• Tidak ada hasil yang ditemukan

The Preferences of Business Agent in the Development of Natural Silk in South Sulawesi Province (A Case Study in Enrekang Regency) ABSTRACT

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "The Preferences of Business Agent in the Development of Natural Silk in South Sulawesi Province (A Case Study in Enrekang Regency) ABSTRACT"

Copied!
11
0
0

Teks penuh

(1)

1

PREFERENSI PELAKU USAHA DALAM PENGEMBANGAN PERSUTERAAN

ALAM DI PROVINSI SULAWESI SELATAN

(Studi Kasus di Kabupaten Enrekang)

The Preferences of Business Agent in the Development of Natural Silk

in South Sulawesi Province

(A Case Study in Enrekang Regency)

Ayi Firdaus Maturidy

ABSTRACT

The aim of the research is to identify the preference of business behavior in the

development of natural silk and its suitability with the role done by stakeholder. The

research was descriptive qualitative approach by using a case study method conducted

in Enrekang Regency as the a development area of natural silk. The samples chosen

were Matta Allo Village, Salludewata Village, Kalosi Village, and Buntubarana Village.

The methods of collecting the data were sample selection methode, interview and

documentation. The data were analyzed by using descriptive methods. The results

reveal that the development of natural silk in Enrekang Regency is strongly supported

by social aspects of community involving age, education and business development.

The decrease of silkworm eggs and limitedness of capital facility are the main

preferences of business agent. The preferences that have not been implemented are the

revitalization of production unit of silkworm egg and the supply of cocoon dried. The

role of stakeholders which is not directly related to preferences could support the

success of appropriate role. The implementation of stakeholders role is not optimal

because of the problems of process and the serries of activities which need long period

and allocation limitedness compared to the need of the community. Technical aspect

and the institution of bussiness agents need improving to improve business productivity.

The implementation of stakeholders role also needs improving viewed from either

quantity aspect or quality aspect.

Keywords: preference, development, business agent, stakeholder, and suitability

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui preferensi pelaku usaha dalam

pengembangan persuteraan alam dan kesesuaiannya dengan peran yang dilakukan oleh

stakeholder. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif. Jenis penelitian adalah

deskriptif dengan menggunakan metode studi kasus. Penelitian ini dilakukan di

(2)

2

Kabupaten Enrekang sebagai daerah pengembangan persuteraan alam, dengan

mengambil sampel secara sengaja di Desa Matta Allo, Desa Salludewata, Kelurahan

Kalosi, dan Desa Buntubarana. Pengumpulan data dilakukan melalui wawancara dengan

pelaku usaha dan stakeholder. Data dianalisis dengan analisis kualitatif. Hasil penelitian

menunjukkan bahwa pengembangan persuteraan alam di Kabupaten Enrekang sangat

didukung aspek sosial masyarakat seperti umur, pendidikan dan pengalaman berusaha.

Penurunan kualitas telur ulat sutera dan keterbatasan sarana modal produksi merupakan

preferensi utama pelaku usaha. Peran stakeholder sebagian besar telah bersesuaian

dengan preferensi pelaku usaha. Preferensi yang belum diimplementasikan adalah

revitalisasi unit produksi telur ulat sutera dan pengadaan alat pengering kokon. Peran

stakeholder yang tidak terkait langsung dengan preferensi dapat menunjang

keberhasilan peran yang bersesuaian. Implementasi peran stakeholder belum optimal

karena permasalahan proses dan rangkaian kegiatan yang memerlukan waktu yang

panjang, serta keterbatasan alokasi jika dibandingkan dengan kebutuhan di masyarakat.

Aspek teknis dan kelembagaan pelaku usaha perlu ditingkatkan untuk

meningkatkan produktifitas usaha. Implementasi peran stakeholder perlu ditingkatkan,

baik dari segi kuantitas maupun kualitas.

Kata kunci: preferensi, pengembangan, pelaku usaha, stakeholder, kesesuaian

I.

PENDAHULUAN

Propinsi Sulawesi Selatan merupakan salah satu daerah sasaran pengembangan

persuteraan alam nasional. Sampai saat ini, Provinsi Sulawesi Selatan masih merupakan daerah

penghasil sutera terbesar di Indonesia dan memberikan kontribusi sekitar 70% terhadap

produksi benang nasional.

Kegiatan usaha persuteraan alam di Provinsi Sulawesi Selatan sangat didukung oleh

kondisi agroklimat dan juga sosial budaya masyarakat yang dekat dengan budaya sutera alam.

Kegiatan budidaya sutera di Sulawesi Selatan dilakukan oleh masyarakat yang tersebar di

beberapa kabupaten.

