• Tidak ada hasil yang ditemukan

SEJARAH DAN PERKEMBANGAN PENERBITAN NOVE

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "SEJARAH DAN PERKEMBANGAN PENERBITAN NOVE"

Copied!
17
0
0

Teks penuh

(1)

SEJARAH DAN PERKEMBANGAN PENERBITAN NOVEL DI INDONESIA Tugas Ini Disusun Untuk Memenuhi Ujian Kompre Mata Sejarah Sastra

Dosen Pengampu: Ahmad Bahtiar, M. Hum

Oleh

Khaerunia Amalah 11120130000161

A. Sejarah Penerbitan Novel di Indonesia

Penemuan mesin cetak oleh Gutenberg pada 1440 M di Jerman merupakan tonggak bagi sejarah perbukuan. Mulanya mesin itu digunakan untuk keperluan penggandaan dan penyebaran Injil. Tapi kemudian berkembang tidak hanya buku keagamaan tetapi juga buku-buku pengetahuan, sastra, dan lain sebagainya. Di Indonesia sendiri buku mulai beredar seiring dengan datangnya orang asing, terutama Belanda, ke Indonesia.

Bentuk karya sastra novel masuk ke Indonesia akibat pengaruh kebudayaan Barat. Mendengar kata novel, orang akan langsung mengkaitkan kata tersebut dengan cerita. Novel merupakan cerita yang banyak mengupas kehiduopan manusia. Dalam dunia kesusastraan, novel digolongkan ke dalam bentuk karya prosa.

Kesusatraan Indonesia mulai memasuki bentuk prosa kira-kira pada akhir abad ke 19. Bentuk novel ini kemudian berkembang terus di Indonesia dan hingga saat ini banyak kita jumpai novel-noevl Indonesia yang bermutu. Sejalan dengan perkembangan bentuk novel, maka bidang penerbitan karya-karya ini juga mengalami kemajuan yang pesat.

1. Masa Sebelum Penjajahan

(2)

digunakan sebagai bahan ajar di pesantren yang tersebar di nusantara, terutama di Jawa dan Sumatra.

2. Masa Penjajahan a. Penjajahan Belanda

Pada abad 17 VOC mendatangkan mesin cetak ke Hindia Belanda. Ini menjadi awal bagi dunia percetakan di tanah air. Dengan mesin cetak tersebut VOC mencetak berbagai macam publikasi mulai dari pamphlet, brosur, Koran dan majalah. Pada tahun 1744 VOC menerbitkan surat kabar Bataviaasche Nouvelles di Batavia. kemudian pada tahun 1778 pemerintah Hindia Belanda mendirikan Bataviaash Genootschaap vor Kunsten en Watenschappen, perpustakaan yang berisi koleksi naskah dan karya tulis di bidang budaya dan ilmu pengetahuan di Indonesia. Pada waktu itu budaya membaca hanya dimiliki oleh kaum penjajah, bangsawan, pemuka agama, dan sedikit kaum terpelajar.

Sejak Hindia-Belanda dikembalikan oleh Inggris tahun 1812, percetakan (dalam hal ini surat kabar) dikendalikan sepenuhnya oleh negara, meski perusahaan percetakannya berlokasi di negeri Belanda. Pada saat yang sama percetakan buku juga dikelola oleh swasta, dimulai pada tahun 1839, dipelopori oleh Cijveer & Company. Tiga tahun berselang, percetakan ini berubah nama menjadi Cijveer & Knollaert. Ia berpindah tangan lagi ke Ukeno & Company, dan terus berpindah tangan karena kegagalan dalam pemasaran produknya. Baru pada masa Bruyning Wijt, perusahaan percetakan buku ini mengalami kemajuan, karena produk buku-buku mereka mulai dipublikasikan pula melalui iklan-iklan di surat kabar (www.p3i-pusat.com.)

Misi agama juga mempelopori pencetakan buku atau kitab suci. Zending (surat pekabaran Injil) Protestan dilaporkan pertama kali datang ke Indonesia tahun 1831, dan mendirikan sekolah di Tomohon, Minahasa, pada tahun 1850. Di sini mereka mencetak buku, selebaran, dan surat kabar.

(3)

dilaporkan majalah Tempo, penerbit Tan Khoen Swie ini pernah menerbitkan buku Gatolotjo dan Dharmagandoel yang pernah dilarang beredar pada masa Orde Baru karena dianggap melecehkan ajaran agama tertentu. Sementara percetakan milik Indo-Eropa sebagian besar menerbitkan karya-karya terjemahan dari Eropa ke dalam bahasa Melayu.

