RENCANA INDUK SISTEM PROTEKSI KEBAKARAN/RISPK KOTA MOJOKERTO
TAHUN 2020
PEMERINTAH KOTA MOJOKERTO
BADAN PERENCANAAN DAN PEMBANGUNAN KOTA MOJOKERTO
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Kuasa atas rahmat dan perkenan-Nya, sehingga Naskah Akademik Peraturan Walikota Mojokerto Tentang Rencana Induk Sistem Proteksi Kebakaran/RISPK Kota Mojokerto dapat diselesaikan dengan baik. Penyusunan Naskah Akademik ini merupakan salah satu upaya untuk mewujudkan sinergi di pencegahan dan penanggulangan bahaya kebakaran antara pihak pihak yang membidangi dan pihak-pihak lain yang terkait.
Besar harapan kami agar laporan ini dapat memberikan gambaran mengenai pentingnya manfaat Naskah Akademik Peraturan Walikota Mojokerto Tentang Rencana Induk Sistem Proteksi Kebakaran/RISPK Kota Mojokerto dalam mendorong pemenuhan kebutuhan pencegahan dan penanggulangan bahaya kebakaran secara terintegrasi dan sistematis.
Terimakasih kami ucapkan kepada pihak-pihak yang telah memberikan data dan masukan untuk penyempurnaan laporan ini.
Mojokerto, Mei 2020
Tim Penyusun
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ...i DAFTAR ISI...ii
BAB I PENDAHULUAN ...1-1 1.1 LATAR BELAKANG ...1-2 1.2. MAKSUD DAN TUJUAN ...1-3 1.3. SASARAN ...1-3 1.4. PENDEKATAN ...1-3 1.5. METODE...1-9 1.6. DASAR HUKUM...1-9 BAB II KAJIAN TEORITIS DAN PRAKTIS EMPIRIS ...2-1 2.1. KAJIAN TEORITIS ...2-2 2.1.1. Pengertian Bencana ...2-2 2.1.2. Pengertian Bencana Kebakaran...2-3 2.1.3. Penyebab Terjadinya Kebakaran...2-3 2.1.4. Faktor Penyebab Kebakaran...2-5 2.1.5. Bahaya Kebakaran ...2-7 2.1.6. Sistem Pencegahan dan Penanggulangan Kebakaran ...2-9 2.1.6.1 Konsep Dasar ...2-9 2.1.6.2 Sistem Proteksi Aktif ...2-10 2.1.6.3 Sistem Proteksi Pasif ...2-11 2.1.6.4 Tahap Penanggulangan Kebakaran ...2-15 2.1.6.5 Peran Pemerintah...2-16 2.1.6.6 Pengamanan melalui Prosedur Perizinan...2-17 2.1.6.7 Kontrol Penggunaan Sistem Penanggulangan Kebakaran2-18 2.1.7. Peranan Pemberdayaan Masyarakat Dalam Upaya Pencegahan
Kebakaran ...2-19 BAB III EVALUASI DAN ANALISIS PERATURAN PERUNDANGAN TERKAIT 3-1 3.1. Tinjauan Kebijakan Pencegahan dan Penanggulangan Masalah
Bahaya Kebakaran ...3-2 3.1.1. Undang-Undang Bangunan Gedung No. 28 Tahun 2002 tentang
Bangunan Gedung...3-2 3.1.2. Peraturan Pemerintah No. 36 Tahun 2005 tentang Bangunan
Gedung ...3-4 3.1.3. Permen PU No. 25/PRT/M/2008 Tentang Pedoman Teknis
Penyusunan Rencana Induk Sistem Proteksi Kebakaran ...3-13 3.1.3.1. Kedudukan RISPK terhadap Perencanaan Ruang dan
Pembangunan Kawasan ...3-13 3.1.3.2. Kajian Konsep Penanggulangan Kebakaran...3-13
3.1.3.3.Konsep Wilayah Manajemen Kebakaran (WMK)...3-14 3.1.3.4.Pendekatan Analisis Resiko Kebakaran...3-16 3.1.4. Keputusan Direktur Jendral Pencegahan dan penanggulangan
bahaya kebakaran Nomor: 58/KPTS/DM/2002 tentang Petunjuk Teknis Rencana Tindakan Darurat Kebakaran Pada
Bangunan Gedung Direktorat Jenderal Permukiman ...3-17 BAB IV LANDASAN FISIOLOGIS, SOSIOLOGIS DAN YURIDIS ...4-1
BAB V JANGKAUAN, ARAH PENGATURAN DAN LINGKUP RENCANA
INDUK SISTEM PROTEKSI KEBAKARAN KOTA MOJOKERTO ...5-1 5.1. LINGKUP PENGATURAN ...5-2 5.2. Arahan Pengaturan dan Ruang Lingkup Materi ...5-3 BAB VI PENUTUP...6-1 6.1. KESIMPULAN ...6-2 6.2. SARAN ...6-5
PENDAHULUAN
1.1 LATAR BELAKANG
Suatu kota/daerah tumbuh dan berkembang sebagai akibat representasi kegiatan masyarakat yang ada atau yang berpengaruh terhadap daerah tersebut.
Diatur maupun tidak, sebuah daerah akan tumbuh dan berkembang berdasarkan keterkaitan yang ada antara penduduk, aktivitas, penggunaan lahan dan peraturan yang ada. Mekanisme terjadinya perkembangan dan pertumbuhan daerah akan sangat beragam bergantung pada karakteristik masing-masing daerah.
Perkembangan dan pertumbuhan kota pada dasarnya merupakan perwujudan dan tuntutan kebutuhan ruang yang diakibatkan oleh perkembangan dan pertumbuhan penduduk serta kegiatan fungsionalnya dan interaksi antar kegiatan tersebut. Pertumbuhan dan perkembangan kota dapat berjalan dengan sendirinya tetapi pada suatu saat dapat menimbulkan masalah yang sulit untuk diatasi yang bersifat keruangan, struktural dan fungsional.
Melihat kenyataan tersebut, sebaiknya sejak dini bila ada gejala pertumbuhan dan perkembangan kota, maka perlu sekali diarahkan melalui perencanaan untuk mencapai keserasian dan keseimbangan dalam pemanfaatan potensi yang ada seefisien dan seefektif mungkin, agar tercipta hubungan yang serasi dan harmonis antara manusia dan lingkungannya.
Perkembangan penyelenggaraan pembangunan perkotaan dewasa ini berkembang semakin kompleks baik dari segi kuantitas teknologi maupun kebutuhan prasarana dan sarana akibat kegiatan spasial ekonomi yang tidak selalu diikuti oleh kesiapan sarana dan prasarana kota tentang penanggulangan masalah kebakaran yang memadai, keadaan ini diperburuk dengan belum adanya peraturan kepala daerah berupa peraturan walikota yang mengatur tentang masalah penanggulangan dan proteksi kebakaran dikawasan perkotaan dan lemahnya koordinasi instansi terkait dalam penanggulangan kebakaran.
Kebakaran senantiasa menimbulkan hal-hal yang tidak diinginkan, baik menyangkut kerusakan harta benda, kerugian materi, gangguan terhadap kelestarian lingkungan, terhentinya proses produksi barang dan jasa, serta bahaya terhadap keselamatan jiwa manusia.
Berdasarkan dari penjelasan diatas, maka Pemerintah Kota Mojokerto melalui pendanaan APBD perlu melaksanakan kegiatan Penyusunan Dokumen Perencanaan Sub Bidang Sumber Daya Alam (berupa Penyusunan Peraturan Walikota Mojokerto tentang Rencana Induk Sistem Proteksi Kebakaran/RISPK), hal ini dikarenakan untuk dijadikan acuan/pedoman bagi Organisasi Perangkat
Daerah (OPD) teknis dalam mencegah dan menanggulangi kebakaran yang mungkin terjadi di wilayah Kota Mojokerto serta untuk memberi perlindungan kawasan (protected area) perkotaan dari bahaya kebakaran sesuai dengan persyaratan waktu tanggap (response time) pelayanan dengan mempertimbangkan tingkat resiko kebakaran berdasarkan klasifikasi pemanfaatan ruang kota/bangunan.
1.2. MAKSUD DAN TUJUAN
Kegiatan Penyusunan Naskah Akademik ini dimaksudkan untuk menghasilkan suatu kajian hukum menyelenggarakan kegiatan proteksi kebakaran untuk mewujudkan keselamatan dan keamanan terhadap bahaya kebakaran di Kota Mojokerto yang dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah dalam suatu rancangan peraturan daerah sebagai solusi terhadap permasalahan dan kebutuhan hukum masyarakat di Kota Mojokerto yang selanjutnya dijadikan dasar sebagai acuan penyusunan ranperwal terkait.
Adapun maksud kegiatan penyusunan naskah akademis adalah Sebagai acuan/pedoman bagi Pemerintah Kota Mojokerto terutama Organisasi Perangkat Daerah (OPD) teknis dalam menyelenggarakan kegiatan proteksi kebakaran untuk mewujudkan keselamatan dan keamanan terhadap bahaya kebakaran di Kota Mojokerto. Sedangkan tujuan kegiatan ini adalah tTersusunnya regulasi sebagai dasar hukum dalam mengimplementasikan dokumen Rencana Induk Sistem Proteksi Kebakaran(RISPK) sehingga mampu meningkatkan kesiapan, kesiagaan dan keberdayaan masyarakat, pengelola bangunan, serta dinas terkait dalam mencegah dan menanggulangi bahaya kebakaran.
