“Rekonstruksi Kurikulum dan
Pembelajaran di Indonesia”
SEMINAR NASIONAL
HASIL PENELITIAN PENDIDIKAN DAN PEMBELAJARAN
SEMINAR NASIONAL
PROSIDING
ISSN: 2443-1923
SEMINAR NASIONAL
HASIL PENELITIAN PENDIDIKAN DAN PEMBELAJARAN
“REKONSTRUKSI KURIKULUM DAN PEMBELAJARAN DI INDONESIA”
STKIP PGRI JOMBANG
25 - 26 APRIL 2015
HAK CIPTA
PROSIDING SEMINAR NASIONAL
HASIL PENELITIAN PENDIDIKAN DAN PEMBELAJARAN
“REKONSTRUKSI KURIKULUMDAN PEMBELAJARAN DI INDONESIA”
STKIP PGRI JOMBANG
25 - 26 APRIL 2015Editor
Drs. Asmuni, M.Si. Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan Dr. Wiwin Sri Hidayati, .M.Si Pendidikan Matematika
Dr. Agus Prianto, M.Pd. Pendidikan Ekonomi
Wahyu Indra Bayu, M.Pd. Pendidikan Jasmani dan Kesehatan Khoirul Hasyim, M.Pd Pendidikan Bahasa Inggris
Banu Wicaksono, S.S., M.Pd. Pendidikan Bahasa Inggris
Risfandi Setyawan, M.Pd. Pendidikan Jasmani dan Kesehatan
Mitra Ahli
Prof. Dr. Ali Maksum, M.Psi Universitas Negeri Surabaya
Prof. Dr. Joko Nurkamto, M.Pd Universitas Sebelas Maret Surakarta Prof. Dr. Nyoman S. Degeng, M.Pd Universitas Negeri Malang
Diterbitkan Oleh: STKIP PGRI JOMBANG
Hak Cipta © 2015
STKIP PGRI JOMBANG
PERSONALIA
SEMINAR NASIONAL
HASIL PENELITIAN PENDIDIKAN DAN PEMBELAJARAN
“REKONSTRUKSI KURIKULUM DAN PEMBELAJARAN DI INDONESIA”
STKIP PGRI JOMBANG 25 - 26 APRIL 2015
Steering Committee
Dr. Winardi, M,Hum. Ketua STKIP PGRI Jombang
Drs. Asmuni, M.Si. Pembatu Ketua I STKIP PGRI Jombang
Dra. Siti Maisaroh, M.Pd. Pembantu Ketua II STKIP PGRI Jombang Dr. Agus Prianto, M.Pd. Pembatu Ketua III STKIP PGRI Jombang Dr. Nanik Sri Setyani, M.Si. Kaprodi Pendidikan Ekonomi
Drs. Kustomo, M.Pd. Kaprodi PPKn
Dr. Wiwin Sri Hidayati, M.Pd. Kaprodi Pendidikan Matematika Drs. Adib Darmawan, M.A. Kaprodi Pendidikan Bahasa Inggris
Dr. Susi Darihastining, M.Pd. Kaprodi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia Drs. M. Setyowahyu, S.H., M.M. Kaprodi Pendidikan Jasmani dan Kesehatan
Organizing Committee
Dr. Munawaroh, M.Kes. Ketua
Tatik Irawati, S.Pd., M.Pd. Sekretaris Rifa Nurmilah, S.Pd., M.Pd. Bendahara
M. Farhan Rafi, M.Pd. Sie Kesekretariatan
Cahyo Tri Atmojo, S.Pd., M.M. Sie Makalah dan Prosiding
Mu’minin, S.Pd., M.A. Sie Persidangan
Ahmad Sauqi A., M.A. Sie Perlengkapan
Afi Ni’amah, S.Pd., M.Pd. Sie Konsumsi
KATA PENGANTAR
Puji syukur kita panjatkan kehadhirat Tuhan Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang atas limpahan Rahmat-Nya, bahwa Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran dengan tema “Rekonstruksi Kurikulum dan Pembelajaran di Indonesia” dapat terlaksana, dan hasilnya dapat diterbitkan dalam bentuk prosiding. Seminar ini diselenggarakan dalam rangka Dies Natalis STKIP PGRI Jombang ke-38, dan akan diselenggarakan rutin setiap tahun. Karenanya prosiding ini merupakan volume pertama, dan akan terbit secara rutin setahun sekali.
