• Tidak ada hasil yang ditemukan

PENGGARAPAN KEBUN TANPA BAKAR APLIKASI K

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "PENGGARAPAN KEBUN TANPA BAKAR APLIKASI K"

Copied!
8
0
0

Teks penuh

(1)

Page | 1 Pengantar

Ketika sawit pertama kali diperkenalkan kepada masyarakat Kalbar yang diawali dari Ngabang dan Parindu sekitar tahun 1980-an oleh PTPN XIII, berbagai tanggapan muncul dari masyarakat di saat itu. Selain berhubungan dengan jenis komoditi yang ditanam, masyarakat Kalbar juga tidak mengenal sawit dengan baik sehingga mereka mengatakan “kami tidak makan sawit”, “kembalikan tanah leluhur menjadi hutan bangas atau bawas atau hutan adat”, “kami butuh huma, bukan kebun sawit” dan lain-lain.

Isu yang kemudian berkembang dalam masyarakat adalah sawit tidak akan memberi kesejahteraan yang lebih baik kepada masyarakat karena berapapun besarnya uang hasil dari kebun, nantinya akan ludes karena program replanting membutuhkan biaya besar, sementara masyarakat dilarang membakar, baik dalam pembukaan kebun baru maupun dalam peremajaan kebun lama. Dengan dua isu ini, maka masyarakat pun menjadi bingung. Kebingungan ini berlangsung hingga lebih dari 15 tahun.

Namun, sekarang tampaknya tidak demikian lagi. Setelah menjalani kehidupan sebagai petani sawit, masyarakat kemudian mendapatkan pengetahuan dan pengalaman berkebun dengan mengikuti pola kultur tanam atau teknik budidaya pertanian dan perkebunan yang sama dengan PTPN XIII terapkan yang selama ini telah membina mereka. Implementasi larangan membakar ini tidak masalah bagi perusahaan yang telah memiliki modal dan fasilitas kerja. Namun, menjadi masalah bagi petani kecil dengan modal pas-pasan dan tanpa dilengkapi fasilitas kerja yang memadai. Oleh karena itu, dibutuhkan pembinaan yang lebih intensif kepada petani agar kebiasaan membakar itu tidak dilakukan pada lahan milik masyarakat.

Selain PTPN XIII, adalah Rufinus Arif Sumah, yang mendirikan the Obeng’s Pangodi Institution di Dusun Perontas, Kabupaten

PENGGARAPAN KEBUN TANPA BAKAR:

APLIKASI KONSEP ADAT DARI KALBAR

KE DALAM BISNIS PERKEBUNAN SAWIT

oleh Dr. Erdi, M.Si1

(2)

Page | 2 Sanggau yang mencoba untuk memberikan pelajaran kepada masyarakat bagaimana melakukan usaha perkebunan dengan tidak perlu membakar lahan. Tulisan ini mencoba untuk menceritakan sedikit pengalaman Pak Arif yang mengelola lahan tanpa bakar dalam mengelola perkebunan karet seluas 14 Ha dan kebun sawit seluas 40 yang dilengkapi dengan hutan adat seluas 5 Ha sebagai kawasan konsesi yang dimilikinya.

Memadukan Sawit, Karet dan Tembawang Tanpa Bakar

Masyarakat selama ini mengamati dan meneliti, kemudian menerapkan (ATM) model yang telah mereka lihat dari pengelolaan kebun inti oleh perusahaan. Selama 15 tahun bermitra dengan PTPN XIII, Pak Arif melihat dan mengamati model perkebunan oleh perusahaan negara ini. Dari ATM, terjadilah transfer of spririt and transfer of work system dari pola subsisten (bertani, berburu dan berladang untuk memenuhi kebutuhan sendiri) ke pola perkebunan modern (bisnis dan komoditi), seperti model transfernya Osborne dan Gaebler (1992) dalam mengelola institusi publik. Pak Arif mencoba mengelola perkebunan karet dan sawit dengan tetap bersahabat kepada alam. “Api hanya boleh digunakan untuk memasak di dapur atau di pondok dan bukan untuk membakar lahan’, demikian ungkap Pak Arif yang yakin kalau lahan yang digarapnya ini bebas dari aktivitas membakar.

