• Tidak ada hasil yang ditemukan

HAK LINTAS DAMAI RIGHT OF INNOCENT PASSA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "HAK LINTAS DAMAI RIGHT OF INNOCENT PASSA"

Copied!
13
0
0

Teks penuh

(1)

HAK LINTAS DAMAI (“RIGHT OF INNOCENT PASSAGE”) DALAM PENGATURAN HUKUM LAUT INTERNASIONAL

ROSMI HASIBUAN, SH.MH Fakultas Hukum

Jurusan Hukum Internasional Universitas Sumatera Utara

ABSTRAKSI

Konsepsi hak lintas damai (“right of innocent passage”) bermula lahir dalam praktek negara-negara di Eropa sesudah abad pertengahan, dan dalam perkembangannya mendapat perumusan dalam KHL 1958. Hak lintas damai, yaitu hak semua negara untuk melintasi atau melayarkan kapalnya melalui perairan laut teritorial suatu Negara pantau sesuai dengan ketentuan Hukum Laut Internasional dan peraturan perundang-undangan Negara Pantai.

Dengan diterimanya konsepsi Negara Kepulauan dalam KHL 1982, maka hak lintas damai tidak saja di laut teritorial suatu Negara pantai, tetap juga diperairan kepulauan suatu Negara Kepulauan.

Di Indonesia mengenai hak lintas damai diatur dalam pasal 3 UU No. 4/Prp/1960 Tentang Perairan Indonesia dengan peraturan pelaksana PP No. 8 Tahun 1962 tentang Hak Lintas Damai Bagi Kapal Asing. Dengan diterimanya konsepsi Negara Kepulauan dalam KHL 1982, maka Negara Nusantara (Negara Kepulauan)Indonesia mendapat pengakuan secara internasional.

Setelah Indonesia meratifikasi KHL 1982 melalui UU No. 17 Tahun 1985, maka Indonesia mencabut UU No. 4/Prp/1960 diganti dengan UU No. 6 Tahun 1996 Tentang Perairan Indonesia. Sedangkan peraturan pelaksdana mengenai hak lintas damai sebelum diganti yang baru masih tetap berlaku peraturan yang lama, yaitu PP No. 8 Tahun 1962, sepanjang tidak bertentangan dengan UU No. 6 Tahun 1996.

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

(2)

Setelah runtuhnya kerajaan Roma, negara-negara di sekitar Laut Tengah mulai mengklaimlaut-laut yang berbatasan dengan pantai mereka. Antara lain “Venetia” menuntut sebahagian dari Laut Adriatik dan tuntutan ini diakui oleh Paus Alexander III Tahun 1177. Sedangkan “Genoa” menuntut Laut Liguria dan sekitarnya, dan “Fisa” menuntut dan melaksanakan kekuasaannya atas laut Tyrrhenia.

- Jaman Portugis Dan Spanyol

Sementara itu Portugis berhasil mengetemukan jalan laut ke Indonesia melalui Samudera Atlantik sebelah selatan Maroko, Tanjung Harapan dan Samudera Hindia dan mengklaim Samudra dan laut-laut yang dilaluinya. Demikian juga Spanyol yang sampai ke Maluku melalui Samudera Pasifik setelah mengitari bagian Selatan Amerika, sebelah Barat Samudera Atlantik dan teluk Mexico sebagai milik mereka. Tuntutan Portugis dan Spanyol tersebut diakui oleh Paus Alexander IV dalam Tahun 1493 yang membagi Samudera di dunia untuk Spanyol dan Portugis. Pembagian itu kemudian di perkuat dengan perjanjian Tordasillas antara Spanyol dan Portugis dalam Tahun 1494.

Sementara itu negara Denmark mengklaim laut Baltik, dan laut Utara oleh Norwegia dan Icelandia, serta Inggris mengklaim laut sekitar kepulauannya.

Tindakan negara-negara tersebut di atas yang telah mengklaim laut sebagai miliknya telah menimbulkan tantangan dari pihak Belanda. Dalam bidang pelayaran Belanda telah menerobos masuk ke Samudera Hindia dalam usaha mencari perdagangan dengan Indonesia langsung bertentangan dengan kepentingan Portugal (Portugis). Dalam bidang perikanan Belanda menentang tuntutan Inggris atas “Mare Anglicanun”, mengingat Belanda telah berabad-abad lamanya menangkap ikan di perairan tersebut dan bahkan telah diikat dengan berbagai perjanjian. Dalam usaha untuk menentang tuntutan Portugal dan Inggris ini, belanda berusaha untuk mencari dasar-dasar hukum bagi tuntutannya, yaitu bahwa laut bebas untuk dilayari oleh semua negara (bangsa). Untuk keperluan ini Belanda yang bernama Grotius (hugo de Groot). Dalam tulisannya yang berjudul “Mare Liberum” pada Tahun 1609, Gro tius membenarkan pendirian Belanda tersebut demi untuk memungkinkan orang-orang Belanda berlayar ke Indonesia (Hasjim ...., Perjuangan ..., 1978, 12 dan 13).

