perjanjian jual beli tanah dikarenakan penipuan data di hadapan notaris.
Bab V Kesimpulan dan Saran
Bab ini merupakan bab penutup dari seluruh rangkaian bab-bab sebelumnya. Dalam bab ini berisikan kesimpulan dan saran yang dibuat berdasarkan uraian skripsi ini, kemudian dilengkapi dengan daftar pustaka.
BAB II
GAMBARAN UMUM PERJANJIAN JUAL – BELI MENURUT KUHP
A. Pengertian Perjanjian Jual – Beli
Pasal 1457 KUHP menyatakan jual beli adalah suatu persetujuan yang
mana apabila dikaitkan dengan Pasal 1313 KUHPerdata suatu persetujuan adalah
suatu perbuatan dengan mana salah satu (satu orang) atau lebih mengaitkan
dirinya untuk menyerahkan suatu kebendaan dan pihak lain untuk membayar harga yang telah dijanjikan.
Menurut M.Yahya Harahap terhadap perjanjian atau verbintenis mengandung pengertian suatu hubungan hukum kekayaan/harta benda antara dua orang/lebih yang memberikan kekuatan hak pada satu pihak untuk memperoleh prestasi dan sekaligus mewajibkan pihak lain menunaikan prestasi
§.
Dari rumusan diatas, dapat dilihat bahwa perikatan merupakan hubungan hukum antara dua orang (pihak) atau lebih dalam kehidupan manusia dalam bermasyarakat, dimana hukum itu meletakkan hak-hak dan kewajiban-kewajiban di masing-masing pihak.
Pada dasarnya terdapat perbedaan antara perjanjian dan kontrak. Istilah kontrak berasal dari bahasa Inggris, yaitu contracts. Pengertian perjanjian atau kontrak diatur dalam Pasal 1313 KUHPerdata. Pasal 1313 KUHPerdata berbunyi:
”Perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu pihak atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih.”
Definisi perjanjian dalam Pasal 1313 ini adalah
1. tidak jelas, karena setiap perbuatan dapat disebut perjanjian, 2. tidak tampak asas konsensualisme,dan
3. bersifat dualisme
Tidak jelasnya definisi ini disebabkan dalam rumusan tersebut hanya disebutkan perbuatan saja. Maka yang bukan perbuatan hukum pun disebut dengan perjanjian. Untuk memperjelas pengertian itu maka harus dicari dalam
§ M.Yahya Harahap, Sesi – Sesi Perjanjian, Alumni : Bandung, 1986 hal.6.
doktrin. Jadi, menurut doktrin (teori lama) yang disebut perjanjian adalah
”Perbuatan hukum berdasarkan kata sepakat untuk menimbulkan akibat hukum.”
Definisi ini, telah tampak adanya asas konsensualisme dan timbulnya akibat hukum (tumbuh/lenyapnya hak dan kewajiban). Unsur-unsur perjanjian, menurut teori lama adalah sebagai berikut:
1. adanya perbuatan hukum
2. persesuaian pernyataan kehendak dari beberapa orang 3. persesuaian kehendak harus dipublikasikan/dinyatakan
4. perbuatan hukum terjadi karena kerja sama antara dua orang atau lebih
5. pernyataan kehendak (wilsverklaring) yang sesuai harus saling bergantung satu sama lain
6. kehendak ditunjukkan untuk menimbulkan akibat hukum
7. akibat hukum itu untuk kepentingan yang satu atas beban yang lain atau timbal balik, dan
8. persesuaian kehendak harus dengan mengingat peraturan perundang-undangan.
Menurut teori baru yang dikemukakan oleh Van Dunne, yang diartikan
dengan perjanjian adalah ”Suatu hubungan hukum antara dua pihak atau lebih
berdasarkan kata sepakat untuk menimbulkan akibat hukum.”
