• Tidak ada hasil yang ditemukan

Perjanjian Penanaman Modal dalam Hukum Perdagangan Internasional (WTO)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Perjanjian Penanaman Modal dalam Hukum Perdagangan Internasional (WTO)"

Copied!
166
0
0

Teks penuh

(1)

Perjanjian Penanaman Modal dalam Hukum

Perdagangan Internasional (WTO)

(2)

DAFTAR ISI

BAB 1 PENGANTAR

BAB 2 LATAR BELAKANG NEGOSIASI TRIMs

Addendum: Canada Administration of the Foreign Investment Review Act,

Report of the Panel, 7 February 1984.

BAB 3 NEGOSIASI TRIMs DALAM PUTARAN URUGUAY (URUGUAY ROUND)

BAB 4 PERJANJIAN WTO MENGENAI TRIMS

Addendum: Agreement on Trade-Related Investment Measures

BAB 5 ARTI PENTING PERJANJIAN TRIMs

BAB 6 PERKEMBANGAN PERJANJIAN TRIMs DALAM KONPERENSI TINGKAT TINGGI

WTO

(3)

KATA PENGANTAR

Buku berjudul 'Perjanjian Penanaman Modal dalam Hukum

Perdagangan Internasional (WTO)' ini merupakan buku sejenis

Cases

and Materials

. Buku ini memuat bacaan awal atau dasar mengenai

perjanjian penanaman modal dalam WTO, yani Perjanjian TRIMs

-(

Trade-Related Investment Measures

), muatan isi perjajian TRIMs,

dan perkembangan negosiasi Perjanjian TRIMs dalam WTO.

Penulis menyusun naskah ini karena sangat kurangnya

buku-buku mengenai hukum perdagangan internasional (WTO) di tanah air.

Sedangkan kebutuhan akan tulisan atau buku seperti ini masih

langka. Buku ini memuat perjanjian dan sengketa-sengketa GATT dan

WTO yang terkait dengan penanaman modal. Dalam buku ini dua

sengketa yang secara khusus terkait mengenai TRIMs, yaitu sengketa

the FIRA (

Foreign Review Investment Act

) Case, yaitu sengketa yang

terjadi dalam kerangka GATT. Sengketa kedua adalah sengketa Mobil

Nasional RI (

Indonesia - Certain Measures Affecting the Automobile

Industry

), yaitu sengketa pertama dan terkenal sehubungan dengan

pembahasan mengenai TRIMs dalam WTO.

Buku ini semata-mata buku pengantar untuk memahami TRIMs

lebih lanjut. Kepada penerbit PT Rajagrafindo Persada yang telah

bersedia menerbitkan naskah-naskah penulis sebelumnya, penulis

ucapkan terima kasih. Mudah-mudahan buku ini dapat memberi setitik

sumbangan bagi perkembangan ilmu hukum yang kita cintai. Kritik

dan saran perbaikan atas buku ini akan penulis hargai dan ucapkan

terima kasih.

Bandung, Mei 2004.

(4)

BAB I

PENGANTAR

A. Pendahuluan

Penanaman modal asing

1

berperan penting baik di negara maju

maupun negara sedang berkembang. Di dalam suatu laporannya yang

diterbitkan pada tahun 1996, WTO menunjukkan bahwa telah terjadi

suatu perkembangan yang cukup mendasar di bidang penanaman modal,

khususnya sejak tahun 1980-an. Aliran penanaman modal secara

global hanyalah sekitar 60 miliar dollar AS pada tahun 1985. Namun

angka ini mengalami peningkatan yang cepat dalam kurun waktu 10

tahun kemudian (pada tahun 1995), yaitu sebesar 315 miliar dollar

AS.

2

Demikian pula aliran penanaman modal asing ke negara-negara

sedang berkembang mengalami perkembangan yang berarti dalam jangka

waktu 15 tahun terakhir. Aliran penanaman modal asing ke

negara-negara ini telah mengalami peningkatan yang berarti, yaitu dari

1 Prof. M. Sornarajah mendefinisikan penanaman modal sebagai 'the transfer of tangible or intangible assets from one country to another for the purpose of use in that country to generate wealth under the total or partial control of the owner of the assets.' (M. Sornarajah, The Law on Foreign Investment, (Cambridge: Cambridge U.P., 1994), hlm.

4. Cf., Untuk definisi lainnya, lihat: Paul E. Comeaux & N. Stephan

Kinsella, Protecting Foreign Investment Under International Law (Dobbs Ferry, New York: Oceana Publications Inc., 1997), hlm. xix,xx. Untuk kajian hukum internasional secara umum mengenai penanaman modal lihat,

antara lain, G. Schwarzenberger, Foreign Investment and International

Law (London: Stevens & Sons, 1969); Cynthia D. Wallace, (ed.), Foreign Direct Investment in the 1990s (Dordrecht, Boston: Martinus Nijhoff, 1990); Ibrahim F.I. Shihata, Legal Treatment of Foreign Investment: The World Bank Guidelines (Dordrecht, Boston: Martinus Nijhoff, 1993); Richard B. Lilich, The Protection of Foreign Investment (Syracuse, New York: Sijthoff, 1965); Zouhair A. Kronfol, Protection of Foreign Investment (Leiden: Sijthoff, 1972). Untuk kajian mengenai praktek (hukum) penanaman modal asing, lihat P.T. Muchlinski, Multinational Enterprises and the Law (Oxford, Cambridge: Blackwell, 1995).

(5)

sekitar hanya 5 persen di tahun 1983 hingga 1987, menjadi 15

persen pada tahun 1995, yaitu sekitar 200 miliar dollar AS.

3

Meskipun adanya peningkatan, namun tidak ada penjelasan

resmi mengenai sebab-sebab terjadinya peningkatan angka penanaman

modal tersebut. Namun demikian sebuah penelitian menunjukkan bahwa

adanya liberalisasi hukum penanaman modal asing baik di negara

maju maupun negara berkembang menjadi faktor penyebab utama

meningkatnya angka penanaman modal asing tersebut.

4

Yang menjadi permasalahan cukup mendasar adalah bahwa hukum

internasional yang mengatur bidang ini ternyata berkembang agak

lambat guna mengimbangi perkembangan ini. Salah satu pendapat yang

berkembang mengungkapkan bahwa lambatnya perkembangan hukum

internasional di dalam mengatur masalah ini adalah karena

kurangnya

upaya

koordinasi

masyarakat

internasional

untuk

merumuskan aturan-aturan hukum di bidang ini.

Pendapat lainnya menyatakan bahwa lemahnya aturan hukum

internasional mengatur bidang ini disebabkan karena tidak adanya

keinginan yang sungguh dari masyarakat internasional. Michael

Geist mengungkapkan bahwa tidak adanya niat yang serius dari

berbagai negara untuk mengatur bidang ini merupakan kendala bagi

perkembangan hukum di bidang investasi.

5

Ada pula yang berpendirian bahwa alasan utama dari lambatnya

hukum internasional di dalam mengatur masalah ini adalah karena

3 WTO, Annual Report 1996 (Geneva: WTO, 1996), hlm. 46.

(6)

tidak

adanya

lembaga

khusus

yang

memformulasikan

hukum

internasional di bidang penanaman modal asing.

6

Pada prinsipnya terdapat 4 (empat) bidang utama dari hukum

internasional yang mengatur penanaman modal ini.

(1) Hukum internasional yang mengatur perlindungan terhadap

investor dan harta miliknya.

(2) Hukum internasional yang mengatur hubungan atau transaksi

bilateral antara dua negara (yang disebut juga sebagai BIT

atau

bilateral investment treaty

). Perjanjian seperti ini

banyak dibuat baik negara maju maupun berkembang.

(3) Hukum internasional yang mengatur upaya-upaya penanaman modal

di suatu wilayah (region) tertentu. Upaya ini timbul sebagai

reaksi

ketidakpuasan

terhadap

hukum

internasional

yang

melindungi investor dan harta miliknya. Termasuk dalam hal

ini adalah prinsip pembayaran ganti rugi manakalah terjadi

nasionalisasi penanaman modal asing.

