PELANGI HARAPAN
Pembelajaran Asosiatif:
Asosiasi sebagai Prinsip Dasar Kinerja Ingatan
Disusun Oleh :
Asep Sarifudin FMIPA
Alfi Irfan FEM
Gugi Yogaswara FATETA
Rinaldy Ardhana H FMIPA
Suleyman FAPERTA
Yuris Aprilia S FEMA
PROGRAM PEMBINAAN SUMBER DAYA MANUSIA STRATEGIS
REGIONAL V BOGOR
BOGOR
Latar Belakang
Dunia pendidikan merupakan salah satu barometer bangsa yang dapat
dijadikan sebagai acuan apakah suatu negara tersebut telah dapat berkembang
menuju ke arah yang lebih baik. Di Indonesia, pemerintah mencantumkan
pentingnya pendidikan itu di dalam Undang–Undang Dasar 1945 BAB XIII pasal
31 mengenai pendidikan dan kebudayaan. UUD 1945 pasal 31 ayat 3 menyatakan
bahwa pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan
nasional yang meningkatkan keimanana dan ketakwaan serta akhlak mulia dalam
rangka mencerdaskan kehidupan bangsa yang diatur dengan undang – undang
dan UUD 1945 pasal 31 ayat 5 menyatakan bahwa pemerintah memajukan ilmu
pengetahuan dan teknologi dengan menjunjung tinggi nilai – nilai agama dan
persatuan bangsa untuk peradaban serta kesejahteraan umat manusia.
Menurut Peraturan Pemerintah Nomor 19 tahun 2005, proses
pembelajaran yang baik harus diselenggarakan secara interaktif, inspiratif,
menyenangkan, menantang, memotivasi peserta didik untuk berpartisipasi aktif,
serta memberikan ruang yang cukup bagi prakarsa, kreativitas, dan kemandirian
sesuai dengan bakat, minat, dan perkembangan fisik serta psikologis peserta didik
Landasan program Pelangi Harapan Mengajar ini adalah pembelajaran
asosiatif dengan landasan asosiasi sebagai prinsip dasar kinerja ingatan. Tidak
perlu dipertanyakan lagi dan tidak perlu dijelaskan lebih jauh tentang struktur otak
yang berlipat dengan berbagai hubungan diantara sel-selnya yang menakjubkan.
Namun sebagai batu pijakan untuk penjelasan berikutnya tentang sistem
pembelajaran asosiatif yang akan dibahas dalam artikel ini, maka artikel ini akan
diawali dengan bagaimana otak memberi makna pada suatu obyek yang akan
diingatnya. Obyek yang akan diingat tersebut sangat bervariasi. Mulai dari yang
dapat diucapkan, hingga yang tidak dapat diwakili dengan ucapan. Mulai dari
yang riil, hingga berbagai hal yang abstrak.
Semua hal dapat diingat oleh otak kita. Bahkan kita kekurangan waktu
untuk mengingat semua hal tersebut. Karena dalam proses konsolidasi ingatan
waktu. Waktu dapat menjadi sahabat paling baik bagi ingatan, bahkan bisa
menjadi musuh terselubung bagi ingatan. Menjadi sahabat karena kita
memanfaatkan waktu tersebut untuk mengingat kembali, memperkuat apa yang
telah diingat. Sebaliknya menjadi musuh karena kita tidak melatih ingatan kita
selama kurun waktu tertentu sehingga ingatan kita melemah. Maka, karena waktu
merupakan faktor pembatas bagi ingatan kita, otak memiliki mekanisme efisiensi
kinerja terhadap waktu. Yaitu lupa. Terutama lupa terhadap hal-hal yang telah
lampau. (Restak, 2004)
Otak kita mencakup masa lalu, masa kini, dan masa depan. Semua
terhubung baik secara sistematis maupun tidak sistematis, karena beberapa orang
memiliki alur berpikir yang tidak sistematis. Hubungan tersebut misalnya di masa
lalu waktu saya kecil telah diajarkan bagaimana cara menanam, dan sampai
sekarang saya menyukainya sehingga saya sekarang sebagai mahasiswa fakultas
pertanian. Di masa depan, saya ingin menjadi seorang pengusaha yang bergerak
di bidang pertanian tropika. Dari alur ingatan masa lalu hingga masa depan
tersebut, dapat terlihat adanya asosiasi. Semuanya berhubungan. (Restak, 2004)
Sampai saat ini, belum ada definisi tentang ingatan. Yang ada sampai saat
ini ada mekanisme terbentuknya ingatan, yaitu dengan prinsip asosiasi itu sendiri.
