• Tidak ada hasil yang ditemukan

Governmentality dalam Kekuasaan yang Lem

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Governmentality dalam Kekuasaan yang Lem"

Copied!
4
0
0

Teks penuh

(1)

Jumat, 250817.16:00

Governmentality

dalam Kekuasaan yang Lempar Batu Sembunyi Tangan

Oleh: Rio Heykhal Belvage

Governmentality adalah konsep yang biasa digunakan kalangan foucaultian, yang mendudukkan aturan sebagai seni mengendalikan kekuasaan (dalam bahasa Antonio Gramsci, barangkali akan lebih dekat dengan istilah 'hegemoni'). Kekuasaan dalam hal ini dipandang sebagai sesuatu yang produktif, walaupun dalam realitas historisnya ia lebih kerap muncul dengan wajah yang negatif. Kekuasaan yang produktif akan melahirkan kekuasaan-kekuasaan lain. Pengaturan melahirkan pengaturan-pengaturan lain. Targetnya adalah kepatuhan, di mana ia adalah langkah menuju

“kepatutan” - sebuah standar moral yang tidak lain merupakan manifestasi dari ideologi dalam pemahaman barthesian, dan dalam bahasa marxian disebut sebagai kesadaran palsu.

Kekuasaan dianggap berhasil bila ia diterima dengan baik tanpa menuai reaksi perlawanan, dan bahkan mampu melahirkan kekuasaan lain yang semakin mengabsahkan kedudukan kekuasaan itu sendiri. Artinya kesadaran palsu berhasil dibenamkan di tengah kolektifitas masyarakat sehingga tubuh sosial mampu mengorganisir dirinya sendiri tanpa perlu diperintah. Itulah kenapa ada adagium yang mengatakan, bahwa semakin banyak aturan diproduksi oleh yang berkuasa dalam suatu masa, maka hal itu semakin menunjukkan betapa lemahnya kedudukan kekuasaan.

Tapi adakah dalam sejarah politik, para penguasa berhasil mempraktikkan seni governmentality dengan sempurna? Agaknya belum ada, kalau malah tidak akan pernah ada samasekali. Karena kekuasaan tidak akan pernah benar-benar dapat menjangkau dan mengatur sepenuhnya isi kepala individu-perindividu. Oleh karenanya bila tercium gelagat kekuasaan yang menyimpang, maka perlawanan akan menunggunya di tengah jalan.

(2)

Kali ini saya ingin membahas hal lain, yang secara langsung punya titik singgung dengan ulasan di atas. Yakni refleksi atas riset yang pernah saya lakukan tentang sejarah konflik agraria, di mana kini jumlahnya bukannya berkurang tapi secara ironis malah terus meningkat dari tahun ke tahun (lebih jelasnya, silahkan telusuri infografis Konsorsium Pembaruan Agraria).

***

Pada suatu hari, dalam sebuah presentasi di acara Dialog Tokoh Nasional Dalam Rangka Ulang Tahun Emas Fakultas Kehutanan Universitas Gadjah Mada (UGM) 26 Oktober tahun 2013 di Yogyakarta, salah seorang alumni kehutanan bernama Joko Widodo, membincangkan tentang hutan untuk kemakmuran rakyat. Ia mengandaikan kedudukan hutan dan kemakmuran ibarat dua sisi dalam sekeping mata uang. Katanya, "di tengah peringatan Dies Natalis Fakultas Kehutanan UGM yang ke-50 tahun..., adalah saat yang tepat untuk merenungkan kembali sejauh mana keberadaan hutan berperan bagi kemakmuran rakyat. Bukan sebaliknya. Jangan sampai hutan justru menjadi sumber pemiskinan masyarakat".

Pada waktu itu, posisi menteri kehutanan dijabat oleh Zulkifli Hasan. Semasa menjadi menteri dari tahun 2009 sampai 2014, kalau tak salah ia dua kali menerima gelar doktor kehormatan. Pertama di bidang administrasi publik dan yang kedua dalam bidang manajemen sumber daya manusia. Dalam masa kepemerintahannya di bawah rezim presiden Susilo Bambang Yudhoyono yang membuatnya mendapat gelar doktor kehormatan itu, yakni pada tahun 2009-2012, di pulau kecil sisi selatan Pulau Sumatera berlangsung konflik antara perusahaan dengan masyarakat yang dipicu surat keputusan (SK) menteri kehutanan no.327 tahun 2009, tentang ijin penambahan luas areal perusahaan.