1.3. SASARAN
Sasaran yang ingin dicapai adalah :
a. Merumuskan naskah akademis dari dokumen Rencana Induk Sistem Proteksi Kebakaran(RISPK); dan
b. Merumuskan regulasi berupa Peraturan Walikotadalam mengimplementasikan dokumen Rencana Induk Sistem Proteksi Kebakaran (RISPK).
1.4. PENDEKATAN
Penyusunan naskah akademik menggunakan beberapa pendekatan, antara lain:
I. Pendekatan Normatif
Pendekatan normatif adalah suatu pendekatan yang komprehensif dan mengacu pada norma (peraturan, strategi, dokumen perencanaan, dan lain sebagainya) yang terkait dengan ketentuan peraturan dan perundangan terkait dengan substansi. Mekanisme yang digunakan dalam pendekatan normatif adalah:
1 Perumusan masalah
Perumusan masalah adalah proses review dan analisis normatif akan kebijakan, peraturan, dan dokumen-dokumen yang dibutuhkan mengenai kondisi-kondisi yang menimbulkan masalah sehingga menghasilkan informasi yang memadai.
2 Prediksi
Prediksi akan menghasilkan informasi mengenai konsekuensi dari penerapan alternative kebijakan di masa mendatang, termasuk apabila tidak dilakukan apapun.
3 Rekomendasi
Rekomendasi atau preskripsi menyediakan informasi mengenai kegunaan relatif atau nilai dari konsekuensi di masa depan dari suatu pemecahan masalah
4 Pemantauan
Pemantauan atau deskripsi menyediakan informasi mengenai konsekuensi saat ini dan masa lalu dari penerapan alternatif kebijakan 5 Evaluasi
Evaluasi menghasilkan informasi tentang nilai atau kegunaan dari konsekuensi pemecahan masalah
Kelima tahapan tersebut membentuk suatu rangkaian atau siklus yang berulang dan dilihat sebagai bagian dari siklus yang ada.
Gambar 1.1 Diagram Pendekatan Normatif (Sumber : Rustandi, 2015)
II. Pendekatan Partisipatif
Pendekatan partisipatif dilakukan dengan melibatkan seluruh pemangku kepentingan yang terkait dengan penanganan perumahan dan kawasan permukiman di wilayah perencanaan. Pendekatan partisipatif dilakukan dengan maksud agar hasil kegiatan nantinya dapat dirasakan dan dimiliki oleh seluruh pemangku kepentingan terkait perumahan dan kawasan permukiman di Kota Mojokerto. Mekanisme yang digunakan dalam pendekatan partisipatif antara lain:
1 Persiapan sosial
2 Survei (permasalahan umum, potensi, dan kendala) 3 Kesepakatan prioritas permasalahan yang akan ditangani 4 Kesepakatan penggalangan dan alokasi sumber daya 5 Kesepakatan rencana
6 Proses implementasi
7 Pemanfaatan hasil pembangunan 8 Evaluasi
Gambar 1.2 Mekanisme Umum Pendekatan Partisipatif (Sumber : Rustandi, 2015)
Dalam melakukan pendekatan partisipatif, dilakukan pertemuan atau diskusi, misalnya dalam bentuk FGD, untuk memperoleh kesepakatan antar pemangku kepentingan. Diskusi dan pertemuan tersebut juga bertujuan untuk mendorong semua pemangku kepentingan untuk turut berkontribusi dan berpartisipasi dalam curah pendapat, membangun consensus kelompok yang sifatnya praktis, memfasilitasi penyusunan informasi dalam mencari
solusi kreatif dan inovasi dalam pemecahan isu dan masalah, serta memunculkan kepekaan dan rasa tanggung jawab pemangku kepentingan dalam kelompok.
Pendekatan partisipatif dapat diaplikasikan pada proses pencarian data atau survei sekunder dan survei primer dan diskusi untuk membahas identifikasi potensi, masalah, hambatan, dan tantangan.
III. Pendekatan Teknis-Akademis
Pendekatan teknis-akademis dilakukan dengan menggunakan metodologi yang dapat dipertanggungjawabkan secara akademis, baik untuk teknik identifikasi, analisis, penyusunan konsep, dan perumusan strategi. Lingkup pelaksanaan pendekatan ini antara lain dengan:
1 Koordinasi, diskusi kegiatan dengan tim peneliti ataupun langsung dengan masyarakat yang berada di sekitar wilayah perencanaan
2 Analisis kedudukan Perumahan dan Kawasan Permukiman dalam Rencana Tata Ruang
3 Penyusunan konsepsi Naskah Akademik RISPK Kota Mojokerto
4 Penyusunan Tahapan Pelaksanaan Program Pembangunan (Indikasi Program)
IV. Pendekatan Eksploratif
Pendekatan eksploratif merupakan pendekatan di mana pencarian dilakukan terus-menerus dan digunakan dalam proses pengumpulan data dan informasi maupun dalam proses analisa dan evaluasi guna merumuskan konsep strategi.
1 Eksplorasi dalam proses pengumpulan data dan informasi: sifat pendekatan ekspolratif yang menerus akan memungkinkan terjadinya pembaharuan data dan informasi berdasarkan hasil temuan terakhir.
Pendekatan eksploratif juga memungkinkan pengumpulan data dengan sumber informasi yang luas, baik itu dari pendapat ahli, pemangku kepentingan, studi literatur, dan lainnya. Dengan menggunakan pendekatan eksploratif, mungkin ditemukan informasi yang tidak diduga sebelumnya karena pendekatan ini dapat bersifat situasional.
2 Eksplorasi dalam proses analisa dan evaluasi: dilakukan guna mengelaborasi pokok permasalahan serta konsep-konsep penanganan dan pengembangan perumahan dan kawasan permukiman yang ada berikut dukungan regulasi dan kebijakannya. Dalam melakukan pendekatan eksplorasi dalam proses analisa dan evaluasi, perlu dikaitkan
antara konsep-konsep teoritis dengan kondisi dan karakteristik permasalahan. Hasil pendekatan eksplorasi adalah penilaian kesesuaian pola penanganan terhadap permasalahan dan kebutuhan akan kebijakan yang sesuai.
V. Pendekatan Studi Dokumenter Dalam Identifikasi dan Kajian Materi Kegiatan
Pendekatan studi dokumenter dilakukan karena diperlukan model pendekatan yang dapat menginventarisasi dan mengeksplorasi berbagai dokumen terkait dengan materi kegiatan. Studi dokumenter memiliki ciri pendekatan yang mengandalkan dokumen dan data-data sekunder seperti:
1 Peraturan perundang-undangan dan dokumen kebijakan yang terkait 2 Laporan strategi dan model penanganan perumahan dan kawasan
permukiman pada wilayah lain (best practice)
3 Teori maupun konsep-konsep penanganan perumahan dan kawasan permukiman
VI. Pendekatan Incremental-Strategis
Suatu produk strategi pengembangan yang “baik” harus operasional, oleh karenanya
maksud dan tujuan perencanaan yang ditetapkan harus realistis, demikian pula dengan langkah-langkah kegiatan yang ditetapkan untuk mencapai maksud dan tujuan tersebut. Dalam melakukan pendekatan yang realistis, beberapa hal yang perlu diperhatikan antara lain:
1 Mengenali secara nyata potensi dan masalah-masalah yang ada 2 Mengenali secara nyata kendala yang dihadapi
3 Memahami tujuan kegiatan
4 Mengenali pihak-pihak yang berperan
5 Mengenali sistem atau aturan main yang berlaku Karakteristik pendekatan ini antara lain:
1 Berorientasi pada persoalan-persoalan nyata 2 Bersifat jangka pendek dan menengah
3 Terkonsentrasi pada beberapa hal, namun tetap bersifat strategi 4 Mempertimbangkan eksternalitas
5 Langkah-langkah penyelesaian tidak bersifat final VII. Pendekatan Strategis –Proaktif
Pendekatan ini menekankan pada proses pengenalan dan penyelesaian masalah yang
kemudian dijabarkan pada program-program pembangunan dan alokasi pembiayaan
pembangunan. Selain itu, dalam pendekatan ini, perkiraan kondisi di masa depan tidak hanya didasarkan pada perhitungan-perhitungan proyeksi tertentu, sehingga terdapat kemungkinan-kemungkinan munculnya kecenderungan-kecenderungan baru, dan faktor-faktor ketidakpastian.
Rencana yang lebih bersifat jangka pendek dan menengah, dengan memberikan satu acuan arah-arah pembangunan kawasan serta merupakan rencana yang berorientasi pada pelaksanaan atau action.
VIII. Pendekatan Pembangunan Berkelanjutan
Pendekatan pembangunan berkelanjutan memandang bahwa pembangunan bukan kegiatan yang sesaat namun merupakan sesuatu yang berlangsung secara kontinyu, terus-menerus, dan tidak pernah berhenti. Pendekatan pembangunan berkelanjutan menekankan pada keseimbangan ekosistem, antara ekosistem buatan dengan ekosistem alamiah. Dalam pendekatan berkelanjutan, selain memperhatikan aspek ekologi atau lingkungan, perlu diperhatikan pula aspek ekonomi dan sosial sehingga pembangunan yang dilaksanakan menghasilkan kondisi yang harmonis. Agar tercipta pembangunan yang berkelanjutan, ketiga pilar pembangunan berkelanjutan, yaitu pilar ekonomi, sosial, dan kelingkungan harus seimbang.
