• Tidak ada hasil yang ditemukan

Penegakan HAM di Indonesia Melalui Mahka

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Penegakan HAM di Indonesia Melalui Mahka"

Copied!
44
0
0

Teks penuh

(1)

Penegakan HAM di Indonesia Melalui Mahkamah

Konstitusi

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Negara Indonesia adalah negara hukum berdasarkan Undang-Undang Dasar 1945 yang menjamin hak-hak warga negaranya dan kesamaan kedudukan dihadapan hukum. Menurut Mardjono Reksodiputro1, karena Indonesia adalah negara yang berdasar atas hukum (rechtstaat), maka pertama-tama HAM harus merupakan bagian dari hukum Indonesia dan selanjutnya harus ada prosedur hukum untuk mempertahankan dan melindungi HAM itu. Dalam kaitan ini, maka fungsi Pengadilan untuk menentukan ada atau tidak adanya pelanggaran atas ketentuan HAM sangat mempunyai kedudukan utama. Karena itu suatu pemantauan nasional atas pelaksanaan HAM harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:

a) Menjadikan HAM bagian dari hukum Indonesia.

(2)

b) Terdapat prosedur hukum untuk melindungi dan mempertahankan HAM tersebut

c) Terdapat pengadilan yang bebas (an independent judiciary); dan

d) Adanya pula profesi hukum yang bebas (an independent legal profession).

Keberadaan konstitusi yang menjadi dokumen hukum tertinggi negara-negara modern merupakan wujud kesepakatan bersama (general agreement) berdasarkan prinsip kedaulatan rakyat, yang lahir sebagai bentuk perjanjian sosial sebagai dasar pendirian negara untuk dapat mencapai tujuan bersama. Di dalam konstitusi juga berisi kesepakatan tentang prinsip-prinsip dasar penyelenggaraan negara, hak-hak warga negara yang harus dilindungi, serta organisasi yang dibangun untuk menyelenggarakan kehidupan bernegara. Berlandaskan pada teori perjanjian sosial, alasan pembentukan negara adalah untuk memenuhi kebutuhan atau kepentingan seluruh rakyat, yaitu melindungi dan memenuhi hak dan kepentingan rakyat yang tidak dapat dilakukan oleh rakyat secara perseorangan.2

Perkembangan HAM dan paham konstitusionalisme melahirkan dokumen konstitusi modern yang pada umumnya memuat jaminan perlindungan dan pemajuan HAM. Jaminan di dalam konstitusi sebagai hukum tertinggi bermakna bahwa HAM tidak dapat dilanggar atau dikesampingkan oleh aturan hukum yang lebih rendah maupun oleh tindakan negara yang harus tunduk pada konstitusi. Di sinilah dapat dilihat fungsi

(3)

jaminan perlindungan dan pemajuan HAM sebagai pembatas bagi kekuasaan negara.3

Berbicara mengenai HAM dan konstitusi maka kita akan berbicara pula mengenai lembaga konstintusi indonesia yang dikenal dengan Mahkamah Konstitusi. Mengingat kembali bahwa Paradigma susunan kelembagaan negara Indonesia mengalami perubahan drastis sejak reformasi konstitusi mulai 1999 sampai dengan 2002. Oleh karena negara indonesia mendambakan kultur hukum yang tidak memihak dan menghargai HAM, maka keputusan MPR dalam pembentukan Mahkamah Konstitusi untuk menjaga agar pemerintahan tidak berjalan sewenang-wenang, membawa angin pembaharuan dalam kehidupan konstitusi masyarakat indonesia. Adapun dasar dari Mahkamah Konstitusi melakukan amandemen UUD 1945 adalah pasal 24 c ayat (1) UUD 1945. Sehubungan dengan pemberian kewenangan pada Mahkamah Konstitusi tersebut, DPR dan Pemerintah membuat Undang-Undang No. 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi, sehingga berdasar pada Undang-Undang tersebut beberapa kewenangan Mahkamah Agung dialihkan ke Mahkamah Konstitusi. Upaya tersebut diharapkan dapat menjawab permasalahan HAM dan menyelesikan konflik antar lembaga, sehingga dalam makalah ini akan diuraikan mengenai penegakan HAM oleh Mahkamah Konstitusi di negara Indonesia saat ini.

B. Pokok Permasalahan

Berdasarkan latar belakang masalah yang dikemukakan diatas, yang ingin penulis bahas dalam penulisan makalah ini adalah sebagai berikut: 1. Bagaimana Konsep Perlindungan Hak Asasi Manusia dalam Konstitusi

Indonesia?

(4)

2. Bagaimana Implementasi Penegakan HAM di Indonesia Melalui Mahkamah Konstitusi ?

C. Tujuan Penelitian

Berdasarkan pada rumusan masalah diatas, penulisan makalah ini bertujuan untuk:

1. Untuk Mengetahui Konsep Perlindungan Hak Asasi Manusia dalam Peraturan Perundang-Undangan di Indonesia.

2. Untuk Mengetahui Upaya Penegakan HAM di Indonesia Melalui Mahkamah Konstitusi

D. Metode Penulisan

Untuk menjawab permasalahan yang telah dirumuskan didalam makalah ini Penulis menggunakan metode penulisan secara normatif, yaitu metode yang dilakukan dengan meneliti bahan pustaka atau data sekunder4.

Dalam kaitannya dengan penelitian secara normatif, akan dilakukan beberapa pendekatan dalam penulisan makalah ini, yaitu 5:

1. Pendekatan Perundang-undangan (statute Approach)

Didalam makalah ini yang menjadi acuan pendekatan adalah Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 mengenai Mahkamah Konstitusi.

2. Pendekatan Konseptual (Conceptual Approach)

Pendekatan ini digunakan untuk memahami konsep mengenai penegakan Hak Asasi Manusia dalam konstitusi Indonesia melalui lembaga

4 Soerjono Soekanto & Sri Mamudji, 2001, “Penelitian Hukum Normatif (Suatu Tinjauan Singkat)”, Rajawali Pers, Jakarta, hlm. 13-14.

(5)

Mahkamah Konstitusi. Pendekatan ini digunakan untuk menyimpulkan beberapa masalah serta menganalisis pokok permasalahan didalam makalah ini.

3. Pendekatan Historis (Historical Approach)

Pendekatan historis dilakukan dengan menelaah latar belakang apa yang dipelajari dan perkembangan mengenai isu yang dihadapi. Telaah ini digunakan untuk mengungkap sisi filosofis permasalahan serta pola pikir yang melahirkan sesuatu yang relevan dengan perkembangan dimasa kini. Dalam penulisan ini yang menjadi dasar sejarah adalah mengenai sejarah terbentuknya mahkamah konstitusi di Amerika Serikat yang kemudian mempengaruhi lembaga peradilan di dunia, serta kewenangan Mahkamah Konstitusi dalam menguji UUD 1945 guna penegakan Hak Asasi Manusia agar sesuai dengan Konstitusi.

E. Kerangka Teori dan Konseptual

Dalam penulisan ini, teori dan konsep yang dipakai merupakan butir analisa kesebelas yang terdapat di dalam buku kumpulan materi Politik Hukum 2, sebagai dasar teori dalam menganalisa dan melakukan perspektif terhadap suatu teori. Berikut uraian dari teori yang dijadikan sebagai bahan analisa penulisan :

The Supreme Court-How it Was, How It is (Marburry vs Madison)6

(6)

Amerika Serikat yang kemudian mempengaruhi sistem hukum diseluruh dunia.

Kasus Marbury Versus Madison merupakan kasus yang terjadi di Amerika Serikat yang menjadi kasus bersejarah dalam sepanjang perjalanan hukum Amerika Serikat. Pada tahun 1803 John Marshall merupakan sosok yang berperan penting dalam penanganan kasus tersebut.

Dalam kasus ini dijelaskan bahwa pemilihan umum pada tahun 1800, John Adams dikalahkan oleh Thomas Jefferson untuk periode keduanya. Pada masa peralihan tersebut, dinilai John Adams melakukan upaya-upaya politik sebagai langkah prevensi dengan menempatkan beberapa koleganya didalam jabatan-jabatan penting, seperti misalnya, John Marshall yang waktu itu sebagai secretary of state diangkat menjadi ketua Mahkamah agung. Pada saat itu, John Marshall yang masih menjabat sebagai Secretary Of State, merangkap menjadi ketua Mahkamah agung menandatangani surat-surat peralihan pemerintahan. Akan tetapi terjadi konflik dalam proses tersebut dimana surat-surat itu ditahan oleh James Madison yang diangkat oleh President thomas Jefferson sebagai Secretary Of State menggantikan John Marshall.

Atas dasar penahanan surat-surat penting tersebut, Willian Marbury DKK melayangkan gugatan ke Mahkamah Agung dimana hakim pada saat itu adalah John Marshall, agar memerintahkan pemerintah Pemerintah melalui kewenangnannya berdasarkan dengan Judiciary Act Tahun 1789 untuk mengeluarkan Writ of Mandamus dalam menyerahkan surat-surat pengangkatan.7

(7)

Dalam putusan John Marshall8, secara jelas membenarkan bahwa Mahkamah agung membenakan Willian Marbury dan berhak atas surat-surat tersbut, namun, Mahkamah agung dalam putusannya menyatakan tidak berhak untuk memerintahkan pemerintah untuk menyerahkan surat-surat pengengkatan tersebut karena ditentukan dalam Judiciary act ternyata bertentangan dengan article 3 Section 2 Konstitusi Amerika Serikat. Akan tetapi, yang menjadikan keputusan John Marshall kemudian begitu sangatlah kontroversial adalah dikarenakan alasannya terhadap penolakan terhadap permintaan penggugat yang memerintahkan Mahkamah Agung atas kewenangannya yang dicantumkan dalam Section 13 Judiciary Act Tahun 1789 untuk memerintahkan aparat pemerintahan mengeluarkan Writ of Mandamus. Menurut keputusannya, hal tersebut inkonstitusional, yaitu bertentangan dengan Konstitusi Amerika Serikat, yang mengaturmengenai

Original Juridiction Mahkamah Agung yang terdapat dalam Article III, yang berbunyi : “The Supreme Court shall have original Jurisdiction in all cases affecting ambassadors, other public ministers and consuls, and those in which a state shall be a party, In all other cases, the Supreme Court shall have appellate jurisdiction.”