**Teori baru
tersebut tidak hanya melihat perjanjian semata-mata, tetapi juga harus dilihat
perbuatan sebelumnya atau yang mendahuluinya. Ada tiga tahap dalam membuat perjanjian, menurut teori baru, yaitu:
1. tahap pracontractual, yaitu adanya penawaran dan penerimaan;
2. tahap contractual, yaitu adanya persesuaian pernyataan kehendak antara para pihak;
3. tahap post contractual, yaitu pelaksanaan perjanjian.
Charless L. Knapp dan Nathan M. Crystal mengatakan contract is: An agreement between two or more persons not marely a share belief, but common understanding as to something that is to be done in the future by one or both of them (Charless L. Knapp dan Nathan M. Crystal 1993:2).
Artinya kontrak adalah suatu persetujuan antara dua orang ataulebih tidak hanya memberikan kepercayaan, tetapi secara bersama saling pengertian untuk melakukan sesuatu pada masamendatang oleh seseorang atau keduanya dari mereka.
††Pendapat ini tidak hanya mengkaji definisi kontrak, tetapi ia juga menentukan unsur-unsur yang harus dipenuhi supaya suatu transaksi dapat disebut kontrak ada tiga unsur kontrak, yaitu:
1. The agreement fact between the parties (adanya kesepakatan tentang fakta antara kedua belah pihak)
2. The agreement as writen (persetujuan dibuat secara tertulis)
††Salim, SH MS, loc. Cit. hal 26
3. The set of rights and duties created by (1) and (2), (adanya orang yang berhak dan berkewajiban untuk membuat: (1) kesepakatan dan (2) persetujuan tertulis
Di dalam Black’s Law Dictionary, yang diartikan dengan contract is an agreemant between two or more person which creates an obligation to do or not to do particular thing. Artinya, kontak adalah suatu persetujuan antara dua orang atau lebih, di mana menimbulkan sebuah kewajiban untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu secara sebagian. (Black’s Law Dictionary, 1979:291)
Pada umumnya perjanjian tidak terikat kepada suatu bentuk tertentu dapat dibuat secara lisan dan andai kata dibuat ditulis maka perjanjian itu bersifat sebagai alat pembuktian apabila terjadi perselisihan.Yang mana untuk sahnya suatu perjanjian menurut Pasal 1320 KUHPerdata, haruslah memenuhi syarat sebagai berikut :
1. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya;
2. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan;
3. Suatu hal tertentu;
4. Suatu sebab yang halal.
Kedua syarat yang pertama dinamakan syarat subyektif, karena kedua syarat tersebut mengenai subjek perjanjian. Sedangkan kedua syarat terakhir disebut syarat objektif karena mengenai objek dari pengikatan.
1. Syarat Subjektif
Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya dengan diberlakukannya kata
mempunyai kebebasan kehendak. Para pihak tidak mendapat suatu tekanan yang mengakibatkan adanya ”cacat” bagi perwujudan kehendak tersebut. Pengertian sepakat dilukiskan sebagai pernyataan kehendak yang disetujui antara para pihak.
a. Selalu dipertanyakan saat-saat terjadinya perjanjian antara pihak. Mengenai hal ini ada beberapa ajaran yaitu:
(1) Teori kehendak (wilstheorie) mengajarkan bahwa kesepakatan terjadi pada saat kehendak pihak penerima dinyatakan, misalnya dengan menulias surat.
(2) Teori pengiriman (verzedtheorie) mengajarkan bahwa kesepakatan terjadi pada saat kehendak yang dinyatakan itu dikirimoleh pihak yang menerima tawaran.
(3) Teori pengetahuan (verzendtheorie) mengajarkan bahwa pihak yang menawarkanseharusnya sudah mengetahui bahwa tawarannya diterima.
(4) Teori kepercayaan (vertrouwenstheorie) mengajarkan bahwa kesepakatan itu terjadi pada saat pernyataan kehendak dianggap layak diterima oleh pihak yang menawarkan
b. Cacat Syarat Subjektif
Pasal 1321 KUHPerdata:
”Tidak ada sepakat yang sah apabila sepakat itu diberikan karena kekhilafan, atau diperolehnya dengan paksaan atau penipuan.”
