• Tidak ada hasil yang ditemukan

EFEKTIVITAS ECENG GONDOK (Eichhornia crassipes) SEBAGAI FITOREMEDIATOR LOGAM KROM HEKSAVALEN (Cr 6+ ) PADA LIMBAH CAIR INDUSTRI BATIK DI YOGYAKARTA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "EFEKTIVITAS ECENG GONDOK (Eichhornia crassipes) SEBAGAI FITOREMEDIATOR LOGAM KROM HEKSAVALEN (Cr 6+ ) PADA LIMBAH CAIR INDUSTRI BATIK DI YOGYAKARTA"

Copied!
67
0
0

Teks penuh

(1)

EFEKTIVITAS ECENG GONDOK (Eichhornia crassipes) SEBAGAI FITOREMEDIATOR

LOGAM KROM HEKSAVALEN (Cr6+)

PADA LIMBAH CAIR INDUSTRI BATIK DI YOGYAKARTA

PRATAMA AJI NUGROHO

PROGRAM STUDI BIOLOGI FAKULTAS SAINS DAN TEKNOLOGI

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA

2021 / 1442 H

(2)

LOGAM BERAT KROM HEKSAVALEN (Cr6+)

PADA LIMBAH CAIR INDUSTRI BATIK DI YOGYAKARTA

Skripsi

Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Sarjana Sains Pada Program Studi Biologi Fakultas Sains dan Teknologi

Universitas Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta

PRATAMA AJI NUGROHO 11170950000050

PROGRAM STUDI BIOLOGI FAKULTAS SAINS DAN TEKNOLOGI

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA

2021 / 1442 H

(3)

EFEKTIVITAS ECENG GONDOK (Eichhornia crassipes) SEBAGAI FITOREMEDIATOR

LOGAM BERAT KROM HEKSAVALEN (Cr6+)

PADA LIMBAH CAIR INDUSTRI BATIK DI YOGYAKARTA

Skripsi

Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Sarjana Sains Pada Program Studi Biologi Fakultas Sains dan Teknologi

Universitas Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta

PRATAMA AJI NUGROHO 11170950000050

Menyetujui, Pembimbing I,

Dr. Dasumiati, M.Si.

NIP. 197309231999032002

Mengetahui,

Ketua Program Studi Biologi Fakultas Sains dan Teknologi

Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta

Dr. Priyanti, M.Si.

NIP. 197505262000122001

Pembimbing II,

Ir. Etyn Yunita, M.Si.

NIP. 197006282014112002

(4)

iv

PENGESAHAN UJIAN

Skripsi berjudul “Efektivitas Eceng Gondok (Eichhornia crassipes) sebagai Fitoremediator Logam Berat Krom Heksavalen (Cr6+) pada Limbah Cair Industri Batik di Yogyakarta” yang ditulis oleh Pratama Aji Nugroho, NIM 11170950000050 telah diuji dan dinyatakan LULUS dalam sidang Munaqosyah Fakultas Sains dan Teknologi Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta pada 20 Mei 2021. Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Strata Satu (S1) Program Studi Biologi.

Menyetujui, Penguji I

Narti Fitriana, M.Si.

NIDN. 0331107403

Penguji II

Dr. Megga Ratnasari Pikoli NIDN. 2022037201 Pembimbing I

Dr. Dasumiati, M.Si.

NIP. 197309231999032002

Pembimbing II

Ir. Etyn Yunita, M.Si NIP. 19700628 2014112002 Mengetahui,

Dekan Fakultas Sains dan Teknologi

Nashrul Hakiem, S.Si., M.T., Ph.D NIP. 197106082005011005

Ketua Program Studi Biologi

Dr. Priyanti, M.Si NIP. 197505262000122001

(5)

v

PERNYATAAN

PERNYATAAN DENGAN INI SAYA MENYATAKAN BAHWA SKRIPSI INI ADALAH BENAR HASIL KARYA SENDIRI YANG BELUM PERNAH DIAJUKAN SEBAGAI SKRIPSI ATAU KARYA ILMIAH PADA PERGURUAN TINGGI ATAU LEMBAGA MANAPUN.

Yogyakarta, April 2021

Pratama Aji Nugroho 11170950000050

(6)

vi

ABSTRAK

Pratama Aji Nugroho. Efektivitas Eceng Gondok (Eichhornia crassipes) sebagai Fitoremediator Logam Berat Krom Heksavalen (Cr6+) pada Limbah Cair Industri Batik di Yogyakarta. Skripsi. Program Studi Biologi. Fakultas Sains dan Teknologi. 2021. Dibimbing oleh Dasumiati dan Etyn Yunita.

Pesatnya industrialisasi batik di Yogyakarta menjadikan kualitas perairan harus lebih diperhatikan. Pelaku industri batik di Yogyakarta sebagian besar adalah home industry sehingga membutuhkan alternatif pengolahan limbah yang efektif. Dalam mengurangi resiko cemaran air maka dilakukan fitoremediasi dengan tanaman eceng gondok (Eichhornia crassipes) untuk mengetahui kemampuan tanaman tersebut dalam mereduksi logam berat krom heksavalen (Cr6+) dari hasil buangan pewarnaan batik. Penelitian ini merupakan penelitian ekspiremental menggunakan Rancangan Acak Lengkap dengan 3 perlakuan dan 5 kali ulangan.Sebelum proses fitoremediasi dilakukan uji pendahuluan (21 hari) dan aklimatisasi (7 hari).

Fitoremediasi dilakukan dengan pemaparan eceng gondok dengan air limbah industri batik konsentrasi 50% hasil dari uji pendahuluan. Uji krom heksavalen (Cr6+) dengan AAS dilakukan sesuai perlakuan yaitu pada hari ke-0 (H0) sebagai kontrol, hari ke-7 (H7), hari ke-14 (H14), dan hari ke-21 (H21). Parameter pendukung dalam penelitian ini adalah biomassa, morfologi, suhu, dan pH.

Pemaparan air limbah industri batik terhadap tanaman eceng gondok dengan tiga perlakuan yang berbeda memberikan pengaruh nyata (Sig<0,05) terhadap konsentrasi logam berat krom heksavalen (Cr6+) yang terkandung dalam air limbah industri batik. Eceng gondok dinilai efektif (81,04%) memberikan nilai yang dibawah standar baku mutu yang berlaku dengan waktu yang lebih singkat pada hari ke-7 sebagai fitoremediator dalam mereduksi logam berat krom heksavalen (Cr6+). Kondisi morfologis tanaman pengaruh dari fitoremediasi mengalami gejala klorosis, nekrosis, serta kematian tanaman setelah perlakuan hari ke-21.

Kata kunci: Eceng gondok (Eichhornia crassipes); fitoremediasi; krom heksavalen (Cr6+)

(7)

vii

ABSTRACT

Pratama Aji Nugroho. Effectiveness of Eceng gondok (Eichhornia crassipes) as Phytoremediator of Hexavalent Chrome (Cr6+) Heavy Metal in Batik Industry Liquid Waste in Yogyakarta. Undergraduate Thesis. Department of Biology. Faculty of Science and Technology. Syarif Hidayatullah State Islamic University Jakarta. 2021. Advised by Dasumiati dan Etyn Yunita.

The rapid industrialization of batik in Yogyakarta makes the demand of clean water more vital than ever. Most of the batik industrialist in Yogyakarta are home industries, so they need an alternative to effective waste treatment. In reducing the risk of water contamination, phytoremediation was carried out with eceng gondok plants (Eichhornia crassipes) to determine the ability of these plants to reduce heavy metal hexavalent chrom (Cr6+) from the waste products of batik coloring.

This study is an experimental study using a completely randomized design with 4 treatments and 5 replications. Before the phytoremediation process, a preliminary test (21 days) and acclimatization (7 days) was carried out. Phytoremediation was carried out by exposing water hyacinth to batik industry wastewater with a concentration of 50%. The hexavalent chromium (Cr6+) test with AAS was carried out on day 0 (H0) as a control, day 7 (H7), day 14 (H14), and day 21 (H21). The supporting parameters in this study were the addition of biomass, temperature and pH. Exposure of batik industrial waste water to eceng gondok plants with three different treatments had an effect (Sig <0.05) on the concentration of hexavalent chrom heavy metal (Cr6+) contained in batik industrial wastewater. Eceng gondok is considered effective (81.04%) giving a value that is below the applicable quality standards with a shorter time on the 7th day as a phytoremediator in reducing hexavalent chromium heavy metal (Cr6+).The plant morphological conditions, the effect of phytoremediation, experienced symptoms of chlorosis, necrosis, and plant death after the 21st day of treatment.