Putusan Mahkamah agung tersebut yang kemudian dikenal sebagai Doktrin John Marshall yang memperkenalkan dicatat dalam sejarah hukum dunia sebagai cikal bakal Judicial Review dan konsep dimana hakim seharusnya dapat menfsirkan Undang-Undang jika bertentangan dengan amanat dasar konstitusi., sehingga kewenangan dasar yang dilakukan John Marshall pada waktu itu adalah mengesampingkan referensi dari

(8)

Undang dan merujuk pada konstitusi Amerika Serikat dalam perkarayang sedang diperiksa

BAB II

PEMBAHASAN

A.

Konsep Perlindungan Hak Asasi Manusia dalam Konstitusi

Indonesia.

1. Konsep Hak Asasi Manusia di Indonesia 9

(9)

Sebenarnya hingga saat ini belum ada suatu definisi HAM yang baku dan bersifat otoritatif (mengikat). Berkaitan dengan hal itu, H. Victor Condé mengatakan bahwa belum ada definisi HAM yang diterima secara universal dan otoritatif. Banyak yang mendefinisikannya sebagai suatu klaim yang dapat dipaksakan secara hukum atau hak yang dimiliki oleh manusia vis-á-vis

pemerintahan negara sebagai perlindungan terhadap martabat manusia yang bersifat melekat dari manusia. Definisi HAM lainnya yang telah dikenal yaitu HAM secara umum dapat didefinisikan sebagai hak-hak yang melekat pada diri manusia dan tanpa hak tersebut kita tidak dapat hidup sebagai manusia. 10

Gagasan mengenai hak asasi manusia ditandai dengan munculnya konsep hak kodrati (natural rights theory) dimana pada zaman kuno yaitu filsafat stoika hingga ke zaman modern dengan tulisan-tulisan hukum kodrati Thomas Aquinas, Hugo de Groot dan selanjutnya pada zaman pasca Reinaisans, John Locke mengajukan pemikiran tentang hukum kodrati sehingga melandasi munculnya revolusi yang terjadi di Inggris , Amerika Serikat dan Perancis pada abad 17 dan 18.

Berkembangnya ide tentang perlindungan terhadap HAM relatif baru yaitu sejak awal dan pertengahan abad ke-20 bersamaan dengan meluasnya aspirasi dekolonisasi negara-negara yang dijajah dunia barat. Sebelumnya, ide tentang perlindungan terhadap HAM itu tumbuh dilingkungan

negara-individualisme liberal dan doktrin sosial ekonomi laizerfaire yang lebih menghargai ketiadaan intervensi dari pemerintah dalam pencarian martabat manusia; generasi kedua yang mendasarkan pada tradisi sosialis melalui gerakan-gerakan kesejahteraan yang menuntut peran lebih dari pemerintah untuk menjamin hak-hak dari rakyat; generasi ketiga, lebih kepada hak- merupakan rekonseptualisasi dari kedua generasi sebelumnya berdasarkan keinginan.

(10)

negara Barat sendiri yang oleh para ilmuwan dikemudian hari dikaitkan dengan gerakan-gerakan pembebasan yang timbul di Eropa, mulai abad ke-13 sampai akhir abad ke-18.11 Sebenarnya, beberapa prinsip hak asasi manusia juga sudah tumbuh dalam tradisi politik indonesia itu sendiri jauh sebelum bangsa barat datang ke indonesia. Malah, oleh Muhammad Yamin dikatakan bahwa dalam lingkaran peradaban bangsa indonesia sejak beratus-ratus tahun lamanya, setiap manusia memang mempunyai hak dan kewajiban terhadap diri sendiri, kepada keluarga, kepada masyarakat, dan kepada negara. Hak dan kewajibannya itu menurut muhammad yamin diakui dan diatur melalui hukum adat. Bahkan ada juga sebagian yang sudah dituliskan.

Sebelum membahas mengenai sejarah HAM di Indonesia, perlu dikaji mengenai pemikiran tentang hukum kodrati12 berakar dari kekuatan konservatif yang ingin melindungi properti-properti tertentu dengan selimut suci yang merupakan cikal bakal munculnya keprcayaan untuk melindungi HAM.

Motif tersebut diakui sebagai hak fundamental dari setiap individu dalam hidupnya. Namun uniknya dibalik sifat konservatif gagasan hukum kodrati tadi, ternyata tersimpan juga motif yang revolusioner, hal ini terbukti ketika pemikiran hukum kodrati tentang kesetaraan manusia terkandung dalam dokumen hukum di Amerika dan Perancis yang bertujuan untuk melindungi hakhak asasi manusia. 13

11Ibid.

12 Scott Davidson, Hak Asasi Manusia, Sejarah, Teori dan Praktek dalam Pergaulan Internasional,

Grafiti, jakarta, 1994, hlm. 2.

(11)

Namun, dari filosofi tersebut muncullah perlawanan bertolak dari keyakinan baru bahwa kekuasaan pemerintahan mestilah dirujukkan ke kedaulatan rakyat, dan tidak langsung ke kekuasaan Tuhan. Inilah kedaulatan manusia-manusia yang semula diperintah sebagai hamba-hamba oleh para raja yang pandai berkilah bahwa titah-titah adalah merupakan representasi kehendak Tuhan.

Hukum HAM internasional memperluas alasan diskriminasi. UDHR menyebutkan beberapa alasan diskriminasi, antara lain: ras, warna kulit, jenis kelamin, bahasa, agama, pendapat politik atau opini lainnya, nasionalitas atau kebangsaan, kepemilikan akan suatu benda (property), kelahiran atau status lainnya. Semua itu merupakan alasan yang tidak terbatas dan semakin banyak pula instrumen yang memperluas alasan diskriminasi termasuk di dalamnya orientasi seksual, umur dan cacat tubuh.14

Inilah kedaulatan rakyat awam yang kini telah mampu berartikulasi untuk menuntut pengakuan atas statusnya yang baru warga bebas pengemban hak yang kodrati, atas dasar keyakinan bahwa suara kolektif mereka adalah sesungguhnya suara Tuhan. Vox populi, “vox Dei” Di sinilah bermulanya pemikiran ulang tentang batas-batas kewenangan raja di satu pihak dan luasnya hak dan kebebasan rakyat yang asasi di lain pihak. Dalam pemikiran baru ini, kuasa raja atau kepala negara beserta aparatnya itu kini tidak lagi boleh dikonsepkan sebagai refleksi kekuasaan Tuhan yang oleh sebab itu juga tak terbatas. Kekuasaan negara itu mestilah terbatas dan punya batas, dibatasi oleh dan berdasarkan perjanjiannya dengan rakyat. 15

14 Wiliam R. Slomanson, 2000, Fundamental Perspectives on International Law, 3rd Edition, Belmont:

Wadsworth, hlm. 172.

(12)

Kekuasaan negara di tangan penguasa-penguasa pemerintahan tidak lagi dikonsepkan sebagai kekuasaan yang berasal dari kuasa Tuhan, atas dasar perjanjian dengan-Nya, entah itu Perjanjian Lama entah itu Perjanjian Baru. Demikian antara lain oleh Jean J. Rousseau yang menulis Du Contract Social pada tahun 1776. Rousseau inilah yang menteorikan suatu dasar pembenar moral falsafati bahwa rakyat yang bukan lagi kawula, melainkan warga itu, lewat proses-proses politik yang volunter dan sekaligus konstitusional, bersetuju untuk membatasi kebebasannya pada suatu waktu tertentu berkenaan dengan kasus-kasus tertentu demi dimungkinkannya terwujudnya kekuasaan pemerintahan pada waktu tertentu untuk urusan tertentu.16

Konsep dasar HAM di Indonesia dapat ditemukan peraturannya dalam UUD 1945. Indonesia sendiri menyusun UUD 1945 sebelum adanya The Universal Declaration of Human Rights, namun ide-ide hak asasi manusia yang tercermin dalam deklarasi tersebut sudah diketahui oleh para the founding father indonesia dalam sidang BPUPKI pada tahun 1945.100 Rapat besar BPUPKI yang diselenggarakan pada tanggal 15 juli 1945 menyimpan memori tentang perlu tidaknya pengaturan tentang HAM dicantumkan dalam UUD 1945. Oleh karena itu, ketentuan yang berkenaan dengan hak asasi manusia dapat dikatakan dimuat secara terbatas dalam UUD 1945, yaitu

(13)

sebanyak tujuh pasal saja.17 Sedikitnya pasal-pasal yang berbicara langsung tentang hak asasi manusia dalam UUD 1945 bukan karena naskah UUD ini disusun sebelum adanya Universal Declaration of Human Rights.18

Oleh karena itu ide untuk mengadopsi perlindungan hak asasi manusia itu, terus diperjuangkan oleh berbagai kalangan, lahirnya pemerintahan Orde Baru, adalah untuk melindungi HAM. Berpedoman kepada pengalam orde lama yang kurang mengindahkan hak asasi warga negara, sidang umum Majelis Permusyawaratan Rakyat sementara ke IV menetapkan ketetapan MPRS snomor XIV/MPRS/1966 yang memerintahkan antara lain penyusunan piagam hak asasi manusia. Artinya, Majelis Permusyawaratan Rakyat menyadari ketidaklengkapan Undang-Undang Dasar 1945 dalam mengatur hak asasi manusia. Berdasarkan TAP MPRS tersebut dibentuklah panitia-panitia ad hoc, yang dalam penyusunannya mengundang para sarjana, cendikiawan dan tokoh masyarakat untuk memberikan ceramah tentang HAM. Berdasarkan bahan-bahan yang berhasil dihimpun panitia menyusun suatu piagam tentang Hak-hak Asasi dan Hak-hak serta kewajiban Warga Negara.

