• Tidak ada hasil yang ditemukan

TATA KELOLA TENURIAL KEHUTANAN DALAM PER

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "TATA KELOLA TENURIAL KEHUTANAN DALAM PER"

Copied!
6
0
0

Teks penuh

(1)

TATA KELOLA TENURIAL KEHUTANAN DALAM PERSPEKTIF SYARIAH ISLAM

Oding Affandi NIM E.161140031

Prodi Ilmu Pengelolaan Hutan

PENDAHULUAN

Pengelolaan hutan di Indonesia tidak dapat dipungkiri telah menjadi sorotan berbagai pihak mulai dari tingkat lokal, nasional, hingga global. Terdapat berbagai isu krusial dan mendasar yang menjadi permasalahan pengelolaan hutan di Indonesia seperti penegakan hukum yang lemah, kapasitas kelembagaan manajemen hutan pada level tapak yang lemah, carut marutnya dokumen legalitas dalam pengelolan, tumpang tindih kebijakan, tingginya tingkat kerusakan hutan (deforestasi) hingga permasalahan tenurial kehutanan1 yang melahirkan berbagai macam konflik multidimensi.Maladi (2013) menambahkan bahwa kondisi permasalahan kehutanan diperparah ketika orientasi pembangunan kehutanan menggunakan sistem ideologi ekonomi pasar (kapitalisme).

Terkait permasalahan tenurial, Afif (2005) menyatakan bahwa masalah tenurial mau tidak mau akan terkait dengan sistem politik, ekonomi, sosial, budaya, hukum dan menyangkut persoalan kekuasaan. Pihak-pihak yang terlibat dalam persoalan tenurial tidak hanya Negara tetapi juga komunitas itu sendiri. Dengan demikian persoalan legitimasi dari klaim tenurial terkait dengan kebijakan Negara dan persoalan kultural yang berkembang dalam masyarakat. Kebijakan negara biasanya kemudian diterjemahkan kedalam suatu aturan hukum. Aturan hukum inilah yang kemudian mengatur mana klaim yang legal maupun yang illegal. Aturan hukum negara mengatur hak-hak warganegara (perempuan dan laki-laki ataupun suatu badan hukum) untuk memperoleh akses dan mengontrol sebidang tanah dan sumber-sumber alam didalam wilayah negara. Persoalannya adalah, kadang-kadang aturan hukum negara ini tidak mengadopsi atau bahkan bertolakbelakang dengan praktek-praktek sehari-hari dan kebiasaan yang telah turun temurun berlaku dalam masyarakat. Secara sederhana bisa dikatakan bahwa permasalahan tenurial secara umum disebabkan karena adanya ketidakpastian penguasaan lahan (tenure security) serta benturan atas konsep kepemilikan lahan (tenure right) antara yang bersifat de jure2 dan de facto3.

Kondisi de facto ini penting untuk diketahui karena kehidupan sehari-hari suatu masyarakat berlangsung dalam kondisi de facto ini, yang jika diabaikan oleh negara maupun oleh mereka yang memegang hak de jure, dapat memunculkan konflik. Namun demikian jika kita lihat lebih jauh, sesungguhnya akar permasalahan tenure tersebut berasal dari ekses sistem kapitalisme yang melegalkan kebebasan kepemilikan. Dalam sistem ini berlaku prinsip survival of the fittest atau the might is right (siapa yang kuat, dia yang bertahan dan siapa yang kuat dialah yang benar). Pada akhirnya bangunan sosial masyarakat seperti tradisi, norma, kearifan lokal , pengetahuan lokal, dipaksa berhadapan dengan budaya kapitalisme “hutan”, “kebun”, maupun “tambang” yang didukung oleh struktur negara (penguasa) yang pro pengusaha konglomerat. Dan tidak jarang, agar terlihat elegan dan konstitusional, tidak segan-segan mereka membuat peraturan (de jure), seperti terkait izin usaha pemanfaatan hasil hutan, kebun, maupun tambang, yang melegalkan tujuan mereka.