Dengan demikian seminar ini merupakan babak baru kegiatan akademik rutin STKIP PGRI Jombang pada tahun-tahun yang akan datang. Tahun 2015 merupakan tonggak membangun budaya meneliti bagi para dosen, khususnya di STKIP PGRI Jombang. Karena hasil penelitian para dosen dapat diseminarkan secara nasional dan diterbitkan dalam prosiding yang diselenggarakan di kampus sendiri. Hal ini merupakan tuntutan profesi dosen, sekaligus sebagai kewajiban pengelola dan penyelenggara perguruan tinggi sebagaimana telah diamanatkan oleh undang-undang pendidikan tinggi (UU 12/2012).
Tahun 2015 ini pantas disebut sebagai “tahun perubahan” bagi perguruan tinggi, terutama dalam rangka memenuhi tuntutan UU-DIKTI, KKNI, dan SN-DIKTI. Kurikulum dan pembelajaran dikti wajib direkonstruksi dan disesuaikan dengan tuntutan KKNI dan SN-DIKTI, di samping memenuhi tuntutan pengguna lulusan, tuntutan global, dan perkembangan ipteks. Karena itulah tema seminar ini sengaja diluncurkan sebagai wahana interaksi akademis dan pertukaran gagasan dalam rangka menyongsong perubahan kurikulum KPT-DIKTI yang berbasis KKNI dan SN-DIKTI, beserta pembelajarannya.
Sementara prosiding ini diterbitkan sebagai wahana pertukaran informasi dari hasil penelitian pendidikan dan pembelajaran dalam semangat saling asah, asih dan asuh dengan sesama pembelajar dalam menyikapi tantangan masa depan. Karena setiap pembelajar memikul tanggungjawab profesional untuk menyiapkan generasi masa depan yang kritis, kreatif dan inovatif, mandiri, bertanggung jawab serta memiliki karakter yang tangguh dan berdaya saing tinggi. Hal ini hanya dapat dicapai melalui pengembangan keilmuan secara berkelanjutan dan implementasi pembelajaran yang tepat dan berhasil guna.
Ucapan terima kasih disampaikan kepada semua pihak yang telah mendukung terlaksananya seminar dan prosiding ini, baik secara langsung maupun tidak langsung. Khususnya kepada Prof. Dr. Ali Maksum (Guru Besar UNESA Surabaya & Sekretaris Pelaksana KOPERTIS VII Jawa Timur), Prof. Dr. Djoko Nurkamto (Guru Besar UNS Surakarta), dan Prof. Dr. Nyoman S. Degeng (Guru Besar UM Malang) yang telah berkenan menjadi narasumber.
Akhirnya, dengan mengharap Rahmat dan Ridha-Nya semoga hasil-hasil penelitian yang dirumuskan dalam prosiding ini dapat memberi inspirasi dan manfaat bagi perkembangan pendidikan dan pembelajaran di Indonesia dalam rangka menyiapkan anak bangsa yang cerdas, berkarakter dan berdaya saing dalam menghadapi arus globalisasi.
Salam,
Ketua Panitia / Editor
DAFTAR ISI
Halaman Sampul i
Halaman Hak Cipta ii
Personalia iii
Kata Pengantar iv
Daftar Isi v
Keynote Speakers
Kurikulum dan Pembelajaran di Perguruan Tinggi: Menuju Pendidikan yang Memberdayakan
Prof. Dr. Ali Maksum, M.Si.
3 – 14
Pengembangan Kurikulum Pendidikan Tinggi Berbasis KKNI dan SN-Dikti Prof. Dr. Joko Nurkamto, M.Pd.
15 – 32
Pokok-Pokok Pikiran Revolusi Mental Menggubah Pembelajaran: Pada Pendididkan Dasar, Menengah Dan Tinggi
Prof. Dr. I Nyoman Sudana Degeng. M.Pd.
33 – 50
Integrasi Soft Skills dalam Pembelajaran Dr. Wiwin Sri Hidayati, M.Pd & Drs. Asmuni, M. Si.
