• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pemanfaatan Limbah Cair Ekstraksi Kitin Dari Kulit Udang Produk Proses Kimiawi Dan Biologis Sebagai Imbuhan Pakan Dan Implikasinya Terhadap Pertumbuhan Ayam Broiler.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Pemanfaatan Limbah Cair Ekstraksi Kitin Dari Kulit Udang Produk Proses Kimiawi Dan Biologis Sebagai Imbuhan Pakan Dan Implikasinya Terhadap Pertumbuhan Ayam Broiler."

Copied!
71
0
0

Teks penuh

(1)

LAPORAN AKHIR PENELITIAN UNIVERSITAS PADJADJARAN 2006

Pelaksana : Ir. A b u n, MP. Dr. Ir. Tjitjah Aisjah, M.S. Deny Saefulhadjar, SPt., MSi

DIBIAYAI BANTUAN DANA UNIVERSITAS PADJADJARAN TAHUN 2006 DENGAN SURAT PERJANJIAN PELAKSANAAN PENELITIAN

NOMOR : 389.J2/J06.14/LP/PL/2006 TANGGAL 16 MEI 2006

DEPARTEMEN PENDIDIKAN NASIONAL

UNIVERSITAS PADJADJARAN

FAKULTAS PETERNAKAN

2006

PEMANFAATAN LIMBAH CAIR EKSTRAKSI KITIN DARI

KULIT UDANG PRODUK PROSES KIMIAWI DAN BIOLOGIS

SEBAGAI IMBUHAN PAKAN DAN IMPLIKASINYA

TERHADAP PERTUMBUHAN AYAM BROILER

(2)

LEMBAR IDENTITAS DAN PENGESAHAN

LAPORAN AKHIR HASIL PENELITIAN BANTUAN PENELITIAN UNIVERSITAS PADJADJARAN

A. Judul Penelitian : Pemanfaatan Limbah Cair Ekstraksi Kitin dari Kulit Udang Produk Proses Kimiawi dan

c. Pangkat/Golongan/NIP. : Penata Tk.I/III-d/132 145 763 d. Bidang Keahlian : Ilmu Ternak/Ilmu Nutrisi Ternak e. Fakultas : Peternakan Universitas Padjadjaran f. Bidang Ilmu yang Diteliti : Pertanian/Peternakan/Nutrisi Ternak

C. Tim Peneliti :

D. Pendanaan dan Jangka Waktu Penelitian : Jangka Waktu Penelitian

Biaya Total yang Diusulkan Biaya yang Disetujui

: Satu Tahun : Rp. 37 500 000,-

: Rp. 31 750 000,- (Tigapuluhsatu Juta Tujuhratus Limapuluh Ribu Rupiah,- )

(3)

NIP. 130 256 894

UTILIZATION OF LIQUID WASTE OF CHITIN EXTRACT FROM SKIN OF SHRIMP PRODUCTS OF CHEMICAL AND BIOLOGICAL PROCESSING AS FEED SUPLEMENT AND ITS IMPLICATION ON GROWTH OF BROILER *)

By :

A b u n, Tjitjah Aisjah, and Deny Saefulhadjar **) SUMMARY

The ration is main factor on growth, inside breeding and poultry management. The optimization of broiler performance can be realized if will have gave ration with suitable of quality and quantity. Suitability of nutrient required in ration can be conducted with adding of feed supplement to increasing quality and efficiency of ration. Once of these were usage liquid waste of chitin extract from shrimp waste with chemical and biological processed through deproteination and demineralization processed.

Process of deproteination and demineralization can be acted as chemical and biological. As chemical at deproteination stage used of NaOH, and used of H2SO4 at demineralization stage. The other, as biological on deproteination used of Bacillus licheniformis bacteria, and on demineralization used of Aspergillus niger. These Liquid product of chitin extract was used as feed supplement on ration of broiler.

The research was conducted on Laboratory of Poultry Nutrition, Non Ruminant, and Feed Industry, Faculty of Animal Husbandry, Padjadjaran University, Jatinangor-Sumedang for five month, since May until October 2006. The aim of research for getting optimization of condition of process (doze of chemical or microbial and time of processing) on the stage of deproteination and demineralization as chemical and biological on protein and mineral liquefy from chitin extract. The product of chitin extract used as feed supplement for getting optimize level in ration on digestibility value and performance at broiler.

The research conducted in three stages using experimental method at Laboratory. The first stage used Nested Design (3x3) consisted three replication. The second and third stage used Completely Randomized Design consisted eight treatments and four. Variables which examined in first stage were the contents of protein, calcium, and phosphor liquefy at liquid product of chitin extract; The second stage were digestibility of dry matter, protein, and organic matter; The third stage : consumption of ration, gain of body weight, and conversion of ration at broiler. The Results were analysed by variance and deference of chitin extract of waste shrimp as biological through deproteination processed with Bacillus licheniformis at doze 4% time 48 hour, and followed demineralization with Aspergillus niger at doze 2% time 48 hour result the best of protein and mineral liquefy. Liquid product of chitin extract as biological can be feed supplement, and were used about 3% in ration at broiler for result optimized digestibility value and performance.

Key words : Waste shrimp, chitin extract, Digestibility, performance, Broiler. *) Financed By to University of Padjadjaran

(4)

**) Staff Instructor Of Majors Science of Nutrition and Feed Livestock, Faculty Of Animal Husbandry, University of Padjadjaran.

PEMANFAATAN LIMBAH CAIR EKSTRAKSI KITIN DARI KULIT UDANG PRODUK PROSES KIMIAWI DAN BIOLOGIS SEBAGAI IMBUHAN PAKAN

DAN IMPLIKASINYA TERHADAP PERTUMBUHAN AYAM BROILER *) A b u n, Tjitjah Aisjah, dan Deny Saefulhadjar **)

RINGKASAN

Ransum merupakan faktor penentu terhadap pertumbuhan, disamping bibit dan tatalaksana pemeliharaan. Optimalitas performan ayam broiler dapat terealisasi bila diberi ransum bermutu yang memenuhi persyaratan tertentu dalam jumlah yang cukup. Pemenuhan kebutuhan zat makanan dalam ransum dapat dilakukan dengan menambahkan imbuhan pakan (feed suplement) guna meningkatkan kualitas dan efisiensi ransum. Salah satunya adalah pemanfaatan limbah cair ekstraksi kitin dari limbah udang yang diolah secara kimiawi dan biologis melalui tahapan deproteinasi-demineralisasi.

Proses deproteinasi dan demineralisasi dapat dilakukan secara kimiawi dan biologis. Cara kimiawi pada tahap deproteinasi menggunakan NaOH, dan pada tahap demineralisasi menggunakan H2SO4. Adapun cara biologis pada tahap deproteinasi menggunakan bakteri Bacillus licheniformis, dan pada tahap demineralisasi menggunakan kapang Aspergillus niger. Produk cair ekstraksi kitin tersebut digunakan sebagai imbuhan pakan pada ransum ayam broiler.

Penelitian telah dilakukan di Laboratorium Nutrisi Ternak Unggas, Non Ruminansia dan Industri Makanan Ternak, Fakultas Peternakan Universitas Padjadjaran, Jatinangor-Sumedang selama lima bulan, yaitu dari Bulan Mei sampai dengan Oktober 2006. Tujuan penelitian adalah untuk mendapatkan kondisi proses (dosis zat kimia atau mikroba dan lama proses pengolahan) yang optimal pada tahapan deproteinasi-deminerlisasi secara kimiawi dan biologis terhadap protein dan mineral terlarut dari ekstraksi kitin. Produk ekstraksi kitin dijadikan imbuhan pakan untuk mendapatkan tingkat penggunaan yang optimal dalam ransum terhadap nilai kecernaan dan performan ayam broiler. Percobaan dilakukan dalam tiga tahap dengan menggunakan metode eksperimental di laboratorium. Tahap pertama, menggunakan rancangan tersarang (3X3) yang diulang 3 kali. Tahap kedua dan ketiga, menggunakan rancangan acak lengkap, terdiri atas 8 perlakuan dan diulang 4 kali. Peubah yang diamati pada tahap pertama: kandungan protein, kalsium dan fosfor terlarut produk cair ekstraksi kitin; tahap kedua: kecernaan bahan kering, protein dan bahan organik ransum; tahap ketiga: konsumsi ransum, pertambahan berat badan dan konversi ransum ayam broiler. Hasil yang diperoleh dianalisis dengan sidik ragam dan perbedaan antar perlakuan diuji dengan uji jarak berganda Duncan. Kesimpulan hasil penelitian: Ekstaksi kitin limbah udang secara biologis melalui proses deproteinasi oleh Bacillus licheniformis pada dosis 4% selama 48 jam, dan dilanjutkan dengan demineralisasi oleh Aspergillus niger pada dosis 2% selama 48 jam menghasilkan protein dan mineral terlarut terbaik. Produk cair ekstraksi kitin secara biologis dapat dijadikan imbuhan pakan, dan digunakan sebesar 3% dalam ransum ayam broiler untuk menghasilkan nilai kecernaan dan performan yang optimal.

(5)

)

Dibiayai oleh Bantuan Dana Universitas Padjadjaran, No : 389.J2/J06.14/LP/PL/2006 **)

Staf Pengajar Jurusan Ilmu Nutrisi dan Makanan Ternak, Fakultas Peternakan, Unpad. KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan ke Hadirat Allah Swt, karena atas Rahmat-Nya,

laporan hasil penelitian ini dapat diselesaikan. Judul laporan penelitian ini adalah

“Pemanfaatan Limbah Cair Ekstraksi Kitin dari Kulit Udang Produk Proses Kimiawi dan

Biologis sebagai Imbuhan Pakan dan Implikasinya terhadap Pertumbuhan Ayam Broiler”.