Model kerja yang dipraktekkan oleh Pak Arif ini adalah model kerja yang telah dilakukan oleh PTPN XIII yang selama ini menjadi mentornya. Ketika melihat api, dengan sigap seluruh pekerja Pak Arif yang berjumlah 14 orang ini berusaha memadamkannya. Pak Arif telah berhasil mentransfer semangat ini kepada 14 pekerjanya, sehingga salah satu pekerjanya dengan lantang mengatakan kepada penulis bahwa “Api yang ada di lahan perkebunan adalah musuh kami dan ketika kami melihatnya, kami menjadi tidak tenang dalam bekerja dan langsung bertindak serta memastikan kalau api itu padam”. Dengan demikian, bukan hanya Pak Arif yang menjadi Bomba, tetapi juga 14 pekerja tersebut.

(3)

Page | 3 konsep tata-kelola yang baik atau biasa disebut good governance tidak lahir hanya dari satu pihak dan ketika masing-masing pihak itu mencoba untuk menerapkan konsep itu, maka lahirlah praktek baik atau good practice (Cheema and Rondinelli, 2007). Gabungan dan penyempurnaan dari good practice akan melahirkan best practice yang dapat diaplikasi dan dimodifikasi sedemikian rupa agar cocok dalam semua bidang kehidupan masyarakat (Chhotray dan Stoker, 2009).

Ketika sebuah masalah hendak diselesaikan, maka lahirlah solusi yang kemudian menjadi sebuah model dalam penyelesaian sebuah kasus atau untuk mengeleminir masalah yang sama atau hampir sama di kemudian hari agar tidak mengganggu kinerja institusi (Robinson, 2001). Saat masalah akan diselesaikan, memang akan ada pihak yang merasa tidak enak. Tapi pil pahit ini akan menjadi obat (panacea) yang dapat menimbulkan kekebalan di masa mendatang. Dengan panacea ini, kasus yang sama akan ditolak keberadaannya karena sebelumnya kasus itu telah menimbulkan masalah baru atau memperburuk keadaan sehingga para pihak akan berusaha untuk menyelesaikan kasus tersebut. Sementara praktek baik yang dikembangkan secara terus-menerus, akan melahirkan model replikasi, yang dikembangkan dari good practice yang telah ada dan berguna untuk meningkatkan kualitas kerja atau produktivitas sehingga melahirkan satu best practice (Osborne, 2010). Ujung dari kedua kasus itu adalah pengembangan. Kedua logika berfikir ini dapat digambarkan berikut ini:

Gambar 1

Model Riset Kebijakan yang Melahirkan Praktek Baik Secara berkelanjutan

Sumber: Erdi, 2013 (University Network for Government Innovation)

(4)

Page | 4 (masalah kebiasaan bakar lahan) yang kemudian dieleminir sedemikian rupa sehingga melahirkan praktek baik, yang dalam kontek ini adalah pengelolaan kebun tanpa bakar. Ternyata, hasilnya adalah win-win solution (lihat The World Bank, 2010 untuk diskusi lebih lanjut), bahwa hasilnya adalah kualitas kebun Pak Arif yang tanpa bakar ini tetap prima.

Mengelola Kebun Tanpa Bakar

Dari sertifikat yang telah dimilikinya, sebagian sertifikat pun telah disekolahkannya (dijaminkan) ke Bank untuk mendapatkan pendanaan modal kerja. Pak Arif secara de facto memiliki areal seluas 59 Ha. Namun, secara de jure, dirinya hanya memiliki lahan seluas 8 Ha. Tidak semua surat tanah yang dipegangnya itu adalah atas nama dirinya, tetapi juga ada yang atas nama istri dan kedua anaknya. Selebihnya adalah tanah atas nama orang lain. Tanah-tanah tersebut diperoleh dengan cara dibeli dari banyak orang yang hingga kini belum dirubahnya menjadi sertifikat hak miliknya. Lahan yang dibeli itu adalah kebun yang tidak dirawat oleh pemilik awal. Gambar 2 memperlihatkan kondisi lahan sebelum disulap menjadi kebun normal; sedangkan Gambar 3 memperlihatkan kebun sawit tua setelah diremajakan dengan tanpa bakar.

