• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kunci Sukses Kemitraan dalam mendekatkan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Kunci Sukses Kemitraan dalam mendekatkan"

Copied!
8
0
0

Teks penuh

(1)

Kunci Sukses Kemitraan

dalam Mendekatkan Legitimasi Tata Kelola Hutan

Oleh: Widyananto Basuki Aryono Pemerhati SDA

INTISARI

Kerusakan ekologi, krisis penyediaan sumberdaya dan isu keprihatinan mengenai desentralisasi dan demokratisasi, permasalahan mengenai land tenure yang memerlukan keterlibatan masyarakat yang terpinggirkan secara efektif untuk mendekatkan legitimasi tata kelola hutan dirasa para ahli untuk menemukan program yang tepat untuk alternatif solusi masalah tersebut dalam keberlangsungan pembangunan berkelanjutan. Program kemitraan sebagai lembaga merupakan hasil desain dari voluntary, tidak terbatas dan berorientasi terhadap implementasi. Kemitraan merupakan sistem hubungan principal-agen. Dan ini mulai dilembagakan untuk mengatasi masalah-masalah yang terjadi, disamping juga mendorong keterlibatan aktif para aktor, dan program sertifikasi dalam instrumen voluntary. Hal ini menciptakan ruang politik baru telah muncul keterlibatan aktor privat dalam otoritas pengambilan keputusan untuk regulasi urusan publik, seiring dengan regulasi yang diatur oleh pemerintah. Paradigma perubahan dari struktur yang tunggal (sentrik) menjadi struktur tampak lebih kompleks dan beragam dengan keterlibatan masyarakat sipil dan bisnis dalam proses pengaturan tersebut.

Program kemitraan ditinjau dari waktu yang panjang dari pengalaman negara yang melaksanakan kemitraan, terdapat program yang berhasil dan ada juga yang tidak. Informasi yang dihimpun mengenai keberhasilan, awalnya dari pemetaan struktur situasi masalah dalam perencanaan partisipatif, keterlibatan aktif para aktor dan masyarakat kemudian motivasi aktor dalam menjaga hubungan yang positif, faktor fisik dan sifat sumberdaya, serta sifat barang atau jasa yang dipertukarkan dan minimal biaya transaksi yang membebani. Ada temuan dalam pengelolaan sumberdaya alam bahwasannya luas lahan untuk berpartisipasi tampaknya berbanding

terbalik dengan kemungkinan partisipasi. Ini menandakan indikasi faktor bentuk aset dan akses sumberdaya dan sifat barang berpengaruh terhadap motivasi dalam kemitraan.

Pengalaman-pengalaman diatas dirasa sangat penting dalam melaksanakan program kemitraan untuk keberlangsungan pembangunan pengelolaan Sumberdaya Alam (SDA).

Kata kunci : kemitraan, tata kelola hutan, pembangunan berkelanjutan

I. Pendahuluan

Meletakkan fundamental dasar dalam pola pikir dalam keberlangsungan hidup sangatlah krusial. Kerusakan-kerusakan mengenai ekologi akan membutuhkan waktu yang lama dalam merestorasi lingkungan dan beban bencana yang ditimbulkan dari kerusakan ekologi memiliki nilai dan resiko yang tinggi. Terlebih ditambah dengan isu mengenai krisis pangan, kemiskinan, energi yang digantikan dengan bio-energi dan hasil alam yang menambah daftar permasalahan dalam lingkup pengelolaan sumberdaya alam. Isu global tentang krisis ketersediaan pangan dan hasil hutan sebagai bahan industri terutama kayu perkakas, rotan, kayu yang berguna untuk bahan bakar, karet dan non-kayu lainnya serta isu global tentang peran dan fungsi ekologi yang semakin minimum seperti terganggunya siklus air (hidrologi), carbon sequestration merupakan problematika pengelolaan lahan dewasa ini (ITTO, 2005). Ini menjadi problematika pengelola sumberdaya alam ditengah-tengah antara peluang dan tantangan ke depan dalam mengatasi kerusakan lingkungan dan melanjutkan pembangunan.