KONDISI TENURIAL KEHUTANAN

Selama kurun waktu 10 tahun (2000-2009), luas hutan Indonesia hanya tersisa 46,3% atau setara dengan 88 juta ha, dimana 10,8 ha juta merupakan hutan gambut. Sementara hutan yang hilang (deforestasi) di Indonesia diperkirakan mencapai 1,5 juta ha per tahun (FWI, 2011). Nasib hutan di

1 Kartodihardjo (2014) mengistilahkan “

tenurial kehutanan” dengan “agraria kehutanan”. Istilah agraria kehutanan digunakan karena memandang bahwa hutan menjadi bagian dari sumber-sumber agraria yang mempunyai fungsi sosial, ekonomi maupun lingkungan hidup. Ia bukan hanya hutan negara, tetapi juga hutan dengan alas hak pribadi (hutan hak) maupun komunitas (hutan adat).

2 Istilah de jure digunakan untuk menunjukkan kepemilikan formal yang berdasarkan hukum atau peraturan yang dianggap sah oleh negara atau pemerintah yang berkuasa.

(2)

Indonesia, bak telur di ujung tanduk alias sungguh memprihatinkan. Hasil kajian terbaru FWI (2014), pada periode 2009-2013, negeri ini kehilangan tutupan hutan alian mengalami deforestasi sebesar 4,5 juta ha atau 1,13 juta ha per tahun. Riau, Kalimantan Tengah, Kalimantan Timur, Kalimantan Barat dan Papua, mengalami deforestasi terparah. Riau urutan pertama seluas 690 ribu ha, disusul Kalteng 619 ribu ha, Papua 490 ribu ha, Kaltim 448 ribu ha dan Kalbar 426 ribu ha.

Sementara itu menurut Kementerian Kehutanan RI dalam RKTN tahun 20114, pada saat ini tercatat hutan negara seluas 130,68 juta Ha, dimana telah ditetapkan seluas 14,24 juta Ha (10,9%). Itupun dengan kondisi di semua fungsi hutan (konservasi, lindung, produksi) terdapat hak-hak pihak ketiga yang berupa izin-izin tambang dan kebun, hutan adat dan hutan/lahan hak perorangan. Sementara itu, hampir seluruh rencana tata ruang senantiasa menginginkan konversi hutan seluas 5%-24% dari luas kawasan hutan di propinsi untuk pembangunan non kehutanan serta mengkomodir keberadaan ribuan desa yang sudah ada di dalamnya. Disamping itu, keberadaan perkembangan izin tambang di dalam hutan negara bukan hanya di hutan produksi, tetapi juga berada di hutan lindung seluas 3,8 juta Ha, yang rawan terjadi kerusakan lingkungan. Jumlah dan luas usaha pertambangan di hutan negara yang telah berproduksi terus mengalami peningkatan dan di akhir 2013 mencapai 681 perusahaan dengan luas 461 ribu Ha. Adapun jumlah dan luas tambang di hutan negara yang sedang melakukan eksplorasi tercatat berjumlah 552 perusahaan dengan luas 2,9 juta Ha.

Berdasarkan RKTN Kemenhut tahun 2011 tersebut pada tahun 2030 hutan negara tersebut akan menjadi 112,33 juta Ha atau sekitar 18,35 juta Ha akan dialokasikan bagi penggunaan non kehutanan. Perubahan kawasan hutan seluas 18,35 juta Ha yang telah direncanakan itu pada dasarnya mengakomodir kerusakan hutan maupun alih fungsi yang terjadi secara riil di lapangan, legal atau illegal. Secara nasional hutan bekas tebangan (log over area) di hutan produksi yang tidak dikelola secara intensif sudah seluas 42,26 juta Ha (32 %), selain itu dari seluruh hutan negara seluas 22,5-24,4 jt Ha sudah menjadi desa/kampung. Artinya, pengurangan luas hutan negara yang dicanagkan dalam RKTN itu lebih untuk mengakomodir hutan negara yang sudah tidak berhutan karena berbagai sebab. Itupun hanya sepertiga dari luas hutan negara yang sudah tidak berhutan tersebut.

