i
IMPLEMENTASI PERATURAN MENTERI BUMN NOMOR PER- 15/MBU/2012 TENTANG PEDOMAN UMUM PENGADAAN BARANG
DAN JASA BUMN DALAM PERSPEKTIF HUKUM PERSAINGAN USAHA
SKRIPSI
Oleh:
CATUR SEPTIANA RAKHMAWATI No. Mahasiswa: 12410576
PROGRAM STUDI (S1) ILMU HUKUM F A K U L T A S H U K U M UNIVERSITAS ISLAM INDONESIA
YOGYAKARTA 2016
ii
IMPLEMENTASI PERATURAN MENTERI BUMN NOMOR PER- 15/MBU/2012 TENTANG PEDOMAN UMUM PENGADAAN BARANG
DAN JASA BUMN TERHADAP DALAM PERSPEKTIF HUKUM PERSAINGAN USAHA
SKRIPSI
Diajukan Untuk Memenuhi Persyaratan Guna Memperoleh Gelar Sarjana (Strata-1) pada Fakultas Hukum
Univeristas Islam Indonesia Yogyakarta
Oleh:
CATUR SEPTIANA RAKHMAWATI No. Mahasiswa: 12410576
PROGRAM STUDI (S1) ILMU HUKUM FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM INDONESIA YOGYAKARTA
2016
iii
iv
v
vi
CURRICULUM VITAE
Nama : Catur Septiana Rakhmawati
Tempat, tanggal lahir : Banjarnegara, 24 September 1994 Jenis Kelamin : Perempuan
Alamat Asal : Gumiwang RT 01 RW 05, Kec. Purwanegara, Kab. Banjarnegara, Jawa Tengah.
Nomor Hp : 0812 3077 2302
Email : [email protected]
Bahasa : Indonesia
Inggris
Pendidikan Formal
- SD N 1 Gumiwang (tahun masuk 2000)
- SMP N 1 Bawang angkatan (tahun masuk 2006) - SMAN 1 Banjarnegara angkatan (tahun masuk 2009)
- Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia angkatan (tahun masuk 2012 – sampai sekarang)
Pendidikan Non-Formal
- Pelatihan Penelitian Hukum Normatif dan Empiris diselenggarakan oleh CLDS FH UII tahun 2013
- Karya Latihan Bantuan Hukum diselenggarakan oleh Lembaga Bantuan Hukum Yogyakarta tahun 2015
- English course at EME (English Made Easy)
- Workshop Legal Audit for Corporate Lawyer diselenggarakan oleh Fakultas Hukum UGM tahun 2016
Pengalaman Organisasi
- OSIS SMAN 1 Banjarnegara periode 2009/2010 dan 2010/2011 - Magang Lembaga Eksekutif Mahasiswa FH UII 2012/2013 - Fungsionaris Lembaga Eksekutif Mahasiswa FH UII 2013/2014
vii
- Anggota Forum Kajian dan Penulisan Hukum FH UII 2013/2014 dan 2014/2015.
- Bendahara Umum Lembaga Eksekutif Mahasiswa FH UII 2014/2016 - Divisi Public Relation Institute for Integrity 2015 – sekarang.
Pengalaman Penelitian
Penelitian tentang Perbandingan Penyelenggaraan Pendidikan Profesi Advokat di Beberapa Negara sebagai Asisten Peneliti.
Karya Tulis Ilmiah
- Manajemen Kompetensi Hakim sebagai Upaya Revitalisasi Moral Hakim di Indonesia
- Pendidikan Integritas sebagai Upaya Restorasi Sosial di Indonesia
Penghargaan
- Juara 2 Legislative Drafting tentang RUU Pasar Modal dalam Kompetisi Hukum Nasional Diponegoro Law Fair 2016 diselenggarakan oleh Universitas Diponegoro.
- Kategori Berkas Terbaik tentan RUU Pasar Modal dalam Kompetisi Hukum Nasional Diponegoro Law Fair 2016 diselenggarakan oleh Universitas Diponegoro.
- Juara 2 Debat Konstitusi tingkat Regional Tengah diselenggarakan oleh Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia tahun 2015.
- Mahasiswa Berprestasi FH UII 2015.
- Juara 1 Legislative Drafting tentang RUU Pemilukada dalam Kompetisi Hukum Nasional Diponegoro Law Fair 2015 diselenggarakan oleh Universitas Diponegoro.
- Finalis Constitusional Drafting dalam Kompetisi Hukum Nasional Padjajaran Law Fair 2014 diselenggarakan oleh Universitas Padjajaran.
- Finalis Karya Tulis Ilmiah dalam Kompetisi Hukum Nasional Law Enforcement Fair 2013 diselenggarakan oleh Universitas Sumatera Utara.
viii MOTTO
SO VERILY, WITH THE HARDSHIP, THERE IS A RELIEF VERILY, WITH THE HARDSHIP, THERE IS A RELIEF
(QS Al Insyirah: 5-6)
Jadi diri sendiri itu baik, tetapi tidak semua yang ada pada diri itu baik.
The best asset of humans being is their mind. Don’t let anyone steal it.
(Mike Ross on Suits)
ix
PERSEMBAHAN
Skripsi ini saya persembahkan dengan tulus, ikhlas, dan hati yang suci khusus kepada:
Kedua orang tua tercinta dan keluarga penulis, yang selalu mendo’akan dan memberikan dukungan lahir dan batin dalam memberikan yang terbaik
untuk penulis
Ayah Alm. Tutur Slamet & Ibu Suyati
Kakak-kakak Penulis yang telah mendukung dan memberi arahan bagi penulis
Adi Budi Santoso Dewi Palupi Yuwono Tri Bima Purnama Sidi
Guru pembimbing, yang selalu memberikan motivasi, semangat dan teladan bagi penulis
Dr. Siti Anisah, S.H., M.Hum.
Kupersembahkan pula pemikiran sederhana ini kepada:
Almamater tercinta, Universitas Islam Indonesia
x
KATA PENGANTAR Assalamu’alaikum Wr. Wb.
Puji syukur alhamdulillah penulis ucapkan kehadirat Allah SWT, yang telah melimpahkan rahmat, taufiq dan hidayah-Nya kepada penulis sehingga penulis dapat menyelesaikan karya ilmiah yang berjudul “Implementasi Peraturan Menteri BUMN Nomor Per-15/MBU/2012 tentang Pedoman Umum Pengadaan Barang dan Jasa BUMN terhadap Kegiatan Usaha BUMN dalam Perspektif Hukum Persaingan Usaha”. Tak lupa shalawat beserta salam semoga tetap terlimpah curahkan kepada Nabi Muhammad SAW yang dengan gigihnya mengarahkan umat manusia melangkahkan kaki dari zaman kebiadaban menuju zaman penuh peradaban.
Penyusunan penulisan hukum ini diajukan guna memenuhi persyaratan akademis dalam memperoleh gelar Strata 1 (S1) Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia. Penulis menyadari segala kekurangan dan ketidaksempurnaan dalam penulisan hukum ini, sehingga kritik dan saran yang bersifat membangun akan penulis terima untuk kemajuan proses belajar penulis kelak di kemudian hari. Akhir kata penulis mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang turut berpartisipasi dalam penulisan hukum ini, semoga penulisan hukum ini dapat bermanfaat bagi pembaca.
Pada kesempatan kali ini pula penulis ingin menyampaikan ucapan terimakasih yang sedalam-dalammnya kepada:
1. Allah SWT. Karena berkat rahmat dan hidayahnya sehingga penulis dapat menyelesaikan tugas akhir ini dengan lancar;
2. Kedua orang tuaku tercinta, Alm. Tutur Slamet dan Ibu Suyati.
3. Kakak-kakakku tersayang Adi Budi Santoso, Dewi Palupi Yuwono, Tri Bima Purnama Sidi serta Seseorang yang telah Penulis anggap sebagai
“ayah kedua” bagi penulis Sumadi juga untuk Mbak Nur dan Mba Atun.
4. Dr. Siti Anisah, S.H., M.Hum, Prof. Dr. Ni‟matul Huda, S.H., M.Hum, Sri Hastuti Puspita Sari, S.H, M.H., para dosen hebat yang lebih dari sekedar dosen. Orang tua kedua di kampus tercinta. Orang tua yang tak lelah memberikan ilmu dan nasihat luar biasa yang selalu berhasil membuat anakmu ini bersemangat untuk terus belajar.
xi
5. Dr. Aunur Rahim Faqih, S.H., M.Hum selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia.
6. Seluruh dosen Perdata Fakultas Hukum UII.
7. Terimakasih untuk kakak, sahabat, motivator, reminder bagi penulis yaitu Zaka, Mbak Farah, Mbak Nafi, Mas Arbi, dan Chema.