(2)

kemiskinan, deforestasi dan degradasi hutan dan hilangnya keanekaragaman hayati) akan pragmatis memerlukan keterlibatan yang kuat, ini yang dirasa mendekatkan legitimasi tata kelola hutan (Colfer, 2011). Selama ini keterlibatan masyarakat semakin dipinggirkan yang menimbulkan masalah lingkungan dan permasalahan mengenai legitimasi tata kelola hutan. Dalam mengatasi hal tersebut dengan alternatif program kemitraan untuk mengatasi tantangan dan peluang pengelolaan hutan ke depan.

II. Kemitraan dalam Pembangunan Berkelanjutan

Menurut Mitchell dkk (2010) Istilah keberlanjutan pertama kali dikenalkan pada tahun 1987 oleh World Commission on Environment and Development (Brundtland Commission) melalui bukunya “Our Common Future”. Selanjutnya pada tahun 1992 merupakan puncak dari proses politik, yang akhirnya pada Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Bumi di Rio de Jeneiro, Brasil, paradigma pembangunan berkelanjutan diterima sebagai agenda politik pembangunan untuk semua negara di dunia (Keraf, 2010). Pembangunan berkelanjutan merupakan pembangunan yang dapat memenuhi kebutuhan saat ini tanpa mengorbankan kemampuan generasi mendatang untuk mencukupi kebutuhan. Selanjutnya pembangunan berkelanjutan mempunyai dua konsep kunci yaitu kebutuhan dan keterbatasan sumberdaya.

Hampir 20 tahun paradigma pembangunan berkelanjutan diterima sebagai sebuah agenda politik pembangunan global, banyak ahli lingkungan hidup mulai menyadari bahwa paradigma pembangunan berkelanjutan adalah sebuah kegagalan dari sisi para pejuang lingkungan hidup (Keraf, 2010). Terpinggirkannya nilai ekologi dalam pola pikir menjadi permasalahan yang timbul. Padahal nilai ekologi memiliki cakupan yang sangat kompleks, dapat juga luas dan lengkap, dan memungkinkan dapat membuat pengelola tidak puas karena jawaban-jawaban yang diberikan akan muncul tidak seketika atau dalam tempo yang pendek namun muncul dalam tempo yang panjang besar

(Mitchell dkk, 2010). Ini yang menjawab mengenai masalah bencana-bencana alam selalu timbul namun tidak diketahui penyebab secara kasap mata secara kontras disebabkan perubahan yang diberikan dalam tempo yang panjang.

Dalam kasus politik pembangunan global dari tahun 1980 sampai dengan sekarang ini, menunjukkan bahwa ide-ide baru dan makna tentang berkelanjutan, keanekaragaman hayati dan tata kelola hutan telah mulai dilembagakan dari waktu ke waktu, diwujudkan dengan dalam bentuk kemitraan, program sertifikasi dalam instrumen voluntary, dan pemberdayaan para aktor (Buizer dan Arts, 2009). Bentuk kemitraan pengelolaan hutan menciptakan konteks kelembagaan untuk tata kelola hutan yang baik dan pengelolaan hutan lestari dengan merangsang keterlibatan masyarakat lokal (Mirjam dkk, 2008). Pentingnya kemitraan sebagai lembaga, justru terletak dalam menjadi konsep wadah yang merupakan hasil langsung dari desain voluntary, tidak terbatas dan berorientasi pada implementasi (Mert, 2009).

