1
PENGARUH DANA ALOKASI UMUM (DAU),
DANA ALOKASI KHUSUS (DAK), PENDAPATAN
ASLI DAERAH (PAD) DAN PENDAPATAN
DOMESTIK REGIONAL BRUTO (PDRB)
TERHADAP ALOKASI BELANJA MODAL
(Studi Pada Pemerintah Kabupaten/ Kota di Jawa Tengah Tahun 2010-2012)
Skripsi
Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Ekonomi Pada Fakultas Ekonomi Program Studi Akuntansi
Universitas Islam Sultan Agung Semarang
Disusun Oleh :
Siti Aisyah 31401204620
UNIVERSITAS ISLAM SULTAN AGUNG
FAKULTAS EKONOMI JURUSAN AKUNTANSI
PERNYATAAN KEASLIAN SKRIPSI Pendapatan Asli Daerah (PAD) Dan Pendapatan Domestik Regional Bruto (PDRB) Terhadap Alokasi Belanja Modal” dan diajukan untuk di uji pada tanggal:
12 September 2014 Adalah hasil karya saya
Dengan ini saya menyatakan dengan sesungguhnya bahwa dalam skripsi ini tidak terdapat keseluruhan atau sebagian tulisan orang lain yang saya ambil dengan cara menyalin atau meniru dalam bentuk rangkaian kalimat atau simbol yang menunjukkan gagasan atau pendapat atau pemikiran dari penulis lain yang saya akui seolah olah sebagai tulisan saya sendiri dan atau tidak terdapat bagian atau keseluruhan yang saya salin, tiru, atau yang saya ambil dari tulisan orang lain tanpa memberikan pengakuan penulis aslinya.
HALAMAN MOTO
Dalam kerendahan hati ada ketinggian budi Dalam kemiskinan harta ada kekayaan jiwa Dalam kesempitan hidup ada kekuasaan ilmu
Hidup memerlukan pengorbanan Pengorbanan memerlukan perjuangan Perjuangan memerlukan ketabahan Ketabahan memerlukan keyakinan Keyakinan menentukan kejayaan Kejayaan menentukan kebahagiaan
“Karena sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan, sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan. Maka apabila kamu telah selesai (dari sesuatu urusan), kerjakanlah dengan sungguh-sungguh (urusan) yang lain dan hanya kepada Tuhanmulah hendaknya kamu berharap.” (QS (Al-'Asyr) 94:5-8)
“Kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, maka bertawakallah kepada Allah, sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakal (kepada-Nya)” (QS Ali ‘Imraan:159).
ABSTRAK
Pelaksanaan desentralisasi fiskal selain memberikan kewenangan pada Pemerintah Daerah juga mempengaruhi kemampuan daerah untuk memenuhi kepentingan publik sehingga penelitian ini bertujuan untuk menguji pengaruh Dana Alokasi Umum, Dana Alokasi Khusus, Pendapatan Asli Daerah dan Produk Domestik Regional Bruto terhadap Alokasi Belanja Modal di Provinsi Jawa Tengah periode tahun 2010-2012. Penelitian ini merupakan penelitian studi kasus. Selanjutnya dalam penelitian ini, hanya berfokus meneliti data keuangan Provinsi Jawa Tengah periode tahun 2010- 2012. Metode analisis dalam penelitian ini menggunakan uji regresi yang dilakukan dengan menguji efek dari variabel independen ke variabel dependen. Analisis yang digunakan dalam penelitian adalah analisis kuantitatif. Dengan mengunakan alat analisis kuantitatif yaitu uji asumsi klasik dan uji regresi linier berganda. Berdasarkan pengujian dan pembahasan yang telah dilakukan dapat disimpulkan bahwa pengujian uji asumsi klasik, yang terdiri dari uji multikoliniaritas, uji heteroskedastisitas, uji autokorelasi dan uji normalitas ternyata semua variabel bebas berpengaruh positif dan signifikan terhadap Belanja Modal. Sedangkan hasil pengujian regresi linier berganda yang terdiri dari Dana Alokasi Umum, DanaAlokasi Khusus, Pendapatan Asli Daerah dan Produk Domestik Regional Bruto yang merupakan variabel bebas secara simultan atau (uji F) berpengaruh positif dan signifikan terhadap anggaran Belanja Modal di Provinsi Jawa Tengah. Dan secara parsial atau (uji t) menunjukkan bahwa hanya Dana Alokasi Umum dan Pendapatan Asli Daerah yang berpengaruh positif dan signifikan terhadap anggaran Belanja Modal sedangkan Produk Domestik Regional Bruto dan Dana Alokasi Khusus tidak berpengaruh signifikan terhadap anggaran Belanja Modal.
ABSTRACT
The implementation of fiscal decentralization in addition to give authority to local governments also influence the ability of regions to meet the public interest. The aim of this study is to examine the influence of General allocation fund, special allocation fund, regional own revenue, brutto regional domestic product to the Capital Budget Appropriation in Central Java Province in 2010-2012. This research was field study research. The analysis used in the research was quantitative analysis. The quantitative analysis tools were classic assumption test and multiple linear regression test. Based on the examination and discussion, it could be concluded that the classical assumption test, which consists of multikoliniaritity test, heteroscedasticity, autocorrelation test and the test of normality test which is all independent variable positive and significant impact on the capital expenditure budget. While the results of multiple linear regression test consisting of General Allocation Fund, Special Allocation Fund, Regional own Revenue and Brutto Regional Domestic Product which is simultaneous or independent variable (F test) and a significant positive effect on capital expenditure budget in the province of Central Java. And partially or (t test) showed that only the General Allocation Fund and the Local Revenue had positive and significant impact on the budget, while Capital Expenditure Brutto Regional Domestic Product and the Special Allocation Fund had no significant effect on the capital expenditure budget.
KATA PENGANTAR
Puji Syukur atas kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan
Rahmat-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi dengan judul “Pengaruh
Dana Alokasi Umum (DAU), Dana Alokasi Khusus (DAK), Pendapatan Asli
Daerah (PAD) Dan Pendapatan Domestik Regional Bruto (PDRB) Terhadap
Alokasi Belanja Modal”.
Penulisan Skipsi ini telah melibatkan banyak pihak yang tentunya
dengan sepenuh hati telah meluangkan waktu dan dengan penuh keikhlasan
memberi informasi yang dibutuhkan. Adapun pihak-pihak yang telah ikut
membantu dalam proses penulisan Skripsi ini adalah:
1. Ibu Olivia Fachrunnisa, SE.,M.Si.,Ph.D selaku Dekan Fakultas Ekonomi Universitas Islam Sultan Agung.
2. Bapak Rustam Hanafi ,SE.,M.Sc., Akt, CA selaku Ketua Jurusan Program Studi Akuntansi Universitas Islam Sultan Agung Semarang.
3. Bapak Hendri Setyawan ,SE,MPA selaku dosen pembimbing selaku pembimbing yang senantiasa membimbing materi dalam proses penyusunan Skripsi ini.
4. Bapak, Ibu, kakak, adik dan sahabat terima kasih atas doa, dukungan dan semangatnya.
Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari sempurna. Oleh karena
itu kritik dan saran yang membangun dari berbagai pihak sangat penulis harapkan.
Semoga karya kecil ini dapat memberikan manfaat bagi pembaca dan semua pihak
yang berkepentingan.
