• Tidak ada hasil yang ditemukan

Perempuan dalam Karya Ogawa Yoko

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Perempuan dalam Karya Ogawa Yoko"

Copied!
7
0
0

Teks penuh

(1)

Perempuan dalam Novel Karya Ogawa Yoko*

1

Rima Devi

Abstrak

Perempuan Jepang termasuk dalam golongan warga kelas dua pada masyarakat Jepang sebelum berakhirnya perang dunia kedua. Setelah pemerintah Jepang menghapuskan bentuk negara keluarga yaitu sistem ie dari perundang-undangan, kedudukan perempuan menjadi setara dengan laki-laki walaupun kesetaraan tersebut diterima oleh masyarakat secara berangsur-angsur. Unsur-unsur ie yang terdapat di dalam masyarakat Jepang menjadi faktor yang mempengaruhi proses penerimaan kesetaraan gender tersebut. Masih terdapatnya unsur-unsur ie dalam keseharian masyarakat Jepang, mempengaruhi proses penerimaan kesetaraan gender ini sehingga masih terlihat adanya dalam masyarakat Jepang saat ini.

Ogawa Yoko seorang novelis perempuan Jepang yang dalam karya-karyanya masih memuat unsur-unsur ie, tetapi tidak terpengaruh dengan perbedaan perempuan dan laki-laki yang pernah berlaku di dalam masyarakatnya. Bagaimana Ogawa Yoko menggambarkan kesetaraan tersebut merupakan bahasan pada tulisan ini. Analisis menggunakan pendekatan sosiologi sastra dan diketahui bahwa Ogawa Yoko memperlakukan tokoh yang perempuan setara dengan tokoh laki-laki tanpa pembedaan walaupun dalam karya tersebut terdapat unsur-unsur ie yang jelas menganut paham patriarki.

Kata Kunci: Ogawa Yoko, Perempuan, Keluarga Jepang, Sistem Ie

Pendahuluan

Masyarakat Jepang adalah masyarakat yang menganut paham patriarki yang merupakan satu bentuk lembaga sosial yang dipimpin oleh seorang laki-laki yang memiliki otoritas penuh terhadap perempuan, anak-anak, dan kekayaan keluarganya. Mengenai paham patriarki ini selain tergambar dalam masyarakat Jepang terutama sebelum berakhirnya perang dunia kedua juga dikukuhkan oleh

Kaisar Jepang zaman Meiji (1868-1912) dalam Meiji Minpo yaitu undang-undang dasar negara

Jepang. Dalam undang-undang tersebut dicantukam bahwa sistem kekeluargaan yang berlaku dalam masyarakat Jepang adalah sistem ie.

Menurut Aruga Kizaemon (dalam Devi, 2015), ie adalah adat istiadat khusus yang terdapat dalam masyarakat Jepang, yang maknanya berbeda dengan keluarga pada umumnya. … Ie adalah satu

kelompok yang menjalankan usaha dari harta milik keluarga (kasan) dan merupakan usaha keluarga

(kagyou). Melalui pemahaman mengenai hal ini maka sebagai satu unit di dalam menjalankan kehidupan bermasyarakat, maka tujuannya adalah kesinambungan dari ie dan setiap anggotanya baik yang masih hidup maupun yang sudah meninggal dunia secara turun-temurun.

Keluarga yang dimaksudkan di dalam ie adalah keluarga besar yang dipimpin oleh seorang kepala

keluarga yang disebut dengan kachou. Kekuasaan yang dimiliki oleh seorang kachou adalah

bertanggung jawab atas kesejahteraan anggota keluarganya, harta kekayaan keluarga berserta usaha keluarga. Kesejahteraan anggota keluarga yang dimaksudkan bukan hanya sekedar pemenuhan kebutuhan sandang, pangan, perumahan, namun juga bertanggung jawab atas jodoh dari setiap

anggotanya terutama yang perempuan. Kachou akan mencarikan jodoh untuk anak perempuannya

atau perempuan yang berada dalam tanggung jawabnya. Para perempuan harus tunduk dan patuh

1

(2)

kepada perintah kachou dan tidak dibenarkan menolak apa yang sudah diputuskan oleh kachou atas dirinya terutama dalam hal jodoh.