Gambar 1.3 Tiga Aspek Pembangunan Berkelanjutan
1.5. METODE
Kegiatan Penyusunan Peraturan Walikota Mojokerto Tentang Rencana Induk Sistem Proteksi Kebakaran/RISPK Kota Mojokerto ini dikerjakan secara kontraktual. Agar pelaksanaan kegiatan ini dapat memperoleh hasil optimal, maka pelaksanaan kegiatan menggunakan metode sebagai berikut:
a. Melakukan studi literatur terkait materi dan kebijakan tata ruang, pembangunan dan pengembangan perumahan dan kawasan permukiman di Kota Mojokerto;
b. Melakukan survei pengumpulan dan kompilasi data dengan instansi yang terkait mengenai pembangunan dan pengembangan perumahan dan kawasan permukiman di Kota Mojokerto;
c. Melakukan analisis yang berkaitan dengan pembangunan dan pengembangan perumahan dan kawasan permukiman di Kota Mojokerto;
d. Menjaring masukan pemangku kepentingan dengan melakukan FGD dengan instansi dan lembaga terkait kasiba dan lisiba, baik di pusat maupundaerah;
e. Menyusun Dokumen Peraturan Walikota Mojokerto Tentang Rencana Induk Sistem Proteksi Kebakaran/RISPK Kota Mojokerto;
f. Menyusun Naskah Akademik RISPK Kota Mojokerto.
1.6. DASAR HUKUM
Dasar hukum kegiatan Pembuatan Naskah Akademik RISPK Kota Mojokerto adalah sebagai berikut:
1
Undang-undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1970 tentang Keselamatan Kerja;
2
Undang-undang Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 2002 tentang Bangunan Gedung;
3
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan
Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor
125, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4437)
sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor
12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang
Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor
59,Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4844);
4
Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4723);
5
Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 68,Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4725);
6
Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 96, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5025);
7
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 140, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5059);
8
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2011 tentang Rumah Susun (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 108, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5252);
9
Undang-undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan Pemukiman;
10
Undang-undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah;
11
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 74 Tahun 2001 tentang Pengelolaan Bahan Berbahaya dan Beracun;
12
Peraturan Pemerintah RI No. 36 Tahun 2005 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang RI No. 28 Tahun 2002 tentang Bangunan Gedung;
13
Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan Antara Pemerintah, Pemerintahan Daerah Provinsi, dan Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota;
14
Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 25/PRT/M/2008 tentang Penyusunan Rencana Induk Sistem Kebakaran;
15
Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 26/PRT/M/2008
tentang Persyaratan Teknis Sistem Proteksi Kebakaran Pada Bangunan Gedung Dan Lingkungan;
16
Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 20/PRT/M/2009 tentang Ketentuan Teknis Manajemen Penanggulangan Kebakaran di Perkotaan; dan
17
Perda Kota Mojokerto Nomor 4 Tahun 2012 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Mojokerto Tahun 2012 – 2032.
18
Peraturan Daerah Kota Mojokerto Nomor 5 Tahun 2017 tentang Bangunan Gedung; dan
19
Peraturan Daerah Kota Mojokerto Nomor 2 Tahun 2019 tentang
Rencana Detail Tata Ruang dan Peraturan Zonasi Kota Mojokerto
Tahun 2019 – 2039
KAJIAN TEORITIS DAN PRAKTIS
EMPIRIS
2.1. KAJIAN TEORITIS 2.1.1. Pengertian Bencana
Pengertian bencana berdasarkan sumber adalah sebagai berikut:
Suatu gangguan serius terhadap keberfungsian suatu masyarakat, sehingga menyebabkan kerugian yang meluas pada kehidupan manusia dari segi materi, ekonomi atau lingkungan dan yang melampaui kemampuan masyarakat yang bersangkutan untuk mengatasi dengan menggunakan sumberdaya mereka sendiri.(ISDR, 2004)
Bencana (Disasters ) adalah kerusakan yang serius akibat fenomena alam luar biasa dan/atau disebabkan oleh ulah manusia yang menyebabkan timbulnya korban jiwa, kerugian material dan kerusakan lingkungan yang dampaknya melampaui kemampuan masyarakat setempat untuk mengatasinya dan membutuhkan bantuan dari luar.(PMI)
Bencana adalah peristiwa atau rangkaian peristiwa yang mengancam dan mengganggu kehidupan dan penghidupan masyarakat yang disebabkan, baik oleh faktor alam dan/atau non-alam maupun faktor manusia sehingga mengakibatkan timbulnya korban jiwa manusia, kerusakan lingkungan, kerugian harta benda, dan dampak psikologis (UU 24/2007)
Definisi tersebut menyebutkan bahwa bencana disebabkan oleh faktor alam, non alam, dan manusia. Oleh karena itu, Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 tersebut juga mendefinisikan mengenai bencana alam, bencana nonalam, dan bencana sosial.
Bencana alam adalah bencana yang diakibatkan oleh peristiwa atau serangkaian peristiwa yang disebabkan oleh alam antara lain berupa gempa bumi, tsunami, gunung meletus, banjir, kekeringan, angin topan, dan tanah longsor.
Bencana nonalam adalah bencana yang diakibatkan oleh peristiwa atau rangkaian peristiwa nonalam yang antara lain berupa gagal teknologi, gagal modernisasi, epidemi, dan wabah penyakit.
Bencana sosial adalah bencana yang diakibatkan oleh peristiwa atau serangkaian peristiwa yang diakibatkan oleh manusia yang meliputi konflik sosial antarkelompok atau antarkomunitas masyarakat, dan teror.
2.1.2. Pengertian Bencana Kebakaran
Definisi bencana kebakaran dari beberapa sumber dapat dirangkum sebagai berikut:
Kebakaran adalah situasi dimana bangunan pada suatu tempat seperti rumah/pemukiman, pabrik, pasar, gedung dan lain-lain dilanda api yang menimbulkan korban dan/atau kerugian (BNPB).
Definisi umumnya adalah suatu peristiwa terjadinya nyala api yang tidak dikehendaki, sedangkan defenisi khususnya adalah suatu peristiwa oksidasi antara tiga unsur penyebab kebakaran.
Kebakaran adalah suatu nyala api, baik kecil atau besar pada tempat, situasi dan waktu yang tidak kita kehendaki, merugikan dan pada umumnya sukar dikendalikan. Jadi api yang menyala di tempat-tempat yang dikehendaki seperti kompor, di perindustrian dan tempat atau peralatan lain tidak termasuk dalam kategori kebakaran.
Adapun definisi kebakaran menurut Departemen Tenaga Kerja adalah “Suatu reaksi oksidasi eksotermis (terjadi karena pemanasan) yang berlangsung dengan cepat dari suatu bahan bakar yang disertai dengan timbulnya api atau penyalaan”.
Sedangkan definisi kebakaran menurut Asuransi secara umum adalah
“Sesuatu yang benar-benar terbakar yang seharusnya tidak terbakar yang dibuktikan dengan adanya nyala api secara nyata, terjadi secara tidak sengaja, tiba-tiba serta menimbulkan kecelakaan atau kerugian”.
2.1.3. Penyebab Terjadinya Kebakaran Unsur penyebab kebakaran antara lain:
BAHAN PADAT, kayu, Kain, kertas, Plastik dan lain sebagainya dan jika terbakar umumnya akan meninggalkan abu / bara.
BAHAN CAIR, Cat, Alkohol dan berbagai jenis minyak.
BAHAN GAS, Propane, Butane, LNG dan lain sebagainya.
Penyebab terjadinya kebakaran secara umum antara lain:
Peristiwa listrik
Penyimpanan / penggunaan bahan-bahan
Spontanious (bahan yang dapat terbakar sendiri) Merokok tidak pada tempatnya
Gesekan atau benturan
House keeping yang tidak baik.
Secara umum penyebab kebakaran adalah sebagai berikut:
Karena kelalaian.
Misalnya :
kurang pengertian dalam pencegahan bahaya kebakaran.
Kurang berhati-hati dalam menggunakan alat atau bahan.
Kurang kesadaran.
Kurang disiplin.
Karena peristiwa alam.
Misalnya :
letusan gunung berapi.
Gempa bumi.
Sambaran petir.
Kebakaran yang terjadi karena penyalaan sendiri.
Rumput kering yang terbakar dengan sendirinya karena cuaca yang sangat panas.
Batu bara yang terbakar dengan sendirinya karena cuaca yang sangat panas.
Kebakaran yang disebabkan unsure kesengajaan dengan tujuan sabotase, keuntungan pribadi, atau menghilangkan jejak.
Klasifikasi kebakaran diperlukan agar dapat ditentukan sisitem pemadaman api yang tepat. Perkembangan klasifikasi kebakaran dapat dijelaskan sebagai berikut:
Sebelum tahun 1970 (diikuti Negara-negara seperti Amerika utara, Australia, dan Afrika selatan).
Kelas A : bahan bakar padat. seperti kain, kertas, kayu, dsb.
Kelas B : bahan bakar cair dan padat lunak (grease).
Kelas C : kebakaran listrik.
Sesudah tahun 1970 (diikuti Negara-negara eropa)
Kelas A : bahan bakarnya bila terbakar meninggalkan abu dan arang.
Kelas B : bahan bakar cair dan padat lunak (grease).
Kelas C : bahan bakarnya gas.
Kelas D : bahan bakarnya logam.
Klasifikasi menurut NFPA (National Fire Protection Association)
Kelas A : bahan bakarnya bila terbakar meninggalkan abu atau arang.
Kelas B : bahan bakar cair.
Kelas C : kebakaran listrik.
Kelas D : kebakaran logam (Magnesium, Titanium, Ziroanium, dsb.)