Baru-baru ini Pemerintah melalui Perpres No. 16/2015 tentang Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, melebur Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan menjadi Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK). Di dalam struktur kelembagaan Kementerian yang baru ini, isu tenurial di kawasan hutan menjadi salah satu arus utama. Hal ini secara tersurat tertuang dalam Perpres ini, dimana dalam Pasal 30 dan 31 menguraikan bahwa KLHK melalui Direktorat Jenderal Perhutanan Sosial dan Kemitraan Lingkungan mempunyai tupoksi terkait penyelenggaraan penanganan konflik pengelolaan hutan, pemolaan kawasan perhutanan sosial, peningkatan kapasitas masyarakat dalam pengelolaan hutan, penanganan tenurial dan hutan adat, serta komunikasi publik dan peran serta masyarakat dalam perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup”. Selain itu, Pemerintah melalui Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan pada Januari 2015 juga membentuk Tim Penanganan Pengaduan Kasus-Kasus Lingkungan Hidup dan Kehutanan (TP2KLHK) melalui Permen Nomor: 24/Menhut-II/2015. Tim yang melibatkan organisasi masyarakat sipil ini bertugas untuk menampung dan menganalisis kasus-kasus lingkungan hidup dan kehutanan yang disampaikan oleh masyarakat dan menyiapkan langkah-langkah penanganannya.

PENYEBAB KERUSAKAN HUTAN

Kartodihardjo (2014), menyatakan bahwa berdasarkan kenyataan di lapangan (de facto), kerusakan hutan setidaknya disebabkan oleh 4 hal yaitu: status hutan negara tidak legitimate, penguasaan SDA oleh swasta/pemegang izin, terdapat mekanisme formal untuk melakukan konversi hutan, serta kebijakan perizinan yang dijalankan bukan sebagai alat pengendalian. Adapun penjelasan penjelasan ke empat hal tersebut adalah sebagai berikut:

1) Legalitas hutan negara. Status legal kawasan hutan negara yang dilakukan melalui proses pengukuhan kawasan hutan oleh Panitia Tata Batas (PTB)5 hanya secara umum menghasilkan Berita

(3)

Acara Tata Batas (BATB) yang ditanda-tangani panitia itu, tetapi adanya klaim terhadap hutan negara tidak diselesaikan. Akibatnya hutan negara yang sudah legal tidak legitimate, dalam arti masih tidak diakui keabsahan legalitasnya itu. Tanpa adanya legitimasi itu, alih fungsi dan kerusakan terus terjadi, baik akibat perkembangan penduduk maupun izin-izin tambang dan kebun secara illegal. 2) Penguasaan hutan oleh swasta. Kebijakan dan skema perizinan secara umum mengharuskan para

calon pemegang izin—hutan, tambang, kebun—mencari sendiri calon lokasi izin di dalam wilayah yang telah dialokasikan Pemerintah. Dengan demikian, swasta harus mempunyai informasi akurat tentang lokasi itu, karena akan menentukan kelayakan usahanya. Pemerintah/Pemda melakukan verifikasi ketepatan lokasi izin tersebut, namun dalam prakteknya informasi yang digunakan sangat terbatas. Akibatnya, hampir setiap lokasi izin masih terdapat konflik penggunaan atau pemanfaatan hutan oleh pihak lain, termasuk adanya pemukiman, kebun dan lahan-lahan pertanian masyarakat adat/lokal.

Di sisi lain, legalitas hak atas hutan/tanah bagi warganegara—masyarakat adat/lokal—untuk mendapatkan ruang hidup, praktis tidak difasilitasi Pemerintah/Pemda. Sementara itu dalam proses penetapan hutan negara secara hukum, legalitas hak atas hutan/tanah menjadi persyaratan yang harus dipenuhi dan persyaratan demikian ini tidak dipunyai masyarakat. Jalan lain bagi masyarakat adat/lokal untuk mendapat hak/akses terhadap pemanfaatan hutan melalui skema izin—dalam bentuk Hutan Kemasyarakatan, Hutan Tanaman Rakyat, Hutan Desa—untuk mendapatkan legalitas tidak dapat dipenuhi akibat persyaratan administrasi dan mahalnya pengurusan izin. Dalam 10 tahun terakhir komposisi pemanfaatan hutan antara usaha besar dan kecil tidak berubah, dan kini komposisi itu dengan angka 97% untuk usaha besar dan 3% untuk usaha kecil.