Keywords: Eceng gondok (Eichhornia crassipes); hexavalent chrom (Cr6+);

phytoremediation

(8)

viii

KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh

Segala puji bagi Allah SWT atas segala rahmat dan hidayah-Nya yang telah memberikan kemudahan sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi dengan judul “Efektivitas Eceng Gondok (Eichhornia crassipes) sebagai Fitoremediator Logam Berat Krom Heksavalen (Cr6+) pada Limbah Cair Industri Batik di Yogyakarta” dalam rangka Tugas Akhir sebagai syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Sains pada Program Studi Biologi Fakultas Sains dan Teknologi Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

Penulis ingin mengucapkan terima kasih atas dukungan dari banyak pihak yang terlibat dalam penulisan skripsi ini. Penulis berterima kasih kepada:

1. Nashrul Hakiem, S.Si., M.T., Ph.D. selaku Dekan Fakultas Sains dan Teknologi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Dr. Priyanti, M.Si. selaku Ketua Program Studi Biologi Fakultas Sains dan Teknologi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

3. Dr. Dasumiati, M.Si. selaku Dosen Pembimbing I.

4. Ir. Etyn Yunita, M.Si. selaku Dosen Pembimbing II.

5. Narti Fitriana, M.Si. selaku Sekretaris Program Studi Biologi Fakultas Sains dan Teknologi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

6. Ardian Khairiah, M.Si. dan Indri Garnasih, M.Si. selaku Dosen Penguji Seminar Proposal dan Hasil Penelitian.

7. Narti Fitriana, M.Si. dan Megga Ratnasari Pikoli, M.Si, selaku Dosen Penguji Sidang Skripsi.

8. DLHK Yogyakarta dan PT. Greenlab Indonesia.

9. Orang tua, keluarga, dan teman yang selalu memberi do’a restu dan dukungan.

Akhir kata semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi semua pihak khususnya penulis. Semoga Allah SWT senantiasa membalas kebaikan semuanya.

Wassalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh

Jakarta, Mei 2021

Penulis

(9)

ix

DAFTAR ISI

Halaman

ABSTRAK ... vi

ABSTRACT ... vii

KATA PENGANTAR... viii

DAFTAR ISI ... ix

DAFTAR GAMBAR ...x

DAFTAR TABEL ... xi

DAFTAR LAMPIRAN ... xi

BAB I. PENDAHULUAN ...1

1.1. Latar Belakang ...1

1.2. Rumusan Masalah ...3

1.3. Hipotesis ...3

1.4. Tujuan ...3

1.5. Manfaat...3

1.6. Kerangka Berpikir ...4

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA...5

2.1. Industri Batik di Yogyakarta ...5

2.2. Bahan dan Proses Produksi Batik ...6

2.3. Baku Mutu Air Limbah Industri Batik... 13

2.4. Logam Berat Krom (Cr)... 14

2.5. Ayat Al-Quran Tentang Pengelolaan Limbah ... 16

2.6. Fitoremediasi Tanaman Air... 18

2.7. Eceng Gondok (Eichhornia crassipes) ... 20

BAB III. METODE PENELITIAN... 24

3.1. Waktu dan Tempat Penelitian ... 24

3.2. Alat dan Bahan ... 24

3.3. Rancangan Penelitian ... 24

3.4. Cara Kerja ... 25

3.5. Analisis Data ... 27

BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN ... 29

4.1. Konsentrasi Cr6+dalam Limbah Cair ... 29

4.2. Morfologi Tanaman Selama Proses Fitoremediasi ... 31

4.3. Laju Pertumbuhan Relatif (RGR) Eceng gondok ... 34

4.4. Suhu dan pH Selama Proses Fitoremediasi ... 37

BAB V. KESIMPULAN ... 40

5.1. Kesimpulan ... 40

5.2. Saran ... 40

DAFTAR PUSTAKA ... 41

LAMPIRAN………...44

(10)

x

DAFTAR GAMBAR

Gambar 1. Kerangka berpikir dalam penelitian ... 4

Gambar 2. Skema proses pembuatan batik dan sumber limbah yang dihasilkan . 13 Gambar 3. Morfologi eceng gondok ... 21

Gambar 4. Morfologi daun eceng gondok ... 22

Gambar 5. Morfologi tangkai daun eceng gondok ... 22

Gambar 6. Morfologi akar eceng gondok ... 23

Gambar 7. Gejala klorosis yang dialami oleh tanaman uji selama fitoremediasi . 33 Gambar 8. Pertumbuhan akar tanaman uji ... 34

Gambar 9. Presentase penambahan biomassa rata-rata eceng gondok ... 36

Gambar 10. Presentase penurunan suhu dalam rata-rata ... 37

Gambar 11. Presentase penurunan pH dalam rata-rata ... 38

Gambar 12. Perubahan morfologi tanaman perlakuan H7 ... 47

Gambar 13. Perubahan morfologi tanaman perlakuan H14 ... 47

Gambar 14. Perubahan morfologi tanaman perlakuan H21 ... 48

Gambar 15. Uji pendahuluan konsentrasi air limbah ... 52

Gambar 16. Proses aklimatisasi selama 7 hari ... 53

Gambar 17. Sampel air limbah H0 250 mL ... 53

Gambar 18. Sampel air limbah H7 250 mL ... 53

Gambar 19. Sampel air limbah H21 250 mL ... 54

Gambar 20. Pengukuran biomassa eceng gondok sebelum proses fitoremediasi . 54 Gambar 21. Uji kandungan Cr6+ pada air sumur yang digunakank ... 55 Halaman

(11)

xi

DAFTAR TABEL

Tabel 1. Jenis lilin dalam proses pembatikan ... 7

Tabel 2. Jenis tanaman untuk pewarna batik alami ... 9

Tabel 3. Baku mutu air limbah untuk kegiatan industri batik ... 13

Tabel 4. Jenis-jenis tumbuhan dalam aplikasi fitoremediasi ... 19

Tabel 5. Konsentrasi krom heksavalen pada air limbah ... 29

Tabel 6. Perubahan morfologi tanaman ... 31

Tabel 7. Laju pertumbuhan relatif (RGR) eceng gondok ... 35 Halaman

(12)

xii

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1. Perhitungan nilai efektivitas pada setiap perlakuan ... 46

Lampiran 2. Sidik ragam konsentrasi logam krom heksavalen dalam air limbah . 46 Lampiran 3. Penurunan konsentrasi logam Cr6+ hasil fitoremediasi ... 46

Lampiran 4. Perubahan morfologi tanaman sesudah fitoremediasi... 47

Lampiran 5. Perhitungan biomassa ... 48

Lampiran 6. Perhitungan nilai RGR ... 48

Lampiran 7. Presentase penurunan suhu air limbah selama fitoremediasi ... 50

Lampiran 8. Presentase penurunan pH air limbah selama fitoremediasi ... 51

Lampiran 9. Hasil sidik ragam pada SPSS ... 51

Lampiran 10. Dokumentasi penelitian ... 52

Lampiran 11. Lembar Hasil Uji Laboratorium... 55 Halaman

(13)

1

BAB I PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Yogyakarta salah satu daerah yang terkenal dengan sentra industri batik yang berkembang pesat hingga ke mancanegara. Kegiatan Industri batik menjadikan sektor pekerjaan dan pemasukan daerah sehingga menjadikan kegiatan yang berkembang pesat (Hidayatullah, 2013). Beberapa sentra industri batik di Yogyakarta terpusat di daerah Kraton, Prawirotaman, Mergangsan dan Tirtodipuran menjadi industri penyangga bagi peningkatan perekonomian masyarakat Yogyakarta. Namun disamping hal tersebut terdapat sisi negatif yaitu kurangnya pengelolaan hasil buangan limbah industri batik tersebut. Saat ini masih banyak pengusaha industri batik skala besar maupun rumah yang membuang limbah hasil produksinya langsung ke selokan maupun ke sungai tanpa diolah terlebih dahulu.

Limbah industri batik dari bahan pewarna kimia yang digunakan sulit untuk diurai sehingga menyebabkan endapan dasar sungai, air sungai menjadi berwarna kehitam-hitaman, serta memunculkan bau menyengat (Suganda et al., 2013).

Karakteristik limbah tersebut dapat menimbulkan dampak kerusakan lingkungan dan kesehatan manusia dalam jangka waktu yang panjang dan kian meluas.

Pencemaran air oleh buangan hasil produksi industri batik yang tidak diolah terlebih dahulu juga menurunkan kualitas air bersih. Menurut Milasari et al., (2005) air limbah industri merupakan sumber pencemaran air yang sangat potensial sedangkan air merupakan salah satu hal yang menunjang kebutuhan hidup sehari- hari makhluk hidup khususnya manusia. Hal tersebut menjadikan air sebagai peran penting yang harus dijaga kualitasnya.

Menurut Al-Kdasi et al. (2004), kegiatan produksi pada industri batik banyak menggunakan air dan bahan kimia yang digunakan pada tahap pencelupan dan pewarnaan. Umumnya limbah cair tekstil mengandung konsentrasi logam berat Cr, Zn, Pb, Ni dan bahan halogen organik yang cukup tinggi (Birame, 2021). Penelitian Indrayani (2018) memaparkan bahwa dalam limbah cair industri batik mengandung logam Krom (Cr), Besi (Fe) dan Aluminium (Al). Logam krom yang ditemukan

(14)

salah satunya adalah krom dengan valensi VI (Cr6+). Krom heksavalen tergolong karsinogenik. Menurut Agustina et al. (2018) upaya pengolahan limbah Cr6+ yang telah dilakukan seperti bioreduksi, ion exchange, adsorpsi dengan karbon aktif dan reduksi dengan bantuan bakteri, dimana memiliki kelemahan yaitu diperlukannya energi yang sangat tinggi dan bahan kimia yang sangat banyak sedangkan sebagian besar sektor industri batik yaitu menegah ke bawah.

Pengolahan limbah cair batik dapat dilakukan dengan memanfaatkan potensi lokal yang ada, salah satunya yaitu dengan memanfaatkan tumbuhan air untuk menanggulangi jumlah pencemar dengan cara menyerap, mengumpulkan dan mendegradasi bahan-bahan pencemar tertentu yang terdapat dalam limbah tersebut yang dikenal dengan fitoremediasi. Fitoremediasi merupakan alternatif pengelolaan limbah dengan biaya yang relatif murah dan efektif. Jenis tanaman yang termasuk agen fitoremediator adalah pepohonan, rerumputan dan tumbuhan air (Hidayati, 2005).