2.1.4. Faktor Penyebab Kebakaran
Sederhananya kebakaran tidak akan terjadi apabila api tidak menyentuh atau mengenai suatu benda yang bisa menjadi katalisator terjadinya kebakaran ataupun kebakaran bisa saja terjadi akibat terlalu panasnya suhu, benda yang mudah terbakar dan oksigen di suatu tempat. Oleh kerena itu, kita sebaiknya mengambil langkah preventif dengan mengetahui sebab utama suatu kebakaran agar dalam keseharian kita bisa memisahkan dengan tegas antara api dengan bahan-bahan yang mudah terbakar itu.
Sebab-sebab yang sering mengakibatkan kebakaran adalah ketiga unsur dibawah dan bila tiga unsur di atas tidak lengkap,maka persyaratan bahwa dapat terjadinya kebakaran tidak dapat dipenuhinya.
Ketiga unsur tersebut adalah:
Bahan yang Mudah Terbakar.
Baik barang padat, cair atau gas misalnya kayu, kertas, textil, bensin, minyak, acetelin, dll.
Panas atau Suhu.
Pada lingkungan yang memiliki suhu tinggi misalnya sumber panas dari sinar matahari, listrik (kortsluiting), panas energimekanik (gesekan), reaksi kimia, dll.
Oksigen (O2).
Kandungan (kadar) O2ditentukan dengan persentasi (%), semakin besar kadar oksigen maka api akan menyala semakin hebat, sedangkan pada kadar oksigen kurang dari 12% tidak akan terjadi pembakaran api. Dalam keadaan normal kadar oksigen di udara bebas berkisar 21 %, maka udara memiliki keaktifan pembakaran yang cukup.
Ketiga faktor tersebut bisa digambarkan dalam bentuk hubungan segitiga kebakaran sebagai berikut:
Perlu diperhatikan apabila salah satu sisi dari segita tersebut di atas tidak ada, maka tidak mungkin terjadi suatu nyala api atau kebakaran. Jadi secara sederhana setiap kebakaran yang terjadi dapat dipadamkan dengan menghilangkan salah satu dari ketiga unsur di atas.
Selain itu, adajuga yang membagi secara umum faktor kebakaran antara lain:
Faktor Alam
Faktor alama adalah faktor yang disebabkan karena lingkungan- lingkungan/alam di sekitar kita. Contohnya;
Petir atau kilat
Kalau petir atauu kilat menyambar jaringan listrik, maka alat-alat tersebut akan terbakar dan bisa menimbulkan kebakaran yang lumayan besar.
Kemarau panjang atau teriknya matahari
Ranting-ranting yang bergesekan akan menimbulkan percikan api dan membuat api membesar (kebakaran).
Faktor Manusia
Faktor manusia adalah faktor yang disebabkan karena ulah-ulah atau kelalaian manusia. Contohnya;
Korsleting listrik
Persinggungan antara 2 kabel yang terkupas dapat menimbulkan kebaran, hal ini karena manusia tidak mau peduli terhadap kabel-kabel yang telah rusak.
Kompor
Kebocoran kompor gas atau lubernya minyak tanah di dekat kompor.
Putung rokok
Bara api yang berada di putung rokok dapat menimbulkan kebaran bila terkena barang-barang yang mudah terbakar atau tempat-tempat seperti POM Bensin.
Obat nyamuk bakar
Bantal atau guling yang mengenai obat nyamuk bakar akan mudah terbakar.
Lilin atau lampu minyak
Lilin dan lampu minyak diletakkan di temat yang mudah terbakar akan menyebabkan kebakaran.
Membakar sampah
Api sampah tersebut bila tertiup angin yang kencang akan menyerambat ke perumahan-perumahan disekitarnya.
2.1.5. Bahaya Kebakaran
Ada dua jenis bahaya yang ditimbulkan sebagai akibat dar i terjad inya kebakaran yaitu kerugian material dan keselamatan jiwa manusia. Beberapa aspek penyelamatan sebenarnya lebih diarahkan dan diprioritaskan pada penyelamatan jiwa manusia terlebih dahulu, untuk kemudian meminimalkan kerugian pada tahap berikutnya. Sehingga pada prinsipnya, konsep penanggulangan kebakaran (fire safety) yang utama adalah penyelamatan jiwa manusia.
Bahaya keselama tan jiwa ma nusia pada peristiwa kebakaran dapat diklasifikasikan :
bahaya langsung
tersengat temperatur yang tinggi keracunan asap
bahaya tidak langsung terluka
terjatuh
terserang sakit
mengalami shock/serangan psikologis
Hal diatas dapat digambarkan malalui skematik grafik yang pernah dipublikasikan oleh Biro Sta tistik Amerika (National Bereau of Standart USA)mengenai akibat yang ditimbulkan setelah peristiwa kebakaran terjadi.
Dapat disimpulkan dari grafik di bawah ini, bahwa penyebab korban jiwa terbesar pada peristiwa kebakaran adalah asap yang meracuni pernapasan.
Jumlahnya menempati urutan pertama, yaitu sebesar 74% dari korban, sementara
yang diakibatkan yang tersengat oleh panas sebesar 18% serta korban jiwa karena penyebab lain sebesar 8% dari total korban. Asap yang timbul sebagai hasil reaksi pembakaran, mengakibatkan bahaya ganda, selain meracuni pernapasan juga menghalangi pemandangan dan orientasi orang untuk menyelamatkan diri.
Penelitian lain mengungkapakan bahwa serangan psikologis akibat bencana kebakaran me mbuat orang panik yang akan me nghilangkan pikiran logisnya, selain pada pernapasan yang berlebih yang akan semakin mempercepat proses keracunan.
Gambar 0.1 Bahaya Akibat Kebakaran
Manusia mempunyai toleransi yang terbatas terhadap panas yang menerpa tubuhnya. Tingkat pengkondisian termal yang dapat ditoleriroleh manusia hanya mencapai temperatur ± 65 C, itupun dengan persyaratan kelembaban tertentu serta aktifitas yang dilakukan. Selanjutnya, kemampuan manusia terhadap tingkat perkembangan termal dapat ditunjukkan dengan grafik di bawah ini :
( 10-35 )0C = kondisi nyaman termal
65 0C = suhu masih dapat ditoleransi tergantung kelembaban dan aktifitas )
1050C = suhu panas tidak dapat ditolerir dalam waktu 23 menit 1200C = suhu panas tidak dapat ditolerir dalam waktu 15 menit 1400C = suhu panas tidak dapat ditolerir dalam waktu 5 menit 1800C = kerusakan fatal dan kekeringan dalam waktu 30 detik
2.1.6. Sistem Pencegahan dan Penanggulangan Kebakaran
Sebagai suatu sistem, bangunan terdiri dari sub sub sistem yang membentuknya secara integral dalam satu kesatuan. Sub-sub sistem tersebut antara lain arsitektur, struktur, mekanikal, elektrikal, desain ruang dalam (interior), desaain ruang luar (landscape), utilitas, dan sistem-sistem lain seperti manajemen/pengelolaan, maitenance/service, sistem penanggulangan kebakaran/fire safety. Sistem -sistem ini haruslah terintegrasi dengan baik dalam bangunan. Pada pelaksanaannya, tentunya penataan atau perencanaannya harus dilibatkan secara kontinyu pada saat proses konstruksi secara keseluruhan. Proses konstruksi yang dimaksudkan di atas adalah dari mulai tahap perencanaan, pembangunan, pengoperasian serta perbaikan dan perawatan.
2.1.6.1 Konsep Dasar
Tujuan perencanaan penanggulangan kebakaran (Fire Safety) adalah untuk menyelamatkan jiwa manusia dan kemudian menghindari kerusakan seminimal mungkin. Dasar-dasar penyelama tan terhadap bahaya kebakaran banguan, dilandasi oleh sifat alamiah api yang signifikan membahayakam baik itu yang menimbulkan kerugian maerial ataupun keselamatan jiwa manusia. Beberapa item yang sekaligus juga menjadi tujuan langkah penyelamatan terhadap bahaya kebakaran, antara lain:
memcegah api/kebakaran
mencegah api berkembang tidak terkendali mendeteksi adanya api sedini mungkin memadamkan api secepatnya
memudahkan pengevaluasian penghuni dan barang meminimalkan kerusakan
Sedangkan implementasi dari tindakan-tindakan penyelamatan di atas bisa diringkas menjadi empat bagian utama yaitu :
menyelamatkan jiwa manusia
menyelamatkan bangunan dan isinya
menjadi acuan/pedoman proses penanggulangan dan penyelamatan meminimalkan kerusakan pada lingkungan
Pada dasarnya, berdasarkan implementasi dan cara pelaksanaannya, sistem penanggulangan kebakaran biasanya diklasipikasikan dalam dua janis yaitu : sistem proteksi aktif dan sistem proteksi pasif. Keduannya diupayakan bekerja secara bersama-sama melindungi bangunan dari bahaya kebakaran.
2.1.6.2 Sistem Proteksi Aktif
Sistem proteksi aktif merupakan perlindungan terhadap kebakaran melalui sarana aktif yang terdapat pada bangunan atau sistem perlindungan dengan menangani api/kebakaran segara langsung. Cara yang lazim digunakan adalah :
Sistem Pendektesian Dini
Sistem pendektesian dini terhadap terjadinya kebakaran dimaksudkan untuk mengetahui serta dapat memberi refleksi cepat kepada penghuni untuk segera memadamkan api pada tahap awal.
