1
PREFERENSI PELAKU USAHA DALAM PENGEMBANGAN PERSUTERAAN
ALAM DI PROVINSI SULAWESI SELATAN
(Studi Kasus di Kabupaten Enrekang)
The Preferences of Business Agent in the Development of Natural Silk
in South Sulawesi Province
(A Case Study in Enrekang Regency)
Ayi Firdaus Maturidy
ABSTRACT
The aim of the research is to identify the preference of business behavior in the
development of natural silk and its suitability with the role done by stakeholder. The
research was descriptive qualitative approach by using a case study method conducted
in Enrekang Regency as the a development area of natural silk. The samples chosen
were Matta Allo Village, Salludewata Village, Kalosi Village, and Buntubarana Village.
The methods of collecting the data were sample selection methode, interview and
documentation. The data were analyzed by using descriptive methods. The results
reveal that the development of natural silk in Enrekang Regency is strongly supported
by social aspects of community involving age, education and business development.
The decrease of silkworm eggs and limitedness of capital facility are the main
preferences of business agent. The preferences that have not been implemented are the
revitalization of production unit of silkworm egg and the supply of cocoon dried. The
role of stakeholders which is not directly related to preferences could support the
success of appropriate role. The implementation of stakeholders role is not optimal
because of the problems of process and the serries of activities which need long period
and allocation limitedness compared to the need of the community. Technical aspect
and the institution of bussiness agents need improving to improve business productivity.
The implementation of stakeholders role also needs improving viewed from either
quantity aspect or quality aspect.
Keywords: preference, development, business agent, stakeholder, and suitability
ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui preferensi pelaku usaha dalam
pengembangan persuteraan alam dan kesesuaiannya dengan peran yang dilakukan oleh
stakeholder. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif. Jenis penelitian adalah
deskriptif dengan menggunakan metode studi kasus. Penelitian ini dilakukan di
2
Kabupaten Enrekang sebagai daerah pengembangan persuteraan alam, dengan
mengambil sampel secara sengaja di Desa Matta Allo, Desa Salludewata, Kelurahan
Kalosi, dan Desa Buntubarana. Pengumpulan data dilakukan melalui wawancara dengan
pelaku usaha dan stakeholder. Data dianalisis dengan analisis kualitatif. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa pengembangan persuteraan alam di Kabupaten Enrekang sangat
didukung aspek sosial masyarakat seperti umur, pendidikan dan pengalaman berusaha.
Penurunan kualitas telur ulat sutera dan keterbatasan sarana modal produksi merupakan
preferensi utama pelaku usaha. Peran stakeholder sebagian besar telah bersesuaian
dengan preferensi pelaku usaha. Preferensi yang belum diimplementasikan adalah
revitalisasi unit produksi telur ulat sutera dan pengadaan alat pengering kokon. Peran
stakeholder yang tidak terkait langsung dengan preferensi dapat menunjang
keberhasilan peran yang bersesuaian. Implementasi peran stakeholder belum optimal
karena permasalahan proses dan rangkaian kegiatan yang memerlukan waktu yang
panjang, serta keterbatasan alokasi jika dibandingkan dengan kebutuhan di masyarakat.
Aspek teknis dan kelembagaan pelaku usaha perlu ditingkatkan untuk
meningkatkan produktifitas usaha. Implementasi peran stakeholder perlu ditingkatkan,
baik dari segi kuantitas maupun kualitas.
Kata kunci: preferensi, pengembangan, pelaku usaha, stakeholder, kesesuaian
I.
PENDAHULUAN
Propinsi Sulawesi Selatan merupakan salah satu daerah sasaran pengembangan
persuteraan alam nasional. Sampai saat ini, Provinsi Sulawesi Selatan masih merupakan daerah
penghasil sutera terbesar di Indonesia dan memberikan kontribusi sekitar 70% terhadap
produksi benang nasional.
Kegiatan usaha persuteraan alam di Provinsi Sulawesi Selatan sangat didukung oleh
kondisi agroklimat dan juga sosial budaya masyarakat yang dekat dengan budaya sutera alam.
Kegiatan budidaya sutera di Sulawesi Selatan dilakukan oleh masyarakat yang tersebar di
beberapa kabupaten.