Perkembangan usaha persuteraan alam di Provinsi Sulawesi Selatan dari tahun ketahun

sangat fluktuatif dan cenderung mengalami penurunan. Penurunan produksi kokon dan benang

dari tahun ke tahun mengindikasikan bahwa strategi pembinaan dan pengembangan persuteraan

alam pada saat ini belum dapat memberikan pengaruh yang signifikan bagi peningkatan

produksi kokon dan benang.

Kondisi ini tentunya perlu mendapat perhatian serius untuk mengantisipasi kondisi yang

tidak menguntungkan semua pihak yang terlibat sebagai pelaku kegiatan persuteraan alam,

terutama untuk jangka panjang ke depan.

II.

METODE PENELITIAN

Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan kualitatif dengan

jenis penelitian deskriptif. Kegiatan penelitian ini dilaksanakan pada bulan September –

Desember 2010 di Kabupaten Enrekang Propinsi Sulawesi Selatan.

(3)

3

Data dan informasi digali melalui wawancara mendalam dengan informan yang

ditentukan dengan sengaja. Jumlah informan dari pelaku usaha sebanyak 20 orang, dan

informan dari stakeholder sebanyak 12 orang.

III.

HASIL DAN PEMBAHASAN

1.

Potensi Persuteraan Alam

Budidaya tanaman Murbei di Kabupaten Enrekang tersebar di 23 Desa pada 5

Kecamatan, yaitu Kecamatan Alla, Anggeraja, Curio, Malua dan Baraka. Jumlah petani yang

terlibat dalam budidaya ulat sutera sebanyak 1.554 kk.

Potensi tanaman murbei sebagai pakan ulat sutera di Kabupaten Enrekang mencapai

716,5 ha dan lahan potensial yang dapat dikembangkan mencapai 89 ha. Jenis tanaman murbei

yang ditanam bervariasi antara lain Morus multicaulis, M. Nigra, M. Cathayana, dan M.

indica.

Potensi industri usaha pemintalan terletak di Kecamatan Alla dan Kecamatan Curio,

terutama di Desa Matta Allo dan Desa Buntu Barana. Usaha pemintalan benang sutera

sebanyak 566 unit usaha dan dapat menyerap tenaga kerja sekitar 1.800 orang, dengan

kapasitas produksi 30 ton pertahun.

2.

Karakteristik Pelaku Usaha Persuteraan Alam di Kabupaten Enrekang

Dari aspek sosial, dilihat tiga indikator seperti umur, pendidikan dan pengalaman

berusaha dibidang persuteraan alam. Tingkat umur pelaku usaha sudah cukup relatif matang

yaitu rata-rata 50,7 tahun dengan tingkat pendidikan pelaku usaha yaitu 9,5 tahun. Pelaku usaha

potensial mempunyai respon yang relatif baik terhadap penerimaan informasi dan pemanfaatan

teknologi, baik teknologi produksi maupun teknologi pengolahan hasil.

Pengalaman petani dalam berusaha tani pada daerah pengembangan telah mencapai

17,4 tahun. Pengalaman ini dapat dianggap cukup matang dan mampu meningkatkan

keterampilan petani untuk mengelola usaha tani sutera alam.

Dari aspek teknis luas rata-rata kebun murbei yang dikuasai oleh petani di Kabupaten

Enrekang adalah 0,3 hektar dengan jarak tanam murbei di petani ulat rata-rata sekitar 30 x 20

cm. Hasil wawancara dikemukakan bahwa jarak tanam ini dibuat dengan tujuan untuk menekan

pertumbuhan rumput karena tanah menjadi lembab dan tidak terkena sinar matahari.

Jumlah telur yang dipelihara per periode antara 1 – 1,5 boks. Jika dibandingkan dengan

luas rata-rata tanaman murbei, jumlah tersebut telah sesuai, karena kebutuhan pakan ulat untuk

1 boks telur ulat sutera rata-rata 0,25 ha. Pemeliharaan ulat sutera di petani rata-rata 6 periode

per tahun, walaupun hasil wawancara memperlihatkan bahwa pemeliharaan dapat dilakukan

sampai dengan 10 kali dalam satu tahun. Jumlah periode pemeliharaan ulat sutera di Kabupaten

Enrekang sangat didukung oleh kondisi iklim.

Dari aspek kelembagaan, pelaku usaha persuteraan alam di Kabupaten Enrekang,

terutama petani ulat sutera dan pemintal, sebagian besar terhimpun dalam wadah kelompok tani

dan atau koperasi. Keberadaan kelompok tani dan koperasi ini sebagian besar dibentuk karena

adanya persyaratan dalam pembelian telur ulat sutera dan penerimaan bantuan.