Penerjemahan novel-novel Eropa ke dalam bahasa Melayu telah dimulai kira-kira pada seperempat terakhir abad ke-19. Menurut Doris Jedamski, The Count of Monte Cristo karya Alexandre Dumas telah beredar luas dalam bahasa Melayu pada tahun 1894 sampai 1899. Penerjemahan ini mendapat sukses besar di kalayak pembaca bumiputra (Arsya, 2012). Beberapa dekade sebelum itu, novel-novel Eropa lainnya seperti Robinson Crusoe dan Sherlock Holmes juga telah diterjemahkan dan diterbitkan terjemahannya oleh penerbit-penerbit swasta. Robinson Crusoe diterjemahkan dalam bahasa Melayu dengan judul Hikajat Robinson Crusoe yang terbit pada tahun 1875 oleh seorang Belanda bernama Adolf von de Wall.

Perkembangan karya-karya terjemahan terus membaik. Masih menurut Doris Jedamski, pada seperempat pertama abad ke-20, pembaca-pembaca Indonesia sudah bisa membaca The Three Musketeers, Scralet Pimpernel, Ivanhoe, Tarzan, Sinbad, dan Gulliver, serta pahlawan-pahlawan Karl May dan Baron Munchhausen dalam bahasa Melayu. Segera saja karya-karya terjemahan ini dapat ditemukan hampir di seluruh kepulauan. Penerjemahan dan penerbitan karya-karya terjemahan pada awal abad ke-20 ini, berbeda dengan masa sebelumnya, dilakukan oleh orang-orang indo China dan orang-orang bumiputra sendiri di luar afiliasi pemerintah kolonial.

Sastra Melayu Tionghoa mulai berkembang jauh sebelum didirikannya Balai Pustaka pada tahun 1918. Golongan Tionghoa yang hidup lebih makmur dibandingkan golongan bumiputra, mampu membeli buku dan membayar langganan koran dan majalah secara teratur. Pada zaman Jepang pers Melayu-Tionghoa dihapus. Beberapa bumiputra yang magang di penerbitan milik Tionghoa ini kemudian tumbuh sebagai jurnalis dan penerbit sekaligus, antara lain RM Tirtoadisoerjo dan Mas Marco Katrodikromo, yang dikenal dengan bukunya Student Hidjo.

(4)

cetakan setelah diedarkan. Ini menimbulkan akibat positif berupa maraknya berbagai terbitan, termasuk buku dan majalah.

b. Pembentukan Balai Pustaka

Meskipun dunia perbukuan dan penerbitan buku terus berkembang, tonggak penerbitan buku secara masal baru terjadi tahun 1908 dengan pembentukan Commissie Voor de Inlandsche Chool en Voklslectuur (Komisi Bacaan Rakyat) melalui keputusan pemerintah No 12 tanggal 14 Sepetember 1908.

Kemunculan Komisi Bacaan Rakyat tersebut salah satunya karena pemerintah kolonial menganggap novel-novel terjemahan dari kalangan Indo-China dan bumiputra rendah mutunya, karya populer picisan yang bisa merusakkan mental bumiputra.

Pada tahun 1917 komisi ini berganti nama menjadi Balai Poestaka dan mulai mencetak ratusan karya, mulai dari buku dalam berbagai bahasa. Puluhan karya sastra pribumi berbahasa Melayu terbit, seperti Siti Noerbaja karya Marah Rusli, Azab dan Sengsara karya Merari Siregar, Salah Asuhan-Abdul Muis, Lajar Terkembang - Sutan Takdir Alisjahbana, Atheis - Achdiat Kartamihardja, dan masih banyak yang lainnya. Setelah empat tahun pendiriannya, Balai Pustaka memiliki mesin cetak sendiri untuk keperluan seluruh terbitannya.

Namun, setelah maraknya penerjemahan karya asing pada perempat pertama abad ke-20 itu, Balai Pustaka mulai melakukan penerjemahan-penerjemahan novel-novel Eropa ke dalam bahasa Melayu. Karya-karya yang diterjemahkan Balai Pustaka berbeda dengan karya terjemahan penerbit-penerbit di luar kanon yang lebih banyak menerbitkan cerita-cerita detektif, kisah-kisah kepahlawanan, dan roman-roman populer lainnya.

Penerjemahan novel-novel asing ini berimbas kepada perkembangan kesastraan di tanah Hindia sendiri. Pada dekade tahun 1930-1940, muncul dengan semarak roman-roman picisan di berbagai kantong-kantong kesastraan di daerah. Menurut Soedarmoko, di Padang, Medan, Bukittingi, Gorontalo, Solo, muncul terbitan-terbitan berkala yang memuat roman-roman picisan. Roman-roman-roman ini dianggap berada di luar kanon kesastraan Hindia Belanda (Arsya, 2012).