Pasal 1322 KUHPerdata:
”Kekhilafan” tidak mengakibatkan batalnya suatu persetujuan selainnyaapabila kekhilafan itu terjadi mengenai hakikat barang yang menjadi pokok persetujuan.”
”Kekhilafan” tidak menjadi sebab kebatalan, jika kekhilafan itu hanya terjadi mengenai dirinya orang dengan siapa seorang bermaksud membuat suatu persetujuan, kecuali jika persetujuan itu telah dibuat terutama karena mengingat dirinya orang tersebut.”
1) Kekhilafan (kesesatan) (a) error in persona
Kekhilafan dibedakan dalam kekhilafan mengenai orangnya dinamakan error ini persona, dan kesesatan mengenai hakikat barangnya dinamakan error in substantia.
Contoh dari error in persona, ialah perjanjian yang dibuat oleh seseorang dengan seseorang biduanita terkenal, ternyata kemudian dibuatnya dengan biduanita tidak terkenal, tetapi namanya sama.
(b) error in substansia
Maksudnya ialah bahwa kesesatan itu adalah mengenai sifat benda, yang merupakan alasan yang sesuangguhnya bagi kedua belah pihak, untuk mengadakan perjanjian misalnya, seseorang yang beranggapan bahwa ia membeli lukisan Basuki Abdullah, kemudian mengetahui bahwa lukisan yang dibelinya itu adalah sebuah tiruan.
2) Paksaan
Ketentuan mengenai paksaan diatur dalam Pasal 1323-1327 KUHPerdata, yang dimaksud dengan paksaan adalahbukan paksaan dalam arti absolut, sebab dalam hal yang demikian itu perjanjian sama sekali tidak terjadi, misalnya jika seseorang yang lebih kuat memegang tangan seseorang yang lemah dan membuatia mencantumkan tanda tangan di bawah sebuah perjanjian
3) Penipuan
Pasal 1328 KUHPerdata:
”Penipuan merupakan suatu alasan untukpembatalan persetujuan, apabila tipu-muslihat yang dipakai oleh salah satu pihak, adalah sedemikian rupa hingga terang dan nyata bahwa pihak yang lain tidaktelah membuat perikatan itu jika tidak dilakukan tipu-muslihat tersebut. Penipuan tidak dipersangkakan, tetapi harus dibuktikan.”
c. Cakap melakukan perbuatan hukum
Dalam Pasal 1329 KUHPerdata dinyatakan bahwa setiap orang adalah cakap untuk membuat suatu perikatan, kecuali ditentukan lain oleh Undang-Undang, yang mana dalam Pasal 1330 ditentukan batasan-batasan mengenai orang yang dinyatakan tidak cakap untuk membuat suatu persetujuan-persetujuan, yaitu:
(1) Orang-orang yang belum dewasa (belum dewasa adalah mereka yang belum mencapai umur genap 21 (dua puluh satu) tahun dan atau sebelumnya belum kawin)
(2) Mereka yang ditaruh dibawah pengampuan
(3) Orang-orangperempuan, dalam hal-hal yang ditetapkan oleh undang-
undang, dan pada umumnya semua orang kepada siapa undang-undang
telah melarang, membuat persetujuan-persetujuan tertentu.
2. Syarat Objektif a. Syarat Tentang Barang
Suatu perjanjian haruslah memiliki objek tertentu. Sekurang-kurangnya dapat ditentukan bahwa objek tertentu itu dapat berupa benda yang sekarang ada dan nanti akan ada, ketentuan mengenai barang yang menjadi objek perjanjian adalah sebagai berikut :
1. Barang itu ada dan dapat diperdagangkan
2. Barang yang digunakan untuk keperluan umum antara lain seperti jalan umum, pelabuhan, gedung-gedung umum, tidaklah dapat dijadikan objek perjanjian.