Pola kerja kelompok tani sutera alam adalah mengkoordinir pemesanan bahan baku,

seperti telur ulat sutera dan kokon, serta pemasaran hasil produksi. Pengadaan bahan baku, telur

bagi petani ulat dan kokon bagi pemintal, dilakukan oleh Ketua Kelompok Tani. Hasil kokon

dan benang kemudian diserahkan kembali kepada Ketua Kelompok Tani untuk dijual.

(4)

4

3.

Preferensi Pelaku Usaha Dalam Pengembangan Persuteraan Alam Di Kabupaten

Enrekang

Preferensi pelaku usaha persuteraan alam didasarkan pada permasalahan yang

dihadapi. Hasil identifikasi memperlihatkan bahwa penurunan kualitas telur ulat sutera dan

keterbatasan modal sarana produksi menjadi 2 (dua) masalah utama dalam pengembangan

persuteraan alam di Kabupaten Enrekang.

a.

Penurunan Kualitas Telur Ulat Sutera

Salah satu kunci keberhasilan pemeliharaan ulat sutera adalah tersedianya telur ulat

sutera yang dapat menghasilkan ulat sutera yang berkualitas tinggi. Kualitas telur ulat sutera

yang digunakan sangat tergantung pada kombinasi ras induk yang disilangkan, teknik

pemeliharaan ulat, kualitas dan kuantitas daun murbei, pencegahan dan pengendalian penyakit

dan proses produksi telur.

Permasalahan penurunan kualitas telur ulat sutera dapat disebabkan oleh beberapa

faktor, antara lain kualitas genetik ulat sutera rendah, teknik pemeliharaan bibit induk yang

tidak sesuai standar, serta sarana produksi yang kurang memadai. Tingkat mortalitas ulat sutera

yang tinggi dan jumlah telur ulat sutera perboks yang tidak sesuai standar dapat mengakibatkan

produksi kokon rendah.

Gambar 12. Analisis Pohon Masalah Penurunan Kualitas Telur Ulat Sutera di Kabupaten

Enrekang

Jumlah telur ulat sutera per boks, sesuai dengan keterangan yang tertera dalam

kemasan, adalah 20.000 butir telur. Menurunnya jumlah telur ulat sutera per boks tentunya

akan berdampak langsung pada menurunnya jumlah produksi kokon per boks.

Penurunan Kualitas Telur Ulat Sutera F1

Kualitas Sumber Genetik Rendah

Teknik Pemeliharaan Induk Tidak Sesuai

Standar Teknis

Sarana Produksi Tidak Sesuai Standar Daya Tetas Telur Ulat

Sutera F1 Rendah

Mortalitas Ulat Sutera F1 Tinggi

Penurunan Produksi Kokon

(5)

5

Salah satu karakteristik telur ulat sutera yang berkualitas adalah tahan terhadap hama

penyakit. Hama penyakit dapat terjadi pada proses produksi telur F1 maupun pemeliharaan ulat

F1 di petani.

Telur berwarna kuning mengindikasikan bahwa telur ulat sutera tersebut tidak dibuahi

pada saat persilangan. Kondisi ini dapat diakibatkan oleh jangka waktu persilangan yang

singkat atau temperatur pada saat persilangan terlalu tinggi. Persilangan induk ulat sutera

memerlukan waktu sekitar 4 sampai dengan 5 jam. Temperatur ruangan yang dibutuhkan dalam

persilangan induk ulat sutera antara 24 – 25

o

C dengan kelembaban 80%.

Kualitas genetik telur ulat sutera yang dipakai dalam produksi telur ulat sutera sudah

rendah. Kualitas genetik yang rendah dapat disebabkan oleh adanya persilangan sejenis

(in-breeding) dan juga proses seleksi kokon induk yang kurang baik. Persilangan sejenis

dimungkinkan terjadi karena proses produksi telur yang dilakukan secara terus menerus pada

jenis tersebut tanpa adanya proses pemurnian telur ulat sutera.

Teknik pemeliharaan induk ulat sutera sangat mempengaruhi kualitas telur ulat sutera

F1 yang dihasilkan. Proses penetasan telur, pemeliharaan ulat, pemanenan, seleksi kokon dan

persilangan induk harus dilakukan sesuai dengan persyaratan teknis yang tepat.

Sarana prasarana produksi telur ulat sutera juga mempengaruhi kualitas telur ulat sutera

yang dihasilkan. Tempat penyimpanan telur ulat sutera merupakan salah satu peralatan yang

sangat penting dalam produksi telur ulat sutera. Penyimpanan telur bertujuan agar telur yang

dibutuhkan dapat tersedia pada waktunya. Penyimpanan telur disesuaikan dengan perlakuan

yang diberikan kepada telur yang disimpan. Penyimpanan telur ulat sutera juga sangat berkaitan

dengan daya tetas telur. Penyimpanan yang tidak sesuai standar teknis akan mengakibatkan

daya tetas telur ulat sutera menjadi rendah dan tidak serentak.