(4) Berkembangnya aturan hukum internasional baru yang mengatur

upaya-upaya penanaman modal yang terkait dengan perdagangan

internasional (

the trade-related investment measures

atau

TRIMs dalam kerangka WTO).

7

Bidang keempat pengaturan hukum penanaman modal ini timbul

sebagai reaksi terhadap semakin meningkatnya kekhawatiran para

investor asing dan negara-negara maju terhadap semakin banyaknya

5 Michael A Geist, 'Toward a General Agreement on the Regulation of Foreign Direct Investment,' 26 Law & Pol'y Int'l Bus. 673 (1995).

6

(7)

kebijakan-kebijakan penanaman modal khususnya di negara sedang

berkembang. Mereka menganggap upaya-upaya atau kebijakan penanaman

modal

tersebut

telah

mempengaruhi

atau

berdampak

terhadap

perdagangan internasional.

Fenomena yang berkembang akhir-akhir ini telah semakin

dirasakan

seiring

dengan

semakin

berkembangnya

kesadaran

masyarakat internasional. Fenomena tersebut sekarang ini

digembar-gemborkan sebagai liberalisasi atau globalisasi ekonomi. Termasuk

di dalamnya adalah dijunjung tingginya kebebasan aliran penanaman

modal. Bidang keempat dari hukum internasional ini sekarang telah

menjadi hukum internasional positif setelah dirampungkannya

hasil-hasil perundingan Uruguay yakni dengan disahkannya perjanjian

mengenai TRIMs.

Buku ini mengkaji secara ringkas bidang hukum internasional

mengenai penanaman modal yang keempat. Kajian menunjukkan bahwa

lambatnya di dalam mengembangkan hukum intenasional di bidang ini

semata-mata disebabkan karena sulitnya upaya untuk mencakup dan

mengatur seluruh aspek mengenai hukum penanaman modal asing.

Besarnya perbedaan pandangan antara negara maju dan negara

berkembang ternyata sulit sekali untuk mencapai titik temu. Negara

maju menekankan pentingnya keterbukaan dan dihilangkannya semua

upaya

atau

kebijakan

penanaman

modal

yang

terkait

dengan

perdagangan atau rintangan-rintangan penanaman modal.

Sebaliknya,

negara

sedang

berkembang

menganut

sikap

preventif. Mereka acapkali menyandarkan diri kepada alasan

(8)

kedaulatan dan menekankan kepada kebutuhan penanaman modal yang

dikaitkan dengan aspek pembangunan.

Kajian ini juga menyimpulkan bahwa:

Pertama

, WTO, bukan Bank

Dunia, PBB atau OECD, adalah forum yang tepat untuk mengatur

upaya-upaya

penanaman

modal

yang

merintangi

perdagangan

internasional (TRIMs).

Kedua

, kebijakan-kebijakan penanaman modal yang termuat

dalam hukum nasional masing-masing negara sedikit banyak akan

mempengaruhi posisi atau pendirian negara-negara tersebut di dalam

proses negosiasi pembentukan aturan-aturan penanaman modal.

B. Upaya-upaya Penanaman Modal yang terkait dengan Perdagangan

(

Trade Related Investment Measures

).

Dewasa ini, negara-negara penerima penanaman modal asing

tidak lagi menganggap masuknya modal asing sebagai suatu ancaman.

Mereka tidak lagi memandangnya dengan kecurigaan. Pendirian ini

berbeda di waktu awal tahun 1960-an hingga tahun 1970-an. Pada

waktu itu negara-negara sedang berkembang masih kental menganggap

bahwa masuknya modal asing adalah suatu ancaman penjajahan

(ekonomi) baru dari bekas negara kolonial-nya (asing). Karena itu,

setiap bentuk modal asing akan dipandang sebagai sesuatu yang

patut dicurigai.

Dewasa ini pandangan tersebut berubah. Modal asing tidak

lagi dipandang sebagai suatu, istilah Sir Leon Brittan, ‘

Trojan

(9)

Horses

’ (‘Kuda-kuda bangsa Troja’).

8

Sekarang negara berkembang

berpendapat bahwa modal asing dapat memberi modal kerja dan

mendatangkan keahlian manajerial, ilmu pengetahuan, modal dan

koneksi pasar.

9

Penanaman modal asing dapat pula berperan dalam meningkatkan

pendapatan

mata

uang

asing

melalui

aktivitas

ekspor

oleh

perusahaan multinasional (

Multinational Enterprise

atau MNE).

10

Yang juga penting, penanaman modal asing (PMA) tidak melahirkan

utang baru. Selain itu negara penerima tidak perlu merisaukan atau

menghadapi risiko manakala suatu PMA yang masuk ke negerinya

ternyata tidak mendapatkan untung dari modal yang ditanamnya.

11

Meskipun adanya aspek-aspek positif dari PMA dalam membantu

upaya-upaya

pembangunan

kepada

perekonomian

negara-negara

penerima, PMA ternyata dapat pula berdampak negatif terhadap

perekonomian negara penerima. Namun demikian sudah lama diakui

bahwa PMA dapat melahirkan sengketa dengan negara penerima atau

dengan penduduk asli setempat, khususnya di negara-negara sedang

berkembang.

8 Sir Leon Brittan, 'Building on the Singapore Ministerial: Trade, Investment and Competition,' dalam: Jagdisch Bhagwati & Mathias Hirsch, supra, note 4, hlm. 272.

9

William A. Fennel and Joseph W. Tyler, Trade and International Investment from the GATT to the Multilateral Agreement on Investment (1995), hlm. 2003.

10 Lihat Eric M. Burt, 'Developing Countries and the Framework for Negotiations on Foreign Direct Investment in the World Trade Organization,' 12:6 Am. U.J.Int'l.L & Pol'y 1022 (1997); Ibrahim F.I. Shihata, 'Factors Influencing the Flow of Foreign Investment and the Relevance of a Multilateral Guarantee Scheme,' 21 Int'l. Law 671, 675 (1987).

(10)

Dampak lainnya adalah bahwa PMA oleh MNE dapat mengontrol

atau mendominasi perusahaan-perusahaan lokal.

12

Sebagai akibatnya,

mereka dapat mempengaruhi kebijakan-kebijakan ekonomi atau bahkan

kebijakan-kebijakan politis dari negara penerima.

Di samping itu pula, MNE banyak dikecam telah mengembalikan

keuntungan-keuntungan dari kegiatan bisnisnya ke negara di mana

perusahaan induknya berada. Praktek seperti ini sedikitnya telah

mengurangi cadangan persediaan mata uang asing (

foreign exchange

reserves

) dari negara penerima.

Yang lebih banyak dikecam pula adalah adanya tuduhan-tuduhan

terhadap MNE yang kegiatan usahanya ternyata telah merusak

lingkungan di sekitar lokasi usahanya, terutama di negara-negara

sedang berkembang. Pasalnya adalah, MNE ini telah menggunakan

zat-zat yang membahayakan lingkungan atau menerapkan teknologi yang

tidak atau kurang memperhatikan kelestarian lingkungan.

13

Dampak negatif lainnya adalah bahwa MNE dikritik telah

merusak aspek-aspek positif dari penanaman modal itu sendiri di

negara-negara sedang berkembang. Misalnya, adanya praktek MNE yang

acapkali menerapkan kegiatan-kegiatan usahanya yang bersifat

restriktif (

restrictive business practices

).

14

12

Sir Leon Brittan, supra, note 8, hlm. 271 (berpendapat bahwa banyak negara maju, khususnya di Eropa dan sekutunya menganggap penanaman modal sebagai saingan yang potensial terhadap perusahaan di dalam negeri). 13

Misalnya saja, perusakan lingkungan di Papua (Irian Jaya) sebagai akibat dari pengoperasian proyek tembaga dan mas oleh PT Freeport Indonesia (suatu anak perusahaan Amerika Serikat, the Freeport-McMoran Company), atau kasus bocornya reaktor nuklir di India yang terkenal dengan kasus the Bhopal case.