8. Sahabatku Lintang Kinasih Wijayani, Nurul Qamariah Adijaya, Shaifmaya Muthaharah, Maryam Nur Hidayati, dan Fiesta Faradila.
9. Sahabat seperjuangan skripsi, Sekar Santi Nastiti dan Hagrina.
10. Kakak dan Saudariku di LEM FH UII Harry Setya Nugraha, Khori Fitriana, dan Nikmah Isniani.
11. Teman-teman diskusi Business Law Community Mentari, Dion, Ayu, Alif, Bella, Pocong, Mas Nanda, Mas Ikbal, dan seluruh anggota BLC FH UII.
12. Teman-teman FKPH Raisa, Mas Wibi, Mas Yasin, Mbak Yayat, Ghani Rachman dan seluruh keluarga besar FKPH yang tidak bisa dituliskan namanya satu per satu.
13. Adik-Adikku di kampus Nabila, Meika, Uci, Gagah, Deo, Asfia, Yuniar, 14. Keluarga Institute for Integrity.
15. Seluruh teman-temanku 2012 yang tidak dapat satu persatu disebutkan dalam tulisan ini.
16. Teman-teman KKN unit 35, Cece, Tania, Ququ, Akbar, Gilang, Endar alias AA‟ Burjo, dan Koko.
17. Semua pihak yang berkontribusi bagi penulis yang tidak dapat disebutkan satu persatu oleh penulis
Akhir kata penulis mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang turut berpartisipasi dalam penulisan hukum ini, semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi pembaca.
Wassalamu’alaikum Wr.Wb.
Yogyakarta,
Catur Septiana Rakhmawati (12410576)
xii DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ... i
HALAMAN PENGAJUAN ... ii
HALAMAN PERSETUJUAN ... iii
HALAMAN PENGESAHAN ... iv
LEMBAR ORISINALITAS ... v
CURRICULUM VITAE ... vi
MOTTO ... vii
PERSEMBAHAN ... viii
KATA PENGANTAR ... ix
DAFTAR ISI ... x
ABSTRAK ... xi
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masakah ... 1
B. Rumusan Masalah ... 9
C. Tujuan Penelitian ... 10
D. Manfaat Penelitian ... 10
E. Tinjauan Pustaka ... 11
F. Metode Penelitian ... 19
G. Kerangka Skripsi ... 22
xiii
BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI HUKUM PERSAINGAN USAHA, PERAN NEGARA DALAM PEREKONOMIAN DAN PERATURAN
PERUNDANG-UNDANGAN
A. Tinjauan Umum tentang Hukum Persaingan Usaha ... 24 B. Peran Negara dalam Perekonomian ... 38 C. Peraturan Perundang-Undangan ... 45
BAB III IMPLEMENTASI PERATURAN MENTERI BUMN NOMOR PER-15/MBU/2012 TENTANG PEDOMAN UMUM PENGADAAN BARANG DAN JASA BUMN DALAM PERSPEKTIF HUKUM PERSAINGAN USAHA
A. Peraturan Menteri BUMN Nomor Per-15/MBU/2012 tentang Pedoman Umum Pelaksanaan Pengadaan Barang dan Jasa Badan Usaha Milik Negara berdasarkan Pasal 50 huruf a Undang-Undang No. 5 Tahun 1999
... 55 B. Implementasi Peraturan Menteri Bumn Nomor Per-15/Mbu/2012 Tentang
Pedoman Umum Pengadaan Barang Dan Jasa Bumn Dalam Perspektif Hukum Persaingan Usaha ... 69 BAB IV KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan ... 79 B. Saran ... 81
DAFTAR PUSTAKA ... 83
xiv ABSTRAK
Peraturan Menteri Negara BUMN Nomor Per-15/MBU/2012 yang mengatur tentang pedoman pelaksanaan pengadaan barang dan/atau jasa oleh BUMN pada faktanya menimbulkan benturan dengan hukum persaingan usaha. Hal ini kemudian terbukti dengan adanya kasus yang melibatkan PT Angkasa Pura II dan PT Telekomunikasi Indonesia (keduanya merupakan BUMN) sebagai para terlapor dalam dugaan pelanggaran Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Persaingan Usaha. Peraturan Menteri BUMN Nomor Per-15/MBU/2012 ini dapat menimbulkan entry barrier (hambatan masuk) bagi pelaku usaha swasta. Hal ini disebabkan BUMN harus mengutamakan BUMN lain, anak perusahaan BUMN, dan/atau perusahaan terafiliasi BUMN. Sebagai sebuah entitas hukum, BUMN seharusnya mandiri dalam menjalankan kegiatan usahanya. Negara, meskipun bertindak sebagai pemegang saham BUMN, seharusnya tidak dapat mencampuri kegiatan usaha BUMN karena berlaku doktrin separate legal entity dimana suatu perusahaan merupakan badan hukum yang terpisah dari siapa yang membuatnya dan siapa yang mengurusnya. Perlu diingat pula bahwa BUMN tunduk pada Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 dan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 dimana dalam kedua undang-undang tersebut mengamanatkan bahwa suatu perusahaan dalam menjalankan kegiatan usahanya tidak boleh bertentangan dengan peraturan perundang-udnangan lain. Oleh karena itu, BUMN juga harus tunduk pada Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999. BUMN seharusnya bertindak do like privat dan tidak bergantung pada negara agar mampu bersaing dengan pelaku usaha lainnya, termasuk dalam hal ini pelaku usaha swasta, sehingga BUMN dapat meningkatkan kinerja dan kualitas yang dimilikinya.
Penelitian ini merupakan penelitian yuridis-normative yang disajikan dengan metode deskriptif kualitatif dimana menyajikan hasil penelitian dengan narasi yang diperoleh dari analisis bahan hukum. Fokus penelitian ini yaitu mengkaji apakah Peraturan Menteri BUMN Nomor Per-15/MBU/2012 termasuk dalam peraturan perundang-undangan sebagaimana dimksud dalam Pasal 50 huruf a Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 serta bagaimana implementasi yang ditimbulkan dari pemberlakuannya terhadap kegiatan usaha BUMN.
Berdasarkan hasil analisi yang dilakukan, makna peraturan perundang-undangan dalam Pasal 50 huruf a tidak dapat diterjemahkan secara luas dimana hanya peraturan setingkat undang-undang yang dikecualikan dari Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 atau peraturan perundang-undangan dibawahnya yang mendapat delegasi langsung. Selain itu, implemetasi dari Peraturan Menteri BUMN dalam perpektif hukum persaingan usaha akan menimbulkan dampak yaitu disatu sisi akan menghambat kinerja BUMN karena BUMN dapat diperiksa dan dikenakan sanksi jika terbukti melanggar Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 serta menibulkan entry barrier bagi pelaku usaha swasta. Oleh karena itu, pemerintah seharusnya meninjau kembali Peraturan Menteri BUMN Nomor Per- 15/MBU/2012 agar tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan diatasnya khususnya Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999.
Keyword : Implementasi, Peraturan, Hukum Persaingan Usaha.
1 BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Pembangunan nasional di Indonesia diarahkan pada tercapainya peningkatan kesejahteraan bagi seluruh rakyat.1 Untuk mencapai kesejahteraan tersebut menjadi tanggung jawab negara. Oleh karena itu, salah satu hal yang dilakukan negara adalah dengan melakukan kegiatan ekonomi. Terdapat beberapa bentuk-bentuk kegiatan ekonomi yang dilakukan negara misalnya membentuk Badan Usaha Milik Negara (BUMN).2
BUMN menurut Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara merupakan perusahaan negara yang seluruh atau sebagian modalnya dimiliki oleh negara melalui penyertaan secara langsung yang berasal dari kekayaan negara yang dipisahkan. Selanjutnya, Pasal 1 angka 2 Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 menyebutkan bahwa Perusahaan Perseroan (Persero) merupakan BUMN yang berbentuk Perseroan Terbatas.
Pengertian perseroan terbatas diatur dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas yang menyebutkan bahwa Perseroan Terbatas (PT) adalah badan hukum yang merupakan persekutuan modal, didirikan berdasarkan perjanjian, melakukan kegiatan usaha dengan modal dasar yang
1 Galuh Puspaningrum, Hukum Persaingan Usaha: Perjanjian dan Kegiatan yang Dilarang dalam Hukum Persaingan Usaha di Indonesia, Aswaja Pressindo, Yogyakarta, 2013, hlm. 1.
2http://share.its.ac.id/pluginfile.php/1284/mod_resource/content/1/Konsep_Dasar_Ekono mi.pdf diakses pada tanggal 11 Mei 2016.