(5)

karya-karya terjemahan. Hal tersebut tidak terjadi tanpa sebab. Pada masa itu pemerintah kolonial Belanda menerapkan aturan yang ketat terhadap seluruh buku dan barang cetakan yang beredar di masyarakat. Sebagai lembaga buatan Hinda Belanda, tidaklah mengherankan jika buku-buku terbitan Balai Pustaka tidak ada yang memuat masalah politik apalagi kritik terhadap pemerintah Hindia Belanda. Dominasi Balai Pustaka berdampak pada tersingkirnya karya-karya sastra dari penulis pribumi, peranakan Tionghoa, dan Indo-Eropa yang sudah beredar jauh sebelum Balai Pustaka beredar.

Selain Balai Pustaka milik pemerintah kolonial, ada juga penerbitan milik kaum bumiputra dengan berdirinya NV Javasche Boekhandel en Drukkerrij en Handel in Schrijfbehoeften “Medan Prijaji” pimpinan R.M. Tirto Adhi Soerjo. Selain itu ada juga percetakan Insulinde yang didukung oleh H.M. Misbach yang menerbitkan Mata Gelap (Mas Marco, 3 jilid, 1914) dan percetakan VTSP (Serikat Buruh Kereta Api dan Tram) yang menerbitkan Koran Si Tetap (Yusuf et.al. 2010:44). Penerbit-penerbit milik kaum bumiputra tersebut memelopori bacaan fiksi dan nonfiksi untuk mendidik bumiputra. Sehingga dalam kurun waktu 1920-1926 mulai menjamur ‘bacaan liar’ di kalangan bumiputra yang menumbuhkan semangat pergerakan.

c. Penjajahan Jepang

Memasuki zaman Jepang, penerbitan buku-buku sastra yang bernada “anti Belanda” lebih berkembang. Menurut sejarawan Poesponegoro dan Nugroho Notosusanto (1993), penerbitan buku dan seluruh jenis media yang ada digunakan oleh tentara Jepang untuk kepentingan propaganda. Sehingga seluruh karya yang dihasilkan pada saat itu harus sesuai dengan kepentingan propanda Jepang. Pada masa itu surat kabar berbahasa Belanda, Cina, dan Indonesia dilarang terbit oleh pemerintah militer Jepang. Surat kabar Tjahaya Timoer yang mencoba kritis pada pemerintah Jepang langsung dibredel. Selanjutnya diganti oleh Jepang dengan menerbitkan surat kabar Asia Raja. Pada 8 Desember 1942 Jawa Shinbun sebagai surat kabar berbahasa Jepang terbit untuk pertama kalinya. Dua surat kabar itulah yang menjadi rujukan berita bagi surat kabar-surat kabar di Jawa.

(6)

ketidakpuasaannya melalui tulisan-tulisan mereka yang bersifat simbolik. Hal ini nyata dalam puisi dan drama karya pengarang-pengarang Indonesia pada masa itu. Sedangkan penerbitan novel sukar untuk lolos dari sensor Jepang dan hanya sedikit saja novel sastra yang diterbitkan pada zaman ini. Balai Pustaka dan Pustaka Rakyat tetap menjalankan fungsinya sebagai penerbit karya sastra, walaupun jumlah novel yang diterbitkannya jauh lebih sedikit.

3. Era Kemerdekaan

Hingga 1950 industri penerbitan buku Indonesia didominasi oleh Balai Pustaka disamping mulai munculnya penerbit buku nasional seperti Pustaka Antara, Pustaka Rakyat (sekarang Dian Rakyat), Endang, dan beberapa lagi yang semuanya berpusat di Jakarta, Ganaco di Bandung dan lain-lain. Balai Pustaka pasca kemerdekaan hingga tahun 1950 berhasil menerbitkan dan mencetak ulang 128 judul buku dengan tiras 603.000 ekslempar. Pada saat ini pula muncul karya-karya sastra dari para penulis seperti Idrus dengan Dari Ave Maria ke Djalan Lain ke Roma; Tambera karya Utuy Tatang Sontani; Pramudya Ananta Toer dengan Dia Jang Menjerah dan Bukan Pasar Malam; Mochtar Lubis dengan Si Djamal. Selain karya anak negeri, BP juga menghadirkan karya para penulis dunia seperti Fyodor Dostojevsky, John Steinbeck, Anton Chekov, dan lainnya. Di masa sekarang, penerbit Balai Pustaka rata-rata memprroduksi buku sebanyak 320 judul pertahun, dengan porsi terbesar buku yang cetak ulang dari tahun sebelumnya.

a. Orde Lama

Tahun 1950-an adalah periode kemunculan penerbit swasta nasional. Sebagian besar berada di pulau Jawa dan selebihnya di Sumatera. Pada awalnya, mereka bermotif politis dan idealis. Mereka tergerak untuk mengambil alih dominasi para penerbit Belanda yang setelah penyerahan kedaulatan di tahun 1950 masih diijinkan beroperasi di Indonesia.