51 – 56
Presentasi
Sub Tema: Kurikulum dan Pembelajaran Pendidikan Tinggi
Problem Based Learning untuk menumbuhkan Critical Thinking dan Hasil Belajar Mahasiswa
Khoirul Hasyim
59 – 66
Podcast untuk Meningkatkan Kemampuan Menyimak Mahasiswa STKIP PGRI Jombang
Yunita Puspitasari, Adib Darmawan, & Ida Setyawati
67 – 74
Strategies of Successful and Less Successful Students of English Education Department STKIP PGRI Jombang in Completing Tenses Tasks
Erma Rahayu Lestari & Banu Wicaksono
75 – 85
Pembelajaran Berbasis Proyek Melalui Program Magang Sebagai Upaya Peningkatan Soft Skills Mahasiswa Untuk Mata Kuliah Akuntansi Yulia Effrisanti
86 – 96
Pengaruh Penggunaan Media Jejaring Sosial Edmodo terhadap Partisipasi Mahasiswa dalam Diskusi Kelas pada Materi Ajar Teoretis dan Praktis Asmuni & Wiwin Sri Hidayati
97 – 106
Implementasi Penggunaan Edmodo dalam Mata Kuliah Belajar Pembelajaran Ima Chusnul Chotimah & Rosi Anjarwati
107 – 114
Improving The Ability In Structure I of Students STKIP PGRI Jombang Through The Process-Product Writing Approach
Chalimah & Afi Ni’amah
Proses Konstruksi Mahasiswa Calon Guru dalam Membuat Strategi Penyelesaian Masalah Pembagian Bilangan Pecahan
Esty Saraswati Nur Hartiningrum, Lia Budi Tristanti, & Edy Setio Utomo
125 – 140
Peningkatan Kompetensi Mengajar Mahasiswa Peer Teaching Program Studi Pendidikan Jasmani dan Kesehatan STKIP PGRI Jombang Melalui Lesson Study
Basuki & Novita Nur S.
141 – 150
Student’s Verified Strategies of Paraphrasing (A Case Study of the Sixth Semester of English Students through Verbal Report)
Banu Wicaksono & Erma Rahayu Lestari
151 – 164
Tuturan Fatis Guru Besar dalam Perkuliahan Kelas Linguistik Pahriyono
165 – 174
Meningkatkan Kemampuan Berbicara Bahasa Inggris dengan Sulih Suara Muhammad Farhan Rafi & Tatik Irawati
175 – 185
The Implementation of Task-Based Writing for Teaching Expository Text Lestari Setyowati & Sony Sukmawan
186 – 194
EFL Students Mispronouncing English Vowels Ninik Suryatiningsih & Addini Zuhriyah
195 – 206
Analisis Kesalahan Mahasiswa Program Studi Pendidikan Matematika STKIP PGRI Pasuruan dalam Menyelesaikan Soal Persamaan Diferensial Linier Homogen dan Tak Homogen
Rif’atul Khusniah
207 – 216
Analisis Keterampilan Mengajar Calon Guru Pendidikan Jasmani, Olahraga Dan Kesehatan (Studi pada Mahasiswa S1 Program Studi Pendidikan
Jasmani dan Kesehatan STKIP PGRI Jombang yang Menempuh Program PPL) Wahyu Indra Bayu & Risfandi Setyawan
217 – 224
Analisis Permasalahan Pemanfaatan Media Karikatur dalam Pembelajaran Ekonomi (Analisis pada Mahasiswa Praktikan Micro Teaching STKIP PGRI Jombang)
Nanik Sri Setyani
225 – 231
Perbandingan Bentuk Pemberian Hadiah Berupa Nilai Dengan Hukuman Berupa Tugas Terhadap Hasil Belajar Mata Kuliah Gulat Pada Mahasiswa Angkatan 2011D dan 2011E Program Studi Penjaskes STKIP PGRI Jombang Rahayu Prasetiyo, Yudi Dwi Saputra, & Joan Rhobi Andrianto