Perempuan Jepang pada masa tersebut termasuk dalam golongan masyarakat kelas dua. Selain tidak bisa menentukan jodoh sendiri, perempuan Jepang tidak dibenarkan mendapatkan pendidikan tinggi setingkat universitas karena dianggap pendidikan tersebut hanya untuk laki-laki saja. Kemudian kaum perempuan ini tidak mendapatkan hak suara dalam pemilihan umum. Dalam masyarakat patriarki di Jepang masa itu, perempuan terpaksa patuh dan menurut terhadap aturan yang berlaku di dalam masyarakatnya. Para perempuan ini yang bernaung di dalam sebuah ie mendapatkan tugas yang

berhubungan dengan urusan domestik. Mereka dipimpin oleh seorang shufu yang merupakan istri dari

kachou untuk melakukan tugas rutin seperti menyiapkan makanan untuk semua anggota keluarga, menjahit dan menyiapkan pakaian, mengasuh anak, merawat orang sakit, dan merawat lansia.

Hal yang cukup mengenaskan yang dialami oleh perempuan Jepang adalah bila dinikahkan dengan chounan dari ie lain. Bila tidak bisa melahirkan anak laki-laki atau dianggap tidak cakap mengurus

rumah tangganya maka perempuan yang menikah dengan chounan ini akan diceraikan dan

dikembalikan ke ie asalnya. Penentuan cakap atau tidaknya seorang oyome atau pengantin perempuan

ini tidak ditentukan oleh suaminya melainkan oleh kachou dan shufu. Namun dalam pelaksanaannya

yang berperan penting adalah shufu yang merupakan mertua perempuan dari oyome ini. (Aruga, 1981). Sehingga tidak mengherankan bila sering terjadi konflik rumah tangga bukan karena ketidakcocokan pasangan suami istri saja, namun juga karena campur tangan mertua perempuan ini.

Mengenai ketidakcocokan antara oyome dengan shufu banyak disorot oleh berbagai kalangan bahkan

sampai terungkap dalam karya sastra Jepang zaman Meiji.

Ketidaksetaraan gender yang terjadi pada masyarakat Jepang berakhir secara yuridis ketika dihapuskannya pemberlakuan sistem ie dan ditetapkan undang-undang dasar baru pada tahun 1947. Pasal 24 pada undang-undang dasar yang baru memuat hal sebagai berikut.

Article 24. Marriage shall be based only on the mutual consent of both sexes and it shall be maintained through mutual cooperation with the equal rights of husband and wife as a basis. With regard to choice of spouse, property rights, inheritance, choice of domicile, divorce and other matters pertaining to marriage and the family, laws shall be enacted from the standpoint of individual dignity and the essential equality of the sexes.

Pasal 24. Perkawinan didasarkan atas persetujuan kedua belah pihak dan dijaga melalui azas kerjasama yang setara antara suami dan istri. Berkenaan dengan memilih pasangan, hak milik, warisan, pilihan domisili, perceraian dan hal lainnya yang berkaitan dengan perkawinan dan keluarga diberlakukan hukum dari sudut pandang martabat individu dan kesetaraan gender.

Pada pasal 24 ini terlihat jelas bahwa tidak dibenarkan lagi terjadinya pernikahan tanpa persetujuan dari pihak perempuan dan perempuan dapat memilih sendiri calon pasangan hidupnya. Perempuan juga memiliki hak atas harta kekayaan pribadi dan memperoleh warisan keluarga. Selain itu perempuan juga berhak menentukan pilihan hidupnya dalam keluarga tanpa campur tangan atau pemaksaan dari laki-laki walaupun laki-laki tersebut adalah kepala keluarga ataupun ayahnya.

Sejak pemberlakuan pasal 24 ini kebebasan dalam menentukan pasangan hidup bagi perempuan terbuka lebar. Hal ini ditunjang pula dengan banyaknya pasangan suami istri muda berbondong-bondong meninggalkan kampung halaman mereka menuju daerah urban yang sedang menggiatkan teknologi dan industri. Para perempuan ini kemudian hidup di dalam keluarga batih yang hanya terdiri dari suami istri dan anak-anak yang belum menikah. Peran perempuan di dalam rumah tangganya adalah sebagai istri yang bertugas mengurus rumah dan anak-anaknya, sementara para suami pergi bekerja ke kantor atau pabrik.