Walaupun pengembangan kelembagaan publik berlanjut, ruang politik yang baru untuk dunia tata kelola hutan telah muncul dengan keterlibatan para aktor privat dalam otoritas pengambilan keputusan, yang sebelumnya hak preogratif negara berdaulat (Ingrid dkk, 2006). Wacana pembangunan berkelanjutan sebelumnya membuka pintu koalisi menggabungkan kepentingan ekonomi dengan tujuan ekologis, dimana dalam segi aturan menimbulkan periode terutama voluntary dan regulasi dan perjanjian privat muncul menjadi ada yang mampu menerapkan tujuan yang terintegrasi serta dikombinasikan dari intervensi pemerintah (Buizer dan Arts, 2009). Keterlibatan aktor privat membentuk regulasi untuk urusan publik. Regulasi privat dalam urusan publik telah mengambil empat bentuk kelembagaan (Ingrid dkk, 2006) :

1. Inisiatif bisnis

2. Inisiatif masyarakat sipil

(3)

4. Kemitraan lintas sektoral publik-swasta (aliansi strategis antara pemerintah dan usaha dan atau sipil masyarakat).

Dengan munculnya ruang politik baru, tata kelola hutan global berubah dengan cepat. Dari stuktur yang tunggal (sentrik) dengan negara mengatur keseluruhan hutan menjadi struktur tampak lebih kompleks dan beragam dengan keterlibatannya masyarakat sipil dan bisnis dalam proses pengaturannya. Sistem pengaturan privat ini berbeda dengan pengaturan publik dalam hal skala (segi waktu, ruang dan ukuran), tujuan spesifik dan berarti, diskursus dan arsitektur (Ingrid dkk, 2006).

Kemitraan untuk pembangunan berkelanjutan muncul pada the world summit on sustainable development yang diselenggarakan di Johannesburg tahun 2002 yang merupakan mekanisme baru tata kelola lingkungan dengan titik persimpangan tiga wacana penting dalam politik global yaitu demokrasi partisipatif, tata kelola privat, dan pembangunan berkelanjutan (Mert, 2009). Ini menjadi perdebatan bersama dengan pergeseran wacana pembangunan berkelanjutan diatas. Selanjutnya Mert (2009) berpendapat tidak akan mungkin kemitraan akan menghilang dari tata kelola lingkungan global yang disebabkan semua orang memanfaatkan orang lainnya, apabila ada alternatif non kemitraan dimana artinya tidak menjual atau memanfaatkan akan lebih baik (Mert, 2009).

III. Kunci Suksesnya Program Kemitraan

Dalam menggali kunci sukses program kemitraan untuk pembangunan berkelanjutan pengelolaan hutan dengan mengkaji implementasi yang sudah ada di dunia dan menyerap kunci sukses tersebut. Walaupun nantinya akan sangat spesifik yang syarat dipengaruhi tempat (adaptif).

Kemitraan merupakan kesadaran bersama yang saling menguntungkan para pihak yang mau bermitra dalam tujuan bersama. Para pihak akan mampu menciptakan aksi bersama dengan mengabungkan aset, pengetahuan, ketrampilan dan kekuasaan politik berbagai tingkatan (Mirjam dkk, 2008). Langkah awal dengan merencanakan dengan matang suatu perencanaan hutan

partisipatif. Dalam konteks perencanaan hutan partisipatif, penataan masalah (problem structuring) dapat membantu untuk mendorong komitmen yang lebih tinggi di antara pemangku kepentingan lokal, dan ini memiliki peran penting dalam mempengaruhi keseimbangan kekuasan antara berbagai kelompok pemangku kepentingan dan badan-badan administratif (Khadka dkk, 2012). Dari sisi aktor industri/bisnis, motivasi utama yang paling signifikan dalam pengelolaan ekosistem dengan kemitraan dengan masyarakat adalah menjaga hubungan yang positif dan membangun kemitraan dengan stakeholder lainnya dan juga alternatif motivasi yang lain yaitu insentif (Brody dkk, 2006). Selanjutannya, jika terdapat hasil positif pengelolaan ekosistem dengan kemitraan tersebut dapat perusahaan memperoleh yang lebih efektif sebagai tujuan

managemen sumberdaya, sehingga

mengakibatkan kinerja keuangan dan daya saing perusahaan, maka usaha atau industri kehutanan secara keseluruhan mungkin lebih bersedia untuk berpartisipasi (Brody dkk, 2006).