Di pulau yang seluas 110.000 ha, perusahaan melakukan perambahan hutan 40% dari luas pulau,

yang bukan hanya berpotensi akan merusak keseimbangan ekosistem lahan gambut, tetapi juga

mengancam hajat hidup dan lahan garapan masyarakat yang kala itu berjumlah sekitar 33 ribu

jiwa. SK itu menuai reaksi keras dari masyarakat dari mulai aksi demonstrasi biasa, cap jempol

darah, menjahit mulut, sampai upaya nekat hendak membakar diri. Dampak dari peristiwa itu,

(3)

SK tersebut kemudian diubah melalui SK susulan no.180 tahun 2013 yang mengurangi luas area

perusahaan sampai 7000 ha lebih. Dari yang semula 42.000 ha lebih menjadi 34.000 ha lebih -

walau tak berarti itu memenuhi apa yang menjadi tuntutan masyarakat.

Beberapa tahun setelah konflik lahan tersebut, perusahaan beroperasi dan ketakseimbangan alam

lambat-laun dirasakan oleh masyarakat. Kandungan air di lahan gambut itu kian waktu kian susut

akibat pembangunan kanal oleh perusahaan. Ketinggian permukaan tanah menurun. Ketika tiba

musim kemarau, lahan menjadi rentan terbakar. Puncaknya adalah peristiwa kebakaran di sekitar

tahun 2014-2015, yang asapnya sampai menyambangi negara tetangga.

Kalau kita googling dengan kata kunci tema di atas, akan kita temukan sekeras apa usaha warga

waktu itu mempertahankan kelangsungan hidup mereka, yang pada akhirnya tetap "dikalahkan"

oleh kepentingan ekonomi-politik yang lebih besar.

Tulisan ini tak bermaksud membuka lagi luka kelam pulau itu. Saya hanya ingin menunjukkan

sebagian tragedi yang banyak menimpa manusia Indonesia yang juga memiliki hak menikmati

kekayaan alamnya – dengan maksud sebagai alarm, sebagai pelajaran, sebagai cermin bagi para

pemangku kebijakan yang kerap bebal merasakan denyut kehidupan masyarakatnya sendiri.

Kemarin, terdengar kembali aksi protes masyarakat yang dipicu oleh persoalan tanah adat. Kali ini menimpa masyarakat Sunda Wiwitan di Kuningan, Jawa Barat. Walaupun konflik semacam itu jarang sekali menjadi headline di media-media nasional, tapi berita itu tersebar cepat melalui media sosial. Apa yang diucapkan oleh alumni kehutanan sebelum menjadi presiden kembali tergiang. Barangkali ini "..adalah saat yang tepat untuk merenungkan kembali sejauh mana keberadaan hutan berperan bagi kemakmuran rakyat. Bukan sebaliknya. Jangan sampai hutan justru menjadi sumber pemiskinan masyarakat".

Katanya juga, di dalam buku “Darurat Hutan Indonesia: Mewujudkan Arsitektur Baru Kehutanan

(4)

Referensi

Dokumen terkait

Dari hasil ujicoba data primer oleh 30 Siswa SMAN 1 Imogiri kelas X3 dan atlet putra putri bola tangan yang sudah dilakukan pada tanggal 13 Maret 2017 secara

Pengumpulan data dilakukan de- ngan cara: (1) pembacaan secara cermat atas satuan cerita yang terdapat dalam novel: (2) mengidentifikasi bagian-ba- gian cerita yang

Berdasarkanpenelitianmenunjukkan bahwa gelatin yang diperoleh dari pencucian dengan air mengalir sebanyak 5 x berat bahan kulit kaki ayam (P5), rerata waktu yang

Puji syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa atas pertolongan, penyertaan dan kasih-Nya, sehingga penyusunan skripsi yang berjudul “ Pengetahuan Pasien Tentang Obat

Konsekuensi yang diharapkan klien dapat memeriksa kembali tujuan yang diharapkan dengan melihat cara-cara penyelesaian masalah yang baru dan memulai cara baru untuk bergerak maju

· Kriteria hasil : Mengidentifikasi dan mengunakan intervensi untuk mengatasi ketidaknyamanan dengan tepat, mengungkapkan berkurangnya ketidaknyamanan. Tinjau ulang

Untuk menentukan matriks array orthogonal yang sesuai yaitu pada array matriks orthogonal L9 ( 3 4 ), artinya bahwa dalam melakukan percobaan dengan 4 faktor dan 3 level

Pada bab ketiga akan dijelaskan tentang desain permodelan generator fluks aksial rotor ganda stator tunggal tanpa inti dengan variasi jarak antar permanen magnet