(11)

C. TRIMS di Negara Sedang Berkembang

.

Dengan mengingat dampak-dampak negatif PMA, dewasa ini

negara-negara berkembang umumnya berpendapat bahwa akivitas atau

ruang

lingkup

usaha

perusahaan-perusahaan

besar

ini

perlu

dibatasi. Mereka tidak boleh dengan bebas menanamkan modalnya di

segala sektor. Negara-negara ini memandang bahwa PMA harus diawasi

guna mencegah timbulnya aspek-aspek negatif tersebut tadi.

15

Negara-negara berkembang umumnya,

16

menerapkan pengawasan

modal yang tertuang dalam bentuk berbagai upaya penanaman modal

dan

persyaratan-persyaratan

penanaman

modal.

Persyaratan-persyaratan demikian sekarang dikenal dengan istilah TRIMs atau

trade-related investment measures

terhadap perusahaan-perusahaan

asing yang hendak menanamkan modalnya. Tujuan utama dari pengenaan

upaya-upaya atau persyaratan-persyaratan ini oleh negara penerima

adalah untuk mengatur dan mengontrol aliran PMA sedemikian rupa

sehingga dapat memenuhi tujuan pembangunannya.

17

15

Pendekatan ini yang diperkenalkan oleh Prof. M. Sornarajah, yang dikenal pula sebagai teori jalan tengah ('middle path theory'). Teori ini berupaya mendamaikan adanya polarisasi dari dua teori yang saling bersilangan, yaitu teori klasik ('classical theory') yang berpendapat bahwa semua PMA adalah baik sifatnya dan teori kedua yaitu teori ketergantungan ('dependency theory') yang beranggapan bahwa semua PMA sifatnya adalah membahayakan. (Lihat, M. Sornarajah, supra, note 1, hlm. 45 et.seqq).

16

Suatu survei yang dilakukan pada tahun 1982 oleh pemerintah Amerika Serikat menunjukkan bahwa negara-negara sedang berkembang telah menerapkan sekitar 28 per sen TRIMS dibandingkan dengan negara-negara maju yang hanya menerapkan 7,5 %. (David Greenaway, 'Why Are We Negotiating on TRIMs?', dalam: David Greenaway, et.al., Global Protectionism (Macmillan, Hampshire, 1991), hlm. 152.

17

(12)

Pada prinsipnya TRIMs ini merupakan unsur yang penting bagi

kebijakan-kebijakan negara tuan rumah, terutama negara sedang

berkembang. Beberapa negara sedang berkembang bahkan ada pula yang

menganggap

TRIMs

sebagai

sarana

pembangunannya.

18

Negara

berkembang lainnya menggunakan TRIMS ini untuk meminimalkan dampak

dari PMA. Negara-negara ini telah pula menjadikan upaya-upaya

tersebut sebagai bagian dari pembangunan ekonominya untuk mencapai

tingkat pertumbuhan pembangunan negaranya.

19

Tujuan lainnya dari negara tuan rumah di dalam menerapkan

TRIMS ini adalah mencegah perusahaan PMA untuk membuat putusan

atau kebijakan yang sifatnya lintas batas. Putusan atau kebijakan

seperti

ini

biasanya

dapat

mempengaruhi

kebijakan

atau

perekonomian negara tuan rumahnya.

20

Di samping itu pula,

penerapan TRIMS dipandang semata-mata sebagai suatu hak atau

kebijakan

setiap

negara

yang

merdeka

untuk

mengatur

137 (menyatakan bahwa negara-negara sedang berkembang berpendirian bahwa TRIMS adalah sarana untuk mendorong tujuan-tujuan pemerintah di dalam memajukan pembangunan ekonomi dan memastikan perdagangan yang berimbang); Rachel McCulloch, 'Investment Policies in the GATT,' 13 World Economy 541, 545 (1990), (mengungkapkan berbagai bentuk kebijakan nasional di bidang penanaman modal), Edmund M.A. Kwan, 'Trade Related Investment Measures in the Uruguay Round: Towards a GATT for Investment,' 16 N.C.J.Int'l.L.& Com.Reg. 309, 309, 319 (1991).

20

(13)

perekonomiannya termasuk PMA di dalamnya (guna mencegah dampak

buruk dari PMA).

21

Kebijakan seperti ini sudah barang tentu suatu langkah yang

lebih menguntungkan negara penerima (khususnya negara sedang

berkembang) daripada negara-negara maju (pengimpor modal dan

negara di mana perusahaan-perusahaan besar berdomisili).

22

Para investor asing sebaliknya berpendapat lain. Mereka

beranggapan, TRIMS merupakan rintangan terhadap perdagangan dunia

dan aliran penanaman modal serta telah menghalangi mereka dalam

menerapkan strategi kompetitif global yang terpadu.

23

Suatu

penelitian yang dilakukan pada tahun 1977 dan 1982, misalnya,

menunjukkan bahwa 45 hingga 60 persen perusahaan-perusahaan

Amerika Serikat terkena pengaruh dari adanya TRIMS ini.

24

21 P.T Muchlinski, supra, note 1, hlm. 172. Untuk kajian secara umum tentang TRIMS, khususnya mengenai sifat dan perkembangannya, lihat: United Nations Centre on Transnational Corporations, United Nations Conference on Trade and Development, The Impact of Trade Related Investment Measures on Trade and Development (UN Doc.ST/CTC/120, U.N. Sales No. E.91.II,A.19 (1991).

22 Cf., sewaktu Tokyo Round (1979) berlangsung, mantan duta besar Kanada untuk GATT menyatakan bahwa kebijakan negara-negara sedang berkembang yang mengenakan syarat-syarat terhadap penanaman modal asing langsung merupakan praktek yang telah lama berlangsung dan diakui. Beliau berpendapat bahwa secara umum para investor asing pun dapat menerima adanya persyaratan-persyaratan tersebut sebagai harga yang harus dibayar atas kesempatan untuk membuat keuntungan yang besar di dalam pasar negara-negara sedang berkembang. (Rodney de C. Grey, " '1992' TRIMS and Selected Issues (New York: United Nations, 1990), hlm. 238).

(14)

Pada umumnya, persyaratan penanaman modal dapat digolongkan

ke

dalam

dua

bentuk.

25

Pertama,

persyaratan

masuk

(

entry

requirement

) dan kedua, persyaratan operasional (

operational

requirement

). Kebijakan negara-negara menunjukkan bahwa pada

umumnya negara-negara menerapkan kedua bentuk persyaratan tersebut

sebagai syarat untuk masuknya modal asing ke negaranya.

26

Pada

tahap

pertama,

yaitu

persyaratan

masuk

(

entry

requirement

), biasanya badan penanaman modal dari negara penerima

memeriksa apakah usulan atau proposal penanaman modal asing sesuai

atau

cocok

dengan

tujuan-tujuan

pembangunan

negaranya.

Pertimbangan

lainnya,

apakah

proposal

tersebut

memberikan

keuntungan kepada negara penerima.

27

Karena itu, manakala negara

penerima setelah memeriksa suatu proposal PMA beranggapan bahwa

proposal

tersebut

tidak

memenuhi

persyaratan

masuk

atau

persyaratan kebijakan penanaman modal nasionalnya, maka pemerintah

tersebut dapat menolak permohonan penanaman modal.

Sebaliknya, manakala pemerintah negara penerima beranggapan

bahwa suatu usulan PMA memenuhi persyaratan untuk masuknya suatu

penanaman modal, maka negara yang bersangkutan akan menerapkan

persyaratan yang kedua, yaitu persyaratan operasional atau

persyaratan

pelaksanaan

(

operational

atau

performance

requirements

). Ruang lingkup persyaratan-persyaratan ini cukup

25

Lihat juga Muchlinski, supra, note 1, hlm. 172 et.seq. 26

Fennel berpendapat bahwa ada juga TRIMS yang tidak secara eksplisit merupakan bagian dari kebijakan perdagangan, yaitu rintangan-rintangan birokrasi di berbagai negara sedang berkembang yang dapat menjadi rintangan bagi penanaman modal. (Lihat: William A. Fennel and Joseph W. Tyler, supra, note 9, hlm. 2034).