Belajar dari India, Rezim kebijakan kehutanan India selama dua dekade memberlakukan ketat akses masyarakat ke dalam hutan konservasi, namun hasilnya buruk sehingga memaksa untuk mempertimbangkan kembali peran masyarakat dalam pemanfaatan sumberdaya hutan dan konservasi dengan merumuskan lebih egalitarian distribusi mekanisme Joint Forest Management (JFM) untuk pembagian manfaat secara adil di seluruh sumberdaya (Bhattacharya dkk, 2009; Paul dan Chakrabarti, 2011). Ini merupakan bentuk kemitraan dengan pendekatan budaya dan etika dalam penggunaan sumberdaya hutan. Pengguna sumberdaya diserahkan tanggung jawab dari aturan pilihan kolektif yang disepakati bersama memperlihatkan hasil perlindungan yang efektif dengan manfaat ekologi dan ekonomi bagi masyarakat (Paul dan Chakrabarti, 2011).

(4)

para aktor maka program ini menderita kegagalan (Bhattacharya dkk, 2009). Hal ini yang dianjurkan untuk melakukan cara dan atau metoda penataan masalah (Problem Structuring Methods(PSMs)) untuk digunakan dalam program kemitraan pengelolaan hutan dan proses pembangunan kebijakan kehutanan dalam rangka mewujudkan pemahaman terjamin dan peran serta jelas (Khadka dkk, 2012). Perencanaan yang tidak matang dalam pemetaan masalah secara terstruktur menjadi penyebab kegagalan kemitraan yang dibangun. Pemetaan terstruktur tersebut seperti halnya pemetaan alokasi sumberdaya dan manfaat, transparasi, partisipasi aktif dan konsultasi dengan masyarakat yang terlibat dalam perancangannya. Perlu juga dan sangat penting masyarakat diberi kebebasan dalam managemen dan perlindungan hutan tanpa pengaruh dari pemerintah dalam proses pengambilan keputusan (Bhattacharyadkk, 2009). Adapun pengalaman dari Brasil, Karakteristik utama dari kemitraan yang berhasil di Brasil Amazonia seperti tujuan kemitraan yang dinegosiasikan, keterlibatan aktif masyarakat dan perantara, pengaturan kelembagaan yang adil dan hemat biaya dan manfaat secara adil untuk semua pihak yang terlibat tingkatan (Mirjam dkk, 2008). Hal ini yang disebut dengan pemetaan struktur masalah dengan tepat dalam perencanaan partisipatif.

Tiga atribut penting yang umum untuk suksesnya pelaksanaan managemen adaptif untuk pengelolaan konservasi sumberdaya alam yaitu kolaborasi multi-mitra yang kuat, praktis dan keputusan informatif dalam kerangka kerja, dalam proses kegiatan memiliki komitmen berkelanjutan (Moore dkk, 2010). Dalam sisi perusahaan, perusahaan dengan staf pengelolaan sumberdaya yang lebih besar lebih mungkin untuk berpartisipasi dalam pengelolaan ekosistem kemitraan dan luas lahan untuk berpartisipasi tampaknya berbanding terbalik dengan kemungkinan partisipasi (Brody dkk, 2006). Alasannya adalah ketika luasan kecil-kecil tidak kompak maka rentan terhadap timbul masalah dan biaya mahal dalam operasionalnya dibandingkan luasan kompak, dengan demikian peluang untuk bermitra dengan masyarakat

sekitar akan tinggi guna menjamin konektifitas yang baik dan biaya operasional murah. Indikasi faktor bentuk fisik aset lahan sumberdaya dan aksesbilitas menjadi berpengaruh terhadap potensial kemitraan dengan masyarakat. Dengan cara bermitra maka produktifitas akan tinggi daerah luasan kecil-kecil yang susah untuk di managemen. Selain kemitraan bertujuan untuk produktifitas dalam hutan lestari, kemitraan juga sebagai kebutuhan politik yang berorientasi pada koalisi masyarakat sipil yang memiliki fungsi sebagai pengawas dalam praktik merugikan dan advokasi untuk tata kelola hutan yang baik dalam mencapai pengelolaan hutan lestari (Mirjam dkk, 2008).