3. Dapat ditentukan jenisnya (1333 KUHPerdata)
4. Barang yang akan datang/barang yang akan ada (1334 KUHPerdata) b. Syarat Tentang Suatu Sebab yang Halal
Berdasarkan Pasal 1335 KUHPerdata sampai dengan Pasal 1337 KUHPerdata menentukan bahwa setiap perjanjian yang dibuat tanpa sebab palsu/terlarang serta bertentangan dengan Undang-Undang, ketertiban umum dan kesusilaan adalah tidak sah dan tidak memiliki kekuatan hukum.
Di dalam Hukum Perdata ada dikenal beberapa asas yang harus
diperhatikan oleh para pihak dalam membuat perikatan perjanjian jual beli. Asas
hukum adalah suatu pikiran yang bersifat umum dan abstrak yang melatar
belakangi hukum positif.. Pengertian tersebut dapat ditarik dan pendapat Sudikno Mertokusumo yang memberi penjelasan sebagai berikut:
”Pengertian asas hukum atau prinsip hukum bukanlah peraturan konkrit, melainkan merupakan pikiran dasar yang umum sifatnya atau merupakan latar belakang dari peraturan yang konkrit yang terdapat dalamdan di belakang setiap sistem hukum yang terjelma dalam peraturan perundang- undangan dan putusan hakim yang merupakan hukum positif dan dapat dikemukakan dengan mencari sifat-sifat umum dalam peraturan konkrit tersebut.”
‡‡Adapun asas-asas hukum yang terdapat dalam hukum perjanjian antara lain:
1. Asas Konsensualisme
Konsensualisme berasal dari perkataan lain ”Consensus” yang berarti sepakat. Jadi asas konsensualisme berarti bahwa suatu perjanjian pada dasarnya telah dilahirkan sejak tercapainya kesepakatan. Asas ini dapat disimpulkan dari KUHPerdata Pasal 1320.
Dalam pasal tersebut tidak disebutkan adanya formalitas tertentu di samping kesepakatan yang telah tercapai, sehingga dapat disimpukan bahwa perjanjian sudah sah apabila telah ada kesepakatan para pihak mengenai hal-hal yang pokok. Terhadap asas konsensulisme ini terdapat pengecualian yaitu beberapa macam perjanjian, yang mana undang-undang menyatakan adanya formalitas tertentu. Hal ini berarti selain kesepakatan yang telah dicapai oleh para pihak, perjanjian harus pula diwujudkan dalam bentuk tertulis atau akta.
Perjanjian semacam ini misalnya perjanjian penghibahan perjanjian kerja,
‡‡ Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum (Suatu Pengantar), Liberty, Yogyakarta, 1986, hal 33.
perjanjian perdamaian, perjanjian asuransi, perjanjian mendirikan perusahaan, dan sebagainya.
2. Asas Kebebasan Berkontrak
Menurut asas ini, hukum perjanjian memberikan kebebasan pada setiap orang untuk membuat perjanjian apapun, dengan ketentuan tidak bertentangan dengan undang-undang kesusilaan dan ketertiban umum. Asas ini diberikan oleh KUHPerdata Pasal 1338 ayat (1) yang menyatakan bahwa semua semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya.
Dari perkataan semua yang terdapat dalam ketentuan oleh KUHPerdata pasal 1338 ayat (1) dapat disimpulkan bahwa setiap orang atau masyarakat bebas untuk mengadakan suatu perjanjian yang berisi apa saja, baik mengenai bentuknya maupun objek dan jenis dari perjanjian tersebut.
Asas kebebasan berkontrak ini merupakan konsep dari dianutnya sistem
terbuka dalam hukum perjanjian, yang berarti setiap orang bebas membuat
perjanjian apapun baik yang telah diatur secara khusus dalam KUHPerdata
maupun yang belum diatur dalam KUHPerdata atau peraturan lainnya. Asas
kebebasan berkontrak ini dapat juga dikatakan sebagai perjanjian mempunyai
sifat hukum pelengkap yang mana dapat mengesampingkan ketentuan dalam
KUHPerdata buku III.