2
seluruhnya terbagi dalam saham dan memenuhi persyaratan yang ditetapkan dalam undang-undang ini serta aturan pelaksanaannya.3 Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa BUMN merupakan bentuk perseroan terbatas yang juga berarti bahwa BUMN adalah badan hukum.
Bentuk BUMN sebagai badan hukum menandakan bahwa BUMN merupakan subjek hukum yang mandiri.4 Maksudnya, sebagai subjek hukum yang mandiri, ia bersifat independen (mandiri) dari pendiri, anggota, atau penanam modal badan tersebut.5 Konsep kemandirian BUMN juga sejalan dengan separate legal entity doctrine dalam hukum perusahaan. Separate legal entitiy doctrine6 merupakan suatu doktrin yang diambil dari analisis kasus Salomon v. Salomon pada tahun 1987.7 Pada intinya doktrin ini memberikan pemahaman bahwa suatu perusahaan merupakan badan hukum yang terpisah dari siapa yang membuatnya dan siapa yang mengurusnya. Oleh karena itu, sebuah perseroan terbatas disebut sebagai badan hukum yang mandiri termasuk dalam hal ini yaitu BUMN.
BUMN dalam menjalankan kegiatan usahanya mempunyai dua unsur yang sangat esensial yaitu di satu sisi sebagai unsur negara karena negara sebagai bertindak sebagai pemegang saham dan di sisi lain bertindak sebagai unsur bisnis,
3 Lihat Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007.
4 Subjek hukum terdiri atas manusia (natuurlijk persoon) dan badan hukum (persona moralis, legal person, legal entity, rechtpersoon). Keduanya adalah penyandang hak dan kewajiban hukum. Dengan kata lain, sebagaimana menurut J.Satrio, mereka (natuurlijk persoon dan legal person) memiliki hak dan/atau kewajiban yang diakui hukum, dalam Ridwan Khairandy, H, Perseroan Terbatas (Doktrin, Peraturan Perundang-Undangan, dan Yurisprudensi), Edisi Revisi, Penerbit Total Media, Yogyakarta, 2009, hlm. 4.
5 Ibid., hlm. 5.
6 Gonzolla Villalta Puig, A Two-Edge Sword: Salomon and the Separate Legal Entity Doctrine, Journal Corporation Law, Vol. 7, Number 3, September 2000, dalam
http://www.murdoch.edu.au/elaw/issues/v7n3/puig73a_text.html diakses pada tanggal 28 April 2016.
7 http://www.uniassignment.com/essay-samples/law/the-separate-legal-entity-concept- law-company-business-partnership-essay.php diakses pada tanggal 28 April 2016.
3
sehingga BUMN dapat disebut sebagai badan usaha yang memiliki karakteristik istimewa. Karakteristik yang istimewa tersebut menurut Anoraga, dirumuskan sebagai berikut “A corporation clothed with the power of government but possessed the flexibility an initiative of a private enterprise”.8 Oleh karena itu, penulis disini berpendapat bahwa meskipun BUMN merupakan badan hukum yang mandiri, namun dalam kegiatan usahanya BUMN sangat mungkin dipengaruhi oleh negara yang bertindak sebagai pemegang saham. Ditambah lagi, negara merupakan pemegang saham mayoritas dalam sebuah BUMN. Hal ini sebagaimana diatur dalam Pasal 1 angka 2 Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 yang mengatur bahwa modal BUMN terbagi dalam saham yang seluruh atau paling sedikit 51% (lima puluh satu persen) sahamnya dimiliki oleh Negara Republik Indonesia yang tujuan utamanya mengejar keuntungan.9
Pemegang saham mayoritas tentu memiliki kendali yang cukup besar dalam kegiatan usaha yang dilakukan oleh BUMN terutama dalam RUPS (Rapat Umum Pemegang Saham). Dengan suara minimal 51%, maka sangat mungkin segala kebijakan perseroan sebagian besar ditentukan oleh pemegang saham mayoritas10 dalam hal ini negara. Namun, pertanyaannya adalah sejauh mana negara melalui statusnya sebagai pemegang saham dapat mencampuri kegiatan usaha BUMN mengingat BUMN merupakan suatu subyek hukum yang mandiri.
Ditambah lagi, dalam hukum perusahaan dikenal dengan pengklasifikasian jenis saham. Hal ini berarti, sangat mungkin bagi suatu perusahaan untuk
8 Nur Fadjrih Asyik, Political-Economy Accounting Perspective: Landasan Baru Pemberdayaan BUMN, Jurnal Investasi, Vol. 6, No. 1, 2010, hlm. 64.
9 Lihat Pasal 1 angka 2 Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003.
10 Ridwan Khairandy, Op.Cit., hlm. 195.
4
menerbitkan lebih dari satu klasifikasi saham. Apabila terdapat lebih dari satu klasifikasi saham, maka di dalam angaran dasar diatur terkait hal tersebut.11 Dengan adanya klasifikasi saham ini semakin menambah “kemudahan” bagi negara untuk melakukan campur tangan terutama jika negara menjadi pemegang saham prioritas.12 Demikian pula negara pun seharusnya tidak memberikan perlakuan khusus terhadap salah satu pelaku usaha baik BUMN maupun perusahaan swasta.
Ketika berbicara terkait dengan campur tangan negara, maka sebenarnya campur tangan tidak selalu berakhir negatif. Dalam hal pembangunan ekonomi, adanya campur tangan pemerintah menjadi sebuah keniscayaan, meskipun pada awalnya peran pemerintah hanya diakui sebatas penyediaan social overhead capital atau infrastruktur untuk memfasilitasi pembangunan ekonomi.
Perkembangan selanjutnya justru melahirkan pemikiran yang menegaskan tentang perlunya pemerintah melakukan campur tangan yang lebih luas dalam perekonomian untuk menyelesaikan masalah tertentu.13 Hal ini termasuk ketika terjadi kegagalan pasar sehingga dibutuhkan peran pemerintah. Salah satu nya yaitu dalam hal regulasi.14
Fungsi regulasi dari suatu negara dapat dikatakan sebagai campur tangan negara terhadap pasar dalam bentuk “rezim persaingan‟ atau “competition
11 Lihat Pasal 53 ayat (4) Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007
12 Jenis-jenis klasifikasi saham yaitu terdapat saham biasa dan saham yang memiliki keistimewaan (preference shares). Kemudian preference shares ini terbagi menjadi tiga jenis yaitu saham preferen, saham preferen kumulatif dan saham prioritas. Saham prioritas yakni saham yang memberikan hak kepada pemegangnya hak khusus dalam RUPS misalnya hak untuk memilih atau menunjuk direksi dan komisaris perseroan, hak veto dalam perubahan Anggaran Dasar dan keputusan RUPS menjadi tidak sah apabila pemegang saham prioritas tidak menghadiri RUPS.
13 Nur Fadjrih Asyik, Op.Cit., hlm. 60.
14 Ibid.
5
regime”.15 Fungsi regulasi ini sangat diperlukan sebagai langkah untuk menjaga pasar agar tetap kompetitif serta untuk melindungi konsumen dari tindakan para pelaku-pelaku usaha yang bersifat abusive.16 Oleh karena itu dalam menjalankan fungsi regulasinya, negara kemudian mengeluarkan sebuah Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat agar menciptakan persaingan sehat dalam suatu pasar.17 Undang- undang inilah yang menjadi dasar atau pilar utama dalam rezim persaingan dewasa ini.
Salah satu tujuan dibentuknya Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 adalah menjaga kepentingan umum dan menegakkan efisiensi ekonomi nasional sebagai salah satu upaya untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat.18 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 ini berlaku dan mengikat secara umum termasuk bagi pelaku usaha BUMN dan swasta. Keberlakuan ini pun pada dasarnya sejalan dengan Pasal 3 Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 bahwa terhadap BUMN berlaku undang-undang ini (Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003), anggaran dasar, dan ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya, termasuk juga Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999.
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 memiliki tujuan utama yaitu agar menciptakan persaingan yang sehat di antara pelaku usaha. Namun, dalam tataran implementasinya pelaku usaha seringkali melanggar undang-undang tersebut
15 Dedie S. Martadisastra, Pertumbuhan Ekonomi dan Kebijakan Persaingan, dalam http://www.kppu.go.id/id/blog/2011/08/pertumbuhan-ekonomi-dan-kebijakan-persaingan/ diakses pada 28 April 2016
16 Togar Tanjung, Persaingan Usaha dan Peran Pemerintah, dalam
http://law.ui.ac.id/v2/buletin/opini/67-persaingan-usaha-dan-peran-negara diakses pada tanggal 28 April 2016.