Sensor-sensor yang umum dikenal adalah : alat kebakaran;
detektor panas, asap,nyala atau gas manual call point;
panel contro l;
sumber daya darurat lainya
Hal-hal penting yang me njadi perhatian da lam penggunaan sistem peralatan ini pada bangunan antara lain :
menentukan tipe alat pendeteksian yang digunakan mengatur distribusi perletakan detektor dalam banguan sistem pengintalasian alat sensor
pemeriksaan dan pemeliharaan instalansi (agar selalu dapat bekerja bila suatu waktu dibutuhkan )
Sistem Pemercik (Spirinkler) Otomatis
Sistem ini biasanya bersinegri langsung dengan sistem pendeteksi dini, dimana bila sistem detektor bekerja, langsung dilanjutkan dengan bekerjanya alat ini untuk pemadam. Beberapa sistem yang bisa dikenal antara lain :
alarm kebakaran;
sistem spinkler otomatis
sistem hidran (hidran dalam maupun halamam) ;hose reel;
Beberapa faktor yang menjadi sangat penting didalam perencanaan sistem pemercik otomatis ini : karakteristik alat pemercik (spinkler ), jenis bangunan yang dilayani, distribusi dan jarak pemasangan alat, daerah jangkauan yang dapat dicapai alat, pasokan air, instalasi pemipaan alat.
Sistem Pemadam dengan Bahan Kimia Portable alat pemadam Halon/BCP;
alat pemadam CO2;
alat pemadam Dry chemicals;
alat pemadam buisa/foam;
Sistem Pemadam Khusus , yang mencakup : CO2 com ponent,
Halon extinguisher unit;
Foam systems;
Pertimbangan dan faktor-faktor yang perlu diperhatikan dalam penyedian peralatan sistem di atas :
Untuk sistem penyemprot tetap/tidak bergerak (fixed system) Distribusi peralatan di dalam bangunan
Jumlah dan kapasitas alat yang digunakan percakupan layanan Konsentrasi bahan kimia minimum yang disyaratkan
Jenis bangunan yang dilayani
Sistem penyemprot bergerak (portable system) Tipe alat pemadam
perkiraan tingkat api yang akan dihadapi untuk me nentukan jenis dan kapasitas alat yang akan digunakan
distribusi alat
biasanya ditempatkan pada daerah -daerah yang rawan terbakar misalnya dapur, ruang mesin, gudang dan lain-lain
Sistem Pengendalian Asap, sistem yang umum dipakai : smoke venting;
smoke towers;
tata udara untuk pengendalian asap; dan eleventor smoke control.
2.1.6.3 Sistem Proteksi Pasif
Sistem proteksi pasif merupakan sistem perlindungan terhadap kebakaran yang bekerjanya melalui sarana pasif yang terdapat pada bangunan. Biasanya juga
disebut sebagai sistem perlindungan bangunan dengan menangani api dan kebakaran secara tidak langsung. Caranya dengan meningka tkan kinerja bahan bangunan, stuktur bangunan, pengontrolan dan penyediaan fasilitas pendukung penyelamatan terhadap bahaya api dan kebakaran. Sistem ini adalah yang paling lazim dan maksimal yang bisa dilakukan pada kasus fasilitas pemukiman.
Yang termasuk di dalam sistem proteksi pasif ini antara lain : Perencanaan dan desain site, akses dan lingkungan bangunan
Banyak ditemukan kasus dimana kebakaran menimbulkan kerugian dan kerusakan yang lebih besar disebabkan kurangnya pertolongan yang cepat oleh para petugas pemadam kebakaran. Desain dan perencanaan bangunan (dalam hal ini disain ruang luar dan aksesibilitas bangunan) ternyata sangat berperan dalam mendukung perlindungan terhadap timbul, berkembang dan tertanggulanginya kebakaran terhadap bangunan.
Beberapa hal yang termasuk di dalam permasalahan site dalam kaitannya dengan penanggulangan kebakaran ini antara lain :
penataan blok-blok masa hunian dan jarak antar bangunan
kemudahan pencapaian ke lingkungan pemukiman maupun bangunan
tersedianya area parkir ataupun open space dilingkungan kaewasan menyediakan hidrant eksterior di lingkungan kawasan
menyediakan aliran dan kapasitas suply air untuk pemadam Perencanaan Struktur dan Kontruksi Bangunan
Perencanaan struktur di sini berkaitan dengan kemampuan bangunan untuk tetap atau bertahan berdiri pada saat terjadi bencana kebakaran. Sedangkan perencanaan kontruksi berkaitan dengan jenis material yang digunakan.
Material yang mempunyai daya tahan yang lebih baik terhadap api (terbakar), akan lebih baik pula terhadap pencegahan penjalaran api, pengisolasian daerah yang terbakar serta memberi waktu yang cukup untuk peng’evaluasi’an penghuni. Hal-hal yang berkaitan dengan perencanaan sistem ini antara lain :
Pemilihan material bangunan yang memperhatikan sifat material Sifat penjalaran dan penyebaran
Com bustibility (kemampuan terbakar material) Sifat penyalaan material bila terbak ar
Sifat racun (akibat reaksi kimia yang ditimbulkan/dihasilkan bila bahan tersebut terbakar)
Kemampuan/daya tahan bahan struktur (fire resistance) dari komponen-komponen struktur.
Komponen struktur seperti rangka atap, lantai, kolam dan balok adalah tulang – tulang kekuatan pada bangunan. Perencanaan yang optimal dari hal yang dimaksudkan :
meminimalkan kerusakan pada bangunan mencegah penjalaran kebakaran
melindungi penghuni, minimal memberi waktu yang cukup dievakuasi.
Penataan ruang, terutama berkaitan dengan areal yang rawan bahaya dipilih material struktur yang lebih resisten.
Perencanaan daerah dan jalur penyelamatan (evakuasi) pada bangunan Perencanaan daerah evakuasi, biasanya diperuntukan untuk bangunan pemukiman berlantai banyak dan merupakan bangunan yang lebih kompleks.
Beberapa hal yang menjadi pertimbangan perencanaan sistem ini : kalkulasi jumlah penghuni/pemakai bangunan
tangga kebakaran dan jenisnya pintu kebakaran
daerah perlindungan seme ntara jalur keluar bangunan &
peralatan dan perlengkapan evakuasi
Manajemen sistem penanggulangan kekakaran
Gagasan dari manajemen sistem penanggulangan kebakarann berkembang sekitar me melihara peralatan/perlengkapan penanggulangan kebakaran sehingga dapat digunakan secara optimal pada saat diperlukan. Manajemen penanggulangan kebakaran termasuk juga administrasi strategi untuk memastikan keselamatan secara preventif, membatasi perkembangan api, dan menjamin keselamatan penghuni. Untuk mencapai fungsi ini, manajemen sistem ini harus terlihat didalam semua aspek yang ada dalam bangunan term asuk daerah yang atau mungkin riskan terhadap bahaya.
Komunikasi
Kebakaran tidak dapat diatur walaupun dengan sistem proteksi yang paling baik, sehingga sangat penting untuk mendeteksi terjadinya segera untuk keberhasilan penanggulangaannya. Sistem informasi yang baik bisa berguna untuk memicu tindakan awal penyelamatan. Komunikasi menjadi hal yang penting buat penghuni bangunan, baik itu dari sistem alarm maupun penghuni
lain, sehingga informasi harus tersampaikan dan terdengar dengan jelas agar dapat memanfaatkan waktu untuk penyelamatan yang perlu.
Pemeliharaan
Perbaikan dan peme liharaan terhadap peralatan- peralatan darurat, seperti hidrant, bose reels, extinguisher, lampu darurat dll, adalah sangat penting. Tipe, standar dan frekuensi pemeliharaan harus terdokumentasikan pada program manajemen ini, dan staf yang berkepentingan perlu mengetahuinya dan selalu menjalankannya dengan benar.
Pelatihan
Pelatihan pegawai yang berkepentingan terhadap penanggulangan kebakaran ini tidak boleh luput dari perhatian. Mereka harus menerima instruksi bagaimana menghidupkan alarm tanda bahaya bila mereka menemukan kebakaran, serta mereka yang memberi peringatan kebakaran kepada penghuni. Begitu pula terhadap penggunaan peralatan pemadam api, yang harus mampu dipraktekkan. Beberapa pelatihan yang dilaksanakan antara lain memberi pengetahuan tentang :
pencegahan kebakaran secara umum
tindakan yang diambil pada waktu mendengarkan alarm dan menemukan api
metode yang benar dalam memanggil pasukan pemadam lokasi, kegunaan dan penggunaan peralatan pemadam rute penyelamatan, titik pertemuan dan jalan keluar prosedur evakuasi
Ada lima aspek yang harus dipertimbangkan di dalam sistem manajemen ini, yaitu :
tindakan preventif prosedur
komunikasi
perawatan / pemeliharaan dan pelatihan
Kelima aspek-aspek tersebut masing-masing harus selalu dievaluasi kelengkapan dan kegunaannya.
Tindakan Pencegahan
Aspek ini adalah yang paling langsung dan efektif dalam mencegah datangnya kebakaran. Pencegahan dan pembatasan perkembangan api, harus dimulai dari
saat bangunan masih dalam bentuk gambar. Arsitek mempunyai tanggung gawab moral untuk memasukkan perencanaan penanggulangan kebakaran ini pada konsep bangunannya.
Perlu juga dibuat instruksi manual sederhana untuk staf yang kompeten serta untuk melatih penghuni beradaptasi bila hal yang tidak diinginkan terjadi. Staf yang kompeten, misalnya Satpam, atau pegawai kebersihan, atau teknisi dll, perlu untuk diatur secara reguler mengawasi bangunan.