Dan jika harus mendefinisikan arti ingatan, maka ingatan itu adalah asosiasi yang
terbentuk di dalam otak kita, terdefinisikan melalui mekanisme pembentukannya.
Mengapa? Karena hampir tidak ada yang kita ingat tanpa asosiasi. Misalnya, jika
saya mengatakan sendok, maka ingatan anda memanggil asosiasi berupa
gambaran dalam otak anda mengenai bentuk atau gambaran berbagai macam
sendok, padahal bentuk gelombang suara yang diterima telinga sangat berbeda
dengan bentuk sendok yang terbayang di dalam otak. Kita tidak dapat mengingat
kata sendok sebelum kata sendok itu diucapkan atau dituliskan ketika kita melihat
benda tersebut. (Jensen, 2002)
Contoh lain misalnya kita tidak mengingat apakah sendok itu kecil,
sebelum kita melihat sendok yang lebih besar. Maka dalam hal ini, terdapat
asosiasi atau hubungan ukuran sehingga otak mampu mengingatnya. Setelah
tersebut kemudian mengingatnya. Jika hanya kata sendok, tanpa makna, maka
akan sulit diingat. Tanpa makna berarti tidak penting, dan tidak perlu diingat.
Rumusan Masalah
Ilmu pengetahuan yang kita pelajari selama ini juga saling berasosiasi satu
sama lain. Semua ilmu pengetahuan saling berhubungan, hanya saja kita sering
tidak melihat hubungan tersebut karena memang dalam kurikulum serta berbagai
materi yang diajarkan di bangku sekolah tidak membahas hubungan tersebut. Ilmu
pengetahuan yang kita terima selama ini terpisah-pisah satu sama lain sehingga
tanpa sadar banyak yang kita lupakan karena rendahnya asosiasi yang
berimplikasi pada rendahnya pemaknaan oleh otak. Sebaliknya, jika saat di
bangku sekolah diajarkan tentang hubungan-hubungan antar ilmu pengetahuan
tersebut, maka semakin kuat asosiasi yang terbentuk, semakin banyak pemaknaan
oleh otak terhadap suatu informasi yang kita peroleh, dan semakin kuat ingatan
kita terhadap materi yang kita dapatkan di bangku sekolah. (Jensen, 2002)
Dalam beberapa mata pelajaran telah berasosiasi dengan baik, misalnya
matematika dan fisika. Dalam matematika kita belajar bagaimana menghitung,
selanjutnya dalam fisika kita menggunakannya dalam berbagai rumus. Namun
selanjutnya kita hanya ingat bagaimana menghitung dan melupakan berbagai
rumus fisika tersebut karena tidak diasosiasikan dengan pelajaran lainnya.
Mungkin diantara berbagai deret pola-pola angka yang pernah dipelajari dalam
matematika, kita hanya mengingat deret fibonacci yang sering diasosiasikan
dengan rumus filotaksis daun tumbuhan ½, 2/3, 3/5, 5/8, dan seterusnya.
Banyak wajah-wajah pahlawan yang kita lupakan setelah kita belajar
sejarah, kecuali yang terasosiasikan dengan mata uang. Sultan Mahmud
Badaruddin (Rp10.000), Pangeran Antasari (Rp2000), I Gusti Ngurah Rai
(Rp50.000), serta Kapitan Pattimura (apakah anda ingat berapa nominalnya?).