Dampak penurunan kualitas telur ulat sutera dirasakan juga oleh pemintal, baik

pemintal murni maupun pemintal yang juga melakukan pemeliharaan ulat sutera. Penurunan

kualitas telur yang berdampak pada menurunnya produksi kokon, akan memberikan dampak

pada menurunnya produksi benang sutera yang dihasilkan.

Menurunnya produksi benang sutera yang dihasilkan oleh pemintal, tidak hanya

disebabkan oleh berkurangnya jumlah kokon yang diproduksi, tetapi juga oleh menurunnya

kualitas kokon. Indikator rendahnya kualitas kokon yang dihasilkan antara lain adalah sering

putusnya kokon dalam proses pemintalan dan rendahnya rendemen benang.

Kokon yang berkualitas baik dapat menghasilkan benang sutera dengan rendemen

antara 6 – 7 kg kokon. Sedangkan kokon dengan kualitas jelek dapat menghasilkan benang

dengan rendemen antara 10 – 15 kg kokon.

Penurunan kualitas telur ulat sutera dikeluhkan juga oleh Pedagang/Pembeli kokon.

Dampak dari penurunan kualitas telur ulat sutera, seperti menurunya jumlah petani ulat yang

memelihara ulat sutera dan menurunnya produksi kokon, mengakibatkan ketersediaan kokon di

pasaran menjadi terbatas.

b. Keterbatasan Modal Sarana Produksi

Modal usaha merupakan salah satu faktor pendukung dalam pengembangan usaha

persuteraan alam. Modal usaha dapat dikategorikan menjadi modal kerja dan modal sarana.

(6)

6

Hasil FGD Pelaku Usaha di Kalosi, memperlihatkan bahwa modal kerja bagi petani ulat

tidak menjadi permasalahan. Petani ulat mampu menyediakan biaya produksi untuk pengadaan

bibit dan pupuk. Biaya tenaga kerja tidak diperlukan karena menggunakan tenaga kerja

sendiri/keluarga.

Gambar 13. Faktor-faktor Penyebab Keterbatasan Modal Sarana Produksi

Permasalahan yang muncul terkait modal ditingkat petani ulat adalah keterbatasan

modal untuk merevitalisasi sarana/infrastruktur yang dimiliki. Teknologi yang sangat

sederhana, sudah berumur tua dan rusak, menjadi salah satu faktor menurunnya tingkat

produktifitas usaha.

Sebagian besar sarana pemeliharaan ulat besar (UPUB) petani ulat kondisinya tidak

layak/rusak. Pelaku usaha mengharapkan adanya fasilitasi pemerintah dalam perbaikan sarana

pemeliharaan ulat besar. Fasilitasi ini dibutuhkan karena petani ulat tidak mampu menyiapkan

modal yang cukup untuk merevitalisasi rumah ulat yang rusak.

Ketersediaan tempat pemeliharaan ulat sutera yang layak dan memadai merupakan

salah satu faktor yang menentukan keberhasilan budidaya ulat sutera. Kondisi rumah ulat yang

tidak sesuai dengan kondisi optimal yang dibutuhkan ulat sutera, akan berpengaruh terhadap

produksi kokon.

Sarana lain yang dibutuhkan petani ulat adalah alat pengering kokon. Alat pengering

kokon dibutuhkan pelaku usaha untuk memperpanjang jangka waktu penyimpanan kokon.

Keterbatasan waktu penyimpanan kokon berpengaruh terhadap daya tawar petani ulat

terhadap harga kokon. Sehingga petani ulat kadang merasa dipermainkan oleh pedagang atau

pengumpul kokon.

4.

Peran Stakeholders dalam Pengembangan Persuteraan Alam di Kabupaten

Enrekang

Dalam pendekatan kluster, pemerintah merupakan elemen kunci dan mempunyai

driven power yang paling besar dalam pengembangan persuteraan alam (Tarigan, 2008). Hasil

Keterbatasan Modal Sarana Produksi

Sarana Produksi Tidak Sesuai Standar Teknis

Jumlah Sarana Tidak Sesuai Kebutuhan

Penurunan Produksi

Banyaknya Sarana Prasarana Rusak

Modal Kerja Petani Rendah Kemampuan Teknis

(7)

7

identifikasi mengenai peran pemerintah dalam pengembangan persuteraan alam di Kabupaten

Enrekang, memperlihatkan bahwa pemerintah melakukan peran dalam perumusan regulasi,

pendidikan dan pelatihan, fasilitasi bantuan peralatan/sarana, fasilitasi pertemuan dan penelitian.