Prosedur
Memformulasikan sistem prosedur adalah bertujuan untuk mensikronisasikan operasional bangunan. Prosedur perbaikan dan perawatan/perlengkapan khususnya peralatan darurat kebakarann, harus dikerjakan terdokumentasi dan dilaksanakan secara sungguh-sungguh oleh staf-staf yang berkompeten.
Semua pihak yang terlibat dalam hal ini (penghuni, terutama pegawai) haruslah mengetahui apa yang harus dilakukan, siapa yang harus dihubungi, bagaimana melakukannya, dan kapan itu perlu. Keuntuingan dari pelaksanaan yang sesuai prosedur, adalah bisa menghindari keterlambatan penyelamatan bila keadaan darurat.
2.1.6.4 Tahap Penanggulangan Kebakaran
Skema Tahap Penanggulangan Kebakaran dapat dilihat sebagai berikut:
Skema diatas, menggambarkan bahwa ada lima tindakan yang harus dilakukan sebelum tingkat bahaya api tidak dapat tertanggulangi lagi, Yaitu :
Mencegah timbulnya kebakaran, dengan mewaspadai sumber-sumber api Mencegah pertumbuhan api, desain kompartemen dan panggunaan material yang resisten.
Memadamkan api secara dini, sistem proteksi aktif berupa pendeteksi dini dan sistem penyemprot
Mengontrol asap, desain kompartemen, ventilasi dan jalur sirkulasi
Melakukan tindakan evakuasi, desain kompartemen, jalur evakuasi vertikal dan horijontal
2.1.6.5 Peran Pemerintah
Peran pemerintah yang belum memadai didalam menyediakan dan mengontrol kebijaksanaan yang berkaitan dengan perlindungan bangunan terhadap bahaya terjadinya kebakaran, ikut andil besar dalam timbulnya masalah kebakaran.
Beberapa kasus yang menjadi penyebab yang diakibatkan oleh kurangnya kebijaksanaan dan kontrol berkaitan dengan hal ini :
Perencanaan kawasan bangunan yang kurang terencana
Daerah terbuka antar dan di sekitar bangunan maupun pemukiman yang terbatas
Akses-akses ke lokasi kecelakaan kebakaran yang sering menyulitkan Hal ini sering terjadi di daerah kawasan pemukiman. Sehingga bila kecelakaan terjadi, hampir dapat dipastikan kerusakan yang timbul sangat besar dan meluas. Karena kurang mendukungnya lokasi buat pasukan pemadam kebakaran untuk menjalankan kegiatannya.
Kapasistas dan jumlah fire hidrant serta kapasitas dan sumber air di lokasi kebakaran yang tidak memenuhi syarat.
Kondisi peralatan pemadam yang terbatas, ini menyangkut kemampuan &
kelengkapan peralatan pasukan pemadam kebakaran terhadap kondisi kebakaran yang dihadapi.
Keterlambatan pertolongan karena buruknya sistem komunikasi dan kemacetan lalu lintas. Ini menyangkut sistem komunikasi yang terbatas, kesiapsiagaan pasukan pemadam ataupun tanda peringatan bahya di lokasi kecelakaan tidak ada atau tidak bekerja dengan baik.
Perlindungan bangunan terhadap bahaya kebakaran yang kurang memenuhi syarat. Hal ini umumnya disebabkan kurang tersedianya persyaratan perlindungan kebakaran pada bangunan dan tidak terkontrolnya pengawasan berkaitan dengan sistrem penanggulangan kebakaran pada saat proses pelaksanaan kontruksi.
Kontruksi dan disain bangunan yang menyulitkan pertolongan pada saat terjadinya kebakaran.
Buruknya perawatan peralatan pena nggulangan bahaya kebakaran pada bangunan.
Tidak dilakukannya pelatihan rutin menghadapi bahaya kebakaran (terutama di kawasan yang rawan kebakaran), sehingga umumnya para korban kecelakaan tidak siap menghadapi kejadian. Hal ini menyebabkan kerusakan, kerugian dan korban jiwa yang dialami berpotensi menjadi lebih besar.
Masalah-masalah tersebut, sedtidaknya menjadi masukan buat para pelaku konstruksi, untuk mulai serius memperhatikan dan merencanakan sistem penanggulangan kebakaran yang memenuhi syarat. Karena bagaimanapun masalah kebakaran ini paling tidak selalu diawali dari persoalan ataupun kealpaan perencanaan bangunan/perumahan itu sendiri untuk kemudian meluas dan menyangkut persoalan banyak pihak.
2.1.6.6 Pengamanan melalui Prosedur Perizinan
Disamping hal-hal diatas, pemerintah mempunyai peran dalam pengamanan kebakaran melalui prosedur-prosedur perizinan dalam proses konstruksi. Seprti kita ketahui, bahwa proses berdirinya suatu bangunan akan melalui proses perencanaan, proses pelaksanaan dan pemakaian/penggunaan bangunan. Pengamanan pada bangunan bisa diterapkan melalui prosedur-prosedur tersebut.
Bentuk izin yang dikeluarkan antara lain :
Izin Mendirikan Bangunan (IMB), untuk pros es-proses perencanaan bangunan. Izin ini me nyangkut beberapa aspek yaitu :
aspek administratif, menyangkut kepemilikan, pajak, dll.
Aspek planologis, menyangkut ketatakotaan
Aspek teknik, menyangkut rencana arsitektur, struktur, instalansi serta perlengkapan lain pada bangunan.
Dari prosedur inilah langkah awal bisa dilakukan kontrol terhadap pengamanan kebakaran.
Izin Penggunaan Bangunan (IPB), pada proses pelaksanaan pembangunan.
Izin ini berpungsi mengontrol apakah perencanaan telah sesui dengan pelaksanaan. Adapun bentuk pengawasannya menyangkut semua aspek teknis pada bangunan. Dalam kaitannya dengan sistem penanggulangan kebakaran, biasannya izin bisa ditunda diberikan bila persyaratan-persyaratan minimalnya
belum terpenuhi. Dengan demikian IPB ini bisa menjadi suatu legitimasi bahwa suatu bangunan telah aman dan layak digunakan.
Izin Perpanjangan Penggunaan Bangunan (IPPB), yang diberikan pada proses penggunaan/pemakaian bangunan
Izin Perpanjangan Penggunaan Bangunan (IPPB) ini adalah merupakan bentuk kontrol pada tahap pasca pembangunan (post construction). Izin ini diberikan secara berkala sebagai kontrol terhadap pemakaian bangunan, apakah masih tetap baik dalam aspek teknisnya pada jangka waktu tertentu.
Dengan ketiga tahap mekanisma perizinan di atas, diharapkan dapat memperkecil kemungkinan tarjadinnya bahaya, terutama kebakaran pada bangunan. Dan bilapun kebakaran tidak juga dapat terhindar, minimal dapat mengoptimalkan penyelamatan serta meminimalkan dampak kerugian pada penghuni, pemilik maupun lingkungan.
2.1.6.7 Kontrol Penggunaan Sistem Penanggulangan Kebakaran
Fungsi kontrol didalam pelaksanaan persyaratan-persyaratan teknis pada bangunan adalah menjadi tanggung jawab semua pihak yang terlibat. Pemerintah sebagai pembuat kebijakan, pelaku kontruksi sebagai pelaksana serta pengguna dan masyarakat selaku pihak yang berhubungan langsung dengan kejadian.
Begitupun, peran pemerintah adalah yang paling signifikan disini, karena penyediaan dan pengelolaan manajemen dan sumber daya yang berkaitan dengan kepentingan umum ada di tangan pemerintah.
Berkaitan dengan peran pemerintah terhadap perlindungan penanggulangan bahaya kebakaran, antara lain :
Pengelolaan dan kontrol terhadap dinas-dinas penanggulangan yang terkait sistem manajemen pengelolan
peralatan dan perlengkapan sumber daya manusia
Penyediaan dan pengelolaan fasilitas-fasilitas pendukung sirkulasi kota dan open space
penyediaan airr
sistem telekomunikasi
peraturan-peraturan terkait, dll
Kontrol persyaratan pelaksanaan proses kontruksi pada bangunan
Ada enam tahap di dalam proses konstruksi yang keseluruhannya bisa dimasukkan persyaratan kualifikasi sistem penanggulangan kebakaran dalam pelaksanaannya. Tahap-tahap tersebut adala h:
tahap perencanaan bangunan tahap desain
tahap pelaksanaan / pengoperasian bangunan tahap perawatan
tahap perbaikan dan atau restorasi bangunan
Peran pemerintahdi sini adalah dengan melakukan pengontrolan atas izin yang dikeluarkan saat sebelum dan ketika proses tahap-tahap konstruksi tersebut berlangsung. Karena kewenangan tersebut, pemerintah mempunyai peran yang signifikan didalam mengontrol kelengkapan persyaratan pada bangunan termasuk persyaratan proteksi terhadap bahaya kebakaran.
2.1.7. Peranan Pemberdayaan Masyarakat Dalam Upaya Pencegahan Kebakaran
Berangkat dari kedudukan, tugas, dan fungsinya, Direktorat Jenderal Cipta Karya Kementerian PU memberikan perhatian yang besar dalam mendukung upaya pemerintah untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan kualitas kehidupan serta penghidupan masyarakat, khususnyaBagan Resiko bahaya sebagai kombinasi dari kecenderunganterjadi dan konsekwensi potensialpeningkatan kualitas lingkungan permukiman. Adanya Program Penanggulangan Kemiskinan di Perkotaan (P2KP) dilaksanakan sejak tahun 1999 sebagai suatu upaya pemerintah untuk membangun kemandirian masyarakat dan pemerintah daerah dalam menanggulangi kemiskinan secara berkelanjutan.