Mungkin mata pelajaran sejarah perlu diasosiasikan dengan mata pelajaran seni
dengan menyatukan tema dan penugasan mengenai tema tersebut. Misalnya dalam
geografi dipelajari tentang perkotaan, kaitkan kota-kota tersebut dengan
tokoh-tokoh pahlawan yang terlibat dalam sejarah serta diberikan penugasan dalam mata
pelajaran seni lukis tentang peta kota-kota di Indonesia sehingga ketiga mata
pelajaran tersebut dapat diingat hanya dalam satu penugasan (jika perlu tempelkan
mata uang bergambar pahlawan di dalam peta).
Mata pelajaran biologi pun akan menarik jika diasosiasikan dengan bahasa
inggris, dan seni lukis misalnya. Caranya sama, yaitu dengan menyatukan tema.
Misalkan dengan tema tanaman pada suatu minggu. Maka pada minggu itu, ketiga
pelajaran tersebut membahas tanaman. Pada biologi tentang seluk-beluk tanaman
misalnya, kemudian bahasa inggris juga membahas hal yang terkait dengan tema
tersebut (tentunya dalam bahasa inggris), dan selanjutnya melukis bagian-bagian
tanaman dengan bahasa Indonesia dan bahasa Inggris.
Konsep Kurikulum Kemanusiaan: Integrasi Asosiatif
Pendidikan bukan sekadar persoalan teknik pengolahan informasi, bahkan bukan penerapan „teori belajar‟ di kelas atau menggunakan hasil „ujian prestasi‟ yang berpusat pada mata pelajaran (subject centered ‘achievement testing).
Pendidikan merupakan usaha yang kompleks untuk menyesuaikan kebudayaan
dengan kebutuhan anggotanya, dan menyesuaikan anggotanya dengan cara
mereka mengetahui kebutuhan kebudayaan.” (Jerome Bruner, dalam buku The
Culture of Education). Seorang Susan Isaacs[11] berpandangan bahwa
perkembangan intelektual anak berhubungan dengan perkembangan emosional. Ia
juga berpendapat bahwa kebebasan di ruang kelas akan menghilangkan hambatan
proses belajar atau distorsi perkembangan watak. Ia membangun budaya
[1]
1
Susan Isaacs merupakan seorang psikolog yang berasal dari Bolton, Lancaishire. Adalah seorang psikolog yang memasukkan ide-ide psikoanalisis ke dalam pendidikan progresif di Inggris. Ia juga
member andil bagi teori psikoanalisis dengan karyanya mengenai kehidupan ”fantasi bawah sadar”
kebebasan dan mendorong permainan sebagai metode mengungkapkan kehidupan
naluriah (instinctual life), upaya memahami dunia, dan mengembangkan
keterampilan yang tersublimasi. Dengan demikian, pendidikan adalah usaha
pengalihan naluri primitive agar mau mempelajari aktivitas-aktivitas yang dapat
diterima oleh norma masyarakat. Proses inilah yang dimaksud sebagai sublimasi
(Palmer, 2010).
Konsep kurikulum kemanusiaan memiliki pendekatan pada keluwesan
peserta didik untuk dapat mengekspresikan perasaannya dengan seni,
menampung-menjawab curiosity, penetrasi budaya setempat, dan memisahkan
paradigma masyarakat yang mengaitkan pendidikan dengan matreri.
Kebebasan ekspresi peserta didik ditujukan agar dapat mengungkap
seluruh potensi yang dimiliki. Karena, budaya pendidikan Indonesia selama ini
dinilai kurang memfasilitasi segala ekspresi. Alur dan standar baku penilaian
murid mulai dari taman kanak-kanak terlalu mengekang dan membatasi pola pikir
dan kebebasan peserta didik. Hal ini sudah dikupas dalam buku A Life Freeing
The Minds Of Children, sebuah buku biografi Susan Isaacs. Kebebasan
berekspresi memiliki pendekatan dengan teori psikoanalisis pada dunia psikologi
dan kaitannya dengan dunia pendidikan. Potensi anak didik akan tereksplor secara
luwes jika dalam keadaan diluar adanya tekanan (represi). Sehingga, anak dapat
mengapresiasi segala fenomena yang ada didepan matanya. Akan tetapi, pada
tahun 1926 Susan Isaacs mengubah cara pandangnya terhadap aspek kebebasan
dalam dunia pendidikan yang berkembang di Wina saat itu. Karena, walaupun
pendidikan adalah proses sublimasi naluri, naluri yang bebas dapat juga
menghambat perkembangan alami proses belajar anak. Perilaku tanpa kontrol
dapat membebaskan segala keinginan naluriah anak yang belum tentu sesuai
dengan kapasitasnya. Kebebasan ekspresi dalam konsep kurikulum kemanusiaan
disini merupakan sebuah metode melepaskan ekspresi anak secara luwes dengan
pengontrolan keseimbangan ego dan pembatasannya.