Seseorang yang mengadakan perjanjian dengan pihak lain, menumbuhkan kepercayaan di antara kedua pihak itu bahwa satu sama lain akan memegang janjinya, dengan kata lain akan memenuhi prestasinya di belakang hari. Tanpa adanya kepercayaan itu, maka perjanjianitu tidak mungkin akan diadakan oleh para pihak. Dengan kepercayaan ini, kedua belah pihak mengikatkan dirinya dan untuk keduanya perjanjian itu mempunyai kekuatan mengikat sebagai undang- undang.
B. Saat Terjadinya Perjanjian Jual – Beli
Unsur-unsur pokok dalam perjanjian jual beli adalah barang dan harga dimana antara si penjual dan si pembeli harus ada kata sepakat tentang harga dan benda digabung menjadi objek jual beli .
Hukum perjanjian dalam KUHPerdata mengandung asas konsensualisme, artinya bahwa untuk melahirkan perjanjian cukup dengan sepakat saja dan perjanjian itu sudah dilahirkan pada saat atau detik tercapainya konsensis. Pada detik tersebut, perjanjian sudah jadi dan mengikat, bukan pada detik-detik lain yang kemudian atau yang sebelumnya. Asas tersebut dapat disimpulkan dari Pasal 1320 KUHPerdata.
Kesepakatan berarti persesuaian kehendak. Namun kehendak atau
keinginan ini harus dinyatakan. Kehendak atau keinginan yang disimpan di dalam
hati, tidak mungkin diketahui pihak lain dan karenanya tidak mungkin melahirkan
sepakat yang diperlukan untuk melahirkan suatu perjanjian. Menyatakan
kehendak ini tidak terbatas pada mengucapkan perkataan-perkataan, ia dapat
dicapai pula dengan memberikan tanda-tanda apa saja yang dapat menterjemahkan kehendak itu, baik oleh pihak yang mengambil prakarsa yaitu pihak yang ”menawarkan” (melakukan ”offerte”) maupun oleh pihak yang menerima penawaran tersebut.
Dengan demikian maka yang akan menjadi alat pengukur tentang tercapainya persesuaian kehendak tersebut adalah pernyataan-pernyataan yang telah dilakukan oleh kedua belah pihak. Undang-undang berpangkal pada asas konsensualisme, namun untuk menilai apakah telah tercapai konsensus (dan ini adalah maha penting karena merupakan saat lahirnya perjanjian yang mengikat laksana suatu undang–undang), terpaksa berpijak pada pernyataan-pernyataan yang telah dilakukan oleh kedua belah pihak. Dan ini pula merupakan suatu tuntunan kepastian hukum. Bukankah dari ketentuan bahwa harus berpijak pada apa yang telah dinyatakan itu timbul perasaan aman pada setiap orang yang telah membuat suatu perjanjian bahwa ia tidak mungkin dituntut memenuhi kehendak- kehendak pihak lawan yang tidak pernah dinyatakan kepadanya. Dan apabila timbul perselisihan tentang apakah terdapat konsensus atau tidak (yang berarti apakah telah dilahirkan suatu perjanjian atau tidak) maka Hakim atau Pengadilanlah yang akan menetapkannya.
Asas konsensualisme yang terkandung dalam Pasal 1320 KUHPerdata
(kalau dikehendaki: Pasal 1320 KUHPerdata dihubungkan dengan Pasal 1338 ayat
(1) KUHPerdata), tampak jelas pula dari perumusan–perumusan berbagai macam
perjanjian. Kalau diambil perjanjian yang utama, yaitu jual–beli, maka
konsensualisme itu menonjol sekali dari perumusannya dalam Pasal 1548 KUHPerdata yang berbunyi :
”Jual- beli itu dianggap telah terjadi antara kedua belah pihak, seketika setelahnya orang – orang ini mencapai sepakat tentang barang tersebut dan harganya, meskipun barang itu belum diserahkan, maupun harga hak miliknya belum dibayar”.