Pelaksanaannya dilakukan secara holistic dan terpadu pada tingkat kawasan/ lingkungan permukiman melalui pengembangan kegiatan usaha ekonomi masyarakat, pemberdayaan sumber daya manusia, dengan memperhatikan tatanan sosial kemasyarakatan serta penataan prasarana lingkungan dan kualitas hunian.
Melalui program ini diharapkan adanya pembangunan dalam aspek sosial, ekonomi dan lingkungan (SEL). Salah satu strateginya adalah dengan pembentukan BKM (Badan Keswadayaan Masyarakat) sebagai badan pelayanan masyarakat untuk mampu secara mandiri memenuhi kebutuhan dan mengelola pembangunan llingkungan di wilayahnya (Community Management), melalui upaya pelatihan- pelatihan. Program ini dapat dikaitkan dengan konsep dan pendekatan upaya pencegahan kebakaran di kawasan permukiman padat. Seperti contoh pada metoda
Wilayah Manajemen Kebakaran (WMK), dimana diharapkan masyarakat dapat menjadi barisan terdepan yang dapat memberikan pertolongan pertama pada saat terjadi kebakaran.
Karena pada banyak kasus kebakaran di permukiman padat, petugas PMK kesulitan untuk menjangkau pusat kebakaran. Dengan adanya barisan relawan kebakaran Balakar (contohnya seperti di Prov. DKI, Bandung, dan Surabaya yang telah menerapkan sistem ini) diharapkan masyarakat dapat membantu meringankan dan meminimalisir kerusakan akibat kebakaran sebelum petugas PMK tiba. Ada 2(dua) sistem pemberdayaan masyarakat :
Top Down : pemerintah berperan memberikan pelatihan kepada masyarakat, ditandai dengan pemberian sertifikat kelulusan. Masyarakat dibekali ilmu cara-cara pemadaman api, pengetahuan mengenai peralatan pemadam sederhana.
Bottom Up : masyarakat memiliki inisiatif sendiri untuk membentuk regu pemadam kebakaran, biasanya dikarenakan daerah tersebut sangat rawan terhadap bahaya kebakaran (contohnya : Kota Samarinda, Pontianak, dan Palangkaraya yang sebagian besar wilayahnya merupakan lahan gambut sehingga rawan terjadi kebakaran).
Dari analisis di atas serta dengan memperhatikan potensi bahaya dan resource yang diperlukan, maka selanjutnya dapat disusun program-program peningkatan kinerja lembaga (baik institusi / instansi pemadam kebakaran maupun lembaga swadaya masyarakat) berikut kegiatan pelaksanaannya yang disusun dalam tahap-tahap yang disepakati.
Dalam Rencana Induk Sistem Proteksi Kebakaran (RISPK) dapat dicantumkan menyangkut kondisi-kondisi yang perlu dipenuhi atau dikembangkan dalam rangka penerapan RISPK seperti perlunya dilakukan sosialisasi, usul pembentukan Dewan Keselamatan Kebakaran di tingkat Kota/Kabupaten serta perlunya dilakukan evaluasi secara berkala terhadap substansi RIK termasuk penyempurnaannya menggunakan teknologi baru (GPS, simulasi komputer), dsb.
Pengembangan Sistem Informasi Kebakaran (Siskar) yang dapat dibentuk di lingkungan permukiman dan dapat dioperasikan oleh warga pada saat terjadi kebakaran juga dapat menjadi salah satu alternatif usaha penanggulangan. Di tiap Kelurahan sistem ini dapat dipasang dan terhubung langsung dengan pos pemadam kebakaran terdekat. Diharapkan dengan adanya sistem ini tingkat kepedulian masyarakat meningkat, upaya penanggulangan pun dapat terlaksana dengan lebih baik sehingga diharapkan dampak kerusakan apabila terjadi kebakaran pun dapat
ditekan seringan mungkin. Berikut adalah beberapa saran sederhana yang dapat dilakukan untuk mencegah kebakaran di permukiman padat :
WPL : waspadai sumber api, proteksi peralatan – peralatan yang berpotensi menimbulkan kebakaran, dan lari pada saat terjadi kebakaran;
Kompartemenisasi, yaitu usaha untuk mencegah penjalaran kebakaran dengan cara membatasi api dengan dinding, lantai, kolom, balok yang memiliki ketahanan api baik.
Pengaturan jarak-jarak antar bangunan;
Sistem proteksi pasif pada bangunan, contohnya pembuatan gunungan pada dinding penutup atap, dan teritis dengan jarak-jarak tertentu agar penjalaran api terhambat;
Pemeriksaan berkala terhadap sistem utilitas pada bangunan, contohnya memeriksa umur kabel – kabel listrik. Banyak kasus perumahan padat yang telah mendapat suplai listrik (dengan 220 V) namun tidak menggunakan kabel berkualitas baik, sehingga rawan korsleting.
EVALUASI DAN ANALISIS PERATURAN PERUNDANGAN
TERKAIT
3.1. Tinjauan Kebijakan Pencegahan dan Penanggulangan Masalah Bahaya Kebakaran
3.1.1. Undang-Undang Bangunan Gedung No. 28 Tahun 2002 tentang Bangunan Gedung
Pembangunan nasional untuk memajukan kesejahteraan umum sebagaimana dimuat di dalam Undang-Undang Dasar 1945 pada hakekatnya adalah pembangunan manusia Indonesia seutuhnya dan pembangunan seluruh masyarakat Indonesia yang menekankan pada keseimbangan pembangunan, kemakmuran lahiriah dan kepuasan batiniah, dalam suatu masyarakat Indonesia yang maju dan berkeadilan sosial berdasarkan Pancasila.
Bangunan gedung sebagai tempat manusia melakukan kegiatannya, mempunyai peranan yang sangat strategis dalam pembentukan watak, perwujudan produktivitas, dan jati diri manusia. Oleh karena itu, penyelenggaraan bangunan gedung perlu diatur dan dibina demi kelangsungan dan peningkatan kehidupan serta penghidupan masyarakat, sekaligus untuk mewujudkan bangunan gedung yang fungsional, andal, berjati diri, serta seimbang, serasi, dan selaras dengan lingkungannya.
Bangunan gedung merupakan salah satu wujud fisik pemanfaatan ruang.
Oleh karena itu dalam pengaturan bangunan gedung tetap mengacu pada pengaturan penataan ruang sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Untuk menjamin kepastian dan ketertiban hukum dalam penyelenggaraan bangunan gedung, setiap bangunan gedung harus memenuhi persyaratan administratif dan teknis bangunan gedung, serta harus diselenggarakan secara tertib.
Undang-undang tentang Bangunan Gedung mengatur fungsi bangunan gedung, persyaratan bangunan gedung, penyelenggaraan bangunan gedung, termasuk hak dan kewajiban pemilik dan pengguna bangunan gedung pada setiap tahap penyelenggaraan bangunan gedung, ketentuan tentang peran masyarakat dan pembinaan oleh pemerintah, sanksi, ketentuan peralihan, dan ketentuan penutup.
Keseluruhan maksud dan tujuan pengaturan tersebut dilandasi oleh asas kemanfaatan, keselamatan, keseimbangan, dan keserasian bangunan gedung dengan lingkungannya, bagi kepentingan masyarakat yang berperikemanusiaan dan berkeadilan. Masyarakat diupayakan untuk terlibat dan berperan secara aktif bukan hanya dalam rangka pembangunan dan pemanfaatan bangunan gedung untuk kepentingan mereka sendiri, tetapi juga dalam meningkatkan pemenuhan
persyaratan bangunan gedung dan tertib penyelenggaraan bangunan gedung pada umumnya.
Perwujudan bangunan gedung juga tidak terlepas dari peran penyedia jasa konstruksi berdasarkan peraturan perundang-undangan di bidang jasa konstruksi baik sebagai perencana, pelaksana, pengawas atau manajemen konstruksi maupun jasa-jasa pengembangannya, termasuk penyedia jasa pengkaji teknis bangunan gedung. Oleh karena itu, pengaturan bangunan gedung ini juga harus berjalan seiring dengan pengaturan jasa konstruksi sesuai dengan peraturan perundang- undangan.
Dengan diberlakukannya undang-undang ini, maka semua penyelenggaraan bangunan gedung baik pembangunan maupun pemanfaatan, yang dilakukan di wilayah negara Republik Indonesia yang dilakukan oleh pemerintah, swasta, masyarakat, serta oleh pihak asing, wajib mematuhi seluruh ketentuan yang tercantum dalam Undang-undang tentang Bangunan Gedung.
Dalam menghadapi dan menyikapi kemajuan teknologi, baik informasi maupun arsitektur dan rekayasa, perlu adanya penerapan yang seimbang dengan tetap mempertimbangkan nilai-nilai sosial budaya masyarakat setempat dan karakteristik arsitektur dan lingkungan yang telah ada, kh ususnya nilai-nilai kontekstual, tradisional, spesifik, dan bersejarah. Pengaturan dalam undang- undang ini juga memberikan ketentuan pertimbangan kondisi sosial, ekonomi, dan budaya masyarakat Indonesia yang sangat beragam. Berkaitan dengan hal tersebut, pemerintah terus mendorong, memberdayakan dan meningkatkan kemampuan masyarakat untuk dapat memenuhi ketentuan dalam undang-undang ini secara bertahap sehingga jaminan keamanan, keselamatan, dan kesehatan masyarakat dalam menyelenggarakan bangunan gedung dan lingkungannya dapat dinikmati oleh semua pihak secara adil dan dijiwai semangat kemanusiaan, kebersamaan, dan saling membantu, serta dijiwai dengan pelaksanaan tata pemerintahan yang baik.