3) Konversi hutan by design. Skema perizinan pemanfaatan hasil hutan kayu dari hutan alam (IUPHHK-HA), hutan tanaman (IUPHHK-HT), dan tambang melalui izin pinjam pakai kawasan hutan (IUPPKH), secara de facto telah mewujudkan konversi hutan alam secara sistematis. Peran IUPHHK-HA dalam menghasilkan kayu bulat selama 10 tahun terakhir telah digantikan oleh IUPHHK-HT dan dalam waktu yang sama terjadi peningkatan usaha tambang (IUPPKH). Apabila ini terjadi akan terdapat sekitar 39 juta Ha hutan produksi yang tidak ada pengelolanya, atau secara defacto terjadi open access. Kondisi ini akan semakin mempermudah usaha tambang bekerja di hutan produksi

4) Mempermainkan fungsi Izin. Perizinan pada dasarnya adalah suatu proses untuk dapat melakukan tindakan tertentu yang dilarang, namun dengan izin, hal yang dilarang itu menjadi sah dilakukan. Dengan demikian, substansi izin itu adalah pengendalian yang harus dilakukan, untuk tujuan sosial, lingkungan, ekonomi secara adil, oleh pihak yang berwenangan atau pihak pemberi izin (Lihat juga Siombo, 2014). Namun, dalam kenyataannya tidak demikian. Kajian KPK (2013) menunjukkan bahwa di dalam seluruh mata rantai perizinan kehutanan mulai dari pengurusan izin, perencanaan hutan, pelaksanaan produksi, tata niaga hasil hutan, serta pengawasan dan pengendalian perizinan, terdapat biaya suap/peras.

Sementara itu Heilbroner (1991); Mustka (2005); dan Maladi (2013), menyatakan bahwa yang menjadi sumber utama kegagalan pengelolaan hutan selama ini adalah ideologi kapitalisme. Karakter kapitalisme yang individualis telah mewujud dalam sikap menomorsatukan kepemilikan individu (private property) sebagai premis ekonomi dalam Kapitalisme. Jadi wajarlah jika dalam pengelolaan hutan, hutan dipandang sebagai milik individu, yakni milik pengusaha melalui pemberian HPH (sekarang IUPHHK) yang diberikan oleh penguasa. Selain mengutamakan kepemilikan individu, pendekatan kapitalisme yang utilitarian (mementingkan kemanfaatan) telah melahirkan sikap eksploitatif atas sumber daya alam seraya mengabaikan aspek moralitas. Pernyataan ini diperkuat oleh Ormedo (1998) dalam Hatta (2013) yang menyebutkan bahwa buku yang dibuat oleh Ormedo yang berjudul “Matinya Ilmu Ekonomi” (The Death of Economic) telah membuat kejutan bagi para pemikir ekonomi. Ormedo dalam bukunya memaparkan banyak bukti bahwa pemikiran ekonomi yang telah diterapkan selama puluhan tahun di dunia kapitalis Amerka dan Barat, tidak mampu menyelesaikan permasalahan ekonomi atau menjelaskan mengapa terjadi kerusakan ekonomi di negara maju seperti Amerika dan Barat

(4)

pembenahan tata kelola lahan hutan (forest tenure governance) yang menyeluruh dan sistematis, dari hulu hingga hilir pada semua aspek tata kelola kehutanan.

TATA KELOLA TENURIAL DALAM PERSPEKTIF SYARIAH ISLAM

Hakim, dkk. (2013) menyatakan bahwa proses reforma agraria di kawasan hutan (forest tenure reform) sangat terkait dengan peran negara, masyarakat lokal, dan pihak-pihak yan berkepentingan terhadap lahan hutan. Hal tersebut disebabkan karena di areal/kawasan hutan terkandung berbagai potensi, baik di atas lahannya maupun di bagian bawahnya dan potensi lahannya sendiri untuk kegiatan usaha tani masyarakat yang dalam situasi dan waktu tertentu menjadi sumber konflik kepentingan antara keinginan untuk memanfaatkan potensi hutan dengan mempertahankan perannya dalam konservasi.

Dengan adanya Perpres No. 16/2015 kita berharap pemerintahan Jokowi, melalui Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) dan lembaga/kementerian terkait, segera merealisasikan program kerjanya sebagaimana tertuang dalam Nawacita yang terkait dengan bidang LHK, dan khususnya yang terkait forest tenure reform, sehingga permasalahan tenurial bisa segera terselesaikan. Peluang itu sangat besar karena setidaknya terdapat 2 Nawacita yang terkait dengan tenurial yaitu: pertama, membangun Indonesia dari pinggiran. Penetapan wilayah adat merupakan mandat konstitusi yang telah tertuang dalam putusan Mahkamah Konstitusi No. 35/PUU-X/ 2012 menyangkut hutan adat. Demikian juga penetapan wilayah kelola rakyat lainnya seperti HKm, HD, HTR, dan HR harus betul-betul menjadi komitmen politik pemerintah Jokowi melalui Nawacita yang menghendaki membangun sendi perekonomian nasional dari pinggiran. Kedua, memperkuat kehadiran negara dalam melakukan reformasi sistem dan penegakan hukum. Terkait dengan point pertama, pemeritah baik pusat maupun daerah harus segera merealisaikan kepastian hukum hak kepemilikan atas tanah.