Pada kesempatan ini, penulis menyampaikan ucapan terima kasih kepada:

1. Bapak Rektor Universitas Padjadjaran dan Bapak Ketua Lembaga Penelitian

Universitas Padjadjaran, yang atas perkenannya penelitian ini dapat berlangsung melalui

pembiayaan dana bantuan dana Universitas Padjadjaran, tahun anggaran 2006.

2. Bapak Dekan Fakultas Peternakan Universitas Padjadjaran, yang telah memberikan

kepercayaan untuk melakukan penelitian ini.

3. Kepala Laboratorium Nutrisi Ternak Unggas Non Ruminansia dan Industri Makanan

Ternak, Jurusan Nutrisi dan Makanan Ternak, Fakultas Peternakan Universitas

Padjadjaran, yang telah memberikan izin penggunaan laboratorium.

4. Semua pihak yang telah membantu terlaksananya penelitian ini.

Akhirnya penulis berharap laporan hasil penelitian ini bermanfaat bagi berbagai

pihak yang memerlukannya.

Jatinangor, 26 November 2006

(6)

DAFTAR ISI

BAB Halaman

LEMBAR IDENTITAS DAN PENGESAHAN ……….... ii

(7)

3.8. Lignin sebagai Indikator pada Pengukuran Nilai Kecernaan.... 21

3.9. Kerangka Pemikiran... 22

IV. METODE PENELITIAN ………. 26

4.1. Ruang Lingkup Percobaan …………...……….. 26

4.2. Percobaan Tahap Pertama (Ekstraksi Kitin)…... 26

4.2.1. Bahan dan Alat Percobaan... 26

4.2.2. Pelaksanaan Penelitian... 27

4.2.3. Rancangan Percobaan... 30

4.3. Percobaan Tahap Kedua (Penentuan Nilai Kecernaan)…...…… 32

4.3.1. Alat dan bahan Percobaan... 32

4.3.2. Prosedur Percobaan... 35

4.3.3. Peubah yang Diamati... 36

4.3.4. Perhitungan Kecernaan Zat makanan... 36

4.3.5. Rancangan Percobaan... 37

4.4. Percobaan Tahap Ketiga (Percobaan Ransum/Feeding Rial) 38 4.4.1. Alat dan bahan Percobaan... 38

4.4.2. Metode Penelitian... 39

4.4.3. Peubah yang Diamati... 40

V. HASIL DAN PEMBAHASAN ……… 5.1. Pengaruh Perlakuan terhadap Kandungan Protein dan Mineral Terlarut...………... 41 5.1.1. Pengaruh Perlakuan terhadap Kandungan Protein dan Mineral Terlarut Produk Proses Kimiawi... 41 5.1.2. Pengaruh Perlakuan terhadap Kandungan Protein dan Mineral Terlarut Produk Proses Biologis... 46 5.2. Pengaruh Perlakuan terhadap Kecernaan……... 50

5.3. Pengaruh Perlakuan terhadap Performan Ayam Broiler....……. 54

VI. KESIMPULAN DAN SARAN ………. 59

6.1. Kesimpulan ……….. 59

6.2. Saran ………. 60

DAFTAR PUSTAKA ……… 61

(8)

DAFTAR TABEL

No. Halaman

1. Persentase Kandungan Kitin dalam Cangkang Krustacea…………. 9

2. Komposisi Kulit dan Kepala Udang Berdasarkan Proses

6. Kandungan Zat-zat Makanan dan Energi Metabolis Ransum Standar, Ransum Kontrol dan Ransum Percobaan pada Masing-masing Perlakuan ... Protein, Kalsium dan Fosfor Terlarut Produk Proses Kimiawi ...

43

9. Uji Jarak Berganda Duncan Pengaruh Waktu dalam Dosis terhadap Kandungan Protein, Kalsium dan Fosfor Terlarut Produk Proses Kimiawi...

44

10. Rataan Kandungan Protein, Kalsium dan Fosfor Terlarut Produk Proses Biologis pada Masing-masing Perlakuan...…….

46

11. Uji Jarak Berganda Duncan Pengaruh Dosis terhadap Kandungan Protein, Kalsium dan Fosfor Terlarut Produk Proses Biologis...

47

12. Uji Jarak Berganda Duncan Pengaruh Waktu dalam Dosis terhadap Kandungan Protein, Kalsium dan Fosfor Terlarut Produk Proses Biologis...

49

13. Rataan Nilai Kecernaan Bahan Kering, Protein Kasar dan Bahan Organik Ransum pada Masing-masing Perlakuan...

51

14. Rataan Konsumsi Ransum, Pertambahan Berat Badan dan Konversi Ransum pada Masing-masing Perlakuan...

(9)

DAFTAR GAMBAR

No. Halaman

1. Struktur Kimia Kitin, Kitosan dan Selulosa... 11

(10)

DAFTAR LAMPIRAN

No. Halaman

1. Proses Ekstraksi Kitin Limbah Udang Secara Kimiawi melalui Tahap Deproteinasi-Demineralisasi Menggunakan Larutan NaCl dan H2SO4 terhadap Protein dan Mineral Terlarut...

64

2. Analisis Statistik Pengaruh Perlakuan terhadap Protein Terlarut Produk Kimiawi ...

65

3. Analisis Statistik Pengaruh Perlakuan terhadap Kalsium Terlarut Produk Kimiawi...

68

4. Analisis Statistik Pengaruh Perlakuan terhadap Fosfor Terlarut Produk Kimiawi...

70

5. Proses Ekstraksi Kitin Limbah Udang Secara Biologis Melalui Tahap Deproteinasi-Demineralisasi menggunakan Bacillus licheniformis dan Aspergillus niger terhadap Protein dan Mineral Terlarut...

72

6. Analisis Sidik Ragam Pengaruh Perlakuan terhadap Kandungan Protein Terlarut Produk Biologis...

73

7. Analisis Sidik Ragam Pengaruh Perlakuan terhadap Kandungan Kalsium Terlarut Produk Biologis...

75

8. Analisis Sidik Ragam Pengaruh Perlakuan terhadap Kandungan Fosfor Terlarut Produk Biologis...

77

9. Analisis Statistik Pengaruh Perlakuan terhadap Kecernaan Bahan Kering...

79

10 Analisis Statistik Pengaruh Perlakuan terhadap Kecernaan Protein kasar...

80

11 Analisis Statistik Pengaruh Perlakuan terhadap Kecernaan Bahan Organik...

81

12. Analisis Statistik Pengaruh Perlakuan terhadap Konsumsi Ransum... 82

13. Analisis Statistik Pengaruh Perlakuan terhadap Pertambahan Berat Badan...

83

(11)

I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Penggunaan bahan pakan berkualitas untuk penyusunan ransum unggas merupakan

persyaratan mutlak yang harus dipenuhi. Ransum adalah faktor penentu terhadap

pertumbuhan, disamping bibit dan tatalaksana pemeliharaan. Optimalitas performan

ternak unggas hanya dapat terealisasi apabila diberi ransum bermutu yang memenuhi

persyaratan tertentu dalam jumlah yang cukup. Pemenuhan kebutuhan zat-zat

makanan dalam penyusunan ransum dapat dilakukan dengan menggunakan imbuhan

pakan produk kimiawi ataupun produk bioproses dengan teknologi fermentasi.

Dengan demikian, diperlukan satu upaya mencari alternatif sumber bahan atau

imbuhan pakan yang murah, mudah didapat, kualitasnya baik, serta tidak bersaing

dengan kebutuhan manusia. Salah satunya adalah limbah dari pengolahan udang beku

berupa kepala ataupun kulitnya .

Indonesia merupakan salah satu negara produsen udang yang cukup besar di

kawasan Asia. Produksi udang Indonesia pada tahun 2004 sekitar 242.560 ton dari luasan

tambak udang 380.000 hektar. Produksi udang tersebut sebagian besar diekspor dengan

total nilai mencapai US$ 840,4 juta (Anonim, 2004). Udang yang diekspor sebagian besar

dalam bentuk beku tanpa kepala (headless) dan kulit (peeled). Limbah dari pengolahan

udang beku diperkirakan sekitar 60 – 70% dari berat udang (Krissetiana, 2004).

Limbah udang mengandung protein sekitar 25 – 40%, kalsium karbonat 45 – 50%

(12)

merupakan pro-vitamin A untuk pembentukan warna kuning kemerahan. Kandungan

protein dan mineral yang cukup tinggi menggambarkan potensi limbah udang dapat

dijadikan pakan/imbuhan pakan untuk ternak unggas. Namun kendalanya adalah adanya

kitin yang menyebabkan protein dan mineral (dalam bentuk kalsium karbonat) terikat

sehingga sulit dicerna oleh enzim pencernaan unggas, khususnya ayam broiler.

Struktur kitin pada limbah udang sama dengan selulosa, dengan ikatan yang terjadi

antara monomernya terangkai dengan glukosida pada posisi β (1-4). Perbedaan dengan

selulosa adalah gugus hidroksil yang terikat pada atom karbon nomor dua, digantikan oleh

gugus asetamina (-NHCOCH3) pada kitin sehingga kitin menjadi sebuah polimer berunit

N-Asetil glukosamin. Kitin merupakan makromolekul berbentuk padatan amorf, dan dapat

terurai melalui proses kimiawi (asam kuat dan basa kuat) ataupun biologis

(bio-degradable) terutama oleh mikroba penghasil enzim lisozim dan kitinase (Stephen, 1995).

Limbah udang merupakan bahan yang mudah busuk. Proses degradasi oleh

mikroba pembusuk dan enzim berjalan dengan cepat dan menyebabkan menurunnya mutu

komponen yang terdapat dalam limbah tersebut sehingga bila komponen-komponen

tersebut dipisahkan dapat menghasilkan produk yang bermutu rendah. Oleh karena itu,

perlu diupayakan pengolahan limbah udang dengan tujuan untuk memperoleh produk yang

berkualitas.

