikasi alternative strategi, (6) Memilih strategi yang tepat, (7) Menerima dukungan.

2) Maladatif jika memenuhi kriteria sebagai berikut : (1) Merasa tidak mampu, (2) Tidak mampu menyelesaikan masalah secara efektif, (3) Perasaan lemas, takut, marah, iritable, tegang, gangguan fisiologis, adanya stress kehidupan, (4) Tidak mampu memenuhi kebutuhan dasar (Taylor, 1997).

g. Adaptasi

Adaptasi merupakan suatu proses perubahan yang menyertai individu dalam berespon terhadap perubahan yang ada di lingkungan dan dapat mempengaruhi keutuhan tubuh baik secara fisiologis maupun psikologis yang akan menghasilkan perilaku adaptif. Hasil dari perilaku adaptif ini

(14)

dapat berupa semua respon dengan berusaha mempertahankan keseimbangan dari suatu keadaan. Selain itu, respon adaptif juga merupakan suatu totalitas respon dari manusia sebagai makhluk holistik, yang memerlukan waktu dalam proses penyesuaian dan setiap orang akan berbeda dalam proses penyesuaian, adakalanya orang cepat dalam beadaptasi, namun adakalanya lambat dalam beradaptasi dan semua respon adaptif tidak selamanya cukup dalam menghadapi perubahan akan tetapi terkadang dijumpai tidak adekuat dan pada dasarnya respon adaptif itu melelahkan mengingat membutuhkan tenaga dan sumber yang cukup (Hidayat, 2004).

Roy (1991) menjelaskan sebagai penerima asuhan keperawatan adalah individu, keluarga, kelompok, masyarakat yang dipandang sebagai “Holistic adaptive system” dalam segala aspek yang,merupakan,satu kesatuan. Sistem adalah suatu kesatuan yang di hubungkan karena fungsinya sebagai kesatuan untuk beberapa tujuan dan adanya saling ketergantungan dari setiap bagian-bagiannya. Sistem terdiri dari proses input, output, kontrol dan umpan balik (Roy, 1991). Input bagi manusia telah disebut stimulus dan mungkin datang dari luar lingkungan (eksternal stimuli) dan internal dari diri sendiri (internal stimuli). Input sebagai stimulus, merupakan kesatuan informasi, bahan-bahan atau energi dari lingkungan yang dapat menimbulkan respon, dimana dibagi dalam tiga tingkatan yaitu stimulus fokal, kontekstual dan stimulus residual. Proses kontrol seseorang menurut Roy adalah bentuk mekanisme koping yang di

(15)

gunakan. Mekanisme kontrol ini dibagi atas regulator dan kognator yang merupakan subsistem atau dapat disebut subsistem regulator dan kognator.

Output dari suatu sistem adalah perilaku yang dapat diamati, diukur atau secara subyektif dapat dilaporkan baik berasal dari dalam maupun dari luar. Perilaku ini merupakan umpan balik untuk sistem. Roy mengkategorikan output sistem sebagai respon yang adaptif atau respon yang tidak efektif (inefektif). Respon adaptif dapat meningkatkan integritas individu sedangkan respon inefektif tidak dapat mendukung untuk pencapaian tujuan perawatan individu (Roy, 1991).

Menurut Roy (1991) stimulus yang berasal dari individu dan sekitar individu merupakan elemen dari lingkungan. Lingkungan didefinisikan oleh Roy adalah “Semua kondisi, keadaan dan pengaruh-pengaruh disekitar individu yang dapat mempengaruhi perkembangan dan perilaku individu dan kelompok” (Roy and Adrews, 1991). Dalam hal ini Roy menekankan agar lingkungan dapat didesign untuk meningkatkan kemampuan adaptasi individu atau meminimalkan resiko yang akan terjadi pada individu terhadap adanya perubahan.

Menurut Roy (1991), integritas individu dapat ditunjukkan dengan kemampuan untuk mempertahankan diri, tumbuh, reproduksi dan keunggulan. Asuhan keperawatan berdasarkan model Roy bertujuan untuk meningkatkan kesehatan individu dengan cara meningkatkan respon adaptifnya.

(16)

Tujuan keperawatan menurut Roy (1991) adalah meningkatkan respon adaptif individu dan menurunkan respon inefektif individu, dalam kondisi sakit maupun sehat. Selain meningkatkan kesehatan di semua proses kehidupan, keperawatan juga bertujuan untuk mengantarkan individu meninggal dengan damai. Untuk mencapai tujuan tersebut, perawat harus dapat mengatur stimulus fokal, kontekstual dan residual yang ada pada individu.