Setelah masa reformasi, perubahan UUD 1945 adalah dianggap sebagai sesuatu yang niscaya. Bahkan, perubahan UUD 1945 itu sendiri merupakan puncak dari aspirasi dari gerakan reformasi itu sendiri. Materi yang semula hanya tujuh butir sekarang telah bertambah dengan signifikan, perumusannya menjadi lebih lengkap dan menjadikan UUD NRI 1945

17 Harun Al Rasyid, 2007, Naskah Undang-Undang 1945 Sesudah Empat Kali di Ubah Oleh MPR, cet. 1, UI Press, hlm. 178.

(14)

merupakan salah satu UUD yang paling lengkap memuat perlindungan terhadap hak asasi manusia. Dengan disahkannya perubahan satu sampai ke empat UUD NRI 194519 pada tahun 2002, yang dimuat dalam BAB XA tentang Hak Asasi Manusia, pasal 28A sampai dengan 28 J, yaitu:20

1) Pasal 28A. Setiap orang berhak untuk hidup serta berhak mempertahankan hidup dan kehidupannya .21

2) Pasal 28 B. Setiap orang berhak membentuk keluarga dan melanjutkan keturunan melalui perkawinan yang sah (1), setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh, dan berkembang serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi (2). 22

3) Pasal 28C. Setiap orang berhak mengembangkan diri melalui pemenuhan kebutuhan dasarnya, berhak mendapat pendidikan dan memperoleh manfaat dari ilmu pengetahuan dan teknologi, seni dan budaya, demi meningkatkan kualitas hidupnya dan demi kesejahteraan umat manusia (1), Setiap orang berhak untuk memajukan dirinya dalam memperjuangkan haknya secara kolektif untuk membangun masyarakat, bangsa, dan negaranya (2). 23

4) Pasal 28D. Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum (1), Setiap orang berhak untuk bekerja serta mendapat imbalan dan perlakuan yang adil dan layak dalam hubungan kerja (2), Setiap

19 Perubahan pertama tahun 1999 dalam sidang umum MPR, kedua kali dalam sidang tahunan 2000 MPR, ketiga kali dalam sidang tahunan 2001 MPR dan yang keempat sidang tahunan MPR 2002.

20 Harun Al Rasyid, 2007, Naskah Undang-Undang 1945 Sesudah Empat Kali di Ubah Oleh MPR, cet. 1, UI Press, Jakarta, hlm. 105-109.

21 Lihat Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 28 A.

22 Lihat Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 28 B.

(15)

warga negara berhak memperoleh kesempatan yang sama dalam pemerintahan (3) dan, setiap orang berhak atas status kewarganegaraan (4). 24

5) Pasal 28E. Setiap orang bebas memeluk agama dan beribadat menurut agamanya, memilih pendidikan dan pengajaran, memilih pekerjaan, memilih kewarganegaraan, memilih tempat tinggal di wilayah negara dan meninggalkannya serta berhak kembali (1), Setiap orang berhak atas kebebasan meyakini kepercayaan, menyatakan pikiran dan sikap sesuai dengan hati nuraninya (2), Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat (3).25

6) Pasal 28F. Setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya, serta berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia.

7) Pasal 28G. Setiap orang berhak atas perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat, dan harta benda yang di bawah kekuasaannya, serta berhak atas rasa aman dan perlindungan dariancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang merupakan hak asasi (1), Setiap orang berhak untuk bebas dari penyiksaan atau perlakuan yang merendahkan derajat martabat manusia dan berhak memperoleh suaka politik dari negara lain (2).26

8) Pasal 28H Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, clan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta 24 Lihat Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 28 D.

25 Lihat Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 28 F.

(16)

berhak memperoleh pelayanan kesehatan (1), Setiap orang berhak mendapat kemudahan dan perlakuan khusus untuk memperoleh kesempatan dan manfaat yang sama guna mencapai persamaan dan keadilan (2), Setiap orang berhak atas jaminan sosial yang memungkinkan pengembangan dirinya secara utuh sebagai manusia yang bermartabat (3), Setiap orang berhak mempunyai hak milik pribadi dan hak milik tersebut tidak boleh diambil alih secara sewenangwenang oleh siapa pun (4) .27

(17)

kepada pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilainilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis (2).28

2. Hak Asasi Manusia dalam Konstitusi Indonesia

Sejak memproklamirkan kemerdekaannya pada tanggal 17 Agustus 1945, Indonesia telahbeberapa kali merubah konstitusi. Perjalanan perubahan konstitusi indonesia setidaknya dibagi menjadi 4 periode, diantaranya UUD 1945, Konstitusi RIS 1949, UUDS 1950, amandemen UUD 1945. Dan seiring dengan perubahan konstitusi tersebut, jaminan tentangadanya perlindungan HAM juga mengalami perubahan.

a. UUD 1945

UUD 1945Konstitusi yang pertama kali di pakai oleh Indonesia adalah UUD 1945 yang sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya diatur dalam pasal 28A sampai dengan pasal 28J. Di dalamUUD 1945 ini setidaknya ada tiga pandangan.29 Pandangan pertama dikemukakan oleh Mahfudz MD dan Bambang Sutiyoso. Kelompok ini berpendapat bahwa UUD 1945 tidakmemberikan jaminan atas HAM secara komperhensif. Istilah HAM yang tidak ditemukansecara eksplisit di dalam pembukaan, batang tubuh maupun penjelasannya kemudiandijadikan alasan bahwa sebenarnya UUD 1945 tidak memberikan perhatian pada HAM.

Perumusan Hak Asasi Manusia dalam Undang-Undang Dasar 1945 sebenarnya sudah mulai diperjuangkan sejak zaman kemerdekaan terutama

28 Lihat Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 28 J.

(18)

sejak berdirinya Serikat Dagang Islam Sampai dengan perdebatan dalam sidang Badan Pekerja Untuk Usaha Persiapan Kemerdekaan Republik Indonesia (BPUPKI) 30

UUD 1945 menurut Mahfudz tidak berbicara apapun tentang HAM universal kecualidalam dua hal, yaitu sila keempat pancasila yang meletakkan asas kemanusiaan yang adildan beradab dan pasal 29 yang menderivasikan jaminan kemerdekaan tiap pendudukuntuk memeluk agama dan beribadah. Hal ini menurut Mahfudz memberi kesan bahwapembukaan dan batang tubuh tidak memiliki semangat yang kuat dalam memberikanperlindungan HAM. Kondisi ini menurut Mahfud merupakan salah satu penyumbangpenyebab terjadinya pelanggaran HAM di negara indonesia.Soedjono Sumobroto, Marwota, Azhari, dan Dahlan Thaib memiliki pandanganyang berseberangan dengan kelompok pertama. Dalam hal ini kelompok ini melihatbahwa UUD 1945 memberikan jaminan atas HAM secara komperhensif. 31

Pandangan inididasarkan bahwa UUD 1945 mengangkat fenomena HAM yang hidup dikalangan masyarakat. Atas dasar itu, HAM yang tersirat di dalam UUD 1945 bersumber pada falsafah dasar dan pandangan hidup bangsa, yaitu Pancasila. Penegakan HAM diindonesia sejalan dengan implementasi dari nilai-nilai Pancasila dalam kehidupan ber-negara dan berbangsa. Dengan kata lain, Pancasila merupakan nilai-nilai HAM yanghidup dalam kepribadian bangsa.Senada dengan hal tersebut, bila dikaji baik dalampembukaan, batang tubuh maupun

30Jimly Asshiddiqie, 2007, Pokok-Pokok Hukum Tata Negara Pasca Reformasi, Bhuana Ilmu Populer, Jakarta, hlm. 627.

(19)

penjelasan akan ditemukan setidaknya ada lima belasprinsip hak asasi manusia. Prinsip tersebut antara lain;32

(1) hak untuk menentukan nasibsendiri (2) hak akan warga negara

(3) hak akan kesamaan dan persamaan dihadapanhukum (4) hak untuk bekerja G.J.Wolhoffdan M.Solly Lubis. Mereka berpandangan bahwa UUD 1945 hanya memberikan pokok-pokokjaminan atas HAM. Menurut Kuntjoro jaminan UUD 1945 terhadap HAM bukannyatidak ada, melainkan dalam ketentuan-ketentuannya UUD 1945 mencantumkannyasecara tidak sistematis. M. Solly Lubis juga menegaskan bahwa ketika demokrasi diakuisebagai pilihan terbaik bagi sistem dan arah kehidupan sebuah bangsa, pada umumnyaorang tiba pada suatu prinsip umum bahwa pada hakikatnya hak-hak asasi itu haruslahmendapat jaminan sesuai dengan asas demokrasi yang berlaku dan mendasari sistempolitik dan kekuasaan yang sedang berjalan. UUD 1945 menurutnya tetap mengandungpengakuan dan jaminan yang luas mengenai hak-hak asasi walaupun harus diakui secararedaksional formulasi mengenai hak-hak itu sangat sederhana dan singkat.