Proses pengolahan limbah udang (ekstraksi kitin dari limbah udang) dapat

dilakukan secara kimia melalui tahapan deproteinasi dengan menggunakan basa kuat dan

demineralisasi dengan menggunakan asam kuat. Ekstraksi kitin dari limbah udang dapat

pula dilakukan secara biologis, yaitu melalui proses fermentasi dengan menggunakan

(13)

Pengolahan secara kimiawi dapat dilakukan dalam waktu yang singkat dan

sederhana. Namun pengolahan tersebut memiliki beberapa kelemahan yaitu menimbulkan

kerusakan lingkungan akibat limbah kimia yang dihasilkan, terjadi korosif yang sangat

tinggi dan terjadinya depolimerisasi akibat pemotongan struktur molekul yang berlebihan

oleh senyawa kimia yang digunakan pada protein, mineral dan vitamin. Adapun

pengolahan secara biologis memerlukan waktu yang cukup lama dan keahlian khusus,

namun memiliki beberapa keuntungan yaitu menghasilkan produk dengan kandungan zat

makanan yang lebih baik serta ramah lingkungan.

Beberapa penelitian yang telah dilakukan dalam tahapan ekstraksi kitin secara

kimiawi dari limbah udang antara lain deproteinasi dengan menggunakan basa kuat (Cira

dkk., 2000), kemudian dilakukan demineralisasi dengan menggunakan asam kuat (Bisping

dkk., 2005). Tahapan ekstraksi kitin secara biologis antara lain deproteinasi menggunakan

isolat bakteri Bacillus licheniformis F11 (Bisping dkk., 2005); kemudian dilakukan

demineralisasi melalui fermentasi asam laktat oleh bakteri Lactobacillus spp. Strain B2

(Cira dkk., 2000). Demineralisasi dapat pula dilakukan dengan menggunakan kapang

Aspergillus niger yang memiliki kemampuan membuat suasana asam dalam proses

fermentasinya. Namun sejauh ini, limbah cair hasil ekstraksi kitin dari limbah udang

belum diteliti dan dimanfaatkan untuk pakan. Percobaan yang dirancang dalam penelitian

ini dimaksudkan untuk memanfaatkan limbah cair dari proses ekstraksi kitin yang

selanjutnya dijadikan imbuhan pakan pada ransum ayam broiler guna meningkatkan

kualitas dan nilai manfaat serta efisiensi ransum.

Beberapa faktor yang berpengaruh terhadap kualitas produk limbah cair dari

ekstraksi kitin adalah cara tahapan prosesnya yaitu tahapan deproteinasi kemudian

(14)

proses antara lain: konsentrasi zat kimia/mikroba, lama proses pengolahan, suhu dan pH.

Zat kimia yang digunakan pada tahapan deproteinasi adalah NaOH, dan pada tahapan

demineralisasi adalah H2SO4. Mikroba yang digunakan pada tahapan deproteinasi adalah

bakteri B. Licheniformis, dan pada tahapan demineralisasi menggunakan kapang

Aspergillus niger.

Produk limbah cair dari ekstraksi kitin pada pengolahan limbah udang secara

kimiawi dan biologis dapat terlihat nilai manfaatnya bila dibuat imbuhan pakan dan

dilakukan pengujian secara biologis pada ayam broiler, karena ayam broiler memiliki sifat

tumbuh yang cepat serta responsif terhadap perlakuan ransum. Oleh karena itu, untuk

melihat kualitas dan nilai manfaat produk imbuhan pakan tersebut diukur melalui nilai

kecernaan, dan untuk melihat efisiensinya ditambahkan pada ransum ayam broiler melalui

pengukuran terhadap performan (konsumsi ransum, pertambahan berat badan dan konversi

ransum).

Berdasarkan uraian di atas, penulis tertarik mengadakan penelitian dengan judul

“Pemanfaatan Limbah Cair Ekstraksi Kitin dari Kulit Udang Produk Proses Kimiawi dan

Biologis sebagai Imbuhan Pakan dan Implikasinya terhadap Pertumbuhan Ayam Broiler”.

1.2. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas, maka masalah yang dapat diidentifikasikan

adalah sebagai berikut:

1. Berapa besar pengaruh kondisi proses (dosis zat kimia atau mikroba dan lama proses

pengolahan) pada setiap tahapan deproteinasi-deminerlisasi terhadap nilai gizi produk

(15)

2. Berapa besar nilai kecernaan (bahan kering, protein kasar dan bahan organik) ransum

yang mengandung produk limbah cair ekstraksi kitin dari limbah udang (imbuhan

pakan) pada ransum ayam broiler.

3. Berapa besar respon ayam broiler yang diberi produk limbah cair ekstraksi kitin dari

limbah udang (imbuhan pakan) terhadap performan (konsumsi ransum, pertambahan

berat badan dan konversi ransum).

1..3. Metode Penelitian

Percobaan dilakukan dalam tiga tahap dengan menggunakan metode eksperimental di

laboratorium. Percobaan tahap pertama, menggunakan rancangan tersarang (3X3)

yang diulang sebanyak 3 kali. Percobaan tahap kedua dan ketiga, menggunakan

rancangan acak lengkap, terdiri atas 8 perlakuan dan diulang 4 kali. Peubah yang

diamati pada tahap pertama yaitu: kandungan protein, kalsium dan fosfor terlarut

produk limbah cair ekstraksi kitin dari limbah udang; tahap kedua yaitu: kecernaan

bahan kering, protein kasar dan bahan organik produk terpilih dari pengolahan limbah

udang; tahap ketiga yaitu: konsumsi ransum, pertambahan berat badan dan konversi

ransum ayam broiler. Hasil yang diperoleh dianalisis dengan sidik ragam (Uji F) dan

perbedaan antar rataan perlakuan diuji dengan uji jarak berganda Duncan.

1.4. Lokasi dan Lama Penelitian

Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Nutrisi Ternak Unggas, Non Ruminansia dan

(16)

Padjadjaran, Jatinangor-Sumedang. Percobaan dilaksanakan selama lima bulan, yaitu

(17)

II

TUJUAN DAN MANFAAT PENELITIAN

2.1. Tujuan Penelitian

1. Mengetahui pengaruh kondisi proses (dosis zat kimia atau mikroba dan lama proses

pengolahan) pada setiap tahapan deproteinasi-deminerlisasi terhadap nilai gizi produk

limbah cair ekstraksi kitin dari limbah udang (protein dan mineral terlarut).

2. Mengetahui kualitas produk limbah cair ekstraksi kitin dari limbah udang sebagai

imbuhan pakan (feed suplement) dalam ransum ayam broiler melalui pengukuran nilai

kecernaannya.

3. Mengetahui dan mendapatkan tingkat penggunaan produk imbuhan pakan (feed

suplement) yang optimal terhadap performan ayam broiler (konsumsi ransum,

pertambahan berat badan dan konversi ransum).

2.2. Manfaat Penelitian

1. Meningkatkan nilai tambah limbah udang melalui proses ekstraksi kitin (secara

kimiawi dan biologis), terutama pemanfaatan produk cairnya untuk dijadikan imbuhan

pakan.

2. Kajian atau sentuhan teknologi agar limbah perikanan dapat dimanfaatkan sebagai

pakan/imbuhan pakan.

3. Meletakkan landasan ilmiah dalam pengolahan limbah udang secara kimiawi dan

biologis serta pemanfaatan produk cairannya sebagai imbuhan pakan untuk

(18)

4. Meletakkan landasan ilmiah pemanfaatan mikroba dan zat kimia dalam pengolahan

limbah udang untuk mendapatkan optimalisasi produk yang bisa digunakan sebagai

imbuhan pakan pada ransum ayam broiler.

5. Mendukung kebijakan pemerintah dalam upaya menyediakan pakan yang berkualitas

dan efisien, serta optimalisasi produk yang berwawasan lingkungan (ramah

(19)

III

TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN

3.1. Limbah Udang

Limbah udang yang terdiri atas kulit dan kepala merupakan limbah industri dari

pabrik pembekuan udang, limbah ini dapat mencapai 60 -70 % dari berat utuh. Kulit dan

kepala udang mengandung kitin yang cukup besar dibandingkan dengan cangkang atau

kulit krustacea lainnya. Persentase perbandingan kitin dalam kulit krustacea sebagaimana

terlihat pada Tabel 1.

Tabel 1. Persentase Kandungan Kitin dalam Cangkang Krustacea.

Jenis krustacea Kitin

mineral yang cukup tinggi, serta mengandung lemak dan pigmen yang terikat dengan kitin

(Angka dan Suhartono, 2000). Protein dan kalsium karbonat (mineral) pada kulit dan

kepala udang dapat didegradasi dengan pemberian garam dan basa, dan tersisa kitin yang

(20)

mikroba. Kandungan protein, kalsium karbonat dan kitin pada kulit dan kepala udang

ditampilkan pada Tabel 2.

Tabel 2. Komposisi Kulit dan Kepala Udang Berdasarkan Proses Pengupasan

Komposisi (% berat kering) Sumber

Protein Khitin Kalsium karbonat

Pengupasan tangan 27,2 57,4 15,3

Pengupasan mekanis 22,0 42,3 35,7

Sumber: Angka dan Suhartono (2000).

Pemanfaatan limbah cair hasil ekstraksi kitin dari limbah udang (cangkang, kerapas,

dan kepala) merupakan alternatif penanganan dampak lingkungan, dan kemudian dapat

dijadikan sebagai imbuhan pakan untuk ransum unggas, khususnya ayam broiler. Hal ini

dikarenakan limbah udang akhir-akhir ini dijadikan sebagai bahan baku pada pembuatan

kitin dan kitosan (sebagai bahan pengawet), dan dapat diproduksi secara komersial (Knorr,

1984).