Semarang, 12 September 2014
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL... i
HALAMAN PERSETUJUAN SKRIPSI... ii
HALAMAN PENGESAHAN UJIAN SKRIPSI... iii
PERNYATAAN KEASLIAN SKRIPSI... iv
HALAMAN MOTO... v
ABSTRAKSI... vi
KATA PENGANTAR... viii
DAFTAR ISI... ix
DAFTAR TABEL... xiii
DAFTAR GAMBAR... xiv
DAFTAR LAMPIRAN... xv
BAB I PENDAHULUAN... 1
1.1 Latar Belakang... 1
1.2 Rumusan Masalah... 9
1.3 Tujuan Penelitian... 10
1.4 Manfaat Penelitian... 11
BAB II TINJAUAN PUSTAKA... 12
2.1 Landasan Teori... 12
2.1.1 Teori Keagenan... 12
2.1.2 Desentralisasi Fiskal di Indonesia... 14
2.1.4 Dana Alokasi Umum... 19
2.1.5 Dana Alokasi Khusus... 22
2.1.6 Pendapatan Asli Daerah... 24
2.1.7 Produk Domestik Regional Bruto... 28
2.1.8 Pengalokasian Anggaran Belanja Modal... 31
2.2 Penelitian Terdahulu ... 32
2.3 Hubungan Logis Antara Variabel dan Perumusan Hipotesis. 33 2.3.1 Hubungan Antara DAU terhadap Pengalokasian Anggaran . Belanja... 34
2.3.2 Hubungan Antara DAK terhadap Pengalokasian Anggaran . Belanja... 35
2.3.3 Hubungan Antara PAD terhadap Pengalokasian Anggaran . . Belanja... 36
2.3.4 Hubungan Antara PDRB terhadap Pengalokasian Anggaran Belanja... 37
2.4 Kerangka Pemikiran... 39
BAB III METODE PENELITIAN... 40
3.1 Jenis Penelitian ... 40
3.2 Variabel dan Definisi Operasional Variabel... 40
3.2.1 Variabel Dependen (Y): Pengalokasian Anggaran Belanja . . Modal... 40
3.2.2 Variabel Independen (X)... 41
3.2.3.2 DAK (Dana Alokasi Khusus)... 41
3.2.3.3 PAD (PendapatanAsli Daerah)... 42
3.2.3.4 PDRB (Pendapatan Domestik Regional Bruto)... 43
3.3 Populasi dan Teknik Pengambilan Sampel... 43
3.4 Jenis dan Sumber data... 44
3.5 Metode Pengumpulan Data... 44
3.6 Metoda Analisis Data... 44
3.6.1 Statistik Deskriptif... 45
3.6.2 Pengujian Asumsi Klasik... 46
3.6.2.1 Uji Normalitas... 46
3.6.2.2 Uji Multikolonieritas... 46
3.6.2.3 Uji Heteroskedastisitas... 47
3.6.2.4 Uji Autokorelasi... 48
3.6.3 Pengujian Hipotesis... 48
3.6.3.1 Koefisien Determinasi (R2)... 49
3.6.3.2 Uji Simultan ... 49
3.6.3.3 Uji t (Uji Parsial)... 50
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN... 51
4.1 Deskripsi Sampel ... 51
4.2 Statistik Deskriptif... 51
4.3 Analisis Data ... 54
4.3.1 Uji Asumsi Klasik... 54
4.3.1.2 Uji Multikolonieritas... 55
4.3.1.3 Uji Heteroskedastisitas... 56
4.3.1.4 Uji Autokorelasi... 57
4.3.2 Pengujian Hipotesis... 58
4.3.2.1 Koefisien Determinasi (R2)... 58
4.3.2.2 Uji Simultan (Uji F)... 59
4.3.2.3 Uji t (Uji Parsial)... 60
4.4 Pembahasan ... 62
BAB V PENUTUP... 68
5.1 Kesimpulan... 68
5.2 Keterbatasan ... 69
5.3 Saran ... 69
5.4 Implikasi ... 70
DAFTAR PUSTAKA
DAFTAR TABEL
TABEL 2.1 Penelitian Sebelumnya...
33
TABEL 4.1 Deskripsi Variabel Penelitian Jawa Tengah 2010-2012 ...
52
TABEL 4.2 Uji Normalitas Kolmogorov Smirnov ...
55
TABEL 4.3 Uji Multikolonieritas...
56
TABEL 4.4 Uji Heteroskedastisitas...
57
TABEL 4.5 Uji Autokorelasi Model Regresi...
58
TABEL 4.6 Koefisien Determinasi...
59
TABEL 4.7 Uji Model F...
59
TABEL 4.8 Uji Model t...
60
DAFTAR GAMBAR
GAMBAR 2.1 Kerangka Berfikir...
39
DAFTAR LAMPIRAN
Realisasi Pendapatan Kabupaten/Kota Provinsi Jawa Tengah Tahun 2010
Realisasi Pendapatan Kabupaten/Kota Provinsi Jawa Tengah Tahun 2011
Realisasi Pendapatan Kabupaten/Kota Provinsi Jawa Tengah Tahun 2012
PDRB Kabupaten/Kota di Jawa Tengah Tahun 2010 s/d 2012
Laporan Realisasi Anggaran Pelaksanaan APBD Tahun 2010
Laporan Realisasi Anggaran Pelaksanaan APBD Tahun 2011
Laporan Realisasi Anggaran Pelaksanaan APBD Tahun 2012
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Hubungan perimbangan antara pemerintah dan daerah, menjadi kunci
pokok keberhasilan pelaksanaan otonomi daerah, karena daerah memerlukan
sumber-sumber keuangan guna membiayai belanja daerah. Semenjak
dikeluarkannya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 (direvisi menjadi
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004) tentang Pemerintahaan Daerah dan
Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1999 (direvisi menjadi Undang-Undang Nomor
33 Tahun 2004) tentang Perimbangan Keuangan, Undang-Undang tersebut
memisahkan fungsi Pemerintahaan Daerah (Eksekutif) dengan fungsi Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah (Legislatif). Berdasarkan pembedaan fungsi tersebut,
menunjukkan bahwa antara legislatif dan eksekutif terjadi hubungan keagenan
(Halim, 2001; Halim & Abdullah, 2006). Peraturan perundang-undangan tersebut
secara implisit merupakan bentuk kontrak antara eksekutif, legislatif, dan publik
di dalam pemerintahan.
Anggaran daerah merupakan rencana keuangan yang dijadikan dasar
dalam pedoman Pemerintah Daerah dalam pelaksanaan pelayanan publik. Di
Indonesia, dokumen anggaran daerah sering disebut Anggaran Pendapatan dan
Belanja Daerah (APBD), baik untuk provinsi maupun kota dan kabupaten. APBD
mempunyai peranan penting bagi pembangunan daerah, karena APBD merupakan
program-program pemerintah daerah. Seluruh penerimaan dan pengeluaran
Pemerintahaan Daerah baik dalam bentuk uang, barang dan jasa pada tahun
anggaran yang harus dianggarkan dalam APBD (Kawedar dkk, 2008).
Menurut Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 proses penyusunan
anggaran melibatkan dua pihak yaitu eksekutif (Pemerintahaan Daerah) dan
legislatif (DPRD), dimana masing-masing melalui sebuah tim atau panitia
anggaran. Eksekutif berperan sebagai pelaksana operasionalisasi daerah yang
mempunyai kewajiban membuat draf/rancangan APBD. Sedangkan legislatif
bertugas mengesahkan rancangan APBD dalam proses ratifikasi anggaran.
Penyusunan anggaran daerah diawali dengan membuat kesepakatan antara
eksekutif dan legislatif tentang Kebijakan Umum APBD (KUA), Prioritas dan
Plafon Anggaran yang menjadi pedoman dalam penyusunan anggaran pendapatan
dan anggaran belanja. Dalam pembuatan rancangan APBD yang sesuai dengan
kebijakan umum APBD, Prioritas dan Plafon Anggaran pihak eksekutif
menyerahkan kepada legislatif untuk dipelajari dan dibahas bersama-sama
sebelum ditetapkan sebagai Peraturan Daerah. Dalam prespektif keagenan, hal
tersebut merupakan bentuk kontrak (incomplete contract), yang menjadi alat bagi
legislatif untuk mengawasi pelaksanaan anggaran oleh eksekutif (Darwanto dan
Yustikasari, 2007).
Desentralisasi fiskal yang dimiliki pemerintah daerah memberikan
kewenangan yang besar kepada daerah tersebut untuk menggali potensi yang ada
sebagai sumber pendapatan daerah untuk membiayai pengeluaran daerah dalam
salah satu sumber pendapatan daerah adalah Pendapatan Asli Daerah (PAD) yang
terdiri dari hasil pajak daerah, hasil retribusi daerah, hasil pengelolaan kekayaan
daerah yang dipisahkan dan lain-lain PAD yang sah.
Peningkatan kualitas pelayanan publik dapat diperbaiki dengan
melakukan perbaikan manajemen kualitas jasa (service quality management),
yaitu upaya meminimalisi kesenjangan (gap) antara tingkat layanan dengan
harapan konsumen (Bastian, 2010). Dengan demikian, Pemerintah Daerah
harus mampu mengalokasikan anggaran belanja modal dengan baik karena
belanja modal merupakan salah satu langkah bagi Pemerintah Daerah untuk
memberikan pelayanan kepada publik. Darwanto dan Yustikasari (2007)
menyatakan bahwa pemanfaatan anggaran belanja seharusnya dialokasikan untuk
hal-hal produktif, misalnya untuk pembangunan. Penerimaan pemerintah daerah
seharusnya dialokasikan untuk program-program layanan publik. Kedua pendapat
tersebut menyatakan bahwa pengalokasian anggaran belanja modal untuk
kepentingan publik sangatlah penting. Untuk dapat meningkatkan pengalokasian
belanja modal, maka perlu diketahui variabel-variabel yang berpengaruh terhadap
pangalokasian belanja modal, seperti pertumbuhan ekonomi, Pendapatan Asli
Daerah, Dana Alokasi Umum, dan Dana Alokasi Khusus.
Dalam pelaksanaan kewenangan Pemerintahaan Daerah, Pemerintahaan
Pusat akan mentransfer dana perimbangan yang terdiri dari Dana Alokasi Umum
(DAU), Dana Alokasi Khusus (DAK) dan Dana Bagi Hasil pada pemerintah
daerah untuk mendukung pelaksanaan otonomi dan desentralisasi fiskal. Dengan
menjalankan roda pemerintahan secara efektif dan efisien dalam meningkatan
pelayanan publik.