Namun perlu diperhatikan bahwa dengan persetujuan ini si pembeli belumlah menjadi pemilik eigenaar karena persetujuan ini hanya bersifat obligatur. Untuk menjadi pemilik harus diadakan penyerahan (lavening) lebih dulu. Yang mana penyerahan yang mempunyai akibat pemindahan kebendaan.
Penyerahan ini mempunyai akibat perpindahan kebendaan. Penyerahan ini tergantung pada jenis bendanya apakah bergerak, tidak bergerak maupun benda tak bertubuh. Hal ini ditegaskan juga dalam ketentuan 1945 KUHPerdata yakni hak milik atas barang yang dijual tidaklah berpihak kepada si pembeli selama penyerahannya belum dilakukan menurut Pasal 612, 613, 616 KUHPerdata.
§§Bagi si pembeli, untuk mandapatkan kepastian bahwa ia benar akan menjadi pemilik benda yang bersangkutan, maka dapat diberikan semacam uang panjar arti dari pada penyerahan ini ditegaskan dalam Pasal 1475 KUHP.
***Jual beli dapat dikategorikan dalam beberapa macam:
1. Jual beli dengan percobaan (Pasal 1463 KUHPerdata)
§§ Prof. R. Subekti, SH. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. PT Pradnya Paramita, Jakarta, 2001.
*** Achmad Ichsan, Hukum Perdata IB Jakarta, Pembimbing Masa, Jakarta , 1969, hlm.
102.
2. Jual beli dengan sistem panjar (Pasal 1464 KUHPerdata) 3. Jual beli dengan contoh
4. Jual beli hak membeli kembali (Pasal 1519 KUHPerdata 5. Jual beli dengan cicilan (Pasal 1576 KUHPerdata) 6. Sewa beli
Dalam Code Civil Perancis malahan jual-beli yang sifatnya konsensual itu sudah pula memindahkan hak milik atas barang yang diperjual-belikan, sehingga yang disitu dinamakan penyerahan (delivrance) hanyalah merupakan penyerahan kekuasaan belaka atas barang yang hak miliknya sudah berpindah sewaktu perjanjiannya jual-beli ditutup.
C. Kewajiban Yang Timbul Dalam Perjanjian Jual – Beli
Dalam pelaksanaan perjanjian jual beli didalamnya terdapat subjek dan objek jual beli yang harus juga diperhatikan dalam pelaksanaan perjanjian jual beli.
Pada dasarnya semua orang dapat atau badan hukum (BH) dapat menjadi
subjek dalam perjanjian jual beli, yaitu bertindak sebagai penjual dan pembeli,
dengan syarat bersangkutan telah dewasa dan atau sudah menikah. Namun secara
jurisdiksi ada beberapa orang yang tidak diperkenankan untuk melakukan
perjanjian sebagaimana dikemukakan berikut ini:
†††a. Jual beli suami istri
Pertimbangan hukum tidak diperkenankan karena jual beli antara suami istri adalah karena sejak terjadinya perkawinan, maka sejak saat itulah terjadi percampuran harta, yang disebut harta bersama, kecuali ada perjanjian kawin.
b. Jual beli oleh para hakim, jaksa, advokat/pengacara, juru sita dan notaris.
Para pejabat ini tidak diperkenankan melakukan jual beli hanya terbatas pada benda-benda atau barang-barang dalam sengketa. Apabila hal itu tetap dilakukan maka jual belli itu dapat dibatalkan serta dibebankan untuk pengantian biaya, rugi dan bunga.
c. Pegawai yang mengaku jabatan umum yang dimaksud di sini adalah membeli untuk kepentingan sendiri terhadap barang yang dilelang.