Eceng gondok (Eichorrnia crassipes) merupakan tanaman gulma yang tumbuh di atas permukaan air. Populasi eceng gondok dapat dijumpai bebas di berbagai perairan. Eceng gondok mempunyai kemampuan adaptasi lingkungan yang baik sehingga banyak dimanfaatkan sebagai media alami untuk mengolah limbah organik maupun non organik. Sifat akumulatif logam berat oleh eceng gondok tersebut dapat dimanfaatkan sebagai penyerap logam berat untuk mengurangi pencemaran logam berat di perairan. Eceng gondok efektif menyerap Cu (63,06%) dan Cr (36,48%) pada limbah cair laboratorium (Djo, 2017). Selain itu menurut penelitian Puspita (2013) eceng godok efektif (49,56%) menurunkan Cr pada limbah cair batik dengan lama waktu pemapran 9 hari.

Pemaparan eceng gondok dengan lama waktu tertentu dinilai efektif menurunkan konsentrasi logam (pulutan) di perairan, sehingga konsentrasi tersebut sesuai dengan standar baku mutu yang berlaku di wilayah tersebut. Semakin banyak polutan yang ada, waktu akumulasi polutan berlangsung lebih lama. Polutan tersebut diserap melalui rizhofiltrasi pada organ akar eceng gondok. Dengan demikian, eceng gondok dapat digunakan sebagai alternatif pembersih logam berat krom heksavalen (Cr6+) dengan sederhana, aman, ekonomis.

(15)

3

1.2. Rumusan Masalah

Rumusan masalah pada penelitian ini adalah sebagai berikut:

1) Apakah eceng gondok sebagai fitoremediator dapat menurunkan kadar krom heksavalen yang terkandung dalam limbah cair industri batik tulis?

2) Berapa lama waktu yang efektif untuk menurunkan kadar logam berat krom heksavalen hingga sesuai dengan standar baku mutu dengan menggunakan tanaman eceng gondok?

3) Bagaimana pengaruh fitoremediasi terhadap perubahan morfologis tanaman eceng gondok?

1.3. Hipotesis

Hipotesis penelitian ini adalah:

1. Eceng gondok dapat menurunkan kadar krom heksavalen yang terkandung dalam limbah cair industri batik.

2. Pada umur tertentu eceng gondok efektif mereduksi logam berat krom heksavalen dari air limbah industri batik secara maksimal.

3. Fitoremediasi mempengaruhi perubahan morfolgis tanaman eceng gondok.

1.4. Tujuan

Tujuan penelitian sebagai berikut:

1. Mengetahui kemampuan tanaman eceng gondok dalam menurunkan kadar logam berat krom heksavalen yang terkandung dalam limbah cair industri batik.

2. Mengetahui efektivitas tanaman eceng gondok berdasarkan lama waktu percobaan dalam menurunkan konsentrasi logam berat krom heksavalen.

3. Mengetahui pengaruh fitoremediasi terhadap perubahan morfologis tanaman eceng gondok.

1.5. Manfaat

Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi langkah efektif dalam penanganan limbah cair industri batik yang mencemari badan perairan secara biologis dengan teknik fitoremediasi menggunakan eceng gondok. Pengelolaan

(16)

limbah cair industri batik dengan eceng gondok dapat diterapkan oleh industri batik menengah ke bawah. Penggunaan eceng gondok juga untuk menggali potensi gulma eceng gondok menjadi media pengelolaan limbah cair industri batik. Data yang diperoleh kemudian dapat dijadikan sebagai referensi penelitian lainnya.

1.6. Kerangka Berpikir

Kerangka berpikir yang menjadi landasan dilakukannya penelitian ini adalah sebagai berikut (Gambar 1).

Dampak negatif dari pesatnya industrialisasi kerajinan batik di Yogyakarta menjadikan perairan di wilayah tersebut tercemar

Gambar 1. Kerangka berpikir dalam penelitian Efektivitas Eceng Gondok (Eichhornia crassipes) sebagai Fitoremediator Logam Berat Krom Heksavalen (Cr6+) pada Limbah Cair Industri Batik di Yogyakarta Bahan kimia sintesis dari hasil pewarnaan batik mengandung logam Cr6+ yang

karsinogenik

Dibutuhkan alternatif pengolahan limbah yang efektif yaitu dengan cara fitoremediasi dengan tanaman air eceng gondok

Eceng gondok mempunyai sifat akumulatif dan mempunyai kemampuan adaptasi lingkungan yang baik

Fitoremediasi eceng gondok terhadap logam Cr6+ merupakan langkah yang sederhana, aman, dan ekonomis (efesien)

(17)

5

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Industri Batik di Yogyakarta

Batik merupakan karya seni rupa asli yang berasal dari Indonesia. Batik diterapkan pada sehelai kain dengan berbagai corak dan warna yang dibuat dengan alat yang berupa canting dengan menggunakan lilin batik atau malam sebagai perintang warnanya kemudian diceulpkan pada zat warna (Atikasari, 2005).

Menurut teknik pembuatannya batik digolongkan menjadi batik tulis, batik cap, dan batik lukis. Pencapaian seni batik tradisional telah diakui masyarakat baik dari dalam maupun luar negeri. Batik sebagai salah satu bentuk seni tradisional, yang pada tanggal 2 Oktober 2009 ditetapkan UNESCO sebagai warisan budaya dunia dari Indonesia (Prasetyo, 2010).

Industri batik cukup berkembang pesat di berbagai wilayah di Indonesia, salah satunya di Yogyakarta. Banyaknya industri rumahan batik maupun paguyuban atau kelompok membatik yang didirikan di Yogyakarta. Dewan Kerajinan Dunia (Word Craft Council) Wilayah Asia Pasifik sebagai lembaga swasembada bertaraf internasional yang berafiliasi dengan memfokuskan pada peningkatan apresiasi terhadap berbagai kegiatan dan komunitas kerajinan (seni kriya) di dunia, telah menganugrahkan sebuah predikat pada Yogyakarta sebagai Kota Batik Dunia pada 18 Oktober 2014 di Donyang, Tiongkok. Pesona keindahan batik menjadikan kaya akan keanekaragaman corak serta filosofinya. Khasasnah budaya Bangsa Indonesia yang demikian kaya telah mendorong lahirnyaa berbagai corak dan jenis batik tradisional maupun modern dengan ciri kekhususan sendiri yang merupakan data tarik dari batik (Hasanudin, 2001).

Menurut (Indrayani, 2019) keberadaan industri batik di Kota Yogyakarta memiliki sejarah yang panjang. Budaya dari kraton setempat menjadi cikal bakal budaya batik di Yogyakarta. Batik bagi masyakarat Yogyakarta merupakan pakaian resmi yang biasa dikenakan pada saat-saat tertentu, sebab merupakan pakaian adat khas Yogyakarta. Batik kain tulis tradisional yang dikenal oleh masyarakat Yogyakarta merupakan batik pedalaman. Perkembangan dan besarnya minat masyarakat terhadap batik menjadikan batik tidak hanya sebagai budaya lokal atau

(18)

“pakaryan dalem” tetapi sudah banyak dikenal oleh masyarakat luas baik dalam negeri maupun luar negeri.

Besarnya minat dan potensi budaya lokal menjadikan batik tidak hanya diproduksi khusus sebagai produk budaya tetapi sudah merupakan produk industri yang diproduksi dalam skala kecil sampai skala yang besar. Banyaknya industri batik di Yogyakarta ditunjang dengan kemudahan masyarakat pembatik dalam memenuhi kebutuhan bahan pembatikan. Bahan produksi batik sebagian besar menggunakan bahan-bahan serat alam, kulit binatang, tanah liat dan lainnya. Semua bahan dasar pembuatan kerajinan tersebut sebagai besar dapat dipenuhi oleh pembatik lokal tanpa harus keluar daerahnya. Hal tersebut menjadikan merebaknya industri kerajinan batik di Yogyakarta (Bertha, 2007).

Limbah buangan industri batik di Yogyakarta perlu dipantau dan dianalisis karena semakin berkembang pesat setiap tahunnya. Sebagian besar industri batik adalah industri kecil atau home industry maka debit limbah yang dihasilkan tidak banyak tetapi menyebar. Hal ini menyebabkan sebuah sistem pengolahan limbah batik secara terpusat sulit diaplikasikan, dan pendekatan yang tepat adalah pengolahan sedekat mungkin dengan sumber pencemar (Yulianto et al., 2009).

2.2. Bahan dan Proses Produksi Batik 2.2.1. Bahan Produksi Batik

Bahan yang digunakan dalam proses pembatikan secara umum yaitu kain (mori), malam (lilin) dan pewarna tekstil. Kain merupakan media pembuatan batik yang nantinya akan diberi pola atau motif dengan menggunakan lilin. Terdapat beberapa jenis kain namun dalam proses pembatikan tidak semua jenis kain dapat digunakan. Hal tersebut berkaitan dengan penyerapan tiap kain berbeda terhadap zat warna yang diberikan. Dalam proses pembatikan kain yang umum digunakan adalah jenis kain katun seperti mori, berkolyn, santung, blancu, dan beberapa dapat digunakan kain sutera alam. Adapun untuk memperoleh hasil batik yang bermutu tinggi kita harus memilih kain yang halus yaitu kain yang tidak terdapat sambungan serat yang menonjol sehingga menyebabkan kain menjadi bertekstur kasar.