(20)

Perubahan Undang-Undang Dasar tahun 1945 (UUD tahun 1945)33 tidak hanya didasari oleh keinginan untuk hidup berbangsa dan bernegara secara

demokratis. Terdapat alasan lain yang mendukung untuk dilakukannya perubahan itu misalnya saja menghindarkan dari pemerintahan diktator. b. Konstitusi RIS

Dalam konstitusi RIS 1949 berbeda dengan Undang-Undang Dasar 1945, Konstitusi RIS 1949 ini memberika pembedaan dalam perlindungan Hak Asasi Manusia (HAM) dengan Hak Asasi Warga Negara (HAW). 34

Konstitusi RIS 1949 mengatur tentang hak asasi manusia dalam Bagian V yang berjudul “Hak-Hak dan Kebebasan-Kebebasan Dasar Manusia”. Pada bagian tersebut terdapat 27 pasal, dari Pasal 7 sampai dengan Pasal 33.370 Pasal-pasal tentang hak asasi manusia yang isinya hampir seluruhnya serupa dengan Konstitusi RIS 1949 juga terdapat dalam UUDS 1950.35 Di dalam UUDS 1950, pasal-pasal tersebut juga terdapat dalam Bagian V yang berjudul “Hak -Hak dan Kebebasan-Kebebasan Dasar Manusia”. Bagian ini terdiri dari 28 pasal, dari Pasal 7 sampai dengan Pasal 34.36

Konstitusi RIS atau sering disebut dengan konstitusi republik indonesia serikat tahun 194937 berawal dari berakhirnya perang dunia II yang membuat

33 Mochtar Parbottinggi dan Abdul Mukthie Fadjar, 2002, Konstitusi Baru melalui KomisiKonstitusi Independen, Sinar Harapan, Jakarta, hlm. 37-38.

34 Rike Yolanda Sari, 2009, Pemeriksaan Constitutional Complaint di Mahkamah Konstitusi sebagai Upaya Perlindungan Pemenuhan Hak-Hak Warga Negara, FHUI, Jakarta, hlm. 28.

35 Suradji, Pularjono, dan Tim Redaksi Tatanusa, eds., hlm. 88 – 94; Mengenai tiga UUD tersebut, sebagai bahan pembanding, lihat pula Ghalia Indonesia, 1981, Tiga Undang-Undang Dasar: UUD 1945, Konstitusi RIS 1949, dan UUDS 1950, Jakarta.

36 Lihat Suradji, Pularjono, dan Tim Redaksi Tatanusa, eds., Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia, PT Tatanusa, Jakarta, 2000 hlm. 139 – 144. Tentang uraian mengenai beberapa macam HAM dalam perspektif 3 (tiga) UUD yang pernah berlaku di Indonesia – UUD 1945 (sebelum mengalami perubahan), Konstitusi RIS 1949, dan UUDS 1950 – lihat Miriam Budiardjo, 1985,

Dasar-dasarIlmu Politik, PT Gramedia, Jakarta, hlm. 129 – 137; Lihat pula Adnan Buyung Nasution (a), op. cit. hlm. 131 – 254.

(21)

jepang kalah dan pergi dari Indonesia, hal ini di manfaatkan oleh pemerintah Belanda untuk masuk kembali menjajah Indonesia dengan melakukan Agresi, dalam keadaan terdesak tersebut Indonesia atas pengaruh Perserikatan Bangsa-Bangsa pada Tanggal 23 Agustus 1949 mengadakan Konferensi Meja Bundar dengan hasil kesepakatan mengenai tiga hal, yaitu:

1. Mendirikan Negara Republik Indonesia Serikat;

2. Penyerahan kedaulatan kepada RIS yang berisi 3 hal, yaitu:

(a) Piagam penyerahan kedaulatan dari Kerajaan Belanda kepada Pemerintah RIS;

(b) Status uni; dan

(c) Persetujuan perpindahan

3. Mendirikan uni antara Republik Indonesia Serikat dengan Kerajaan Belanda.38

Maka untuk membentuk Negara Republik Indonesia Serikat diubahlah Konstitusi UUD 1945 menjadi Konstitusi RIS.

Dalam konstitusi RIS 1949 berbeda dengan Undang-Undang Dasar 1945, Konstitusi RIS 1949 ini memberika pembedaan dalam perlindungan Hak Asasi Manusia (HAM) dengan Hak Asasi Warga Negara (HAW). 39

Babakan sejarah selanjutnya ternyata berpaling kembali ke Undang-Undang Dasar 1945, ketika melalui Keppres Nomor 150 Tahun 1959 tertanggal 5 Juli 1959, Presiden Soekarno antara lain menyatakan bahwa Undang-Undang Dasar 1945 dinyatakan berlaku kembali.373 Kembalinya Republik Indonesia ke Undang-Undang Dasar 1945 berarti juga berlakunya kembali ketentuan-ketentuan tentang hak asasi manusia yang tercantum di dalamnya. Pada masa awal Orde Baru, Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara (MPRS) telah berhasil merancang suatu dokumen yang diberi nama “Piagam Hak-Hak Asasi Manusia dan Hak-Hak Serta Kewajiban Warga 38 Jimly Asshiddiqie, Konstitusi Dan Konstitusionalisme Indonesia, 2006, Konstitusi Press, Jakarta,hlml. 45.

(22)

Negara.”374 Di samping itu, sambil menunggu berlakunya Piagam tersebut, Pimpinan MPRS ketika itu juga menyampaikan “Nota MPRS kepada Presiden dan DPR tentang Pelaksanaan Hak-Hak Asasi Manusia”.40

c. UUDS 195041

Dalam Konstitusi RIS Tahun 1949, ide negara hukum itu bahkan tegas dicantumkan. Demikian pula dalam UUDS Tahun 1950, kembali rumusan bahwa Indonesia adalah negara hukum dicantumkan dengan tegas. Oleh karena itu, dalam Perubahan Ketiga tahun 2001 terhadap UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945, ketentuan mengenai ini kembali dicantumkan tegas dalam Pasal 1 ayat (3) yang berbunyi: “Negara Indonesia adalah Negara Hukum”. Kiranya, cita negara hukum yang mengandung 13 ciri seperti uraian di atas itulah ketentuan Pasal 1 ayat (3) UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 itu sebaiknya kita pahami.

Meskipun begitu Bila dibandingkan antara Konstitusi RIS dan UUDS 1950, hak-hak asasi manusia yang diatur dalam Konstitusi RIS diatur secara lebih lengkap dan dibagi dalam bagian tersendiri misalnya kewajiban dan hak negara dan warga negara Oleh UUDS 1950 ini, yaitu dalam bagian V meliputi 27 Pasal. Koentjoro menyatakan bahwa kedua konstitusi yaitu konstitusi RIS dan UUDS 1950 adalah satu-satunya dari segala konsitusi yang telah berhasil memasukkan hak asasi manusai seperi putusan UNO kedalam Piagam Konstitusi.42

40 A.H. Nasution (b), 1989, Memenuhi Panggilan Tugas, Jilid 7: Masa Konsolidasi Orde Baru, CV Haji Masagung, Jakarta, hlm. 289 – 295.

41 Dalam Supomo, Undang-Undang Dasar Sementara Republik Indonesia, PT Pradnya Paramita, Jakarta, 1974.

(23)

d. Amandemen UUD 194543

Perubahan Undang-Undang Dasar tahun 1945 (UUD tahun 1945) tidak hanya didasari oleh keinginan untuk hidup berbangsa dan bernegara secara demokratis. Terdapat alasan lain yang mendukung untuk dilakukannya perubahan itu, yaitu :44

1) UUD 1945 pada hakekatnya belum pernah ditetapkan sebagai konstitusi RI yang resmi oleh badan perwakilan pilihan rakyat, kecuali kesepakatan pada tanggal 18 Agustus 1945 oleh Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) dan melalui Dekrit Presiden 5 Juli 1959. Pada masa pemerintahan Orde Baru Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) yang anggotanya sebagian besar adalah Golonga Karya pernah

43 Perangkat hukum berkaitan dengan hak asasi manusia yang telah dimiliki Indonesia di antaranya:

B. Tap MPR-RI Nomor : XVIII/MPR/1998 Tahun 1998 tentang Hak Asasi Manusia. C. UU 20/1999: Konvensi ILO Mengenai Usia Minimum untuk Diperbolehkan Bekerja UU 1/2000 : Penghapusan Bentuk-Bentuk Pekerjaan Terburuk untuk Anak

UU 12/1995: Pemasyarakatan

UU 19/1999: Konvensi ILO Mengenai Penghapusan Kerja Paksa

UU 21/1999: Konvensi ILO Mengenai Diskriminasi dalam Pekerjaan dan Jabatan UU 26/2000: Pengadilan Hak asasi manusia

UU 29/1999: Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Rasial 1965 UU 3/1997 : Pengadilan Anak

UU 39/1999: Hak Asasi Manusia UU 4/1979 : Kesejahteraan Anak UU 5/1998 : Menentang Penyiksaan

UU 7/1984 : Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan UU 9/1999 : Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum

UU 11/2005: Ratifikasi Kovenan Internasional tentang Hak Sosial, Ekonomi dan Budaya UU 12/2005: Ratifikasi Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik

Selengkapnya dapat dilihat di www.ham.go.id/sjdi_first di Akses pada 9 Mei 2016, Pukul 21.00 WIB.

(24)

menetapkan TAP MPR yang di dalamnya mengatur tentang referendum terhadap UUD 1945. Di dalam kepemimpinan Era Orde Baru itu dikatakan merupakan rekayasa oleh Rezim Soeharto yang telah melakukan amandemen konstitusi dengan cara yang bertentangan dengan UUD 1945 sendiri.