(7)

Pada tahun 1955, pemerintah Republik Indonesia mengambil alih dan menasionalisasi semua perusahaan Belanda di Indonesia. Kemudian pemerintah berusaha mendorong pertumbuhan dan perkembangan usaha penerbitan buku nasional dengan jalan memberi subsidi dan bahan baku kertas bagi para penerbit buku nasional sehingga penerbit diwajibkan menjual buku-bukunya dengan harga murah. Menurut Ikatan Penerbit Indonesia (IKAPI) penerbit yang menjadi anggota IKAPI yang semula berjumlah 13 melonjak naik menjadi 600-an lebih. Lagi-lagi sebagi600-an besar penerbit terkonsentrasi di Jawa.

b. Era Orde Baru

Pada tahun 1965 terjadi perubahan situasi politik di tanah air. Salah satu akibat dari peralihan dari orde lama ke orde baru adalah keluarnya kebijakan baru pemerintah dalam bidang politik, ekonomi dan moneter. Sejak akhir tahun 1965, subsidi bagi penerbit dihapus. Akibatnya, karena hanya 25% penerbit yang bertahan, situasi perbukuan mengalami kemunduran.

Sementara itu, pemerintah melalui Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Mashuri, kemudian menetapkan bahwa semua buku pelajaran di sediakan oleh pemerintah. Keadaan tidak bisa terus-menerus dipertahankan karena buku pelajaran yang meningkat dari tahun ke tahun. Karena itu, diberikan hak pada Balai Pustaka untuk mencetak buku-buku yang dibutuhkan di pasaran bebas. Para penerbit swasta diberikan kesempatan menerbitkan buku-buku pelengkap dengan persetujuan tim penilai.

Hal lain yang menonjol dalam masalah perbukuan selama Orde Baru adalah penerbitan buku yang harus melalui sensor dan persetujuan Kejaksaan Agung. Tercatat buku-buku karya Pramudya Ananta Toer, Utuj Tatang Sontani dan beberapa pengarang lainnya, tidak dapat dipasarkan karena mereka dinyatakan terlibat G30S/PKI. Sementara buku-buku Siapa Menabur Angin Akan Menuai Badai, kemudian Era Baru, Pemimpin Baru tidak bisa dipasarkan karena dianggap menyesatkan, terutama mengenai cerita-cerita seputar pergantian kekuasaan pada tahun 1966.

4. Penerbitan Novel Indonesia Tahun 1970-1980

(8)

puncaknya tahun 1970, secara berangsur-angsur mencapai kemajuan yang menggembirakan pada tahun-tahun berikutnya.

Kemajuan diawali dengan berdirinya penerbit Pustaka Jaya pada tahun 1971, yang menerjunkan diri khusus dalam bidang penerbitan buku-buku sastra, termasuk novel. Sejalan dengan perkembangan sastra itu sendiri, pada tahun 1973 penerbit Gramedia mulai menerbitkan novel pop, yaitu Karmila, yang sebelumnya pernah dimuat dalam bentuk cerita bersambung di harian Kompas. Setelah novel ini, menyusul novel-novel lainnya seperti Cintaku di Kampus Biru, Badai Pasti Berlalu, dsb. Penerbitan novel bertambah semarak dengan adanya sayembara penulisan fiksi yang diadakan oleh Dewan Kesenian Jakarta (DKJ), majalah Kartini, Femina, Gadis dan lain-lainnya. Juga penilaian buku fiksi yang diselenggarakan oleh Yayasan Buku Utama menambah gairah pengarang dan penerbit dalam memproduksi novel. Para penerbit banyak yang menyusul jejak kedua penerbit itu. Mereka berusaha keras untuk mendapatkan naskah dan menerbitkannya.

Pemerintah melihat kompleksnya masalah industri buku apalagi hal itu menyangkut berbagai dan lintas sektor seperti pendidikan, perindustrian, perdagangan, dan keuangan. Oleh karena itu melalui Keppres No 5 Tahun 1978, Pemerintah membentuk Badan Pertimbangan dan Pengembangan Buku Nasional (BPPBN) yang bertugas melakukan berbagai kajian dan merumuskan konsep-konsep kebijakan di bidang perbukuan nasional. Badan ini pulalah yang melakukan kajian perbukuan secara nasional dan mengidentifikasi perlunya Undang-Undang untuk mengatur perbukuan secara nasional.

5. Masa Reformasi dan Setelahnya

(9)

lebih pokok. Pada akhirnya dewan tersebut dibubarkan pada November 2011 oleh Kementrian Pendayagunaan Aparatur Negara.