Menurut Roy (1991) elemen dari proses keperawatan meliputi pengkajian tingkat pertama dan kedua, diagnosa keperawatan, penentuan tujuan, intervensi dan evaluasi. Empat mode adaptasi dapat digunakan sebagi dasar kerangka kerja untuk pedoman pengkajian. Mode ini juga meliputi psikologis, konsep diri, fungsi peran dan model interdependensi. Ada beberapa macam adaptasi, antara lain:

1) Adaptasi Fisiologis

Adaptasi ini merupakan proses penyesuaian tubuh secara alamiah atau secara fisiologis untuk mempertahankan keseimbangan dari berbagai faktor yang menimbulkan atau mempengaruhi keadaan menjadi tidak seimbang, contohnya masuknya kuman penyakit, maka secara fisiologis tubuh berusaha untuk mempertahankan baik dari pintu masuknya kuman atau sudah masuk dalam tubuh. Adaptasi secara fisiologis dapat dibagi menjadi dua yaitu apabila kejadiannya atau proses adaptasi bersifat lokal, maka disebut dengan Local Adaptation Syndroma (LAS) seperti ketika daerah tubuh atau kulit terkena infeksi,

(17)

maka akan terjadi daerah sekitar kulit tersebut kemerahan, bengkak, nyeri, panas, dan lain-lain yang sifatnya lokal. Akan tetapi apabila reaksi lokal tidak dapat diatasi dapat menyebabkan gangguan secara sistemik tubuh akan melakukan proses penyesuaian seperti panas seluruh tubuh, berkeringat dan lain-lain, keadaan ini disebut sebagai General Adaptation Syndroma (GAS). Pada adaptasi fisiologis, melalui tiga tahap yaitu tahap alarm reaction, tahap resistensi dan tahap terakhir.

Tahap alarm reaction merupakan tahap awal dari proses adaptasi di mana individu siap untuk menghadapi stresor yang akan masuk ke dalam tubuh. Tahap ini dapat diawali dengan kesiagaan (fight or flight), di mana terjadi perubahan fisiologis yaitu pengeluaran hormon oleh hipotalamus yang dapat menyebabkan kelenjar adrenal mengeluarkan adrenalin yang dapat meningkatkan denyut jantung dan menyebabkan pernafasan menjadi cepat dan dangkal, kemudian hipotalamus juga dapat melepaskan hormon adrenokortikotropik (ACTH) yang dapat merangsang adrenal untuk mengeluarkan kotikoid yang akan mempengaruhi berbagai fungsi tubuh, apabila respon tubuh terhadap stresor mengalami kegagalan, tubuh akan melakukan tahap resistensi untuk mengatasinya. Tahap resistensi (stage of resistance) merupakan tahap kedua dari fase adaptasi secara umum di mana tubuh akan melakukan proses penyesuaian dengan mengadakan berbagai perubahan dalam tubuh yang berusaha untuk mengatasi stresor yang

(18)

ada, seperti jantung bekerja lebih keras untuk mendorong darah yang pekat untuk melewati arteri dan vena yang menyempit. Tahap terakhir (stage of exhaustion) dapat ditandai dengan adanya kelelahan, apabila selama proses adaptasi tidak mampu mengatasi stresor yang ada, maka dapat menyebr ke seluruh tubuh. Efeknya dapat menyebabkan kematian tergantung dari stresor yang ada.

2) Adaptasi Psikologis

Merupakan proses penyesuaian secara psikologis akibat stresor yang ada, dengan cara memberikan mekanisme pertahanan diri dengan harapan dapat melindungi atau bertahan dari serangan-serangan atau hal-hal yang tidak menyenangkan. Dalam proses adaptasi secara psikologis terdapat dua cara untuk mempertahankan diri dari berbagai stresor yaitu dengan cara melakukan koping atau penanganan diantaranya berorientasi pada tugas (task oriented) yang dikenal dengan problem solving strategi dan ego oriented atau mekanisme pertahanan diri.

Task oriented reaction atau reaksi yang berorientasi pada tugas merupakan koping yang digunakan dalam mengatasi masalah dengan berorientasi pada proses penyelesaian masalah, meliputi afektif (perasaan), kognitif dan psikomotor. Reaksi ini dapat dilakukan seperti: berbicara dengan orang lain tentang masalah yang dihadapi untuk dicari jalan keluarnya, mencari tahu lebih banyak tentang keadaan yang dihadapi melalui buku bacaan, ataupun orang ahli, atau

(19)

juga dapat berhubungan dengan kekuatan supra natural, melakukan latihan-latihan yang dapat mengurangi stres serta membuat alternatif pemecahan masalah dengan menggunakan strategi prioritas masalah. Ego oriented reaction atau reaksi yang berorientasi pada ego dikenal dengan mekanisme pertahanan diri secara psikologis agar tidak mengganggu gangguan psikologis yang lebih dalam. Di antara mekanisme pertahanan diri yang dapat dilakukan untuk melakukan proses adaptasi psikologis antara lain: (1) Rasionalisasi, merupakan suatu usaha untuk menghindari masalah psikologis dengan selalu memberikan alasan secara rasional, sehingga masalah yang dihadapi dapat teratasi; (2) Displacement, merupakan upaya untuk mengatasi masalah psikologis dengan melakukan pemindahan tingkah laku kepada objek lain, sebagai contoh apabila seseorang terganggu akibat situasi yang ramai, maka temannya yang disalahkan; (3) Kompensasi, upaya untuk mengatasi masalah dengan cara mencari kepuasan pada situasi yang lain, seperti seseorang memiliki masalah karena menurunnya daya ingat maka akan menonjolkan kemampuan yang dimilikinya; (4) Proyeksi, merupakan mekanisme pertahanan diri dengan menempatkan sifat batin sendiri ke dalam sifat batin orang lain, seperti dirinya membenci orang lain kemudian mengatakan pada orang bahwa orang lain yang membencinya; (5) Represi, upaya untuk mengatasi masalah dengan cara menghilangkan pikiran masa lalu yang buruk dengan melupakannya atau menahan kepada alam tidak sadar