3.2. Kitin

Kitin merupakan senyawa biopolimer berantai panjang dan tidak bercabang. Tiap

rantai polimer pada umumnya terdiri dari 2000 hingga 5000 unit monomer

N-asetil-D-Glukosamin (2-acetamido-2-deoksi-D-Glukosa) yang terpaut melalui ikatan β (1-4)

glukosa. Unit monomer kitin mempunyai rumus molekul C8H12NO5 dengan kadar C, H, N

dan O berturut-turut 47%, 6%, 7% dan 40% (Bastaman, 1989).

Struktur kitin dan kitosan sama dengan selulosa, dengan ikatan yang terjadi antara

monomernya terangkai dengan glukosida pada posisi β (1-4). Perbedaan dengan selulosa

(21)

asetamina (-NHCOCH3) pada kitin sehingga kitin menjadi sebuah polimer berunit N-Asetil

glukosamin sedangkan pada kitosan digantikan oleh gugus amin (NH2). Struktur kimia

kitin, kitosaan dan selulosa dapat dilihat pada Gambar 1.

Gambar 1. Struktur Kimia Kitin, Kitosan dan Sellulosa (Muzzarelli dan Joles, 1999).

Kitin dapat dibedakan berdasarkan susunan rantai N-Asetil-Glukosamin yaitu α, β, γ,

derajat deasetilasi, adanya ikatan silang seperti dengan protein dan glukan. Kitin dalam

tubuh organisme terdapat dalam tiga bentuk kristal dan dibedakan atas susunan rantai

molekul yang membangun kristalnya, yaitu α-kitin (rantai antipararel), β-kitin (rantai

(22)

α-kitin β-kitin γ-kitin

Gambar 2. Bentuk α-khitin, β-hkitin,dan γ-khitin (Angka dan Suhartono, 2000).

Menurut Stephen (1995), kitin merupakan makromolekul berbentuk padatan amorf

atau kristal dengan panas spesifik 0,373 kal/g/oC, berwarna putih, dan dapat terurai secara

kimia dan hayati (biodegradable), terutama oleh bakteri penghasil enzim lisozim dan

kitinase. Kitin bersifat tidak larut dalam air, asam anorganik encer, asam organik, alkali

pekat dan pelarut organik tetapi larut dalam asam pekat seperti asam sulfat, asam nitrit,

asam fosfat dan asam formiat anhidrous. Menurut Austin (1981), kitin yang larut dalam

asam pekat dapat terdegradasi menjadi monomernya dan memutuskan gugus asetil.

3.3. Ekstraksi Kitin

Ekstraksi kitin dilakukan melalui dua tahapan proses yaitu degradasi protein

(deproteinasi) dan degradasi kalsium karbonat (demineralisasi) dari limbah udang

(Muzzarelli, 2000). Kedua proses tersebut dapat dilakukan secara kimia ataupun biologis

(Lee and Tan, 2002).

Ekstraksi kitin secara kimiawi dilakukan melalui proses deproteinasi dengan

menggunakan basa kuat, dan proses demineralisasi dengan menggunakan senyawa asam,

baik asam kuat atau asam lemah (Bastaman, 1989). Ekstraksi kitin secara biologis

(23)

ditambahkan langsung atau enzim yang dihasilkan oleh mikroba selama proses kultivasi,

dan proses demineralisasi dengan fermentasi asam (Lee and Tan, 2002).

3.4. Deproteinasi secara Kimiawi (Basa Kuat) dan Biologis (Bacillus licheniformis) Limbah udang mengandung protein yang terikat pada kitin. Untuk mendegradasi

protein dari ikatan kitin, dapat dilakukan melalui proses deproteinasi. Protein yang

terdapat pada limbah udang dapat berikatan secara fisik dan kovalen. Protein yang terikat

secara fisik dalam limbah udang dapat didegradasi dengan perlakuan fisik seperti

pengecilan ukuran dan pencucian dengan air. Adapun protein yang terikat secara kovalen

dapat didegradasi dengan perlakuan kimia yaitu pelarutan dalam larutan basa kuat atau

dengan perlakuan biologis. (Austin, 1988 dan Lee and Tan, 2002).

Deproteinasi secara biologis dilakukan dengan menggunakan enzim protease. Enzim

protease adalah enzim yang mampu menghidrolisis ikatan peptida dalam protein. Enzim

protease dapat diperoleh dari metabolit sekunder mikroba hasil kultivasi bakteri B.

licheniformis (Bisping dkk., 2005).

B. licheniformis merupakan bakteri gram positif, berbentuk batang dengan panjang

antara 1,5 µm sampai 3 µm dan lebar antara 0,6 µm sampai 0,8 µm. Spora dari bakteri ini

berbentuk batang silindris atau elips dan terdapat pada sentral atau para-sentral. Suhu

maksimum pertumbuhannya adalah 50 – 55 0C dan suhu minimumnya 15 0C (Mao dkk.,

1992).

B. licheniformis merupakan species bakteri yang mampu menghasilkan protease

dalam jumlah yang relatif tinggi. Jenis protease yang dihasilkan oleh bakteri ini adalah

(24)

aktifnya. Enzim ini bekerja sebagai endopeptida (memutuskan ikatan peptida yang berada

dalam rantai protein sehingga dihasilkan peptida dan polipeptida) (Rao dkk., 1998).

3.5. Demineralisasi secara Kimiawi (Asam Kuat) dan Biologis (Aspergillus niger) Kulit udang mengandung mineral 30 – 50 % (berat kering), komposisi yang utama

adalah kalsium karbonat dan kalsium fosfat, mineral tersebut dipisahkan terlebih dahulu

sebelum ekstraksi kitin dilakukan. Komponen mineral dapat dilarutkan dengan

penambahan asam encer seperti asam klorida, asam sulfat atau asam laktat (Bastaman,

1989).

Menurut Lee and Tan (2002), proses demineralisasi dapat dilakukan secara biologis

yaitu melarutkan mineral yang terdapat dalam limbah udang dengan proses fermentasi

asam. Asam yang dihasilkan dalam proses fermentasi akan bereaksi dengan kalsium

karbonat sehingga terbentuk kalsium laktat. Salah satunya adalah dengan menggunakan

kapang Aspergillus niger.

Aspergillus niger mempunyai ciri-ciri yang khas yaitu berupa benang tunggal

disebut hipa, atau berupa kumpulan benang-benang padat menjadi satu yang disebut

miselium, tidak mempunyai klorofil dan hidup heterotrop. Bersifat aerobik dan

berkembang biak secara vegetatif dan generatif melalui pembelahan sel dan spora-spora

yang dibentuk di dalam askus atau kotak spora (Raper dan Fennel, 1977). Kapang ini

tumbuh baik pada suhu 32 – 33 0C. Kisaran pH yang dibutuhkan 2,8 sampai 8,8 dengan

kelembaban 80 – 90%. Aspergillus niger penanganannya mudah dan banyak digunakan

secara hidrolisis dalam produksi asam sitrat, asam glukanat dan beberapa enzim seperti

(25)

Aspergillus niger merupakan spesies dari Aspergillus yang tidak menghasilkan

mycotoxin, sehingga tidak membahayakan ( i h, 1970). Aspergillus niger juga dapat

menekan terbentuknya racun aflatoksin yang dihasilkan oleh Aspergillus parasiticus

(Banwart, 1989). Selanjutnya dilaporkan pula bahwa kapang tersebut menghasilkan

beberapa enzim, seperti -amilase, selulase, glukoamilase, katalase, pektinase, lipase, dan

-galaktosidase.

Selulase merupakan nama umum untuk semua enzim yang dapat memutuskan

ikatan glikosidik -1,4 dalam selulosa, selodekstrin, selobiosa dan turunan selulosa

lainnya. Selulase tersebut berfungsi sebagai katalisator hidrolisa enzimatis selulosa

menjadi glukosa, suatu senyawa dasar yang mempunyai nilai manfaat yang besar baik

sebagai bahan dasar energi maupun sebagai bahan dasar pangan, seperti gula, sirup, single

cell protein, etanol dan asam-asam organik (Ali dan Sastramihardja, 1983).

Selulosa merupakan polimer linier unit-unit D-glukosa yang bergabung dengan

ikatan konfigurasi -1,4 glikosida, hanya dapat i hidrolisis oleh enzim selulase. Salah

satu molekul selulosa merupakan rangkaian pita panjang yang diikat oleh ikatan hidrogen

yang kuat secara inter atau intra molekuler sehingga membentuk daerah-daerah kristalin

dan amorf. Selulosa terdiri atas 15-14.000 unit molekul glukosa (Coughlan, 1989).

Selulase menurut Klyosov yang disitir oleh Ramadhanil (1994), merupakan enzim

kompleks yang bersifat ekstraseluler dan terdiri atas tiga komponen, yaitu:

1. Komponen C1 (ikatan -1,4-glukan selobiohidrolase)

Enzim ini aktif menghidrolisa selulosa alami seperti pada kapas dan i hidro selulosa.

(26)

Enzim ini dapat merombak selulosa terlarut seperti CMC (Carboxy Methyl Cellulose)

yang merupakan derivat selolosa. Komponen Cx dibagi lagi atas:

a. Endo -1,4-glukanase

Enzim ini menyerang ikatan glikosida -1,4 secara acak pada selulosa amorf dan

CMC.

b. Ekso -1,4-glukanase

Enzim ini berperan dalam memecah selulosa dari ujung rantai non pereduksi dan

menghasilkan unit selobiosa.

3. Komponen -1,4-glukosidase (selobiose)

Enzim ini mampu menghidrolisis selobiosa menjadi dua unit molekul glukosa.