Stakeholder yang terkait dalam pengembangan persuteraan alam di Kabupaten

Enrekang terdiri dari beberapa instansi pemerintahan, baik tingkat pusat maupun daerah. Peran

yang dilakukan oleh masing-masing stakeholder disesuaikan dengan tugas pokok dan fungsi

yang melekat.

Gambar 14. Beberapa faktor yang mempunyai driven power yang kuat dalam Pengembangan

Persuteraan Alam di Kabupaten Enrekang.

Peran stakholder harus difokuskan pada kendala-kendala yang dihadapi. Kendala

dalam kualitas telur ulat sutera, keterbatasan sarana produksi dan penurunan kualitas produk

merupakan preferensi pelaku usaha dalam pengembangan persuteraan alam di Kabupaten

Enrekang.

5.

Kesesuaian Peran Stakeholder dan Preperensi Pelaku Usaha

a.

Peningkatan Kualitas Telur Ulat Sutera

Dari aspek regulasi, Kementerian Kehutanan telah menerbitkan Peraturan Menteri

Kehutanan (Permenhut) Nomor:P.56/Menhut-II/2007 tentang Pengadaan dan Peredaran Telur

Ulat Sutera. Peraturan ini dimaksudkan sebagai upaya untuk meningkatan kualitas dan

kuantitas telur ulat sutera, serta menjamin mutu dan ketersediaan kokon.

Regulasi lain dalam rangka peningkatan kualitas telur ulat sutera adalah Peraturan

Direktur Jenderal (Dirjen) Rehabilitasi Lahan dan Perhutanan Sosial (RLPS) Nomor:

No.P.15/V-Set/2008 tanggal 24 Desember 2008 tentang Petunjuk Teknis Sertifikasi Telur Ulat

Sutera Bebas Pebrine. Peraturan ini merupakan turunan dari Permenhut P.56 Tahun 2007.

Regulasi lain dari Kementerian Kehutanan adalah dengan mendatangkan Silver Expert

dari Jepang melalui kerjasama dengan JICA. Kerjasama ini bertujuan sebagai wadah alih

teknologi dan pengetahuan tentang pemuliaan ulat sutera untuk mendapatkan jenis-jenis ulat

sutera yang unggul.

Peran pemerintah daerah, sesuai dengan Permenhut P.56 Tahun 2007, adalah pemberian

ijin bagi pengada dan pengedar telur ulat sutera. Pemberian ijin dilakukan atas rekomendasi

teknis dari Balai Persuteraan Alam (BPA).

Pengembangan Persuteraan Alam melalui Pedekatan Kluster di

Kabupaten Enrekang Stakholder 1. Kemeterian Kehutanan 2. Kementerian Perindustrian 3. Kemeterian Kop & UKM 4. Pemda Tk. I 5. Pemda Tk. II Peran Stakholder 1. Perumusan Regulasi 2. Fasilitasi Bantuan 3. Fasilitasi Pertemuan 4. Fasilitasi Diklat 5. Penelitian Kendala

1. Penurunan Kualitas Bahan Baku (Telur Ulat Sutera dan Kokon) 2. Keterbatasan dan Penurunan

Kualitas Sarana Produksi 3. Penurunan Kualitas Produk

Kebutuhan

1. Peningkatan Kualitas Telur Ulat Sutera

2. Peningkatan Kualitas dan Kuantitas Sarana Produksi 3. Peningkatan Kualitas Produk

(8)

8

Dalam aspek peningkatan sarana/infrastruktur, kontribusi Balai Persuteraan Alam baru

pada tahap pelaksanaan kegiatan pemuliaan ulat sutera dan studi adaptasi. Kegiatan pemuliaan

dan studi adaptasi menggunakan induk ulat sutera yang dimiliki oleh Balai Persuteraan Alam

dan diharapkan dapat memberikan alternatif jenis ulat sutera baru yang unggul. Pemuliaan

dimaksudkan untuk memanipulasikan gen pada populasi yang mempunyai sifat-sifat yang baik

dalam rangka memperbaiki kandungan dan kualitas sutera. Sedangkan studi adaptasi dilakukan

untuk mengetahui tingkat adaptibilitas ulat sutera terhadap kondisi iklim setempat.