Ekspresi tersebut disokong oleh adanya upaya untuk selalu dapat
memfasilitasi keingintahuan anak. Sedangkan, sistem kurikulum Indonesia yang
analisis anak. Contohnya, misalkan hal yang ingin di ketahui anak adalah tentang
cara berenang untuk dapat menjadi atlit renang di masa depan, sedangkan standar
sekolah dan pengajar mengimbau untuk belajar Kewarganegaraan. Artinya, setiap
anak memiliki rasa keingintahuan yang tinggi saat ia melihat berbagai fenomena
yang terjadi, akan tetapi keingintahuan tersebut perlu dibimbing dan diarahkan.
Standar pendidikan memang perlu diadakan, namun hal itu harus diseimbangkan
dengan kecenderungan peserta didik. Hal ini bertujuan untuk dapat memelihara
kebebasan berpikir anak dan menghindarkannya dari tekanan dengan selalu
memfasilitasi curiosity (keingintahuan) peserta didik.
Kebebasan berekspresi dan menumbuhkan curiosity dalam pendidikan
sangat tidak mungkin jika tidak ada perlakuan khusus yang menghalau budaya
dan nilai setempat yang berlaku. Di Indonesia, pendidikan kiranya merupakan
sebuah hal yang melulu dilibatkan dengan materi. Sehingga, pendidikan
dipandang sebagai sebuah hal yang eksklusif dan tidak ubahnya seperti zaman
penjajahan dulu. Anak-anak sekolah dasar di kampung Situ Leutik, Darmaga, Bogor masih beranggapan bahwa sekolah adalah sesuatu hal yang mewah. “Saya pengen lanjutin SMP Satu Darmaga, kak. Cuman saya enggak tahu mau bayarnya
pakai apa?”, kata mereka saat acara Community Development mahasiswa Institut
Pertanian Bogor.
Sistem pendidikan Indonesia juga terkenal dengan banyaknya mata
pelajaran utama yang seakan menjejali peserta didik. Betapa tidak? Siswa SD
sudah di berikan 8 buah mata pelajaran yang harus di tempuh. Yakni, bahasa
Indonesia, Bahasa Inggris, Kewarganegaraan, Matematika, IPA, IPS, seni dan
budaya, serta Agama. Siswa SMP diberikan 13 mata pelajaran dengan menambah
bahasa daerah, pengetahuan lingkungan hidup (bogor dan sekitarnya), dan mata
pelajaran muatan lokal lainnya.
Memang tidak dapat kita pungkiri bahwa setiap mata pelajaran tersebut
sangatlah penting untuk di pelajari. Namun, anak harus diberi kesempatan luang
untuk memilih dan bertanggung jawab atas pilihan yang mereka pilih. Ruang
masih umum. Ruang tersebut kebanyakan hanya difasilitasi satu sampai dua mata
pelajaran muatan lokal dan beberapa kegiatan ekstrakurikuler.
Sistem pendidikan ini dapat mendidik anak menjadi serba general dan
umum. Anak tidak memiliki pikiran yang spesifik dan mantap. Ini akan
berdampak pada tingkat kemampuan anak untuk bercita-cita dan menentukan
masa depannya kelak. Karena, sedari kecil mereka dijejali dengan pengetahuan
yang umum lagi banyak memakai waktu bermain (baca: mengasah minat dan
bakat) yang mereka miliki. Mereka disibukan dengan pencapaian standar baku
pendidikan sekolah dan tugas-tugas yang diberikan.