(20)

dan sengaja dilupakan, contohnya suatu pengalaman traumatis menjadi terlupakan; (6) Supresi, upaya untuk mengatasi masalah dengan menekan masalah yang tidak diterima dengan sadar dan individu tidak mau memikirkan hal-hal yang kurang menyenangkan; (7) Denial, upaya pertahanan diri dengan cara penolakan terhadap masalah yang dihadapi atau tidak mau menerima kenyataan yang dihadapinya.

3) Adaptasi Sosial Budaya

Merupakan cara untuk mengadakan perubahan dengan melakukan proses penyesuaian perilaku yang sesuai dengan norma yang berlaku di masyarakat, berkumpul dengan masyarakat dalam kegiatan kemasyarakatan.

4) Adaptasi Spiritual

Proses penyesuaian diri dengan melakukan perubahan perilaku yang didasarkan pada keyakinan atau kepercayaan yang dimiliki sesuai dengan agama yang dianutnya. Apabila mengalami stres, maka seseoang akan giat melakukan ibadah, seperti rajin melakukan ibadah. (Hidayat, 2004).

2. Menstruasi a. Pengertian

Setiap remaja pasti akan mengalami pubertas. Pubertas pada remaja putri umumnya terjadi pada usia 10 – 16 tahun. Tampaknya

(21)

usia pubertas dipengaruhi oleh faktor kesehatan, gizi, faktor sosial ekonomi dan keturunan. Pubertas merupakan masa awal pematangan seksual, yaitu suatu periode di mana seorang anak mengalami perubahan fisik, hormonal, dan seksual. Pada awal masa pubertas, pada remaja putri, kadar kadar hormon LH (luteinizing hormone) dan FSH (follicle-stimulating hormone) akan meningkat. Peningkatan kadar hormon tersebut menyebabkan pematangan payudara, ovarium, rahim dan vagina serta dimulainya siklus menstruasi (Nita, 2009). Menstruasi adalah perdarahan secara periodik dan siklik dari uterus, disertai pelepasan endometrium (Wiknjosastro, et al., 2005). Menstruasi juga diartikan sebagai proses pelepasan dinding rahim (endometrium) yang disertai dengan perdarahan dan terjadi secara berulang setiap bulan kecuali pada saat kehamilan (Nita, 2009).

b. Siklus Menstruasi

Panjang siklus menstruasi yang normal atau dianggap siklus menstruasi yang klasik adalah 28 hari. Wanita dengan siklus ovulatorik, selang waktu antara awal menstruasi hingga ovulasi, fase folikular, bervariasi lamanya. Siklus yang diamati terjadi pada wanita yang mengalami ovulasi. Selang waktu antara awal perdarahan menstruasi hingga fase luteal relatif konstan dengan rata-rata 14 ditambah atau dikurangi 2 hari pada kebanyakan wanita (Wiknjosastro, et al., 2007).

(22)

Siklus menstruasi dibagi menjadi 3 fase, antara lain: 1) Fase Folikuler

Fase folikuler dimulai dari hari pertama sampai sesaat sebelum kadar LH meningkat dan terjadi pelepasan sel telur (ovulasi). Pada saat ini terjadi pertumbuhan folikel di dalam ovarium. Pada pertengahan fase folikuler, kadar FSH sedikit meningkat sehingga merangsang pertumbuhan sekitar 3 sampai 30 folikel yang masing-masing mengandung 1 sel telur. Tetapi hanya 1 folikel yang terus tumbuh, yang lainnya hancur. Pada suatu siklus, sebagian endometrium dilepaskan sebagai respon terhadap penurunan kadar hormon estrogen dan progesteron. Endometrium terdiri dari dua lapisan, yaitu lapisan basal dan lapisan fungsional. Di bawah pengaruh estrogen, lapisan fungsional akan berproliferasi dan di bawah pengaruh estrogen dan progesteron lapisan itu akan mengalami sekresi.

2) Fase Ovulatoir

Fase ovulatoir dimulai ketika kadar LH meningkat dan pada fase ini dilepaskan sel telur. Sel telur biasanya dilepaskan dalam waktu 16 – 32 jam setelah terjadi peningkatan kadar LH. Folikel yang matang akan menonjol dari permukaan ovarium, akhirnya pecah dan melepaskan sel telur (ovum).