Perkembangan usaha persuteraan alam di Provinsi Sulawesi Selatan dari tahun ketahun
sangat fluktuatif dan cenderung mengalami penurunan. Penurunan produksi kokon dan benang
dari tahun ke tahun mengindikasikan bahwa strategi pembinaan dan pengembangan persuteraan
alam pada saat ini belum dapat memberikan pengaruh yang signifikan bagi peningkatan
produksi kokon dan benang.
Kondisi ini tentunya perlu mendapat perhatian serius untuk mengantisipasi kondisi yang
tidak menguntungkan semua pihak yang terlibat sebagai pelaku kegiatan persuteraan alam,
terutama untuk jangka panjang ke depan.
II.
METODE PENELITIAN
Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan kualitatif dengan
jenis penelitian deskriptif. Kegiatan penelitian ini dilaksanakan pada bulan September –
Desember 2010 di Kabupaten Enrekang Propinsi Sulawesi Selatan.
3
Data dan informasi digali melalui wawancara mendalam dengan informan yang
ditentukan dengan sengaja. Jumlah informan dari pelaku usaha sebanyak 20 orang, dan
informan dari stakeholder sebanyak 12 orang.
III.
HASIL DAN PEMBAHASAN
1.
Potensi Persuteraan Alam
Budidaya tanaman Murbei di Kabupaten Enrekang tersebar di 23 Desa pada 5
Kecamatan, yaitu Kecamatan Alla, Anggeraja, Curio, Malua dan Baraka. Jumlah petani yang
terlibat dalam budidaya ulat sutera sebanyak 1.554 kk.
Potensi tanaman murbei sebagai pakan ulat sutera di Kabupaten Enrekang mencapai
716,5 ha dan lahan potensial yang dapat dikembangkan mencapai 89 ha. Jenis tanaman murbei
yang ditanam bervariasi antara lain Morus multicaulis, M. Nigra, M. Cathayana, dan M.
indica.
Potensi industri usaha pemintalan terletak di Kecamatan Alla dan Kecamatan Curio,
terutama di Desa Matta Allo dan Desa Buntu Barana. Usaha pemintalan benang sutera
sebanyak 566 unit usaha dan dapat menyerap tenaga kerja sekitar 1.800 orang, dengan
kapasitas produksi 30 ton pertahun.
2.
Karakteristik Pelaku Usaha Persuteraan Alam di Kabupaten Enrekang
Dari aspek sosial, dilihat tiga indikator seperti umur, pendidikan dan pengalaman
berusaha dibidang persuteraan alam. Tingkat umur pelaku usaha sudah cukup relatif matang
yaitu rata-rata 50,7 tahun dengan tingkat pendidikan pelaku usaha yaitu 9,5 tahun. Pelaku usaha
potensial mempunyai respon yang relatif baik terhadap penerimaan informasi dan pemanfaatan
teknologi, baik teknologi produksi maupun teknologi pengolahan hasil.
Pengalaman petani dalam berusaha tani pada daerah pengembangan telah mencapai
17,4 tahun. Pengalaman ini dapat dianggap cukup matang dan mampu meningkatkan
keterampilan petani untuk mengelola usaha tani sutera alam.
Dari aspek teknis luas rata-rata kebun murbei yang dikuasai oleh petani di Kabupaten
Enrekang adalah 0,3 hektar dengan jarak tanam murbei di petani ulat rata-rata sekitar 30 x 20
cm. Hasil wawancara dikemukakan bahwa jarak tanam ini dibuat dengan tujuan untuk menekan
pertumbuhan rumput karena tanah menjadi lembab dan tidak terkena sinar matahari.
Jumlah telur yang dipelihara per periode antara 1 – 1,5 boks. Jika dibandingkan dengan
luas rata-rata tanaman murbei, jumlah tersebut telah sesuai, karena kebutuhan pakan ulat untuk
1 boks telur ulat sutera rata-rata 0,25 ha. Pemeliharaan ulat sutera di petani rata-rata 6 periode
per tahun, walaupun hasil wawancara memperlihatkan bahwa pemeliharaan dapat dilakukan
sampai dengan 10 kali dalam satu tahun. Jumlah periode pemeliharaan ulat sutera di Kabupaten
Enrekang sangat didukung oleh kondisi iklim.
Dari aspek kelembagaan, pelaku usaha persuteraan alam di Kabupaten Enrekang,
terutama petani ulat sutera dan pemintal, sebagian besar terhimpun dalam wadah kelompok tani
dan atau koperasi. Keberadaan kelompok tani dan koperasi ini sebagian besar dibentuk karena
adanya persyaratan dalam pembelian telur ulat sutera dan penerimaan bantuan.