Tulisan Grotius ini banyak mendapat tantangan dari penulis-penulis di daratan Eropa, salah satu yang terkenal adalah tantangan dari penulis Inggris John Selden dengan konsepsi “Mare Clausum”-nya. Menurut Selden laut bukanlah “mare liberum” atau lai=ut terbuka. Sifat laut yang cair menurut Selden tidak menyebabkan laut tidak dapat dimiliki, karena sungai dan perairan disepanjang pantai yang cair dapat diakui dan dimiliki.

B. Lahirnya Konsepsi Laut Teritorial Dan “Innocent Passage”.

Sejarah kemudian membuktikan, baik “Mare Liberum” Belanda maupun “Mare Clausum” Inggris, tidak dapat mempertahankan ajarannya dengan kaku dan konsekwen. Grotius sendiri dalam bukunya De Jure Belli Ac Pasis (1625) mengakui bahwa laut sepanjang pantai suatu negara dapat dimiliki sejauh yang dapat dikuasai dari darat. Sedangkan Selden mangakui hak-hak negara untuk memiliki lautnya masing-masing dan mengakui adanya hak “innocent passage” atau hak lintas damai di laut-laut yang dimiliki atau dituntut (Hasjim..., 14,16).

(3)

kekuatan senjata meriam dari darat, yang pada waktu itu 3 mil dan selebihnya adalah bebas untuk dinikmati seluruh ummat manusia. (Mochtar, Hukum ..., 1979, hal 29 dan Hasjim, hal 16-17).

Pada waktu itu umumnya negara-negara maritim di Eropa mempraktekkan laut teritorial 3 mil tersebut, tetapi ajaran 3 mil tembakan meriam tersebut bukanlah satu-satunya aturan Hukum Internasional mengenai lebar laut wilayah. Dan sejak itu negara-negara Eropa telah menerima ajaran pembagian laut yang dapat dimiliki oleh suatu negara dengan adanya “Innocent Passage” dan di luar itu adalah laut lepas yang dapat dimiliki oleh semua negara. Meskipun dalam hal ini mengenai berapa luas laut wilayah itu belum ada kesepakatan dalam praktek negara-negara. Meskipun dalam hal ini mengenai berapa luas laut wilayah itu belum ada kesepakatan dalam praktek negar-negara. Dalam perkembangannya dalam usaha untuk menentukan lebar laut wilayah masalah lintas damai “innocent passage” selalu diterima.

Demikianlah perkembangan lahirnya konsepsi lahirnya laut teritorial, konsepsi antara laut terbuka )”mare liberum”) dan laut tertutup (“mare clausum”) akhirnya tercapai kompromi, Inggris juga lambat laut menerima ajaran kebebasan lautan, sedangkan Belanda )Grotius) mengakui hak suatu negara untuk menguasai laut yang berbatasan dengan pantainya sejauh yang dapat dijangkau oleh tembakan meriam. Sedangkan pendekar-pendekar kedaulatan atas lautan masa lalu Portugal dan Spanyol) telah mengalami kemerosotan.

BAB II

HAK LINTAS DAMAI (“RIGHT OF INNOCENT PASSAGE”) DALAM HUKUM LAUT INTERNASIONAL

Sejak pembagian laut atas laut lepas dan laut teritoral, maka regime hukum yang berlaku atas kedua bagian itu berbeda. Pada laut lepas terbyuka digunakan bagi semua negara, sedangkan pada laut teritorial berada di bawah kedaulatan suatu Negara pantai, meskipun harus memperhatikan kepentingan internasional dalam bentuk pelayaran. Agar kedua kepentingan itu dapat berlangsung selaras terciptalah apa yang dikenal dengan dalam Hukum Laut Internasional dengan “The Right of Innocent Passage” atau hal lintas damai. (Starke ..., An In, 1982, hal ).

Dalam kepustakaan Hukum Internasional, hak lintas damai telah melembaga dalam Konvensi Hukum Interasional, yaitu Konvensi Den Haag 1930. Namun pengaturan lebih lengkap dirumuskan dalam Konvensi Hukum Laut 1958 dalam perkembangan selanjutnya dimuat dalam Konvensi Hukum Laut 1982 (KHL 1982) yang banyak mengalami perkembangan dalam pengaturan lintas damai ini.

(4)

Dalam Konvensi Hukum Laut 1958 secara hukum wilayah perairan nasional yang berada di bawah kedaulatan Negara pantai adalah laut teritorial dan perairan pedalaman. Disisi bagian dalam dari garis pangkal laut teritorial adalah perairan pedalaman dan di sisi luar adalah laut teritorial. Pada perairan pedalaman umumnya tidak ada lintas damai bagi kapal asing, kecuali apabila perairan pedalaman itu sebelumnya berstatus sebagai laut lepas atau laut teritorial, disebabkan karena pengguna sistem straight base lines dan menggunakan garis-garis dasar dari laut teritorial, sehingga laut tersebut berubah menjadi perairan pedalaman dalam arti laut pedalaman. Sedangkan pada laut teritorial ketentuan lintas damai itu dijamin oleh hukum internasional (Hasjim, hal. 35).

Pada Negara Kepulauan, perairan nasional yang berada di bawah kedaulatan Negara Kepulauan tersebut, terdiri daei laut teritorial, perairan kepulauan dan perairan pedalaman.