17 Selanjutnya disebut Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999
18 Dedie S. Martadisastra, Loc.Cit.
6
karena perilaku mereka menyimpang dan menimbulkan hambatan masuk. Selain dilakukan oleh para pelaku usaha, hambatan masuk ini juga dapat ditimbulkan karena tindakan pemerintah melalui regulasinya. Salah satu contohnya yaitu Peraturan Menteri Negara BUMN Nomor Per-15/MBU/2012 tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri Negara Badan Usaha Milik Negara Nomor Per- 05/MBU/2008 tentang Pedoman Umum Pelaksana Pengadaan Barang dan Jasa Badan Usaha Milik Negara. Peraturan Menteri BUMN Nomor Per-15/MBU/2012 pada intinya mengatur terkait sinergi antar BUMN dalam pengadaan barang dan jasa. Dalam Pasal 2 ayat (4) berbunyi “Pengguna barang dan jasa mengutamakan sinergi antar BUMN, Anak Perusahaan BUMN, dan/atau Perusahaan Terafiliasi BUMN, dalam rangka meningkatkan efisiensi usaha atau perekonomian”.19 Efisiensi sangat penting dalam menjalankan roda perekenomian terkhusus bagi negara, baik negara berkembang maupun bagi negara yang sudah maju. Hal ini dikarenakan ekonomi pasar tumbuh melalui tiga hal yaitu kadar kompetisi dalam negeri, kadar keterbukaan negara terhadap perdagangan dan integrasinya dengan bagian lain di dunia.20
Tujuan dengan adanya sinergi BUMN disini memang patut untuk diapresiasi. Namun, Peraturan Menteri BUMN Nomor Per-15/MBU/2012 justru menimbulkan permasalahan karena norma dalam peraturan menteri tersebut bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999. Dalam Peraturan Menteri tersebut terdapat klausul pasal yang berpotensi menimbulkan pertentangan dengan hukum persaingan usaha di Indonesia karena dengan adanya
19 Lihat Permen BUMN Nomor Per-15/MBU/2012
20 Pendapat Allan Green Span, Mantan Gubernur Federal Reserve System (The FED) dalam Dedie S. Martadisastra, Loc.Cit.
7
sinergi BUMN dapat menimbulkan hambatan masuk (entry barrier).21 Selain itu, dalam Peraturan Menteri BUMN Nomor Per-15/MBU/2012 juga terdapat penormaan yang memungkinkan untuk dilakukan penunjukan langsung yang diatur dalam Pasal 9 ayat (1) berbunyi “Pengadaan Barang dan Jasa melalui penunjukan langsung dilakukan dengan menunjuk langsung 1 (satu) atau lebih Penyedia Barang dan Jasa”. Tidak hanya itu, pengaturan terkait dengan penunjukan langsung juga termuat dalam Pasal 12 Peraturan Menteri Nomor Per- 15/MBU/2012. Penunjukan langsung mungkin saja dilakukan oleh Pemerintah dalam pengadaan barang dan jasa, namun disini perlu ditekankan bahwa BUMN disini merupakan entitas bisnis, meskipun di sisi lain pemegang saham mayoritas BUMN adalah negara.
Entry barrier yang ditimbulkan disebabkan karena BUMN harus mengutamakan sesama BUMN, anak perusahaan BUMN, atau pihak yang terafiliasi untuk menjadi rekan bisnisnya dalam pengadaan barang dan/jasa.
tindakan Menteri BUMN dengan mengeluarkan peraturan tersebut merupakan bentuk diskriminasi terhadap pelaku usaha non BUMN. Kemudian, berkaitan dengan penunjukan langsung pada sebuah pengadaan barang dan/jasa pada dasarnya merupakan tindakan diskriminasi sebagaimana dalam Pasal 19 huruf d Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999.22 Perlu diingat bahwa terhadap pelaku usaha yang melakukan kegiatan yang sama, atau yang dapat disamakan, akan mendapat perlakuan yang sama menurut prinsip dan standar hukum persaingan usaha yang berlaku, antara lain adalah memberikan jaminan adanya keadilan (fairness), kesamaan kesempatan (equality), dan perlakuan yang sama atau non
21 Anna Maria Tri Anggraini, Sinergi BUMN dalam Pengadaan Barang dan/atau Jasa dalam Perspektif Persaingan Usaha, Jurnal Mimbar Hukum, Vol. 25, No. 3, 2013, hlm. 447.
22 Ibid., hlm. 453.
8
diskriminasi.23 Tindakan non diskriminasi ini juga seharusnya diterapkan oleh pemerintah dengan memberikan perlakuan yang sama terhadap pelaku usaha baik BUMN maupun non BUMN, sehingga BUMN dalam melakukan pengadaan barang dan jasa tetap berpedoman pada prinsip persaingan usaha yang sehat.
Hal lain yang mungkin muncul ketika melaksanakan Peraturan Menteri BUMN Nomor Per-15/MBU/2012 dengan dibukanya kesempatan untuk melakukan penunjukan langsung tersebut juga akan menimbulkan potensi persekongkolan tender. Persekongkolan penawaran tender (bid rigging) termasuk salah satu perbuatan yang dianggap merugikan negara, karena terdapat unsur manipulasi harga penawaran, dan cenderung menguntungkan pihak yang terlibat dalam persekongkolan.24 Bahkan di Jepang, persekongkolan penawaran tender dan kartel dianggap merupakan tindakan yang secara serius memberikan pengaruh negatif bagi ekonomi nasional.25 Larangan persekongkolan tender dalam Undang- Undang Nomor 5 Tahun 1999 diatur dalam Pasal 22 yang berbunyi “ Pelaku usaha dilarang bersekongkol dengan pihak lain untuk mengatur dan/atau menentukan pemenang tender sehingga dapat mengakibatkan terjadinya persaingan usaha tidak sehat”.
Pada faktanya, ketika Peraturan Menteri BUMN Nomor Per-15/MBU/2012 diterapkan terbukti menimbulkan permasalahan seperti kasus yang menimpa PT.
Angkasa Pura II dan PT. Telekomunikasi Indonesia (keduanya sebagai terlapor)
23 Ibid., hlm. 455.
24 Adrian Sutedi, Aspek Hukum Pengadaan Barang dan Jasa dan Berbagai Permasalahannya, Edisi Kedua, Cet. Pertama, Sinar Grafika, Jakarta, 2012, hlm. 279.
25 Kzuhiko Takeshima (Chairman Fair Trade Commision of Japan), The Lesson from Experience of Antimonopoly Act in Japan and the Future of Competition Laws and Policies in East Asia, disajikan dalam 2nd East Asia Conference on Competition Law and Policie (Toward Effective Implementation of Competition Policies in East Asia), Bogor, 3-4 Mei 2005 dalam Ibid.
9
dalam Putusan KPPU Nomor 07/KPPU-I/2013 yang memutus perkara tentang kasus penyediaan jaringan telekomunikasi dan mewajibkan bagi penyewa tenant untuk menggunakan layanan E-Pos (Electronic Point of Sales).26 Dalam kasus ini terlapor menggunakan dalil pengecualian hukum sedang menjalankan perintah Peraturan Menteri BUMN untuk melakukan sinergi. Pada faktanya, di dalam putusan KPPU tersebut para terlapor justru memanfaatkan dalil sinergi untuk melakukan tindakan lain yang dilarang oleh UU Nomor 5 Tahun 1999 yaitu Pasal 15 tentang perjanjian tertutup (tying agreement).
Berdasarkan beberapa hal yang telah dipaparkan sebelumnya, maka penelitian ini bertujuan untuk menjawab permasalahan terkait Peraturan Menteri BUMN Nomor Per-15/MBU/2012 yang dalam implementasinya mengakibatkan terjadi pelanggaran terhadap hukum persaingan di Indonesia. Mengingat dalam Pasal 50 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 terdapat hal-hal yang dikecualikan dari undang-undang ini, maka apakah Peraturan Menteri BUMN Nomor Per-15/MBU/2012 termasuk dalam kategori yang dikecualikan dari Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999. Selain itu, bagaimana implementasinya dalam perspektif hukum persaingan usaha.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah yang telah diuraikan, maka penulis menarik dua rumusan masalah yaitu:
26 Lihat Putusan KPPU Nomor 07/KPPU-I/2013 tentang tentang dugaan pelanggaran Undang-undang Nomor 5 Tahun 1999 terkait Penyediaan Jaringan Telekomunikasi dan
Implementasi e-pos di Bandar Udara Soekarno Hatta yang dilakukan oleh PT. Angkasa Pura II dan PT. Telekomunikasi Indonesia.
10
1. Apakah Peraturan Menteri BUMN Nomor Per-15/MBU/2012 termasuk dalam pengecualian Pasal 50 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat?