(23)

3) Fase Luteal

Fase ini terjadi setelah ovulasi dan berlangsung selama sekitar 14 hari. Setelah melepaskan ovumnya, folikel yang pecah kembali menutup dan membentuk korpus luteum yang menghasilkan sejumlah besar progesteron. Setelah 14 hari, korpus luteum akan hancur dan siklus yang baru akan dimulai, kecuali jika terjadi pembuahan (Nita, 2009).

Lama menstruasi bervariasi; pada umumnya antara 3 sampai 6 hari, tetapi antara 2 sampai 8 hari masih dapat dianggap normal. Pengeluaran darah menstruasi terdiri dari fragmen-fragmen kelupasan endrometrium yang bercampur dengan darah yang banyaknya tidak tentu. Biasanya darahnya cair, tetapi apabila kecepatan aliran darahnya terlalu besar, bekuan dengan berbagai ukuran sangat mungkin ditemukan.

Rata-rata banyaknya darah yang keluar pada wanita normal selama satu periode menstruasi adalah 33,2 ditambah atau dikurangi 16 cc. Jumlah darah menstruasi lebih dari 80 cc dianggap patologik.

Kebanyakan wanita tidak merasakan gejala-gejala pada waktu haid, tetapi sebagian kecil merasa berat di pinggul atau merasa nyeri (dismenorhea). Usia gadis remaja pada waktu pertama kalinya mendapat haid (menarche) bervariasi, yaitu antara 10 - 16 tahun, namun rata-ratanya 12,5 tahun. Menarche terjadi di tengah-tengah masa pubertas. Sesudah masa pubertas, wanita memasuki masa

(24)

reproduksi, yaitu masa di mana ia dapat memperoleh keturunan, masa ini berlangsung 30 - 40 tahun dan berakhir pada masa mati haid atau menopause (Wiknjosastro, et al., 2005).

c. Gangguan Menstruasi

Gangguan menstruasi dan siklusnya khususnya dalam masa reproduksi dapat digolongkan dalam:

1) Kelainan dalam banyaknya darah dan lamanya perdarahan pada saat menstruasi:

a) Hipermenorea atau menoragia, yaitu perdarahan haid yang lebih banyak dari normal, atau lebih lama dari normal (lebih dari 8 hari).

b) Hipomenorea, ialah perdarahan haid yang lebih pendek (kurang dari 2 hari) atau lebih kurang dari biasa.

2) Kelainan siklus:

a) Polimenorea, yaitu siklus haid lebih pendek dari biasa (kurang dari 21 hari).

b) Oligomenorea, di sini siklus haid lebih panjang, lebih dari 35 hari.

c) Amenore, adalah keadaan tidak adanya menstruasi sedikitnya dalam 3 bulan berturut-turut.

3) Perdarahan di luar haid: Metroragia, ialah perdarahan yang terjadi dalam masa antara 2 haid atau 2 jenis perdarahan menjadi satu;

(25)

yang pertama dinamakan metroragia, yang kedua disebut menometroragia.

4) Gangguan lain yang ada hubungan dengan menstruasi:

a) Premenstrual tension (ketegangan prahaid), merupakan keluhan-keluhan yang biasanya muncul mulai satu minggu sampai beberapa hari sebelum datangnya haid, dan menghilang sesudah haid datang.

b) Mastalgia, ialah rasa nyeri dan pembesaran mammae sebelum haid.

c) Mittlelschmerz, merupakan rasa nyeri antara haid terjadi kira-kira sekitar pertengahan siklus haid, pada saat ovulasi.

d) Dismenorhea, ialah nyeri saat menstruasi.

3. Dismenorhea a. Pengertian

Dismenorhea atau nyeri haid mungkin merupakan suatu gejala yang paling sering menyebabkan para wanita muda pergi ke klinik/dokter untuk berkonsultasi dan pengobatan (Wiknjosastro, et al., 2005). Menurut Price (2005), Dismenorhea adalah nyeri selama menstruasi yang disebabkan oleh kejang otot uterus.

Dismenorhea atau nyeri haid ialah nyeri yang bersifat cramping (dipuntir-puntir), di bagian bawah perut, punggung bawah bahkan sampai paha (Widjajanto, 2005). Dismenorhea merupakan rasa sakit di

(26)

perut bagian bawah, kadang meluas ke pinggul, punggung bagian bawah atau paha (Nita, 2009).

b. Jenis-Jenis Dismenorhea

Ada dua jenis Dismenorhea, yaitu:

1) Dismenorhea primer (esensial, intrinsik, idiopatik), tidak terdapat hubungan dengan kelainan ginekologik.

2) Dismenorhea sekunder (ekstrinsik, yang diperoleh, aquired), disebabkan oleh kelainan ginekologik.

Dismenorhea,Primer

Dismenorhea primer adalah nyeri haid yang dijumpai tanpa kelainan alat-alat genital yang nyata. Dismenorhea primer (primary dysmenorrhea) biasanya terjadi dalam 12 bulan pertama atau lebih setelah menarche (haid pertama) umumnya berjenis anovulatoar, yang tidak disertai rasa nyeri. Rasa nyeri timbul tidak lama sebelumnya atau bersama-sama dengan permulaan haid dan berlangsung untuk beberapa jam, walaupun ada yang dapat berlangsung beberapa,hari.