Laut teritorial pada Negara Kepulauan, yaitu jarak tertentu sebelah luar dari garis pangkal lurus yang menghubungkan titik terluar pulau-pulau dan karang terluar kepulauan itu. Sedangkan perairan kepulauan adalah sisi dalam garis pangkal lurus yang menghubungkan titik-titik terluar pulau-pulau dan karang kesring terluar kepulauan itu, di mana di dalam perairan kepulauan itu dapat ditarik garis-garis penutup untuk keperluan penetapan batas perairan pedalaman. Pada Negara Kepulauan hak lintas damai bagi kapal asing ada pada perairan kepulauan dan laut teritorial.

1. Lintas Damai Di Laut Teritorial.

Dalam pasal 1 Konvensi Hukum Laut 1958 mengenai Laut Teritorial menyatakan, laut teritorial merupakan satu jalur yang terletak disepanjang pantai suatu negara berada dibawah kedaulatan Negara pantai tersebut.

Di laut teritorial kapal dari semua negara, baik negara berpantai ataupun tidak berpantai, dapat menikmati hak lintas damai melalui laut teritorial, demikian dinyatakan dalam pasal 17 KHL 1982. Hal ini berarti meskipun laut teritorial berada di bawah kedaulatan negara pantai, namun kedaulatannya itu dibatasi oleh ketentuan hukum internasional, yaitu adanya lintas damai bagi kapal asing di perairan laut teritorial tersebut. (Lihat pasal 2 prag. 2 KHL 1982.

a. Pengertian Lintas Damai.

Dalam pasal 18 KHL 1982, disebutkan pengertian lintas, berarti suatu navigasi melalui laut teritorial untuk keperluan :

(a). Melintasi laut tanpa memasuki perairan pedalaman atau singgah di tempat berlabuh di tenha laut atau fasilitas pelabuhan di luar perairan pedalaman ; atau

(b). Berlalu ke atau dari perairan pedalaman atau singgah di tempat berlabuh di tengah laut (roadstead) atau fasilitas pelabuhan tersebut.

Termasuk dalam pengertian lintas ini harus terus menerus, langsung serta secepat mungkin, dan mancakup juga berhenti dan buang jangkar, tetapi hanya sepanjang hal tersebut berkaitan dengan navigasi yang lajim atau perlu dilakukan karena force majure atau memberi pertolongan kepada orang lain, kapal atau pesawat udara yang dalam keadaan bahaya.

(5)

(a). Setiap ancaman penggunaan kekerasan terhadap kedaulatan, keutuhan wilayah atau kemerdekaan politik Negara pantai, atau dengan cara lain apapun yang merupakan pelanggaran atas hukum internasional sebagaimana tercantum dalam Piagam PBB.

(b). Setiap latihan atau praktek dengan senjata macam apapun.

(c). Setiap perbuatan yang bertujuan untuk mengumpulkan infomasi yang merugikan bagi pertahanan atau keamanan Negara pantai.

(d). Peluncuran, pendaratan atau penerimaan pesawat udara di atas kapal.

(e). Perbuatan propaganda yang bertujuan mempengaruhi pertahanan dan keamanan Negara pantai.

(f). Bongkar atau muat setiap komoditi, mata uang atau orang secara bertentangan dengan peraturan bea cukai dan imigrasi.

(g). Perbuatan pencemaran laut yang disengaja. (h). Kegiatan perikanan.

(i). Kegiatan riset.

(j). Mengganggu sistem komunikasi.

(k). Kegiatan yang berhubungan langsung dengan lintas. b. Lintas Damai Bagi Kapal Selam.

Dalam pengertian lintas damai, bagi kapal selam dan kenderaan air lainnya, diharuskan untuk melakukan navigasi di atas air dan menunjukkan benderanya. (Lihat pasal 20).

c. Kapal Bertenaga Nuklir.

Lintas damai bagi kapal bertenaga nuklir atau yang difatnya berbahaya diharuskan untuk membawa dokumen dan mematuhi tindakan pencegahan khusus yang ditetapkan dalam suatu perjanjian internasional. Bagi kapal-kapal yang demikian ini yaitu yang sifatnya berbahaya atau beracun diharuskan untuk melintasi alur laut dan skema pemiash lalu lintas sebagaimana yang ditetapkan Negara pantai dan diharuskan untuk membatasi lintas pada alur yang demikian.

d. Lintas Damai Bagi Kapal Dagang dan Kapal Pemerintah Yang Ditujukan Untuk Tujuan Komersial.

Dalam pasal 27 dikatakan bahwa Negara pantai tidak mempunyai yurisdiksi kriminal atas kapal asing yang sedang melintasi laut teritorialnya untuk mengadakan penangkapan atau penyidikan atas kapal selama lintas, kecuali dalam hal tersebut di bawah ini yaitu :

(a). Kejahatan itu dirasakan Negara pantai, atau mengganggu kedamaian atau ketertiban negara tersebut atau laut wilayah tersebut.

(b). Apabila diminta bantuan oleh nakhoda kapal, atau wakil diplomatik atau pejabat konsuler negara bendera dan atau untuk menangkap perdagangan gelap narkotik.