Sebelumnya, pada tahun 1987 pemerintah melalui Keppres No. 4 Tahun 1987 dibentuk Pusat Perbukuan di lingkungan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Fungsi dari Pusat Perbukuan ini adalah untuk mengembangkan buku-buku pendidikan, mendorong industri perbukuan dan melanjutkan upaya membuat Rancangan Undang-Undang Sistem Perbukuan. Namun sebelum UU tersebut berhasil disusun, Pusat Perbukuan tersebut disatukan menjadi Pusat Kurikulum dan Perbukuan dengan lingkup kerja yang semakin sempit. Pusat tersebut sekarang lebih banyak melaksanakan penilaian buku-buku pendidikan yang layak masuk ke sekolah ataupun perpustakaan sekolah.

Era reformasi tahun 1999 dianggap sebagai tahun terbukanya pintu kebebasan di segala bidang mulai dari sosial, ekonomi, dan politik, tanpa kecuali politik perbukuan. Pada tahun itu pula pemerintah mencabut peraturan Surat Ijin Usaha Penerbitan Pers. Aturan tersebut sebenarnya dikhususkan bagi perusahaan penerbitan pers. Namun secara tidak langsung pencabutan aturan tersebut mendorong semakin banyak orang maupun lembaga mengekspresikan pendapatnya, yang salah satunya dengan cara menerbitkan buku.

Penandatanganan perjanjian perdagangan bebas oleh Indonesia, General Agreement on Tariff and Trade pada tahun 1994, dan ASEAN Free Trade Area pada tahun 1995, membawa konsekuensi pengurangan peran pemerintah dalam bisnis penyediaan barang dan jasa, termasuk pengadaan buku pelajaran.

Pada masa Orde Baru, pengadaan buku pelajaran dilakukan oleh pemerintah melalui penerbit Balai Pustaka yang berstatus BUMN. Buku pelajaran mulai dari sekolah dasar hingga SLTA wajib menggunakan buku terbitan Balai Pustaka. Sedangkan buku pelajaran dari penerbit swasta hanya sebagai buku pelengkap saja.

(10)

Praktik tersebut membuat persaingan antarpenerbit semakin sengit. Mereka berlomba-lomba menurunkan harga buku atau menaikkan komisi untuk tenaga pendidik di sekolah agar buku mereka yang digunakan. Praktik tersebut merusak harga pasaran buku pelajaran dan menurunkan kualitas isi buku pelajaran.

Mengatasi persoalan buku pelajaran yang mahal, pemerintah mengeluarkan kebijakan mendanai penerbitan buku-buku pelajaran tertentu dengan menggunakan dana Bantuan Operasi Sekolah. Kebijakan ini di satu sisi menguntungkan bagi sekolah-sekolah swasta atau sekolah negeri dengan kemampuan finansial rendah. Namun dari segi bisnis, kebijakan tersebut dianggap sebagai dominasi pemerintah terhadap pasar dan penerbit.

Selain buku pelajaran, ada beberapa fenomena menarik dalam pasang surut bisnis perbukuan di Indonesia paska reformasi. Pertama, buku motivasi. Sekitar dekade 90-an di Indonesia, khususnya Jawa, sedang marak fenomena Multi Level Marketing atau biasa dikenal dengan sebutan MLM. Orang-orang tergiur dengan janji keuntungan yang besar dalam waktu yang cepat. Kelompok-kelompok MLM biasanya memiliki jadwal pertemuan antarsesama anggota. Salah satu kegiatan pertemuan tersebut adalah pemberian motivasi dari leader atau anggota yang sudah mencapai level tinggi. Sekali sang leader mengatakan bahwa suatu produk atau buku tertentu itu bagus, maka para downline akan segera mencari dan membacanya. Itu sebabnya buku-buku motivasi dan MLM seperti Rich Dad Poor Dad, Cashflow Quadrant, Skill with People, Berpikir dan Berjiwa Besar, Financial Revolution marak diburu.

Kedua, tren fiksi Islami. Ditandai dengan kemunculan novel Ayat-Ayat Cinta karya Habiburrahman El-syirazi. Novel ini melejit salah satunya karena ekspos media massa. Pada saat itu novel yang berlatar Negara Mesir tersebut dianggap menawarkan nuansa dan kisah cinta yang tak biasa di Indonesia. Bahkan novel tersebut akhirnya dibuat versi film layar lebar. Akibatnya, muncul karya-karya fiksi dengan tema serupa, desain muka yang mirip, bahkan cara penulisan nama pengarangnya.

(11)

tidak berhenti sampai di situ. Laskar Pelangi kemudian dibuat versi serial, pentas musikal, dan diterjemahkan serta dipasarkan ke 20 negara di dunia.

Sebenarnya fiksi yang bercerita tentang petualangan atau perjalanan tokohnya sudah pernah booming di era 90-an, yang paling terkenal misalnya Balada Si Roy. Namun yang membedakannya adalah Laskar Pelangi memberi inspirasi pembacanya tentang kondisi pendidikan di Indonesia dan petualangan di luar negeri. Sejak saat itu juga banyak muncul karya-karya fiksi yang menggambarkan suka duka hidup di negeri orang. Ada yang ditulis keroyokan ada juga yang perorangan. Selain itu juga marak buku-buku saku berisi tips bepergian ke luar negeri lengkap dengan rincian biaya yang diperlukan.

