Filsafat Ilmu Ala Islami
Kajian Epistimologi menurut Abed Al Jabiri .
Moch. Fachrudin Al Ichsani
Aqidah Filsafat UIN Sunan Ampel Surabaya
Abstrak
Ketika dunia keilmuan Islam selama kurun waktu seratus tahun lampau tidak mampu memberikan konstribusi yang jelas dan definitive. Walaupun untuk sementara, terhadap proyek kebangkitan yang mereka banggakan. Kesadaran mereka terhadap urgensi kebangkitan tidak berdasarkan realitas dan orientasi perkembangannya, melainkan berdasarkan jurang pemisah antara arab kontemporer yang inferior dan kemajuan Barat modern. Maka dari itu Abid Al Jabiri menawarkan tiga epistimologi, yaitu Burhani, Irfani dan Bayani
Kata kunci :Burhani, Irfani dan Bayani
Pendahuluan
Kurangnya kontibusi dunia Islam dalam bidang keilmuan membuat Abed Al Jabiri merasa prihatin dengan keadaan yang ada. Maka dari itu Abed Al Jabiri memberikan solusi berupa rekonstruksi epistimologi untuk membuat alat bantu dalam membangun keilmuan keagamaan yang dirasa telah berbeda oleh keilmuan Barat1.
Dalam membangun epistimologinya, Abed Al Jabiri telah mengadopsi maupun menelaah metode dari karya-karya pendahulunya seperti Ibnu Mandzhur dalam membangun Bayaninya, Imam Syaf’i dengan metode qiyasnya, Ibn Rusyd dengan Burhaninya2.
Dengan kolaborasi ketiga metode pendahulunya, maka hal ini dapat mendekatkan ilmu keagamaan dengan aspek-aspek humanitiesnya, dengan mengintegrasikan antara epistimologi
1 M. Arfan Muammar dkk, Studi Islam Perspektif Insider/Outsider (Yogyakarta: IRCiSoD, 2013) hal 50
bayani, Irfani, dan Burhani. Walapun pada awalnya bayani mencurigai akal namun dengan irfani telah mengontrol perimbangan pemikiran, sebab irfani bersumber dari intuisi dan bayani bersumber dari teks. Dengan demikian dapat membongkar ekskulivisme, ketertutupan dan kekakuan disiplin keilmuan dalam agama.
Epistimologi Bayani
Al Jabiri membangun epistimologi bayaninya dengan mengacu kepada kamus lisan Al Arab karya Ibn Mandzur. Secara etimologi, Bayan berarti penjelasan (eksplanasi). Al-Jabiri berdasarkan beberapa makna dari bahasa Arab mengartikan sebagai al fashl wal Infishal (memisahkan dan terpisah) dalam kaitannya dengan metodologi dan al dhuhur wal idhar (jelas dan penjelasan) berkaitan dengan visi dari metode bayani.3
Secara terminology bayan memmiliki dua arti, yang pertama sebagai aturan penafsiran wacana (qawani al tafsir al khithabi), dan yang kedua sebagai syarat-syarat memproduksi wacana (syurut intaj al khithabi). Bayani adalah metode pemikiran khas Arab yang menekankan otoritas teks (nash, secara langsung atau tidak langsung. Secara langsung maksudnya memahami teks sebagai pengetahuan dan langsung mengaplikasikan tanpa perlu pemikiran sebelumnya. Hal ini bukan berarti akal bebas menafsirkan maupun menentukan makna dan maksudnya, akan tetapi tetap harus bersandar pada teks.
Metode bayani
Metode ini menggunakan dua jalan. Pertama, berpegang pada redaksi teks menggunakan kaidah bahasa Arab. Kedua, menggunakan metode qiyas (analogi). Maka dari itu dari sinilah prisnsip utama epistimologi bayani. Dalam kajisan Ushul al fiqh, qiyas diartikan memberikan keputusan hukum suatu masalah berdasarkan masalah lain yang telah ada kepastian hukumnya dalam teks, karena ada kesamaan illah. Syarat yang harus dipenuhi dalam penggunaan qiyas yang pertama adalah adannya al ashl yakni nash suci yang memberikan hukum dan digunakan sebagai acuan atau ukuran, yang kedua, al far yakni sesuatu yang tidak ada hukumnya dalam nash. Yang ketiga, hukum al ashl yakni ketetapan hukum yang diberikan oleh ashl. Yang
keempat yaitu illah, yakni keadaan tertentu yang digunakan sebagai dasar ketetapan hukum ash4l.
Epistimologi Burhani
Yang dimaksud disini adalah, bahwa mengukur benar tidaknya sesuatu berdasarkan kemampuan manusia berupa akal dengan terlepas dari teks wahyu yang bersifat sacral dan dapat memunculkan peripatik. Sumber epistimologi ini adalah realitas dan empiris alam social dan humanities dalam arti ilmu adalah diperoleh dari hasil percobaan, penelitian, eksperimen, baik dari laboratorium ataupun alam nyat, bauk yang bersifat social maupun alam.
Epistimologi Irfani
Dalam bahasa arab searti dengan makrifat. Dikalangan para sufi, makrifat disini diartikan sebagai pengetahuan langsung tentang Tuhan berdasarkan atas wahyu atau petunjuk Tuhan, disiplin gnostisme (‘ulum al irfan) yang didasarkan pada wahyu dan “pandangan dalam” sebagai metode epistimologinya. Dengan memasukan sufisme, pemikiran Syafi’I, penafsiran esoteric terhadap Al Qur’an,dan orientasi filsafat iluminasi. Ketiga model epistimologi diatas jika disingkat, metode bayani adalah rasional, metode irfani adalah intuitif, dan metode burhani adalah empiric, dalam epistimologi umumnya. Jabiri tidak melihat ketiga metode ini pada bentuknya yang ideal hadir dalam setiap figure pemikir. Masing masing system telah mengalami kontamisasi.
Kesimpulan
Sekian lama islam tak memberikan distribusi terhadap bidang keilmuan, juga mulai berkembangnya ilmu sehingga ilmu telah memisahkan diri dari filsafat. Kegelisahan juga dirasakan Abed Al Jabiri yang memandang para ilmuan Islam kurang visioner dan salah tangkap akan semangat kebangkitan Islma yang dielu-elukan. Kegelisahan ini yang memaksa Abed Al Jabiri mengkomparasikan ketiga metode yaitu Burhani, Irfani dan Bayani.
Maka dari itu sangat representative karena struktur struktur fundamental kefilsafatan ilmu kajian-kajian keislaman dalam dataran humanities. Dan menurut Abed Al Jabiri ketiga metode ini cukup ideal untuk digunakan para pemikir muslim selanjutnya.
Daftar Pustaka
Al Jabiri, Abed, Post Tradisionalism,Yogyakarta: LKiS, 2000
Al Jabiri, Abed, Bunyah al ‘Al Aql Wal Bunyah, Beirut: Markaz Dirasah Al WIhdah Al Arabiyah, 1992
Filsafat Ilmu Ala Islami
DiajukanUntukMemenuhi Tugas Mata Kuliah
Filsafat Ilmu
Dosenpembimbing: DR. Abdul Kadir Riyadi Ph. D
Oleh
MOCH. FACHRUDIN AL ICHSANI