Dismenorhea,Sekunder

Dismenorhea sekunder (secondary dysmenorrhea) dapat terjadi kapan saja setelah menarche (haid pertama), namun paling sering muncul pada usia lebih dari 20 tahun, setelah bertahun-tahun siklus normal, siklus tanpa adanya rasa nyeri. Peningkatan prostaglandin dapat berperan pada dismenorea sekunder, namun, secara pengertian, penyakit pelvis yang menyertai haruslah ada.

(27)

Dismenorhea sekunder dikaitkan dengan penyakit pelvis organik, seperti: endometriosis, penyakit radang pelvis, stenosis serviks, polip uterus, neoplasma ovarium atau uterus, dan penggunaan peralatan kontrasepsi Intrauterine,device (IUD),(Bobak,et,al,,2004).

c. Derajat Dismenorhea

Pembagian derajat nyeri haid (Dismenorhea) adalah sebagai berikut: 1) Derajat 0 : Haid tanpa rasa nyeri dan aktivitas sehari-hari tidak

terpengaruhi.

2) Derajat 1 : Nyeri haid ringan dan memerlukan obat penghilang rasa nyeri, namun aktivitas sehari-hari jarang terpengaruhi.

3) Derajat 2 : Nyeri haid sedang dan dapat tertolong dengan obat penghilang rasa nyeri, tetapi aktivitas sehari-hari terganggu.

4) Derajat 3 : Nyeri haid sangat hebat dan tidak berkurang walaupun telah menggunakan obat dan tidak dapat bekerja. Kasus ini harus segera dikonsultasikan dengan dokter agar segera ditangani oleh dokter (Riyanto, 2002).

d. Etiologi

Beberapa faktor yang memegang peranan sebagai penyebab. atau etiologi,dismenorhea,primer,,antara,lain:

1) Faktor endokrin. Pada umumnya dismenorhea primer disebabkan oleh kontraksi uterus yang berlebihan. Menurut penelitian yang telah dilakukan Novak dan Reynolds pada uterus kelinci berkesimpulan bahwa hormon estrogen merangsang kontraktilitas

(28)

uterus, sedang hormon progesteron menghambat atau mencegahnya. Tetapi, teori ini tidak dapat menerangkan fakta mengapa tidak timbul rasa nyeri pada perdarahan disfungsional anovulatoar, yang biasnya bersamaan dengan kadar estrogen yang berlebihan tanpa adanya progesteron.

Penjelasan lain diberikan oleh Clitheroe dan Pickles, bahwa karena endometrium dalam fase sekresi memproduksi Prostaglandin F2 yang menyebabkan kontraksi otot-otot polos. Jika jumlah Prostaglandin yang berlebihan dilepaskan ke dalam peredaran darah, maka selain dismenorhea, dapat dijumpai pula efek umum, seperti diarea, nausea, dan muntah.

2) Faktor obstruksi kanalis servikalis. Salah satu teori yang paling tua untuk menerangkan terjadinya dismenorhea primer adalah stenosis kanalis servikalis. Pada wanita dengan uterus dalam hiperantefleksi mungkin dapat terjadi stenosis kanalis servikalis.

3) Faktor kejiwaan, pada gadis-gadis yang secara emosional tidak stabil, apalagi jika tidak mendapat penerangan yang baik tentang proses menstruasi, mudah timbul dismenorhea.

4) Faktor konstitusi. Faktor-faktor seperti: anemia, penyakit menahun, dan sebagainya dapat.mempengaruhi.timbulnya.dismenorhea.

5) Faktor alergi. Teori ini dikemukakan oleh Smith setelah memperhatikan adanya asosiasi antara dismenorhea dengan

(29)

urtikaria, migraine atau asma bronkhiale. Smith menduga bahwa sebab alergi ialah toksin haid.

Penyebab atau etiologi dismenorhea sekunder dikaitkan dengan penyakit pelvis organik seperti: Endometriosis, polip uterus (uterine polyps), penyakit radang pelvis, stenosis serviks, kista ovarium (ovarian cysts), dan pemakaian kontrasepsi Intrauterine devices (IUD) (Wiknjosastro, et al., 2005).

e. Patofisiologi

Dismenorhea primer terjadi, jika tidak ada penyakit organik. Faktor psikogenik dapat mempengaruhi gejala, tetapi gejala pasti berhubungan dengan ovulasi. Selama fase luteal dan aliran menstruasi berikutnya, prostaglandin F2 (PGF2) disekresi. Pelepasan PGF2 yang berlebihan meningkatkan amplitudo dan frekuensi kontraksi uterus dan menyebabkan vasospasme arteriol uterus, sehingga mengakibatkan iskemia dan kram abdomen bawah yang bersifat siklik. Respon sistemik terhadap PGF2 meliputi nyeri punggung, kelemahan, pengeluaran keringat, gejala gangguan saluran cerna (anoreksia, mual, muntah, dan diare), dan gejala sistem saraf pusat (pusing, sinkop, nyeri kepala, dan konsentrasi buruk) (Bobak et al, 2004).