Sedangkan mengenai yurisdiksi perdata Negara pantai harusnya tidak menghentikan atau merobah haluan kapal untuk tujuan melaksanakan yurisdiksi perdata terhadap seseorang di atas kapal itu. Suatu Negara tidak dapat melaksanakan eksekusinya terhadap kapal untuk keperluan proses perdata apapun kecuali tanggung jawab ganti rugi yang dipikul oleh kapal sehubungan perjalanannya melalui perairan Negara pantai.

e. Lintas Damai Bagi Kapal Perang Dan Kapal Pemerintah.

(6)

Dalam melakukan lintas damai di laut teritorial suatu Negara, apabila suatu kapal perang tidak mentaati dan tidak mengindahkan peraturan perundang-undangan Negara pantai mengani lintas damai yang disampaikan kepadanya, Negara pantai dapat menuntut kapal perang itu meninggalkan laut teritorialnya. Negara bendera memikul tanggung jawab internasional untuk setiap kerugian yang diderita Negara sebagai akibat tidak dipatuhinya peraturan perundang-undangan Negara pantai mengenai lintas melalui laut teritorial yang dilakukan oleh kapal perang dan kapal pemerintah lainnya yang dioperasikan untuk tujuan non komersial (lihat pasal 30 dan 31).

Adapun peraturan perundang-undangan yang dibuat Negara pantai sehubungan dengan lintas damai bagi kapal asing di laut teritorial sesuai dengan Konvensi ini dan hukum internasional lainnya mengenai setiap hal berikut :

(a) keselamatan navigasi dan pengaturan lalu lintas maritim

(b) perlindungan alat-alat pembantu dan fasilitas navigasi serta fasilitas instalasi lainnya

(c) perlindungan kabel bawah laut (d) konservasi kekayaan hayati laut

(e) pencegahan pelanggaran peraturan perundang-undangan perikanan Negara pantai

(f) pelestarian lingkungan Negara pantai dan pencegahan, pengurangan dan pengendalian pencemarannya

(g) penelitian ilmiah kelautan dan survey hodrografy

(h) pencegahan pelanggaran peraturan perundang-undangan bea cukai, fiskal, imigrasi atau saniter Negara pantai.

Dalam hal ini Negara pantai harus mengumumkan semua peraturan perundang-undangan tersebut. Dan bagi kapal asing harus mematuhi semua peraturan perundang-undangan demikian dan juga semua peraturan internasional bertalian dengan pencegahan tubrukan di laut yang diterima secara umum. Bahkan apabila perlu dengan memperhatikan keselamatan pelayaran atau navigasi, kapal asing yang melakukan pelayaran di laut teritorialnya, dapat diwajibkan untuk mempergunakan alur laut dan skema pemisah lalu lintas sebagaimana yang ditetapkan dan yang harus diikuti untuk pengaturan lintas kapal (lihat pasal 21 dan 22).

Negara pantai tidak boleh menghalangi lintas damai kapal asing melalui laut teritorialnya, kecuali dengan ketentuan Konvensi atau perundang-undangan yang dibuat sesuai dengan ketentuan Konvensi. Negara pantai juga tidak boleh menetapkan persyaratan atas kapal asing yang secara praktis berakibat penolakan atau pengurangan hak lintas damai. Lain dari pada itu Negara pantai tidak boleh mengadakan diskriminasi formil atau diskriminasi nyata terhadap kapal Negara manapun. Untuk keselamatan pelayaran, Negara pantai harus secepatnya mengumumkan bahaya apapun bagi navigasi dalam laut teritorialnya yang diketahuinya.

Selanjutnya mengenai hak perlindungan bagi keamanan Negaranya, Negara pantai dapat mengambil langkah yang diperlakukan untuk mencegah lintas yang tidak damai di laut teritorialnya. Negara pantai juga berhak untuk mengambil langkah yang diperlukan untuk mencegah pelanggaran apapun terhadap persyaratan yang ditentukan bagi masuknya kapal ke perairan pedalaman atau ke persinggahan demikian. Tanpa diskriminasi formil atau diskriminasi nyata di antara kapal, Negara pantai dapat menangguhkan sementara pada daerah tertentu di laut teritorialnya untuk perlindungan keamanannya termasuk keperluan latihan senjata. Penangguhan ini berlaku setelah diumumkan terlebih dahulu. (Pihat pasal 25).

(7)

Negara pantai. Kecuali pungutan dapat dibebankan hanya untuk pembayaran khusus dan dalam pemungutan ini dibebankan tanpa diskriminasi.

2. Lintas Damai Di Selat Yang Digunakan Untuk Pelayaran Internasional.

Lalu lintas melalui selat yang digunakan untuk pelayaran internasional tidak boleh mempengaruhi status hukum perairan selat tersebut, dan juga tidak boleh mempengaruhi pelaksanaan kedaulatan atau yurisdiksi negara yang berbatasan dengan selat tersebut, baik atas perairan, ruang udara diatasnya, maupun dasar laut dan tanah di bawahnya. Pelaksanaan kedaulatan itu dengan mengindahkan ketentuan Konvensi ini, yaitu “straits used used for Internasional navigation” dan aturan internasional lainnya. (Lihat pasal 34).

Dari ketentuan tersebut di atas, menunjukkan bahwa pelayaran melalui selat internasional diakui. Sebagaimana disebutkan dalam pasal 45, bahwa rejim lintas damai yang berlaku di lau teritorial, harus berlaku di selat yang digunakan untuk pelayaran internasional, dan tidak ada atau tidak boleh penangguhan lintas damai di selat yang demikian.