(15)

luas, bergantung kepada tujuan atau kebijakan masing-masing

negara.

Namun demikian persyaratan pelaksanaan yang paling umum

adalah persyaratan menggunakan kandungan local (

local content

requirements

), persyaratan perdagangan yang berimbang (

trade

balancing requirements

) persyaratan ekspor (

export performance

requirements

),

pembatasan

impor

(

limitation

on

imports

),

persyaratan mata uang asing dan pengiriman mata uang asing

(

foreign exchange and remittance requirements

), persyaratan modal

minimum (

minimum local equity requirements

), persyaratan alih

teknologi (

technology transfer requirements

), dan persyaratan

lisensi produk (

product licensing requirements

).

28

Dengan diterapkannya persyaratan-persyaratan ini, negara

tuan rumah akan memastikan bahwa PMA akan memberikan keuntungan

maksimum kepada pembangunan ekonominya. Dalam hal ini, PMA akan

digunakan sebaik-baiknya untuk membangun atau untuk memenuhi

rencana pembangunan atau rencana perekonomian negaranya.

Semua persyaratan ini lebih banyak dan lazim dipraktekkan

oleh negara tuan rumah. Legalitas upaya ini disandarkan pada

alasan untuk memelihara kedaulatan atau pengawasan negara terhadap

PMA.

29

Setiap usulan penanaman modal yang tidak memenuhi tujuan

dari negara tuan rumah atau usulan PMA yang diduga akan

28 Eric M. Burt, supra, note 10, hlm. 1025. 29

(16)

membahayakan tujuan pembangunan negaranya, maka negara tersebut

akan menolak masuknya PMA.

30

Semua upaya atau kebijakan tersebut adalah sah. Pada

prinsipnya hukum internasional memberikan kekuasaan, jurisdiksi

atau hak-hak berdaulat kepada suatu negara untuk mengatur setiap

kegiatan. Termasuk di dalamnya adalah kegiatan perdagangan atau

ekonomi di wilayahnya.

Perlu ditekankan di sini bahwa jangka waktu penanaman modal

MNEs di negara tuan rumah biasanya cukup lama. Karena itu,

pertimbangan waktu inilah yang juga menjadi latar belakang mengapa

negara tuan rumah mengatur ruang lingkup PMA. Langkah ini perlu

guna mengantisipasi akibat-akibat yang mungkin timbul di kemudian

hari dari PMA melalui berbagai kebijakan atau persyaratan.

31

Kewenangan negara tuan rumah untuk mengatur masuknya PMA

hanya tunduk kepada perjanjian-perjanjian internasional (di bidang

PMA)

yang

ditandatangani

oleh

negara

yang

bersangkutan.

32

Pengakuan atas hak ini sangat penting untuk negara-negara,

khususnya negara sedang berkembang. Hak tersebut diperlukan untuk

mengatur dan mengawasi masuknya PMA ke dalam wilayahnya.

33

Prof.

M. Sornarajah menjelaskan hak ini sebagai berikut:

34

'The right of a state to control entry of foreign investment

is unlimited, as it is a right that flows from sovereignty.

Entry of any foreign investment can be excluded by a state.

Once an alien enters a state, both he and his property are

30

M. Sornarajah, supra, note 1, hlm. 100. 31

Eric M. Burt, supra, note 10, hlm. 1027. 32

Muchlinski, supra, note 1, hlm. 173.

33 Dapat dikemukakan di sini bahwa adanya pengakuan untuk mengatur dan mengontrol ini telah mencerminkan pendirian negara-negara sedang berkembang di Uruguay Round mengenai TRIMS.

(17)

subject to the law of the host state. This result flows from

the fact that the foreign investor had voluntarily subjected

himself to the regime of the host state by making entry into

it. The absoluteness of the right to exclude the alien prior

to entry becomes somewhat modified after entry as the alien

then comes to enjoy a status, which is protected by

international law.'

Tampak bahwa hukum internasional berperan penting di dalam

penanaman modal. Peranan hukum ini juga cukup luas. Ia juga

berperan penting di dalam menyelesaikan sengketa yang timbul

antara dua negara, yakni antara negara penerima dengan negara dari

para investor.

35

Uraian

di

atas

menunjukkan

hukum

internasional

telah

mengakui hak negara-negara untuk mengontrol orang asing (investor

asing atau MNE). Ironisnya perkembangan hukum internasional di

bidang ini (khususnya PMA) masih diwarnai oleh berbagai debat di

antara para ahli hukum internasional.

36

Latar belakang dari keadaan ini adalah masih adanya sengketa

atau polarisasi pandangan antara (sarjana-sarjana) negara maju dan

negara sedang berkembang. Pada prinsipnya sarjana dari negara maju

berpandangan perlunya suatu rejim hukum internasional yang

liberal, yaitu rejim yang tidak boleh menghalangi aliran penanaman

modal ke mana pun juga.

Sedangkan sarjana dari negara berkembang acapkali masih

bersandar pada prinsip kedaulatan negara. Mereka berpendapat bahwa

(18)

adalah hak berdaulat setiap negara untuk mengontrol setiap PMA,

dari manapun asalnya, yang masuk ke dalamnya.

37

Pandangan negara-negara maju terhadap adanya TRIMS adalah

bahwa TRIMS tersebut telah memaksa mereka untuk mempertimbangkan

faktor-faktor non-ekonomis di dalam rencana penanaman modal

mereka. Dalam pandangan mereka, TRIMS tidaklah kondusif dan telah

menjadi rintangan bagi perdagangan. Karena itu, mereka bertekad

untuk mengurangi atau bahkan menghapus adanya upaya-upaya TRIMS

tersebut.

D. TRIMS di Negara Maju

Meskipun adanya pandangan-pandangan di atas, beberapa negara

maju

sebenarnya

telah

juga

menerapkan

rintangan-rintangan

perdagangan terhadap penanaman modal. Hal ini terjadi ketika

beberapa negara telah berubah kedudukannya, yaitu bukan lagi

semata-mata

sebagai

pengekspor

modal,

tetapi

juga

sebagai

pengimpor atau penerima modal asing.

38

Adalah benar bahwa negara-negara ini telah mengurangi atau

berupaya menghapus rintangan-rintangan penanaman modal. Namun

rintangan tersebut tidak seluruhnya hilang. Ada beberapa rintangan

yang masih ada. Ada dua alasan mendasar mengapa beberapa rintangan

masih dipertahankan.

Pertama

, negara maju kadang-kadang pula

36

Prof. M. Sornarajah, supra, note 1, hlm. 1 (menyatakan bahwa hukum penanaman modal telah menjadi bahan debat yang cukup sengit di antara para sarjana hukum internasional pada pertengahan abad ke dua-puluh). 37

M. Sornarajah, supra, note 1, hlm. 85. 38

(19)

menyandarkan pendekatannya kepada rasa nasionalisme yang tinggi.

Kedua

, terdapat rasa kekhawatiran pada sebagian negara maju bahwa

modal

asing

akan

mengambil

alih

aset-aset

produktif

di

negaranya.

39

Selain itu, beberapa negara maju telah pula menutup atau

melarang beberapa sektor untuk PMA. Atau, kalaupun akhirnya

sektor-sektor tersebut diliberalisasi, tingkat keikutsertaan PMA

di sektor tersebut sangat dibatasi.

40

PMA tidak diperkenankan

untuk ikut serta di dalam permodalan di dalam privatisasi

aset-aset milik negara. Atau, PMA ini akan dikaji dan hanya

diperbolehkan manakala mereka telah memenuhi beberapa persyaratan

tertentu.