IV. Praktek Kemitraan di Indonesia

(5)

Sumberdaya Hutan Bersama Masyarakat (PHBM), kemudian disesuaikan kondisi diganti dengan SK Direksi Perum Perhutani No. 268/KPTS/DIR/2007 tentang Pedoman Pelaksanaan Pengelolaan Sumberdaya Hutan Bersama Masyarakat (PHBM) Plus, setelah itu direvisi kembali dengan SK Direksi Perum Perhutani No. 682/KPTS/Dir/2009 tentang Pengelolaan Sumberdaya Hutan Bersama Masyarakat (PHBM). Dalam catatan Perum Perhutani (2012) luas hutan yang dikerjasamakan menjadi hutan pangkuan desa mencapai 2.216.225 Ha, tergabung dalam 5.727 LMDH dan 995 Koperasi Desa Hutan. Ini melikupi 5.278 desa hutan atau sekitar 97 % dari total desa hutan di Pulau Jawa dan Madura.

Pada dasarnya praktek PHBM sebagai model tata pengurusan hutan dengan kemitraan dengan aturan main yang disepakati bersama. Dalam implementasi kelembagaan sebagai aturan main, masyarakat sekitar hutan membentuk organisasi LMDH sebagai wadah dalam proses kemitraan dengan Perhutani. LMDH memiliki aturan main secara internal dan keperluan eksternal misal berhubungan dengan perhutani dan pihak-pihak lain. Program PHBM secara prakteknya ada laporan yang menginformasikan keberhasilan dan ada juga yang tidak. Informasi yang dihimpun mengenai keberhasilan, awalnya dari pemetaan struktur situasi masalah dalam perencanaan partisipatif, kemudian motivasi aktor dalam menjaga hubungan yang positif dan faktor fisik dan sifat sumberdaya dan barang yang diusahakan serta keterlibatan aktif.

Sebelum adanya program PHBM, masyarakat cenderung takut melakukan aktifitas di area kawasan hutan disebabkan pengalaman-pengalaman masa lalu yang Perum Perhutani melakukan pendekatan keamanan melalui penegakan hukum. Sekarang ketakutan tersebut berangsung-angsur mulai memanfaatkan disebabkan kepastian akses legal. Implikasi motivasi tersebut menjadikan gangguan perambahan hutan berkurang seiring dengan perbaikan kesejahteraan masyarakat ( Iqbal dkk, 2008). Implementasi PHBM memiliki stuktur aturan main dalam pembagian dan pengaturan hasil melalui perjanjian. Secara garis besar, aturan main pengaturan hasil PHBM untuk jenis kayu dan

tumpangsari adalah sebagai berikut (Iqbal dkk, 2008) :

1. Perum Perhutani memberikan fasilitas pemanfaatan lahan kehutanan kepada masyarakat di sekitar hutan untuk dikelola secara baik sesuai dengan kaidah konservasi. Pengusahaan lahan dibagi merata antar peserta dengan prioritas bagi yang tidak memiliki lahan.

2. Masyarakat berkewajiban menjaga pohon tegakan/pokok yang pada saat penebangan sebesar 25% menjadi bagian mereka.

3. Pada saat tanaman pokok masih muda (tahap penjarangan), masyarakat dapat mengusahakan jenis tanaman semusim yang semua hasil panennya menjadi hak masyarakat yang mengusahakan.

4. Apabila pohon sudah besar dan secara teknis pengusahaan tanaman semusim tidak layak lagi, masyarakat dapat mengusahakan jenis tanaman tahunan yang sesuai dengan tanaman pokok dan berfungsi sebagai tanaman pelindung. Pembagian hasil panen tanaman tahunan yang ditumpangsarikan dengan tanaman pokok dibagi sebesar 65% untuk masyarakat, 30% untuk Perum Perhutani, dan 5% untuk pemerintahan desa. 5. Masyarakat mendapat bimbingan teknis

melalui wadah Kelompok Tani Hutan (KTH) yang tergabung dalam Lembaga Masyarakat Desa Hutan (LMDH). Bimbingan tersebut difasilitasi oleh Perum Perhutani, LSM, penyuluh pertanian/kehutanan, penyuluh swakarsa, dan jajaran instansi terkait.