Target pemerintah untuk mewujudkan pengelolaan 12,7 juta hektar kepada masyarakat adat dan komunitas lokal sangat penting untuk penghormatan dan perlidungan hak, dan peningkatan kesejahteraan masyarakat. Pemerintah Daerah memegang peran sangat penting dalam hal ini untuk menginisiasi dan membentuk peraturan daerah, mengorganisir dan memberikan pembinaan kepada masyarakat adat dan komunitas lokal dalam pengelolaan sumberdaya hutan secara berkelanjutan, disertai dengan program kerja dan pendanaan yang memadai. Implementasi program ini harus terintegrasi dengan sistem pendaftaran tanah di BPN.

Agar target itu tercapai, pemerintah harus segera membuat regulasi (beserta operasionalnya) serta membuat roadmap tentang distribusi 12,7 juta hektar wilayah kelola rakyat tersebut. Salah satu cara yang bisa ditempuh adalah pemerintah membuat regulasi terkait dengan “kepemilikan lahan dan kewajiban adanya pengelolaan atas lahan yang dimilikinya” (An-Nabhani,1990; Al-Maliki, 2009; Triono, 2011).

Mekanisme Penguasaan Tanah

Hingga kini persoalan kepemilikan dan penguasaan tanah masih menjadi agenda utama perekonomian. Di beberapa negara feodal dimana tanah banyak dikuasai oleh tuan tanah, ketimpangan kepemilikan dipecahkan dengan land reform. Jepang, Korea Selatan dan Taiwan adalah negara paling intens dalam sejarah modern yang menjalankan land reform setelah perang dunia kedua. Land reform dijalankan dengan tujuan menghapuskan, secara psikologis dan materiil¸tuan-tuan tanah yang menjadi motor penggerak di belakang negara-negara ini untuk mengobarkan perang. Reformasi ini berdampak sangat jauh dalam mempersamakan distribusi pendapatan di pedesaan dan turut menjaga perbedaan pendapatan antara kota dan desa sehingga menjadi lebih sempit daripada negara lain. Akibat reformasi ini, kekuatan kaum feodal menjadi hancur, meniadakan persewaan tanah pertanian dan membatasi kepemilkan tanah garapan.

(5)

Sistem ekonomi Islam mengakui tanah termasuk dalam kategori kepemilikan individu (private property) apabila tidak ada unsur-unsur yang menghalanginya seperti terdapat kandungan bahan tambang atau dikuasai oleh negara. Ketika kepemilikan ini dianggap sah secara syariah, maka pemilik tanah memiliki hak untuk mengelolanya maupun memindahtangankan secara waris, jual beli dan pembelian. Sebagaimana kepemilikan individu lainnya, kepemilikan atas tanah ini bersifat pasti tanpa ada pihak lain yang dapat mencabut hak-haknya. Negara melindungi harta milik warga negara dan melindunginya dari ancaman gangguan pihak lain.

Dengan demikian, kepemilikan atas tanah dapat dilakukan dengan prinsip yang sama dengan komoditas lainnya. Tanah dapat dikuasai dengan waris, hadiah, dan jual beli sebagaimana komoditas lainnya pun dapat dilakukan dengan transaksi ini. Namun demikian, sistem ekonomi Islam juga telah menetapkan mekanisme lainnya dalam penguasaan tanah secara khusus yaitu menghidupkan tanah mati dan pemberian oleh negara.

Kewajiban Pengelolaan Lahan Yang Dimiliki

Kewajiban mengelola lahan yag dimiliki secara umum berhubungan dengan menghidupkan tanah mati (ihya’ul mawat) artinya mengelola atau menjadikan tanah mati agar siap ditanami. Yang dimaksud tanah mati adalah tanah yang tidak tampak dimiliki oleh seseorang, dan tidak terdapat tanda-tanda apa pun, seperti pagar, tanaman, pengelolaan, ataupun yang lain. Tanah mati yang telah dihidupkan oleh seseorang akan menjadi milik orang bersangkutan. Oleh karena itu dalam konteks kewajiban mengelola lahan ini sangat terkait dengan produksi, kontinuitas produksi, dan peningkatan produsi sebagai solusi masalah tenurial. Dengan kata lain kepemilikan lahan itu juga disyaratkan adanya pengelolaan seperti membuat batas, menanaminya (kegiatan pertanian, perkebunan, kehutananan), membersihkan lahannya, membangun bangunan di atasnya seperti rumah, kantor, peternakan, dan lain-lain.