(3)

tangga dan merawat anak itu sebagai tugas yang berat, sehingga tidak berkeinginan untuk memiliki anak lagi. Ada perempuan menikah yang sama sekali tidak ingin punya anak, bahkan ada perempuan yang lebih memilih untuk melajang seumur hidup. Keinginan perempuan Jepang untuk tidak memiliki anak, ataupun tidak menikah sudah menjadi hal yang biasa dan diterima di dalam masyarakat Jepang dewasa ini, walaupun hal tersebut menimbulkan berbagai masalah sosial. (Ochiai, 1997).

Gambaran mengenai perempuan Jepang juga terdapat dalam karya novelis perempuan bernama

Ogawa Yoko. Pada novelnya yang berjudul Kifujin A No Sosei digambarkan tokoh perempuan

bernama Bibi Yuli dan Gadis. Bibi Yuli menjadi pewaris dan kepala keluarga setelah suaminya meninggal dunia, sementara Gadis adalah keponakan Bibi Yuli dari pihak suaminya. Kedua perempuan ini digambarkan dapat menjalani kehidupan mereka dengan baik walaupun Bibi Yuli

sudah tidak bersuami dan Gadis sudah tidak mempunyai ayah. Demikian juga pada novel Hakase No

Aishita Suushiki terdapat dua tokoh perempuan yaitu Mibojin dan Kaseifu yang kedua-duanya tidak bersuami dan kedua-duanya mempunyai tanggungan yaitu Mibojin harus menanggung hidup adik iparnya yang sudah lansia dan lupa ingatan dan Kaseifu yang berperan sebagai orang tua tunggal menghidupi anak laki-lakinya yang berumur 10 tahun. Kedua perempuan ini dapat menjalani kehidupan dengan baik dan dapat menjalankan kewajibannya walaupun tidak ada suami ataupun ayah yang seharusnya menjadi pelindung mereka.

Unsur Ie di dalam Novel KAS dan HAS

Sebagaimana sudah dijelaskan pada bagian sebelumnya bahwa ie adalah salah satu bentuk keluarga tradisional Jepang yang di dalam keluarga tersebut juga bernaung para kaum perempuan. Walaupun keluarga tradisional Jepang ini sudah tidak diberlakukan lagi sebagai bentuk keluarga resmi yang diakui oleh negara Jepang, unsur-unsur yang terdapat dalam sistem ie masih ditemukan dalam keseharian masyarakat Jepang. Mengenai hal ini sudah banyak dijelaskan oleh para ahli melalui penelitian mereka tentang masyarakat dan keluarga Jepang seperti Aruga Kizaemon dan Ochiai Emiko. Unsur-unsur ie ini tidak hanya ditemukan dalam masyarakat yang sebenarnya namun terbaca juga dalam karya-karya fiksi modern saat ini. Seperti novel yang ditulis oleh Ogawa Yoko yang berjudul Kifujin A No Sosei (selanjutnya disingkat dengan KAS) dan Hakase No Aishita Suushiki (selanjutnya disingkat dengan HAS).

Pada novel KAS terdapat empat tokoh yaitu Bibi Yuli, Gadis, Niko dan Ohara. Bibi Yuli adalah istri dari mendiang paman Gadis dari pihak ibu, Niko adalah pacar Gadis sementara Ohara adalah orang yang datang ke rumah Bibi Yuli dan kemudian menjadi bagian dari keluarga Bibi Yuli. Bibi Yuli yang sudah lansia dan menjadi pewaris dari semua harta kekayaan suaminya karena mereka tidak mempunyai anak, menerima Gadis yang sudah kehilangan ayahnya untuk tinggal bersamanya. Sebagai imbalan atas kesediaan Gadis menemani dan mengurus semua keperluan Bibi Yuli, Gadis mendapat bantuan biaya kuliah dan biaya hidup. Kehadiran Niko dan Ohara di dalam rumah Bibi Yuli membuat Bibi Yuli merasa sangat senang kemudian menjadikan mereka sebagai bagian dari anggota keluarganya. Bibi Yuli bertindak sebagai kepala keluarga terhadap Gadis, Niko, dan Ohara.