2. Bagaimana Implementasi Peraturan Menteri BUMN Nomor Per- 15/MBU/2012 tentang Perubahan atas Peraturan Menteri BUMN Nomor PER-05/MBU/2008 tentang Pedoman Umum Pelaksanaan Pengadaan Barang dan Jasa Badan Usaha Milik Negara BUMN ditinjau dari perspektif hukum persaingan usaha?
C. Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk:
1. mengkaji apakah Peraturan Menteri BUMN Nomor PER-15/MBU/2012 sebagai regulasi yang termasuk dalam pengecualian Pasal 50 Undang- Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat.
2. meneliti implikasi penerapan Peraturan Menteri BUMN Nomor PER- 15/MBU/2012 tentang Perubahan atas Peraturan Menteri BUMN Nomor PER-05/MBU/2008 tentang Pedoman Umum Pelaksanaan Pengadaan Barang dan Jasa Badan Usaha Milik Negara ditinjau dari perspektif hukum persaingan usaha Indonesia.
11 D. Manfaat atau Kegunaan
Berdasarkan rumusan masalah dan tujuan penelitian di atas, maka hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat. Adapun manfaat tersebut penulis kelompokkan menjadi :
1. Secara Teoritis
a. Sebagai usaha pengembangan ilmu pengetahuan dalam Hukum Persaingan Usaha khususnya mengenai tindakan BUMN yang melakukan sinergi dalam pengadaan barang dan/atau jasa.
b. Sebagai salah satu referensi bagi penulis berikutnya yang mengkaji permasalahan yang sama.
2. Secara Praktis
a. Bagi masyarakat, khususnya pemerintah untuk memberikan pemahaman terkait dengan bagaimana sinergi BUMN yang memiliki tujuan untuk meningkatkan nilai ekonomi antar BUMN jika dilihat dari perspektif hukum persaingan usaha di Indonesia b. Untuk penulis, untuk menambah pemahaman dan wawasan
terutama dalam bidang usaha BUMN yang dilakukan sinergi antar BUMN dalam pelaksanaannya kemudian dibenturkan dengan hukum persaingan usaha di Indonesia.
12 E. Tinjauan Pustaka
1. Hukum Persaingan Usaha
Salah satu esensi penting bagi terselenggaranya pasar bebas adalah persaingan para pelaku pasar dalam memnuhi kebutuhan konsumen.27 Dalam bersaing untuk memnuhi kebutuhan konsumen, para pelaku usaha sering kali melakukan praktik-praktik curang atau tidak sehat (unfair competition) yang dapat merugikan konsumen hingga negara. Oleh karena hal tersebut, negara-negara di belahan dunia semakin sadar untuk mengatur agar para pelaku usaha berkompetisi dengan cara yang sehat, sehingga terciptanya pasar bebas yang berkeadilan.
Dewasa ini, sebagian besar negara di dunia telah memiliki Undang- Undang yang mengatur tentang larangan praktik monopoli dan persaingan usaha tidak sehat. Bahkan, negara-negara seperti Republik Rakyat China (RRC) dan Federasi Russia yang notabene adalah negara- negara komunis, dimana segala aktivitas ekonomi diatur dan terpusat oleh negara (central planned economy), juga mulai mereformasi kebijakan ekonomi mereka menuju ekonomi yang berorientasi pada mekanisme pasar.28 Inti dari ekonomi pasar adalah desentralisasi keputusan, berkaitan dengan “apa”, “berapa banyak”, dan “bagaimana”
produksi.29 Dengan berorientasinya perekonomian pada mekanisme pasar hal ini berarti terjadi pasar yang bebas dan memberikan kesempatan bagi
27 Johnny Ibrahim, Hukum Persaingan Usaha (Filosofi, Teori dan Implikasi Penerapannya di Indonesia), Bayumedia Publishing, Malang, Cet. Ketiga, 2009, hlm. 2
28 Ibid., hlm. 1.
29 Andi Fahmi, et al., Hukum Persaingan Usaha Antara Teks dan Konteks, diterbitkan oleh KPPU RI, 2009, hlm. 1
13
individu-individu atau pelaku usaha untuk mengambil keputusan bisnisnya.
Terkait dengan hukum persaingan usaha di Indonesia, kesadaran untuk mengaturnya diwujudkan melalui Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999. Pasal 2 Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 menyebutkan bahwa pelaku usaha di Indonesia dalam menjalankan kegiatan usahanya berasaskan demokrasi ekonomi dengan memerhatikan keseimbangan antara kepentingan pelaku usaha dan kepentingan umum. Asas tersebut sesuai dengan amanat konstitusi yaitu Pasal 33 UUD NRI 1945. Ciri khas demokrasi ekonomi adalah diwujudkan oleh semua anggota masyarakat, dan harus mengabdi kepada kesejahteraan seluruh rakyat.
Dalam pengaturan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999, ditetapkan norma larangan berdasarkan sifatnya yaitu larangan yang bersifat per se illegality dan yang bersifat rule of reason. Keduanya digunakan sebagai suatu pendekatan untuk menilai apakah suatu tindakan tertentu dari pelaku usaha melanggar ketentuan undang-undang. Dalam pelaksanaannya, terdapat lemabga negara komplementer (state auxiliary organ) yang berwenang untuk menegakkan hukum persaingan usaha yaitu Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU).
Dua hal yang menjadi usur penting bagi penentuan kebijakan (policy objectives) yang ideal dalam pengaturan persaingan di negara- negara yang memiliki undang-undang persaingan adalah kepentingan umum (public interest) dan efisiensi ekonomi (economic efficiency) yang mana hal tersebut menjadi bagian dalam tujuan diundangkannya Undang-
14
Undang Nomor 5 Tahun 1999.30 Adapun tujuan dari Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 sebagaimana diatur dalam Pasal 3 adalah untuk :
a. menjaga kepentingan umum dan meningkatkan efisiensi ekonomi nasional sebagai salah satu upaya untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat;
b. mewujudkan iklim usaha yang kondusif melalui pengaturan persaingan usaha yang sama bagi pelaku usaha besar, pelaku usaha menengah dan pelaku usaha kecil;
c. mencegah praktik monopoli dan/atau persaingan usaha tidak sehat yang ditimbulkan oleh pelaku usaha; dan terciptanya efektivitas dan efisiensi dalam kegiatan usaha.
d. Terciptanya efektivitas dan efisiensi dalam kegiatan usaha.
Menurut konsepsi persaingan usaha yang modern, hal tersebut dapat dicapai dari proses persaingan melalui memaksa alokasi faktor secara ekonomis, sehingga terwujudlah penggunaan paling efisien sumber daya yang terbatas, penyesuaian kapasitas produksi dengan perubahan metode produksi dan struktur permintaan, serta orientasi penyediaan barang dan jasa kepada kepentingan konsumen (fungsi kontrol persaingan usaha). Dengan menjamin pertumbuhan ekonomi yang optimal, kemajuan teknologi dan tingkat harga yang stabil (fungsi pendorong persaingan usaha), serta menyalurkan dengan distribusi pendapatan menurut kinerja pasar melalui kompensasi berdasarkan produktifitas marginal (fungsi distribusi).31
Persaingan usaha memungkinkan pasar menghargai kinerja pelaku usaha yang baik, sedangkan kinerja yang tidak baik dikenakan sanksi.
Dengan demikian, persaingan usaha mendorong kegiatan pelaku usaha, memungkinkan pelaku usaha baru masuk pasar, dan efisiensi kegiatan
30 Ibid., hlm. 15.
31 Suyud Margono, Hukum Anti Monopoli, Sinar Grafika, Jakarta, 2009, hlm. 29.
15
pelaku usaha dapat ditingkatkan. Persaingan usaha juga menjamin penghematan biaya yang diteruskan kepada konsumen (persaingan usaha mengakibatkan harga keseluruhan lebih murah, meskipun di pasar-pasar tertentu harga juga dapat naik akibat realokasi sumber ke produksi di pasar-pasar lain), dan konsumen juga beruntung dari segi kuantitas, kualitas, dan keanekaragaman produk yang lebih banyak.32
Kemudian, dalam UU No. 5 Tahun 1999 mengatur beberapa hal yang esensial yaitu perjanjian yang dilarang, kegiatan yang dilarang, serta penyalahgunaan posisi dominan. Perjanjian yang dilarang yaitu terdiri dari oligopoli, penetapan harga, pembagian wilayah, pemboikotan, kartel, trust, oligopsoni, integrasi vertikal, perjanjian tertutup, dan perjanjian dengan pihak luar negeri. Untuk kegiatan yang dilarang yaitu monopoli, monopsoni, penguasaan pasar, dan persekongkolan.
Sedangkan penyalahgunaan posisi dominan yaitu rangkap jabatan, pemilikan saham, penggabungan, peleburan dan pengambilalihan.
Selain mengatur hal-hal esensial seperti telah dijelaskan sebelumnya, Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 juga mengatur terkait hal-hal yang dikecualikan dimana diatur dalam Pasal 50 huruf a.