Satu hal yang menarik bahwa meskipun UUD 1945 adalah hukum dasar tertulis yang didalamnya memuat hak-hak dasar manusia serta kewajiban yang bersifat dasar, namun istilah HAM itu sendiri sebenarnya tidak dijumpai dalam UUD 1945, baik dalam pembukaan, batang tubuh, maupun penjelasannya, yang ditemukan bukanlah HAM, tetapi hanyalah hak dan kewajiban warga negara.45

2) UUD 1945 tidak sesuai dengan perkembangan praktek kenegaraan sekarang, UUD 1945 dianggap terlalu sederhana, banyak kelemahan dan kekurangannya sehingga cenderung multi tafsir. Berbicara kelemahan UUD 1945 yang dimaksud maka sifat executive heavy adalah salah satu contohnya dalam pelaksanaan UUD 1945.Karena sistemnya yang eksecutive heavy sehingga penafsiran konstitusi yang dianggab benar adalah penafsiran yang dibuat atau dianut oleh presiden.

Praktek pelaksanaan UUD tahun 1945 selama beberapa masa pemerintahan yang pernah ada di Indonesia setelah Proklamasi kemerdekaan memiliki ciri sistem pemerintahan berdasarkan konstitusi yang pernah diberlakukan di Indonesia. Menurut para sarjana dalam beberapa masa pemerintahan yang pernah memerintah di Indonesia

(25)

sistem pemerintahan yang dianut oleh Indonesia adalah sistem pemerintahan presidensil dilihat dari ciri-ciri yang termuat dalam UUD 194546 Salah satunya adalah menurut Jimly Asshiddqie bahwa Indonesia berdasarkan Undang-Undang Dasar yang disahkan oleh PPKI tanggal 18 Agustus 1945 sistem pemerintahannya menganut sistem presidensil.47

Undang-undang Dasar tahun 1945 dalam pembentukannya tidak menyatakan secara tegas Indonesia menganut sistem pemerintahan presidensil atau sistem pemerintahan parlementer. Menurut M. Yamin48, para penyusun UUD 1945 dengan tegas menyatakan bahwa sistem pemerintahan kita berlainan dengan sistem presidensil di Ameria Serikat dan berbeda dengan sistem parlementer yang diterapkan oleh Inggris.

Indonesia memiliki sistem pemerintahan sendiri yang berlandaskan pada konstitusi yaitu UUD 1945. Di dalam penjelasan UUD 1945 dikenal tujuh kunci pokok sistem pemerintahan Indonesia. Tujuh kunci pokok itu antara lain :

1) Indonesia ialah negara yang berdasar atas hukum (Rechtsstaat). 2) Sistem konstitusional.

3) Kekuatan negara yang tertinggi berada di tangan Majelis Permusyawaratan Rakyat.

4) Presiden ialah penyelenggara pemerintahan negara yang tertinggi di bawah majelis.

5) Presiden tidak bertanggung jawab kepada Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).

6) Menteri negara ialah pembantu presiden. 7) Kekuasaan kepala negara tidak tak terbatas.

46 Moh. Mahfud MD, 2009, Politik hukum di Indonesia, Rajawali Pers, Jakarta, hlm. 377.

47Ibid.

(26)

B. Implementasi Penegakan Hak Asasi Manusia Melalui

Mahkamah Konstitusi di Indonesia

1. SejarahTercetusnya Mahkamah Konstitusi49

Membicarakan Mahkamah Konstitusi di Indonesia berarti tidak dapat lepas jelajah historis dari konsep dan fakta mengenai judicial review, yang sejatinya merupakan kewenangan paling utama lembaga MK. Empat momen dari jelajah histories yang patut dicermati antara lain kasus Madison vs Marbury di AS, ide Hans Kelsen di Austria, gagasan Mohammad Yamin dalam sidang BPUPKI, dan perdebatan PAH I MPR pada sidang-sidang dalam rangka amandemen UUD 1945.

Sejarah judicial review muncul pertama kali di Amerika Serikat melalui putusan Supreme Court Amerika Serikat dalam perkara “Marbury vs Madison” pada 1803. Meskipun Undang-Undang Dasar Amerika Serikat tidak mencantumkan judicial review, Supreme Court Amerika Serikat membuat putusan yang mengejutkan. Chief Justice John Marshall didukung empat hakim agung lainnya menyatakan bahwa pengadilan berwenang membatalkan undang-undang yang bertentangan dengan konstitusi. Keberanian John Marshall dalam kasus itu menjadi preseden dalam sejarah Amerika yang kemudian berpengaruh luas terhadap pemikiran dan praktik hukum di banyak negara. Semenjak itulah, banyak undang-undang federal maupun undang-undang negara bagian yang dinyatakan bertentangan dengan konstitusi oleh Supreme Court.50

49 Jenedjri M. Gaffar, 2001, Jurnal “Mahkamah Konstitusi, Kedudukan Fungsi, dan Peran Mahkamah Konstitusi dalam Sistem Ketatanegaraan Republik Indonesia”, Surakarta, hlm. 2-3.

(27)

Kasus Marbury Versus Madison merupakan kasus yang terjadi di Amerika Serikat yang menjadi kasus bersejarah dalam sepanjang perjalanan hukum Amerika Serikat. Pada tahun 1803 John Marshall merupakan sosok yang berperan penting dalam penanganan kasus tersebut.51

Dalam kasus ini dijelaskan bahwa pemilihan umum pada tahun 1800, John Adams dikalahkan oleh Thomas Jefferson untuk periode keduanya. Pada masa peralihan tersebut, dinilai John Adams melakukan upaya-upaya politik sebagai langkah prevensi dengan menempatkan beberapa koleganya didalam jabatan-jabatan penting, seperti misalnya, John Marshall yang waktu itu sebagai secretary of state diangkat menjadi ketua Mahkamah agung. Pada saat itu, John Marshall yang masih menjabat sebagai Secretary Of State, merangkap menjadi ketua Mahkamah agung menandatangani surat-surat peralihan pemerintahan. Akan tetapi terjadi konflik dalam proses tersebut dimana surat-surat itu ditahan oleh James Madison yang diangkat oleh President thomas Jefferson sebagai Secretary Of State menggantikan John Marshall. 52

Atas dasar penahanan surat-surat penting tersebut, Willian Marbury DKK melayangkan gugatan ke Mahkamah Agung dimana hakim pada saat itu adalah John Marshall, agar memerintahkan pemerintah Pemerintah melalui kewenangnannya berdasarkan dengan Judiciary Act Tahun 1789 untuk mengeluarkan Writ of Mandamus dalam menyerahkan surat-surat pengangkatan.53

51Jimly Asshiddiqie, http://jimlyschool.com/read/analisis/276/sejarah-constitutional-review-gagasan-pembentukan-mk/, Diakses 9 Mei 2016, Pukul 15.00.

52 William H. Rehnquiest, 2001, The Supreme Court : How It Was, How Is It, New York : William Morrow, 1989, at 99-114 dalam Satya Arinanto, Politik Hukum 3, Program Pascasrjana Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Jakarta, hlm. 2-17.

(28)

Dalam putusan John Marshall, secara jelas membenarkan bahwa Mahkamah agung membenakan Willian Marbury dan berhak atas surat-surat tersbut, namun, Mahkamah agung dalam putusannya menyatakan tidak berhak untuk memerintahkan pemerintah untuk menyerahkan surat-surat pengengkatan tersebut karena ditentukan dalam Judiciary act ternyata bertentangan dengan article 3 Section 2 Konstitusi Amerika Serikat. Akan tetapi, yang menjadikan keputusan John Marshall kemudian begitu sangatlah kontroversial adalah dikarenakan alasannya terhadap penolakan terhadap permintaan penggugat yang memerintahkan Mahkamah Agung atas kewenangannya yang dicantumkan dalam Section 13 Judiciary Act Tahun 1789 untuk memerintahkan aparat pemerintahan mengeluarkan Writ of Mandamus. Menurut keputusannya, hal tersebut inkonstitusional, yaitu bertentangan dengan Konstitusi Amerika Serikat, yang mengaturmengenai

Original Juridiction Mahkamah Agung yang terdapat dalam Article III, yang berbunyi : “The Supreme Court shall have original Jurisdiction in all cases affecting ambassadors, other public ministers and consuls, and those in which a state shall be a party, In all other cases, the Supreme Court shall have appellate jurisdiction.”54

Putusan Mahkamah agung tersebut yang kemudian dikenal sebagai Doktrin John Marshall yang memperkenalkan dicatat dalam sejarah hukum dunia sebagai cikal bakal Judicial Review dan konsep dimana hakim seharusnya dapat menfsirkan Undang-Undang jika bertentangan dengan amanat dasar konstitusi., sehingga kewenangan dasar yang dilakukan John Marshall pada waktu itu adalah mengesampingkan referensi dari

(29)

Undang dan merujuk pada konstitusi Amerika Serikat dalam perkarayang sedang diperiksa.

MK sebagai lembaga, pertama kali diperkenalkan oleh Hans Kelsen (1881-1973)55, pakar konstitusi dan guru besar Hukum Publik dan Administrasi University of Vienna. Kelsen menyatakan bahwa pelaksanaan aturan konstitusional tentang legislasi dapat secara efektif dijamin hanya jika suatu organ selain badan legislatif diberikan tugas untuk menguji apakah suatu produk hukum itu konstitusional atau tidak, dan tidak memberlakukannya jika menurut organ ini produk badan legislatif tersebut tidak konstitusional. Untuk kepentingan itu, kata Kelsen, perlu dibentuk organ pengadilan khusus berupa constitutional court, atau pengawasan konstitusionalitas undang-undang yang dapat juga diberikan kepada pengadilan biasa. Pemikiran Kelsen mendorong Verfassungsgerichtshoft di Austria yang berdiri sendiri di luar Mahkamah Agung. Inilah Mahkamah Konstitusi pertama di dunia.56

Momen yang patut dicatat berikutnya dijumpai dalam salah satu rapat BPUPKI. Mohammad Yamin menggagas lembaga yang berwenang menyelesaikan sengketa di bidang pelaksanaan konstitusi, lazim disebut

constitutioneele geschil atau constitutional disputes. 57 Gagasan Yamin berawal dari pemikiran perlunya diberlakukan suatu materieele toetsingrecht (uji materil) terhadap UU. Yamin mengusulkan perlunya Mahkamah Agung

55 Jenedjri M. Gaffar, 2001, Jurnal Mahkamah Konstitusi, Kedudukan Fungsi, dan Peran Mahkamah Konstitusi dalam Sistem Ketatanegaraan Republik Indonesia, Surakarta., hlm. 3.