Maka berkenaan dengan adanya kewajiban mengelola lahan yang dimiliki, pemerintah dapat membuar regulasi yang menekankan kepada empat hal yaitu: Pertama, kebijakan menghidupkan tanah mati (tanah terlantar atau tidak produktif). Pemerintah mengizinkan siapa saja yang memiliki kemampuan untuk menghidupkan tanah yang tidak produktif dengan cara mengelola/menggarapnya, yakni dengan menanaminya. Setiap tanah yang mati, jika dihidupkan/digarap oleh orang, adalah milik orang yang bersangkutan. Ketentuan ini didasarkan pada sabda Nabi saw. berikut: “Siapa saja yang menghidupkan sebidang tanah mati, maka tanah itu menjadi miliknya (HR al-Bukhari). Kedua, kebijakan membatasi masa berlaku legalitas kepemilikan tanah (tanah produktif) yang ditelantarkan oleh pemiliknya selama 3 (tiga) tahun. Artinya adanya kewajiban bagi pemilik lahan untuk mengelola tanah mereka agar produktif. Bahwa kepemilikan identik dengan produktivitas dan prinsipnya, memiliki berarti berproduksi (man yamliku yuntiju). Maka dari itu, tidak membenarkan orang yang memiliki lahan tetapi lahannya tidak produktif. Dalam politik ekonomi Islam ditetapkan bahwa “siapa saja yang menelantarkan (tidak ada kegiatan pengelolaan) lahan miliknya selama 3 (tiga) tahun berturut-turut, maka hak kepemilikannya gugur dan negara berhak mengalihkan kepemilikannya kepada orang lain yang sanggup mengelolanya”. Pada suatu saat Khalifah Umar bin al-Khaththab ra. berbicara di atas mimbar: “Siapa saja yang menghidupkan tanah mati maka tanah itu menjadi miliknya. Orang yang memagari (baca memiliki) tanah tidak mempunyai hak lagi atas tanahnya setelah (menelantarkannya) selama tiga tahun”.

(6)

PENUTUP

Demikianlah beberapa pandangan Islam tentang tata kelola tenurial kehutanan. Kalau kita perhatikan ternyata tata kelola lahan kehutanan sebagai salah satu bidang tidaklah terlepas dengan bidang-bidang lainnya seperti pertanian, industri, perdagangan, pertanahan dan sektor lainnya. Lemahnya pembangunan sektor kehutanan selama ini terjadi karena sektor kehutanan dianggap sebagai sektor yang berdiri sendiri dan terpisah dari sektor lainnya. Padahal secara faktual ia sangat erat hubungannya dengan sektor-sektor lainnya. Karenanya adalah suatu keharusan untuk menjadikan sektor kehutanan sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari berbagai sektor kehidupan lainnya.

Islam sebagai sebuah prinsip ideologi (pandangan hidup) telah menjadikan bahwa kehutanan, pertanian, dan sektor lainnya adalah bagian integral dari persoalan manusia yang harus dipecahkan dan diatur dengan sebaik-baiknya. Untuk itulah Islam ketika membahas satu sektor (misal kehutanan) maka ia dibahas sebagai bagian integral dari dari berbagai bidang kehidupan lainnya. Dan yang lebih penting lagi bahwa pembahasan Islam tentang politik pertanahan diarahkan dalam rangka pemenuhan kebutuhan pokok manusia dan upaya mereka untuk meningkatkan kesejahteraan.