Ketentuan pengecualian dalam Pasal 50 huruf a Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 dimaksudkan untuk:33
a. Menyeimbangkan kekuatan ekonomi yang tidak sama, misalnya kegiatan yang dilakukan oleh pelaku usaha kecil dalam rangka meningkatkan kekuatan penawarannya ketika menghadapi pelaku
32 Ibid., hlm. 29.
33 Peraturan Komisi Pengawas Persaingan Usaha Nomor 5 Tahun 2009 tentang Pedoman Pasal Tentang Ketentuan Pengecualian Pasal 50 Huruf a dalam Persaingan Usaha.
16
usaha yang memiliki kekuatan ekonomi lebih kuat. Dalam kasus yang demikian terhadap pelaku usaha kecil, dapat diberikan pengecualian dalam penerapan hukum persaingan usaha.
b. Menghindari terjadinya kerancuan dalam penerapan Undang- Undang Nomor 5 Tahun 1999 apabila terjadi konflik kepentingan yang sama-sama ingin diwujudkan melalui kebijakan yang diatur dalam berbagai peraturan perundangundangan.
c. Mewujudkan kepastian hukum dalam penerapan peraturan perundang-undangan, misalnya pengecualian bagi beberapa kegiatan lembaga keuangan untuk mengurangi resiko dan ketidakpastian. Sektor keuangan perlu dijaga stabilitasnya, mengingat pentingnya peran sektor keuangan dalam proses pengembangan ekonomi.
d. Melaksanakan ketentuan Pasal 33 ayat (2), (3) dan ayat (4) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Namun demikian, ketentuan pengecualian tersebut memiliki potensi menimbulkan permasalahan karena sangat mungkin terjadi kontradiksi terhadap berbagai peraturan perundang-undangan yang berlaku. Oleh karena itu, dalam implementasinya harus memperhatikan hal-hal sebagai berikut:34
a. sejauh mana hukum dan kebijakan di bidang persaingan usaha sebagai prioritas yang harus diterapkan;
b. jika ketentuan pengecualian yang harus diterapkan, maka harus jelas alasan dan paramater yang menjadi dasar pemilihan ketentuan pengecualian tersebut; dan
c. dalam hal apa kebijakan yang diatur dalam peraturan perundang- undangan yang lain dapat tetap dilaksanakan, meskipun tidak sejalan dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999.
2. Peran Negara dalam Perekonomian
Meskipun kegiatan ekonomi pada akhirnya diserahkan kepada mekanisme pasar, namun tidak memungkiri bahwa peran pemerintah juga dibutuhkan dalam beberapa hal. Alasan-alasan pemerintah melakukan campur tangan tidak selalu memiliki tujuan buruk, misalnya mencegah kegagalan pasar yang timbul karena faktor-faktor eksternal,
34Ibid., hlm. 8.
17
mengawasi sumber daya dan barang-barang umum milik bersama, membatasi kekuatan pasar, dan mengurangi ketidakefisienan akibat informasi yang tidak cukup atau tidak seimbang.35 Di samping peraturan ekonomi, pemerintah mengatur tingkah laku pelaku usaha untuk mengedepankan sasaran yang bernilai dalam bidang-bidang kesehatan, keamanan, dan mutu lingkungan hidup.36
Walaupun peraturan dibuat sebagai tanggapan terhadap berbagai tujuan sosial dan ekonomi yang ingin dicapai oleh pemerintah, sisi buruknya dapat menimbulkan hal-hal sebagai berikut:37
a. Menyebabkan hambatan terhadap persaingan usaha seperti pembatasan terhadap masuknya pelaku usaha baru atau aliran barang dan jasa antar daerah dan negara bagian;
b. Memudahkan koordinasi harga dan produksi di antara pesaing;
c. Mengenakan biaya yang lebih tinggi untuk pelaku usaha baru dan usaha kecil dibandingkan dengan yang dikenakan pada pelaku usaha lama atau perusahaan yang lebih besar;
d. Memberikan perlindungan secara sebagian atau menyeluruh kepada perusahaan dari hukum persaingan usaha nasional.
3. Peraturan Perundang-Undangan
Peraturan perundang-undangan merupakan terjemahan dari istilah Belanda “Wettelijk regeling”, secara harfiah berarti “wet” (undang- undang) dan “telijk” (sesuai/berdasarkan), maka artinya adalah sesuai /berdasarkan undang-undang. Dalam arti teori, undang-undang dibedakan menjadi:38
35 Vivek Ghosal, Toolkit Penilaian Persaingan Usaha, Institute Teknologi Georgia, Jilid II, Versi 2.0, hlm. 9 dalam http://www.oecd.org/daf/competition/98765439.pdf diakses pada tanggal 12 Mei 2016.
36 Ibid.
37 Ibid., hlm. 19.
38 Kuantana Magnar dan Susi Dwi Haryati, Ilmu Perundang-Undangan, dalam http://ksh.fh.unpad.ac.id/wp-content/uploads/2014/07/CIC-IPU-sari-kuliah.pdf diakses pada tanggal 7 Agustus 2016.
18
a. Undang-undang dalam arti formil, adalah keputusan penguasa yang diberi nama undang-undang disebabkan bentuk yang menjadikan undang-undang. Hal ini didasarkan pada teori positivisme yang mengatakan bahwa undang-undang adalah satu-satunya hukum;
b. Undang-undang dalam arti materiil, adalah keputusan penguasa yang dibuat dari segi isinya mempunyai kekuatan mengikat secara umum dan dibuat oleh pejabat pada lingkungannya, serta mengandung konsekuensi bahwa hukum itu tidak hanya undang- undang saja, namun juga harus memenuhi ciri-ciri materil.
Menurut Rousseau, hakikat dari suatu undang-undang yaitu bertujuan untuk menegakkan hukum dan menjamin kebebasan dari pada warga negaranya, dalam pengertian bahwa kebebasan dalam batas perundang-undangan, sedangkan undang-undang disini berhak membuatnya adalah rakyat itu sendiri. UUD NRI Tahun 1945 menganut sistem undang-undang materil, karena substansi dan materi yang terkandung di dalamnya memenuhi ciri-ciri undang-undang materil dan menganut undang-undang dalam arti luas, artinya hukum tidak hanya undang-undang saja.39
Dalam membentuk suatu peraturan perundang-undangan harus berpedoman pada asas:40
a. kejelasan tujuan;
b. kelembagaan atau pejabat pembentuk yang tepat;
c. kesesuaian antara jenis, hierarki, dan materi muatan;
d. dapat dilaksanakan;
e. kedayagunaan dan kehasilgunaan;
f. kejelasan rumusan;
g. keterbukaan.
Kemudian, terkait dengan materi muatan peraturan perundang-undangan secara umum harus mencerminkan asas:
a. pengayoman;
b. kemanusiaan;
39 Ibid.
40 Lihat Pasal 5 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011.
19 c. kebangsaan;
d. kekeluargaan;
e. kenusantaraan;
f. bhineka tunggal ika;
g. keadilan;
h. kesamaan kedudukan dalam hukum dan pemerintahan; ketertiban dan kepastian hukum; dan/atau
i. keseimbangan, keserasian, dan keselarasan.
Sistem hukum Indonesia mensyaratkan adanya suatu hierarki peraturan perundang-undangan. Dewasa ini, terkait dengan hirarki peraturan perundang-undangan diatur dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan terkhusus pada Pasal 7 dan Pasal 8. Pasal 7 ayat (1) berbunyi sebagai berikut:
(1) “Jenis dan hierarki Peraturan Perundang-Undangan terdiri atas:
a. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
b. Ketetapan Majelis Permusyaratan Rakyat;
c. Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang- Undang;
d. Peraturan Pemerintah;
e. Peraturan Presiden;
f. Peraturan Daerah Provinsi; dan g. Peraturan Daerah Kabupaten/Kota.”
Sedangkan Pasal 8 ayat (1) UU No. 12 Tahun 2011 berbunyi “Jenis Peraturan Perundang-undangan selain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1) mencakup peraturan yang ditetapkan oleh Majelis Permusyawaraan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Mahkamah Agung, Mahkamah Konstitusi, Badan Pemeriksa Keuangan, Komisi Yudisial, Bank Indonesia, Menteri, badan, lembaga, atau komisi yang setingkat yang dibentuk dengan undang-undang atau pemerintah atas perintah undang-undang, Dewan Perwakilan Rakyat
20
Daerah Provinsi, Gubernur, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota, Bupati/Walikota, Kepala Desa atau yang setingkat”.