Lilin pembatikan merupakan salah satu bahan pokok yang memiliki peranan penting dalam proses pembuatan motif pembatikan. Alokasi dana pada produksi

(19)

7

batik dibutuhkan ±70% dari biaya keseluruhan bahan-bahan batik. Lilin batik dibuat dari campuran bahan organik sintesis maupun non sintesis yang berfungsi sebagai bahan perintang warna pada proses pembatikan. Komposisi pada lilin batik terdiri dari 7 macam, yaitu damar mata kucing (getah pohon Shorea sp.), gondorukem (residu pohon pinus), kote (lilin lebah), parafin (hasil pengolahan minyak mentah), microwax (hasil proses penyulingan minyak bumi sejenis parafin) kendal (lemak hewan), dan lilin bekas (residu dari proses pembatikan) (Haerudin, 2018).

Menurut Setiawati (2004) jenis lilin yang digunakan dalam pembatikan terdapat berbagai macam sesuai dengan warna, sifat, dan fungsinya. Jenis lilin dalam pembatikan diantaranya:

Tabel 1. Jenis lilin dalam proses pembatikan

Jenis lilin Warna Sifat Fungsi

Carikan Kuning Lentur, tidak

mudah retak, daya rekat pada kain sangat kuat

Nglowongi atau ngrengreng dan membuat batik isen

Tembokan Kecoklatan Kental, mudah mencair dan mengering, daya rekat pada kain sangat kuat

Menutup bidang yang luas (latar belakang kain)

Remukan Putih susu Mudah retak dan patah

Membuat efek remukan atau retak.

Lilin ini biasa dikenal dengan sebutan parafin Biron Coklat gelap Hampir sama

dengan lilin tembokan

Menutup pola yang telah di bironi atau diberi warna biru Sumber: Setiawati (2004)

Bahan baku pada lilin batik mempunyai peranan penting antara lain damar mata kucing berfungsi mempercepat titik beku supaya lilin batik membentuk garis motif yang tegas (ngawat) dan melekat baik pada kain. Gondorukem berfungsi

(20)

untuk membantu daya tembus lilin batik pada kain serta mempercepat waktu beku dalam proses pembatikan. Kote berfungsi membantu daya lekat lilin batik pada kain untuk memberikan kelenturan supaya tidak mudah pecah. Microwax berfungsi membantu daya lekat lilin dan elastisitas lilin batik. Parafin berfungsi untuk memberikan lilin batik sifat mudah lepas pada proses pelepasan lilin batik pada kain (proses pelorodan). Kendal berfungsi sebagai zat pengencer dan mempercepat titik leleh lilin batik. Lilin bekas berfungsi sebagai pengisi dan pelekat lilin batik (Subarno, 2000).

Pewarnaan dalam produksi batik dilakukan untuk menambah nilai estetika dan nilai jual produk batik. Untuk melakukan proses pewarnaan ini tentu diperlukan penambahan zat pewarna. Zat pewarna yang digunakan dalam industri batik dapat berupa zat pewarna alami maupun zat pewarna buatan atau sintetis. Berdasarkan sumber diperolehnya zat warna tekstil dibedakan menjadi 2 (dua) yaitu zat warna alami dan zat warna sintetis. Menurut Radjasa (2017) zat warna sintetis adalah zat buatan berbahan kimia dan dapat digunakan dalam suhu yang tidak merusak lilin.

Sedangkan zat warna alami adalah zat yang diperoleh dari alam yng berasal dari hewan (lac dyes) ataupun tumbuhan seperti dari akar, batang, daun, kulit, dan bunga. Warna pada batik mempergunakan zat warna tekstil dan tidak semua jenis zat warna tekstil dapat dipergunakan memberi warna pada batik. Namun kondisi lapangan menunjukan bahwa kebanyakan dari industri batik menggunakan zat pewarna sintetis dalam proses produksinya. Pemakaian zat pewarna sintetis ini dinilai lebih efisien, efektif dan ekonomis dibandingkan dengan penggunaan zat pewarna alami (Surahman et al., 2017). Penggunaan pewarna yang berlebihan dan dibuang ke badan perairan tanpa diolah terlebih dahulu mengakibatkan air menjadi tercemar. Indikator fisik yang dapat dilihat pada pencemaran air yaitu adanya perubahan warna dan minyak pada perairan.

Pemanfaatan zat pewarna alam untuk produksi tekstil menjadi salah satu alternatif pengganti zat pewarna sintetis (berbahan kimia). Pewarna sintetis banyak digunakan setelah abad ke-19. Pengrajin batik pada abad ke-19 menggunakan pewarna dari alam seperti jati, pohon mengkudu, soga, nila, tingi, tegeran, daun jati muda, dan lain-lain (Nurainun & Rasyimah, 2008). Jenis tanaman yang dapat digunakan dalam pewarnaaan pembatikan adalah sebagai berikut:

(21)

9

Tabel 2. Jenis tanaman untuk pewarna batik alami

Jenis tanaman Bagian

tanaman Warna yang dihasilkan Jambal (Peltophorum

pterocarpum) Ekstrak kayu Coklat

Temu lawak (Cucurma

xanthorrhiza Toxb) Ekstrak Coklat

Mengkudu (Morinda

citritolia L.) Akar Merah

Teruntum

(Lumritzeralittore) Daun Merah

Pohon indigo/tarum

(Indigofera tinctoria) Daun Biru

Soga tingi (Ceriops

candolleana arn) Ekstrak kayu Kuning

Secang (Caesaslipina

sapapan Lin) Kulit kayu Kuning

Sumber: Radjasa (2017)

Pemberian warna dilakukan sesuai dengan menggunakan ekstrak dari tanaman yang mempunyai kandungan zat warna tersebut. Ekstraksi diambil dari bagian daun, batang, kulit, bunga, buah, akar tumbuhan dengan kadar dan jenis colouring matter bervariasi sesuai dengan spesiesnya. Colouring matter adalah substansi yang menentukan arah warna dari zat warna alam, merupakan senyawa organik yang terkandung didalam zat warna alam. Bahan pembawa warna ada yang dapat digunakan secara langsung, dan ada yang harus melalui ekstraksi maupun fermentasi terlebih dahulu. Cara ekstraksi untuk memperoleh gugus pembawa warna sangat bervariasi dan akan berpengaruh terhadap warna yang ditimbulkan (Pujilestari et al., 2014).

Beberapa kendala pada pewarnaan batik yang menggunakan zat warna alam antara lain prosesnya tidak praktis karena diperlukan proses pencelupan berulang, ketersediaan variasi warnanya agak terbatas hanya untuk warna-warna cerah, dan ketersediaan bahannya yang tidak siap pakai. Hal tersebut yang membuat diperlukannya proses-proses dan formulasi khusus agar pewarna alami dapat dijadikan sebagai pewarna batik yang berkualita (Alamsyah, 2018).

(22)

Pewarna sintetis merupakan jenis zat warna yang dibuat menurut reaksi-reaksi kimia tertentu sehingga sifatnya lebih stabil dan mudah digunakan. Pewarna sintetis untuk kain tekstil terdapat banyak jenisnya, namun hanya beberapa yang dapat digunakan dalam pewarnaan batik. Hal tersebut karena terdapat perlakuan khusus yang dinyatakan kurang efisien. Berikut merupakan zat warna sintetis yang banyak digunakan untuk pewarnaan batik antara lain:

a. Zat warna napthol

Zat warna napthol terdiri atas dua unsur yaitu AS (Anilid Acid) sebagai dasar warna dan garam golongan diazonium sebagai pembangkit warna. Zat warna napthol pada dasarnya tidak larut dalam air, sehingga diperlukan zat pembantu kostik soda untuk melarutkannya.

b. Zat warna indigosol

Zat warna indigosol merupakan jenis zat warna bejana yang larut dalam air dan berwarna jernih. Dalam penggunaannya harus dicampur bersama sejumlah bahan lain seperti TRO, Nitrit dan HCl. Larutan tersebut digunakan untuk membangkitkan warna indigosol. Ketahanan luntur dari zat warna indigosol dikatakan baik berwarna cerah dan merata. Warna yang timbul dari indigosol cenderung warna pastel. Jenis pewarna indigosol antara lain indigosol yellow, indigosol yellow JGK, indigosol orange HR, indigosol pink IR, indigosol violet ARR, indigosol violet 2R, indigosol green IB, indigosol blue 0 4 B, indigosol grey IBL, indigosol brown IBR, indigosol brown IRRD, indigosol violet IBBF.

c. Zat warna remasol

Zat warna remasol bersifat larut dalam air. Warna yang timbul cederung terang dan briliant dengan ketahanan luntur yang baik serta daya afinitasnya rendah.

Dalam memperbaiki sifat pada pewarnaan batik, dapat diatasi dengan teknik kuwasan. Sebelum dilakukan proses difiksasi menggunakan natrium silikat. Kain yang menggunakan pewarna remasol direndam selama satu malam untuk mendapatkan hasil terbaik.

d. Zat warna rapid

Zat warna rapid diperoleh dari campuran antara napthol dan garam diazonium yang distabilkan. Zat warna rapid hatus difiksasi dengan asam sulfat atau asam cuka supaya memunculkan warna yang cerah. Zat warna rapid pada prinsipnya

(23)

11

hanya bisa digunakan untuk pewarnaan batik coletan dengan alat dari rotan atau kuas pada motifnya.