56 Model ini sering disebut sebagai The Kelsenian Model. Model ini menyangkut hubungan antara prinsip supremasi konstitusi (the principle of the supremacy of the Constitution) dan prinsip supremasi parlemen (the principle of the supremacy of the Parliament).

(30)

diberi wewenang “membanding” undang-undang. Namun usulan Yamin disanggah Soepomo dengan empat alasan bahwa (i) konsep dasar yang dianut dalam UUD yang tengah disusun bukan konsep pemisahan kekuasaan

(separation of power) melainkan konsep pembagian kekuasaan (distribution of power), selain itu, (ii) tugas hakim adalah menerapkan undang-undang, bukan menguji undang-undang, (iii) kewenangan hakim untuk melakukan pengujian undang-undang bertentangan dengan konsep supremasi Majelis Permusyawaratan Rakyat, dan (iv) sebagai negara yang baru merdeka belum memiliki ahli-ahli mengenai hal tersebut serta pengalaman mengenai judicial review. Akhirnya, ide itu urung diadopsi dalam UUD 1945.58

Gagasan Yamin muncul kembali pada proses amandemen UUD 1945. 59Gagasan membentuk Mahkamah Konstitusi mengemuka pada sidang kedua Panitia Ad Hoc I Badan Pekerja MPR RI (PAH I BP MPR), pada Maret-April tahun 2000. Mulanya, MK akan ditempatkan dalam lingkungan MA, dengan kewenangan melakukan uji materil atas undang-undang, memberikan putusan atas pertentangan antar undang-undang serta kewenangan lain yang diberikan undang-undang. Usulan lainnya, MK diberi kewenangan memberikan putusan atas persengketaan kewenangan antarlembaga negara, antar pemerintah pusat dengan pemerintah daerah dan antar pemerintah daerah. Dan setelah melewati perdebatan panjang, pembahasan mendalam, serta dengan mengkaji lembaga pengujian konstitusional undang-undang di 58Laica Marzuki berpendapat bahwa pernyataan Soepomo hendaknya ditafsirkan sebagai penangguhan pembentukan pengadilan konstitusi, dan bukan penolakan, Merambah Pembentukan Mahkamah Konstitusi di Indonesia, diterbitkan Konsorsium Reformasi Hukum Nasional (KRHN). (Lihat dalam Jenedjri M. Gaffar, 2001, Jurnal Mahkamah Konstitusi, Kedudukan Fungsi, dan Peran Mahkamah Konstitusi dalam Sistem Ketatanegaraan Republik Indonesia, Op.Cit, hlm. 5)

59 RM. A.B. Kusuma, 2004, Lahirnya Undang-Undang Dasar 1945, Badan Penerbit Fakultas Hukum

(31)

berbagai negara, serta mendengarkan masukan berbagai pihak, terutama para pakar hukum tata negara, rumusan mengenai pembentukan Mahkamah Konstitusi diakomodir dalam Perubahan Ketiga UUD 1945. Hasil Perubahan Ketiga UUD 1945 itu merumuskan ketentuan mengenai lembaga yang diberi nama Mahkamah Konstitusi dalam Pasal 24 Ayat (2) dan Pasal 24C UUD 1945. Akhirnya sejarah MK dalam sistem ketatanegaraan Indonesia dimulai, tepatnya setelah disahkannya Perubahan Ketiga UUD 1945 dalam Pasal 24 ayat (2), Pasal 24C, dan Pasal 7B pada 9 November 2001.60

Pembentukan MK sejalan dengan dianutnya paham negara hukum dalam UUD 1945. Dalam negara hukum harus ada paham konstitusionalisme, di mana tidak boleh ada undang-undang dan peraturan perundang-undangan lainnya yang bertentangan dengan Undang-Undang Dasar.61 Untuk memastikan tidak ada undang-undang yang bertentangan dengan UUD, maka salah satu jalan yang ditempuh adalah memberikan wewenang atau hak uji materil kepada lembaga kekuasaan kehakiman. Apabila warga negara, baik perorangan maupun komunitas atau badan hukum yang merasa atau

60 Setelah disahkannya Perubahan Ketiga UUD 1945 maka dalam rangka menunggu pembentukan MK, MPR menetapkan Mahkamah Agung menjalankan fungsi MK untuk sementara sebagaimana diatur dalam Pasal III Aturan Peralihan UUD 1945 hasil Perubahan Keempat. DPR dan Pemerintah kemudian membuat Rancangan Undang-Undang mengenai Mahkamah Konstitusi. Setelah melalui pembahasan mendalam, DPR dan Pemerintah menyetujui secara bersama UU Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi pada 13 Agustus 2003 dan disahkan oleh Presiden pada hari itu (Lembaran Negara Nomor 98 dan Tambahan Lembaran Negara Nomor 4316). Dua hari kemudian, pada tanggal 15 Agustus 2003, Presiden melalui Keputusan Presiden Nomor 147/M Tahun 2003 hakim konstitusi untuk pertama kalinya yang dilanjutkan dengan pengucapan sumpah jabatan para hakim konstitusi di Istana Negara pada tanggal 16 Agustus 2003.Lembaran perjalanan MK selanjutnya adalah pelimpahan perkara dari MA ke MK, pada tanggal 15 Oktober 2003 yang menandai mulai beroperasinya kegiatan MK sebagai salah satu cabang kekuasaan kehakiman menurut ketentuan UUD 1945. (Lihat dalam Jenedjri M. Gaffar, 2001, Jurnal Mahkamah Konstitusi, Kedudukan Fungsi, dan Peran Mahkamah Konstitusi dalam Sistem Ketatanegaraan Republik Indonesia, Op.Cit, hlm. 6)

(32)

menganggap hak konstitusionalnya dirugikan akibat berlakunya undang-undang, mereka dapat mengajukan pengujian atas undang-undang yang bersangkutan kepada Mahkamah Konstitusi.62 Khusus untuk perorangan warga negara dan kesatuan masyarakat hukum adat, mekanisme uji materil juga ditujukan untuk menjamin terlindunginya HAM yang dijamin UUD 1945.

2. Implementasi Penegakan HAM melalui Mahkamah Konstitusi

Implementasi penegakan HAM melalui Mahkamah Kosntitusi dapat dilihat dari beberapa putusan Mahkamah Konstitusi yang dapat dijadikan bukti untuk menilai bahwa uji materil yang dilakukan Mahkamah Konstitusi adalah untuk melindungi dan memajukan HAM di antaranya: 63

1) Putusan No 011-017/PUU-VIII/2003 tentang pengujian

Undang-Undang No 12/2003 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan

Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan

Rakyat Daerah;

Pertama, hak untuk memajukan diri, hak atas pengakuan dan jaminan atas kepastian hukum, hak untuk mendapatkan kesempatan yang sama dalam pemerintahan dan hak untuk bebas dari perlakuan yang bersifat diskriminatif merupakan HAM yang dijamin dan dilindungi melalui Pasal 28C ayat (2), Pasal 28D Ayat (1), Pasal 28D Ayat (3), dan Pasal 28 I Ayat (2) UUD 1945. Sementara, melalui ketentuan Pasal 60 huruf g Undang-undang No 12 Tahun 2003, yang berisi larangan menjadi anggota DPR,

62 Majelis Permusyawaratan Rakyat RI, 2001, Panduan Pemasyarakatan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia, Sekretariat Jenderal MPR RI, Jakarta, hlm. 153.

(33)

DPD, DPRD Provinsi, DPRD Kabupaten atau Kota bagi mereka yang “bekas anggota organisasi terlarang Partai Komunis Indonesia, termasuk organisasi massanya, atau bukan orang yang terlibat langsung atau pun tak langsung dalam G.30.S/ PKI atau organisasi terlarang lainnya, hak-hak asasi yang dijamin UUD 1945 di atas justru dilanggar Di sini, putusan MK menyatakan tindakan diskriminasi berdasarkan perbedaan agama, suku, ras, etnik, kelompok, golongan, status sosial, status ekonomi, jenis kelamin, bahasa, keyakinan politik tidak dibenarkan.64 Dalam ranah sipil dan politik, hak konstitusional warga negara untuk memilih dan dipilih (right to vote and right to be candidate) adalah hak yang dijamin oleh konstitusi, undang-undang maupun konvensi internasional, maka pembatasan penyimpangan, peniadaan dan penghapusan akan hak dimaksud merupakan pelanggaran terhadap hak asasi dari warga Negara.65 Atas dasar pertimbangan tersebut, MK menyatakan Pasal 60 huruf g Undang-Undang No. 12 Tahun 2003 bertentangan dengan UUD 1945.