41

Negara-negara maju utama, seperti Eropa, Kanada, Australia

dan bahkan Amerika Serikat mempraktekkan kebijakan-kebijakan

penanaman modal seperti ini. Mereka menyandarkan

kebijakan-kebijakan tersebut kepada standar-standar mereka yang pada

hakekaktnya merupakan hambatan terhadap masuknya PMA ke

negara-negara tersebut. Dalam laporan pada tahun 1988, PBB mengungkapkan

bahwa Amerika Serikat telah membatasi kepemilikan atas

sektor-sektor oleh PMA yang dapat mempengaruhi atau mengancam keselamatan

dan kepentingan vital, seperti pengangkutan laut (maritim) dan

pengangkutan udara.

42

39 Lars Oxelheim, supra, note 20, hlm. 27.

40 Stephen J. Canner, 'Trade and International Investment: from GATT to the Multilateral Agreement on Investment,' dalam: Joseph F. Dennin, (ed)., Law and Practice of the World Trade Organization (New York: Oceana Publ., 1995), hlm. 12.

41

Stephen J. Canner, Ibid, hlm. 12. 42

(20)

Guna mengantisipasi masuknya PMA ke negaranya, Amerika

Serikat mengundangkan suatu Undang-Undang yang disebut

Defense

Production Act.

Tujuan utama dari UU ini adalah mengawasi dan

melindungi produk-produk yang sifatnya strategis bagi pertahanan

Amerika Serikat.

Di tahun 1975, Amerika Serikat mendirikan suatu badan antar

departemen yang disebut

the Interagency Committee on Foreign

Investment in the U.S. (CFIUS).

Badan baru ini bertugas mengawasi

aliran masuk PMA di bidang perminyakan.

Setahun

kemudian

di

tahun

1976,

Amerika

Serikat

mengundangkan

the International Investment and Trade in Service

Survey Act (IITSSA)

guna memonitor aliran penanaman modal Amerika

Serikat ke luar negeri dan PMA yang masuk ke dalam wilayah Amerika

Serikat.

The IITSSA

mewajibakan para investor untuk memberikan

laporan secara periodik mengenai kegiatan penanaman modalnya.

43

Pada tahun 1988, pemerintah Amerika Serikat mengundangkan

the Exxon-Florio Act

. Undang-undang ini memberi kewenangan kepada

presiden untuk mengkaji ulang setiap penanaman modal asing. Kajian

ini dipandang perlu dilakukan untuk mengetahui apakah penanaman

modal tersebut akan mempengaruhi atau membahayakan keamanan

nasional Amerika Serikat. Undang-Undang ini juga memberi wewenang

kepada presiden untuk menunda atau melarang PMA yang ternyata

and Regulation Relating to Transnational Corporations 289, ST/CTC/31, U.N. Sales No. E. 89. II. A.9 [1989]).

(21)

mempengaruhi

atau

membahayakan

keamanan

nasional

Amerika

Serikat.

44

44 William A. Fennel and Joseph W. Tyler,

supra, note 9, hlm. 2037; M.

(22)

BAB II

LATAR BELAKANG NEGOSIASI TRIMs

Hingga dewasa ini belum ada aturan hukum internasional

komprehensif yang mengatur PMA. Sedangkan lembaga internasional

yang mengatur dan mengawasi liberalisasi PMA baru terbentuk pada

tahun 1995. Alasan utama dari keadaan ini adalah karena

upaya-upaya masyarakat internasional terhadap masalah ini masih sangat

sektoral sifatnya.

1

Dalam perkembangan awalnya, penanaman modal asing secara

langsung mulai tampak di masa penjajahan (kolonialisme). Penanaman

modal pada waktu itu berlangsung dalam bentuk pergerakan manusia

(investor) bersama modalnya dari Eropa ke negara-negara di Asia,

Afrika dan Amerika selatan. Umumnya modal yang ditanamkan tersebut

ditujukan untuk mengeksploitasi kekayaan melimpah di negara-negara

tersebut.

Pemerintah penjajah biasanya membuat suatu kebijakan yang

menarik

bagi

para

investor

asing.

Mereka

juga

memberikan

perlindungan dan jaminan bahwa para investor dan harta bendanya

dapat tunduk kepada jurisdiksi pengadilan negara penerima di mana

para investor tersebut berdomisili atau menginvestasikan modalnya.

1

Cf., Pandangan yang berbeda dapat terlihat dalam: Lee E. Preston and

Duane Windsor, (eds)., The Rules of the Game in the Global Economy:

Policy Regime for International Business, (Boston-Dordrecht-London: Kluwer, 2nd.ed., 1977), hlm.137 (yang berpendapat bahwa peranan penaman

modal asing akan memainkan perannya pasca perang tata ekonomi

(23)

Atau, mereka diperkenankan pula untuk tunduk kepada jurisdiksi

nasional negara para investor tersebut.

2

Sebenarnya perlindungan investasi pada waktu itu tidak

merupakan

masalah

yang

penting.

Umumnya

para

penguasa

(pemerintahan penjajahan) telah menjadikan masalah perlindungan

ini sebagai salah satu bagian dari kebijakannya di wilayah negara

jajahannya. Karena itu kebutuhan investor akan perlindungan hukum

internasional tidaklah begitu penting.

Setelah berakhirnya Perang Dunia II yang diikuti oleh

lahirnya negara-negara baru di Asia, Afrika dan Amerika Selatan

yang memerdekakan dirinya, para investor mulai mengfokuskan

perhatiannya

kepada

pembangunan

kembali

negara-negara

baru

tersebut.

Mereka

berupaya

pula

mencari

syarat-syarat

yang

menguntungkan di dalam usaha penanaman modalnya.

3

Dalam masa ini terjadi suatu masa baru di mana para investor

dan pemerintah negara-negara baru tersebut membuat

kesepakatan-kesepakatan mengenai penanaman modal yang tertuang di dalam suatu

perjanjian. Dalam hal ini, para investor asing mulai berupaya

mencari aturan-aturan yang mengatur penanaman modal asing di

tingkat bilateral, regional atau internasional.

Upaya petama di dalam menetapkan aturan hukum intenasional

bagi penanaman modal asing terjadi sebelum Perang Dunia II. Pada

masa itu, Amerika Serikat dan beberapa negara Eropa menetapkan

2

Nico Schrijver, 'Developments in International Investment Law', in:

Ronald St. John Macdonald, (ed)., Essays in Honour of Wang Tieya,

(Dordrecht, Boston, London: Martinus Nijhoff Publishers, 1993), hlm. 704.

(24)

standar-standar internasional untuk perlindungan penanaman modal

asing.

Standar-standar

bagi

perlindungan

penanaman

modal

ini

sesungguhnya pula dibuat untuk menampung kebutuhan negara-negara

(maju) dan para investornya. Fokus utama dari standar tersebut

adalah mengenai status orang asing. Standar ini diterapkan

terhadap berbagai aspek hukum mengenai penanaman modal dan

perlindungan modalnya.

4

Termasuk di dalamnya adalah pengaturan

mengenai perlindungan hak-hak milik penanaman modal asing (

the

regulations of foreign investment protection of property rights

),

penyelesian sengketa, hak asasi manusia dan orang asing, dan

perlindungan dalam hal terjadinya pemberontakan atau kekacauan.

5

Negara-negara maju tersebut berpendapat bahwa

pengaturan-pengaturan seperti ini harus ditaati oleh semua negara. Mereka

menyebut pengaturan-pengaturan tersebut sebagai standar minimum

yang harus diterapkan secara internasional (

international minimum

standard

).