Bacaan Pendukung

Afif S. 2005. Tinjauan Atas Konsep “Tenure Security”, dengan Beberapa Rujukan Pada Kasus-Kasus di Indonesia. Jurnal Ilmu Sosial Transformasi WACANA Edisi 20. Tahun VI 2005. Insist Press. Hal 227-249

Al-Maliki A. 2009. Politik Ekonomi Islam. Al Azhar Press, Bogor

An-Nabhani T. 1990. An-Nizham al-Iqtishadi fi al-Islam (Sistem Perekonomian dalam Islam). Darul Ummah, Beirut

FWI. 2011. Potret Keadaan Hutan Indonesia Periode 2000-2009. Forest Watch Indonesia, Bogor FWI. 2014. Potret Keadaan Hutan Indonesia Periode 2009-2013. Forest Watch Indonesia, Bogor

Giorgio BI, Purba C, Steni B, Tresya D, Dewantama M, Hartati C, Apriani I, Putri A. 2012. Potret Pelaksanaan Tata Kelola Hutan. Sebuah Studi Mendalam Di Provinsi Kalimantan Tengah dan Nusa Tenggara Barat. Jaringan Tata Kelola Hutan Indonesia, Jakarta

Hakim I, Wibowo LR. 2013. Forest Tenure Reform. Pengalaman di Beberapa Negara dalam Hakim I, Wibowo LR. 2013 (Editor) Jalan Terjal Reforma Agraria di Sektor Kehutanan. PUSPIJAK, Bogor Hatta ZM. 2013. Isu-isu Kontempore Ekonomi dan Keuangan Islam. Suatu Pendekatan Institusional. Al

Azhar Freshzone Publishing, Bogor

Heilbroner RL. 1991. Hakikat dan Logika Kapitalisme (The Nature and Logic of Capitalism). Penerjemah

Hartono Hadikusumo. LP3S, Jakarta

Kartodihardjo H. 2014. Agraria Kehutanan: Kondisi, Masalah-Akar Masalah, dan Rekomendasi. Makalah pada Diskusi Forum Ilmu Pengelolaan Hutan, Fahutan IPB. Dramaga, Bogor, 22 Nopember 2014. (Naskah ini pernah disampaikan pada Diskusi Panel Ahli Kompas, di Jakarta).

Maladi Y. 2013. Kajian Hukum Kritis Alih Fungsi Lahan Hutan Berorientasi Kapitalis. Jurnal Dinamika Hukum Vol. 13 No. 1 Januari 2013. Fakultas Hukum. Universitas Jendral Soedirman. Hal 109-123

Mustika. 2005. Menjinakkan Liberalisme : Revitalisasi Sektor Pertanian & Kehutanan. Pustaka Pelajar.

Siombo MR. 2014. Tanggung Jawab Pemda Terhadap Kerusakan Lingkungan Hidup Kaitannya Dengan Kewenangan Perizinan Di Bidang Kehutanan Dan Pertambangan. Jurnal Dinamika Hukum Vol. 14 No. September 2014. Fakultas Hukum. Universitas Jendral Soedirman. Hal 394-405

Referensi

Dokumen terkait

Berdasarkan hasil pengamatan terhadap kemampuan guru dalam melaksanakan pembelajaran menggunakan model pembelajaran kooperatif teknik word square dan motivasi belajar

tactile play ini tidak hanya dapat mempengaruhi kemampuan motorik halus anak tunagrahita sedang akan tetapi juga dapat mengembangkan motorik halus anak tunagrahita

pertokoan yang semakin menjamur, meningkatkan peluang kerja. Pembangunan secara signifikan mengalami peningkatan. Fasilitas publik juga semakin tampak perubahannya. Ini

ILMU DAYAK PASER KUNCI DIRI INI WARISAN KELUARGA SAYA,,, CARA PAKAINYA SEDERHANA FUNGSINYA INSYA ALLAH UNTUK MENGUNCI AMALAN AMALAN ATAU ILMU KITA DAN KONON ORANG YG MENYERANG

Penelitian telah merepresentasikan pengetahuan pakar Pengendali Organisme Pengganggu Tumbuhan (POPT) dan sumber referensi lain dalam mengidentifikasi hama pada

Dari Tabel 2 terlihat bahwa faktor-faktor yang berpengaruh pada peningkatan persentase kemiskinan adalah persentase penduduk yang tidak tamat Sekolah Dasar (SD) atau tidak

Berdasarkan dari hasil analisa data dengan menggunakan uji statistik Spearman’S Rho dengan program SPSS 11,0 for window’s dengan kemaknaan yang telah ditetapkan

182 Berdasarkan kesimpulan tersebut, maka dapat diberikan saran-saran Yaitu: (1) Bagi Pemerintah, perlu ada peningkatan kerjasama yang baik antara pemerintah