Kemampuan keuangan yang tidak sama di masing-masing daerah dalam
mendanai kegiatannya, menimbulkan ketimpangan fiskal antara satu daerah
dengan daerah lainnya. Oleh karena itu, diperlukan tindakan dalam mengatasi
ketimpangan fiskal tersebut yaitu dengan pemerintah memberikan alokasi dana
yang bersumber dari APBN untuk mendanai kebutuhan daerah dalam pelaksanaan
desentralisasi. Salah satu dana perimbangan dari pemerintah ini adalah Dana
Alokasi Umum (DAU) yang pengalokasiannya menekankan aspek pemerataan
dan keadilan yang selaras dengan penyelenggaran urusan pemerintahaan
(Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004). Dengan adanya transfer dana dari pusat
tersebut diharapkan pemerintah daerah bisa lebih mengalokasikan PAD yang
didapatnya untuk membiayai belanja modal di daerahnya.
Pemerintahaan Pusat memberi pendelegasian wewenang kepada
Pemerintahan Daerah disertai dengan pengalihan dana, sarana dan prasana serta
Sumber Daya Manusia (SDM). Pengalihan dana diwujudkan dalam bentuk dana
perimbangan yaitu Dana Alokasi Khusus (DAK). Berdasarkan Undang-Undang
Nomor 33 Tahun 2004, Dana Alokasi Khusus merupakan dana yang bersumber
dari APBN yang dialokasikan kepada daerah tertentu dengan tujuan untuk
membantu mendanai kegiatan khusus yang merupakan urusan daerah dan sesuai
dengan prioritas nasional yang telah ditetapkan. Pemanfaatan DAK diarahkan
pada kegiatan investasi pembangunan, pengadaan, peningkatan, dan perbaikan
pengadaan sarana fisik penunjang, dan tidak termasuk penyertaan modal. Dengan
adanya pengalokasian DAK diharapkan dapat mempengaruhi belanja modal,
karena DAK cenderung akan menambah aset tetap yang dimiliki pemerintah guna
meningkatkan pelayanan publik.
Tingkat pertumbuhan ekonomi menjadi salah satu tujuan penting
pemerintah daerah maupun pemerintah pusat. Pertumbuhan ekonomi mendorong
Pemerintah Daerah untuk melakukan pembangunan ekonomi dengan mengelola
sumber daya yang ada dan membentuk suatu pola kemitraan dengan masyarakat
untuk menciptakan lapangan pekerjaan baru yang akan mempengaruhi
perkembangan kegiatan ekonomi dalam daerah tersebut (Kuncoro, 2004). Salah
satu indikator utama keberhasilan pembangunan ekonomi ditandai dengan
meningkatnya produktivitas dan pendapatan perkapita penduduk sehingga terjadi
perbaikan kesejahteraan. Namun yang terjadi peningkatan pertumbuhan ekonomi
tidak selalu diikuti dengan peningkatan belanja modal, hal tersebut dapat dilihat
dari kecilnya jumlah belanja modal yang dianggarkan dengan total anggaran
belanja daerah.
Dalam pengalokasian sumber daya ke dalam anggaran belanja modal
merupakan sebuah proses yang sarat dengan kepentingan-kepentingan politis.
Anggaran yang sebenarnya bertujuan memenuhi kebutuhan publik terhadap
sarana dan prasarana umum yang disediakan oleh pemerintah daerah. Namun,
dengan adanya kepentingan politik dari lembaga legislatif yang terlibat dalam
menjadi tidak efektif dalam mengatasi permasalahan yang ada di masyarakat
(Keefer dan Khemani, 2003 dalam Halim 2004).
Peningkatan alokasi belanja modal dalam bentuk aset tetap seperti
infrastruktur dan peralatan diharapkan mampu menciptakan produktivitas
perekonomian di masyarakat, karena semakin tinggi belanja modal semakin tinggi
pula produktivitas perekonomian. Seharusnya pemerintah daerah dalam upaya
meningkatkan kualitas pelayanan publik melakukan perubahan komposisi belanja,
karena selama ini belanja daerah lebih banyak digunakan untuk belanja rutin yang
relatif kurang produktif. Saragih (2003) menyatakan bahwa pemanfaatan belanja
hendaknya dialokasikan untuk hal-hal yang produktif seperti untuk melakukan
aktivitas pembangunan pelayanan publik. Sejalan dengan pendapat tersebut, Stine
(1994) dalam Darwanto dan Yustikasari (2007) menyatakan bahwa penerimaan
pemerintah hendaknya lebih banyak untuk program–program pelayanan publik.
Kedua hasil penelitian diatas ini menyiratkan pentingnya pengalokasian belanja
untuk berbagai kepentingan publik.
Fenomena praktik dalam penyusunan anggaran, usulan yang diajukan oleh
eksekutif memiliki muatan mengutamakan kepentingan eksekutif (Smith dan
Bertozzi, 1998 dalam Darwanto dan Yustikasari 2007). Eksekutif mengajukan
anggaran yang dapat memperbesar agency-nya, baik dari segi finansial maupun
nonfinansial. Sementara Darwanto dan Yustikasari (2007) maupun Putro (2010),
menyatakan bahwa anggaran juga digunakan oleh legislatif untuk memenuhi
self-interestnya. Hal ini berarti banyak anggaran belanja daerah tidak digunakan untuk
Menurut rilis Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (FITRA)
dalam www.seknasfitra.ord (diakses Februari 2014) menunjukkan bahwa beban
belanja pegawai pada APBN memang semakin berat. Pada RAPBN 2012, belanja
pegawai merupakan alokasi belanja tertinggi, sebesar Rp. 215,7 triliun. Bahkan
mengalahkan belanja subsidi yang selama ini mendominasi. Potret yang sama
terjadi di daerah. Hasil analisa FITRA pada APBD 2011, terdapat 124 daerah yang
beban belanja pegawainya melebihi 60% dan 16 daerah diantaranya mencapai
70%. Analisis Kemenkeu juga menunjukan, belanja pegawai terbesar di
Kabupaten Demak dengan mencapai 89%.
Di Jawa Tengah komposisi Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah
(APBD) Jateng 2013 juga dinilai tidak ideal, sebab perbandingan antara alokasi
belanja tidak langsung dengan belanja langsung memiliki perbedaan yang tinggi,
yakni 73,43 % dan 26,57 % . Sebelumnya atau pada tahun 2012, perbandingan
belanja tidak langsung dibandingkan belanja langsung ialah 60% dan 40%
(www.suaramerdeka.com, akses Januari 2014).
Belanja tidak langsung di antaranya untuk belanja pegawai sedangkan
belanja langsung meliputi berbagai kebutuhan pembelanjaan sarana prasarana
masyarakat seperti perbaikan jalan dan jembatan. Semakin besarnya anggaran
belanja tidak langsung ini menjadikan masyarakat kurang bisa merasakan dampak
APBD secara optimal.
Komposisi anggaran idealnya harusnya berbalik, di mana belanja langsung
bisa lebih besar. Komposisi anggaran yang tidak ideal dapat membuat pemerintah
membiayai pembangunan infrastruktur yang dibutuhkan oleh masyarakat dalam
upaya meningkatkan pertumbuhan ekonomi, padahal dalam anggaran belanja
daerah, pemerintah daerah juga mendapatkan dukungan anggaran dari pemerintah
pusat.
Dari latar belakang diatas menjelaskan bahwa pengalokasian anggaran
belanja modal untuk kepentingan publik sangatlah penting maka dari pemanfaatan
belanja hendaknya dialokasikan untuk hal-hal produktif seperti aktivitas
pembangunan. Hasil penelitian terdahulu yang dilakukan oleh Darwanto dan
Yustikasari (2007) menunjukkan bahwa pertumbuhan ekonomi, pendapatan asli
daerah, dan dana alokasi umum berpengaruh signifikan terhadap belanja modal.
Sedangkan penelitian yang dilakukan oleh Tuasikal (2008) menunjukkan bahwa
variabel dana alokasi umum, dana alokasi khusus, pendapatan asli daerah
berpengaruh positif terhadap belanja modal, namun pendapatan domestik
regional bruto tidak berpengaruh terhadap belanja modal.
Berbeda dengan penelitian yang dilakukan Sugiartiana (2012) yang
memperoleh hasil bahwa pada variabel pertumbuhan ekonomi (PDRB)
mempunyai korelasi yang tinggi terhadap variabel independen lainnya, maka
variabel tersebut harus dihapuskan/dihilangkan, pada variabel pendapatan asli
daerah memiliki hasil bahwa variabel PAD tidak berpengaruh positif terhadap
belanja modal dan pada variabel dana alokasi umum memperoleh hasil bahwa
DAU berpengaruh positif tetapi tidak signifikan terhadap belanja modal. Dari
hasil yang berbeda yang telah dilakukan, untuk itu perlu dilakukan penelitian
kembali terhadap variabel tersebut.