6

Standar-standar perlakuan tersebut juga dimasukkan di dalam

perjanjian-perjanjian di bidang perdagangan. Untuk memastikan agar

standar-standar tersebut mengikat, negara-negara maju berupaya

4

Untuk analsis lebih lanjut mengenai hal ini lihat: M. Sornarajah,

'Power & Justice in International Law,' 1 SJICL 28 (1997), (berpendapat

bahwa hukum internasional 'has been an extension of power play of states

and curtailment of such use of power by normative principles involved in notions of justice'). (hlm.49)

5

Nico Schrijver, 'Developments in International Investment Law', supra.,

note 2, hlm. 706. 6

Untuk pembahasan lebih lanjut mengenai standar minimum internasional

ini, lihat: G. Schwarzenberger, Foreign Investments and International

(25)

memaksakan

standar-standar

tersebut

melalui

tekanan-tekanan

politik atau bahkan kadang kala melalui intervensi militer.

7

Perlakuan yang cenderung lebih menguntungkan investor asing

ditentang keras oleh beberapa negara Amerika Latin. Salah seorang

sarjana yang menentang standar internasional ini adalah Carlos

Calvo, seorang ahli hukum dan menteri luar negeri Argentina.

8

Menurut Calvo, seorang asing yang menetap di negera lain (untuk

berusaha dan lain-lain) tunduk kepada hak-hak perlindungan yang

sama dengan warga negara di negara tersebut.

Menurut Calvo pula, orang asing tidak dapat menuntut hak

perlindungan yang lebih besar.

9

Pendapat ini menjadi standar yang

digunakan dan diterapkan oleh sebagian besar negara sedang

berkembang dalam upaya mereka mengatur penanaman modal asing.

Mereka berpendapat bahwa penanaman modal asing di suatu negara

tunduk kepada hukum di negara tersebut, termasuk perlindungannya

7 UNCTAD, The Outcome of the Uruguay Round: An Initial Assessment (New

York: UN, 1997), hlm. 135. 8

Untuk pengkajian mengenai status Calvo Doctrine dewasa ini dalam hubungannya dengan prinsip nasional di dalam hukum internasional mengenai penanaman modal, lihat: Denise Manning-Cabrol, 'The Imminent Death of the Calvo Clause and the Rebirth of the Calvo Principle:

Equality of Foreign and National Investors,' 26 Law & Pol'y Int'l. Bus.

1169 (1995) at 1199.

9 'M. Sornarajah, The Law on Foreign Investment, (Cambridge: Cambridge

U.P., 1994), hlm. 11. Perlu dikemukakan di sini, sebagaimana diungkapkan oleh Prof. M. Sornarajah, bahwa ‘hukum yang mengatur penanaman modal asing selama adanya konflik pandangan antara Amerika Serikat dan negara-negara Amerika Latin tidak terkait dengan pengambil-alihan harta milik orang asing. Masalah utamanya adalah kasus-kasus mengenai penyerangan oleh penduduk atau balas dendam politis yang dilakukan untuk memberi keuntungan kepada pemerintah Junta yang sedang berkuasa. Beliau pun

menyatakan bahwa 'the law on foreign investment in this nature should be

(26)

dan ganti ruginya manakala negara penerima menasionalisasi

penanaman modal asing.

Begitu pula manakala suatu sengketa timbul dari adanya suatu

perjanjian penanaman modal asing. Dalam keadaan tersebut sengketa

harus

diselesaikan

menurut

hukum

nasional

negara

penerima

investasi. Pengadilan yang mengadili sengketa itu pun haruslah

pengadilan nasional dari negara tuan rumah (penerima PMA).

Standar nasional ini diikuti, antara lain, oleh Indonesia

selama tahun 1960-an di dalam sengketa nasionalisasi

perusahaan-perusahaan perkebunan Belanda di Sumatera. Dalam sengketa ini,

pemerintah Indonesia menyandarkan pada hukum nasionalnya untuk

membayar ganti rugi kepada pemerintah Belanda.

10

Konflik antara dua standar tersebut di atas juga mendapat

perhatian Liga Bngsa-Bangsa (LBB). Dalam berbagai konperensi badan

dunia ini, negara-negara gagal mencapai kesepakatan mengenai

perbedaan standar yang harus diterapkan antara kewajiban-kewajiban

negara tuan rumah dengan hak-hak investor asing.

11

Upaya yang lebih serius dari masyarakat internasional untuk

merumuskan pengaturan mengenai PMA terjadi setelah Perang Dunia II

usai. Dalam suatu konperensi PBB mengenai Perdagangan dan

Ketenagakerjaan (

the United Nations Conference on Trade and

Employment

) di tahun 1947-1948, negara-negara juga telah menaruh

perhatiannya kepada masalah penanaman modal ini. Namun pada waktu

10 Lihat Sudargo Gautama, Segi-segi Hukum Internasional mengenai

Nasionalisasi di Indonesia (Djakarta: Universitas, 1969); Martin Domke,

'Indonesian Nationalization Measures before Foreign Courts,' 54

(27)

itu, isu penanaman modal bukan merupakan suatu agenda khusus. Ia

semata-mata masih bagian dari suatu agenda yang membahas persoalan

praktek bisnis yang restriktif (

restrictive business practices

).

12

Isu penanaman modal mendapat suatu tempat khusus dan serius

dalam aganda suatu konperensi internasional terjadi ketika

masyarakat internasional menandatanani

the Final Act of the Havana

Charter for International Trade Organization

.

13

Final Act (Piagam

Havana) ini mengatur di dalamnya upaya penggalakan aliran modal

intenasional untuk penanaman modal yang produktif di antara tujuan

dari

the International Trade Organization

(ITO) (Article 1 : 2).

Bab III dari Final Act tersebut yang berjudul "

International

Investment for Economic Development and Reconstructions

" antara

lain menyatakan bahwa:

“1. The Members recognize that:

(a)

international investment, both public and private, can be

of great value in promoting economic development and

reconstruction and consequent social progress. ...

(c)

without prejudice to existing international agreements to

which Members are parties, a Member has the right:

(i)

to take any appropriate safeguards necessary to ensure

that foreign investment is not used as a basis for

interference in internal affairs or national policies;

(ii)

to determine whether and to what extent and upon what

terms it will allow future foreign investment... .”

14

Trade and Employment, Final Act and Related Documents, ECONF. 2/78. Teks

tersebut juga termuat dalam buku klasik mengentai ITO: Clair Wilcox, A

Charter for World Trade (New York: Macmillan, 1949), hlm. 227-319. The Havana Charter tidak pernah berlaku karena adanya kondisi-kondisi pada waktu itu. Pasal 103 Charter, tidak terpenuhi dalam jangka waktu yang ditetapkan. Keengganan Amerika Serikat untuk meratifikasi the Charter merupakan penyebab utama kegagalannya.

14

Article 12:1 Havana Charter. Analisis lebih lanjut dan latar belakang sejarah Bab III dan pasal-pasal mengenai penanaman modal dalam Charter,

(28)

Piagam Havana tidak meletakkan persyaratan terhadap

negara-negara anggotanya untuk mempraktekkan perlakuan non-diskriminatif

atau perlakuan nasional terhadap PMA.

15

Di samping itu, Piagam

juga tidak mengatur isu-isu penting lainnya, seperti penggunaan

insentif penanaman modal atau persyaratan-persyaratan pelaksanaan

oleh negara penerima. Piagam juga tidak mengatur penyelesaian

sengketa untuk menyelesaikan sengketa-sengketa penanaman modal

antara negara tuan rumah dan investor asing.

16

Beberapa

sarjana

berpendapat

bahwa

salah

satu

alasan

gagalnya ITO adalah karena adanya ketentuan mengenai penanaman

modal sebagaimana diatur dalam Pasal 12 tersebut. Salah satu

pendapat

menyatakan

bahwa

pasal

tersebut

terlalu

memberi

perlindungan kepada negara berkembang. Dalam hal ini, Sylvia Ostry

menyatakan sebagai berikut:

“The ITO did include investment as well as trade but the

provisions were heavily circumscribed, reflecting the fears

of many developing countries strong pro-investment rules

would lead to foreign control over natural resources and

'strategic' industries.”

17

GATT yang semula direncanakan sebagai suatu dokumen yang

dilampirkan kepada Piagam ITO tidak menyebut suatu ketentuan apa

pun mengenai penanaman modal. Dapat dimaklumi, GATT sejak semula

hanya direncanakan untuk mengatur tarif dan perdagangan.