Terakhir, munculnya buku elektronik. Perkembangan teknologi selalu membawa inovasi dan cara baru bagi manusia menikmati hal-hal tertentu, termasuk membaca buku. Harga laptop atau netbook yang semakin terjangkau dan meningkatkan kesadaran masyarakat atas kelestarian lingkungan memunculkan kebiasaan baru masyarakat yaitu membaca buku elektronik. Meskipun mungkin kebiasaan ini baru diadopsi oleh kalangan ekonomi menengah ke atas dan berpendidikan.

B. Lima Pilar Industri Perbukuan di Indonesia

Berdasarkan kenyataan di lapangan, industri perbukuan di Indonesia setidaknya melibatkan 5 pihak yaitu penerbit, percetakan, distributor, toko buku, dan konsumen pembaca. Masing-masing memiliki dinamika tersendiri yang secara ringkas akan dibahas berikut ini. Sayangnya untuk menyusun analisis yang komprehensif mengenai industri buku di Indonesia tidaklah mudah karena minimnya data baik kuantitatif maupun kualitatif yang terdokumentasi.

a. Penerbit

Tidak ada data yang pasti tentang berapa jumlah penerbit yang masih beroperasi. Namun berdasarkan data dari IKAPI setidaknya terdapat 793 penerbit di seluruh Indonesia. IKAPI merupakan asosiasi penerbit buku terbesar di Indonesia. Namun dari sekian jumlah itu, 90% penerbit berlokasi di Jawa. Sementara 10% sisanya tersebar di berbagai pulau. Hal ini menunjukkan bahwa industri perbukuan masih sangat tidak merata.

(12)

baru yang diterbitkan rata-rata 12.000 judul per tahun termasuk terjemahan dan cetak ulang. Jumlah ini masih jauh di bawah Malaysia yang rata-rata menerbitkan 13.000 judul per tahun. Apalagi jika dibandingkan dengan India yang mencapai 25.000 judul per tahun (kompas.com). Begitu pula jumlah cetak per judulnya relatif masih rendah yaitu 2000-3000 eksemplar per judul buku.

Selain penerbit yang tergabung dalam IKAPI, ada juga penerbit yang tidak/belum bergabung. Biasanya mereka ini adalah penerbit-penerbit skala kecil dengan pegawai yang sedikit. Bahkan ada penerbit yang hanya dijalankan oleh dua orang saja. Hal ini terjadi karena memang usaha penerbitan tidak membutuhkan investasi yang mahal dan sangat mudah pengurusannya.

Dilihat dari konten buku yang diterbitkan, IKAPI mengelompokkan 5 jenis penerbitan yaitu penerbitan jenis buku agama, buku umum, buku pelajaran, buku perguruan tinggi (PERTI) dan buku anak-anak/remaja dengan komposisi 17,95% buku agama (319 perusahaan), 13,96% buku perguruan tinggi (248 perusahaan), 10,35% buku anak-anak/remaja (184 perusahaan), buku umum 8,67% ( 154 perusahaan) dan buku pelajaran 4,45% (79 perusahaan).

b. Percetakan

Industri penerbitan baik fiksi maupun nonfiksi tidak bisa dilepaskan dari bisnis percetakan. Dalam kondisi ideal sebuah industri buku, antara bisnis penerbitan dan percetakan seyogyanya terpisah. Namun jikalau pada kenyataannya kedua bisnis tersebut bergabung menjadi satu juga tidak menjadi masalah. Lazimnya hanya lembaga penerbitan yang sudah mapan saja yang memiliki percetakan sendiri dengan alasan lebih ekonomis. Sementara bisnis percetakan yang masih baru biasanya memulai usahanya dengan melayani jasa berbagai macam percetakan. Dilihat dari struktur industrinya, bisnis penerbitan dan percetakan tidak jauh beda. Aturan perijinan untuk usaha percetakan dan penerbitan juga bisa dikatakan mirip. Maka tak heran jika para pelaku usaha percetakan juga menjalankan usaha penerbitan.

c. Distributor

(13)

maupun toko buku sekalipun. Distributor bisa mendapatkan 20-40% dari harga jual buku tanpa perlu mengeluarkan modal sebanyak penerbit. Sehingga banyak orang yang tertarik untuk berbisnis sebagai distributor buku.

Secara umum ada 3 jenis distributor yang beroperasi di Indonesia. Pertama distributor yang dijalankan oleh perusahaan penerbitan itu sendiri. Kedua, distributor yang mengambil buku dari penerbit-penerbit ke toko buku dan pembaca. Terakhir, toko buku yang menjual ke konsumen.