Penelitian ini mengacu pada penelitian Sugiartiana (2012) yaitu untuk
membuktikan pengaruh Dana Alokasi Umum (DAU), Dana Alokasi Khusus
(DAK), Pendapatan Asli Daerah (PAD) Dan Pendapatan Domestik Regional
Bruto (PDRB) Terhadap Alokasi Belanja Modal.
Ada beberapa perbedaan dalam penelitian ini jika dibandingkan dengan
penelitian sebelumnya, dalam penelitian ini peneliti menambahkan variabel
independen yaitu Dana Alokasi Khusus (DAK). Penelitian ini dilakukan pada
lingkup lokasi yang lebih luas yaitu wilayah Provinsi Jawa Tengah. Peneliti
menggunakan periode penelitian 2010-2012, karena dengan menggunakan data
tiga tahun terakhir dari penyusunan penelitian diharapkan dapat memberikan
informasi yang relevan untuk kondisi belanja modal saat ini.
1.2 Rumusan Masalah
Pada masa pemerintahan Orde Baru, Indonesia memakai system terpusat,
dimana segala sesuatu diputuskan dan ditentukan oleh pemerintah pusat, dengan
demikian daerah-daerah wajib patuh dan tunduk pada pemerintah pusat, oleh
karena itu perkembangan daerah sangat tidak merata. Sedangkan pada masa
Reformasi bergulir, dijalankan sistem otonomi daerah dimana daerah berhak
mengaturdaerahnya sendiri dengan batasan-batasan tertentu.
Sesuai dengan amanat Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 dan
perimbangan keuangan antara pemerintah pusat dan daerah, maka Pemerintah
pusat memberikan transferkepada pemerintah daerah berupa Dana Alokasi Umum
(DAU) untuk membiayai pembangunan pemerintah daerah, disamping hal itu
Pemerintah Daerah diharapkan mampu mencari sumber dana sendiri berupa
Pendapatan Asli Daerah (PAD) untuk membantu pembiayaan pada Belanja
Daerah.
Berdasarkan pada perbedaan hasil penelitian sebelumnya (Darwanto dan
Yustikasari (2007) , Tuasikal (2008) dan Sugiartiana (2012) , serta keterbatasan
yang ditemui dalam penelitian sebelumnya, maka pertanyaan penelitian ini
dirumuskan sebagai berikut:
1. Apakah Dana Alokasi Umum (DAU) berpengaruh terhadap anggaran
belanja modal ?
2. Apakah Dana Alokasi Khusus (DAK) berpengaruh terhadap anggaran
belanja modal ?
3. Apakah Pendapatan Asli Daerah (PAD) berpengaruh terhadap anggaran
belanja modal ?
4. Apakah PDRB berpengaruh terhadap anggaran belanja modal ?
1.3 Tujuan Penelitian
Tujuan yang dicapai dalam penelitian ini adalah:
1. Memberikan bukti empiris pengaruh Dana Alokasi Umum (DAU)
2. Memberikan bukti empiris pengaruh Dana Alokasi Khusus (DAK)
terhadap anggaran belanja modal.
3. Memberikan bukti empiris pengaruh Pendapatan Asli Daerah (PAD)
terhadap anggaran belanja modal.
4. Memberikan bukti empiris pengaruh PDRB terhadap anggaran belanja
modal
1.4 Manfaat Penelitian
Dari penelitian ini diharapkan akan memberikan manfaat diantaranya :
1. Bagi Pemerintahan Daerah, penelitian ini diharapkan dapat memberikan
informasi pentingnya mengoptimalkan potensi lokal yang dimiliki daerah
untuk peningkatan kualitas pelayanan publik demi kemajuan daerah.
2. Bagi penelitian selanjutnya, sebagai sumber referensi dan informasi untuk
memungkinkan penelitian selanjutnya tentang topik ini.
3. Bagi akademik memberikan sumbangan terhadap ilmu pengetahuan untuk
dijadikan bahan pembelajaran. Serta sebagai bahan referensi dan data
tambahan bagi penelitian-penelitian lainnya yang tertarik pada bidang
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Landasan Teori
2.1.1 Teori Keagenan
Teori keagenan menyatakan bahwa hubungan keagenan merupakan
sebuah persetujuan (kontrak) di antara dua pihak, yaitu prinsipal dan agen,
dimana prinsipal memberi wewenang kepada agen untuk mengambil
keputusan atas nama prinsipal (Jensen dan Meckling, 1976 dalam McCue dan
Prier). Hubungan prinsipal dan agen terjadi apabila tindakan yang dilakukan
seseorang mempunyai pengaruh kepada yang lain yaitu ketika seseorang sangat
bergantung pada tindakan orang lain, dimana ketergantungan tersebut diwujudkan
dalam kesepakatan-kesepakatan dalam struktur institusional pada berbagai
tingkatan, seperti norma perilaku dan konsep kontrak.
Hubungan antara eksekutif/birokrasi dengan legislatif/kongres dinyatakan
sebagai self-interest model (Johnson, 1994). Dalam hubungan tersebut pihak
legislatif ingin dipilih kembali, birokrat ingin memaksimumkan anggarannya, dan
konstituen ingin memaksimumkan utilitasnya. Oleh karena itu agar legislator
terpilih kembali, mereka mencari cara dalam program dan projects yang mereka
buat supaya mereka menjadi poluler di mata konstituennya. Sebagai birokrat
dalam rangka mengembangkan agency-nya, mereka mengusulkan
program-program yang bisa mendatangkan benefit untuk pemerintah. Dalam hal tersebut
konsensus di antara legislator dan birokrat merupakan keniscayaan, bukan
pengecualian.
Scott (2000) dalam Bangun (2009) menjelaskan bahwa teori keagenan
merupakan cabang dari game theory yang mempelajari suatu model
kontraktual dimana mendorong agen untuk bertindak bagi prinsipal saat
kepentingan agen bisa saja bertentangan dengan kepentingan prinsipal.
Prinsipal pendelegasian pertanggungjawaban atas pengambilan keputusan
kepada agen, dimana wewenang dan tanggung jawab agen maupun prinsipal
diatur dalam kontrak kerja atas persetujuan bersama.
Dalam kenyataannya, wewenang yang diberikan prinsipal kepada
agen sering mendatangkan masalah karena tujuan prinsipal berbenturan
dengan tujuan pribadi agen. Dengan kewenangan yang dimiliki, manajemen bisa
bertindak dengan hanya menguntungkan dirinya sendiri dan mengorbankan
kepentingan prinsipal. Hal ini terjadi karena adanya perbedaan informasi
yang dimiliki oleh keduanya, sehingga timbul adanya asimetri informasi
(asymmetric information). Mursalim (2005) dalam Bangun (2009)
menyatakan bahwa informasi yang lebih banyak dimiliki oleh agen dapat
memicu untuk melakukan tindakan-tindakan sesuai dengan keinginan dan
kepentingan untuk memaksimalkan utiliti (self-interest). Sedangkan bagi
prinsipal akan sulit untuk mengontrol secara efektif tindakan yang dilakukan
2.1.2.Desentralisasi Fiskal di Indonesia
Menurut Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 desentralisasi adalah
penyerahan wewenang pemerintahan oleh Pemerintah kepada daerah otonom
untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dalam sistem Negara
Kesatuan Republik Indonesia. Salah satu tujuan desentralisasi dan otonomi daerah
adalah untuk menjadikan pemerintah lebih dekat dengan rakyatnya, sehingga
pelayanan pemerintah dapat dilakukan dengan lebih efisien dan efektif. Hal ini
berdasarkan asumsi bahwa pemerintah kabupaten dan kota memiliki pemahaman
yang lebih baik mengenai kebutuhan dan aspirasi masyarakat mereka daripada
pemerintah pusat.
Desentralisasi yang terfokus pada tingkat kabupaten dan kota berada pada
level ketiga setelah pemerintah pusat dan provinsi. Beberapa pengamat
menyarankan bahwa desentralisasi harus dilaksanakan pada tingkat provinsi
karena provinsi dianggap lebih memiliki kapasitas yang besar untuk menangani
seluruh tanggung jawab yang dilimpahkan dari pada kabupaten dan kota.
Walaupun demikian, sudah tidak menjadi rahasia umum bahwa pemerintah pusat
merasa tidak diuntungkan secara politis jika harus membentuk pemerintahan
otonom provinsi yang kuat.