3. Lintas Damai Di Perairan Kepulauan. a. Pengertian Negara Kepulauan.

“Negara kepulauan”, yaitu suatu Negara yang seluruhnya terdiri dari satu atau lebih kepulauan dan mencakup pulau-pulau lain. Sedangkan pengertian “kepulauan” merupakan suatu gugusan pulau, perairan diantaranya dan lain-lain wujud alamiah, yang satu sama lain hubungannya demikian eratnya, di mana pulau-pulau, perairan dan wujud alamiah lainya itu merupakan satu kesatuan geografi, ekonomi dan politik yang hakiki, atau secara historis dianggap demikian. (Lihat pasal 46).

Suatu Negara kepulauan dapat menarik garis pangkal kepulauan yang menghubungkan titik-titik terluar pulau-pulau dan karang kering terluar kepulauan itu. Perairan pada sisi dalam garis pangkal kepulauan merupakan perairan kepulauan, sedangkan perairan pada sisi luar garis pangkal kepulauan merupakan perairan laut teritorial dari Negara kepulauan itu. Di perairan kepulauan, Negara kepulauan dapat menarik garis-garis penutup untuk keperluan penetapan batas perairan pedalaman. (Lihat pasal 47 dan 50).

b Status Hukum Perairan Kepulauan.

Mengenai status hukum perairan kepulauan, bahwa kedaulatan suatu Ngara kepulauan meliputi perairan kepulauan yang tertutup oleh garis-garis pangkal kepulauan yang disebut sebagai perairan kepulauan tanpa memperhatikan kedalaman atau jaraknya dari pantai. Kedaulatan Negara kepulauan di perairan kepulauan ini meliputi ruang udara di atas perairan tersebut, dasar laut dan tanah di bawahnya serta sumber kekayaan alam yang terkandung di dalamnya. Sebagaimana di laut teritorial, maka diperairan kepulauan (hak lintas damai) bagi semua kapal asing yang melalui pelayaran di perairan tersebut. (Lihat pasal 49).

(8)

Serbagaimana dinyatakan dalam pasal 52 KHL 1982, bahwa semua Negara dapat menikmati lintas damai melalui perairan kepulauan sesuai dengan ketentuan lintas damai di perairan laut teritorial sebagaimana yang telah dijelaskan dalam pembahasan terdahulu. Tanpa mengadakan diskriminasi formal maupun diskriminasi nyata bagi kapal asing, Negara kepulauan menangguhkan sementara lintas kapal asing di daerah tertentu di perairan kepulauannya apabila sangat diperlukan untuk melindungi keamanannya.

Lebih lanjut dalam pasal 53 Konvensi ayat 1 suatu Negara Kepulauan dapat menentukan alur laut dan rute penerbangan yang cocok untuk digunakan lintas kapal dan pesawat udara asing yang terus menerus langsung serta secepat mungkin melalui atau di atas perairannya dan laut teritorial yang berdampingan dengannya. Selain alur kepulauan Negara Kepulauan dapat menetapkan skema pemisah lintas untuk keperluqan lintas kapal yang aman melalui terusan yang sempit dalam alur laut kepulauan. Kapal-kapal dan pesawat udara yang melintasi alur kepulauan tidak boleh menyimpang lebih 25 mil laut ke dua sisi garis sumbu demikian, dengan ketentuan bahwa kapal dan pesawat udara tersebut tidak boleh berlayar atau terbang ke pantai tidak kurang 10 % jarak antara titik-titik terdekat pada pulau-pulau yang berbatasan dengan alur laut tersebut. (Lihat pasal 53 ayat 5 Konvensi).

Untuk kepentingan pelayaran internasional (kapal-kapal asing), apabila keadaan menghendaki suatu Negara Kepulauan dapat mengganti alur kepulauan dan skema pemisah yang telah ditentukan, dengan alur laut ataupun skema pemisah yang lain. Apabila suatu Negara Kepulauan tidak menentukan alur laut atau rute penerbangan, hak lintas alur laut kepulauan dapat dilaksanakan melalui rute yang bisanya di gunakan untuk pelayaran internasional.

Setelah diumumkan terlebih dahulu suatu Negara Kepulauan dapat mengganti alur laut atau skema pemisah lalu lintas yang telah ditentukan sebelumnya dengan alur laut atau skema pemisah yang lain.

Mengenai kewajiban kapal dan pesawat udara selama melakukan lintas berlaku kewajiban ketentuan mengenai hak lintas damai di laut teritorial, yaitu mematuhi peraturan perundang-undangan Negara Kepulauan dan juga peraturan hukum internasional.

BAB III

HAL LINTAS DAMAI MENURUT PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN NASIONAL INDONESIA

A. Latar Belakang.

(9)

keselamatan dan keamanan Negara Republik Indonesia. Pasal 1 ayat (1) Ordonantie 1939 tersebut menyatakan, bahwa laut teritorial Indonesia itu lebarnya 3 mil diukur dari garis pangkal air rendah (“laag waterlijn”) dari pada pulau-pulau yang merupakan bagian dari wilayah daratan dari Indonesia.