Keluarga yang terbentuk di dalam rumah Bibi Yuli memiliki unsur-unsur yang terdapat di dalam ie

yaitu adanya kepala keluarga atau kachou yang diperankan oleh Bibi Yuli sendiri. Kemudian anggota

keluarga Bibi Yuli terdiri dari Gadis yang tidak memiliki hubungan darah dengan Bibi Yuli namun memiliki hubungan kekerabatan melalui garis keluarga suaminya. Gadis adalah anak dari saudara perempuan mendiang suami Bibi Yuli. Dan secara garis keturunan keluarga berdasarkan ie, Gadis bukanlah anggota keluarga dari ie pamannya, karena Gadis mengikuti ie dari pihak ayahnya.

Anggota keluarga yang lain adalah Niko dan Ohara yang tidak memiliki hubungan baik hubungan kekerabatan maupun hubungan darah. Dalam sistem ie, anggota keluarga yang tergabung dalam sebuah ie dapat terdiri dari anggota yang memiliki hubungan darah dan hubungan kekerabatan dan terdiri pula atas anggota yang sama sekali tidak memiliki hubungan darah maupun kekerabatan, yang

disebut dengan istilah houkounin. Kedudukan Niko dan Ohara dalam keluarga Bibi Yuli dapat disebut

(4)

Unsur lain yang terdapat dalam keluarga Bibi Yuli adalah adanya kasan atau harta kekayaan keluarga yaitu rumah yang besar seperti istana, warisan pabrik plastik, dan binatang yang diawetkan, yang berjumlah ratusan, yang kesemuanya adalah binatang yang diawetkan yang berkualitas tinggi, yang beberapa diantaranya tidak mudah didapatkan bahkan kemungkinan melalui jalur ilegal. Bibi Yuli juga menjalankan kagyou atau bisnis keluarga yaitu mengizinkan Ohara mempublikasikan dirinya sebagai Putri Anastasia yang berhasil selamat ketika terjadi revolusi di Rusia, dan menyuruh Gadis beserta Niko menjamu tamu-tamu yang ingin bertemu dan bertatap muka dengannya. Dari kegiatan ini walaupun cuma Ohara sendiri yang mendapatkan uang dari para tamu, Bibi Yuli tidak

mempermasalahkannya. Lalu unsur kafu yaitu kebiasaan keluarga juga terdapat dalam keluarga Bibi

Yuli yaitu kebiasaan makan makanan yang enak dan lezat bersama-sama anggota keluarganya pada waktu-waktu tertentu.

Setelah Bibi Yuli meninggal dunia, Gadis yang mengurus dan mengatur pemakaman Bibi Yuli dibantu Niko dan Ohara. Namun untuk urusan harta kekayaan Bibi Yuli, Gadis sendiri yang mengaturnya dengan menjual semua binatang yang diawetkan begitu juga dengan rumah peninggalan pamannya yang besar. Uang hasil penjualan harta Bibi Yuli digunakan untuk membayar biaya pemakaman dan sisanya dihibahkan ke yayasan pencinta binatang. Gadis hanya menyisakan dua buah binatang yang diawetkan untuk mengenang Bibi Yuli dan pamannya kemudian memberikan satu binatang yang diawetkan untuk Ohara karena Gadis mengetahui Ohara sangat menyukai binatang yang diawetkan tersebut. Tindakan Gadis dalam mengurus Bibi Yuli baik semasa Bibi Yuli masih hidup maupun setelah meninggal dunia menunjukkan bahwa Gadis melakukan tugasnya sebagai anak

angkat atau youshi dari pamannya walaupun secara langsung tidak dinyatakan demikian oleh

pamannya. Pada sistem ie, bila kachou tidak memiliki anak maka kachou diperbolehkan untuk

mengangkat anak yang akan mewarisi ie nya bila kachou pensiun atau meninggal dunia.

Sementara itu pada novel HAS terdapat pula empat tokoh yaitu Kaseifu, Hakase, Mibojin, dan Ruto. Kaseifu adalah seorang pengurus rumah yang memiliki anak di luar nikah bernama Ruto. Kaseifu yang membesarkan anaknya seorang diri kemudian bekerja sebagai pengurus rumah dan ditempatkan di rumah Hakase, seorang ilmuwan yang sudah lansia dan lupa ingatan. Kehidupan Hakase ditanggung oleh kakak ipar perempuannya yang bernama Mibojin.