Menurut pasal 14 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004, urusan wajib
yang menjadi kewenangan pemerintahan daerah untuk kabupaten/kota merupakan
urusan yang berskala kabupaten/kota meliputi:
a. Perencanaan dan pengendalian pembangunan;
c. Penyelenggaraan ketertiban umum dan ketentraman masyarakat;
d. Penyediaan sarana dan prasarana umum;
e. Penanganan bidang kesehatan;
f. Penyelenggaraan pendidikan;
g. Penanggulangan masalah sosial;
h. Pelayanan bidang ketenagakerjaan;
i. Fasilitasi pengembangan koperasi, usaha kecil dan menengah;
j. Pengendalian lingkungan hidup;
k. Pelayanan pertanahan;
l. Pelayanan kependudukan, dan catatan sipil;
m. Pelayanan administrasi umum pemerintahan;
n. Pelayanan administrasi penanaman modal;
o. Penyelenggaraan pelayanan dasar lainnya; dan
p. Urusan wajib lainnya yang diamanatkan oleh peraturan perundang-undangan.
Urusan pemerintahan kabupaten/kota yang bersifat pilihan meliputi urusan
pemerintahan yang secara nyata ada dan berpotensi untuk meningkatkan
kesejahteraan masyarakat sesuai dengan kondisi, kekhasan, dan potensi unggulan
daerah yang bersangkutan.
Pada hakikatnya, terdapat tiga prinsip dalam implementasi otonomi daerah
di Indonesia (Sri Rahayu, 2010), yaitu:
1. Desentralisasi, yaitu adalah penyerahan wewenang pemerintahan oleh
Pemerintah kepada kabupaten/kota sehingga otonomi lebih dititik beratkan
2. Dekonsentrasi adalah pelimpahan wewenang pemerintahan oleh Pemerintah
kepada Gubernur sebagai wakil pemerintah dan/atau kepada instansi vertikal di
wilayah tertentu.
3. Tugas pembantuan, adalah penugasan dari pemerintah kepada daerah dan/atau
desa dan pemerintah provinsi kepada kabupaten/kota dan/atau desa serta dari
pemerintah kabupaten/kota kepada desa untuk melaksanakan tugas tertentu.
2.1.3. Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD)
Pembentukan pemerintahan di daerah pada prinsipnya adalah untuk lebih
memberdayakan peran serta pemerintah dan masyarakat di daerah dalam
pembangunan wilayah. Mardiasmo (2004:59) menyatakan bahwa tujuan utama
penyelenggaraan otonomi daerah adalah untuk meningkatkan pelayanan publik
dan memajukan perekonomian daerah.
Pada Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 Pasal 16 tentang Keuangan
Negara disebutkan bahwa:
1. APBD merupakan pengelolaan keuangan daerah yang ditetapkan setiap tahun
dengan peraturan Daerah.
2. APBD terdiri atas Anggaran Pendapatan, Anggaran Belanja, dan Pembiayaan.
3. Pendapatan Daerah berasal dari Pendapatan Asli Daerah.
4. Belanja Daerah dirinci menurut organisasi, fungsi, dan jenis belanja.
Menurut Permendagri Nomor 32 Tahun 2008 Pasal 1 ayat 1 tentang
Pedoman Penyusunan APBD Tahun Anggaran 2009 menyebutkan bahwa
tahunan pemerintahan daerah yang dibahas dan disetujui bersama oleh pemerintah
daerah dan DPRD, dan ditetapkan dengan peraturan daerah. Menurut Permendagri
Nomor 13 Tahun 2006 Pasal 22 ayat 1, struktur APBD merupakan satu kesatuan
yang terdiri dari: Pendapatan Daerah, Belanja Daerah, dan Pembiayaan Daerah.
Halim (2007) menyatakan bahwa APBD merupakan rencana kerja
pemerintah daerah yang diwujudkan dalam bentuk uang (rupiah) selama periode
waktu tertentu (satu tahun) serta merupakan salah satu instrument utama
kebijakan dalam upaya peningkatan pelayanan umum dan kesejahteraan
masyarakat di daerah. Anggaran daerah digunakan sebagai alat untuk menentukan
besar pendapatan dan pengeluaran, membantu dalam pengambilan keputusan dan
perencanaan pembangunan, otorisasi pengeluaran di masa-masa yang akan
datang, sumber pengembangan ukuran-ukuran standar untuk evaluasi kinerja, alat
untuk memotivasi para pegawai, dan alat koordinasi bagi semua aktivitas dari
berbagai unit kerja.
Pertanggungjawaban keuangan daerah merupakan tanggung jawab Kepala
Daerah atas pelaksanaan APBD sebagaimana dalam Undang-Undang Nomor 17
Tahun 2003 dan Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 2005. Pada
Undang-Undang Nomor 17 pasal 6 Tahun 2003 presiden selaku kepala pemerintahan
memegang kekuasaan pengelolaan keuangan negara sebagai bagian dari
kekuasaan pemerintahan. Kekuasaan itu antara lain: diserahkan kepada Bupati
selaku kepala pemerintahan daerah untuk mengelola keuangan daerah dan
mewakili pemerintah daerah dalam kepemilikan kekayaan daerah yang
dalam organisasi pemerintahan. Struktur organisasi satuan kerja menunjukkan
tanggung jawab setiap pelaksana anggaran. Setiap pelaksana bertanggung jawab
untuk menyiapkan dan mengelola elemen anggarannya masing - masing.
Kepala SKPD (Satuan Kerja Perangkat Daerah) selaku Pengguna Anggaran
menyusun Laporan Keuangan sebagai pertanggungjawaban pelaksanaan APBD
pada Satuan Kerja Perangkat Daerah yang bersangkutan. Laporan keuangan
tersebut harus disampaikan oleh Kepala SKPD kepada Pejabat Pengelola
Keuangan Daerah (PPKD) selaku Bendahara Umum Daerah yang menyusun
laporan keuangan sebagai pertanggungjawaban pengelolaan perbendaharaan
daerah. Laporan Keuangan tersebut oleh PPKD disampaikan kepada
Gubernur/Bupati/Walikota untuk memenuhi pertanggungjawaban pelaksanaan
APBD. Selanjutnya laporan keuangan pemerintah daerah ini disampaikan oleh
Gubernur/Bupati/Walikota kepada Badan Pemeriksa Keuangan (BPK)
selambat-lambatnya 3 (tiga) bulan setelah tahun anggaran berakhir.
Penyusunan APBD merupakan kegiatan pertama dan utama dalam proses
anggaran. Proses penyususnan anggaran dimulai dari eksekutif dalam hal ini
Bappeda, Dinas Keuangan dan BPKD. Biro Keuangan serta institusi yang terkait
dalam perencanaan pembuatan draf/ rancangan oleh suatu komite atau panitia
yang kemudian akan diserahkan kepada legislatif untuk dibahas dan disepakati
bersama pemerintah. Dalam perspektif keagenan, hal ini merupakan bentuk
kontrak (incomplete contract), yang menjadi alat bagi legislatif untuk mengawasi
Pengalokasian sumber daya ke dalam belanja modal (capital expenditure)
merupakan sebuah proses yang sarat dengan kepentingan-kepentingan politis.
Anggaran yang diberikan pemerintah daerah secara cuma-cuma dimaksudkan
untuk memenuhi kebutuhan publik akan sarana dan prasarana umum. Namun,
adanya kepentingan politik dari lembaga legislatif yang terlibat dalam proses
penyusunan anggaran menyebabkan alokasi belanja modal terdistorsi dan sering
tidak efektif dalam memecahkan permasalahan di masyarakat (Keefer dan
Khemani, 2003 dalam Putro, 2010). Dalam konteks pengelolaan keuangan daerah,
anggaran belanja modal sangat berkaitan dengan perencanaan keuangan jangka
panjang, terutama pembiayaan untuk pemeliharaan aset tetap yang dihasilkan dari
belanja modal tersebut. Hal ini berarti bahwa kebijakan belanja modal harus
memperhatikan kemanfaatan (usefulness) dan kemampuan keuangan pemerintah
daerah (budget capability) dalam pengelolaan aset tersebut.
2.1.4. Dana Alokasi Umum
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004, Dana Alokasi Umum
merupakan dana yang bersumber dari pendapatan APBN yang dialokasikan
dengan tujuan pemerataan kemampuan keuangan antar daerah untuk mendanai
kebutuhan daerah dalam rangka pelaksanaan desentralisasi.
Dana Alokasi Umum (DAU) merupakan salah satu alat bagi pemerintah
pusat untuk mewujudkan pemerataan pembangunan di Indonesia dengan tujuan
mengurangi ketimpangan dalam kebutuhan pembiayaan dan penguasaan pajak
antara Pusat dan Daerah (dengan kebijakan bagi hasil dan DAU minimal sebesar
25% dari Penerimaan Dalam Negeri).