Dalam pelaksanaan perjanjian jual beli yang dapat menjadi objek dalam jual beli adalah semua benda bergerak dan tidak bergerak, baik menurut tumpukan surat, ukuran, dan timbangannya sedangkan yang tidak diperkenankan untuk diperjual belikan adalah:
‡‡‡a. Benda/ barang orang lain
b. Barang yang tidak dioerkenankan oleh Undang-Undang seperti obat terlarang
c. Bertentangan dengan ketertiban umum d. Kesusilaan yang baik
‡‡‡ Ibid, hal. 51.
Dari ketentuan di atas mengenai subjek dan objek dari terlaksananya transaksi perjanjian jual beli maka di dalamnya juga terkandung kewajiban dari para pihak yang terkait dalam pembuatan perjanjian jual beli, yaitu:
1. Kewajiban-kewajiban si Penjual
Bagi pihak penjual secara prinsip ada tiga kewajiban yaitu :
(a) Memelihara dan merawat kebendaan yang akan diserahkan kepada pembeli hingga saat penyerahannya;
(b) Menyerahkan kebendaan yang dijual pada saat yang telahditentukan, atau jika tidak telah ditentukan saatnya, atas permintaan pembeli;
(c) Menanggung kebendaan yang dijual tersebut.
§§§Kewajiban menyerahkan hak milik meliputi segala perbuatan yang menurut hukum diperlukan untuk mengalihkan hak milik atas barang yang diperjual-belikan itu dari si penjual kepada si pembeli.
Oleh karena KUHPerdata mengenal tiga macam barang, yaitu: barang bergerak, barang tetap dan barang “tak bertubuh” (dengan mana dimaksudkan piutang, penagihan atau ”claim”).
Untuk barang tetap (tak bergerak) dengan perbuatan yang dinamakan
“balik-nama” (“overschrijving”) dimuka Pegawai Penyimpan hipotik, yaitu menurut Pasal 616 KUHPerdata dihubungkan dengan Pasal 620 KUHPerdata.
Selanjutnya Peraturan Pemerintah No.10 Tahun 1961, yang merupakan
peraturan pelaksanaan dari Undang-undang Pokok Agraria, dalam Pasal 19
menentukan bahwa jual-beli tanah harus dibuktikan dengan suatu akte yang dibuat oleh dan dihadapan Pejabat Pembuat Akte Tanah (disingkat: P.P.A.T ), sedangkan menurut maksud peraturan tersebut hak milik atas tanah juaga berpindah pada saaat dibuatnya akte dimuka pejabat tersebut.
****(demikian disimpulkan Boedi Harsono S.H. dalam bukunya “Undang- undang Pokok Agraria” halaman 172 – 178).
Dalam pada itu, mengenai “levering” tersebut oleh B.W dianutnya apa yang dinamakan “sistem casual” yaitu sistem yang menggantungkan sahnya levering itu pada dua syarat :
a. Sahnya titel yang menjadi dasar dilakukannya levering,
b. Levering tersebut dilakukan oleh orang yang berhak berbuat bebas (”beschikkingsbevoegd”) terhadap barng-barang yang dilevering itu.
Dengan ”titel” dimaksudkan perjanjian obligatoir yang menjadi dasar levering itu, dengan perkataan lain: jual-belinya, tukar-menukarnya, atau penghibahannya (tiga perjanjian ini merupakan titel-titel untuk pemindahan hak milik). Adapun orang yang ”berhak berbuat bebas” adalah pemilik barang sendiri atau orang yang dikuasakan olehnya.
Dengan demikian maka apabila titel tersebut tidak sah (batal) atau kemudian dibatalkan oleh Hakim (karena adanya paksaan, kekhilafan atau penipuan), maka leveringnya menjadi batal juga, yang berarti bahwa pemindahan hak milik dianggap tidak pernah terjadi. Begitu pula halnya apabila orang yang
**** Boedi Harsono S.H. “Undang- undang Pokok Agraria” halaman (172 – 178).