Dismenorhea sekunder timbul karena adanya masalah fisik seperti endometriosis, polip uterus, stenosis serviks, atau penyakit radang pelvis. Pada kasus pemeriksaan pelvis abnormal, dibutuhkan evaluasi selanjutnya untuk menentukan diagnosis. Dismenorhea dapat timbul

(30)

pada perempuan dengan menometroragia yang meningkat. Evaluasi yang hati-hati harus dilakukan untuk mencari kelainan dalam kavum uteri atau pelvis yang dapat menimbulkan kedua gejala tersebut (Price, 2005).

f. Gejala Klinis

Gejala klinis pada dismenorhea primer antara lain : utamanya adalah nyeri, dimulai pada saat awitan menstruasi. Nyeri dapat tajam, tumpul, siklik atau menetap; dapat berlangsung dalam beberapa jam sampai 1 hari. Kadang-kadang, gejala-gejala tersebut dapat lebih lama dari 1 hari tetapi jarang melebihi 72 jam. Gejala-gejala sistemik yang menyertai berupa mual, diare, sakit kepala, dan perubahan emosional.

Gejala klinis pada dismenorhea sekunder adalah nyeri yang timbul karena adanya masalah fisik. Sifat nyeri pada dismenorhea sekunder sama dengan dismenorhea primer (Price, 2005).

g. Penatalaksanaan

Penatalaksanaan pada Dismenorhea Primer antara lain: 1) Penerangan dan nasihat

Perlu dijelaskan kepada penderita khususnya remaja putri bahwa dismenorhea adalah gangguan yang tidak berbahaya bagi kesehatan. Kemungkinan salah informasi mengenai menstruasi atau adanya tabu atau takhyul mengenai menstruasi mengenai menstruasi perlu dibicarakan. Kadang-kadang diperlukan psikoterapi. Nasihat-nasihat mengenai makanan sehat, istirahat

(31)

yang cukup dan olahraga mungkin berguna. Untuk beberapa wanita, kompres hangat atau mandi air hangat, massase, distraksi, tidur cukup dapat meredakan dismenorhea.

2) Pemberian obat analgesik

Obat analgesik yang sering diberikan adalah preparat kombinasi aspirin, fenasetin, dan kafein. Obat-obat yang beredar di pasaran ialah novalgin, ponstan, acet-aminophen dan sebagainya.

3) Terapi hormonal

Tujuan terapi hormonal ialah menekan ovulasi. Tujuan ini dapat dicapai dengan pemberian salah satu jenis pil kombinasi kontrasepsi.

4) Terapi dengan obat nonsteroid antiprostaglandin, memegang peranan yang penting terhadap dismenorhea primer. Termasuk di sini ialah indometasin, ibuprofen, dan naproksen; kurang lebih 70% penderita dapatdisembuhkan atau mengalami banyak perbaikan. Hendaknya pengobatan diberikan sebelum haid mulai; 1 sampai 3 hari sebelum haid, dan pada hari pertama haid.

5) Dilatasi kanalis servikalis dapat memberi keringanan karena memudahkan pengeluaran darah haid dan prostaglandin di dalamnya. Pada kasus-kasus dismenorea yang tidak memberikan respon dengan obat (refractory), tindakan laparoscopic presacral neuroectomy amat manjur pada beberapa pasien selama 12 bulan setelah terapi treatment. Ditambah dengan neurektomi ovarial

(32)

(pemotongan urat saraf sensorik yang ada di ligamentum infundibulum) merupakan tindakan terakhir, apabila usaha-usaha lain gagal (Wiknjosastro, et al., 2005).

Penatalaksanaan pada Dismenorhea Sekuder, adalah:

Pada dismenorhea sekuder dibutuhkan evaluasi untuk menentukan diagnosis. Histeroskopi, histerosalpingogram (HSG), sonogra transvaginal (TSV), dan laparoskopi, semuanya dapat digunakan untuk evalusi. Pengobatan ditujukan untuk memperbaiki keadaan yang mendasarinya. (Price, 2005).

h. Dismenorhea pada Remaja

Kebanyakan remaja putri sering mengalami kram sewaktu menstruasi. Rasa sakit di perut bagian bawah, kadang meluas ke pinggul, punggung bagian bawah atau paha (Nita, 2009).

Andersh dkk (1982) melakukan penelitian di Swedia yang menyatakan sekitar 72 % dari 596 gadis berumur 19 tahun menderita nyeri haid primer dan 15 % diantaranya sangat berat sehingga memerlukan pengobatan menghilangkan nyeri haid. Sundell dkk (1994) melaporkan, sekitar 84 % dari 1.278 gadis yang berumur kurang dari 20 tahun menderita nyeri haid sekunder alias sudah diketahui penyebabnya (Widjajanto, 2005).

Hampir semua wanita mengalami rasa tidak enak di perut bagian bawah sebelum dan selama haid. Bahkan, sering juga diikuti rasa mual. Umumnya terjadi pada remaja putri umur 15--25 tahun. Nyeri

(33)

pada waktu haid pada istilah kedokteran disebut dismenorhea (lampungpost.com, 2004).