Dengan perimbangan tersebut, khususnya dari DAU akan memberikan
kepastian bagi Daerah dalam memperoleh sumber-sumber pembiayaan untuk
membiayai kebutuhan pengeluaran yang menjadi tanggung jawabnya. Hal ini
sesuai dengan prinsip fiscal gap yang dirumuskan oleh Direktorat Jenderal
Perimbangan Keuangan Departemen Keuangan yang sejalan dengan
Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan Antara
Pemerintah Pusat dan Daerah bahwa kebutuhan DAU oleh suatu Daerah
(Propinsi, Kabupaten dan Kota) ditentukan dengan menggunakan pendekatan
konsep fiscal gap, di mana kebutuhan DAU suatu daerah ditentukan oleh
kebutuhan daerah (fiscal needs) dan potensi daerah (fiscal capacity). Dengan
begitu DAU dapat digunakan untuk menutup celah/gap yang terjadi karena
kebutuhan daerah melebihi dari potensi penerimaan daerah yang ada. Berdasarkan
konsep fiscal gap tersebut, distribusi DAU kepada daerah-daerah yang memiliki
kemampuan relatif besar akan lebih kecil dan sebaliknya daerah-daerah yang
mempunyai kemampuan keuangan relatif kecil akan memperoleh DAU yang
relatif besar. Dengan konsep ini beberapa daerah, khususnya daerah yang kaya
sumber daya alam dapat memperoleh DAU yang negatif.
Dalam pengaturan keuangan menurut Undang-Undang Nomor 25 Tahun
1999 adalah provisi berupa transfer antar pemerintah dari pusat ke kabupaten dan
kota yang disebut dengan dana alokasi umum dan dana alokasi khusus. Dana
diberikan kepada semua kabupaten dan kota untuk tujuan mengisi kesenjangan
antara kapasitas dan kebutuhan fiskalnya dan didistribusikan dengan formula
berdasarkan prinsip-pinsip tertentu yang secara umum mengindikasikan bahwa
daerah miskin dan terbelakang harus menerima lebih banyak dari pada daerah
yang kaya. Dengan kata lain tujuan alokasi DAU adalah dalam rangka pemerataan
kemampuan penyediaan pelayanan publik antar Pemerintah Daerah di Indonesia
(Kuncoro, 2004).
DAU yang dibagikan kepada daerah berasal dari APBN dengan tujuan
untuk pemerataan kemampuan keuangan antar daerah dan nilainya minimum 25%
dari anggaran rutin dalam APBN. Dana ini dialokasikan 10% untuk provinsi dan
90% untuk Kabupaten / Kota.
Hal tersebut bertujuan untuk pemerataan kemampuan keuangan antar
daerah dalam mengurangi ketimpangan kemampuan keuangan antar daerah
melalui penetapan formula yang mempertimbangkan kebutuhan dan potensi
daerah. DAU suatu daerah ditentukan atas besar kecilnya celah fiskal yang
merupakan selisih antara kebutuhan daerah dan potensi daerah. Dalam penjelasan
Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 ditegaskan kembali mengenai formula
celah fiskal dan penambahan variabel DAU. Alokasi DAU bagi daerah yang
potensi fiskalnya besar tetapi kebutuhan fiskal kecil akan memperoleh alokasi
DAU relatif kecil begitu pula sebaliknya. Secara implisit, prinsip tersebut
2.1.5.Dana Alokasi Khusus
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004, Dana Alokasi
Khusus merupakan dana yang bersumber dari APBN yang dialokasikan
kepada daerah tertentu dengan tujuan untuk membantu mendanai kegiatan khusus
yang merupakan urusan daerah dan sesuai dengan prioritas nasional. Dalam
website www.depkeu.djpk.go.id kebijakan DAK bertujuan :
1. Diprioritaskan untuk membantu daerah-daerah dengan kemampuan keuangan
di bawah rata-rata nasional, dalam rangka mendanai kegiatan penyediaan
sarana dan prasarana fisik pelayanan dasar masyarakat yang telah merupakan
urusan daerah.
2. Menunjang percepatan pembangunan sarana dan prasarana di daerah pesisir
dan pulau-pulau kecil, daerah perbatasan dengan negara lain, daerah
tertinggal/ terpencil, daerah rawan banjir/longsor, serta termasuk kategori
daerah ketahanan pangan dan daerah pariwisata.
3. Mendorong peningkatan produktivitas perluasan kesempatan kerja dan
diversifikasi ekonomi terutama di pedesaan, melalui kegiatan khusus di
bidang pertanian, kelautan dan perikanan, serta infrastruktur.
4. Meningkatkan akses penduduk miskin terhadap pelayanan dasar dan
prasarana dasar melalui kegiatan khusus di bidang pendidikan, kesehatan, dan
infrastruktur.
5. Menjaga dan meningkatkan kualitas hidup, serta mencegah kerusakan
lingkungan hidup, dan mengurangi risiko bencana melalui kegiatan
meningkatkan cakupan dan kehandalan pelayanan sarana dan prasarana
dasar dalam satu kesatuan sistem yang terpadu melalui kegiatan khusus di
bidang infrastruktur.
6. Mendukung penyediaan prasarana di daerah yang terkena dampak
pemekaran pemerintah kabupaten, kota, dan provinsi melalui kegiatan
khusus di bidang prasarana pemerintahan.
7. Meningkatkan keterpaduan dan sinkronisasi kegiatan yang didanai dari
DAK dengan kegiatan yang didanai dari anggaran Kementerian/ Lembaga
dan kegiatan yang didanai dari APBD.
8. Mengalihkan secara bertahap dana dekonsentrasi dan tugas pembantuan
yang digunakan untuk mendanai kegiatan-kegiatan yang telah menjadi urusan
daerah ke DAK. Dana yang dialihkan berasal dari anggaran Departemen
Pekerjaan Umum, Departemen Pendidikan Nasional dan Departemen
Kesehatan.
Pemanfaatan DAK diarahkan pada kegiatan investasi pembangunan,
pengadaan, peningkatan, dan perbaikan sarana dan prasarana fisik dengan
umur ekonomis yang panjang, termasuk pengadaan sarana fisik penunjang.
Dengan adanya pengalokasian DAK diharapkan dapat mempengaruhi
pengalokasian anggaran belanja modal, karena DAK cenderung akan
menambah aset tetap yang dimiliki pemerintah guna meningkatkan pelayanan
2.1.6.Pendapatan Asli Daerah
Menurut Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 pasal 1, “Pendapatan
Asli Daerah adalah penerimaan yang diperoleh daerah dari sumber-sumber di
dalam daerahnya sendiri yang dipungut berdasarkan peraturan daerah sesuai
dengan peraturan perundang- undangan yang berlaku”. Pendapatan Asli Daerah
merupakan sumber penerimaan daerah yang asli digali di daerah yang digunakan
untuk modal dasar pemerintah daerah dalam membiayai pembangunan dan
usaha-usaha daerah untuk memperkecil ketergantungan dana dari pemerintah pusat.
Pendapatan Asli Daerah (PAD) sebagaimana dimaksud dalam pasal 3 huruf
(a) Undang-Undang Nomor 25 tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan antara
Pemerintah Pusat dan Daerah, menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan
Pendapatan Asli Daerah (PAD) adalah penerimaan yang diperoleh dari
sumber-sumber dalam wilayahnya sendiri, yang dipungut berdasarkan peraturan daerah
dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Dari pengertian tersebut
dapat diambil kesimpulan bahwa Pendapatan Asli Daerah (PAD) adalah sejumlah
nilai uang yang diterima dari masyarakat/sumber-sumber dalam wilayahnya
sendiri selama tahun takwim (kalender), guna membiayai setiap
pengeluaran-pengeluaran baik pengeluaran-pengeluaran rutin dan selebihnya dipergunakan untuk biaya
pembangunan sesuai dengan peraturan perundangan yang berlaku.
Pasal 157 Undang Nomor 32 Tahun 2004 dan pasal 6
Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 menjelaskan bahwa sumber Pendapatan Asli
Daerah terdiri: Pajak Daerah, Retribusi Daerah, Hasil pengelolaan kekayaan
1. Pajak Daerah
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2000 tentang
Perubahan atas Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1997 tentang Pajak Daerah
dan retribusi Daerah, yang dimaksud dengan “Pajak Daerah yang selanjutnya
disebut pajak, adalah iuran wajib yang dilakukan oleh orang pribadi atau
badan kepada Daerah tanpa imbalan langsung yang seimbang, yang dapat
dipaksakan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, yang
digunakan untuk membiayai penyelenggaraan pemerintahan Daerah,
pembangunan Daerah.
Tarif pajak untuk daerah Tingkat I diatur dengan peraturan
pemerintah dan penetapannya seragam diseluruh Indonesia. Sedang untuk
daerah Tingkat II, selanjutnya ditetapkan oleh peraturan daerah
masing-masing dan peraturan daerah tentang pajak tidak dapat berlaku surut.
Memperhatikan sumber pendapatan asli daerah sebagaimana diatas, terlihat
bahwa sumber pendapatan daerah berupa pajak daerah sangat bervariasi.
2. Retribusi Daerah
Di samping pajak daerah, sumber pendapatan asli daerah yang cukup
besar peranannya dalam menyumbang pada terbentuknya pendapatan asli
daerah adalah retribusi daerah. Retribusi daerah merupakan salah satu jenis
penerimaan daerah yang dipungut sebagai pembayaran atau imbalan langsung
atas pelayanan yang diberikan oleh pemerintah daerah kepada masyarakat.