2.2.2. Proses Produksi Batik

Pembuatan batik dilalui melalui proses kain mori hingga menjadi kain bermotif batik. Menurut Setiawati (2004) secara garis besar teknik pembuatan batik yaitu pengelolaan kain, pelorodan lilin, dan pewarnaan. Tahapan pengelolaan kain dilakukan dengan tujuan supaya lapisan kaji, lilin, dan kotoran yang menempel pada kain bisa hilang karena jika tidak dibersihkan lapisan tersebut dapat mengganggu proses penyerapan warna. Pengelolaan kain membutuhkan bermacam-macam larutan seperti larutan asam, minyak jarak, minyak nyamplung dan lainnya. Pengolahan kain sering dikenal dengan istilah ngeloyor.

Kain yang sudah bersih dan kering dibuat pola atau kerangka untuk menentukan motif. Setelah seluruh permukaan kain terpola, lilin disiapkan dengan wadah wajan dan dipanaskan. Lilin yang digunakan tidak akan habis atau hilang karena pada akhirnya malam akan diambil kembali pada proses mbabar, proses pengerjaan dari membatik sampai batikan menjadi kain. Lilin untuk membatik bersifat cepat diserap kain, tetapi dapat dengan mudah lepas ketika proses pelorodan (Wulandari, 2011). Lilin dapat digunakan pada suhu ± 60℃ – 80℃

sehingga harus dilakukan pemanasan terlebih dahulu sebelum dituliskan di atas kain batik (Nurdalia, 2006). Pelekatan lilin dilakukan secara merintang sehingga membentuk suatu motif sesuai dengan kebutuhan dan jenis batik yang akan di produksi. Lilin digunakan dengan menggunakan canting yang digunakan perlahan sesuai motif. Canting dibedakan menjadi yaitu canting tulis dan canting cap, keduanya diguanakan dengan hasil motif yang berbeda. Berdasarkan pemaparan komposisi bahan baku lilin pada batik, titik leleh masing-masing bahan baku sebagai berikut: damar mata kucing 85 – 94℃, gondorukem 85 – 88℃, kote 66 – 78℃, microwax 70℃, parafin 54 – 58℃, kendal 56 – 62℃, lilin bekas 66 – 76℃

(Atika & Haerudin, 2013).

Pewarnaan dilakukan setelah permukaan kain batik dibuat pola dengan lilin.

Zat warna yang sering digunakan dalam pembatikan adalah naptol dan indigosol.

Naptol yang digunakan adalah jenis naptol dingin. Naptol dingin adalah proses

(24)

pewarnaannya dilakukan tanpa direbus atau dipanaskan. Pewarna naptol terdiri dari dua komposisi yaitu pewarna (naptol) dengan pembangkit warna (garam diazo).

Sebelum digunakan dengan pewarna napthol, kain harus dibasahi dengan laurutan TRO (Turkish Red Oil) untuk membuka serat kain agar mudah dimasuki zat warna.

Sedangkan tahapan pewarnaan dengan zat warna indigosol berbeda dengan pewarnaan dengan zat warna naptol. Pewarnaan dengan zat warna indigosol tergantung dengan cuaca. Hal tersebut dikarenakan proses pewarnaannya membutuhkan sinar matahari untuk membangkitkan warna lalu direaksikan dengan larutan HCl sebagai pengunci warna. Digunakan juga bahan pelengkap dalam pewarnaan zat warna indigosol yaitu natrium nitrit (NaNO2) sebanyak dua kali timbangan indigosol yang digunakan.

Proses pelorodan dilakukan untuk menghilangkan lapisan lilin yang menempel pada kain dengan cara merebus kain di dalam air yang mendidih. Ketika merebus kain air akan diberi larutan kanji atau abu soda supaya lilin yang terlepas dari kain tidak lagi menempel pada kain. Teknik yang digunakan adalah dengan cara menggaruk lilin dengan alat pisau kecil. Proses pelorodan dapat dilakukan berulang-ulang jikalau lilin yang menempel pada kain batik belum terlepas sempurna. Apabila tidak lagi dilakukan pewarnaan tambahan, makan proses pelorodan merupakan proses terakhir dalam pembatikan (Setiawati, 2004). Pada proses pembuatan kain secara lorodan, lilin tidak dihilangkan pada tengah-tengah proses pembuatan, tetapi kain tersebut “dilorod" dan lilin dihilangkan seluruhnya.

Menghilangkan lilin secara keseluruhan ini dikerjakan dengan cara pelepasan di dalam air panas. Lilin pada proses pelorodan akan meleleh dan lepas dari kain.

Menurut Sembiring (2008) dalam proses produksinya, batik menghasilkan limbah yang masing-masing tecantum dalam skema berikut (Gambar 2).

(25)

13

Gambar 2. Skema proses pembuatan batik dan sumber limbah yang dihasilkan (Sumber: Sembiring, 2008)

2.3. Baku Mutu Air Limbah Industri Batik

Berikut merupakan Tabel Baku Mutu Air Limbah untuk kegiatan industri batik berdasarkan Peraturan Daerah Daerah Istimewa Yogyakarta Nomor 7 Tahun 2016 tentang Baku Mutu Air Limbah:

Tabel 3. Baku mutu air limbah untuk kegiatan industri batik

Parameter

Proses basah Proses kering

Kadar paling banyak (mg/L)

Beban pencemaran paling banyak

(kg/ton)

Kadar paling banyak (mg/L)

Beban pencemaran

paling banyak (kg/ton)

BOD5 85 5,1 85 1,275

COD 250 15 250 3,75

TDS 2.000 120 2.000 30

TSS 60 3,6 80 1,2

Fenol 0,5 0,03 1 0,015

Krom total 1 0,06 2 0,03

Amonia total 3 0,18 3 0,045

Sulfida 0,3 0,018 3 0,0045

Minyak dan

lemak total 5 0,3 5 0,075

Suhu ± 3 terhadap suhu udara

pH 6,0 – 9,0

(26)

2.4. Logam Berat Krom (Cr)

Ion krom pertama kali ditemukan oleh Vagueline pada tahun 1797. Logam kromium berwarna putih, kristal keras dan sangat tahan korosi, melebur pada suhu 1.093℃ sehingga sering digunakan sebagai lapisan, pelindung atau logam paduan (Koesnarpadi, 2007). Logam kromium di alam ditemukan dalam bentuk persenyawaan padat atau mineral dengan unsur-unsur lainnya. Sebagai bahan mineral, krom paling banyak ditemukan dalam bentuk kromit (FeCr2O4) yang berikatan dengan oksigen dan besi (Chandra & Kulshreshtha, 2004). Logam berat krom biasa didapatkan pada industri gelas, metal, fotografi, tekstil dan elektroplating. Sedangkan pada limbah industri batik dapat ditemukan berupa zat organik, zat padat tersuspensi, fenol, kromium (Cr), warna, minyak dan lemak.

Krom pada industri bidang tekstil ditemukan dalam bentuk senyawa dikromat dan kromat (Nurrosiah, 2014).

Krom jika berada di lingkungan bebas tanpa terkendali maka akan menjadi zat pencemar lingkungan. Penurunan kualitas air serta menjadi ancaman lingkungan dan organisme akuatik salah satu dampak dari adanya zat kromium di lingkungan (Susanti, 2008). Efek yang ditimbulkan dari logam berat krom terhadap kesehatan manusia tergantung pada bagian tubuh dan dosis paparan yang terjadi.

Senyawa pada krom sangat iritan, sehingga menimbulkan ulcus yang dalam pada kulit dan selaput lendir. Inhalisi krom dapat menimbulkan kerusakan pada tulang hidung. Krom di dalam paru-paru dapat menimbulkan kanker (Said, 2018).

Kromium dalam tabel periodik merupakan unsur dengan nomor atom 24 dan nomor massa 51,996. Atom tersebut terletak pada periode 4, golongan IVB. Sifat fisik krom yakni sangat keras, mempunyai titik leleh dan didih tinggi di atas titik leleh dan titik didih unsur-unsur transisi deretan pertama lainnya. Krom mempunyai konfigurasi elektron 1s2 , 2s2 , 2p6 , 3s2 , 3p6 , 4s2 , dan 3d4. Bilangan oksidasi terpenting pada logam krom adalah +2, +3, dan + 6. Bilangan tersebut digolongkan terpenting dikarenakan reaksi dan senyawa krom yang sering ditemukan hanya menyangkut krom dengan bilangan oksidasi tersebut. Bilangan oksidasi +2 (divalent), +3 (trivalent), dan +6 (hexavalent) adalah bilangan yang menyatakan sifat muatan spesi tersebut ketika terbentuk dari atom-atomnya yang netral.

(27)

15

Berdasarkan kecepatan oksidasinya, Cr2+ bersifat relatif tidak stabil dibandingkan dengan Cr3+ dan Cr6+ yang merupakan logam yang memiliki bilangan oksidasi paling stabil yang ditemukan di alam (Zayed, 1998).

Menurut Asmadi et al. (2018) krom valensi II (Cr2+) merupakan logam krom biasanya melarut dalam asam sulfat atau asam klorida yang membentuk larutan (Cr(H2O)6)2+ dengan warna larutan biru muda. Di dalam larutan air ion Cr2+

merupakan reduktor yang kuat dan mudah dioksidasi di udara menjadi senyawa Cr3+. Ion Cr2+ dapat juga bereaksi dengan H+ dan dengan air jika terdapat katalis berupa serbuk logam.