Peningkatan sarana dan infrastruktur dalam rangka peningkatan kualitas telur ulat sutera

seharusnya tidak hanya pada pengadaan jenis ulat sutera baru. Pengadaan atau revitalisasi

sarana produksi telur ulat sutera merupakan peran lain yang perlu dilakukan. Penyimpanan telur

ulat sutera memerlukan suhu dan kelembaban tertentu yang stabil. Kondisi tempat

penyimpanan yang sudah tidak sesuai dengan standar teknis dapat berdampak langsung pada

rendahnya daya tetas telur ulat sutera.

Dari aspek peningkatan sumberdaya manusia, kontribusi Balai Persuteraan Alam dalam

peningkatan kualitas telur ulat sutera dilakukan melalui kegiatan pengawasan produksi dan

peredaran telur ulat sutera, serta kegiatan pembinaan teknis pengada dan pengedar telur ulat

sutera. Kegiatan-kegiatan tersebut dilakukan untuk memberikan bimbingan teknis dan

pengawasan terhadap proses produksi telur. Sehingga telur ulat sutera F1 yang dihasilkan dapat

dihasilkan melalui penerapan teknik pemeliharaan yang sesuai standar teknis.

b. Peningkatan Modal Sarana Produksi

Dari aspek regulasi, hanya Kementerian Koperasi dan UMKM menerbitkan peraturan,

baik pada tingkat menteri maupun deputi. Peraturan-peraturan ini merupakan pedoman dan atau

petunjuk teknis mengenai pemberian bantuan peningkatan modal sarana dan infrastruktur pada

koperasi persuteraan alam.

Dari aspek peningkatan sarana dan infrastruktur, seluruh stakeholder memberikan

fasilitasi dalam bentuk bantuan sarana dan infrastruktur usaha. Stakeholders di bidang

kehutanan memberikan kontribusi dalam peningkatan produktifitas budidaya ulat sutera melalui

pembuatan dan rehabilitasi UPUK/UPUB serta pembuatan model usaha persuteraan alam.

Stakeholder di bidang perindustrian dan koperasi lebih fokus pada pengembangan

industri. Fasilitasi yang diberikan dalam rangka peningkatan sarana/infrastruktur adalah

bantuan pengadaan mesin pintal, baik sederhana maupun semi otomatis, serta peralatan

finishing benang.

Kegiatan-kegiatan tersebut bersesuaian dengan preferensi pelaku usaha di bidang

persuteraan alam. Pembangunan dan perbaikan UPUK/UPUB, serta pembangunan model usaha

bersesuaian dengan permasalahan yang dihadapi pelaku usaha, yaitu kerusakan sebagian besar

rumah ulat dan biaya pembangunan rumah ulat yang tinggi. Fasilitasi bantuan peralatan

pemintalan sederhana bersesuaian dengan jumlah kapasitas peralatan yang belum mencukupi.

Sedangkan fasilitasi mesin semi otomatis dan finishing benang, selain bersesuaian dengan

jumlah kapasitas produksi, juga bersesuaian dengan kendala standar teknis.

Hasil identifikasi dilapangan memperlihatkan bahwa tidak optimalnya implementasi

peran stakeholder dalam rangka peningkatan sarana produksi antara lain diakibatkan oleh

banyaknya rumah ulat petani yang memerlukan perbaikan. Selain itu permasalahan yang terkait

dengan peningkatan sarana produksi adalah penentuan lokasi yang kurang tepat dan adanya

penguasaan secara pribadi terhadap aset kelompok. Aspek teknis pembuatan rumah ulat juga

(9)

9

menjadi permasalahan lain. Pembuatan rumah ulat membutuhkan persyaratan-persyaratan teknis

tertentu sesuai dengan kebutuhan ulat sutera.

Peran stakholder dibidang perindustrian dan koperasi juga bersesuaian dengan

preferensi yang diinginkan oleh pelaku usaha dibidang pemintalan. Fasilitasi dalam bentuk

bantuan peralatan mesin pintal, baik sederhana maupun semi otomatis, bertujuan meningkatkan

produktifitas usaha. Pemberian bantuan alat pemintalan semi otomatis dilakukan untuk

meningkatkan kualitas benang sutera yang dihasilkan.

Permasalahan dalam fasilitasi bantuan peralatan mesin semi otomatis adalah kurang

ditunjang dengan sarana pendukung lain. Tidak tersedianya sumberdaya energi yang memadai

menjadi salah satu penyebab peralatan tidak dapat dioperasionalkan secara maksimal.

Fasilitasi bantuan peralatan pintal sederhana berlawanan dengan tujuan peningkatan

kualitas produk. Pengembangan industri pemintalan tradisional di Kabupaten Enrekang harus

diarahkan pada pembuatan produk-produk kerajinan tangan (hand made).