232 – 236
Perspektif Sikap Berperilaku Moral Ekonomi Mahasiswa Fakultas Ekonomi Program Kependidikan UM
Muhammad Basri
237 – 248
Re-Konstruksi Perilaku Melalui Pembelajaran Karakter Ulul Albab Dalam Rangka Mewujudkan SDM Perbankan Syariah Berdaya Saing Global Siswanto, Yayuk Sri Rahayu, & Nihayatu Aslamatis Sholekah
Manajemen Sarana Prasarana dalam Meningkatkan Proses Pembelajaran di STKIP PGRI Pasuruan
Suchaina
259 – 269
Pengaruh Gaya Kepemimpinan Demokratis Terhadap Kinerja Pengurus Koperasi Karpindo PPLP PT PGRI Jombang
Munawaroh
270 – 283
Pengaruh Pertumbuhan Ekonomi, Penduduk, Pendidikan dan Pengangguran Terhadap Kemiskinan Di Kota Surabaya
Norida Canda Sakti
284 – 295
Analisis Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Inflasi di Indonesia: Pendekatan Error Correction Model (ECM)
Lina Susilowati
296 – 309
Hukum Perlindungan Konsumen Dalam Pembangunan Ekonomi Heppy Hyma Puspytasari dan Roy Wahyuningsih
310 – 317
Struktur Tingkat Perbandingan Frasa Ajektiva dalam Majalah Jaya Baya Heny Sulistyowati
318 – 324
Analisis Pengembangan Potensi Ekonomi Lokal Untuk Menguatkan Daya Saing Daerah Di Kabupaten Jombang
Masruchan
325 – 335
Evaluasi Manajemen Penyelenggaraan Jatim Sprint 60 Meter Agus Tomi
336 – 344
Hubungan Motivasi Berprestasi dan Disiplin Diri dengan Prestasi Renang 50 Meter Gaya Bebas
Ahmad Yani
345 – 354
Presentasi
Sub Tema: Kurikulum dan Pembelajaran Pendidikan Menengah
Pengembangan Kurikulum dalam Implementasi Pendidikan Karakter Di SMK Diah Puji Nali Brata
357 – 366
Penerapan SEM (Sport Education Model) dalam Konteks Kurikulum 2013 Rama Kurniawan & Adang Suherman
367 – 378
Efektifitas Model Pembelajaran Inkuiri Berbasis Karakter Untuk Meningkatkan Moralitas Ekonomi Siswa Kelas X SMAN 3 Jombang Ayu Dwidyah Rini
379 – 387
The Effect of Task Planning on Students’ EFL Writing Cohesion Rofiqoh
388 – 399
Survey Keterampilan Mengajar Guru Pendidikan Jasmani dan Olahraga Hendra Mashuri & Rizki Apriliyanto
400 – 410
Internalisasi Nilai-Nilai Kearifan Lokal Dalam Pembelajaran Ekonomi SMA Leny Noviani
Pengaruh Penerapan Metode Tutor Sebaya, Pemberian Tugas, dan Motivasi Belajar terhadap Prestasi Belajar Siswa pada Kompetensi Keahlian
Adminstrasi Perkantoran di SMK Negeri I Magetan dan SMK PSM 2 Kawedanan Magetan
Tutik Aminah
420 – 433
Efektivitas Pendekatan Contextual Teaching and Learning (CTL) dalam Meningkatkan Motivasi dan Prestasi Belajar Siswa Kelas XII APK-1 Semester 1 SMK Negeri 1 Magetan Materi Mengolah Data/Informasi Tahun
2013/2014 Arum Yuliani
434 – 448
Pengaruh Metode Pembelajaran Simulasi, Drill, dan Motivasi Belajar terhadap Hasil Belajar Siswa pada Kompetensi Keahlian Akuntasi di SMK Negeri 1 Magetan dan SMK PSM 2 Kawedanan Magetan Tahun Pelajaran 2013-2014
Rina Sumaiyanti
449 – 463
Penerapan Metode Role Playing Terhadap Hasil Belajar Keterampilan Dasar Smash Normal (Open Smash) Dalam Permainan Bolavoli Pada Peserta Didik Kelas X AK 1 SMK PGRI 1 Jombang