Semua enzim di atas bersifat hidrolitik dan bekerja secara berturut-turut atau

bersamaan (Coughlan, 1989). Selobiohidrolase adalah enzim yang mempunyai afinitas

terhadap selulosa tingkat tinggi yang mampu memecah selulosa kristal, sedangkan

endoglukonase bekerja pada selulosa amorf (Coughlan, 1989). Selobiohidrolase memecah

selulosa melalui pemutusan ikatan hidrogen yang menyebabkan rantai-rantai glukosa

mudah untuk di hidrolisis lebih lanjut. Hidrolisa selanjutnya diperoleh selobiosa dan

akhirnya glukosa yang dilakukan oleh enzim -glukanase dan -glukosidase.

Menurut Norris dan Richmonds (1981) dalam Ramadhanil (1994), enzim yang

dihasilkan mikroorganisme mempunyai kelebihan untuk dikembangkan, karena:

Mikroorganisme tumbuh sangat cepat dan mudah dikembangkan sehingga dapat digunakan

dalam skala industri.

Substrat tumbuh mikroorganisme relatif tidak mahal, umumnya terdiri atas limbah industri

(27)

Enzim yang dihasilkan mikroorganisme dapat diproduksi dalam jumlah yang tidak

terbatas.

3.6. Deskripsi Ayam Broiler dan Faktor-faktor yang Mempengaruhi Pertumbuhannya

Ayam broiler merupakan salah satu jenis unggas penghasil daging yang unggul.

Pertumbuhannya sangat cepat sejak usia satu minggu hingga lima minggu. Pada saat

berusia tiga minggu tubuhnya sudah gempal dan padat, ayam broiler yang berumur enam

minggu sudah sama besarnya dengan ayam kampung dewasa, dan bila dipelihara hingga

berusia 8 minggu bobotnya dapat mencapai 2 kg (Rasyaf, 1995). Menurut North dan Bell

(1990), broiler biasanya dipasarkan dengan berat hidup antara 4 - 4,5 pound atau pada saat

umur 6 - 8 minggu. Tetapi di Indonesia ayam broiler umumya dipasarkan pada umur 5 - 6

minggu pada bobot hidup antara 1,3 - 1,6 kg (Rasyaf, 1995).

Secara fisik ayam broiler biasanya mempunyai warna dominan putih, telah diseleksi

untuk pertumbuhannya yang cepat, mempunyai karasteristik daging yang baik seperti

bagian dada yang lebar, bentuk badan yang dalam, hasil daging yang banyak (Ensminger,

1992). Dalam kaitan ini efisiensi pertumbuhan biasanya diukur dari berat badan dewasa,

konversi ransum dan umur yang dicapai pada berat yang diinginkan (North dan Bell, 1990;

Ensminger, 1992).

Produktivitas ayam broiler dipengarui oleh beberapa faktor antara lain genetik, iklim,

nutrisi dan faktor penyakit (Suherland, 1967). Keunggulan ayam broiler akan terbentuk

bila didukung oleh lingkungan, karena sifat genetis saja tidak menjamin keunggulan

tersebut dapat timbul. Ayam broiler akan nyaman hidup dan berproduksi pada suhu

(28)

memungkinkan ayam mengurangi konsumsi ransum dan lebih banyak minum. Dengan

demikian, faktor ransum menyangkut kualitas dan kuantitasnya sangat menentukan

terhadap produktivitas ternak. Pertumbuhan yang cepat tidak akan timbul bila tidak

didukung dengan ransum yang mengandung nutrisi yang lengkap dan seimbang (asam

amino, asam lemak, mineral dan vitamin) sesuai dengan kebutuhan ayam. Bila faktor

suhu dan ransum sudah teratasi maka faktor manajemen perlu diperhatikan pula. Ayam

broiler perlu dipelihara dengan teknologi yang dianjurkan oleh pembibit untuk

mendapatkan hasil sesuai yang diharapkan.

3.7. Organ dan Sistem Pencernaan Broiler

Tractus digestivus atau saluran alimenter dari semua hewan dapat dianggap sebagai

tabung yang mulai dari mulut sampai anus dan fungsinya dalam pencernaan adalah

mencerna dan mengabsorbsi makanan dan mengeluarkan sisa makanan sebagai tinja. Pada

umumnya, bagian-bagian penting dari alat pencernaan adalah mulut, parinks, esophagus,

lambung, usus halus dan usus besar. Makanan akan dicerna bergerak melalui mulut

sepanjang saluran pencernaan oleh gelombang peristaltik yang disebabkan karena adanya

kontraksi otot sirkuler di sekeliling saluran. Gelombang peristaltik menggerakkan

bagian makanan sepanjang saluran pencernaan dan menyebabkan bercampurnya

bagian-bagian tercerna bersentuhan dengan dinding saluran pencernaan dan bagian-bagian tersebut

terabsorpsi melalui selaput lendir usus masuk ke dalam tubuh. Usus halus merupakan alat

absorpsi yang utama pada ayam broiler, pertama-tama karena mempunyai villi, suatu

bangunan seperti jari yang hanya dapat dilihat dengan mikroskop, karena bentuknya

mempunyai daerah absorpsi yang luas. Tiap bentuk villi mengandung sebuah anteriole,

(29)

merupakan bagian dari sistem peredaran darah, yang langsung berhubungan menuju vena

porta, sedangkan lakteal-lakteal akan menuju duktus limpatikus torasikus. Broiler juga

mempunyai beberapa sekresi yang dimasukkan ke dalam saluran pencernaan dan banyak

sekresi-sekresi tersebut mengandung enzim-enzim yang menunjang hidrolisis sebagai

zat-zat makanan organik.

Pencernaan pada broiler umumnya mengikuti pola pencernaan pada ternak non

ruminansia, tetapi terdapat beberapa perbedaan. Unggas tidak mempunyai gigi tetapi

mempunyai paruh untuk melumatkan makanannya. Biasanya, unggas menimbun makanan

yang dimakan dalam tembolok, suatu vertikulum (pelebaran) esophagus yang tak terdapat

pada non ruminasia lain. Tembolok berfungsi sebagai penyimpanan makanan dan

mungkin terdapat adanya aktivitas jasad renik yang ada di dalamnya, dan menghasilkan

asam-asam organik. Osephagus, seperti halnya ternak non ruminasia lain, berakhir pada

lambung yang mempunyai banyak kelenjar dan di dalamnya terjadi reaksi-reaksi

enzimatik. Namun makanan yang berasal dari lambung masuk ke dalam empela, yang

tidak terdapat pada hewan non ruminansia lain. Empela mempunyai otot-otot kuat yang

dapat berkontraksi secara teratur untuk menghancurkan makanan sampai menjadi bentuk

pasta yang dapat masuk ke dalam usus halus. Biasanya empela mengandung grit (batu

kecil dan pasir) yang membantu pelumatan biji-biji yang masih utuh. Setelah makanan

masuk ke dalam usus halus, pencernaan seterusnya sama dengan pada hewan non

ruminansia.

Usus besar unggas sangat pendek jika dibandingkan dengan pada hewan non

ruminansia lain, terutama dibanding dengan babi, manusia dan rodensia. Bila kenyataan

(30)

aktivitas jasad renik dalam usus besar unggas tetapi sangat rendah jika dibanding dengan

non ruminansia lain.

3.8. Lignin sebagai Indikator pada Pengukuran Nilai Kecernaan

Lignin sangat tahan terhadap setiap degradasi kimia, termasuk degradasi enzimatik.

Kandungan lignin tanaman bertambah dengan bertambahnya umur tanaman, sehingga

terdapat daya cerna yang semakin rendah dengan bertambahnya proses lignifikasi.

Misalnya, hay dan jerami tua mengandung kadar lignin tinggi dibandingkan dengan

tanaman muda.

Pada tanaman muda, lapisan matriks ini terdiri dari selulosa dan hemiselulosa, tetapi

pada tanaman tua matriks dilapisi kemudian dengan lignin dan senyawa polisakarida lain.

Lignin bukan suatu karbohidrat tetapi karena zat ini berhubungan erat dengan

bagian-bagian serat kasar dalam satu analisis proksimat, maka dibicarakan bersama-sama dengan

karbohidrat.

Teknik analisis untuk menghitung jumlah lignin secara alami empiris berbeda nyata

dengan penilaian kandungan lignin tanaman. Metode analisis juga menghasilkan

perbandingan daya cerna lignin yang semu diantara pakan dan bagian dari saluran

pencernaan. Lignin digunakan sebagai indikator hanya bila ada bukti bahwa pemulihannya

kembali dalam feses adalah tinggi.

Telah lama diketahui bahwa koefsien cerna tidak dapat dihitung dari total koleksi

feses ternak yang merumput/digembalakan atau ternak yang dibatasi jika indikator yang

tepat akan diidentifikasi. Kriteria dari indikator yang ideal adalah : 1) harus tidak dapat

(31)

atau bergabung dengan materi yang akan ditandai dan 4) metode estimasi dalam sampel

digesta harus spesifik dan sensitif (Maynard dkk., 1979).

Indikator internal adalah yang paling akurat dan tepat khususnya untuk ternak yang

merumput. Lignin biasanya dipandang sebagai bahan yang tidak dapat dicerna, karena

kelihatannya tidak diketahui mikroorganisme anaerobik atau enzim mamalia untuk

pemecahan lignin (Van Soest, 1982). Rumus perhitungan koefisien cerna (kecernaan)

dengan menggunakan metode Schneider dan Flatt (1973) dan Ranjhan (1980) adalah

sebagai berikut:

% indikator dlm ransum % nutrien dlm feses Koefisien cerna = 100 - 100 X

% indikator dlm feses % nutrien dlm ransum

3.9. Kerangka Pemikiran

Udang windu (Penaeus monodon) merupakan jenis hewan air dari kelas crustacea

(binatang berkulit keras), phyllum arthropoda (binatang berkaki ruas), bercangkang dan

berenang dengan kelima pasang kaki. Seluruh tubuh udang windu terdiri dari ruas-ruas

(segmen) yang terbungkus oleh kerangka luar (exoskeleton) yang terbuat dari bahan

semacam zat tanduk (khitin) yang diperkeras oleh bahan kapur (kalsium karbonat), kecuali

pada bagian sambungan ruas tubuh yang berdekatan sehingga udang ini dapat bergerak

dengan leluasa dan lincah (Soetomo, 1990).