Dari aspek peningkatan kapasitas sumberdaya manusia (SDM), stakholder yang

memberikan kontribusinya adalah Balai Persuteraan Alam, Pemerintah Provinsi dan Pemerintah

Kabupaten. Kontribusi yang diberikan antara lain pelatihan, pembinaan teknis dan temu

usaha/bisnis.

Kegiatan pelatihan, pembinaan teknis dan temu usaha/bisnis diarahkan sebagai media

untuk meningkatkan kemampuan manajerial dan pengembangan jejaring kelompok tani dalam

mengakses pasar dan permodalan. Kegiatan ini dapat dijadikan alternatif kegiatan untuk

menyelesaikan kendala permodalan pelaku usaha.

Peran yang diimplementasikan oleh stakeholder tidak seluruhnya bersesuaian dengan

preferensi pelaku usaha. Hasil analisis memperlihatkan bahwa peran stakeholder tersebut

sifatnya dapat mendukung peran-peran yang bersesuaian. Fasilitasi pembuatan dan

pemeliharaan tanaman murbei bertujuan untuk meningkatkan produktifitas tanaman murbei,

baik dari segi kualitas maupun kuantitas. Kegiatan ini dilakukan untuk memperbaiki

karakteristik tanaman murbei pelaku usaha yang memiliki produktifitas rendah.

Kegiatan lain yang tidak bersesuaian adalah pengadaan bantuan telur ulat sutera.

Sebagian besar pelaku usaha mengaku bahwa modal kerja tidak menjadi masalah karena sistem

di pasar telah terbentuk dalam pengadaan bahan baku.

Dari aspek pengembangan sumberdaya manusia dan kelembagaan, terdapat beberapa

peran stakeholder yang tidak terkait langsung dengan preferensi pelaku usaha. Hasil identifikasi

memperlihatkan bahwa peran-peran tersebut dapat menunjang peran-peran utama. Pelatihan

teknis, baik bagi pelaku usaha maupun fasilitator, bertujuan untuk meningkatkan pengetahuan

dan keterampilan pelaku usaha dan fasilitator dalam usaha persuteraan alam. Kegiatan ini dapat

menunjang peran dalam rangka optimalisasi sarana produksi. Kegiatan studi banding dilakukan

untuk memberikan wawasan dan pengetahuan mengenai budidaya sutera alam di wilayah lain.

Pengetahuan dan wawasan ini dapat digunakan sebagai bahan perbandingan mengenai

kelembahan dan kelebihan pengelolaan sutera alam di Kabupaten Enrekang.

IV.

KESIMPULAN

1. Karakteristik pelaku usaha persuteraan alam di Kabupaten Enrekang adalah sebagai

berikut:

a. Dari aspek sosial budaya, pelaku usaha rata-rata berusia 50,7 tahun dengan

pengalaman kerja rata-rata 9,5 tahun dan 17,4 tahun. Usia yang matang dan

(10)

10

pendidikan pada tingkat SMP memberikan indikasi dalam kemudahan menerima

introduksi pengetahuan dan teknologi baru.

b. Dari aspek teknis, luas kebun rata-rata yang dipelihara oleh petani ulat adalah 0,3 ha

dengan jarak tanam rata-rata 30 x 20 cm. Luas rata-rata tanaman yang dipelihara

oleh petani merupakan potensi yang besar tetapi produktifitasnya yang rendah.

Jumlah telur yang dipelihara rata-rata 1 – 1,5 boks per periode dengan produksi

kokon yang masih rendah dengan rata-rata sebesar 15 - 25 kg per boks.

Kegiatan pemintalan sebagian besar dilakukan dengan alat pintal sederhana dengan

menggunakan kokon segar. Pemintalan dengan alat pintal sederhana menghasilkan

benang sutera mentah (raw silk).

c. Kelembagaan pelaku usaha persuteraan alam belum berjalan sesuai fungsinya.

Kelembagaan dalam bentuk kelompok tani hanya difungsikan dalam penerimaan

bantuan, pengadaan bahan baku dan pemasaran hasil produksi.

2. Preferensi pelaku usaha dalam pengembangan persuteraan alam di Kabupaten Enrekang

adalah penurunan kualitas telur ulat sutera dan keterbatasan modal sarana produksi.

Peningkatan kualitas telur ulat sutera sangat dibutuhkan karena kondisi telur ulat sutera F1

yang diedarkan di masyakarat belum memberikan jaminan kualitas yang baik. Fasilitasi

peningkatan modal sarana produksi diperlukan pelaku usaha karena memerlukan modal

yang besar.

3. Peran yang dilakukan oleh stakeholder dalam pengembangan persuteraan alam di

Kabupaten Enrekang sebagian besar telah sesuai dengan preferensi pelaku usaha. Peran

yang belum dilakukan terkait preferensi penuruan kualitas telur ulat sutera adalah

peningkatan kualitas sarana produksi pada usaha produksi telur F1 (Perum Perhutani).