Konsekwensi cara pengukuran laut teritorial menurut Ordonatie 1939, yaitu secara teoritis Indonesia yang terdiri dari beribu-ribu pulau, setiap pulaunya mempunyai laut teritorial sendiri-sendiri. Dapat dibayangkan bahwa keadaan itu tidak menjamin keamanan Indonesia dan tidak menunjukkan persatuan Indonesia. Hal yang demikian itu juga menyukarkan pelaksanaan tugas pengawas laut dengan sempurna karewna susunan daerah atau pulau-pulau harus diawasi sedemikian sulitnya. Kantong-kantong laut lepas ditengah-tengah diantara pulau-pulau atau diantara wilayah daratan Indonesia tunduk pada rejim hukum laut lepas yang bebas dilayari oleh semua negara.

Dengan dikeluarkannya Pengumuman Pemerintah 13 Desember 1957, cara mengukur laut teritorial Indonesia diukur dari titik-titik terluar dari pulau-pulau terluar, cara pengukuran yang demikian ini laut lepas sudah tidak ada lagi diantara pulau-pulau karena telah menjadi perairan nusantara.

Oleh karena itu Pengumuman Pemerintah ini mempunyai akibat hukum yang penting bagi pelayaran Internasional, karena bagian laut lepas yang tadinya bebas dilayari untuk pelayaran internasional dijadikan bagian laut wilayah dan perairan nusantara, yang berada di bawah kekuasaan hukum Indonesia.

B. Hak Lintas Damai Bagi Kapal Asing Di Perairan Indonesia.

Mengingat posisi geografis Indonesia yang merupakan persilangan antara dua garis yang menghubungkan Samudera Pasifik dan Samudera Hindia serta terletak diantara dua benua, yaitu benua Asia dan Australia, kehadiran kenderaan diatas air (kapal) asing dalam rangka memperpendek jarak pelayarannya merupakan suatu hal yang tidak dapat dihindari. Karena itu dengan tetap mengutamakan sebagai masyarakat internasional yang menginginkan persahabatan antar bangsa di dunia ini, maka kita tidak begitu saja meniadakan kebebasan berlayar di perairan Indonesia tersebut. Untuk menjamin kepentingan pelayaran internasional ini, maka dalam Pengumuman Pemerintah 13 Desember 1957 tersebut diatas menyatakan :

“Lalu lintas yang damai diperairan pedalaman ini bagi kapal-kapal asing terjamin selama dan sekedar tidak bertentangan dengan kedaulatan dan keselamatan Negara Indonesia. Penentuan laut teritorial yang lebarnya 12 mil yang diukur dari garis-garis yang menghubungkan titik-titik terluar pada pulau-pulau Negara Republik Indonesia akan ditentukan dengan Undang-undang”.

Berdasarkan Peraturan Pemerintah tersebut, bahwa di Perairan Pedalaman Indonesia dan di Laut teritorial Indonesia dijamin adanya hak lintas dama8i. Peraturan Pemerintah ini kemudian ditingkatkan menjadi Undang-undang, pada tanggal 18 Pebruari 1960 dengan UU No. 4/Prp/1960.

Setelah diundangkannya UU No. 4/Prp/1960, terutama oleh petugas-petugas di lapangan (di laut) dirasakan perlunya ketegasan kedudukan hak lintas damai ini bagi kapal-kapal asing di perairan Indonesia yang telah dijamin keberadaannya oleh UU No. 4/Prp/1960. Karena itu tanggal 28 Juli 1962 Pemerintah mengeluarkan Pengumuman Pemerintah No. 8 Tahun 1962 tentang Hak Lintas Laut Damai Kenderaan Air Asing.

(10)

merupakan laut lepas atau laut wilayah Indonesia dijamin keberadaannya untuk kapal asing.

Sejalan dengan ketentuan pasal 14 s/d 17 Konvensi Hukum Laut 1958, yang dimaksud dengan lalu lintas damai dalam Peraturan Pemerintah No. 8 Tahun 1962 adalah :

“pelayaran untuk maksud damai yang melintas laut wilayah dan perairan pedalaman Indonesia dari laut bebas ke suatu pelabuhan Indonesia dan sebaliknya, dan dari laut bebas ke laut bebas”. (Pasal 2).

Menurut ketentuan pasal 2 Peraturan Pemerintah tersebut, penulis dapat memberikan kejelasan, bahwa pengertian perairan pedalaman adalah sama dengan “perairan Nusantara” atau “perairan kepulauan” dalam KHL 1982.

Selanjutnya dalam pasal 3 dinyatakan bahwa, lalu lintas kapal asing dianggap damai selama tidak bertentangan dengan keamanan, ketertiban umum, kepentingan dan/atau tidak mengganggu perdamaian Republik Indonesia. Lalu lintas laut damai kapal asing dianjurkan melalui alur-alur laut yang dicantumkan dalam buku-buku kepanduan bahari yang berlaku dalam dunia pelayaran. Dalam pengertian lintas damai ini tidak termasuk membuang sauh dan/atau mondar-mandir tanpa alasan yang syah di perairan Indonesia. Untuk menjamin kedaulatan dan keselamatan Negara, Pemerintah Indonesia dapat melarang untuk sementara waktu lalu lintas damai kenderaan air asing di bagian-bagian tertentu dari perairan Indonesia.