Sistem Pembelajaran
Rincian Kurikulum Pembelajaran
Pilar
kurikulum
Langkah kerja Parameter PJ
Memfasilitasi
curiousity
Memberikan ruang yang
sangat luas untuk peserta
didik bertanya sepuasnya
karena siswa SD situ leutik
cenderung malu dan takut
untuk bertanya
Tidak membatasi ruang
diskusi dengan mata
pelajaran
Memberikan stimulus untuk
bertanya dengan
menyampaikan
masalah-masalah sekitar keluarga dan
lingkungan peserta didik
Peserta didik antusias
Banyak pertanyaan
yang dilontarkan
peserta didik
Peserta tidak ada yang
membuat forum
Memberikan mata pelajaran
seni dengan bermain musik
dan menonton pertunjukkan
seni lewat proyektor
Peserta didik dapat
mengekspresikan
dirinya dengan
berbagai sarana yang
ada (alat musik,
gambar, dll)
Peserta didik tidak
malu-malu untuk
menunjukkan
Menanamkan urgensi
Memberikan simulasi untuk
menentukan cita-cita di
masa depan dengan
menggambar dan berpidato
di depan kelas
Mencarikan data dan
referensi bagi minat dan
bakat yang sudah didata dari
seluruh peserta didik
Memberikan
stimulus-stimulus untuk munculnya
bakat dari masing-masing
peserta
Membantu peserta untuk
menemukan bakatnya
Peserta didik dapat
menentukan minat dan
cita-citanya di masa
depan
Peserta didik antusias
bertanya tentang
bidang minat dan
cita-citanya di masa depan
Peserta didik mampu
berkomitmen untuk
berusaha keras
mewujudkan
cita-citanya di masa depan
Semua peserta dapat
menunjukkan dan
Mencari referensi mengenai
budaya setempat untuk
dapat melakukan pendekatan
yang intensif pada setiap
peserta didik (seperti
Peserta didik lebih
mudah untuk
menerima ajaran di
kelas
berbahasa sunda dsb.)
Berinteraksi langsung
dengan lingkungan hidup
peserta didik agar proses
belajar lebih mudah diterima
oleh peserta didik
Membuat acara penampilan
kesenian yang
diselenggarakan di dekat
tempat tinggal peserta
memperkenalkan
pengajar pada
keluarganya
Pemisahan
materi
dengan
pendidikan
Memberikan pelatihan
motivasi pendidikan berkala
pada peserta dengan
menekankan prestasi dan
kerja keras tidak pada materi
Peserta didik
menyadari pentingnya
pendidikan dan tidak
hanya bermasalah
dengan biaya
Semangat peserta
untuk belajar
meningkat
Anggaran Dana Kegiatan
No Pengeluaran Harga
(Rupiah)
Jumlah Total (Rupiah)
1. Servis Komputer 200000 7 1.400.000 - Sidol warna kecil
10000
4. Alam sumber inspirasiku 1
5. Alam sumber inspirasiku 2
- Penanaman pohon - Rekreasi alam - outbond
100000 30 3.000.000
6. Alam sumber inspirasiku 3
7. Alam sumber inspirasiku 4
8. Studi Banding Pengajar 100000 6 600.000
9. Pelatihan kurikulum 300000 6 1.800.000
yaitu Komputer, Bahasa Inggris, dan Matematika. Selain itu peserta juga diberikan pelajaran moral
pada setiap
kesempatan, nilai-nilai etika dan agama. Proses belajar mengajar yang
menyenangkan didukung pleh sarana-prasarana
seperti LCD
Proyektor,
beberapa Unit Komputer, dan juga fasilitas lainya membuat peserta sangat antusias dalam mengikuti program. Hasilnya,
para peserta
menempati jajaran murid terpandai di sekolah.Mulai dariperingkat 1, 2, dan seterusnya, berkarakter dalam kepositifan dan Berprestasi.