Kenyataan bahwa banyak penerbit yang mendistribusikan bukunya sendiri membuat persaingan bisnis di level ini menjadi tidak sehat. Rupanya penerbit tidak mau kehilangan potensi keuntungan dari jalur distribusi ini. Oleh karena itu dalam peraturan pemerintah yang baru mengatur persoalan distribusi buku yaitu bahwa toko merupakan jalur terakhir distribusi buku dari penerbit. Artinya bahwa penerbit tidak diperbolehkan menjual langsung kepada pembaca. Sebenarnya tujuan dari peraturan pemerintah tersebut adalah membatasi agar mata-rantai industri buku tidak dimonopoli oleh penerbit. Sehingga peluang usaha untuk para penyalur buku tetap terbuka.

Namun kenyataannya di lapangan, penerbit banyak yang berkelit dengan berbagai cara untuk memaksimalkan keuntungan. Masih banyak penerbit yang langsung mendatangi calon pembeli (misalnya buku pelajaran). tak sedikit perusahaan penerbit besar mendirikan toko-toko buku untuk mengakali peraturan pemerintah yang mengharuskan penjualan buku melalui toko buku.

d. Toko Buku

Memperhatikan perkembangan toko buku dalam industri buku Indonesia, situasi saat ini sangat tidak kondusif bagi perkembangannya. Saat ini jumlah toko buku terus menyusut meskipun dalam skema yang diinginkan Pemerintah berada dalam posisi yang strategis dan menentukan.

(14)

Penyusutan lebih banyak diakibatkan oleh tidak adanya penegakan hukum terhadap penerbit yang secara langsung memasarkan buku ke konsumen. Kasus ini banyak terjadi untuk buku pelajaran di sekolah (yang sesungguhnya dilarang berdasarkan kebijakan). Padahal buku teks pelajaran sekolah merupakan bagian terbesar dari pasar buku di Indonesia saat ini.

Jadi yang terjadi saat ini, persaingan antar toko buku mungkin justru melemah. Tetapi persaingan dengan jaringan distribusi penerbit justru banyak terjadi. Dipastikan toko buku akan kalah bersaing, mengingat buku-buku teks pelajaran hanya dimiliki oleh penerbit dengan jumlah terbatas, serta mampu melakukan pendekatan terhadap level penentu buku yang akan digunakan di sekolah.

e. Konsumen/Pembaca

Kemajuan industri buku bisa dijadikan salah satu indikator peningkatan kemampuan literasi masyarakat. Jika melihat banyaknya penerbit buku yang ada di Indonesia, kita boleh sedikit bangga. Namun apakah itu berarti menunjukkan minat baca masyarakat yang juga semakin meningkat? Kita perlu cari tahu.

Berdasarkan kajian Organisasi Pendidikan, Ilmu Pengetahuan, dan Kebudayaan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNESCO), dari 1.000 orang Indonesia, hanya satu orang yang punya minat baca tinggi. Satu buku rata-rata dibaca lima orang. Kondisi tersebut menempatkan Indonesia sebagai salah satu negara dengan minat baca terendah dari 52 negara di Asia Timur.

Di samping rendahnya minat baca, problem yang lain adalah tidak meratanya persebaran buku bacaan di Indonesia. Data IKAPI terbaru tahun 2011 menunjukkan bahwa 70 persen distribusi buku fiksi maupun nonfiksi terserap di pulau Jawa dan Bali. Di samping karena sebagian besar penerbit berproduksi di pulau Jawa, hal ini juga disebabkan tingginya biaya pengiriman buku ke luar Jawa (indonesiabuku.com).

C. Sistem Distribusi Novel Indonesia

(15)

hasil karya, dibutuhkan serentetan promosi yang diharapkan akan menunjang pemasran benda itu.

Istilah promosi menurut Datus C. Smith, mecakup semua cara yang digunakan penerbit untuk memberitahukan kepada masyarakat bahwa telah terbit suatu buku dan penerbit berusaha merangsang orang agar membelinya. Promosi buku, dalam hal ini novel, dapat ditempuh dengan mempergunakan iklan, poster, katalog/selembaran, resensi, spanduk, mengirimkan novel sebagai hadiah kepada lembaga atau individu/tokoh terkenal, yang pendapatnya dapat mempengaruhi masyarakat. Kebanyakan penerbit memilih mengunakan sara promosi pada surat kabar, selembaran maupun mengirimkan ke media massa dengan harapan diresensi.

Cara promosi dengan mempergunakan katalogus/selembaran merupakan cara yang paling sederhana dalam mempromosikan novel di Jakarta. Penerbit dapat menyebarkan kedua media tersebut kepada agen, toko buku maupun kepada masyarakat luas. Oleh karena itu, tidaklah mengherankan jika banyak penerbit yang melakukan hal ini.