F. Metode Penelitian 1. Fokus Penelitian
Fokus penelitian dalam tulisan ini adalah berkaitan dengan :
a. Peraturan Menteri BUMN No. PER-15/MBU/2012 apakah termasuk sebagai regulasi yang di kecualikan dari Pasal 50 UU No.
5 Tahun 1999.
b. Implementasi Peraturan Menteri BUMN No. PER-15/MBU/2012 yang di dalamnya mengatur tentang sinergi BUMN dalam perspektif hukum persaingan usaha
2. Bahan Hukum
a. Bahan Hukum Primer, yakni bahan yang mempunyai kekuatan mengikat secara yuridis, yang digunakan dalam tulisan ini yaitu :
1) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat
2) Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara
3) Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas
4) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan.
21
5) Peraturan Menteri Badan Usaha Milik Negara Nomor PER- 15/MBU/2012 tentang Perubahan atas Peraturan Menteri BUMN Nomor PER-05/MBU/2008 tentang Pedoman Umum Pelaksanaan Pengadaan Barang dan Jasa Badan Usaha Milik Negara
6) Putusan KPPU Perkara Nomor 07/KPPU-I/2013 tentang dugaan pelanggaran Undang-undang Nomor 5 Tahun 1999 terkait Penyediaan Jaringan Telekomunikasi dan Implementasi e-pos di Bandar Udara Soekarno Hatta yang dilakukan oleh PT. Angkasa Pura II dan PT. Telekomunikasi Indonesia.
b. Bahan Hukum Sekunder, yakni bahan yang tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara yuridis.41 Bahan hukum sekunder bersifat menjelaskan atau membahas bahan hukum primer, terdiri dari buku-buku, jurnal-jurnal, kamus, penelitian sebelumnya, dan literatur lainnya yang terkait dengan parmasalahan yang diteliti.
3. Teknik Pengumpulan Data a. Data Primer
Putusan KPPU Perkara Nomor 07/KPPU-I/2013 tentang dugaan pelanggaran Undang-undang Nomor 5 Tahun 1999 terkait Penyediaan Jaringan Telekomunikasi dan Implementasi e-pos di Bandar Udara Soekarno Hatta yang dilakukan oleh PT. Angkasa Pura II dan PT. Telekomunikasi Indonesia.
b. Data Sekunder
41 Tim Penyusun Buku Pedoman Penulisan Tugas Akhir S-1 Ilmu Hukum FH UII, Panduan Penulisan Tugas Akhir Mahasiswa, Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia, Yogyakarta, 2012.
22
Data sekunder yang dibutuhkan dalam penelitian ini adalah buku- buku, peraturan perundang-undangan, maupun sumber tertulis lainnya yang berkaitan dengan objek penelitian melalui studi kepustakaan maupun studi dokumen.
4. Metode Pendekatan
Metode pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah yuridis normatif. Pendekatan yuridis normatif merupakan suatu proses untuk menemukan suatu aturan hukum, prinsip-prinsip hukum, maupun doktrin-doktrin hukum untuk menjawab permasalahan hukum yang dihadapi. Dalam penelitian yuridis normatif juga menggunakan pendekatan perundang-undangan yakni menelaah semua undang- undang dan regulasi yang terkait dengan isu hukum yang sedang ditangani atau diteliti.
5. Metode Analisis Data
Dalam penelitian ini menggunakan analisis deskriptif kualitatif, yang disajikan dalam bentuk narasi, kalimat, atau kata yang diperoleh dari hasil analisis bahan hukum.
G. Kerangka Skripsi
Hasil penelitian yang diperoleh setelah dilakukan analisis, kemudian disusun dalam bentuk laporan akhir dengan sistematikan penulisan sebagai berikut :
23
BAB I, Pendahuluan berisi latar belakang masalah, perumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, tinjauan pustaka, metode penelitian dan penulisan skripsi.
BAB II, merupakan BAB yang berisi tinjauan umum dimana menyajikan teori-teori yang bersumber dari undang-undang, buku-buku, maupun literatur-literatur lain mengenai hukum persiangan usaha di Indonesia, peraturan perundang-undangan, serta peran negara dalam perekonomian.
BAB III, merupakan bab yang berisi analisis dan pembahasan dimana memaparkan hasil penelitian berupa penjelasan terkait apakah Peraturan Menteri BUMN Nomor PER-15/MBU/2012 termasuk dalam pengecualian yang dimaksud Pasal 50 huruf a Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 serta bagaimana Implementasi Peraturan Menteri BUMN Nomor Per- 15/MBU/2012 ditinjau dari pespektif hukum persiangan usaha di Indonesia.
BAB IV, merupakan bab penutup yang menyajikan kesimpulan dari pembahasan tentang rumusan masalah yang telah dijawab secara komprehensif dan dilengkapi dengan saran sebagai bahan rekomendasi dari hasil penelitian.
24 BAB II
TINJAUAN UMUM TENTANG HUKUM PERSAINGAN USAHA, PERAN NEGARA DALAM PEREKONOMIAN, DAN PERATURAN
PERUNDANG-UNDANGAN
A. Tinjauan Umum tentang Hukum Persaingan Usaha.
1. Pengertian Persaingan Usaha
Dewasa ini banyak negara di dunia menganut ekonomi pasar bebas sebagai akibat dari globalisasi.42 Menurut Fukuyama, prinsip-prinsip liberal dalam ekonomi “pasar bebas”, telah menyebar dan berhasil memproduksi kesejahteraan material yang belum pernah dicapai sebelumnya.43 Hal ini dikarenakan, terjadi perkembangan yang sangat cepat yang menimpa negara-negara industri dan negara-negara berkembang, padahal negara- negara tersebut menjelang Perang Dunia II adalah negara dunia ketiga yang sangat miskin. Selain itu, menurut Fukuyama sebuah revolusi liberal dalam pemikiran ekonomi terkadang mendahului dan terkadang mengikuti gerakan menuju kebebasan politik di seluruh dunia.44 Oleh karena itu, sebuah pengaturan yang mengatur terkait keberlangsungan pasar bebas sangatlah diperlukan.
Salah satu esensi penting bagi terselenggaranya pasar bebas tersebut adalah persaingan para pelaku pasar dalam memenuhi kebutuhan
42 Andi Fahmi, et,al, Op.Cit., hlm. 2.
43 Johnny Ibrahim, Op.Cit., hlm. 2.
44 Francis Fukuyama, The End of History and The Last of Man, Kemenangan Kapitalisme dan Demokrasi Liberal, Yogyakarta, Qalam, 2004, hlm. 4. dalam Ibid., hlm. 2.
25
konsumen.45 Dalam hal ini persaingan usaha merupakan sebuah proses di mana para pelaku usaha dipaksa menjadi perusahaan yang efisien dengan menawarkan pilihan-pilihan produk dan jasa dalam harga yang lebih rendah.
Persaingan atau competition dalam bahasa Inggris oleh Webster didefinisikan sebagai “...a struggle or contest between two or more persons for the same objects.”46 Berdasarkan pengertian tersebut, dapat disimpulkan bahwa dalam persaingan terdapat dua unsur yaitu adanya dua pihak atau lebih yang terlibat dan adanya tujuan yang sama.
Dalam konsep persaingan usaha, adanya persaingan dengan sendirinya akan menghasilkan barang dan/atau jasa yang memiliki daya saing yang baik, melalui mekanisme produksi yang efisien dan efektif serta mempergunakan seminimum mungkin faktor-faktor produksi yang ada.47 Terdapat beberapa pengertian persaingan yaitu:
a. Persaingan menunjukan banyaknya pelaku usaha yang menawarkan/memasok barang dan/atau jasa tertentu ke pasar yang bersangkutan. Banyak sedikitnya pelaku usaha yang menawarkan barang dan/atau jasa ini menunjukan struktur pasar (market structure) dari barang atau jasa tersebut.
b. Persaingan merupakan suatu proses dimana masing-masing perusahaan berupaya memperoleh pembeli/pelanggan bagi produk yang dijualnya, dimana antara lain dapat dilakukan dengan:48
1) Menekan harga (price competition);
2) Persaingan bukan harga (non-price competition), misalnya yang dilakukan melalui diferensiasi produk, pengembangan hak atas kekayaan intelektual, promosi, pelayanan purna jual, dan lain-lain;
3) Berusaha secara lebih efisien (low cost production).
45 Ibid.
46 Arie Siswanto, Hukum Persaingan Usaha, Ghalia Indonesia, Jakarta Selatan, 2002, hlm. 13.
47 http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/29351/3/Chapter%20II.pdf diakses pada tanggal 31 Mei 2016.