4. Pengetahuan a. Pengertian

Pengetahuan merupakan hasil dari, tahu dan ini terjadi setelah seseorang melakukan penginderaan terhadap suatu obyek tertentu. Penginderaan ini terjadi melalui panca indera manusia, yaitu indera penglihatan, pendengaran, penciuman, rasa dan raba. Sebagian besar pengetahuan manusia diperoleh melalui mata dan telinga. Pengetahuan merupakan domain yang sangat penting dalam terbentuknya perilaku seseorang (Notoatmodjo, 2007).

b. Proses Adopsi Perilaku

Penelitian Rogers (1974) menyimpulkan bahwa sebelum seseorang mengadopsi perilaku baru (berperilaku baru), di dalam diri orang tersebut terjadi proses yang berurutan, yaitu:

1) Kesadaran (Awareness), yakni orang (subjek) tersebut menyadari dalam arti mengetahui stimulus (objek) terlebih dahulu,

2) Ketertarikan (Interest), yakni orang mulai tertarik kepada stimulus,

3) Evaluasi (Evaluation), yaitu mempertimbangkan baik atau tidaknya stimulus tersebut bagi dirinya. Hal ini berarti sikap responden sudah lebih baik lagi,

(34)

4) Mencoba (Trial), orang telah mulai mencoba perilaku baru, 5) Memakai (Adoption), subjek telah berperilaku baru sesuai dengan

pengetahuan, kesadaran, dan sikapnya terhadap stimulus.

Apabila penerimaan perilaku baru atau adopsi perilaku melalui proses seperti ini didasari oleh pengetahuan, kesadaran, dan sikap yang positif, maka perilaku tersebut akan bersifat langgeng. Sebaliknya apabila perilaku itu tidak didasari oleh pengetahuan dan kesadaran maka tidak akan berlangsung lama (Notoatmodjo, 2007).

c. Tingkat Pengetahuan di dalam Domain Kognitif

Pengetahuan yang tercakup dalam domain kognitif ada enam tingkatan, yaitu:

1) Tahu (know)

Tahu diartikan sebagai mengingat suatu materi yang telah di pelajari sebelumnya. Termasuk ke dalam pengetahuan tingkat ini adalah mengingat kembali (recall) terhadap sesuatu yang spesifik dari keseluruhan bahan yang dipelajari atau rangsangan yang telah diterima. Kata kerja untuk mengukur bahwa orang tahu tentang apa yang dipelajari antara lain menyebutkan, menguraikan, mengidentifikasi, menyatakan, dan sebagainya.

2) Memahami (comprehension)

Memahami diartikan sebagai suatu kemempuan untuk menjelaskan secara benar tentang obyek yang diketahui dan dapat menginterpretasikan materi tersebut secara benar. Orang yang telah

(35)

paham terhadap obyek atau materi harus dapat menjelaskan, menyebutkan contoh, menyimpulkan, meramalkan dan sebagainya terhadap objek yang dipelajari.

3) Menerapkan (application)

Diartikan sebagai suatu kemampuan untuk menggunakan materi yang telah di pelajari pada kondisi yang sebenarnya. Aplikasi disini dapat diartikan sebagai aplikasi atau penggunaan hukum-hukum, rumus, metode, prinsip, dan sebagainya dalam konteks atau situasi yang nyata.

4) Analisa (Analysis)

Adalah suatu kemampuan untuk menjabarkan materi atau obyek ke dalam komponen-komponen tetapi masih di dalam satu struktur organisasi dan masih ada kaitannya satu sama lainnya. Kemampuan analisis ini dapat dilihat dari penggunaan kata kerja seperti dapat menggambarkan, membedakan, memisahkan, mengelompokkan dan sebagainya.

5) Sintesis (Synthesis)

Menunjukkan kepada suatu kemampuan untuk meletakkan atau menghubungkan bagian–bagian di dalam suatu bentuk keseluruhan yang baru. Dengan kata lain, sintesis adalah kemampuan untuk menyusun formulasi–formulasi yang ada.

(36)

6) Evaluasi (Evaluation)

Evaluasi ini berkaitan dengan kemempuan untuk melakukan justifikasi atau penilaian terhadap suatu obyek atau materi. Penilaian-penilaian ini didasarkan pada suatu kriteria yangditentukan sendiri atau menggunakan kriteria–kriteria yang telah ada (Notoatmodjo, 2007).

d. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Pengetahuan

Menurut Notoatmodjo (2003), pengetahuan seseorang dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu :

1) Pengalaman

Pengalaman dapat diperoleh dari pengalaman sendiri maupun orang lain. Pengalaman yang sudah diperoleh dapat memperluas pengetahuan seseorang.

2) Tingkat Pendidikan

Pendidikan dapat membawa wawasan atau pengetahuan seseorang. Secara umum, seseorang yang berpendidikan lebih tinggi akan mempunyai pengetahuan yang lebih luas dibandingkan dengan seseorang yang tingkat pendidikannya lebih rendah.