6. Untuk menambah wawasan masyarakat, Perum Perhutani juga memfasilitasi kegiatan studi banding ke lokasi lain.

(6)

Margomulyo Kabupaten Bojonegoro membangun kemitraan dengan bahu membahu (interlocking) dengan PT. Dupon dalam penanaman jagung pioner untuk bahan industri perusahaan tersebut dan PT. Indofood juga menawarkan untuk kerjasama tanaman lombal/cabai (Anonim, 2012). Ini sekelumit cerita yang dilaporkan mengenai keberhasilan PHBM di Jawa, dan masih banyak cerita tidak dilaporkan para pihak yang bermitra dan tidak dapat diakses oleh penulis baik dalam program yang berhasil maupun tidak. Pada dasarnya informasi yang dihimpun mengkaji informasi menemukenali keberhasilan program kemitraan berlangsung.

Dalam membangun PHBM, kunci keberhasilan didasarkan dari struktur formal dan pembagian kewenangan yang jelas (power sharing). Keberhasilan PHBM utamanya ditentukan oleh faktor kepemimpinan (agency) dan kebijakan pemerintah. Pemimpin lokal informal terbukti efektif menggerakkan aksi kolektif di tingkat lokal. Kebijakan yang menfasilitasi pembentukan communal property

ternyata efektif untuk meningkatkan kapasitas

masyarakat dalam melawan jaringan penebangan liar (Iqbal dkk, 2008).

Model-model kemitraan lainnya adalah kemitraan dalam pengelolaan hutan rakyat dan hutan tanaman rakyat. Model kemitraan tersebut menjadi alternatif pemenuhan kebutuhan bahan baku kayu ditengah-tengah semakin melemahnya pasokan kayu dari hutan alam yang terus menerus semakin rusak dan lesunya sektor industri hutan tanaman industri. Model ini sangat ironi yang dulu kurang dikembangkan dan nampaknya sangat mendorong usaha skala besar yaitu melalui hutan tanaman industri. Keterlanjuran ini menimbulkan pemanfaatan kawasan hutan produksi yang dimanfaatkan usaha skala besar dalam perkembangan sekarang ini. Menurut data perkembangan pemanfaatan di Kemenhut (2012, 2013) porsi kawasan hutan untuk pemanfaatan untuk skala komunal atau masyarakat sangatlah kecil, tidak lebih dari 2%. Adapun porsi terbesar masih mengandalkan pemanfaatan hutan alam skala besar dengan sebesar 32% dari total keseluruhan daratan Indonesia.

HL 15.91%

KSA 11.76%

Pemanfaatan Ht Alam 32.23%

HT 5.20% RE

0.01% HTR 0.09% HKM-HD 0.81%

Pecadangan 1.76%

Kebun 3.99% lain-lain 28.24%

Gambar 1. Distribusi penggunaan dan pemanfaatan daratan Indonesia (diolah dari data Kemenhut 2012, Kemenhut 2013)

Melalui Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.39/Menhut-II/2013 mengenai pemberdayaan masyarakat setempat melalui kemitraan, dibukanya akses masyarakat sekitar

(7)

(KPH) untuk meningkatkan kemandirian dan kesejahteraan rakyat dengan prinsip kesetaraan dan saling menguntungkan mulai digalakkan (Kemenhut, 2013). Ini merupakan terobosan dalam ruang politik yang baru untuk dunia tata kelola hutan telah muncul kemitraan yang memberi kebebasan para aktor privat dalam otoritas pengambilan keputusan, disamping selaras dengan intervensi pemerintah. Terobosan ini akan menjadi pemungkin dominasi pemanfaatan hutan skala besar bermitra dengan masyarakat setempat dalam menjaga hubungan positif dan mendekatkan pada legitimasi tata kelola hutan. Ini yang menjadi alternatif solusi dalam mengatasi keterbatasan ruang pemanfaatan yang ada untuk memasukkan masyarakat ke dalam pengelolaan dan pemanfaatan hutan sebagai tujuan bersama. Usaha ini menjadi pemungkin dalam mendekatkan pada legitimasi tata kelola hutan. Adapun dalam pasal 5 Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.39/Menhut-II/2013 prinsip-prinsip yang digunakan dalam kemitraan kehutanan meliputi:

1. Kesepakatan: semua masukan, proses dan keluaran Kemitraan Kehutanan dibangun berdasarkan kesepakatan antara para pihak dan bersifat mengikat.