Krom valensi III (Cr3+) mempunyai senyawa krom 3+ yaitu ion yang paling stabil diantara kation logam transisi yang mempunyai bilangan oksidasi +3.

Kompleks Cr3+ umumnya berwarna hijau dan dapat berupa kompleks anion atau kation. Larutan yang mengandung Cr3+ (Cr(H2O)6)+3 berwarna ungu, jika dipanaskan berubah menjadi hijau. Logam berat Cr (III) merupakan mikronutrien bagi makhluk hidup yang diperlukan dalam metabolisme glukosa dan lemak/lipid.

Defisiensi Cr (III) bisa mengganggu metabolisme glukosa, lemak, protein seta mengganggu pertumbuhan, dan apabila kelebihan tidak memberikan efek yang spesifik untuk manusia.

Krom valensi VI (Cr6+) atau krom (VI) oksida (CrO3) bersifat asam sehingga dapat bereaksi dengan basa membentuk kromat. Jika larutan ion kromat diasamkan akan dihasilkan ion dikromat yang berwarna jingga. Dalam larutan asam, ion kromat atau ion dikromat adalah oksidator kuat.

Sesuai dengan tingkat valensi yang dimilikinya ion-ion krom yang telah membentuk senyawa mempunyai sifat yang yang berbeda-beda sesuai dengan tingkat ionitasnya. Senyawa yang terbentuk dari ion Cr2+ akan bersifat basa, ion Cr3+ bersifat ampoter, dan senyawa yang terbentuk dari ion Cr6+ bersifat asam.

Cr3+ dapat mengendap dalam bentuk hidroksida. Krom hidroksida ini tidak larut, kondisi optimal Cr3+ dicapai dalam air dengan pH antara 8,5 – 9,5. Krom hidroksida ini melarut akan lebih tinggi apabila kondisi pH rendah atau asam. Cr6+

sulit mengendap, sehingga dalam penanganannya memerlukan zat pereduksi untuk mereduksi menjadi Cr3+.

(28)

Senyawa krom umumnya dapat berbentuk padatan (kristal CrO3, Cr2O3) larutan dan gas (uap dikromat). Krom dalam larutan biasanya berbentuk trivalen (Cr3+) dan ion heksavalen (Cr6+). Dalam larutan yang bersifat basa dengan pH 8 sampai 10 terjadi pengendapan Cr dalam bentuk Cr(OH)3. Sebenarnya krom dalam bentuk ion trivalen tidak begitu berbahaya dibandingkan dengan bentuk heksavalen, akan tetapi apabila bertemu dengan oksidator dan kondisinya memungkinkan untuk Cr3+ tersebut akan berubah menjadi sama bahayanya dengan Cr6+.

2.5. Ayat Al-Quran Tentang Pengelolaan Limbah

Kehidupan manusia di dunia semakin lama pasti akan menghasilkan buangan kotoran atau limbah yang semakin meningkat. Solusi dalam menghadapi permasalahan lingkungan tercemar adalah dengan mengolah limbah tersebut.

Dalam Al-Quran telah dijelaskan bahwa telah terjadi perubahan lingkungan oleh manusia dan manusia tersebut diharapkan untuk memperbaikinya.

ََنوُع ِج ْرَيَْمُهَّلَعَلَ۟اوُلِمَعَىِذَّلٱَ َضْعَبَمُهَقيِذُيِلَ ِساَّنلٱَىِدْيَأَ ْتَبَسَكَاَمِبَ ِرْحَبْلٱ َوَ ِ رَبْلٱَىِفَُداَسَفْلٱَ َرَهَظ Terjemahnya:

“Telah nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia, supaya Allah menghendaki agar mereka merasakan sebagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar)” (Q.S Ar-Rum: 41) (Al-Quran dan terjemahnya, Kementerian Agama RI tahun 2020).

Menurut Sa’diyah (2018) jika berbicara tentang olah limbah oleh manusia dengan memfungsikan akal yang telah diberikan Allah Swt, baik dengan merenung atau berfikir atau menggunakan akal akan hal-hal tersebut maka akan sampai kepada kesadaran bahwa manusia tidaklah berdiri sendiri di alam ini, melainkan bahwa semua ini ada penciptaannya. Dengan demikian kita akan mengenal Allah melalui ciptaan-Nya Dengan menggunkan akal pikirannya manusia tidak pernah berhenti meneliti alam semesta ini, manusia berhasil merubah wajah dunia dan struktur kehidupan di atasnya.

َاَهيِفَ َّثَب َوَْمُكِبََديِمَتَنَأََىِس ََٰو َرَ ِض ْرَ ْلْٱَىِفَ َٰىَقْلَأ َوََۖاَهَن ْو َرَتٍَدَمَعَ ِرْيَغِبَِت ََٰو ََٰمَّسلٱََقَلَخ

ٍَمي ِرَكٍَج ْوَزَِ لُكَنِمَاَهيِفَاَنْتَبۢنَأَفًَءٓاَمَِءٓاَمَّسلٱََنِمَاَنْل َزنَأ َوٍََۚةَّبٓاَدَِ لُكَنِم

(29)

17

Terjemahannya:

“Dia menciptakan langit tanpa tiang yang kamu melihatnya dan Dia meletakkan gunung-gunung (di permukaan) bumi supaya bumi itu tidak menggoyangkan kamu;

dan memperkembang biakkan padanya segala macam jenis binatang. Dan Kami turunkan air hujan dari langit, lalu Kami tumbuhkan padanya segala macam tumbuh-tumbuhan yang baik” (Q.S Lukman: 10) (Al-Quran dan terjemahnya, Kementerian Agama RI tahun 2020).

Qur’an surah Lukman ayat 10 menjelaskan bahwa nikmat Allah Swt yang diberikan kepada manusia sangatlah banyak. Bumi dan seisinya (termasuk hewan dan tumbuh-tumbuhan) menyediakan nikmat yang luar biasa. Di akhir ayat tersebut menjelaskan bahwa Allah Swt menumbuhkan segala macam tumbuh-tumbuhan yang baik. Oleh karena itu demikian penting dan bermanfaatnya mempelajari tentang tumbuh-tumbuhan dalam jangkauan untuk tetap melestarikan yang telah ada dan daripadanya mengembangkan sedemikian rupa, sehingga kehidupan manusia dan hewan dapat selalu terjamin.

Ayat tersebut menjadikan sebuah pengingat kepada manusia untuk senantiasa bersyukur terhadap yang telah diberikan oleh-Nya. Semua makhluk hidup di muka bumi saling berkesinambungan satu sama lainnya. Air hujan yang turun dari langit memberikan peristiwa menyuburkan tanah, sumber air bagi manusia, penunjang sawah dan perkebunan serta peristiwa lain.

Kesadaran diri menjadikan pondasi utama dalam menjadikan lingkungan tetap baik. Aplikasi teknologi secanggih apapun, jika belum ada ‘kesadaran diri sendiri’

maka hasilnya akan sama saja: nihil. Maka memulai dan membiasakan kesadaran itu sangat penting. Menurut Sa’diyah (2018) memaparkan bahwa sebenarnya teknologi tercanggih dalam semua permasalahan telah Allah sediakan di alam.

Allah telah memenuhi semua kebutuhan permasalahan kita. Terlebih tentang alam hasil Penciptaan Allah Swt, pasti ia juga telah menyediakan semua solusi dari permasalahan yang ada di dalamnya. Hal tersebut termaktub dalam Al-Qur’an yang berbunyi: Semua yang ada di langit di bumi selalu meminta kepada-Nya, setiap hari Dia (memenuhi) semua kebutuhan (makhluk-Nya) (QS Al-Rahmân [55]: 29).

(30)

2.6. Fitoremediasi Tanaman Air

Menurut Rondonuwu (2014) fitoremediasi adalah penggunaan tumbuhan untuk menghilangkan polutan dari tanah atau perairan yang terkontaminasi. Secara harfiah fitoremediasi berasal dari bahasa Yunani yaitu “phyton” yang berarti nabati/tanaman, dan bahasa Latin yaitu “remediare” yang berarti memperbaiki atau membersihkan sesuatu. Definisi tersebut menggambarkan pengobatan masalah lingkungan (bioremediasi) melalui penggunaan tanaman yang mengurangi masalah lingkungan tanpa perlu menggali bahan kontaminan dan membuangnya di tempat lain. Fitoremediasi juga didefinisikan sebagai proses pencucian polutan oleh yang dimediasi tumbuhan termasuk pepohonan, rerumputan dan tumbuhan air.

Pencucian diartikan penghancuran, inaktivasi atau imobilisasi polutan menjadi bentuk yang tidak berbahaya (Hidayati, 2005).

Fitoremediasi merupakan salah satu alternatif teknologi sederhana yang dapat digunakan untuk mengolah limbah cair. Teknik fitoremediasi mempunyai kelebihan dalam mengatasi pencemaran secara efektif, murah, dan dapat digunakan secara langsung di tempat yang tercemar, serta dapat digunakan secara langsung di tempat yang terkena pencemaran (Fahruddin, 2010). Kemampuan fitoremediasi dalam menghasilkan buangan sekunder relatif yang lebih rendah sifat toksiknya terhadap lingkungan aslinya. Manfaat tumbuhan air sebagai agen pembersih lingkungan sudah tidak diragukan lagi, namun demikian apabila populasi tumbuhan air telah mengalami blooming akan menjadikannya sebagai gulma air. Tumbuhan air mempunyai kemampuan sebagai agent fitoremediasi, akumulator logam berat dan bio filter (Astuti & Indriatmoko, 2018).