Meningkatnya produksi dan ekspor udang windu (Penaeus monodon),

menyebabkan jumlah limbah semakin meningkat karena umumnya udang windu dijual

(32)

tidak digunakan mencapai 30-70% dari berat udang, limbah ini umumnya berupa kepala

udang, kulit dan sejumlah kecil daging (Ilyas dan Suparno, 1985).

Limbah udang sering kali menimbulkan masalah lingkungan karena mudah busuk

dan sangat berbau. Hal ini terutama karena limbah udang banyak mengandung senyawa

organik, terutama protein sebesar 23-27% dan kepala udang merupakan tempat

berkumpulnya enzim-enzim pemecah bahan organik serta bakteri pembusuk. Demikian

pula kandungan senyawa-senyawa lain seperti kalsium karbonat sebesar 15-35% dan khitin

sebesar 42-57% (Putro, 1982). Protein pada limbah udang diikat oleh kitin dengan ikatan

kovalen yang membentuk senyawa kompleks dan stabil. Upaya untuk meningkatkan nilai

manfaat dari limbah udang, maka dilakukan suatu proses pengolahan secara kimiawi dan

biologis melalui tahapan deproteinasi dan demineralisasi.

Deproteinasi secara kimiawi bertujuan untuk mendegradasi protein dari ikatan kitin

pada kulit udang dengan NaOH sebagai larutan pengekstrak. Penelitian sebelumnya, Hong

(1989), melakukan proses deproteinasi menggunakan larutan NaOH 3,5% selama 3 jam

pada suhu 65 0C. Kondisi ini menghasilkan nilai kandungan nitrogen sebesar 6,86%.

Peneliti lain, Suryani (2005), melakukan proses deproteinasi dengan menggunakan larutan

NaOH 3,5% selama 2 jam.

Demineralisasi secara kimiawi, telah dilakukan oleh Hong (1989) dengan

menggunakan larutan HCl 1 N selama 3 jam pada suhu kamar, menunjukkan keefektifan

dalam menurunkan kadar abu. Selanjutnya Suryani (2005) melakukan proses

demineralisasi dengan menggunakan larutan HCl 1,25 N selama 1 jam. Pada penelitian

ini, proses demineralisasi menggunakan larutan H2SO4 sebagai larutan pengekstrak

(33)

asam amino esensial yaitu metionin, sistein dan sistin (Svehla, 1990) yang sangat

dibutuhkan oleh ternak unggas.

Deproteinasi dapat pula dilakukan secara biologis dengan menggunakan enzim

protease. Enzim protease dapat diperoleh dari metabolit sekunder mikroba hasil kultivasi

bakteri Bacillus licheniformis (Bisping dkk., 2005). Penggunaan bakteri Bacillus

licheniformis mengakibatkan protein yang terdapat pada limbah udang terlepas dari ikatan

kitin (Williams dan Shih, 1989). Penggunaan dosis Bacillus licheniformis pada proses

fermentasi bulu ayam sebanyak 4 % selama 5 hari pada suhu 50 0C, menghasilkkan

kandungan protein terlarut paling tinggi (Marlina, 1999).

Setelah proses deproteinasi dilanjutkan dengan proses demineralisasi dengan

kapang Aspergillus niger, bertujuan untuk melepaskan mineral dari ikatan kitin pada

limbah udang. Kapang Aspergillus niger mempunyai kemampuan untuk menciptakan

suasana asam, dimana kondisi tersebut dapat mendukung terjadinya proses demineralisasi.

Keadaan asam dapat menyebabkan kalsium karbonat dan kalsium fosfat terlepas dari

ikatan kitin. Penggunaan dosis Aspergillus niger pada fermentasi umbi garut sebanyak 2

% selama 72 jam menghasilkan konposisi gizi terbaik (Abun, 2004). Adapun penggunaan

Aspergillus niger pada fermentasi dedak padi dengan dosis 1,4 % selama 3 hari

menghasilkan kandungan kalsium dan fosfor yang tertinggi (Dwiana dkk., 2001).

Beberapa faktor yang berpengaruh terhadap kualitas produk pengolahan limbah

udang melalui proses deproteinasi dan demineralisasi adalah tahapan proses, kondisi

proses dari setiap tahapan yang meliputi lama waktu proses pengolahan, suhu, konsentrasi

(34)

Potensi nilai gizi produk ekstraksi kitin dari limbah udang dapat ditentukan dengan

jalan analisis kimia yang disebut analisis proksimat. Nilai sebenarnya ditunjukkan dari

bagian yang hilang setelah bahan makanan dicerna, diserap dan dimetabolis (Schneider dan

Flatt, 1973 dan Tillman dkk., 1991). Makin banyak zat makanan yang dapat diserap oleh

tubuh ternak unggas, maka nilai kecernaan produk pengolahan makin tinggi. Hal ini

merupakan suatu indikator tingginya kualitas dari produk pengolahan. Penggunaan

produk ekstraksi kitin dari limbah udang (secara kimiawi atau biologis) pada ransum ayam

broiler diharapkan dapat meningkatkan nilai kecernaan, yang pada gilirannya dapat

meningkatkan performan yang lebih baik.

Selama ini bahan pakan yang biasa digunakan sebagai sumber protein hewani

dalam susunan ransum unggas adalah tepung ikan. Kendala yang dihadapi adalah nilai

input tepung ikan relatif tinggi karena produksi dalam negeri belum mampu memenuhi

kebutuhan sehingga sebagian besar masih diimpor. Selain itu, tidak sedikit diperoleh dari

pengalaman di lapangan adanya pemalsuan pada tepung ikan sehingga kualitas ransum

menjadi rendah. Oleh karenanya, produk ekstraksi kitin dari limbah udang merupakan

salah satu alternatif imbuhan pakan yang dapat ditambahkan pada ransum ayam broiler

(35)

IV

METODE PENELITIAN

4.1. Ruang Lingkup Percobaan

Percobaan dibagi kedalam tiga tahap, yaitu:

a. Tahap pertama : Penentuan kandungan zat-zat makanan (protein dan mineral terlarut)

limbah cair hasil ekstraksi kitin dari limbah udang secara kimiawi dan

biologis.

b. Tahap kedua : Penentuan nilai kecernaan (bahan kering, protein kasar dan bahan organik) ransum yang mengandung produk limbah cair hasil ekstraksi kitin (imbuhan pakan) pada ayam broiler.

c. Tahap ketiga : Penentuan tingkat penggunaan produk imbuhan pakan dalam ransum ayam broiler.

4.2. Percobaan Tahap Pertama (Ekstraksi Kitin)

Percobaan tahap pertama yaitu untuk mendapatkan optimasi proses ekstraksi kitin

dari limbah udang secara kimiawi dan biologis melalui proses deproteinasi –

demineralisasi, dan penetapan kondisi proses pada setiap tahapan (dosis zat kimia atau

mikroba dan lama proses pengolahan).

4.2.1. Bahan dan Alat Percobaan

Bahan yang digunakan pada penelitian ini antara lain : NaOH, H2SO4, Isolat B.

licheniformis dan Aspegillus niger yang diperoleh dari Laboratorium Mikroboilogi

Institut Teknologi Bandung. Adapun bahan baku utama adalah limbah udang windu

(36)

Wirontono Baru, Jakarta Utara. Bahan-bahan lain yang digunakan antara lain aquadest,

glukosa, yeast ekstrak, NaCl, NaOH, buffer pH 4, 7 dan 10, bovin serum albumin, dan

de Man Rogosa Sharpe (MRS) Broth.

Alat yang digunakan yaitu: stoples stenless, inkubator (autoshaker bath, termostat,

heater, motor penggerak), autoclave, gelas piala, pembakar bunsen, cawan petri, cawan

porselin, sentrifuse, corong, pH meter, spektrofotometer, tabung reaksi, , serta mesin

giling.

4.2.2. Pelaksanaan Penelitian a. Deproteinasi

Tahapan ini bertujuan untuk melarutkan protein semaksimal mungkin dari limbah

udang windu. Variabel yang dioptimasi adalah dosis dan lama proses ekstraksi kitin

dari limbah udang. Kondisi proses yang lain seperti suhu, sumber nutrisi untuk

mikroba dan pH mengacu kepada metode Bisping dkk. (2005).

Prosedur percobaan tahap deproteinasi sebagai berikut : 1. Proses Kimiawi

Limbah udang windu dicuci kemudian ditambahkan larutan potassium hidroksida

(NaOH) sebanyak 3%, 4% dan 5%, selanjutnya direbus selama 1 jam, 2 jam dan 3

jam pada suhu 65 0C. Selama proses dilakukan pengadukan, selanjutnya dilakukan

proses demineralisasi.

2. Proses Biologis

Pertama, menyiapkan inokulum dengan cara mengambil biakan murni bakteri B.

(37)

broth steril dan ditetapkan pada pH 7 dengan menggunakan HCl 1N. Larutan broth

yang telah dimasukkan bakteri tersebut kemudian diinkubasi dalam inkubator selama

48 jam pada suhu 50 0C.

Kedua, menyiapkan media fermentasi yang terdiri dari 0,5 % (b/v) ekstrak yeast, 0,5

% (b/v) KH2PO4, 0,1 % (b/v) CaCl2, 0,5 %(b/v) NaCl dan 0,05% (b/v) MgSO4.

