• Tidak ada hasil yang ditemukan

Strategi Indonesia dalam Menyelesaikan S (1)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Strategi Indonesia dalam Menyelesaikan S (1)"

Copied!
13
0
0

Teks penuh

(1)

A. Latar Belakang

Indonesia merupakan sebuah negara kepulauan yang memiliki 17.504 pulau dalam berbagai jenis dan ukuran (Syarif Hidayat, 2009: 1). Luas wilayahnya membentang sepanjang khatulistiwa dari 950 bujur timur sampai dengan 1410 bujur timur, dan dari 60 lintang utara sampai dengan 110 lintang selatan. Konstelasi geografi Indonesia yang berupa negara kepulauan membuatnya memiliki wilayah kedaulatan udara yang sangat luas, yakni 5.193.252 km2 dan membentang sepanjang 5.110 km di khatulistiwa (Sutarno, 2001: 3). Posisi Indonesia yang terletak diantara dua benua dan dua samudera membuat negara ini menjadi jalur perlintasan transportasi udara internasional (Maria Kristi Endah Murni, 2007: 2).

Dalam Laporan Perencanaan Penerbangan Indonesia disebutkan bahwa terdapat 16 jalur penerbangan internasional yang melintasi wilayah udara Indonesia (Dirjen Perhubungan Udara Indonesia dan ICAO, 2007: Appendix 1D-2H). Jumlah ini belum seberapa jika dibandingkan dengan jumlah jalur penerbangan domestik yang mencapai 209 rute dengan menghubungkan 99 kota. Dirjen Perhubungan Udara Indonesia dalam Cetak Biru Transportasi Udara 2005-2024 menyebutkan bahwa angka ini akan terus bertambah seiring dengan perkembangan wilayah di Indonesia yang semakin

(2)

menuntut pembukaan rute baru penerbangan. (Dirjen Perhubungan Udara Indonesia, 2005: III.1-III.8). Padatnya jalur penerbangan yang melintasi kawasan udara Indonesia terlihat pada gambar dibawah ini:

Gambar 1

Jalur Penerbangan Internasional yang Melintasi Kawasan Udara Indonesia

(Diambil dari Report of the Contingency Plan Indonesia. Dirjen Perhubungan dan ICAO, 2007: Appendix 2D)

(3)

semakin rumit dan membutuhkan biaya yang sangat besar. Program pengamatan dan pengawasan udara di kawasan perairan tidak semudah di kawasan daratan. Pemasangan radar dan peralatan lalu lintas udara seringkali harus dilakukan di gugusan pulau kecil yang terpencil, padahal tidak semua gugusan pulau di perairan terluar dapat diberi radar. Kalaupun bisa, kesiapan operasional radar tidak dapat dioperasikan penuh selama 24 jam dan kemampuannya cepat menurun. Kondisi ini menyebabkan banyak wilayah udara Indonesia yang berlubang (security hole) karena tidak terjangkau oleh pengawasan (Perwira Siswa Angkatan Udara LXXIII, 2003: 18-19).

Berbagai masalah tersebut akhirnya memaksa Indonesia untuk menitipkan atau dengan kata lain mendelegasikan sebagian ruang udaranya yang ada diatas Kepulauan Natuna dan sekitarnya kepada Singapura. Pendelegasian ini sebenarnya telah berlangsung sejak tahun 1946, pada saat itu Indonesia baru merdeka dari penjajahan sehingga belum memiliki kemampuan untuk mengendalikan ruang udaranya secara mandiri (www.nasional.kompas.com Diakses pada 9 Mei 2012).

(4)

Sipil Internasional atau ICAO di Dublin, Irlandia, Maret 1946, memberi kekuasaan kepada Singapura untuk mengontrol lalu lintas udara di Indonesia khususnya Kepulauan Natuna. Namun dalam pertemuan tersebut Indonesia tidak ikut hadir karena kondisi dalam negeri yang masih diwarnai dengan perjuangan kemerdekaan (www.batampos.co.id Diakses pada 8 Mei 2012).

Keterlibatan Indonesia dalam Organisasi Penerbangan Sipil Internasional baru terlihat pada Pertemuan Regional Aviation Navigation

(RAN) pertama yang diselenggarakan oleh ICAO kawasan Asia Pasifik tahun 1973. Pada pertemuan tersebut Singapura mengajukan usul untuk tetap mengelola Flight Information Region (FIR) yang ada di kawasan Kepulauan Natuna. Usulan tersebut diterima oleh Indonesia dan organisasi tersebut karena Singapura dianggap lebih layak dalam mengelola ruang udara di kawasan tersebut (www.depdagri.go.id Diakses pada 8 Mei 2012).

(5)

meminta kembali pengelolaan ruang udara diatas Kepulauan Natuna dari Singapura. Sayangnya, usulan tersebut ditolak dengan alasan Indonesia belum mampu mengelola kawasan udaranya. Kemampuan teknologi dan sumber daya manusia yang dimiliki Indonesia belum mampu untuk menjangkau Kepulauan Natuna (nasional.kompas.com Diakses Pada 9 Mei 2012).