Pola kerja kelompok tani sutera alam adalah mengkoordinir pemesanan bahan baku,
seperti telur ulat sutera dan kokon, serta pemasaran hasil produksi. Pengadaan bahan baku, telur
bagi petani ulat dan kokon bagi pemintal, dilakukan oleh Ketua Kelompok Tani. Hasil kokon
dan benang kemudian diserahkan kembali kepada Ketua Kelompok Tani untuk dijual.
4
3.
Preferensi Pelaku Usaha Dalam Pengembangan Persuteraan Alam Di Kabupaten
Enrekang
Preferensi pelaku usaha persuteraan alam didasarkan pada permasalahan yang
dihadapi. Hasil identifikasi memperlihatkan bahwa penurunan kualitas telur ulat sutera dan
keterbatasan modal sarana produksi menjadi 2 (dua) masalah utama dalam pengembangan
persuteraan alam di Kabupaten Enrekang.
a.
Penurunan Kualitas Telur Ulat Sutera
Salah satu kunci keberhasilan pemeliharaan ulat sutera adalah tersedianya telur ulat
sutera yang dapat menghasilkan ulat sutera yang berkualitas tinggi. Kualitas telur ulat sutera
yang digunakan sangat tergantung pada kombinasi ras induk yang disilangkan, teknik
pemeliharaan ulat, kualitas dan kuantitas daun murbei, pencegahan dan pengendalian penyakit
dan proses produksi telur.
Permasalahan penurunan kualitas telur ulat sutera dapat disebabkan oleh beberapa
faktor, antara lain kualitas genetik ulat sutera rendah, teknik pemeliharaan bibit induk yang
tidak sesuai standar, serta sarana produksi yang kurang memadai. Tingkat mortalitas ulat sutera
yang tinggi dan jumlah telur ulat sutera perboks yang tidak sesuai standar dapat mengakibatkan
produksi kokon rendah.
Gambar 12. Analisis Pohon Masalah Penurunan Kualitas Telur Ulat Sutera di Kabupaten
Enrekang
Jumlah telur ulat sutera per boks, sesuai dengan keterangan yang tertera dalam
kemasan, adalah 20.000 butir telur. Menurunnya jumlah telur ulat sutera per boks tentunya
akan berdampak langsung pada menurunnya jumlah produksi kokon per boks.
Penurunan Kualitas Telur Ulat Sutera F1
Kualitas Sumber Genetik Rendah
Teknik Pemeliharaan Induk Tidak Sesuai
Standar Teknis
Sarana Produksi Tidak Sesuai Standar Daya Tetas Telur Ulat
Sutera F1 Rendah
Mortalitas Ulat Sutera F1 Tinggi
Penurunan Produksi Kokon
5
Salah satu karakteristik telur ulat sutera yang berkualitas adalah tahan terhadap hama
penyakit. Hama penyakit dapat terjadi pada proses produksi telur F1 maupun pemeliharaan ulat
F1 di petani.
Telur berwarna kuning mengindikasikan bahwa telur ulat sutera tersebut tidak dibuahi
pada saat persilangan. Kondisi ini dapat diakibatkan oleh jangka waktu persilangan yang
singkat atau temperatur pada saat persilangan terlalu tinggi. Persilangan induk ulat sutera
memerlukan waktu sekitar 4 sampai dengan 5 jam. Temperatur ruangan yang dibutuhkan dalam
persilangan induk ulat sutera antara 24 – 25
oC dengan kelembaban 80%.
Kualitas genetik telur ulat sutera yang dipakai dalam produksi telur ulat sutera sudah
rendah. Kualitas genetik yang rendah dapat disebabkan oleh adanya persilangan sejenis
(in-breeding) dan juga proses seleksi kokon induk yang kurang baik. Persilangan sejenis
dimungkinkan terjadi karena proses produksi telur yang dilakukan secara terus menerus pada
jenis tersebut tanpa adanya proses pemurnian telur ulat sutera.
Teknik pemeliharaan induk ulat sutera sangat mempengaruhi kualitas telur ulat sutera
F1 yang dihasilkan. Proses penetasan telur, pemeliharaan ulat, pemanenan, seleksi kokon dan
persilangan induk harus dilakukan sesuai dengan persyaratan teknis yang tepat.