Implementasi peran stakeholder dalam peningkatan kualitas telur ulat sutera sangat

berkaitan dengan proses dan rangkaian kegiatan pemuliaan dan studia adaptasi jenis-jenis

baru yang panjang. Implementasi peran dalam peningkatan modal sarana produksi sangat

terkait dengan keterbatasan alokasi dibandingkan dengan kebutuhan di masyarakat.

Peran-peran stakeholder yang tidak berkaitan langsung dengan preferensi pelaku usaha, dapat

menunjang keberhasilan peran-peran yang bersesuaian dengan preferensi pelaku usaha.

V.

SARAN

1. Implementasi peran stakeholder dalam pengembangan persuteraan alam harus dilakukan

dengan skala prioritas atas kebutuhan di masyarakat. Perencanaan harus disusun secara

komprehensif dan partisipatif.

2. Peran stakeholder lebih pada menciptakan kondisi iklim usaha yang kondusif bagi usaha

persuteraan alam melalui regulasi dan fasilitasi, serta peningkatan pemahaman dan

kemampuan masyarakat dalam menciptakan dan menghargai barang yang berkualitas.

DAFTAR PUSTAKA

Balai Persuteraan Alam. 2009. “Pedoman Teknik Budidaya Sutera Alam”.

________. 2010c. :”Laporan Hasil Inventarisasi Potensi Persuteraan Alam di Kabupaten

Enrekang”.

Dephut. 2006. “Rencana Induk Pengembangan Persuteraan Alam Nasional”. Departemen

Kehutanan.

(11)

11

Ditjen IKM. 2008. “Peranan Depperin dalam Pengembangan IKM Sutera Alam”. Makalah pada

Workshop Persuteraan Alam Nasional. Makasar, 19 – 22 Agustus 2008.

Peraturan Menteri Kehutanan Nomor:P.19/Menhut-II/2009 tentang Strategi Pengembangan

HHBK Nasional

Peraturan Menteri Kehutanan Nomor:P.56/Menhut-II/2007 tentang Pengadaan dan Peredaran

Telur Ulat Sutera

PSKMP. 2004. “Promosi Pembangunan Daerah melalui Pengembangan Komoditi Unggulan

Sutera di Sulawesi Selatan.

Salman, D. 2005. “Pembangunan Partisipatoris”. Modul Konsentrasi Manajemen Perencanaan

Program Studi Manajemen Pembangunan. Unhas. Makassar.

Tarigan, Djoni. 2008. “Strategi Pengembangan Agroindustri Sutera Alam melalui Pendekatan

Kluster”. Disertasi. Sekolah Pasca Sarjana-IPB. Tidak dipublikasikan.

Gambar

Gambar 12.  Analisis Pohon Masalah Penurunan Kualitas Telur Ulat Sutera di Kabupaten  Enrekang
Gambar 13. Faktor-faktor Penyebab Keterbatasan Modal Sarana Produksi
Gambar 14. Beberapa faktor yang mempunyai driven power yang kuat dalam Pengembangan  Persuteraan Alam di Kabupaten Enrekang

Referensi

Dokumen terkait

Hasil uji RBT terhadap 2 orang petugas kesehatan hewan menunjukkan hasil yang positif RBT yang sering menangani inseminasi buatan dan vaksinasi brucellosis terhadap

[r]

→ Menjawab pertanyaan tentang materi Analisis Komponen laporan hasil usaha budidaya pembenihan ikan hias yang terdapat pada buku pegangan peserta didik atau lembar kerja yang

Kegiatan persuteraan alam di Kabupaten Enrekang dilakukan secara terpisah, kegiatan pemeliharaan murbei dan pemeliharaan ulat sutera dilakukan oleh kelompok tani di Desa

2016.. Usulan Perbaikan..., Shuhuf, Fakultas Teknik 2016.. Fajar Surya Wisesa Tbk merupakan perusahaan yang bergerak di bidang pengolahan limbah kertas menjadi barang

Penelitian mengenai daya antibakteri ekstrak etanolik daun salam terhadap Streptococcus mutans penyebab karies gigi diharapkan dapat memberikan pengetahuan kepada

Penelitian ini dilatarbelakangi oleh kenyataan bahwa terdapat banyak permasalahan yang ditemukan dalam pembelajaran menulis. Permasalahan dalam pembelajaran

PARA PIHAK telah sepakat untuk menyelenggarakan kerjasama Penanaman Pohon di Lingkup Kampus Universitas Muhammadiyah Semarang, sesuai dengan ketentuan yang