Padan novel HAS ini yang berperan sebagai kepala keluarga atau kachou adalah Mibojin. Peran ini diperoleh setelah suami Mibojin yang merupakan kakak kandung Hakase meninggal dunia, dan mereka tidak mempunyai anak seorangpun. Karena hal tersebut maka semua harta warisan berupa pabrik tenun, dan rumah mewah jatuh ke tangan Mibojin. Pada sistem ie memang berlaku aturan bila kachou meninggal dunia dan keluarga tersebut tidak mempunyai anak maka harta warisan akan jatuh ke tangan istri.

Mibojin yang mendapatkan warisan kemudian mengambil peran sebagai kachou dan menunjukkan

wewenangnya dengan menjual pabrik tersebut dan mendirikan usaha baru yaitu menyewakan

apartemen mewah yang dibangun di bekas lahan pabrik. Sebagai kachou Mibojin kemudian

mengelola kagyou atau usaha penyewaan apartemen ini dan menghidupi dirinya dan Hakase. Mibojin

kemudian juga mempekerjakan seorang pengurus rumah yaitu Kaseifu untuk mengurus Hakase. Kaseifu yang pintar dan terampil mengurus Hakase mendapatkan tempat di rumah Hakase sehingga anaknya Ruto diperbolehkan menunggu ibunya bekerja di rumah Hakase sembari mendapatkan pelajaran matematika dari Hakase yang mantan profesor matematika. Kedekatan di antara mereka menjadikan Kaseifu dan Ruto juga diterima pula oleh Mibojin menjadi bagian dari keluarga, yang dalam sistem ie anggota yang seperti ini disebut dengan houkounin. Keluarga yang dipimpin oleh Mibojin ini juga memiliki kebiasaan keluarga atau kafu yaitu makan bersama untuk merayakan peristiwa penting dalam kehidupan anggota keluarganya.

(5)

tradisional walaupun masih terdapat beberapa unsur ie di dalam keluarga tersebut yaitu adanya kachou, houkounin, youshi, kagyou, kasan, dan kafu.

Ketiadaan Patriarki dalam Novel KAS dan HAS

Pada kedua novel KAS dan HAS, keluarga yang terbentuk tidak bertahan lama setelah salah satu anggota keluarganya terutama kepala keluarga atau kachou meninggal dunia. Hal ini terlihat setelah Bibi Yuli meninggal dunia pada novel KAS, dan setelah Hakase meninggal dunia pada novel HAS. Keluarga yang sudah terbentuk tidak berkesinambungan, sementara dalam sistem ie menjaga kesinambungan ie secara turun temurun adalah kewajiban seorang kachou. Kewajiban kachou yang tidak dijalankan baik oleh Bibi Yuli maupun oleh Mibojin terdapat kemiripan yaitu tidak adanya sosen suuhai atau pemujaan arwah leluhur, penentuan calon pewaris, tidak dilibatkannya anggota keluarga dalam bisnis keluarga, dan dijualnya kasan ataupun kagyou sepeninggal kachou.

Bila ditelaah lebih jauh, unsur-unsur ie yang hilang dalam kedua novel adalah penentu dari

kesinambungan ie. Seperti sosen suuhai adalah satu kewajiban yang harus dilaksanakan oleh kachou

karena didalam penyembahan arwah leluhur ini terkandung makna pemujaan arwah leluhur yang sudah meninggal dunia yang menjadi simbol keberadaan ie, yang menjaga anggota ie yang masih

hidup dan yang akan lahir. Dengan dilaksanakannya sosen suuhai ini, kesinambungan ie akan

terjamin karena kachou akan melaksanakan pula kewajiban lainnya yaitu menentukan calon pewaris

yang akan melanjutkan tradisi ie dan akan terus mengelola kasan dan kagyou untuk kelangsungan hidup anggota ie.

Unsur-unsur yang ditiadakan oleh Ogawa Yoko ini adalah unsur yang berkaitan dengan patriarki.