Berdasarkan putusan tersebut, hak warga negara yang dicap pernah terlibat baik secara langsung ataupun tidak langsung dalam G.30.S/PKI telah dipulihkan. Putusan MK ini dinilai sebagai sebuah tonggak baru dalam sejarah Indonesia yang bisa jadi akan memiliki implikasi-implikasi luas bagi masa depan demokrasi di Indonesia. Tidak hanya itu, salah satu hal penting dari putusan ini menurut Todung Mulya Lubis, MK berjaya keluar dari pertimbangan politis dengan menggunakan

64 Putusan Nomor 011-017/PUU_VIII/2003 tentang Pengujian Undang-Undang Nomor 12 tahun 2003 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah ( lihat dalam Jenedjri M. Gaffar, Jurnal Konstitusi “Peran Putusan Mahkamah Konstitusi dalam Perlindungan Hak Asasi Manusia terkait Penyelenggaraan Pemilu”, Volume 10 Nomor 1, Maret 2013, hlm. 15)

(34)

argumen-argumen dan penjelasan pasal-pasal HAM yang dimuat dalam standar dan norma domestik dan internasional.66

2) Putusan No 6-13-20/PUU-VIII/2010 tentang pengujian Undang-Undang

No 16 tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia;

Kedua, hak untuk berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran secara lisan dan tulisan, hak atas pengakuan dan jaminan atas kepastian hukum, hak untuk memiliki hak milik pribadi, hak berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi merupakan hak yang diakui dan dijamin dalam Pasal 28E ayat (3), Pasal 28D ayat (1), Pasal 28 H ayat (4) dan Pasal 28 F UUD 1945. Sementara itu, Pasal 30 Ayat (3) huruf c Undang-Undang No 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan RI menyatakan

“Dalam bidang ketertiban dan ketenteraman umum, kejaksaan turut menyelenggarakan kegiatan: pengawasan peredaran barang cetakan”.

Atas dasar ketentuan itu, pejabat berwenang diberikan otoritas untuk memprediksi sesuatu sebagai hal yang berpotensi meresahkan masyarakat dan atau berpotensi mengganggu ketentraman dan ketertiban umum.67 Sehingga, Kejaksaan Agung sebagai lembaga yang diberikan otoritas pun telah melarang beredarnya Buku Enam Jalan Menuju Tuhan.68 Kewenangan larangan peredaran buku sebagai langkah preventif ini cenderung hanya bersifat prediktif bahkan ramalan, karena tidak memiliki parameter objektif sebagai rambu-rambu agar kewenangan tersebut tidak bertentangan dengan hukum dasar yang ada di UUD 1945. Prediksi yang memperkirakan keresahan dapat timbul di masyarakat akibat peredaran buku tersebut, tidak serta merta menjadi alasan pembenar untuk

66 Todung Mulya Lubis, Putusan Mahkamah Konstitusi Perkara No 11-17/PUU-I/2003 dari Perspektif Hukum Hak Asasi Manusia Internasional, dalam Jurnal Konstitusi, vol 1 no 1, 2004, hlm. 19.

67 Putusan Nomor 6-13-20/PUU_VIII/2010 tentang Pengujian Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia (lihat dalam Saldi Isra, Jurnal Konstitusi “Peran Mahkamah Konstitusi dalam Penguatan Hak Asasi Manusia di Indonesia”, Jurnal Konstitusi, Volume 11, Nomor 3, September 2014, hlm. 422)

(35)

merugikan hak konstitusional warga negara.69 Sehingga kewenangan itu menimbulkan kesewenang-wenangan dan pelanggaran terhadap HAM.70

Dalam pertimbangannya, MK menilai, pelarangan pengedaran buku-buku sebagai suatu sumber informasi, penyitaan tanpa proses pengadilan, merupakan tindakan yang tidak sejalan bahkan bertentangan dengan Pasal 28F UUD 1945.71 Selain itu, pemberian kewenangan untuk melakukan pelarangan atas sesuatu yang merupakan pembatasan hak asasi tanpa melalui due process of law, jelas tidak termasuk dalam pengertian pembatasan kebebasan seperti yang dimaksud Pasal 28J Ayat (2) UUD 1945.72 Menurut MK, pengawasan atas peredaran barang cetakan dapat dilakukan Kejaksaan melalui upaya penyelidikan, penyidikan, penyitaan, penggeledahan, penuntutan, dan penyidangan sesuai dengan due process of law, yang berujung pada putusan pengadilan yang memperoleh kekuatan hukum tetap yang kemudian dieksekusi kejaksaan. Atas dasar pertimbangan itu, MK menyatakan Pasal 30 ayat (3) huruf c Undang-Undang No 16/ 2004 tentang Kejaksaan RI bertentangan dengan UUD 1945.73

3) Putusan No 55/PUU-VIII/2010 tentang pengujian Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2004 tentang Perkebunan;

Ketiga, hak atas pengakuan dan jaminan atas kepastian hukum, hak mengembangkan diri demi memenuhi kebutuhan hidup dijamin dan dilindungi dengan instrumen Pasal 28D Ayat (1) dan Pasal 28 G Ayat (1) UUD 1945. Dari jaminan konstitusional dimaksud, maka setiap orang

69Ibid. 70Ibid.

71Ibid., hlm. 242

72ibid

(36)

berhak mengembangkan diri demi memenuhi kebutuhan hidupnya. Oleh karena itu, tidak dibenarkan adanya pembatasan terhadak hak ini. Sementara, Pasal 2174 dan dan Pasal 47 Ayat (1)75 dan (2)76 Undang-Undang No. 18 Tahun 2004 tentang Perkebunan dinilai memiliki rumusan yang luas dan telah membatasi HAM untuk mengembangkan diri, dalam rangka memenuhi basic needs sebagai manusia.77

Dalam pertimbangannya, MK menilai rumusan Pasal 21 yang diikuti dengan Pasal 47 Undang-Undang Perkebunan sangat luas dan tidak terbatas. Rumusan pasal tersebut tidak jelas dan menimbulkan ketidakpastian hukum yang potensial melanggar hak-hak konstitusional warga negara.78

Pertimbangan di atas, MK menyatakan Pasal 21 beserta penjelasannya dan Pasal 47 Ayat (1) dan (2) Undang-Undang No 18 Tahun 2004 tentang Perkebunan bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat.

Berdasar pada uraian diatas, Penulis kemudian memperoleh pandangan bahwa penegakan Hak Asasi Manusia melalui Mahkamah

74 Pasal 21 UU Perkebunan menyatakan, “Setiap orang dilarang melakukan tindakan yang berakibat pada kerusakan kebun dan/atau asset lainnya, penggunaan tanah perkebunan tanpa izin dan/atau tindakan lainnya yang mengakibatkan terganggunya usaha perkebunan”

75 Pasal 47 ayat (1) menyatakan “Setiap orang yang dengan sengaja melanggar larangan melakukan tindakan yang berakibat pada kerusakan kebun dan/atau aset lainnya, penggunaan lahan perkebunan tanpa izin dan/atau tindakan lainnya yang mengakibatkan terganggunya usaha perkebunan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21, diancam dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak Rp. 5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah)”.

76 Pasal 47 ayat (2) menyatakan “Setiap orang yang karena kelalaiannya melakukan tindakan yang berakibat pada kerusakan kebun dan/atau aset lainnya, penggunaan lahan perkebunan tanpa izin dan/atau tindakan lainnya yang mengakibatkan terganggunya usaha perkebunan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21, diancam dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun 6 (enam) bulan dan denda paling banyak Rp. 2.500.000.000,00 (dua miliar lima ratus juta rupiah)”

77 Putusan Nomor 55/PUU-VIII/2010 tentang pengujian Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2004 tentang Perkebunan (lihat dalam Saldi Isra, Jurnal Konstitusi “Peran Mahkamah Konstitusi dalam Penguatan Hak Asasi Manusia di Indonesia”, Jurnal Konstitusi, Volume 11, Nomor 3, September 2014, hlm. 424)

(37)

Konstitusi sudah berjalan cukup efektif dengan melihat berbagai putusan Mahkamah Konstitusi diatas yaitu: Putusan No 011-017/PUU-VIII/2003 tentang pengujian Undang- Undang No 12/2003 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, Putusan No 6-13-20/PUU-VIII/2010 tentang pengujian Undang-Undang No 16 tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia dan 3) Putusan No 55/PUU-VIII/2010 tentang pengujian Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2004 tentang Perkebunan. Dimana MK memutus dengan mempertimbangkan hak0hak konstitusional warga negara dan juga dianggap bahwa MK telah keluar dari pertimbangan politis dengan menggunakan argumen-argumen dan penjelasan pasal-pasal HAM yang dimuat dalam standar dan norma domestik dan internasional.

Mahkamah Konstitusi sekaligus disebut juga sebagai the protector of human rights atau penjaga hak asasi manusia. Itulah salah satu kewenangan Mahkamah Konstitusi, sehingga pada waktu melakukan pengujian undang-undang, jika ada ketentuan-ketentuan atau ada tindakan yang melanggar hak asasi manusia, maka Mahkamah Konstitusi bertugas untuk menjaga ditegakannya hak asasi manusia yang ada di dalam Konstitusi.79

Oleh karena fungsi Mahkamah Konstitusi sebagai the protector of human right, Mahkamah konstitusi dinilah telah cukup efektif dalam penegakan HAM. Pembuatan Undang-Undang yang dilakukan oleh DPR yang mana merupakan langkah politis dapat pula dikawal oleh Mahkamah Konstitusi apabila RUU tersebut dinilai melanggar HAM maka dapat 79Anonim,

http://www.mahkamahkonstitusi.go.id/index.php?page=web.Berita&id=12500#.VzP_Q6PM1G4

(38)

dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi. Upaya trersebut sebagai bentuk penghormatan terhadap HAM dengan dibentuknya Mahkamah Konstitusi maka negara Indonesia dianggap telah mempunnyai tameng dari segala pelanggaran HAM ditingkat peradilan sebelum dirujuk ke Mahkamah Konstitusi.

BAB III

PENUTUP

(39)

1. Sejak memproklamirkan kemerdekaannya pada tanggal 17 Agustus 1945, Indonesia telahbeberapa kali merubah konstitusi. Perjalanan perubahan konstitusi indonesia setidaknya dibagi menjadi 4 periode, diantaranya UUD 1945, Konstitusi RIS 1949, UUDS 1950, amandemen UUD 1945. Dan seiring dengan perubahan konstitusi tersebut, jaminan tentang adanya perlindungan HAM juga mengalami perubahan.