Olivia Dwi Cahyani
464 - 470
Pengaruh Media Presentasi Program Adobe Flash, Powerpoint dan Motivasi Terhadap Hasil Belajar Kompetensi Mengelola Kas Bank pada Siswa Kelas XI Akuntansi di SMK 1 Magetan dan SMK PSM 2 Kawedanan Tahun Pelajaran 2013/2014
Sri Winarningsih
471 – 483
Analisis Faktor-faktor yang Mempengaruhi Motivasi Belajar Siswa Terhadap Prestasi Belajar Pada Mata Pelajaran Ekonomi (Studi Pada Siswa Kelas X SMK Matsna Karim Desa Bulurejo Kecamatan Diwek Kabupaten Jombang) Dwi Wahyuni
484 – 493
Pengaruh Bahan Ajar Berbasis Media Audio Visual Terhadap Hasil Belajar Siswa Kelas X Pada Mata Pelajaran Ekonomi SMA Negeri 2 Bondowoso Dedy Wijaya Kusuma
494 – 502
Peran MGMP Dalam Meningkatkan Profesionalisme Guru Ekonomi Tingkat SMA Di Kabupaten Jombang
Diah Dinaloni
503 – 513
Pengaruh Pembelajaran Variasi dan Kombinasi Aktivitas Bermain Bolavoli Terhadap Kemampuan Melakukan Passing Atas, Bawah dan Servis Atas Bolavoli Pada Siswa Kelas X Madrasah Aliyah Negeri 5 Jombang
Mohammad Zaim Zen & Achmed Zoki
514 – 525
Kinerja Guru Pendidikan Jasmani, Olahraga, dan Kesehatan SMAN, dan SMKN Se-Kabupaten Mojokerto Berdasarkan Latar Belakang Pendidikan Tahun 2014
Puguh Setya Hasmara, Arsika Yunarta, & Dian Wahyudin
Analisis Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Pendidikan Sistem Ganda (PSG) Di SMKN 2 Selong Tahun Pelajaran 2013/2014
Muhamad Ali
538 – 548
Analisis Metakognisi Siswa Dalam Menyelesaikan Soal-Soal Bangun Datar Berdasarkan Kemampuan Matematika
Mochammad Edy Santoso & Oemi Noer Qomariyah
549 – 560
Pengaruh Dukungan Organisasi dan Potensi Kreatif Terhadap Praktek Kerja Kreatif (Studi Terhadap Para Guru Di Kabupaten Jombang)
Agus Prianto
561 – 576
Kepemimpinan Kepala Sekolah pada Sekolah Negeri di Pondok Pesantren (Studi Multikasus pada Tiga Sekolah Negeri di Pondok Pesantren Darul Ulum Rejoso Peterongan Kabupaten Jombang)
Firman
577 – 584
Penempatan Program Keahlian Di Sekolah Menegah Kejuruan Dalam Membentuk Kreativitas Siswa
Mayasari
585 – 594
Presentasi
Sub Tema: Kurikulum dan Pembelajaran Pendidikan Dasar
Implementasi Pembelajaran Kooperatif Tipe Student Teams Achievement Division (STAD) dan Metode Jigsaw Serta Motivasi Belajar Terhadap Hasil Belajar Siswa Kelas VIII SMPN 2 Ngariboyo dan SMPN 1 Ngariboyo Sugiharto
597 – 612
Penerapan Metode Polya Dalam Menyelesaikan Soal Cerita Pada Pokok Bahasan Aritmatikasosial di Kelas VII Putra SMP Yadika Bangil
Andika Setyo Budi Lestari
613 – 623
Pengaruh Model Project Based Learning pada Pembelajaran Penjasorkes Terhadap Kreativitas Siswa
(Studi pada Siswa Kelas VIII-A SMP Negeri 1 Plosoklaten Kabupaten Kediri) Hasan Saifuddin & Bayu Budi Prakoso
624 – 636
Upaya Meningkatkan Hasil Belajar Gerak Dasar Lompat Jauh Dengan Menggunakan Alat Bantu Tradisional
Nur Ahmad Muharram & Ardhi Mardiyanto
637 – 646