Fungsi utama tanaman air terhadap biota lain di ekosistem perairan adalah sebagai mikrohabitat. Fungsi lain dari tanaman air selain menciptakan mikrohabitat bagi ikan, juga dapat dimanfaatkan dalam memperbaiki kualitas perairan. Tanaman air yang dapat digunakan dalam proses fitoremediasi antara lain eceng gondok (Eichornia crassipes), kiambang (Pistia stratiotes) dan hidrila (Hydrilla verticillata) (Puspita, 2013). Selain itu, menurut penelitian Priyanti & Yunita (2013) tanaman air genjer mampu menyerap logam Fe sebesar 20,32 - 63,99% dan logam Mn sebesar 20,45 - 63,21%.

(31)

19

Jenis-jenis tumbuhan yang dapat digunakan dalam berbagai aplikasi fitoremediasi dideskripsikan sebagai berikut (Tabel 4).

Tabel 4. Jenis-jenis tumbuhan dalam aplikasi fitoremediasi

Aplikasi Media Kontaminan Jenis

Tanaman Fitoremediasi Tanah, air tanah,

landfill leachate, air limbah

a. Herbisida

b. Aromatic (BTEX) c. Chlormate aphatics

(TCE)

d. Nutrient (NO3-, NH4+, PO43-)

e. Limbah amunisi (TNT, RDX)

Alfafa, Poplar, Willow, Aspen, gandum

Bioremediasi rhizosfer

Tanah, sedimen, air limbah

a. Kontaminan organik pestisida

b. PAH

Murberry, apel, tumbuhan air

Fitostabilisasi Tanah sedimen a. Logam (Pb, Cd, Zn, As, Cu, Cr, Se, U) b. Hidrofobik organik

(PAHs, dioxin, lurans, pentachlorofenol, DDT, dieldrin)

Tanaman yang memiliki sistem akar yang padat.

Rumput yang memiliki serat akar yang banyak, tanaman yang dapat melakukan

transpirasi air yang lebih banyak, bunga matahari, dandelion Rhizofiltrasi Air tanah, dan air

limbah di danau atau air sumur buatan

a. Logam metal (Pb, Cd, Zn, Ni, dan Cu) b. Radioaktif (Cs, Sr dan

U)

c. Senyawa organik hidrofobik

Tanaman air (Eceng gondok, Hydrilla, Kiambang, Akar wangi, Kangkung)

Sumber: Surtikanti (2011)

Menurut Santriyana (2013) pada sisi lain proses fitoremediasi memiliki kelemahan dalam penerapannya antara lain memerlukan waktu yang lama, bergantung dengan keadaan iklim, dapat menyebabkan akumulasi logam berat terhadap jaringan dan biomasa tumbuhan, serta dalam rantai makanan dapat mempengaruhi keseimbangan ekosistem. Akumulasi polutan yang terkandung pada biomasa yang dihasilkan pada fitoremediasi kemudian perlu penanganan khusus sehingga dibutuhkan penelitian lebih lanjut. Tanaman air yang digunakan dalam fitoremediasi mempunyai keterbatasan morfologi, contohnya akar yang terbatas

(32)

dalam menjangkau polutan yang masuk terlalu dalam ke tanah. Hal tersebut menjadikan fitoremediasi tidak menjangkau area sedimen (Tangahu et al., 2011).

2.7. Eceng Gondok (Eichhornia crassipes)

Eceng gondok adalah salah satu jenis tumbuhan air yang pertama kali ditemukan secara tidak sengaja oleh seorang ilmuwan bernama Karl Von Mortius pada tahun 1824 ketika sedang melakukan ekspedisi di Sungai Amazon Brazil.

Klasifikasian tanaman eceng gondok menurut (Mart) Solms (1824) adalah sebagai berikut; Eceng gondok merupakan Famili dari Pontederiaceae, Genus dari Eichhornia dan memiliki nama Spesies yaitu Eichhornia crassipes (Mart) Solms.

Eceng gondok di Indonesia diperkenalkan oleh Kebun Raya Bogor pada tahun 1894 yang akhirnya berkembang di Sungai Ciliwung sebagai tanaman pengganggu.

Di Jawa eceng gondok mudah sekali ditemukan mulai dari dataran rendah sampai tempat pada ketinggian 1.600 m. Eceng gondok hidup subur di genangan-genangan air, di tempat dengan aliran airnya lamban, pinggiran sungai dan area persawahan (Bimantoro, 1981). Tanaman eceng gondok dikatakan tanaman pengganggu atau gulma dikarenakan petumbuhannya yang relatif cepat. Pertumbuhan yang cepat dari eceng gondok menimbulkan masalah lingkungan karena dapat menutupi permukaan air. Persebaran eceng gondok dengan mudah menyebar melalui saluran air ke badan air lainnya. Pertumbuhan eceng gondok tersebut akan semakin baik apabila hidup pada air yang dipenuhi limbah pertanian atau pabrik. Oleh karena itu banyaknya eceng gondok sering dijadikan indikator dari tercemar tidaknya wilayah perairan tersebut (Hajama, 2014).

Gulma eceng gondok memberikan sisi positif yaitu dapat menyerap zat organik, zat non organik, serta logam berat yang merupakan polutan bagi perairan.

Menurut Setyowati (2015) eceng gondok termasuk tumbuhan yang memiliki toleransi tinggi terhadap logam berat. Kemampuan membentuk fitokelatin senyawa peptide yang dihasilkan oleh tanaman eceng gondok mampu mengkhelat logam dalam jumlah yang besar sehingga dapat beradaptasi dengan lingkungan berpolutan.

Logam berat krom salah satu logam yang dapat diakumulasi oleh tanaman eceng gondok. Penyerapan dan akumulasi logam berat krom mengalami tiga proses yang berkesinambungan, yaitu; penyerapan krom oleh akar, translokasi krom dari

(33)

21

akar ke bagian tumbuhan lain, dan lokalisasi krom pada bagian sel tertentu agar tidak mengambat metabolisme tumbuhan tersebut (Yusuf, 2008). Konsentrasi krom yang berlebihan mengakibatkan terganggunya proses metabolisme pada tanaman serta terjadinya gejala klorosis dan nekrosis (Panda & Choudhury, 2005).

Berdasarkan morfologinya, eceng gondok mempunyai akar yang mampu menyerap unsur-unsur pencemar dalam air limbah. Pada akar, tumbuhan ini mempunyai senyawa fitokelatin yang berfungsi untuk mengikat unsur logam dan membawanya ke dalam sel melalui peristiwa transport aktif. Selain logam berat terakumulasi pada akar, logam berat juga akan terakumulasi juga pada bagian jaringan tumbuhan lainnya terutama pucuk daun. Tumbuhan akuatik ini mampu mendepositkan ion-ion logam berat ke dalam dinding sel, vakuola, dan lapisan sitoplasma yang akan berikatan dengan gugus sufhidril (-SH) atau asam organik lainnya.

Gambar 3. Morfologi eceng gondok A. Helaian daun; B. Tangkai daun; C.Batang;

D. Tunas; E. Akar; F. Stolon.

Eceng gondok memiliki daun yang terletak di atas permukaan air dan termasuk ke dalam jenis makrofita. Eceng gondok memiliki daun tunggal, bentuk oval dengan pangkal runcing (acumintus), berwarna hijau, bertangkai, dan permukaan mengkilat yang tersusun di atas roset akar. Tepi daunnya rata (tidak bergerigi) dengan panjang sekitar 7 cm - 25 cm (Gambar 4). Daun eceng gondok memiliki

F E

C A B

D

(34)

lapisan rongga udara sehingga dengan mudah membuatnya mengapung di atas permukaan air (Fauzi Deswandri & Fadhillah, 2018).

Gambar 4. Morfologi daun eceng gondok

Tangkai daun eceng gondok mempunyai ciri khas yaitu bagian dalam penuh dengan bilik udara. Tangkai daun tersebut berstruktur rongga-rongga dengan dinding penyekat berupa selaput tipis berwarna putih. Rongga udara tersebut berperan untuk mengapungkan tanaman di permukaan air (Gambar 5).

Gambar 5. Morfologi tangkai daun eceng gondok

Akar eceng gondok merupakan akar serabut dan tidak bercabang serta memiliki tudung akar (Gambar 6). Akar tanaman ini ditumbuhi bulu akar atau sering disebut sebagai serabut akar yang berfungsi sebagai jangkar bagi tanaman.

Tumbuhan ini juga memiliki akar serabut dan memenuhi kolom air hingga masuk ke dalam lumpur perairan (sistem perakaran dalam), kondisi demikian memungkinkan eceng gondok mempunyai kesempatan mengabsorpsi ion logam lebih banyak. Partikel-partikel organik yang terdapat dalam air dapat mengikat ion

(35)

23

logam, yang karena gravitasinya akan terendapkan di dasar. Akar eceng gondok memiliki kemampuan untuk menyerap, mengendapkan, dan mengakumulasi logam dari limbah yang biasa dikenal sebagai rhizofiltrasi (Marianto, 2001).

Gambar 6. Morfologi akar eceng gondok

(36)

24

BAB III

METODE PENELITIAN

3.1. Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan pada Desember 2020 hingga Februari 2021 di dua lokasi uji yaitu ruang terbuka untuk uji fitoremediasi dan Laboratorium DLHK Yogyakarta dan Green Lab Yogyakarta untuk uji kandungan krom heksavalen (Cr6+). Pengambilan sampel air limbah batik yaitu di kawasan Sentra Industri Batik Tulis Dusun Giriloyo, Imogiri, Bantul. Eceng gondok sebagai fitoremediator diambil dari perairan area persawahan Dusun Geneng Sewon, Bantul, Yogyakarta.