Di lahan seluas 59 Ha ini, Pak Arif (biasa dia dipanggil) memisahkan sawit dengan karet dan menjaga hutan tembawang tetap eksis. Di atas lahan seluas 14 ha karet dan 40 ha sawit serta 5 Ha tembawang ini, Pak Arif yang katanya juga sudah menamatkan pendidikan S3 (SD, SMP dan SMA) berkreasi memadukan antara hati dan pikiran dengan perbuatan dari perspektif “orang kampung”.

Dengan kreasi ini, pendapatan Bapak dua anak ini tidak kurang dari Rp 50 juta per bulan atau setara dengan gaji rekan saya, Dosen Universitas Dosisha yang bergelar Doktor di Kyoto, Jepang. Banyak orang sudah datang ke tempat Pak Arif: Dirjen Perkebunan, Kepala LPP Jogja, bahkan peneliti dari luar negeri seperti Jepang, Australia dan Eropah. Tak ketinggalan, mahasiswa Fak. Pertanian UNTAN pun, belajar ilmu praktis di pondok Obeng’s Pangodi ini.

(5)

Page | 5 Gambar 2

Lahan Sawit Tua yang Tak Diurus oleh Pemilik Pertama dan Kemudian Dibeli oleh Pak Arif untuk disulap

menjadi kebun normal tanpa bakar

Photo oleh Erdi, 2014

Gambar 3

Replanting Tanpa Bakar Model Pak Arif diadopsi dari Konsep Adat dan Larangan Membakar

Photo oleh Erdi, 2014

Pak Arif: Menolak Paradoks Replanting Sawit Mahal.

(6)

Page | 6 pembiayaan ini, Pak Arif sekaligus mementahkan paradoks membakar dan replanting mahal menjadi tanpa bakar dan biaya murah. Pengetahuan replanting tanpa bakar dan murah ini katanya didapat atau belajar dari PTPN XIII yang telah melakukannya di Unit Parindu dan Ngabang. Sukses Pak Arif dan Sukses pula PTPN XIII!

Pak Arif kemudian mencari tahu lebih banyak tentang pengaruh pohon sawit busuk bagi kebunnya di kemudian hari. Ia kemudian dipertemukan dengan Pak Eko, seorang petugas Penyuluh Perkebunan Lapangan (PPL) dari Disbun Sanggau. Pak Eko yang sudah pengalaman, karena lebih dari 30 tahun telah mengabdikan seluruh pengetahuan dan pengalamannya bagi masyarakat di Kalbar. Menurut Pak Eko, melihat kebun masyarakat bagus, rasanya sudah seperti memilikinya dan begitu juga melihat masyarakat bahagia karena punya uang dari hasil kebun, ia pun ikut merasakan kebahagiaan itu.

Dari keterangan Pak Eko, batang sawit yang busuk hanya mengganggu sawit kecil saat batang itu belum roboh karena hama sulit dibasmi. Setelah pohon sawit tua tumbang dan busuk, ia akan menjadi humus, sementara hama dapat dinetralisir dengan mudah. Dengan demikian, tidak akan ada pengaruh pada perkembangan sawit ke depannya dan bahkan batang busuk itu dapat berfungsi sebagai humus bagi tanah. Pak Eko yang luar biasa, bekerja tanpa pamrih untuk profesi yang sudah dipilihnya! Pak Arif yang asli “orang kampung” adalah orang besar karena telah berguna bagi dan mampu menginspirasi petani di sekelilingnya!

Sementara petani lain, masih melakukan pembakaran lahan saat akan membuka kebun sawit mereka seperti Gambar berikut. Namun hasil akhir antara Pak Arif dengan petani lain yang membakar lahan saat membuka kebun adalah sama. Gambar 4 memperlihatkan kedua proses yang berbeda tersebut tetapi hasilnya adalah sama, yakni kebun sawit yang tumbuh normal yang sangat tergantung pada kualitas perawatan berikutnya.

Penutup

(7)

Page | 7 misalnya bantuan pupuk, bantuan festisida dan lain-lain sehingga program larangan membakar ini efektif dilakukan.

Gambar 4

Keadaan kebun yang ditanam dari proses membakar lahan dengan kebun dari proses lahan bebas bakar

Kebun Rakyat yang dibuka dengan cara bakar lahan

Kebun Replanting PTPN XIII dibuka bebas bakar

Kebun Replanting Pak Arif dibuka bebas bakar

Foto oleh Erdi, 2014.