Undang-undang ini mengatur hal-hal yang bersifat pokok dan normatif, sedangkan ketentuan pelaksanaannya akan diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah dan/atau peraturan perundang-undangan lainnya, termasuk Peraturan Daerah, dengan te tap mempertimbangkan ketentuan dalam undang-undang lain yang terkait dalam pelaksanaan undang-undang ini.
Kewenangan Kabupaten di bidang bangunan gedung, berarti pemerintah berwenang melakukan pengaturan, pembinaan, pembangunan, dan pengawasan bangunan gedung. Pengertian bangunan gedung menurut Pasal 1 butir 1 UU Bangunan Gedung adalah wujud fisik hasil pekerjaan konstruksi yang menyatu
dengan tempat kedudukannya, sebagian atau seluruhnya berada di atas dan/atau di dalam tanah dan/atau air, yang berfungsi sebagai tempat manusia melakukan kegiatannya, baik untuk hunian atau tempat tinggal, kegiatan keagamaan, kegiatan usaha, kegiatan sosial, budaya, maupun kegiatan khusus. Dengan demikian, bangunan gedung yang menjadi kewenangan pemerintah Daerah adalah bangunan gedung yang dapat berupa hunian atau tempat tinggal, tempat ibadah, tempat usaha, dan bangunan-bangunan gedung yang digunakan untuk peruntukan selain itu, seperti untuk kegiatan sosial, budaya, dan kegiatan khusus.
3.1.2. Peraturan Pemerintah No. 36 Tahun 2005 tentang Bangunan Gedung Bangunan gedung sebagai tempat manusia melakukan kegiatannya, mempunyai peranan yang sangat strategis dalam pembentukan watak, perwujudan produktivitas, dan jati diri manusia. Karena itu, penyelenggaraan bangunan gedung perlu diatur dan dibina demi kelangsungan dan peningkatan kehidupan serta penghidupan masyarakat, sekaligus untuk mewujudkan bangunan gedung yang andal, berjati diri, serta seimban g, serasi, dan selaras dengan lingkungannya.
Bangunan gedung merupakan salah satu wujud fisik pemanfaatan ruang.
Oleh karena itu, pengaturan bangunan gedung tetap mengacu pada pengaturan penataan ruang sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Untuk menjamin kepastian dan ketertiban hukum dalam penyelenggaraan bangunan gedung, setiap bangunan gedung harus memenuhi persyaratan administratif dan persyaratan teknis bangunan gedung.
Peraturan Pemerintah ini dimaksudkan sebagai pengaturan lebih lanjut pelaksanaan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2002 tentang Bangunan Gedung, baik dalam pemenuhan persyaratan yang diperlukan dalam penyelenggaraan bangunan gedung, maupun dalam pemenuhan tertib penyelenggaraan bangunan gedung.
Peraturan Pemerintah ini bertujuan untuk mewujudkan penyelenggaraan bangunan gedung yang tertib, baik secara administratif maupun secara teknis, agar terwujud bangunan gedung yang fungsional, andal, yang menjamin keselamatan, kesehatan, kenyamanan, dan kemudahan pengguna, serta serasi dan selaras dengan lingkungannya. Peraturan Pemerintah ini mengatur ketentuan pelaksanaan tentang fungsi bangunan gedung, persyaratan bangunan gedung, penyelenggaraan bangunan gedung, peran masyarakat dalam penyelenggaraan bangunan gedung, dan pembinaan dalam penyelengaraan bangunan gedung.
Pengaturan fungsi bangunan gedung dalam Peraturan Pemerintah ini dimaksudkan agar bangunan gedung yang didirikan dari awal telah ditetapkan fungsinya sehingga masy arakat yang akan mendirikan bangunan gedung dapat memenuhi persyaratan baik administratif maupun teknis bangunan gedungnya dengan efektif dan efisien, sehingga apabila bermaksud mengubah fungsi yang ditetapkan harus diikuti dengan perubahan persyaratan administratif dan persyaratan teknisnya. Di samping itu, agar pemenuhan persyaratan teknis setiap fungsi bangunan gedung lebif efektif dan efisien, fungsi bangunan gedung tersebut diklasifikasikan berdasarkan tingkat kompleksitas, tingkat permanensi, tingkat risiko kebakaran, zonasi gempa, lokasi, ketinggian, dan/atau kepemilikan.
Pengaturan persyaratan administratif bangunan gedung dalam Peraturan Pemerintah ini dimaksudkan agar masyarakat mengetahui lebih rinci persyaratan administrati f yang diperlukan untuk mendirikan bangunan gedung, baik dari segi kejelasan status tanahnya, kejelasan status kepemilikan bangunan gedungnya, maupun kepastian hukum bahwa bangunan gedung yang didirikan telah memperoleh persetujuan dari pemerintah daerah dalam bentuk izin mendirikan bangunan gedung.
Kejelasan hak atas tanah adalah persyaratan mutlak dalam mendirikan bangunan gedung, meskipun dalam Peraturan Pemerintah ini dimungkinkan adanya bangunan gedung yang didirikan di atas tanah milik orang/pihak lain, dengan perjanjian. Dengan demikian kepemilikan bangunan gedung dapat berbeda dengan kepemilikan tanah, sehingga perlu adanya peng aturan yang jelas dengan tetap mengacu pada peraturan perundang-undangan tentang kepemilikan tanah.
Bagi pemerintah daerah sendiri, dengan diketahuinya persyaratan administratif bangunan gedung oleh masyarakat luas, khususnya yang akan mendirikan atau memanfaatkan bangunan gedung, menjadi suatu kemudahan dan sekaligus tantangan dalam penyelenggaraan tata pemerintahan yang baik.
Pelayanan pemrosesan dan pemberian izin mendirikan bangunan gedung yang transparan, adil, tertib hukum, partisipatif, tanggap, akuntabilitas, efisien dan efektif, serta profesional, merupakan wujud pelayanan prima yang harus diberikan oleh pemerintah daerah. Pengaturan persyaratan teknis dalam Peraturan Pemerintah ini mengatur lebih lanjut persyaratan teknis tata bangunan dan keandalan bangunan gedung, agar masyarakat dalam mendirikan bangunan gedung mengetahui secara jelas persyaratan-persyaratan teknis yang harus dipenuhi sehingga bangunan gedungnya dapat menjamin keselamatan pengguna dan lingkungannya, dapat ditempati secara aman, sehat, nyaman, dan aksesibel,
sehinggga secara keseluruhan dapat memberikan jaminan terwujudnya bangunan gedung yang fungsional, layak huni, berjati diri, dan produktif, serta serasi dan selaras dengan lingkungannya.
Dengan dipenuhinya persyaratan teknis bangunan gedung sesuai fungsi dan klasifikasinya, maka diharapkan kegagalan konstruksi maupun kegagalan bangunan gedung dapat dihindari, sehingga pengguna bangunan dapat hidup lebih tenang dan sehat, rohaniah dan jasmaniah yang akhirnya dapat lebih baik dalam berkeluarga, bekerja, bermasyarakat dan bernegara.
Pengaturan bangunan gedung dilandasi oleh asas kemanfaatan, keselamatan, keseimbangan, dan keserasian bangunan gedung dan lingkungannya bagi masyarakat yang berperikemanusiaan dan berkeadilan. Oleh karena itu, masyarakat diupayakan untuk terlibat dan berperan aktif, positif, konstruktif dan bersinergi bukan hanya dalam rangka pembangunan dan pemanf aatan bangunan gedung untuk kepentingan mereka sendiri, tetapi juga dalam meningkatkan pemenuhan persyaratan bangunan gedung dan tertib penyelenggaraan bangunan gedung pada umumnya.
Pelaksanaan peran masyarakat yang diatur dalam Peraturan Pemerintah ini juga tetap mengacu pada pera turan perundang-undangan tentang organisasi kemasyarakatan, sedangkan pelaksanaan gugatan perwakilan yang merupakan salah satu be ntuk peran masyarakat dalam penyelenggaraan bangunan gedung juga mengacu pada peraturan perundang-undangan yang terkait dengan gugatan perwakilan. Pengaturan peran masyarakat dimaksudkan untuk mendorong tercapainya tujuan penyelenggaraan bangunan gedung yang tertib, fungsional, andal, dapat menjamin keselamatan, kesehatan, kenyamanan, kemudahan bagi pengguna dan masyarakat di sekitarnya, serta serasi dan selaras dengan lingkungannya.
Pengaturan penyelenggaraan pembinaan dimaksudkan sebagai ketentuan dasar pelaksanaan bagi Pemerintah dan pemerintah daerah dalam melakukan pembinaan penyelenggaraan bangunan gedung dengan berlandaskan prinsip- prinsip tata pemerintahan yang baik. Pembinaan dilakukan untuk pemilik bangunan gedung, pengguna bangunan gedung, penyedia jasa konstruksi, maupun masyarakat yang berkepentingan dengan tujuan untuk mewujudkan tertib penyelenggaraan dan keandalan ba ngunan gedung yang memenuhi persyaratan administratif dan teknis, serta yang dilaksanakan dengan penguatan kapasitas penyelenggara bangunan gedung. Penyelenggaraan bangunan gedung tidak terlepas dari peran penyedia jasa konstruksi baik sebagai perencana, pelaksana, pengawas