Usaha penerbit untuk mengirimkan novel diterbitkannya kepada media massa dengan harapan diresensi, merupakan usaha spekulasi penerbit. Media massa yang secara periodikal memuat resensi, antara lain: Suara Karya, Pelita, Sinar Harapan, Kompas, Berita Buana, Tempo, Kartini, Femina, Gadis dan Puteri. Penerbit yang kebetulan mempunyai media seperti Gramedia dengan Kompas-nya, Variasi Jaya dengan Kartini dan Puteri-nya, Gaya Favorit Press dengan Femina dan Gadis-nya, dapat mengusahakan promosi untuk novel-novel yang diterbitkannya melalui resensi. Sedangkan penerbit novel yang tidak mempunyai media seperti ini, usaha mengirimkan novel ke media massa, tidak selalu menjamin pemuatan resensi, kecuali kalau ada kerjasama dengan media-media tertentu.

Melalui promosi dengan menggunakan spanduk merupakan sara yang dapat menarik perhatian khalayak ramai dalam waktu singkat. Salah satu penerbit yang menggunakan cara promosi ini adalah penerbit Cypress. Pemasangan spanduk ini biasanya dilakukan untuk pengarang tertentu, yaitu hanya untuk karya pengarangnya yang sudah dikenal masyarakat dan diperkirakan karyanya akan laris.

(16)
(17)

Daftar Pustaka

Arsya, Deddy. 2012. “Penerjamahan Karya Asing pada Zaman Belanda”. Inioke.com edisi 15 Mei 2012. tersimpan dalam

http://www.inioke.com/Rubrikasi/1315-Penerjamahan-Karya-Asing-pada-Zaman-Belanda-.html diakses pada 10 November 2016.

Angela. 2006. Tidak Ada Buku yang Menumpuk di Gudang. Koran Tempo Edisi 28 Juli 2006. Tersimpan dalam Pusat Dokumentasi Sastra H.B. Jassin.

Amarudin, Bandelan. 2005. Penerbit dengan Barokah Tinggi. Ruang Baca Koran Tempo 15 Mei 2005. Tersimpan dalam Pusat Dokumentasi Sastra H.B. Jassin.

Dewan Redaksi Ensiklopedia Sastra Indonesia. 2009. Ensiklopedia Sastra Indonesia. Bandung: Titian Ilmu.

Djaja, Tamar, 1955. Roman Pitjisan. Jakarta: Buku Kita.

Hifzhillah, Tasyriq. 2004. Penerbit Baru, Penulis Baru. Harian Suara Merdeka 21 November 2004. Tersimpan dalam Pusat Dokumentasi Sastra H.B. Jassin.

Jassin, H.B. 1969. Kesusastraan Indonesia di masa Djepang. Djakarta: Balai Pustaka.

Poesponegoro, M.J. dan Nugroho S. 1993. Sejarah Nasional Indonesia IV: Kemunculan Penjajahan di Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.

Suyono S.J. et.al. 2006. “Jejak Boekhandel Tan Khoen Swi”. Majalah Tempo 7 Agustus 2006. Tersimpan dalam http://indonesiabuku.com/?p=12754 diakses pada 10 November 2016. Yusuf, Iwan A. et.al. 2010. Pelarangan Buku di Indonesia: Sebuah Paradoks Demokrasi dan

Referensi

Dokumen terkait

Studi menegaskan bahwa efek jangka panjang dari konfigurasi pilihan pada kontrol manajemen akuntansi tidak bisa ditebak (Grabski et al., 2011), dan bahwa kepemimpinan dan

Bandung: Jurusan Pendidikan Bahasa daerah Fakultas Pendidikan Bahasa dan Sastra Universitas Pendidikan Indonesia. Yogyakarta:

Hal ini dikarenakan bahwa dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi dikatakan bahwa Badan Pemeriksa Keuangan termasuk

|jejakseribupena.com, Soal dan Solusi Simak UI Matematika IPA, 2015 7.. tak hingga

Pendekatan pada penelitian ini merupakan penelitian tindakan kelas (Classroom action research), dimana peneliti bertindak sebagai observer yang bekerjasama dengan guru mata

Dewasa ini mobilitas penduduk di berbagai wilayah Indonesia sering terjadi bahkan di sekitar lingkungan kita. Perpindahan yang kita temukan seperti perpindahan penduduk dari

Setelah itu dilakukan pengamatan dan dicatat kapasitas penyerapan dan penyimpanan air pada gel untuk menentukan kemampuan gel dalam menyerap dan menyimpan air

Dalam sistem Ie juga terdapat bentuk kekerabatan yang kompleks, yaitu dengan masuknya mukoyoshi maupun yoshi (anak laki-laki sebagai calon kachou). Diangkat dari anak laki-laki