Pernyataan ini ditunjang oleh sistem yang berlaku di dalam ie yaitu yang menjadi kachou adalah

laki-laki, dan pewaris juga chounan atau anak laki-laki. Bila sebuah ie tidak mempunyai anak laki-laki

maka kachou diperbolehkan mengangkat anak untuk menjadi calon pewaris yang disebut dengan

youshi. Kachou juga bisa mengangkat menantu laki-lakinya untuk menjadi pewaris yang disebut

dengan mukoyoushi. Sehingga tetap saja yang akan memegang kepemimpinan di dalam sebuah ie

adalah seorang laki-laki. Dari penjelasan ini dapat dikatakan unsur-unsur yang ditiadakan oleh Ogawa Yoko dalam novel KAS dan HAS adalah yang berkaitan dengan patriarki. Bisa dikatakan bahwa Ogawa Yoko tidak memihak kepada sistem patriarki yang berlaku di Jepang terutama yang berkaitan dengan pewarisan dan pemimpin keluarga.

Kesetaraan Gender dalam Novel KAS dan HAS

Sebagaimana dijelaskan pada bagian sebelumnya bahwa Ogawa Yoko tidak memihak kepada sistem patriarki yang berlaku di Jepang. Ogawa Yoko memperlakukan tokoh laki-laki dan perempuan di dalam novelnya setara sesuai dengan kapasitasnya masing-masing. Seperti pada novel KAS, yang

menjadi kachou adalah Bibi Yuli yang seorang perempuan. Penentuan Bibi Yuli menjadi kachou

adalah karena modal yang dimiliki oleh Bibi Yuli lebih besar dari anggota keluarga yang lain. Bibi Yuli memiliki modal ekonomi yang besar yaitu harta warisan, rumah mewah, binatang yang diawetkan, dan pabrik plastik. Kemudian pengakuan dari publik bahwa Bibi Yuli adalah Putri Anastasia juga menambah modal budaya, modal sosial, dan modal simboliknya. Dengan modal-modal tersebut Bibi Yuli menjadi dominan di dalam ruang sosialnya.

Demikian juga halnya dengan Mibojin pada novel HAS. Penentuan Mibojin menjadi kachou karena modal yang dimiliki juga lebih besar dari Hakase, Kaseifu, maupun Ruto. Modal terbesar yang dimiliki oleh Mibojin adalah modal ekonomi yaitu rumah yang bagus, dan warisan dari suaminya. Modal budaya yang dimiliki oleh Hakase yaitu kepintaran dalam ilmu matematika belum mampu menyaingi Mibojin karena Hakase memiliki kekurangan yaitu memorinya hanya 80 menit saja.

(6)

kepada kapasitas yang dimiliki apakah mampu menjadi pemimpin atau tidak. Penentuan ini lebih didasarkan pada berapa besar modal yang dimiliki sehingga berapa kuat dominasi seorang tokoh di dalam ruang sosialnya.

Kesetaraan gender yang digambarkan oleh Ogawa Yoko di dalam novel KAS dan HAS tidak terlepas dari ideologi pengarangnya. Ogawa Yoko adalah seorang penganut Konkokyou atau disebut juga

dengan Sekte Konkou. Dalam ajaran sekte ini, semua manusia adalah sama di sisi Tuhan atau Kami.

Tuhan, manusia, dan alam semesta saling tergantung dan saling membutuhkan dalam menjalankan kehidupan di dunia ini. Manusia yang kuat baik secara fisik maupun ekonomi, membantu manusia yang lemah dalam hal ekonomi dan fisik.

Ogawa Yoko dalam kedua novel KAS dan HAS sangat kental memasukkan ajaran sekte ini terutama yang berkaitan dengan saling membantu satu sama lain. Dalam setiap keluarga yang dibangun di dalam novel terdapat anggota yang lemah secara fisik yaitu Niko yang menderita OCD2 pada novel KAS dan Hakase yang lupa ingatan pada novel HAS. Kedua tokoh ini mendapatkan perhatian dan kasih sayang dari anggota keluarga lainnya sehingga keduanya dapat menjalani kehidupannya dengan baik. Demikian juga dengan anggota keluarga yang kekurangan secara ekonomi seperti Gadis dan Ohara pada novel KAS dan Kaseifu serta Ruto pada novel HAS. Tokoh yang berkekurangan secara ekonomi dijadikan anggota keluarga walaupun ada yang tidak memiliki hubungan darah ataupun hubungan kekerabatan. Ogawa Yoko seolah mengikuti salah satu unsur yang terdapat dalam sistem ie yaitu adanya houkounin dalam ie. Tapi bila ditelaah lebih dalam lagi, keberadaan houkounin di dalam keluarga yang dibangun Ogawa Yoko bukan berdasarkan sistem ie, namun berdasarkan ajaran yang terdapat dalam Sekte Konkou yaitu saling membantu sesama. Ajaran sekte ini pula yang membuat Ogawa Yoko tidak membedakan antara laki-laki dan perempuan dalam sebuah keluarga. Pembedaan itu terjadi lebih karena posisi yang ditempati oleh seseorang di dalam ruang sosialnya.