Retribusi Daerah, yang dimaksud dengan retribusi adalah pungutan daerah
sebagai pembayaran jasa atau pemberian izin tertentu yang khusus
disediakan dan atau diberikan oleh Pemerintah Daerah (Pemda) oleh
kepentingan orang pribadi atau badan.
Jadi dalam hal retribusi daerah balas jasa dengan adanya retribusi
daerah tersebut dapat langsung ditunjuk. Misalnya retribusi jalan, karena
kendaraan tertentu memang melewati jalan di mana retribusi jalan itu dipungut,
retribusi pasar dibayar karena ada pemakaian ruangan pasar tertentu oleh si
pembayar retribusi. Tarif retribusi bersifat fleksibel sesuai dengan tujuan
retribusi dan besarnya biaya yang dikeluarkan oleh pemerintah daerah
masing-masing untuk melaksanakan atau mengelola jenis pelayanan publik di daerahnya.
Semakin efisien pengelolaan pelayanan publik di suatu daerah, maka
semakin kecil tarif retribusi yang dikenakan. Jadi sesungguhnya dalam hal
pemungutan iuran retribusi itu dianut asas manfaat (benefit principles). Dalam
asas ini besarnya pungutan ditentukan berdasarkan manfaat yang diterima
oleh si penerima manfaat dari pelayanan yang diberikan oleh pemerintah.
Namun yang menjadi persoalannya adalah dalam menentukan berapa besar
manfaat yang diterima oleh orang yang membayar retribusi tersebut dan
3. Hasil Perusahaan Milik Daerah dan Hasil Pengelolaan Milik Daerah
Yang Dipisahkan
Hasil Perusahaan Milik Daerah dan Hasil Pengelolaan Kekayaan Daerah
Lainnya yang Dipisahkan Penerimaan PAD lainnya yang menduduki peran
penting setelah pajak daerah dan retribusi daerah adalah bagian Pemerintah
Daerah atas laba BUMD. Tujuan didirikannya BUMD adalah dalam rangka
menciptakan lapangan kerja atau mendorong pembangunan ekonomi daerah.
Selain itu, BUMD merupakan cara yang lebih efisien dalam melayani
masyarakat, dan merupakan salah satu sumber pendapatan daerah. Jenis
pendapatan yang termasuk hasil-hasil pengelolaan kekayaan daerah lainnya
yang dipisahkan, antara lain laba, dividen, dan penjualan saham milik daerah.
4. Lain-Lain Pendapatan Asli Daerah Yang Sah
Hasil usaha daerah lain dan sah adalah Pendapatan Asli daerah (PAD)
yang tidak termasuk kategori pajak, retribusi dan perusahaan daerah (BUMD).
Lain-lain pendapatan asli daerah yang sah, antara lain hasil penjualan aset
tetap daerah dan jasa giro
Realitas hubungan fiskal antara pusat dan daerah ditandai dengan
tingginya kontrol pusat terhadap proses pembangunan daerah. Ini jelas terlihat
dari rendahnya proporsi PAD terhadap total pendapatan daerah dibanding
besarnya subsidi yang diberikan dari pusat. Indikator desentralisasi fiskal adalah
daerah, retribusi daerah, penerimaan dari dinas, laba bersih dari perusahaan daerah
(BUMD) dan penerimaan lain –lain.
2.1.7. Produk Domestik Regional Bruto
Proses pembangunan mencakup perubahan pada komposisi produksi,
perubahan pada pola penggunaan (alokasi) sumber daya produksi diantara
sektor-sektor kegiatan ekonomi, perubahan pada pola distribusi kekayaan dan
pendapatan diantara berbagai golongan pelaku ekonomi, perubahan pada kerangka
kelembagaan dalam kehidupan masyarakat secara menyeluruh. Pertumbuhan
ekonomi adalah proses kenaikan output perkapita diproduksi dengan Produk
Domestik Regional Bruto (PDRB) perkapita. Boediono (dalam Putro, 2010)
menyatakan, bahwa pertumbuhan ekonomi adalah proses kenaikan output dalam
jangka panjang. Pemakaian indikator pertumbuhan ekonomi akan dilihat dalam
kurun waktu yang cukup lama, misalnya sepuluh, dua puluh, lima puluh tahun
atau bahkan lebih. Pertumbuhan ekonomi akan terjadi artinya harus berasal dari
kekuatan yang ada di dalam perekonomian itu sendiri.
Ukuran yang paling penting dalam konsep ekonomi adalah produk domestik
bruto (PDB) yang mengukur total nilai barang dan jasa yang dihasilkan pada suatu
negara atau nasional dan PDRB untuk mengukur total nilai barang dan jasa yang
dihasilkan pada suatu daerah atau lokal. PDB digunakan untuk banyak tujuan
tetapi yang paling penting adalah untuk mengukur ke seluruh performa dari suatu
Blakely (1994) dalam Darwanto dan Yustikasari (2007) mengemukakan
akan pentingnya peran pemerintah, dengan mengemukakan sejumlah faktor yang
mempengaruhi pembangunan daerah. Faktor-faktor tersebut adalah sumber daya
alam, tenaga kerja, investasi modal, kewirausahaan, transportasi, komunikasi,
komposisi sektor industri, teknologi, pasar ekspor, situasi perekonomian
internasional, kapasitas pemerintah daerah, pengeluaran pemerintah dan dukungan
pembangunan. Berdasarkan uraian tersebut disimpulkan semakin tinggi tingkat
pertumbuhan perekonomian tentu akan mengakibatkan bertumbuhnya investasi
modal swasta maupun pemerintah. Hal inilah mengakibatkan pemerintah lebih
leluasa dalam menyusun anggaran belanja modal.
Menurut pandangan tokoh ekonom klasik (Adam Smith, David Ricardo,
Thomas Robert Malthis, dan John Stuart Mill), maupun ekonom neoklasik
(Robert M.Solow, J.R Hicks, Irving Fisher dan Gossen), pada dasarnya ada empat
faktor yang mempengaruhi pertumbuhan ekonomi, yaitu (1) jumlah penduduk, (2)
jumlah stok barang modal, (3) luas tanah dan kekayaan alam, (4) tingkat
teknologi yang digunakan (Sanusi, 2004). Suatu perekonomian dikatakan
mengalami pertumbuhan atau berkembang apabila tingkat kegiatan ekonominya
lebih tinggi dibanding apa yang dicapai pada masa sebelumnya.
Menurut Boediono (1985) dalam Prathama dan Mandala (2005),
pertumbuhan ekonomi adalah proses kenaikan output perkapita dalam jangka
panjang. Disini, proses mendapat penekanan karena mengandung unsur dinamis.
Para teoretikus ilmu ekonomi pembangunan masa kini, masih terus
teoretikus tersebut menyatakan bahwa pertumbuhan ekonomi tidak hanya diukur
dengan pertambahan PBD dan PDRB saja, tetapi juga diberi bobot yang bersifat
immaterial seperti kenikmatan, kepuasan, kebahagiaan, rasa aman, dan tentram
yang dirasakan masyarakat luas (Arsyad, 1999).
PDB adalah total output (produksi) yang dihasilkan oleh suatu
perekonomian. Cara perhitungan dalam praktiknya adalah dengan membagi-bagi
perekonomian menjadi beberapa sektor produksi (industrial origin). Jumlah output
masing -masing sektor merupakan jumlah output seluruh perekonomian. Hanya
saja, ada kemungkinan bahwa output yang dihasilkan suatu sektor perekonomian
berasal dari output sektor lain. Atau bisa juga merupakan input bagi sektor
ekonomi juga atau lain lagi.
Dengan kata lain, jika tidak berhati-hati akan terjadi perhitungan ganda
(double counting) atau bahkan multiple counting. Akibatnya PDB bisa
menggelembung beberapa kali lipat dari angka yang sebenarnya. Untuk
menghindarkan hal diatas maka dalam perhitungan PDB dengan metode produksi
yang dijumlahkan adalah nilai tambah ( value added ) masing-masing sektor.
Yang dimaksud nilai tambah adalah selisih antara nilai output dengan nilai
input antara .
Dimana :
NT = Nilai Tambah
NO = Nilai Output
NI = Nilai Input antara
Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) adalah jumlah nilai tambah
bruto yang timbul dari sektor perekonomian di wilayah itu. Yang dimaksud
dengan nilai tambah bruto adalah nilai produk (output) dikurangi 1 (satu) dengan
biaya antara. Nilai tambah bruto mencakup komponen-komponen faktor
pendapatan (upah dan gaji) bunga sewa, tanah dan keuntungan. Dengan
menghitung nilai tambah tersebut dapat diketahui jumlah PDRB nya.
2.1.8.Pengalokasian Anggaran Belanja Modal
Dalam rangka mewujudkan pelayanan publik kepada masyarakat, setiap
Pemerintah Daerah perlu menyusun prioritas belanja modaldan perencanaan yang
baik sehingga dapat menjadi kunci untuk menyiasati kendala yang dihadapi.