Selain ketentuan tentang lintas damai yang bersifat umum sebagaimana yang dijelaskan tersebut diatas, PP No. 8 Tahun 1962, juga memuat ketentuan-ketentuan yang mengatur lintas damai untuk kapal-kapal yang berjenis khusus, yakni kapal penelitian, kapal nelayan dan kapal-kapal perang dan kapal pemerintah bukan niaga. (Mochtar, Bunga ..., 1979, 35).

Untuk penelitian ilmiah kelautan yang dilakukan oleh kapal asing di perairan Indonesia memerlukan ijin dari Pemerintah Indonesia. Sedangkan untuk kapal perang asing yang hendak melakukan lintas damai di perairan Indonesia harus terlebih dahulu memberitahukannya kepada Menteri/KSAL.

Dalam perkembangannyadengan telah ditetapkannya alur-alur pelayaran di perairan Nusantara, maka kapal perang dan kapal Pemerintah non kapal niaga serta kapal-kapal nelayan harus lewat melalui alur-alur laut tersebut. Bagi kapal-kapal perang asing yang melalui alur-alur pelayaran demikian tidak perlu lagi memenuhi persyaratan pemberitahuan/ notifikation yang berlaku bagi lintas damai di perairan nusantara.

C. Undang-undang Republik Indonesia Tahun 1996 Tentang Perairan Indonesia.

Tidak diterimanya konsepsi Negara Kepulauan dalam Konperensi Hukum Laut PBB I pada tahun 1958, Indonesia telah mengambil tindakan sepihak sebagai Negara Kedaulatan (Negara Nusantara) dengan mengumumkan UU No. 4/Prp/1960 dan Peraturan Pemerintah No. 8 Tahun 1962 tentang Hak Lintas Damai Kenderaan Air Asing.

(11)

Untuk menyesuaikan pengaturan mengenai Negara Kepulauan dengan KHL 1982, Indonesia telah mencabut Undang-undang No. 4/Prp/1960 dan menggantinya dengan Undang-undang Nomor 6 Tahun 1996 tentang Perairan Indonesia.

Pengaturan mengenai lintas damai bagi kapal-kapal asing dalam BAB III pasal 11 sampai dengan 17 sedangkan Hak Lintas Alur Laut Kepulauan diatur dalam pasal 18 sampai dengan pasal 19.

Pada dasarnya pengaturan lintas damai dan lintas alur kepulauan di perairan Indonesia adalah sama dengan UU No. 4/Prp/1960 dan PP No. 8 Tahun 1962, yaitu tujuannya untuk kepentingan keamanan, ketertiban dan kedamaian Negara Indonesia.

Beberapa diantara perkembangan pengaturan lintas damai dalam Undang-undang No. 6 Tahun 1996, yaitu diaturnya lintas damai kapal asing yang bertenaga nuklir dan juga kapal-kapal yang mengangkut bahan-bahan yang berbahaya atau beracun. Lain dari pada itu diatur lebih lengkap pengaturan mengenai lintas alur laut kepulauan, dan skema pemisah lalu lintas.

Dapat dijelaskan pemberian lintas damai atau lintas alur kepulauan dalam UU No. 4/Prp/1960 hanya merupakan kelonggaran yang diberikan Pemerintah Indonesia kepada kapal-kapal asing untuk mengurangi tantangan dari masyarakat untuk pengguna laut. Sedangkan dalam UU No. 16 Tahun 1996 hak lintas damai atau hal lintas alur Kepulauan merupakan ketentuan KHL 1982 yang di implementasikan dalam pasal 18 dan 17 UU No. 9 Tahun 1996.

Dalam UU No. 6 Tahun 1996 diperjelas mengenai pengertian wilayah Perairan Indonesia, yaitu terdiri dari laut teritorial Indonesia, perairan kepulauan dan perairan pedalaman 9pasal 3 ayat 1).

Istilah perairan pedalaman (perairan nusantara) dalam UU No. 4/Prp/1960 dan PP No. 8 Tahun 1962 diganti dengan sebutan perairan kepulauan Indonesia, yaitu semua perairan yang terletak pada sisi dalam garis pangkal lurus kepulauan tanpa memperhatikan kedalaman dan jaraknya dari pantai. Sedangkan pengertian perairan pedalaman Indonesia menurut UU No. 6 Tahun 1996 adalah semua perairan yang terletak pada sisi darat dari garis air rendah dari pantai-pantai Indonesia, termasuk kedalamannya semua bagian dari perairan yang terletak pada sisi darat dari suatu garis penutup. Perairan pedalaman ini terdiri atas :

a. Laut pedalaman b. Perairan darat.

Ketentuan lebih lanjut mengenai Hak Lintas Damai dan hak alur kepulauan serta skema pemisah lalu lintas laut di atur dalam Peraturan Pemerintah. Peraturan Pemerintah mengenai hal-hal tersebut untuk sementara sampat saat ini belum ada.