(6)

Pada Pertemuan RAN ketiga di Bangkok tahun 1993, Indonesia semakin kuat menyuarakan pengambilalihan FIR diatas Kepulauan Natuna dari Singapura. Namun sayang, dalam pertemuan sepenting itu Indonesia hanya mengirimkan pejabat operasional sedangkan Singapura mengirim Jaksa Agung, Sekjen Kementerian Perhubungan, serta Penasihat Hukum Laut Internasional. Akibatnya Indonesia tidak memperoleh hasil yang berharga dalam pertemuan itu, Forum menyepakati agar Indonesia dan Singapura menyelesaikan sengketa tersebut secara bilateral. (www.batampos.co.id Diakses pada 8 Mei 2012).

Sejak saat itu Indonesia rutin melakukan pertemuan dengan Singapura untuk membahas masalah FIR diatas Kepulauan Natuna. Pertemuan tersebut berlangsung setidaknya selama empat kali, diantaranya pertemuan bilateral di Jakarta pada tahun 1994 dan pertemuan di Singapura pada tahun 1995 (www.batampos.co.id Diakses pada 8 Mei 2012). Berbagai pertemuan tersebut menghasilkan sebuah perjanjian yang ditandatangani oleh Pemerintah Indonesia dan Pemerintah Singapura pada 21 September 1995 (www.nasional.kompas.com Diakses pada 9 Mei 2012).

(7)

Kepulauan Natuna. Indonesia kembali mendelegasikan manajemen ruang udara diatas Kepulauan Natuna kepada Singapura

Perjanjian yang berjudul Agreement Between the Government of the Republic of Indonesia and the Government of the Republic of Singapore on

the Realignment of the Boundary between the Singapore Flight Information

Region and the Jakarta Flight Information Region ini berisi tentang berbagai ketentuan pendelegasian FIR Kepulauan Natuna kepada Singapura. Beberapa hal pokok yang terdapat dalam perjanjian ini adalah pembagian wilayah FIR diatas Kepulauan Natuna menjadi 3 bagian yakni, A, B dan C, sebagaimana tertera pada gambar dibawah ini:

Gambar 2

(8)

(Diambil dari Flight Information Region: Implikasi Penguasaan Air Traffic

Control Kepada Singapura di Kepulauan Riau. Amrizal Mansur, 2010: 63)

Untuk wilayah sektor A, Indonesia mendelegasikan tanggung jawab pemberian pelayanan navigasi kepada Singapura dari permukaan laut sampai ketinggian 37.000 kaki. Untuk wilayah sektor B, Indonesia mendelegasikan tanggung jawab pemberian pelayanan navigasi kepada Singapura dari permukaan laut sampai ketinggian tidak terhingga. Sedangkan untuk wilayah sektor C tidak termasuk dalam perjanjian. Sebagai tambahan, atas nama Indonesia, Singapura memungut jasa pelayanan navigasi penerbangan (Rans Charge) di wilayah yuridiksi sektor A untuk selanjutnya diserahkan kepada Pemerintah Indonesia. Sedangkan untuk wilayah sektor B dan C tidak dikenai

Rans Charge karena masih membutuhkan pembahasan lebih lanjut dengan

berbagai pihak lainnya (Amrizal Mansur, 2010: 63).

FIR diatas Kepulauan Natuna pun kembali dikelola oleh Singapura, menurut Yuwono Agung Nugroho dalam Kedaulatan Wilayah Udara Indonesia (2006: 132-133) perjanjian Indonesia dan Singapura ditetapkan berakhir sejak lima tahun ditandatangani, sehingga perjanjian tentang pendelegasian FIR diatas Kepulauan Natuna kepada Singapura telah berakhir pada tanggal 21 September 2000.

(9)

perjanjian tersebut, tidak ditemukan klausul yang menyebutkan kapan perjanjian tersebut berakhir. Article 7 dalam perjanjian tersebut hanya menyebutkan bahwa perjanjian dapat dikaji ulang setelah lima tahun masa berlakunya perjanjian tersebut, serta Article 10 yang menyebutkan bahwa perjanjian tersebut mulai berlaku sejak diratifikasi oleh kedua negara. Hal ini menunjukkan bahwa perjanjian ini tidak dapat berakhir tetapi hanya dapat dikaji ulang setelah lima tahun diratifikasi oleh kedua negara. Indonesia meratifikasi perjanjian ini pada 2 Pebruari 1996, ini berarti pada 2 Pebruari 2001, perjanjian ini dapat dikaji ulang.

Terlepas dari perdebatan masalah tahun 2000 atau 2001, satu hal yang pasti adalah perjanjian ini sudah dapat dikaji ulang oleh Indonesia. Secara aktif, Indonesia sudah berusaha untuk mengadakan negosiasi dengan Singapura untuk mengkaji ulang perjanjian ini. Indonesia berusaha untuk melakukan pengambilalihan FIR diatas Kepulauan Natuna dari Singapura.