Sarana prasarana produksi telur ulat sutera juga mempengaruhi kualitas telur ulat sutera
yang dihasilkan. Tempat penyimpanan telur ulat sutera merupakan salah satu peralatan yang
sangat penting dalam produksi telur ulat sutera. Penyimpanan telur bertujuan agar telur yang
dibutuhkan dapat tersedia pada waktunya. Penyimpanan telur disesuaikan dengan perlakuan
yang diberikan kepada telur yang disimpan. Penyimpanan telur ulat sutera juga sangat berkaitan
dengan daya tetas telur. Penyimpanan yang tidak sesuai standar teknis akan mengakibatkan
daya tetas telur ulat sutera menjadi rendah dan tidak serentak.
Dampak penurunan kualitas telur ulat sutera dirasakan juga oleh pemintal, baik
pemintal murni maupun pemintal yang juga melakukan pemeliharaan ulat sutera. Penurunan
kualitas telur yang berdampak pada menurunnya produksi kokon, akan memberikan dampak
pada menurunnya produksi benang sutera yang dihasilkan.
Menurunnya produksi benang sutera yang dihasilkan oleh pemintal, tidak hanya
disebabkan oleh berkurangnya jumlah kokon yang diproduksi, tetapi juga oleh menurunnya
kualitas kokon. Indikator rendahnya kualitas kokon yang dihasilkan antara lain adalah sering
putusnya kokon dalam proses pemintalan dan rendahnya rendemen benang.
Kokon yang berkualitas baik dapat menghasilkan benang sutera dengan rendemen
antara 6 – 7 kg kokon. Sedangkan kokon dengan kualitas jelek dapat menghasilkan benang
dengan rendemen antara 10 – 15 kg kokon.
Penurunan kualitas telur ulat sutera dikeluhkan juga oleh Pedagang/Pembeli kokon.
Dampak dari penurunan kualitas telur ulat sutera, seperti menurunya jumlah petani ulat yang
memelihara ulat sutera dan menurunnya produksi kokon, mengakibatkan ketersediaan kokon di
pasaran menjadi terbatas.
b. Keterbatasan Modal Sarana Produksi
Modal usaha merupakan salah satu faktor pendukung dalam pengembangan usaha
persuteraan alam. Modal usaha dapat dikategorikan menjadi modal kerja dan modal sarana.
6
Hasil FGD Pelaku Usaha di Kalosi, memperlihatkan bahwa modal kerja bagi petani ulat
tidak menjadi permasalahan. Petani ulat mampu menyediakan biaya produksi untuk pengadaan
bibit dan pupuk. Biaya tenaga kerja tidak diperlukan karena menggunakan tenaga kerja
sendiri/keluarga.
Gambar 13. Faktor-faktor Penyebab Keterbatasan Modal Sarana Produksi
Permasalahan yang muncul terkait modal ditingkat petani ulat adalah keterbatasan
modal untuk merevitalisasi sarana/infrastruktur yang dimiliki. Teknologi yang sangat
sederhana, sudah berumur tua dan rusak, menjadi salah satu faktor menurunnya tingkat
produktifitas usaha.
Sebagian besar sarana pemeliharaan ulat besar (UPUB) petani ulat kondisinya tidak
layak/rusak. Pelaku usaha mengharapkan adanya fasilitasi pemerintah dalam perbaikan sarana
pemeliharaan ulat besar. Fasilitasi ini dibutuhkan karena petani ulat tidak mampu menyiapkan
modal yang cukup untuk merevitalisasi rumah ulat yang rusak.
Ketersediaan tempat pemeliharaan ulat sutera yang layak dan memadai merupakan
salah satu faktor yang menentukan keberhasilan budidaya ulat sutera. Kondisi rumah ulat yang
tidak sesuai dengan kondisi optimal yang dibutuhkan ulat sutera, akan berpengaruh terhadap
produksi kokon.
Sarana lain yang dibutuhkan petani ulat adalah alat pengering kokon. Alat pengering
kokon dibutuhkan pelaku usaha untuk memperpanjang jangka waktu penyimpanan kokon.
Keterbatasan waktu penyimpanan kokon berpengaruh terhadap daya tawar petani ulat
terhadap harga kokon. Sehingga petani ulat kadang merasa dipermainkan oleh pedagang atau
pengumpul kokon.