2. Kesetaraan: para pihak yang bermitra mempunyai kedudukan hukum yang sama dalam pengambilan keputusan.

3. Saling menguntungkan : para pihak yang bermitra berupaya untuk mengembangkan usaha yang tidak menimbulkan kerugian. 4. Lokal spesifik : Kemitraan Kehutanan

dibangun dan dikembangkan dengan memperhatikan budaya dan karakteristik masyarakat setempat, termasuk menghormati hak-hak tradisional masyarakat adat.

5. Kepercayaan : Kemitraan Kehutanan dibangun berdasarkan rasa saling percaya antar para pihak.

6. Transparansi: masukan, proses dan keluaran pelaksanaan Kemitraan Kehutanan dijalankan secara terbuka oleh para pihak, dengan tetap menghormati kepentingan masing-masing pihak.

7. Partisipasi : pelibatan para pihak secara aktif, sehingga setiap keputusan yang diambil memiliki legitimasi yang kuat.

Adapun luasan areal yang diperkenankan tidak lebih dari 2 ha setiap keluarga bagi kegiatan pemungutan kayu, sedangkan non kayu misalnya jasa lingkungan diperkenan lebih dari luasan tersebut. Dalam peraturan tersebut, pengelola hutan, pemegang izin dan KPH yang telah melaksanakan kegiatan kemitraan dapat diberikan insentif, namun insentifnya ini yang akan diatur dalam Peraturan Dirjen.

Peranan model kemitraan memberi pengharapan bagi masyarakat untuk meningkatkan kesejahteraan melalui kesempatan dalam berusaha di sektor kehutanan, pemanfaatan ruang di bawah tegakan dalam ruang vertikal maupun horisontal. Disamping itu, kemitraaan dapat memberi peluang peningkatan produktifitas lahan dan sebagai solusi terhadap perbaikan nilai ekologi serta alternatif solusi terhadap krisis penyediaan sumberdaya (termasuk pangan) dan permasalahan mengenai

land tenure.

V. Penutup

(8)

melaksanakan kemitraan, terdapat program yang berhasil dan ada juga yang tidak. Informasi yang dihimpun mengenai keberhasilan, awalnya dari pemetaan struktur situasi masalah dalam perencanaan partisipatif, keterlibatan aktif para aktor dan masyarakat, sifat barang atau jasa yang dipertukarkan, minimal biaya transaksi yang membebani kemudian motivasi aktor yang signifikan dengan menjaga hubungan yang positif dan menguntungkan, selain itu juga insentif.

Daftar Pustaka

Anonim, 2012. LMDH membangun jaringan kemitraan dengan Industri PT. DUPON.

http://desakalangan.com/lmdh/lmdh- membangun-jaringan-kemitraan-dengan-pt-dupon/

Anonim, 2012. Pengelolaan Hutan Bersama

Masyarakat (PHBM).

http://perumperhutani.com/csr/phbm/ Anonim, 2012. Statistika Bidang Planologi

Kehutanan Tahun 2012. Kementerian Kehutanan. Jakarta.

Bhattacharya, P., Pradhan, L., dan Yadav, G.2009. Joint Forest Management in India: Experiences of two decades. Journal Conservation and recycling 54,469-480. Brody, S.D., Cash, S.B., Dyke, J., dan Thornton, S.

2006. Motivations for the forestry industry to participate in collaborative ecosystem management initiatives. Journal Forest Policy and Economics 8, 123-134.