Konsep dasar HAM di Indonesia dapat ditemukan peraturannya dalam UUD 1945. Indonesia sendiri menyusun UUD 1945 sebelum adanya

The Universal Declaration of Human Rights, namun ide-ide hak asasi manusia yang tercermin dalam deklarasi tersebut sudah diketahui oleh para the founding father indonesia dalam sidang BPUPKI pada tahun 1945.100 Rapat besar BPUPKI yang diselenggarakan pada tanggal 15 juli 1945 menyimpan memori tentang perlu tidaknya pengaturan tentang HAM dicantumkan dalam UUD 1945. Oleh karena itu, ketentuan yang berkenaan dengan hak asasi manusia dapat dikatakan dimuat secara terbatas dalam UUD 1945, yaitu sebanyak tujuh pasal.

(40)

Dalam putusan tersebut terlihat implementasi penekan haj asasi manusia oleh Mahkamah Konstitusi yang memutus dengan mempertimbangkan hak-hak konstitusional warga negara dan juga dianggap bahwa MK telah keluar dari pertimbangan politis dengan menggunakan argumen-argumen dan penjelasan pasal-pasal HAM yang dimuat dalam standar dan norma domestik dan internasional.

B. Saran

1. Sebagai lembaga penegak hak asasi manusia, Mahkamah Konstitusi diharapkan dapat independen dan steril dari pengaruh politik mengingat bahwa putusan Mahkamah Konstitusi bersifat final. Oleh karenanya, rekrutmen hakim-hakim Mahkamah Konstitusi haruslah selektif dan ketat guna menghindari loby-loby politik.

2. Mahkamah Konstitusi disarankan membentuk pengawas internal agar lebih muda diawasi secara efisien. Selain itu, perlu juga kiranya Mahkamah Konstitusi melakukan audit keuangan melalui BPK guna menghindari tindak pidana korupsi.

DAFTAR PUSTAKA

Buku dan Literatur:

Antonius Cahyadi dan E Fernando M Manulang,2008, Pengantar filsafat Hukum, cet. 2, Kencana, Jakarta.

A.H. Nasution (b), 1989, Memenuhi Panggilan Tugas, Jilid 7: Masa Konsolidasi Orde Baru, CV Haji Masagung, Jakarta. Bagir Manan dan Kuntana Megnar, 1997, Beberapa Masalah Hukum Tata

(41)

Beni K. Harman & Hendardi (Ed), 1991, Konstitusionalisme Peran DPR dan Judicial Review, JARIM dan YLBHI, Jakarta

H. Victor Condé, 1999, A Handbook of International Human Rights

Terminology, Lincoln N.E.: University of Nebraska Press. Harun Al Rasyid, 2007, Naskah Undang-Undang 1945 Sesudah Empat Kali

di Ubah Oleh MPR, cet. 1, UI Press.

Harun Al Rasyid, 2007, Naskah Undang-Undang 1945 Sesudah Empat Kali di Ubah Oleh MPR, cet. 1, UI Press, Jakarta.

Hani Barizatul Baroroh, Jurnal Hukum “Jaminan Hak Asasi Manusia Dalam Kosntitusi. Reformasi, Bhuana Ilmu Populer, Jakarta. Mohammad Ryan Bakry, 2010, Implementasi Hak Asasi Manusia, FH UI. Jenedjri M. Gaffar, 2001, Jurnal Mahkamah Konstitusi, Kedudukan Fungsi,

dan Peran Mahkamah Konstitusi dalam Sistem Ketatanegaraan Republik Indonesia, Surakarta.

Jenedjri M. Gaffar, Jurnal Konstitusi “Peran Putusan Mahkamah Konstitusi dalam Perlindungan Hak Asasi Manusia terkait Penyelenggaraan Pemilu”, Volume 10 Nomor 1, Maret 2013.

Jimly Asshiddiqie, 2006, Konstitusi Dan Konstitusionalisme Indonesia, Konstitusi Press, Jakarta.

______________, 2007, Pokok-Pokok Hukum Tata Negara Pasca Reformasi, Bhuana Ilmu Populer, Jakarta.

______________, 2008, Pokok-Pokok Hukum Tata Negara Indonesia Pasca Reformasi, Bhuana Ilmu Populer, Jakarta.

Johnny Ibrahim, 2007, Teori, Metode dan Penelitian Hukum Normatif, Bayumedia Publising, Malang.

Koetjoro Poerbopranoto, 1953, Hak-Hak Manusia dan Pancasila Dasar

Negara Republik Indonesia, Groningen, J.B. Wolters, Jakarta.

(42)

Pidana (Buku Ketiga), Pusat Pelayanan Keadilan dan Pengabdian Hukum Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Jakarta.

Miriam Budiardjo, 1985, Dasar-dasarIlmu Politik, PT Gramedia, Jakarta. Majda El-Muhtaj, 2007, Hak Asasi Manusia dalam Konstitusi Indonesia,

Kencana, Jakarta.

Mochtar Parbottinggi dan Abdul Mukthie Fadjar, 2002, Konstitusi Baru melalui Komisi Konstitusi Independen, Sinar Harapan, Jakarta. Moh. Mahfud MD, 2009, Politik hukum di Indonesia, Rajawali Pers, Jakarta. Majelis Permusyawaratan Rakyat RI, 2001, Panduan Pemasyarakatan

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia, Sekretariat Jenderal MPR RI, Jakarta.

Ni`Matul Huda, 2010, Ilmu Negara, Rajawali Pers, Jakarta.

Rike Yolanda Sari, 2009, Pemeriksaan Constitutional Complaint di Mahkamah Konstitusi sebagai Upaya Perlindungan Pemenuhan Hak-Hak Warga Negara, FHUI, Jakata.

RM. A.B. Kusuma, 2004, Lahirnya Undang-Undang Dasar 1945, Badan Penerbit Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Jakarta Saldi Isra, Jurnal Konstitusi “Peran Mahkamah Konstitusi dalam Penguatan

Hak Asasi Manusia di Indonesia”, Volume 11, Nomor 3, September 2014,

Sri Soemantri, Prosedur dan Sistem Perubahan Konstitusi, 1984, Alumni, Bandung.

Scott Davidson, 1994, Hak Asasi Manusia, Sejarah, Teori dan Praktek dalam Pergaulan Internasional, Grafiti, Jakarta.

Soerjono Soekanto & Sri Mamudji, 2001, “Penelitian Hukum Normatif (Suatu Tinjauan Singkat)”, Rajawali Pers, Jakarta.

(43)

tersebut, sebagai bahan pembanding, lihat pula Ghalia Indonesia, 1981, Tiga Undang-Undang Dasar: UUD 1945, Konstitusi RIS 1949, dan UUDS 1950, Jakarta.

Suradji, 2000, Pularjono, dan Tim Redaksi Tatanusa, eds., Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia, PT Tatanusa, Jakarta. Supomo, 1974, Undang-Undang Dasar Sementara Republik Indonesia, PT

Pradnya Paramita, Jakarta.

Todung Mulya Lubis, Putusan Mahkamah Konstitusi Perkara No 11-17/PUU-I/2003 dari Perspektif Hukum Hak Asasi Manusia Internasional, dalam Jurnal Konstitusi, vol 1 no 1, 2004.

William H. Rehnquiest, The Supreme Court : How It Was, How Is It, New York: William Morrow, 1989, at 99-114 dalam Satya Arinanto, 2001, Politik Hukum 3, Program Pascasrjana Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Jakarta.

Wiliam R. Slomanson, 2000, Fundamental Perspectives on International Law,

3rd Edition, Wadsworth, Belmonth.

Peraturan Perundang-Undangan

Undang-Undang Dasar 1945.

Undang-Undang No. 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi

Undang-Undang Nomor 12 tahun 2003 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.

Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia

Undang-Undang No. 18 Tahun 2004 tentang Perkebunan

The Universal Declaration of Human Rights

(44)

Jimly Asshiddiqie,

http://jimlyschool.com/read/analisis/276/sejarah-constitutional-review-gagasan-pembentukan-mk/, Diakses 9 Mei 2016, Pukul 15.00.

Anonim,http://www.mahkamahkonstitusi.go.id/index.php?page=web.Berita&id =12500#.VzP_Q6PM1G4 Diakses pada 11 Mei 2016, Pukul 10.00 WIB

Referensi

Dokumen terkait

Hasil penelitian menunjukkan pengaruh positif partisipasi penganggaran pada senjangan anggaran, sehingga pengendalian internal yang memadai begitu perlu dilakukan dalam

Sekolah biasa mengklasifikasikan siswa ke dalam suatu ruangan belajar yang berbeda-beda dengan harapan agar proses instruksional yang terjadi dapat berjalan dengan baik

Bagaimana jika euthanasia tersebut dilakukan atas dasar persetujuan pihak keluarga, dalam per- soalan dan implikasi hukumnya terhadap kewarisan. Dalam sistem hukum

Sepakbola merupakan permainan beregu, masing-masing terdiri dari sebelas pemain, dan salah satunya menjadi penjaga gawang. Permainan ini hampir seluruhnya dimainkan dengan

Seluruh informasi kualitatif dan kuantitatif dan catatan atau laporan mengenai fakta yang berhubungan dengan mutu dari item atau jasa atau terhadap eksistensi dan implementasi

Masalah yang menjadi perhatian penelitian ini, apakah konten sumber bahan ajar yang digunakan oleh guru di sekolah SMP sesuai dengan pencapaian pembelajaran pada

Aplikasi akan menunjukan halaman pembayaran untuk user, jika user sudah membayar maka gerbang akan terbuka tetapi jika belum maka user harus menyelesaikan pembayaran