15

Edward M. Graham, 'Should There Be Rules on Foreign Direct

Investment,' dalam: John H. Dunning, (ed)., Governments, Globalization,

and International Business (New York: Oxford U.P., 1997), hlm. 484. 16

Edward M. Graham, Ibid., hlm. 484.

17

Sylvia Ostry, A New Regime for Foreign Direct Investment (Washington

DC: Group of Thirty, 1997), hlm. 3. Cf., Eric M. Burt, 'Developing

Countries and the Framework for Negotiations on Foreign Direct

Investment in the World Trade Organization,' 12:6 Am. U.J.Int'l.L &

(29)

Namun demikian, the CONTRACTING PARTIES GATT telah pula

memberi

perhatiannya

kepada

penanaman

modal

internasional.

Sayangnya perhatian tersebut tidaklah terlalu serius. Dalam salah

satu resolusinya mengenai 'International Investment for Economic

Development,' pada tanggal 4 Maret 1955, the CONTRCTING PARTIES

antara lain menyatakan:

“Recommended that the contracting parties who are in a

position to provide capital for international investment and

the contracting parties who desire to obtain such capital

use their best endeavours to create conditions calculated to

stimulate the international flow of capital having regard in

particular, to the importance for this purpose of providing

by appropriate methods for security for existing and future

investment, the avoidance of double taxation, and facilities

for the transfer of earning upon foreign investment, and

urge that contracting parties upon the request of any

contracting party enter into consultation or participate in

negotiations directed to the conclusion of bilateral and

multilateral agreement relating to these matters.”

18

Dalam suatu pengamatannya, UNCTAD berpendapat bahwa pada

waktu tahun-tahun permulaan Perang Dunia II, negara-negara

sebenarnya belum siap untuk mengadopsi aturan-aturan hukum

internasional untuk mengatur kebijakan penanaman modalnya. Karena

itu pula negara-negara, terutama negara maju, mengambil kebijakan

untuk mengadakan perjanjian bilateral dengan negara lainnya di

bidang penanaman modal ini.

Waktu

itu

perjanjian

demikian

dikenal

sebagai

the

Friendship, Commerce and Navigation (FCN) treaties

.

19

Perjanjian

seperti ini biasanya mengatur hal-hal yang cukup luas. Termasuk di

dalamnya adalah hak warga negara dari masing-masing negara dan

perlindungan harta miliknya di luar negeri. Prinsip lainnya yang

18

3S/49,50, GATT, Guide to GATT Law and Practice, updated 6th.ed. (1995).

(30)

terkait adalah perlakuan nasional dan perlakuan MFN, pelayaran dan

masalah jurisdiksi masing-masing negara.

Ketentuan yang luas ini sebagaimana termuat dalam perjanjian

FCN ternyata tidak memuaskan para investor dan negara penerima.

Mereka berpendapat bahwa perlu adanya peraturan yang khusus untuk

mengatur masalah penanaman modal. Pandangan seperti ini kemudian

melahirkan suatu bentuk perjanjian baru yang khusus di bidang

penanaman modal yaitu perjanjian penanaman modal bilateral (

the

bilateral investment treaty

atau

BIT

).

20

Dalam

perkembangannya

kemudian,

negara-negara

telah

menggunakan perjanjian seperti BIT ini sebagai salah satu upaya

untuk mengadakan perjanjian dengan negara lainnya. Menurut

professor

Sornarajah,

suatu

pengkajian

terhadap

BIT

ini

menunjukkan bahwa terdapat sekitar 2000 BIT yang dibuat sejak

tahun 1990.

21

20 Nico Schrijver, 'Developments', supra, note 2, hlm. 713. Cf., untuk

kajian mengenai peralihan dari FCN ke BIT ini, lihat: Jeswald Salacuse, 'BIT by BIT: The Growth of BITs and Their Impact on Foreign Investment Treaties and the Impact on Foreign Investment in Developing Countries,' 24 Int'l. Law 657 (1990). Lihat juga: Todd S Shenkin, 'Trade Related Investment Measures in Bilateral Investment Treaties and The GATT:

Moving Toward a Multilateral Investment Treaty,' 55 U. Pitt. L. Rev. 548

(1994); Huala Adolf, Hukum Ekonomi Internasional, Jakarta: Rajagrafindo

Persada, cet. 3, 2002, khususnya Bab I..

21 Kumpulan perjanjian penanaman modal bilateral dapat dilihat pada:

ICSID, Investment Laws of the World (Dobbs Ferry, New York: Oceana

Publications, 1972 - ), Lihat pula website ICSID di:

<http://www.worldbank.com/icsid/treaties/treaties.htm>; Paul Peters,

'Exhaustion of Local Remedies: Ignorance in Most Bilateral Investment

Treaties,' XLIV NILR 233 (1997), hlm. 244. Kajian pengantar (awal) untuk

BIT ini lihat: Margrete Stevens & Ruvan de Alwis, 'References on

Bilateral Investment Treaties,' 7 ICSID Rev. FILJ (1992), hlm. 229-283.

Kajian lengkap mengenai BIT, lihat: Dolzer & M. Stevens, Bilateral

Investment Treaties (The Hague: Martinus Nijhoff Publishers, 1995). Dan untuk kajian agak kontroversial mengenai status BIT ini sebagai hukum

kebiasaan internasional, lihat: M. Sornarajah, The Pursuit of

Nationalized Property (Dordrecht: Martinus Nijhoff Publishers, 1986),

hlm. 40; Schwarzenberger, Foreign Investments and International Law,

(31)

Tujuan utama dari perjanjian bilateral seperti itu adalah

untuk memastikan bahwa harta milik para investor tidak akan

diambil alih tanpa adanya ganti rugi yang sifatnya

Prompt,

Adequate and Effective

. Perjanjian seperti ini juga mengandung

ketentuan mengenai perlakuan non-diskriminatif, peralihan dana,

dan prosedur penyelesaian sengketanya manakala sengketa timbul

antara investor dengan negara tuan rumah.

Pembahasan mengenai penanaman modal internasional pada

tingkat multilateral dimulai kembali di PBB khususnya pada tahun

1960-an dan 1970-an. Dengan semakin banyak lahirnya negara-negara

baru di Asia dan Afrika, peran negara-negara ini di dalam

menyuarakan kepentingan dan keprihatinan mereka mengenai penanaman

modal cukup penting. Negara-negara ini mengemukakan pendapatnya

dengan mengedepankan aspek kedaulatan secara kental. Mereka

berpendapat standar internasional di bidang penanaman modal

sebagaimana diperkenalkan negara-negara maju selama abad ke – 19

tidaklah sesuai dengan aspirasi negara-negara ini.

Upaya negara sedang berkembang untuk merumuskan kepentingan

dan kebutuhan mereka untuk meningkatkan pembangunannya melalui PMA

dilakukan antara lain melalui PBB. Hasil yang cukup penting dari

upaya ini adalah dikeluarkannya resolusi Majelis Umum PBB mengenai

the Permanent Sovereignty over Natural Resources

pada tahun

1962.

22

Resolusi penting lainnya adalah resolusi mengenai

the

Charter of Economic Rights and Duties of States

pada tahun 1974.

22 Lihat lebih lanjut: Nico Schrijver, 'Permanent Sovereignty over

natural resources versus the common heritage of mankind; complementary or contradictory principles of international economic law' in: de Waart,

(32)

Resolusi pertama (

the Permanent Sovereignty Resolution

)

mengakui hak setiap negara untuk secara bebas memanfaatkan

kekayaan alamnya sesuai dengan kepentingan nasionalnya. Resolusi

ini juga menegaskan bahwa perjanjian penanaman modal yang

dilakukan

oleh

negara-negara

berdaulat

secara

bebas

harus

dihormati dengan itikad baik.