Kesimpulan

Dari pemaparan mengenai karya Ogawa Yoko yaitu novel KAS dan HAS, diketahui bahwa di dalam novel tersebut tidak terdapat perbedaan gender walaupun dalam masyarakat Jepang sekarang masih terdapat unsur-usur dalam sistem ie yang merupakan satu sistem patriarki yang pernah berlaku dalam masyarakat Jepang. Ogawa Yoko memposisikan para tokohnya bukan berdasarkan jenis kelamin namun berdasarkan seberapa besar modal yang dimiliki dan seberapa dominan seseorang di dalam ruang sosialnya. Kecendrungan Ogawa untuk memperlakukan laki-laki dan perempuan secara setara terbentuk karena Ogawa Yoko menganut Sekte Konkou yang memposisikan manusia setara tanpa pembedaan jenis kelamin. Dari habitus Ogawa Yoko dalam menampilkan tokoh-tokohnya ini dapat disimpulkan pula bahwa ideologi pengarang masuk ke dalam karyanya baik pengarang tersebut sadar ataupun tidak.

Daftar Pustaka

Aruga, Kizaemon. (1981). Ie : Nihon No Kazoku (Edisi Revisi). Tokyo: Shibundo.

Devi, Rima. (2015). Keluarga Jepang dalam Novel Kifujin A No Sosei, Hakase No Aishita Suushiki, dan Miina No Koushin Karya Ogawa Yoko. Depok: Program Studi Ilmu Susastra Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia. (Disertasi).

2

(7)

Damono, Sapardi. (2013). Sosiologi Sastra: Sebuah Pengantar Ringkas. Jakarta: Editum.

Faruk (2012). Pengantar Sosiologi Sastra dari Strukturalisme Genetik Sampai Post-Modernisme. (2nd

ed.). Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Grenfell, Michael.(ed.). (2010). Pierre Bourdieu Key Concepts. (3rd ed.).Durham: Acumen Publishing

Limited.

Ogawa, Yoko. (2002). Kifunjin A no Sosei. Tokyo: Asahi Shinbunsha.

Ogawa, Yoko. (2003). Hakase No Aishita Suushiki . Tokyo: Shinkosha.

Ochiai, Emiko. (1997). The Japanese Family System in Transition. Japan: LTCB International Library

Foundation.

Referensi

Dokumen terkait

Ketika akun medsos milik Kementerian Kominfo sedang melakukan postingan tentang kebijakan pemerintah pusat, pada waktu yang bersamaan akun medsos milik Pemerintah

Hasil uji coba pengolahan air dengan proses biofiltrasi, ultra filtrasi dan reverse osmosis dengan air baku air sungai dapat dihasilkan air olahan dengan kualitas yang sangat

Peneliti cukup terkesan dengan semakin seringnya brand Klenger Burger TM dijadikan salah satu contoh produk franchise lokal kelas UMKM, baik yang dipublikasikan

Pada format eksplanasi survei, peneliti diwajibkan membangun hipotesis penelitian dan menguji di lapangan karena format penelitian ini bertujuan mencari hubungan sebab-akibat

Berawal dari pemikiran di atas, penulis meneliti pengembangan media pembelajaran yang sesuai dengan karakteristik peserta didik beserta pengaruhnya terhadap aktivitas dan

In the limited guidelines on how ecolodege can contributes to the global warming reductions, this paper highlight the important of attraction and development

Brahmana dan pendeta kerajaan tidak habis-habisnya berdoa agar Raja Astina selamat dari kutukan Srenggi anak Begawan Samiti.... Menjelang sore, tidak ada tanda-tanda datangnya naga