(12)

BAB IV

KESIMPULAN DAN SARAN

1. Kesimpulan.

a. Kedaulatan Negara pantai atas laut teritorialnya dibatasi oleh ketentuan Hukum Internasional, yaitu adanya hak lintas

damai (“the right of innocent passage”) di laut teritorial, bagi kapal-kapakl asing. b. Sejalan dengan perkembangan Hukum Laut Internasional dengan diterimanya

konsepsi Negara Kepulauan dalam Konvensi Hukum Laut 1982, maka lintas damai tidak saja dilaut teritorial tapi juga hak lintas damai atau lintas alur kepulauan di perairan Kepulauan.

c. Bagi kapal-kapal asing yang melakukan lintas damai di perairan laut teritorial dan juga di perairan kepulauan harus mematuhi peraturan perundang-undangan nasional dari Negara pantai atau Negara Kepulauan dan juga mematuhi peraturan internasional.

d. Untuk perlindungan dirinya Negara pantai dan Negara Kepulauan dapat mengambil tindakan atau langkah yang diperlukan dalam laut teritorialnya atau perairan kepulauannya untuk mencegah lintas damai dan atau menangguhkan sementara lintas damai bagi kapal asing apabila penangguhan itu sangat diperlukan untuk perlindungan keamanannya atau latihan senjata.

e. Dengan diratifikasinya Konvensi Hukum Laut 1982 melalui UU No. 17 Tahun 1985, harus menyesuaikan pengaturan mengenai Negara Kepulauan yang terdapat dalam Konvensi Hukum Laut 1982, yang memuat perkembangan-perkembangan dalam pengaturannya.

f. Untuk menyesuaikan pengaturan mengenai Negara Kepulauan yang terdapat dalam Konvensi Hukum Laut 1982 Indonesia telah mencabut UU No. 4/Prp/1960 tentang Perairan Indonesia dan menggantinya dengan UU No. 6 Tahun 1996 tentang Perairan Indonesia.

g. Pengaturan mengenai Hak lintas damai dan hak lintas alur kepulauan yang terdapat dalam UU No. 6 Tahun 1996 pada dasarnya sama dengan UU No. 4/Prp/1960, yaitu selain untuk menjamin kepentingan pelayaran internasional dan kepentingan keamanan, ketertiban dan perdamaian Negara Indonesia.

h. Dalam beberapa hal terdapat perkembangan-perkembangan pengaturan mengenai lintas damai di laut teritorial dan lintas alur laut kepulauan di perairan kepulauan, bagi kapal asing sesuai dengan Konvensi Hukum Laut 1982.

2. Saran-saran.

a. Untuk mekanisme pelaksanaan peraturan perundang-undangan Indonesia, sebaiknya secepanya ditetapkan Peraturan Pelaksana dari Undang-undang No. 6 Tahun 1996 tentang perairan Indonesia.

(13)

DAFTAR KEPUSTAKAAN

- Djalal Hasjim, Perjuangan Indonesia Di Bidang Hukum Laut, Binacipta, Bandung, 1978.

- Hartono Dimyati, Yurisdiksi Nasional Indonesia Sebagai Negara Nusantara, Binacipta, Bandung, 1983.

- Kusumaaatmadja Mochtar, Hukum Laut Internasional, Binacipta, Bandung, 1978.

- Starke, J.G., An Introduction to International Law, Ninth edition, Butterwordhs, London, 1984.

- W., Koers, Albert, 1994, Konvensi Perserikatan Bangsa-bangsa Tentang Hukum Laut, Gajah Mada University, Press, Yogyakarta.

- Konvensi Perserikatan Bangsa-bangsa tentang Hukum Laut 1982. - Konvensi Perserikatan Bangsa-bangsa tentang Hukum Laut 1982. - UU No. 4/Prp/1960 tentang Perairan Indonesia.

- PP No. 8 Tahun 1962 tentang Hak Lintas Damai Bagi Kapal Asing.

- UU No. 17 Tahun 1985 tentang Pengesahan Konvensi Perserikatan Bangsa-bangsa tentang Hukum Laut 1982.

Referensi

Dokumen terkait

 Banyaknya lulusan Fakultas Kedokteran dari perguruan tinggi lain yang dapat menjadi pesaing alumni FKIK UNTAD. No Judul Kekuatan Kelemahan Peluang

Wawancara ( Interview ) sering digunakan dalam penelitian, istilah ini menggambarkan sebuah teknik dalam melakukan pengumpulan data yang dilakukan dengan melaksanakan

Tanpa keberadaan serangga, dunia akan menjadi tempat yang mungkin berbeda dari apa yang kita lihat sekarang, dibutuhkan penglihatan yang sangat teliti terhadap serangga agar dapat

Faktur dan laporan dapat didesain sesuai dengan keinginan dan kebutuhan perusahaan serta disertakan berbagai variabel data dan fungsi matematika yang

Segala Puji bagi Allah SWT yang telah memberikan rahmat, taufiq, hidayah dan inayahnya sehingga penulis mampu menyelesaikan penyusunan skripsi ini yang berjudul

Pemeliharaan yang dilakukan harus efesien dan memberikan manfaat yang optimal bagi perusahaan dan karyawan.Pemeliharaan ini hendaknya meningkatkan prestasi kerja, keamanan,

Abstrak. Tujuan penelitian ini adalah 1) Menghitung dan membandingkan besarnya pendapatan yang diterima oleh petani saat musim hujan dan musim kemarau, 2)

Kesengajaan menghilangkan nyawa orang lain itu oleh Kitab Undang- Undang Hukum Pidana yang dewasa ini berlaku telah disebut sebagai seuatu pembunuhan. Untuk menghilangkan nyawa