Sayangnya upaya ini kembali gagal, bukan karena Singapura mempersulit Indonesia, tetapi karena di kawasan Kepulauan Natuna ini pula Indonesia pernah mengadakan perjanjian dengan Malaysia (nasional.kompas.com Diakses pada tanggal 9 Mei 2012).

(10)

Nusantara dan Hak-hak Malaysia di Laut Teritorial dan Perairan Nusantara dan Ruang Udara diatas Laut Teritorial Perairan Indonesia dan Wilayah Republik Indonesia”. Perjanjian tersebut ditandatangani pada 25 Pebruari 1982 dan diratifikasi oleh Indonesia melalui Undang-undang Nomor 1 tahun 1983. Dalam perjanjian tersebut diatur bahwa pesawat udara sipil maupun pesawat udara negara Malaysia diberi hak untuk melakukan penerbangan dari Malaysia Barat ke Malaysia Timur melalui laut teritorial Indonesia. Malaysia juga diberi hak untuk memandu pesawatnya dari Malaysia Barat ke Malaysia Timur (www.ilmuterbang.com).

Melihat isi dari perjanjian tersebut, penulis tidak menemukan adaya klausul dalam perjanjian tersebut yang mengatur mengenai pungutan yang harus diberikan oleh pesawat yang terbang dari Malaysia Barat ke Malaysia Timur dengan melewati wilayah Indonesia. Jika Indonesia mampu mengambil alih FIR diatas Kepulauan Natuna dari Singapura, maka lalu lintas penerbangan dari Malaysia Barat ke Malaysia Timur akan diatur oleh otoritas penerbangan Indonesia. Pesawat yang lalu lalang diatas kawasan tersebut harus membayar uang jasa pelayanan ruang udara kepada Indonesia.

(11)
(12)

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan pada pemaparan yang terdapat pada latar belakang diatas, penulis tertarik pada beberapa rumusan masalah yaitu:

1. Bagaimana strategi diplomasi yang digunakan oleh Indonesia dalam menyelesaikan sengketa dengan Singapura dan Malaysia terkait Flight Information Region diatas Kepulauan Natuna?

2. Hambatan apa saja yang dihadapi oleh Indonesia dalam menyelesaikan sengketa dengan Singapura dan Malaysia tersebut?

C. Tujuan Penelitian

1. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui strategi diplomasi yang digunakan Indonesia dalam menyelesaikan sengketa dengan Singapura dan Malaysia terkait Flight Information Region diatas Kepulauan Natuna. 2. Penelitian ini juga bertujuan untuk mengetahui berbagai hambatan yang

dihadapi oleh Indonesia dalam menyelesaikan sengketa Flight Information Region dengan Singapura dan Malaysia tersebut.

(13)

Penelitian ini sangat berguna bagi penulis dalam mengembangkan ilmu yang telah didapat. Selain itu, penelitian ini juga membantu penulis untuk mengasah kemampuan menganalisa politik luar negeri Indonesia. 2. Bagi Pembaca

Penelitian ini sangat bermanfaat bagi pembaca guna memperluas ilmu tentang politik luar negeri dan hubungan internasional di Indonesia. Melalui penelitian ini pembaca juga diharapkan mendapat tambahan materi tentang perkembangan hubungan internasional saat ini.

3. Bagi Program Studi

Gambar

Gambar 1Jalur Penerbangan Internasional yang Melintasi Kawasan Udara Indonesia
Gambar 2

Referensi

Dokumen terkait

Kesimpulan: Berdasarkan hasil analisa dan kajian dari penelitian ini dapat disimpulkan bahwa: (1) Pengayaan kerja berpengaruh langsung positif terhadap loyalitas, dalam

Bahwa ia terdakwa ELWIN Bin ABADI pada waktu dan tempat sebagaimana tersebut di atas, berawal ketika terdakwa mengemudikan mobil dump truck Hino DT 9086

Untuk rnenjamin saat terjadinya gempa kuat dinding geser tetap berperilaku elastis kecuali pada penampang dasar, dimana sendi plastis dapat terbentuk, maka dinding momen akibat

Dalam tahap observasi pada siklus II yang diamati adalah proses jalannya pembelajaran”Menunjuk sebanyak-banyak nya benda, tanaman,binatang yang mempunyai warna,

Dengan melihat data peningkatan dalam kemajuan belajar siswa antara siswa yang menggunakan pembelajaran Modifikasi dan Pendekatan Bermain terhadap Dribble Bola Basket di SMPN

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui (1) adanya pengaruh penggunaan model pembelajaran kooperatif tipe inside-outside circle (IOC) terhadap hasil belajar siswa kelas X

“Tujuan pembangunan industri adalah (1) meningkatkan kemakmuran dan kesejahteraan rakyat secara adil dan merata dengan memanfaatkan dana, sumber daya alam, dan hasil budidaya

kapasitas instalasi tata udara yang harus dipasang didalam bangunan perlu dihitung besarnya total panas atau seluruh panas yang diterima oleh bangunan, sehingga