3.2. Alat dan Bahan

Alat yang digunakan dalam penelitian yaitu jirigen, wadah plastik (ember), mistar, timbangan digital, corong, gelas ukur, termometer, pH meter, botol sampel, kamera dan AAS (Atomic Absorbtion Spectofotometer). Bahan yang digunakan dalam penelitian yaitu tanaman air eceng gondok dengan morfologi, massa, dan lokasi pengambilan yang sama dan limbah cair industri batik yang diambil dari hasil buangan produksi pembatikan yang sama.

3.3. Rancangan Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian eksperimantal dengan menggunakan RAL (Rancangan Acak Lengkap) yang terdiri dari 4 perlakuan dengan 5 kali ulangan sehingga terdapat total 20 unit perlakuan. Perlakuan yang diberikan pada penelitian ini adalah sebagai berikut:

Perlakuan 1: air limbah industri batik tanpa eceng gondok (H0) Perlakuan 2: eceng gondok dengan umur pemaparan 7 hari (H7) Perlakuan 3: eceng gondok dengan umur pemaparan 14 hari (H14) Perlakuan 4: eceng gondok dengan umur pemaparan 21 hari (H21)

Perlakuan yang diberikan pada penelitian ini adalah umur tanaman eceng gondok terhadap pemaparan limbah cair industri batik yang dilakukan selama 21 hari dengan 5 kali ulangan. Pengambilan sampel dilakukan setiap 7 hari yaitu pada hari ke-7,14, dan 21 untuk diuji konsentrasi logam krom heksavalen (Cr6+).

(37)

25

3.4. Cara Kerja

Tahapan pertama yaitu uji kandungan krom heksavalen pada limbah cair hasil pewarnaan industri batik yang akan digunakan untuk memastikan bahwa di limbah cair tersebut mengandung krom heksavalen. Setelah diketahui bahwa limbah cair hasil pewarnaan tersebut mengandung krom heksavalen, kemudian dilakukan uji pendahuluan. Uji pendahuluan dilakukan untuk mengetahui berapa konsentrasi limbah yang masih ditolerir oleh tanaman eceng gondok selama waktu 21 hari.

Digunakan tiga konsentrasi air limbah yang berbeda yaitu konsentrasi 100%, 75%, dan 50%.

Pengenceran untuk mendapatkan konsentrasi pada uji pendahuluan dilakukan menggunakan air sumur. Air sumur yang digunakan telah diuji dengan parameter uji krom heksavalen dan dipastikan tidak mengandung logam krom heksavalen (Lampiran 7). Limbah cair industri batik dengan tiga konsentrasi tersebut kemudian dipaparkan selama 21 hari terhadap eceng gondok. Hasil uji pendahuluan menunjukan konsentrasi yang sesuai untuk eceng gondok yaitu konsentrasi air limbah cair 50%.

Langkah selanjutnya yaitu pengambilan tanaman eceng gondok yang diambil di satu lokasi yang sama serta morfologi serupa dengan metode random sampling.

Umur tanaman eceng gondok pada alam yang digunakan yaitu ± 3 bulan (tanaman dewasa). Kriteria pengambilan tanaman tersebut yaitu yaitu diambil seluruh organ tubuhnya meliputi akar, batang dan daun dengan tinggi 20 - 50 cm sebanyak ± 100 pohon. Kemudian tanaman tersebut dibersihkan dengan air mengalir untuk persiapan aklimatisasi.

Kemudian dilakukan proses aklimatisasi di ruangan terbuka terhadap tanaman eceng gondok yang sudah dibersihkan. Aklimatisasi dilakukan selama 7 hari menggunakan air sumur di wadah plastik (ember) berukuran 5 liter. Aklimatisasi selama 7 hari mengacu pada penelitian Azizah (2016) dan Puspita (2013).

Aklimatisasi bertujuan untuk mengatur kondisi tanaman agar dapat beradaptasi dengan kondisi air limbah yang akan diolah. Penempatan lokasi proses aklimatisasi disesuaikan dengan lokasi tahapan fitoremediasi untuk mendapatkan faktor lingkungan yang sama. Hasil dari aklimatisasi adalah tanaman uji yang digunakan merupakan tanaman yang mempunyai morfologi tubuh baik dan segar (tidak layu

(38)

maupun mati). Proses aklimatisasi juga dilakukan untuk menumbuhkan organ akar supaya lebat, sehingga mempunyai kemampuan maksimal dalam penyerapan polutan.

Sebelum proses aklimatisasi selesai, disiapkan limbah cair hasil pewarnaan industri batik. Limbah cair yang diambil merupakan limbah cair dari jenis industri batik tulis dengan pewarna sintestis jenis napthol dan indigosol. Pengambilan limbah cair digunakan jirigen ukuran besar utuk dibawa ke lokasi penelitian.

Limbah cair yang digunakan diencerkan untuk mendapatkan konsertrasi air limbah 50%. Penggunaan konsentrasi 50% merupakan hasil dari uji pendahuluan.

Pengenceran dilakukan dengan penambahan limbah cair sejumlah 2 l dan air sumur 2 l sehingga didapatkan konsentrasi media 50%. Limbah cair tersebut ditempatkan pada wadah plastik (ember) berukuran 5 liter. Kemudian diambil 250 mL limbah cair dengan konsentrasi 50% tersebut untuk perlakuan sebelum proses fitoremediasi (H0).

Tahapan selanjutnya yaitu eceng gondok diletakkan di media pemaparan sesuai dengan rancangan penelitian. Eceng gondok yang digunakan pada setiap perlakuan merupakan eceng gondok dengan individu yang berbeda namun morfologi relatif sama dengan eceng gondok pada perlakuan lainnya. Lokasi pemaparan limbah cair industri batik terhadap eceng gondok dilakukan di lokasi terbuka. Pada setiap wadah yang digunakan ditempatkan tanaman dengan berat basah tanaman 20 gram yang memiliki ketinggian dan morfologi yang hampir sama. Perbedaan banyaknya jumlah daun pada tanaman tidak diperhitungkan dalam penelitian ini tapi lebih disesuaikan dengan berat basah tanaman yang digunakan pada masing-masing wadah pada tanaman.

Pengukuran pH dan suhu media tanam dilakukan setiap tiga hari sekali pada pukul 08.00 – 10.00 selama masa pemaparan tanaman uji (21 hari). Pengamatan respon morfologis tanaman terhadap air limbah juga dilakukan selama tiga hari sekali kemudian didokumentasikan untuk dianalisis. Pengamatan akar tanaman uji dilakukan khusus setelah waktu setiap perlakuan berakhir karena organ akar berada di bawah permukaan air limbah. Aspek pengamatan morfologis yang diamati antara lain warna, kesuburan, dan pertumbuah tanaman uji seiring bertambahnya waktu pemaparan air limbah.

Gambar

Gambar  1.  Kerangka  berpikir  dalam  penelitian  Efektivitas  Eceng  Gondok  (Eichhornia  crassipes)  sebagai  Fitoremediator    Logam  Berat  Krom  Heksavalen (Cr 6+ ) pada Limbah Cair Industri Batik di Yogyakarta Bahan kimia sintesis dari hasil pewarna
Tabel 1. Jenis lilin dalam proses pembatikan
Tabel 2. Jenis tanaman untuk pewarna batik alami
Gambar 2.  Skema proses pembuatan batik dan sumber limbah yang dihasilkan  (Sumber: Sembiring, 2008)
+7

Referensi

Dokumen terkait

Kualitas mutu bibit terbaik terdapat pada campuran media tanah dan pupuk kandang, dengan perlakuan potong akar dan pemberian urin sapi 20% + 5% EM4 (M2A2).. Penggunaan

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa penggunaan media audio visual lebih efektif dalam kegiatan pembelajaran keterampilan menulis puisi siswa jika dibandingkan

1 STORY TELLING (LEVEL 1) Sl( BUKIT MUTIARA SK BUKIT MUTIARA CHELLAM A/P SUBRAMANIAM 2 STORY TELLING ( LEVET 2 } SK BUKIT MUTIARA SK BUKIT MUTIARA CHELLAM A,/P

a) Hükme esas teşkil eden asıl nass'larm bilinmesi, bu nass'­ların ifade ettiği hükümlerde müessir olan sebeplerle hakkında nass bulunmayan meselelere tatbik edilen

Dosis aman pada pemberian ekstrak air daun katuk Sauropus androgynous yaitu dosis 45 mg/kgBB sampai dengan dosis 60 mg/kgBB tidak menimbulkan efek toksik secara subkronik terhadap

Faktor Pengkayaan Dan Indeks Geoakumulasi Perhitungan Indeks geoakumulasi (Igeo) rata-rata seluruh sampel dihitung dengan cara memasukan nilai rata-rata tiap unsur

Berdasarkan hasil analisis data, maka dapat diambil kesimpulan sebagai berikut: Ada pengaruh yang signifikan antara variabel pengaruh independensi, gaya kepemimpinan, komitmen

Dengan adanya perangkat lunak yang telah dibuat dari penelitian ini, diharapkan dapat membantu karyawan Unpar dalam memberikan gam- baran perkiraan besaran dana pensiun yang