3) Keyakinan

Biasanya keyakinan diperoleh secara turun temurun dan tanpa adanya pembuktian terlebih dahulu. Keyakinan ini bisa mempengaruhi pengetahuan seseorang, baik keyakinan itu sifatnya positif maupun negatif.

(37)

4) Fasilitas

Fasilitas-fasilitas sebagai sumber informasi yang dapat mempengaruhi pengetahuann seseorang, misalnya radio, televisi, majalah, koran, dan buku.

5) Penghasilan

Penghasilan tidak berpengaruh langsung terhadap pengetahuan seseorang. Namun bila seseorang berpenghasilan cukup besar maka dia akan mampu untuk menyediakan atau membeli fasilitas-fasilitas sumber informasi.

6) Sosial Budaya

Kebudayaan setempat dan kebiasaan dalam keluarga dapat mempengaruhi pengetahuan, persepsi, dan sikap seseorang terhadap sesuatu.

e. Pengukuran Pengetahuan

Pengukuran pengetahuan dapat dilakukan dengan wawancara atau angket yang menyatakan tentang isi materi yang ingin diukur dari subyek penelitian atau responden. Kedalaman pengetahuan yang ingin kita ketahui atau kita ukur dapat disesuaikan dengan tingkatan domain di atas (Notoatmodjo, 2007).

Beberapa teori lain yang telah dicoba untuk mengungkapkan determinan perilaku dari analisis faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku, khususnya perilaku yang berhubungan dengan kesehatan, antara lain teori Lawrence Green (Green, dalam Notoatmodjo,2003)

(38)

mencoba menganalisa perilaku manusia dari tingkat kesehatan. Kesehatan seseorang atau masyarakat dipengaruhi perilaku (non behaviour causes).

Perilaku itu sendiri ditentukan atau dibentuk dari 3 faktor, yaitu : 1) Faktor-faktor pengaruh (predisposing factor) yang terwujud dalam

pengetahuan, sikap, kepercayaan, keyakinan, dan nilai–nilai.

2) Faktor-faktor pendukung (enabling factor) yang terwujud dalam lingkungan fisik, tersedia atau tidak tersedianya fasilitas–fasilitas atau sarana-sarana kesehatan.

3) Faktor-faktor penguat ( reinforcing factor) yang terwujud dalam sikap dan perilaku petugas kesehatan.

(39)

B. Kerangka Teori Fokal Stimulus Kontekstual Stimulus Respon Inefektif Respon Adaptif Fungsi fisiologis Konsep diri Fungsi Peran Interdependensi Regulator Kognator Sistem Adaptasi Residual Stimulus Sumber : Roy, 1991 C. Kerangka Konsep Variabel Bebas Pengetahuan Remaja Tentang Menstruasi Variabel Terikat Koping Remaja Dalam Menghadapi Dismenorhea

Faktor X : Pengetahuan remaja putri tentang menstruasi.

(40)

D. Variabel Penelitian

1. Variabel Bebas (Independen)

Dalam penelitian ini yang menjadi variabel bebas adalah pengetahuan remaja tentang menstruasi.

2. Variabel Terikat (Dependen)

Dalam penelitian ini yang menjadi variabel terikat yaitu koping remaja menghadapi dismenorhea

E. Hipotesa

Berdasarkan kerangka konsep tersebut diatas maka dalam hipotesis penelitian yang ditegakkan adalah:

Adanya hubungan antara tingkat pengetahuan remaja putri tentang menstruasi dengan koping menghadapi dismenorhea.

Referensi

Dokumen terkait

Bentuk tubuh juga menjadi pertimbangan, jika kamu gemuk jangan pakai celana ketat sampai lututmu tidak terlihat, maka kenakan pakaian bergaris vertikal atau memanjang agar

- Merupakan wadah yang digunakan untuk menghimpun dana dari pemodal untuk diinvestasikan dalam portofolio efek oleh Manajer Investasi, yang pelaksanaan dan pengelolaannya

Pada hasil penelitian yang relevan dengan pendekatan evaluasi model CSE UCLA bahwa pelaksanaan pembelajaran pendidikan jasmani olahraga dan kesehatan juga erat sekali

(Raise The Red Lantern, 01:01:04-01:01:18) Dari tindakan Yan'er di atas dapat terlihat bahwa Yan'er tidak menyukai kehadiran Song Lian sebagai istri baru Chen Zuoqian dengan

Perencanaan dan Evaluasi Kinerja Perangkat Daerah - Dinas Kearsipan dan Perpustakaan. Kegiatan Penyediaan Perlengkapan Pendukung

Dampak dari pemalsuan umur pernikahan bagi masyarakat Dusun Cungkingan, Desa Badean, Kecamatan Kabat, Kabupaten Banyuwangi ... Analisis Data

Kunci Ide : Kita dapat membangun 95% selang kepercayaan dari nilai yang masuk akal unutk suatu parameter dengan menyertakan semua nilai yang jatuh pada kedua standar deviasi dari