48 Gunawan Widjaja, Merger dalam Perspektif Monopoli, PT Raja Grafindo, Jakarta, 1999, hlm. 10.
26
Persaingan memang selalu dikonotasikan negatif, namun jika kita melihat lebih dalam persaingan juga dapat membawa aspek positif apabila dilihat dari dua perspektif yaitu ekonomi dan non ekonomi.49 Dari sudut pandang ekonomi, argumentasi sentral untuk mendukung persaingan berkutat pada masalah efisiensi. Argumentasi ini merupakan mashab ekonomi klasik tentang stuktur yang terbaik. Mengikuti sumber ekonomi akan bisa dialokasikan dan didistribusikan secara baik apabila pelaku ekonomi dibebaskan untuk melakukan aktivitas mereka dalam kondisi bersaing dan bebas menentukan pilihan mereka.
Sedangkan dari sisi non ekonomi, kondisi persaingan juga membawa pengaruh positif, misalnya saja di bidang politik. Menurut Scherer yang dikutip dalam Arie Siswanto mencatat bahwa setidaknya ada tiga argument yang mendukung persaingan dalam dunia usaha.50 Pertama, dalam kondisi penjual maupun pembeli terstruktur secara atomistic (masing-masing berdiri sebagai unit-unit terkecil dan independen) yang ada dalam persaingan, kekuasaan ekonomi atau yang didukung oleh faktor ekonomi (economic or economic supported power) menjadi tersebar dan terdesentralisasi. Dengan demikian pembagian sumber daya alam dan pemerataan pendapat akan terjadi secara mekanik, terlepas sama sekali dari campur tangan kekuasaan pemerintah maupun pihak swasta yang memegang kekuasaan.51
Gagasan melepaskan aktivitas sipil (termasuk aktivitas ekonomi) dari campur tangan penguasa (khususnya pemerintah) ini sejalan dengan ideologi liberal yang mewarnai sistem pemerintahan negara-negara barat.
49 Arie Siswanto, Op.Cit., hlm 14-17.
50 Ibid,
51 Ibid.
27
Secara khusus kehadiran ketentuan persaingan antimonopoly di Amerika Serikat mendapatkan dukungan yang sangat kuat dari ideologi politik semacam ini, seperti saat Carl Kaysen mengatakan:52
“If the regime of competition and the arguments laissez faire ever commended themselves widely, it has been primarily on political rather than economic grounds. The replacement of the all-too- visible hand of the state by the invisible hand of the market place, which guided each to act for the common good while pursuing his own interest and aim without an overt show of constraint, was what attracted general ideological support to the liberal cause.”
Kedua, berkaitan erat dengan hal di atas, sistem ekonomi pasar yang kompetitif akan bisa menyelesaikan persoalan-persoalan ekonomi secara impersonal, bukan melalui personal pengusaha maupun birokrat.53 Dalam keadaan seperti ini, kekecewaan politis masyarakat yang usahanya terganjal keputusan pengusaha maupun penguasa tidak akan terjadi. Ketiga, kondisi persaingan juga berkaitan erat dengan kebebasan manusia untuk mendapatkan kesempatan yang sama di dalam berusaha. Dalam kondisi persaingan, pada dasarnya setiap orang akan punya kesempatan yang sama untuk berusaha dan dengan demikian hak setiap manusia untuk mengembangkan diri (the right to self-development) dapat terjamin.
Disamping itu, dalam konteks pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan, persaingan juga membawa implikasi positif sebagai berikut:54
a. Persaingan merupakan sarana melindungi para pelaku ekonomi terhadap eksploitasi dan penyalahgunaan. Kondisi persaingan
52 F.M. Scherer, Industrial Market Structure and Economic Performance, Rand MCNally
& Co, 1980, p. 15. dalam Ibid., hlm. 15.
53 Ibid.
54 http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/29351/3/Chapter%20II.pdf diakses pada tanggal 1 Juni 2016
28
menyebabkan kekuatan ekonomi para pelaku ekonomi tidak terpusat pada tangan tertentu. Dalam kondisi tanpa persaingan, kekuatan ekonomi akan terealisasikan pada beberapa pihak saja.
Kekuatan ini pada tahap berikutnya akan menyebabkan kesenjangan besar dalam posisi tawarmenawar (bargaining position), serta pada akhirnya membuka peluang bagi penyalahgunaan dan eksploitasi kelompok ekonomi tertentu.
Sebagai contoh sederhana, persaingan antar penjual dalam industri tertentu akan membawa dampak protektif terhadap para konsumen/pembeli, karena mereka diperebutkan oleh para penjual serta dianggap sebagai sesuatu yang berharga.
b. Persaingan mendorong alokasi dan realokasi sumber-sumber daya ekonomi sesuai dengan keinginan konsumen. Karena ditentukan oleh permintaan (demand), perilaku para penjual dalam kondisi persaingan akan cenderung mengikuti pergerakan permintaan para pembeli. Dengan demikian, suatu perusahaan akan meninggalkan bidang usaha yang tidak memiliki tingkat permintaan yang tinggi. Singkatnya, pembeli akan menentukan produk apa yang dan produk yang bagaimana yang mereka sukai dan penjual akan bisa mengefisienkan alokasi sumber daya dan proses produksi seraya berharap bahwa produk mereka akan mudah terserap oleh permintaan pembeli.
c. Persaingan bisa menjadi kekuatan untuk mendorong penggunaan sumber daya ekonomi dan metode pemamfaatannya secara efisien. Dalam perusahaan yang bersaing secara bebas, maka mereka akan cenderung menggunakan sumber daya secara efesien. Jika tidak demikian, resiko yang akan dihadapi oleh perusahaan adalah munculnya biaya berlebihan (excessive cost) yang pada gilirannya akan menyingkirkan dia dari pasar.
d. Persaingan bisa merangsang peningkatan mutu produk, pelayanan, proses produksi dan tekhnologi. Dalam kondisi persaingan, setiap pesaing akan berusaha mengurangi biaya produksi serta memperbesar pangsa pasar (market share). Metode yang bisa ditempuh untuk mencapai tujuan itu diantarnya adalah dengan meningkatkan mutu pelayaan, produk, proses produksi, serta inovasi tekhnologi. Dari sisi konsumen, keadaan ini akan memberikan keuntungan dalam hal persaingan akan membuat produsen memperlakukan konsumen secara baik.
Dasar pemikiran diaturnya perlindungan terhadap persaingan usaha tercantum dalam Pasal 33 ayat (1) UUD NRI 1945 yaitu demokrasi ekonomi. Ciri khas demokrasi ekonomi adalah perekonomian diwujudkan oleh semua anggota masyarakat, dan harus mengabdi kepada kesejahteraan
29
seluruh rakyat.55 Pada hakikatnya, keberadaan hukum persaingan usaha adalah mengupayakan secara optimal terciptanya persaingan usaha yang sehat dan efektif pada suatu pasar tertentu yang mendorong agar pelaku usaha melakukan efisiensi agar mampu bersaing dengan para pesaingnya.56
Kebijakan penegakkan hukum peraingan usaha yang wajar dan sehat dalam dunia usaha, antara lain ditujukan untuk:57
a. Menjamin persaingan di pasar yang inherent dengan pencapaian efisiensi ekonomi di semua bidang kegiatan usaha dan perdagangan;
b. Menjamin kesejahteraan konsumen serta melindungi kepentingan konsumen; dan
c. Membuka peluang pasar yang seluas-luasnya dan menjaga agar tidak terjadi konsentrasi kekuatan ekonomi pada kelompok tertentu.
Selain itu, Suharsil dan Mohammad Taufik Makarao dalam bukunya yang berjudul “Hukum Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha tidak Sehat di Indonesia” menuliskan beberapa tujuan dari hukum persaingan usaha yaitu:
a. Memelihara kondisi kompetisi yang bebas, perlindungan terhadap persaingan (competition) tidaklah identic dengan perlindungan terhadap pesaing (competitors). Hukum persaingan usaha ditujukan untuk melindungi persaingan, bukan pesaingnya. Tujuan ini dilandasi oleh alasan ekonomi (efisiensi dalam persaingan) maupun ideologi (kebebasan yang sama untuk berusaha atau bersaing). Persaingan sehat akan membawa dampak terhadap alokasi dan realokasi sumber daya ekonomi secara efisien. Di samping itu, persaingan yang sehat akan memacu inovasi dalam teknologi maupun proses produksi.
55 Suyud Margono, Op.Cit., hlm. 28.
56 Susanti Adi Nugroho, Hukum Persaingan Usaha Di Indonesia dalam Teori dan Praktik serta Penerapan Hukumnya, Kencana, Cetakan II, Jakarta, 2012, hlm. 4.
57 Nurmin S. Pakpahan, Pokok-Pokok Pikiran Kerangka Kerja Acuan Pembuatan RUU tentang Persaingan, Jurnal Hukum Bisnis, Vol. 4, 1998, hlm. 26.