Menurut Peraturan Pemerintah Nomor 71 Tahun 2010 tentang Standar
Akuntansi Pemerintahan, belanja modal merupakan pengeluaran yang dilakukan
dalam rangka pembentukan modal yang sifatnya menambah aset tetap/inventaris
yang memberikan manfaat lebih dari satu periode akuntansi, termasuk di
dalamnya adalah pengeluaran untuk biaya pemeliharaan yang sifatnya
mempertahankan atau menambah masa manfaat, serta meningkatkan kapasitas
dan kualitas aset.
Aset tetap yang dimiliki pemerintah daerah merupakan akibat adanya
belanja modal menjadi syarat utama dalam memberikan pelayanan publik.
Dalam meningkatkan kuantitas aset tetap, pemerintah daerah mengalokasikan
dana dalam bentuk anggaran belanja modal dalam APBD, yang setiap tahunnya
dan pelayanan publik yang dapat memberikan dampak jangka panjang secara
finansial.
Kualitas pelayanan publik dapat diperbaiki dengan melakukan perbaikan
manajemen kualitas jasa (service quality management), yaitu upaya
meminimalisi kesenjangan (gap) antara tingkat layanan dengan harapan
konsumen (Bastian, 2010). Dengan demikian, Pemerintah Daerah harus
mampu mengalokasikan anggaran belanja modal dengan baik karena belanja
modal merupakan salah satu langkah bagi Pemerintah Daerah untuk memberikan
pelayanan kepada publik.
Dalam mewujudkan pelayanan publik yang baik dapat dilihat dari
optimalisasi penerimaan PAD yang hendaknya didukung dengan upaya
Pemerintah Daerah dengan meningkatkan kualitas layanan publik. Eksploitasi
PAD yang berlebihan justru akan semakin membebani masyarakat, menjadi
disinsentif bagi daerah dan mengancam perekonomian secara makro (Mardiasmo
dalam Tuasikal, 2008).
Untuk dapat meningkatkan pengalokasian belanja modal, maka perlu
diketahui variabel-variabel yang berpengaruh terhadap pengalokasian belanja
modal, seperti pertumbuhan ekonomi, Pendapatan Asli Daerah (PAD), Dana
Alokasi Umum (DAU), dan Dana Alokasi Khusus (DAK}
2.2 Penelitian Terdahulu
Beberapa penelitian sebelumnya yang berkaitan dengan variabel yang
Tabel 2.1 Penelitian Sebelumnya
NO Peneliti dan Tahun Variabel HASIL
1 Syukriy Abdullah dan Abdul Halim (2004)
Dana Alokasi Umum Dana Alokasi Umum berpengaruh signifikan
Dana Alokasi Umum Dana Alokasi Umum berpengaruh terhadap
Dana Alokasi Umum Dana Alokasi Umum berpengaruh positif tetapi tidak signifikan terhadap Belanja Modal
Belanja Modal
NO Peneliti dan Tahun Variabel HASIL
berpengaruh positif terhadap Belanja Modal
Dana Alokasi Khusus Dana Alokasi Khusus
berpengaruh positif terhadap
2.3 Hubungan Logis Antara Variabel dan Perumusan Hipotesis
2.3.1 Hubungan Antara DAU Terhadap Pengalokasian Anggaran Belanja
Modal
pelayanan kepada publik yang direalisasikan melalui belanja modal (Solikin,
2010). Hasil penelitian Darwanto dan Yustikasari (2007) menyatakan bahwa
terdapat hubungan positif dan signifikan antara DAU dengan belanja modal.
Penelitian Harianto dan Adi (2007) semakin memperkuat bukti empiris
tersebut. Mereka menemukan bahwa kemandirian daerah tidak menjadi lebih
baik, bahkan yang terjadi adalah sebaliknya yaitu ketergantungan pemerintah
daerah terhadap transfer pemerintah pusat (DAU) menjadi semakin tinggi.
Hal ini memberikan adanya indikasi kuat bahwa perilaku belanja daerah
Berbagai pemaparan di atas dapat disimpulkan semakin tinggi DAU maka
alokasi belanja modal juga meningkat. Hal ini disebabkan karena daerah yang
memiliki pendapatan (DAU) yang besar maka alokasi untuk anggaran belanja
daerah (belanja modal) akan meningkat. Untuk itu hipotesis pertama yang
dihasilkan adalah sebagai berikut:
H1 : DAU berpengaruh positif terhadap pengalokasian Anggaran Belanja
Modal
2.3.2 Hubungan Antara DAK Terhadap Pengalokasian Anggaran Belanja
Modal
Dana perimbangan merupakan perwujudan hubungan keuangan antara
pemerintah pusat dengan daerah. Salah satu dana perimbangan adalah Dana
Alokasi Khusus, DAK merupakan dana yang bersumber dari APBN yang
dialokasikan kepada pemerintah daerah untuk membiayai kegiatan khusus
yang merupakan urusan daerah dan prioritas nasional. Tujuan DAK untuk
mengurangi beban biaya kegiatan khusus yang harus ditanggung oleh
pemerintah daerah. Pemanfaatan DAK diarahkan kepada kegiatan investasi
pembangunan, pengadaan, peningkatan perbaikan sarana dan prasarana fisik
pelayanan publik dengan umur ekonomis panjang. Dengan diarahkannya
pemanfaatan DAK untuk kegiatan tersebut diharapkan dapat meningkatkan
pelayanan publik yang direalisasikan dalam belanja modal. Selain itu ada yang
berpendapat bahwa Dana Alokasi Khusus merupakan salah satu sumber
pendanaan untuk belanja modal. Hal ini mengindikasikan bahwa terdapat
dengan alokasi anggaran pengeluaran daerah melalui belanja modal.
Berdasarkan landasan teori dan hasil penelitian sebelumnya tersebut maka
menghasilkan hipotesis sebagai berikut:
H2 : DAK berpengaruh positif terhadap pengalokasian Anggaran Belanja
Modal
2.3.3 Hubungan Antara PAD Terhadap Pengalokasian Anggaran Belanja
Modal
Kewenangan pemerintah daerah dalam pelaksanakan kebijakannya sebagai
daerah otonomi sangat dipengaruhi oleh kemampuan daerah tersebut dalam
menghasilkan pendapatan daerah. Semakin besar pendapatan asli daerah
yang diterima, maka semakin besar pula kewenangan pemerintah daerah tersebut
dalam melaksanakan kebijakan otonomi. Pelaksanaan otonomi daerah
bertujuan untuk meningkatkan pelayanan publik dan memajukan perekonomian
daerah. Salah satu cara untuk meningkatkan pelayanan publik dengan
melakukan belanja untuk kepentingan investasi yang direalisasikan melalui
belanja modal (Solikin, 2010).
Menurut Mardiasmo (2004), Pendapatan Asli Daerah adalah penerimaan
daerah dari sektor pajak daerah, retribusi daerah, hasil perusahaan milik
daerah, hasil pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan, dan lain-lain
Pendapatan Asli Daerah yang sah. Belanja Modal adalah pengeluaran
anggaran untuk perolehan aset tetap dan aset lainnya yang memberi manfaat lebih
untuk perolehan tanah, gedung dan bangunan, peralatan dan aset tak
berwujud (Halim, 2004).
Darwanto (2007) menyatakan bahwa Pendapatan Asli Daerah berpengaruh
positif dan signifikan terhadap alokasi belanja modal. Temuan ini dapat
mengindikasikan bahwa besarnya PAD menjadi salah satu faktor penentu
dalam menentukan belanja modal. Hal ini sesuai dengan Peraturan
Pemerintah Nomor 58 Tahun 2005 yang menyatakan bahwa APBD disusun
sesuai dengan kebutuhan penyelenggaraan pemerintah dan kemampuan daerah
dalam menghasilkan pendapatan. Setiap penyusunan APBD, alokasi belanja
modal harus disesuaikan dengan kebutuhan daerah dengan
mempertimbangkan PAD yang diterima. Sehingga apabila Pemerintah Daerah
ingin meningkatkan belanja modal untuk pelayanan publik dan kesejahteraan
masyarakat, maka Pemerintah Daerah harus menggali PAD yang
sebesar-besarnya. Berdasarkan landasan teori dan beberapa hasil penelitian diatas
maka hipotesis berikutnya adalah sebagai berikut :
H3 : PAD berpengaruh positif terhadap pengalokasian Anggaran Belanja Modal
2.3.4 Hubungan Antara PDRB Terhadap Pengalokasian Anggaran Belanja Modal
Kebijakan otonomi daerah merupakan kewenangan yang diberikan kepada
pemerintah daerah untuk mengatur dan mengurus tiap-tiap daerah. Hal ini
mendorong pemerintah daerah untuk mempercepat terwujudnya kesejahteraan
masyarakat melalui peningkatan pelayanan, pemberdayaan dan peran serta