23

Piagam Hak-Hak dan Kewajiban Ekonomi Negara-negara (

the

Charter of Economic Rights and Duties of States

) mengandung

pengaturan yang lebih banyak mengenai penanaman modal asing. Pasal

2 Piagam mengatur hak-hak setiap negara untuk mengatur dan

melaksanakan jurisdiksinya atas penanaman modal sesuai dengan

hukum dan perundangannya serta sejalan dengan tujuan-tujuan dan

prioritas-prioritas internasionalnya. Pasal ini juga menyatakan

dengan tegas bahwa negara-negara tidak dapat dipaksakan untuk

memberikan perlakuan yang menguntungkan kepada sesuatu PMA.

24

The United Nations Commission on Transnational Corporations

juga sudah mengeluarkan

the Draft Code of Conduct in Transnational

Corporation

(Rancangan Perjanjian Aturan Tingkah Laku Bagi

(Dordrecht, Nijhoff, 1988), also Nico Schrijver, Sovereignty Over

Natural Resources; Balancing Rights and Duties (Cambridge: Cambridge U.P., 1997), khususnya pada bab 2 dan 3

23 Paragraph 8. CERDS dikritik keras oleh negara-negara maju. Sewaktu

pengesahannya, CERDS mendapat 104 suara, 16 menolak dan 6 abstein. Suara penolakan datang dari negara maju. Alasan utama penolakan adalah keberatan negara maju atas pasal atau ketentuan mengenai nasionalisasi yang mensyaratkan bahwa kompensasi atau pembayaran ganti rugi harus dilakukan sesuai dengan ‘hukum atau perundangan yang relevan dan dengan memperhatikan keadaan-keadaan yang relevan ... ' (Article 2 paragraph 2 (2)). Kajian menarik mengenai CERDS lihat: S.K. Chatterjee, 'The Charter of Economic Rights and Duties of States; An evaluation after 15 years,'

(1991) 40 Int'l.&Comp.L.Q. 669; Milan Bulagic, Principle of Development

of International Law (The Netherlands: Martinus Nijhoff Publisher, 1986); E.U. Petersmann, 'Charter of Economic Rights and Duties of

States,' in R. Bernhardt (ed)., Encyclopedia of Public International

(33)

Perusahaan

Transnasional).

25

Rancangan

Perjanjian

ini

juga

mengatur beberapa aspek mengenai penanaman modal asing. Rancangan

perjanjian ini mengatur berbagai hal yang terkait dengan kegiatan

perusahaan transnasional, seperti praktek-praktek bisnis yang

restriktif,

transfer pricing

, perlakuan terhadap perusahaan

transnasional, nasionalisasi, apropriasi, ganti rugi, dll.

26

Negara-negara maju menentang keras aturan-aturan tersebut di

atas. Mereka berpendapat aturan-aturan tersebut tidak memiliki

kekuatan hukum.

27

Mereka memandang ketentuan-ketentuan mengenai

penanaman modal sebagaimana termuat dalam resolusi-resolusi

Majelis Umum PBB di atas sifatnya adalah hukum internasional yang

tidak mengikat (

'soft' international law

).

28

Sejarah

pembentukan

perjanjian-perjanjian

internasional

penting dalam hukum internasional. Hal tersebut menunjukkan bahwa

tanpa adanya dukungan dari negara-negara maju, maka

perjanjian-perjanjian tersebut akan sangat sulit untuk dapat berlaku.

Misalnya saja, tidak adanya ratifikasi Amerika Serikat terhadap

Piagam ITO telah menyebabkan Piagam ini tidak dapat berlaku.

29

Karena

itu

pula

tampak

bahwa

upaya-upaya

PBB

untuk

merumuskan dan mengatur penanaman modal gagal karena tidak adanya

24

UNCTAD, supra, note 7, hlm.136.

25 Draft, UN Code of Conduct on Transnational Corporations (UN

Doc.5/1988/39/- add.1.) 26

UNCTAD, supra, note 7, hlm.136.

27 Pembahasan lebih lanjut dan evaluasi terhadap beberapa pendapat

sarjana mengenai masalah ini, lihat: Ignaz Seidl-Hohenveldern,

International Economic Law (Dordrecht, Boston, London; Martinus Nijhoff

Publisher, 2nd.ed., 1992), khususnya hlm. 37-42.

28

UNCTAD, supra, note 7, hlm. 137.

29

Contoh lainnya adalah penolakan negara-negara maju untuk menaati

ketentuan-ketentuan dalam Bab XI dari Konvensi Hukum Laut 1982 (United

(34)

dukugan dari negara maju. Sejalan dengan itu pula, keengganan

negara-negara sedang berkembang secara umum untuk mengatur masalah

ini berdasarkan GATT merupakan alasan lainnya mengapa pengaturan

penanaman modal khususnya TRIMS juga lambat untuk berkembang.

Tahun 1970 Goldberg and Kindleberger dalam suatu tulisannya

berjudul '

Towards a GATT for Investment: A Proposal for

Supervision of the International Corporation

,'

30

mengusulkan suatu

pengaturan internasional komprehensif mengenai penanaman modal.

Mereka berhasil mengemukakan berbagai hal yang menjadi penghalang

bagi penanaman modal, termasuk di dalamnya adalah kontrol neraca

pembayaran, kontrol ekspor dan pengaturan mengenai jaminan

(

securities regulation

) terhadap perusahaan transnasional.

Goldberg dan Kindleberger juga mengemukakan dua usulan

penting berkaitan dengan penanaman modal ini, yaitu pertama

perlunya membentuk suatu ‘

General Agreement for International

Corporation

’ (‘

the Agreement

’). Kedua, perlunya membentuk suatu

badan khusus yang bertugas untuk melaksanakan

the Agreement

tersebut.

31

Peranan Bank Dunia di dalam mengembangkan aturan-aturan

internasional

mengenai

penanaman

modal

juga

cukup

besar.

30

Paul M. Goldberg and Charles P. Kindleberger, 'Towards A GATT for

Investment: A Proposal for Supervision of the International

Corporation,' 2 Law & Pol'y Int'l Bus. 295-325 (1970).

31 Goldberg and Kindleberger, ibid, hlm. 323. Upaya lain yang juga

penting untuk dikemukakan di sini adalah upaya Bank Dunia yang berupaya mempersiapkan suatu ketentuan internasional mengenai penanaman modal asing. Karya komprehensif yang membahsa hal ini adalah Ibrahim F.I. Shihata yang berhasil merampungkan dan menerbitkan 'Guidelines on the Treatment of Foreign Direct investment.' Namun demikian karya penting

tersebut tetap hanyalah sebagai pedoman semata ('guideline'). Ia tidak

Referensi

Dokumen terkait

On the tangent bundle of a Riemannian manifold (M, g) we consider a pseudo-Riemannian metric defined by a symmetric tensor field c on M and four real valued smooth functions defined

Risalah aanwijzing memuat penjelasan dari point-point/pasal-pasal/ketentuan yang termuat dalam dokumen pengadaan.. Untuk hal-hal yang sudah cukup jelas, tidak lagi di muat dalam

PEKERJAAN : PENGADAAN DAN PEMASANGAN PERLENGKAPAN JALAN TA. HARGA PENAWARAN HARGA

Therefore the recommendation of the Lead Auditor that Certificatre of RSPO is awarded to PT Kresna Duta Agroindo Jelatang Mill and its estate... Summary Of The Findings

Dalam Daftar Negatif Investasi (DNI) sebelumnya bidang usaha yang dicadangkan untuk Usaha Mikro, Kecil, Menengah, dan Koperasi (UMKMK), sebanyak 139 bidang

Pihak lain yang bukan direktur utama/pimpinan perusahan/pengurus koperasi yang namanya tidak tercantum dalam akta pendirian/anggaran dasar, sepanjang pihak lain

[r]

1.4.2.3 Model pembelajaran apresiasi seni berbasis sikap estetik pada seni tradisi tari topeng Malang ini tidak berupaya meningkatkan hasil belajar siswa dalam pembelajaran