Setelah itu memasukkan inokulum bakteri B. licheniformis pada media limbah udang

windu dengan ukuran 0,5 -1 cm. Kemudian pH media fermentasi tersebut diatur

pada pH 8.

Ketiga, melakukan fermentasi pada inkubator. Percobaan optimasi dilakukan dengan

dosis inokulum B. licheniformis sebanyak 3%, 4% dan 5%, dan lama prosesnya 24

jam, 48 jam dan 72 jam, yang dilakukan pada suhu 50 0C. Selama proses dilakukan

pengadukan, selanjutnya dilakukan proses demineralisasi.

b. Demineralisasi

Tahapan ini bertujuan untuk mendapatkan mineral terlarut sebanyak mungkin dari

limbah udang yang sebelumnya telah dideproteinasi. Variabel yang dioptimasi

adalah dosis dan lama proses ekstraksi kitin dari limbah udang. Kondisi proses yang

lain seperti suhu, sumber nutrisi untuk mikroba dan pH mengacu kepada metode

Herwanto (2005).

Prosedur percobaan tahap demineralisasi sebagai berikut : 1. Proses Kimiawi

Produk deproteinasi, ditambahkan larutan asam sulfat (H2SO4) sebanyak 1%, 2% dan

3%, selanjutnya direbus selama 1 jam, 2 jam dan 3 jam pada suhu 45 0C. Selama

(38)

padatan dan cairannya dengan cara penyaringan. Produk cair (limbah cair) diukur

kandungan protein dan mineral terlarutnya (kalsium dan fosfor). Selanjutnya

dilakukan kristalisasi terhadap produk cair melalui proses gelatinisasi dengan

menambahkan tepung tapioka sebanyak 40%, kemudian dipanaskan pada suhu 65 0C

selama 1 jam, diendapkan dan padatannya dikeringkan untuk dijadikan imbuhan

pakan.

2. Proses Biologis

Pertama, menyiapkan inokulum dengan mengambil biakan murni kapang

Aspergillus niger , kemudian dibiakan dalam Erlenmeyer 125 ml yang berisi 50 ml

Luria broth steril dan ditetapkan pada pH 7 dengan menggunakan HCl 1N. Larutan

broth yang telah dimasukkan kapang tersebut kemudian diinkubasi dalam inkubator

selama 48 jam pada suhu 35 0C.

Kedua, menyiapkan media fermentasi yang terdiri dari 0,5 % (b/v) ekstrak yeast,

0,5% (b/v) NH4NO3; 0,05% (b/v) KCl; 0,05% (b/v) MgSO4.7H2O; 0,01% (b/v)

FeSO4.7H2O dan 0,001% (b/v) CuSO4.5H2O. Setelah itu memasukkan inokulum

Aspergillus niger pada media limbah udang windu dengan ukuran 0,5 -1 cm.

Ketiga, melakukan fermentasi pada inkubator terhadap produk yang telah

dideproteinasi. Percobaan optimasi dilakukan pada dosis inokulum Aspergillus

niger sebanyak 1%, 2% dan 3%, dan lama prosesnya 24 jam, 48 jam dan 72 jam,

pada suhu 35 0C . Selama proses dilakukan pengadukan, selanjutnya dilakukan

pemisahan antara produk padatan dan cairannya dengan cara penyaringan.

Selanjutnya ditentukan titik optimum yaitu kombinasi variabel yang menghasilkan

kandungan protein dan mineral terlarut yang optimal. Pengukuran kandungan protein

(39)

selanjutnya dilakukan kristalisasi melalui proses gelatinisasi dengan menambahkan

tepung tapioka sebanyak 40%, kemudian dipanaskan pada suhu 65 0C selama 1 jam,

diendapkan dan padatannya dikeringkan untuk dijadikan imbuhan pakan.

4.2.3. Rancangan Percobaan

Percobaan tahap pertama dilakukan secara eksperimental di laboratorium dengan

menggunakan rancangan Tersarang (Adji, 2000) sebanyak (3X3) perlakuan dan

masing-masing diulang sebanyak 3 kali. Perlakuan terdiri dari faktor A, yaitu dosis zat kimia

atau mikroba (D1, D2 dan D3), dan faktor B, yaitu waktu proses kimiawi atau biologis

(W1, W2 dan W3). Faktor B (waktu) tersarang pada faktor A (dosis). Peubah yang

diamati adalah kandungan protein dan mineral (kalsium dan fosfor) terlarut produk cair

ekstraksi kitin dari limbah udang windu. Adapun model matematikanya adalah sebagai

berikut :

Yijk = µ + Ai + Bj(i) + € ij (k)

Keterangan :

Yijk = respon hasil pengamatan pada satuan percobaan ke-k akibat dosis ke-i dalam waktu ke-j

µ = Nilai tengah umum

Ai = Pengaruh dosis (D) taraf ke-i dari faktor A

Bj(i) = Pengaruh waktu (W) ke-j yang tersarang pada faktor A (dosis) ke-i €ij (k) = Pengaruh komponen galat dari satuan percobaan ke-k yang

memperoleh perlakuan kombinasi (AB) ij i = perlakuan ke-i ( 1,2,3)

j = Perlakuan ke-j (1,2,3) k = ulangan (1,2,3)

Tabe3. Kombinasi Perlakuan

Dosis D1 D2 D3

Waktu W1 W2 W3 W1 W2 W3 W1 W2 W3

(40)

1 D1W3 D2W3 D3W3

Data yang diperoleh dari hasil pengamatan dianalisis sidik ragam, dan perbedaan antar

perlakuan dilanjutkan dengan uji jarak berganda Duncan (Steel dan Torries, 1995).

4.3. Percobaan Tahap Kedua (Penentuan Nilai Kecernaan)

Hasil percobaan terpilih pada tahap pertama, selanjutnya dijadikan imbuhan pakan.

Imbuhan pakan ditambahkan ke dalam ransum, dan diukur nilai kecernaannya untuk

menentukan kualitas produk imbuhan pakan (proses kimiawi dan biologis) pada ayam

broiler.

4.3.1. Alat dan Bahan Percobaan Ternak Percobaan

Ternak yang digunakan dalam percobaan ini adalah ayam broiler final stock strain Cobb.

Jumlah ayam yang digunakan sebanyak 32 ekor yang berumur 7 minggu dengan berat

badan rata-rata 1.850 gram dan koefisien variasinya sebesar 3,90 %. Ayam

dikelompokan ke dalam 32 kandang individu secara acak tanpa pemisahan jenis kelamin,

(41)

Kandang dan Perlengkapannya

Kandang yang digunakan adalah kandang individu yang berukuran 35 x 20 x 35 cm

dan setiap petak kandang dilengkapi dengan tempat pakan dan air minum. Pada bagian

alas kandang dipasang baki plastik untuk memudahkan penampungan ekskreta.

Ransum Perlakuan

1. R0 = Ransum kontrol, ransum yang tidak mengandung produk imbuhan pakan dengan kandungan protein 20% dan energi 3000 kkal/kg.

2. R1 = 99% R0 + 1% produk imbuhan pakan proses kimiawi.

3. R2 = 98% R0 + 2% produk imbuhan pakan proses kimiawi.

4. R3 = 97% R0 + 3% produk imbuhan pakan proses kimiawi.

5. R4 = 99% R0 + 1% produk imbuhan pakan proses biologis.

6. R5 = 98% R0 + 2% produk imbuhan pakan proses biologis.

7. R6 = 97% R0 + 3% produk imbuhan pakan proses biologis.

8. RS = Ransum standar, ransum yang tidak mengandung produk imbuhan pakan dengan kandungan protein 22% dan energi 3000 kkal/kg.

Bahan pakan penyusun ransum terdiri atas: jagung kuning, dedak halus, bungkil kedele,

bungkil kelapa, tepung ikan, decalsium phosphat, CaCO3, minyak kelapa, premix,

imbuhan pakan proses kimiawi dan imbuhan pakan proses biologis. Kandungan zat-zat

(42)

Tabel 4. Kandungan Zat-zat Makanan dan Energi Metabolis Bahan Pakan Penyusun Ransum.

B. Pakan PK LK SK Ca P EM Lys Met Sis

……...….. (%) …...……… (kkal/kg) ………..(%)…...…

Jagung 8,60 3,90 2,00 0,02 0,10 3370 0,20 0,18 0,18

Dedak 12,00 13,00 12,00 0,12 0,20 1630 0,77 0,29 0,40

B. kedele 45,00 0,90 6,00 0,32 0,29 2240 2,90 0,65 0,67

B. kelapa 21,00 1,80 15,00 0,20 0,20 1540 0,64 0,29 0,30

T. ikan 60,00 9,00 1,00 5,50 2,80 3080 5,00 1,80 0,94

DCP 0,00 0,00 0,00 22,00 19,00 0 0,00 0,00 0,00

CaCO3 0,00 0,00 0,00 38,00 0,00 0 0,00 0,00 0,00

M. kelapa 0,00 100 0,00 0,00 0,00 8600 0,00 0,00 0,00

Premix 0,00 0,00 0,00 10,00 5,00 0 0,30 0,30 0,10

I.P.Kimiawi 1) 21,82 6,44 2,98 5,50 1,03 3231 1,93 0,78 0,32

I.P.Biologis 1) 33,08 6,08 2,67 6,79 1,37 3294 2,02 0,82 0,33

Sumber: Scott (1982) 1)

Laboratorium Nutrisi Ternak Ruminansia dan Kimia Makanan Ternak, Fapet, Unpad (2006).

Ransum kontrol dan ransum standar disusun berdasarkan rekomendasi NRC (1984).