Buizer, M., dan Arts, B. 2009. Forests, discources, institutions a discursive-institutional analysis of global forest governance. Journal Forest Policy and Economics 11, 340-347.

Colfer, C.J.P. 2011. Marginalized forest peoples’ perceptions of the legitimacy of governance: an exploration. Journal World Development vol. 39, No.12, 2147-2164.

Iqbal, M., Nurmanaf, A.R., dan Agustian, A. 2008. Fenomena Perambahan Hutan dan Perspektif Program Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat. Journal Sosial Ekonomi Volume 8 Nomor 2, 71-85.

Keraf, A.S. 2010. Etika Lingkungan Hidup. Penerbit Kompas. Jakarta.

Khadka, C., Hujala, T., Wolfslehner, B., dan Vacik, H. 2012. Problem structuring in participatory forest planning. Journal Forest Policy and Economics 26, 1-11.

Krott, M. 2012. Value and risks of the use of analytical theory in science for forest policy. Journal Forest Policy and Economics 16, 35-42.

Mert, A. 2009. Partnerships for sustainable devolepment as discursive practice: Shifts in discourses of enviroment and democracy. Journal Policy and economics 11, 326-339. Mirjam, A.F., Ros-Tonen, van Andel, T., Morsello

C., Atsuki, K., Rosenda, S., dan Scholz, I. 2008. Forest-related partnerships in Brazillian Amozonia: There is More to sutainable forest management than reduced impact logging. Journal Forest Ecology and Management 256, 1482-1497.

Mitchell, B., Setiawan, B. dan Rahmi, D.H. 2010. Pengelolaan Sumberdaya dam Lingkungan. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta. Moore, C.T., Lonsdorf, E.V., Knutson, M.G.,

Laskowski, H.P., dan Lor, S.K. Adaptive management in the US National Wildlife refuge System: Science-management partnership for conservation delivery. Journal of Environmental Management 92, 1395-1402.

Paul, S., dan Chakrabarti, S. 2011. Socio-economic issues in Forest Management in India. Journal Forest Policy and Econimics 13, 55-60.

Peraturan Menteri Kehutanan nomor P.39/Menhut-II/2013 tentang pemberdayaan masyarakat setempat melalui kemitraan Peraturan Menteri Kehutanan nomor

P.44/Menhut-II/2013 tentang Rencana Kerja Puspaninrum, D. 2011.Pelembagaan Program

Gambar

Gambar 1.Distribusi penggunaan dan pemanfaatan daratan Indonesia (diolah dari data Kemenhut2012, Kemenhut 2013)

Referensi

Dokumen terkait

Cara yang di tempuh orang tua tunggal perempuan dalam memenuhi kebutuhan psikologis adalah dengan cara memberikan rasa sayang, aman, cinta yang dapat di

Karena pekejaan public relations sering berusaha untuk berhubungan dengan berbagai kelompok masyarakat, bahasa tulis sering menjadi alat yang penting dalam membuat

Tujuan penelitian ini adalah untuk menentukan karakteristik sediaan, pelepasan dan penetrasi natrium diklofenak dalam sistem mikroemulsi dengan basis gel HPMC

Kesepu- luh menu pilihan tersebut ialah input of observational data (melihat data- data pengamatan yang telah dimasukkan), acquire orbital elements (melihat.. elemen-elemen orbit

Zainul Arifin ini bertujuan untuk mengetahui karakteristik visual yang terdapat pada koridor jalan ini.. Kajian ini dilakukan dengan pendekatan teori

Anodontia dapat berupa : Tidak adanya benih gigi (gigi ga akan pernah tumbuh) atau tidak adanya gigi secara klinis meskipun ada benih karena, tidak ada ruang, posisi yang

Penelitian ini bertujuan untuk (1) meningkatkan kemampuan berpikir matematis tingkat tinggi siswa kelas X Kep 3 SMK Negeri 1 Amlapura semester II tahun pelajaran

Berdasarkan pada hasil deteksi tersebut di atas, CMV galur S masih merupakan virus yang dominan menginfeksi kedelai dengan insidensi yang paling tinggi dibandingkan dengan