4.
Peran Stakeholders dalam Pengembangan Persuteraan Alam di Kabupaten
Enrekang
Dalam pendekatan kluster, pemerintah merupakan elemen kunci dan mempunyai
driven power yang paling besar dalam pengembangan persuteraan alam (Tarigan, 2008). Hasil
Keterbatasan Modal Sarana Produksi
Sarana Produksi Tidak Sesuai Standar Teknis
Jumlah Sarana Tidak Sesuai Kebutuhan
Penurunan Produksi
Banyaknya Sarana Prasarana Rusak
Modal Kerja Petani Rendah Kemampuan Teknis
7
identifikasi mengenai peran pemerintah dalam pengembangan persuteraan alam di Kabupaten
Enrekang, memperlihatkan bahwa pemerintah melakukan peran dalam perumusan regulasi,
pendidikan dan pelatihan, fasilitasi bantuan peralatan/sarana, fasilitasi pertemuan dan penelitian.
Stakeholder yang terkait dalam pengembangan persuteraan alam di Kabupaten
Enrekang terdiri dari beberapa instansi pemerintahan, baik tingkat pusat maupun daerah. Peran
yang dilakukan oleh masing-masing stakeholder disesuaikan dengan tugas pokok dan fungsi
yang melekat.
Gambar 14. Beberapa faktor yang mempunyai driven power yang kuat dalam Pengembangan
Persuteraan Alam di Kabupaten Enrekang.
Peran stakholder harus difokuskan pada kendala-kendala yang dihadapi. Kendala
dalam kualitas telur ulat sutera, keterbatasan sarana produksi dan penurunan kualitas produk
merupakan preferensi pelaku usaha dalam pengembangan persuteraan alam di Kabupaten
Enrekang.
5.
Kesesuaian Peran Stakeholder dan Preperensi Pelaku Usaha
a.
Peningkatan Kualitas Telur Ulat Sutera
Dari aspek regulasi, Kementerian Kehutanan telah menerbitkan Peraturan Menteri
Kehutanan (Permenhut) Nomor:P.56/Menhut-II/2007 tentang Pengadaan dan Peredaran Telur
Ulat Sutera. Peraturan ini dimaksudkan sebagai upaya untuk meningkatan kualitas dan
kuantitas telur ulat sutera, serta menjamin mutu dan ketersediaan kokon.
Regulasi lain dalam rangka peningkatan kualitas telur ulat sutera adalah Peraturan
Direktur Jenderal (Dirjen) Rehabilitasi Lahan dan Perhutanan Sosial (RLPS) Nomor:
No.P.15/V-Set/2008 tanggal 24 Desember 2008 tentang Petunjuk Teknis Sertifikasi Telur Ulat
Sutera Bebas Pebrine. Peraturan ini merupakan turunan dari Permenhut P.56 Tahun 2007.
Regulasi lain dari Kementerian Kehutanan adalah dengan mendatangkan Silver Expert
dari Jepang melalui kerjasama dengan JICA. Kerjasama ini bertujuan sebagai wadah alih
teknologi dan pengetahuan tentang pemuliaan ulat sutera untuk mendapatkan jenis-jenis ulat
sutera yang unggul.
Peran pemerintah daerah, sesuai dengan Permenhut P.56 Tahun 2007, adalah pemberian
ijin bagi pengada dan pengedar telur ulat sutera. Pemberian ijin dilakukan atas rekomendasi
teknis dari Balai Persuteraan Alam (BPA).
Pengembangan Persuteraan Alam melalui Pedekatan Kluster di
Kabupaten Enrekang Stakholder 1. Kemeterian Kehutanan 2. Kementerian Perindustrian 3. Kemeterian Kop & UKM 4. Pemda Tk. I 5. Pemda Tk. II Peran Stakholder 1. Perumusan Regulasi 2. Fasilitasi Bantuan 3. Fasilitasi Pertemuan 4. Fasilitasi Diklat 5. Penelitian Kendala
1. Penurunan Kualitas Bahan Baku (Telur Ulat Sutera dan Kokon) 2. Keterbatasan dan Penurunan
Kualitas Sarana Produksi 3. Penurunan Kualitas Produk
Kebutuhan
1. Peningkatan Kualitas Telur Ulat Sutera
2. Peningkatan Kualitas dan Kuantitas Sarana Produksi 3. Peningkatan Kualitas Produk