Kandungan protein dan energi untuk ransum kontrol adalah 20% dan 3000 kkal/kg, dan

ransum standar adalah 22% dan 3000 kkal/kg. Adapun ransum perlakuan adalah

penambahan imbuhan pakan produk proses kimiawi dan biologis masing-masing sebesar

1%, 2% dan 3%. Susunan ransum standar, ransum kontrol dan ransum perlakuan disajikan

pada Tabel 5, serta kandungan zat-zat makanan dan energi metabolisnya ditampilkan pada

(43)

Tabel 5. Susunan Ransum Standar, Ransum Kontrol dan Ransum Percobaan pada

Tabel 6. Kandungan Zat-zat Makanan dan Energi Metabolis Ransum Standar, Ransum Kontrol dan Ransum Percobaan pada Masing-masing Perlakuan.

(44)

4.3.2. Prosedur Percobaan

Ayam broiler umur 7 minggu dengan berat badan rata-rata 1.850 gram,

ditempatkan ke dalam kandang individu, kemudian dipuasakan selama 36 jam dengan

maksud untuk menghilangkan sisa ransum sebelumnya dari alat pencernaan. Pemberian

ransum secara force-feeding, dilakukan dalam bentuk pasta yang dimasukkan ke dalam

oesophagus ayam sebanyak 150 gram per ekor. Air minum diberikan secara adlibitum.

Untuk mendapatkan sampel feses mengikuti metode Sklan dan Hurwitz (1980) yang

disitir oleh Wiradisastra dkk. (1986). Percobaan ini menggunakan indikator internal

(lignin).

Setelah ayam dipuasakan, dengan alat suntik (spuit yang dimodifikasi) ransum

perlakuan dimasukkan ke dalam oesophagus sebanyak 150 gram per ekor. Setelah 14

jam, ayam disembelih dan usus besarnya dikeluarkan untuk mendapatkan sampel feses.

Sampel feses kemudian dikeringkan dan seterusnya dianalisis kandungan bahan kering,

bahan organik dan protein kasar, sedangkan indikatornya (lignin ransum dan feses)

dianalisis dengan metode Van Soest (1979).

4.3.3. Peubah yang Diamati

a. Kandungan bahan kering ransum (%)

b. Kandungan protein kasar ransum (%)

c. Kandungan bahan organik ransum (%)

d. Kandungan lignin ransum (%)

e. Kandungan bahan kering feses (%)

f. Kandungan protein kasar feses (%)

(45)

h. Kandungan lignin feses (%)

4.3.4. Perhitungan Kecernaan Zat-zat Makanan

Berdasarkan data yang terkumpul dari tahap-tahap di atas dilakukan perhitungan

bahan kering ransum dapat dicerna, protein kasar ransum dapat dicerna dan bahan

organik ransum dapat dicerna yang diperoleh dengan menggunakan persamaan dari

Schneider dan Flatt (1973) dan Ranjhan (1980), yaitu sebagai berikut:

% indikator dlm ransum % nutrien dlm feses Kecernaan = 100% - 100 X

% indikator dlm feses % nutrien dlm ransum

4.3.5. Rancangan Percobaan

Penelitian dilakukan secara eksperimental di laboratorium, menggunakan

Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan 8 macam perlakuan ransum dan

masing-masing diulang sebanyak 4 kali. Model matematika yang digunakan adalah sebagai

berikut:

Yij =  + ij + ij

Keterangan:

Yij = Respon hasil pengamatan

 = Rataan umum

ij = Pengaruh perlakuan ke-i

ij = Pengaruh pengacakan i = (1,2,3,4,5,6,7,8)

j = (1,2,3,4)

Perbedaan antar rataan perlakuan, dilakukan uji lanjut dengan menggunakan Uji

(46)

Sx =  KTg

r

LSR = SSR X Sx

Keterangan:

Sx = Standard error

KTg = Kuadrat tengah galat

LSR = Least significant range

SSR = Studentized significant range

Kaidah keputusan:

Bila d  LSR, tidak berbeda nyata (terima H0)

> LSR, berbeda nyata (tolak H0)

4.4. Percobaan Tahap Ketiga (Percobaan Ransum/Feeding Trial)

Percobaan tahap ketiga adalah untuk mendapatkan tingkat penggunaan produk

imbuhan pakan (proses kimiawi dan biologis) yang optimal dalam ransum ayam

broiler. Produk imbuhan pakan ditambahkan ke dalam ransum kontrol untuk melihat

efisiensinya melalui pengukuran terhadap performan (konsumsi ransum, pertambahan

berat badan dan konversi ransum).

4.4.1. Bahan dan Alat

a. Ayam. Ayam yang digunakan adalah ayam broiler umur 1 hari (DOC) strain Cobb

(47)

b. Kandang dan perlengkapannya. Petak kandang yang digunakan berukuran 0,80 m X

0,70 m X 0,75 m, untuk setiap 5 ekor ayam, berjumlah sebanyak 32 unit.

c. Ransum. Ransum yang dibuat terdiri atas ransum kontrol (protein 20% dan energi

metabolis 3000 kkal/kg) dan ransum dengan penambahan produk imbuhan pakan

proses kimiawi dan biologis, serta ransum standar (protein 22% dan energi metabolis

3000 kkal/kg). Susunan ransum perlakuan terdiri atas:

1. R0 = Ransum kontrol, yaitu ransum yang tidak mengandung produk imbuhan pakan dengan kandungan protein 20% dan energi 3000 kkal/kg.

2. R1 = 99% R0 + 1% produk imbuhan pakan proses kimiawi.

3. R2 = 98% R0 + 2% produk imbuhan pakan proses kimiawi.

4. R3 = 97% R0 + 3% produk imbuhan pakan proses kimiawi.

5. R4 = 99% R0 + 1% produk imbuhan pakan proses biologis.

6. R5 = 98% R0 + 2% produk imbuhan pakan proses biologis.

7. R6 = 97% R0 + 3% produk imbuhan pakan proses biologis.

8. RS = Ransum standar, yaitu ransum yang tidak mengandung produk imbuhan pakan dengan kandungan protein 22% dan energi 3000 kkal/kg.

Bahan pakan penyusun ransum terdiri atas: jagung kuning, dedak halus, bungkil

kedele, bungkil kelapa, tepung ikan, decalsium phosphat, CaCO3, minyak kelapa,

premix, imbuhan pakan proses kimiawi dan imbuhan pakan proses biologis.

Kandungan zat-zat makanan dan energi metabolis bahan pakan penyusun ransum

dapat dilihat pada Tabel 4.

Ransum kontrol dan ransum standar disusun berdasarkan rekomendasi NRC (1984).

Kandungan protein dan energi untuk ransum kontrol adalah 20% dan 3000 kkal/kg,

dan ransum standar adalah 22% dan 3000 kkal/kg. Adapun ransum perlakuan adalah

penambahan imbuhan pakan produk proses kimiawi dan biologis masing-masing

(48)

perlakuan dapat dilihat pada Tabel 5, serta kandungan zat-zat makanan dan energi

metabolisnya dapat dilihat pada Tabel 6.

4.4.2. Metode Penelitian

Percobaan dilakukan secara eksperimental dengan menggunakan rancangan acak

lengkap (RAL) dengan 8 perlakuan ransum, dan masing-masing diulang 4 kali, dan

setiap unit percobaan terdiri atas 5 ekor ayam broiler. Data yang diperoleh dianalisis

dengan sidik ragam. Perbedaan antar rataan perlakuan diuji dengan Uji Jarak Berganda

Duncan.

4.4.3. Peubah yang Diamati a. Konsumsi ransum (g).

Konsumsi ransum adalah angka yang menunjukkan rata-rata jumlah ransum yang dapat dikonsumsi seekor ayam selama penelitian (35 hari).

b. Pertambahan berat badan (g).

Pertambahan bobot badan diperoleh dari selisih bobot badan akhir dikurangi bobot badan awal. Rumus yang digunakan oleh Brody, (1945) yang disitir Rusdi (1992)

Gambar

Tabel 1.  Persentase Kandungan Kitin dalam Cangkang Krustacea.
Tabel 2.  Komposisi Kulit dan Kepala Udang Berdasarkan Proses Pengupasan
Gambar 1.  Struktur Kimia Kitin, Kitosan dan Sellulosa (Muzzarelli dan Joles, 1999).
Gambar 2.  Bentuk α-khitin, β-hkitin,dan γ-khitin (Angka dan Suhartono, 2000).
+7

Referensi

Dokumen terkait

Penelitian ini bertujuan menguji 1) kontribusi sosial ekonomi orang tua, motivasi, sarana pembelajaran dan kemandirian terhadap hasil belajar secara simultan

Annak idején már Barta Gábor is feltételezte, hogy a királyi tanácsban döntés születhetett a haditervről: szerinte Beriszló Péter bán Szlavónia felől (erre utal a

Keempat , kompetensi sosial yang merupakan kemampuan guru untuk berkomunikasi dan bergaul secara efektif dengan peserta didik, sesama pendidik,. tenaga kependidikan, orang tua atau

ANALISIS TINGKAT PEMAIIAMAI{ WAJIB PAJAK ORANC PRIBADT TERSADAP.. FERATIJRAN PELAXSANAAN KEWAJIBAN

menelusuri seluruh transaksi penerimaan yang tercantum dalam Daftar Laporan Penerimaan Dana Kampanye ke fotokopi identitas penyumbang. b) Jika terdapat yang tidak

Di dalam perpustakaan online ini juga terdapat pencarian buku yang dapat memudahkan bagi user yang ingin mencari informasi dari suatu buku karena tidak perlu mencari

LAPORAN REALISASI SEMESTER PERTAMA APBD DAN PROGNOSIS 6 (ENAM) BULAN BERIKUTNYA PEMERINTAH KABUPATEN PESISIR SELATAN. Semester Pertama Semester Pertama

3.1.2 Simpan dokumen dalam bentuk kertas di lemari dokumen 3.1.3 Kelompokkan setiap dokumen berdasarkan kegiatannya 3.1.4 Untuk dokumen dalam waktu 5 tahun. 3.2