Efektivitas larangan ini lebih disebabkan adanya kepentingan petani pada program yang antara lain bantuan dana, bantuan teknis pembinaan, bantuan bibit, bantuan kacangan dan lain-lain, sementara pembiayaan program dicarikan dari berbagai sumber, mulai dari Corporate Sosial Responsibility (CSR) dari berbagai perusahaan yang selama ini berkepentingan dengan tidak ada kabut asap hingga Dana Pencegahan Bencana dari BNPB dan BPBD serta bantuan dunia, yakni negara-negara yang tergabung dalam The Kyoto protocol’s (Lihat Lundqvist and Biel, 2007) yang juga

memungkinkan untuk diusahakan bagi pembangunan

perkebunan pada lahan yang tergolong kritis dan bebas bakar.

Dengan pendanaan berbagai pihak, penulis yakin kalau pembangunan perkebunan di Kalbar ini akan bebas dari bakar sebagaimana telah dimulakan oleh Pak Arif di lahan konsesinya

ini. Dengan usaha ini, larangan membakar pada usaha

(8)

Page | 8 Referensi

Chhotray, Vasudha and Gerry Stoker. 2009. Governance Theory and Practice: A Cross-Disciplinary Approach. Palgrave. McMillan.

Denhardt, Robert B. and Janet V. Denhardt. 2006. The Dance of Leadership: The Art of Leading in Business, Government, and Society. M.E Sharpe, NY.

Erdi. 2013. Bahan Kuliah Teori dan Praktek Governance: University Network for Goverment Innovation. FISIP UNTAN, Tidak diterbitkan.

Lundqvist, Lennart and Anders Biel. 2007. From Kyoto to the Town Hall: Making International and National Climate Policy Work at the Local Level. EarthScan. London.

Osborne, David, and Ted Gaebler. 1992. Reinventing Government: How the Entrepreneurial Spirit Is Transforming the Public Sector. Reading, MA: Addison-Wesley.

Osborne, Stephen P. 2010. The New Public Governance: Emerging Perspectives on the Theory and Practice of Public Governance. Routledge. London.

Robonson, Colin. 2001. Regulation Utilities: New Issues, New Solution. Northampton MA, USA

Shabbir, G. dan Dennis A. Rondinelli. 2007. Decentralizing Governance: Emerging Concept and Practice. Ash Institute for Democratic Governance and Innovation, John F. Kennedy School of Goverment. Harvard University. Cambridge

Gambar

Gambar 3 Replanting Tanpa Bakar Model Pak Arif diadopsi dari
Gambar 4 Keadaan kebun yang ditanam dari proses membakar lahan

Referensi

Dokumen terkait

Hal tersebut wajib dan patut dinilai sebagai bentuk aktif pemerintah dalam mengayomi masyarakat Republik Indonesia demi terjaga stabilitas, nama besar dan kedaulatan Negara

Selain memiliki dampak atau efek yang positif, pengkonsumsian siomay secara berlebihan juga brdampak buruk bagi kesehatan seperti bahan utama pada siomay yang

Hambatan yang muncul antara lain : Hambatan Yuridis yaitu hambatan yang muncul karena adanya peraturan perundang-undangan yang baru dari pemerintah pusat di saat

Sedangkan untuk koefisien determinasi Adj (R²) adalah sebesar 0,457 yang menunjukkan bahwa sekitar 45,7% Retrun On Asset dipengaruhi oleh kepemilikan instirusional,

Menu pengertian wayang untuk menampilkan pengertian tentang wayang, Pandawa lima untuk menampilkan list nama dan gambar dari tokoh pandawa lima, Jenis Wayang

Untuk dapat mengetahui dan mengukur kinerja pelayanan publik di bidang lelang, dalam hal ini ialah Kantor Pelayanan Kekayaan Negara dan Lelang Medan, harus dilakukan suatu

Berdasarkan hasil analisis yang telah dilakukan dapat disimpulkan bahwa dalam novel Surga Yang Tak Dirindukan karya Asma Nadia, didalamnya terkandung pesan moral yang

Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2008 tentang