Pengaruh Metode Mengajar dan Persepsi Kinestetik Terhadap Keterampilan Dasar Bermain Sepak Bola
Slamet Raharjo
647 – 657
Penerapan Model Pembelajaran Kooperatif Dengan Pendekatan
Pembelajaran Open Ended Materi Pokok SPLDV Di Kelas VIII MTsN Denanyar Jombang
Ahmad Bahrul Ulum & Oemi Noer Qomariyah
Kesalahan Siswa Sekolah Dasar dalam Merepresentasikan Pecahan pada Garis Bilangan
Eny Suryowati
668 – 678
Efektivitas Model Pembelajaran Kooperatif Tipe Course Review Horay Pada Pembelajaran Segiempat
Titik Idayanti & Ama Noor Fikrati
679 – 690
Model Pembelajaran Kooperatif Tipe Group Investigation dalam
Pembelajaran Matematika untuk Meningkatkan Aktivitas dan Hasil Belajar Siswa
Veni Saputri
691 – 697
Pegaruh Penerapan Model Pembelajaran Taktis dan Kemampuan Motorik Terhadap Hasil Belajar Bolavoli Pada Siswa Putra Kelas VIII SMPN 4 Lamongan
Ilmul Ma’arif, Zakaria Wahyu Hidayat, & Kahan Tony Hendrawan
698 – 709
Perbandingan Metode Pembelajaran Whole Practice dan Part Practice Terhadap Hasil Belajar Dribbling Bolabasket (Studi Kelas V SDK Santo Yusup Surabaya)
Arnaz Anggoro Saputro
710 – 717
Pengaruh Modifikasi Permainan Bolabasket Terhadap Kebugaran Jasmani Siswa SMPKr Petra Jombang
Mecca Puspitaningsari & Nurdian Ahmad
718 - 726
Perencanaan, Pelaksanaan, dan Problematika Pembelajaran Menulis Siswa Kelas V SDN IV Sukorejo Perak Jombang
Mu’minin
727 – 736
Kompetensi Guru Dalam Pelaksanaan Pembelajaran Pendidikan Jasmani Dan Kesehatan Di MIN Rejoso Kecamatan Peterongan Kabupaten Jombang Agus Budi Hartono
737 – 747
Bentuk Tuturan Masyarakat Manduro Sebagai Pendukung Pembelajaran Bahasa Indonesia
Diana Mayasari
748 – 761
Penerapan Model Pembelajaran Scramble Untuk Meningkatkan Hasil Belajar Bahasa Arab Siswa Kelas V MI Muhammadiyah I Jombang Tahun Pelajaran 2013/2014
Mindaudah
762 – 771
“Javanesse Cultural School” (JCS) Untuk Anak Usia Dini: Sebuah Konsepsi Untuk Mengembalikan Karakter Lokal
M. Syaifuddin S. & Erni Munastiwi
772 – 780
Pelaksanaan Pendidikan Inklusif Pada Sekolah Dasar Di Kabupaten Banyuwangi
Aliya Fatimah
P
P
r
r
o
o
s
s
i
i
d
d
i
i
n
n
g
g
V
V
o
o
l
l
u
u
m
m
e
e
1
1
N
N
o
o
m
m
o
o
r
r
1
1
T
T
a
a
h
h
u
u
n
n
2
2
0
0
1
1
5
5
S
S
e
e
m
m
i
i
n
n
a
a
r
r
N
N
a
a
s
s
i
i
o
o
n
n
a
a
l
l
H
H
a
a
s
s
i
i
l
l
P
P
e
e
n
n
e
e
l
l
i
i
t
t
i
i
a
a
n
n
P
P
e
e
n
n
d
d
i
i
d
d
i
i
k
k
a
a
n
n
d
d
a
a
n
n
P
P
e
e
m
m
b
b
e
e
l
l
a
a
j
j
a
a
r
r
a
a
n
n
“
“
R
R
e
e
k
k
o
o
n
n
s
s
t
t
r
r
u
u
k
k
s
s
i
i
K
K
u
u
r
r
i
i
k
k
u
u
l
l
u
u
m
m
d
d
a
a
n
n
P
P
e
e
m
m
b
b
e
e
l
l
a
a
j
j
a
a
r
r
a
a
n
n
d
d
i
i
I
I
n
n
d
d
o
o
n
n
e
e
s
s
i
i
a
a
”
”
S
S
T
T
K
K
I
I
P
P
P
P
G
G
R
R
I
I
J
J
o
o
m
m
b
b
a
a
n
n
g
g
,
,
J
J
a
a
w
w
a
a
T
T
i
i
m
m
u
u
r
r
,
,
I
I
n
n
d
d
o
o
n
n
e
e
s
s
i
i
a
a
2
2
5
5
-
-
2
2
6
6
A
A
p
p
r
r
i
i
l
l
2
2
0
0
1
1
5
5
K
Kurikulum dan Pembelajaran di Perguruan Tinggi:
Menuju Pendidikan yang Memberdayakan
Ali Maksum
Guru Besar Unesa, Sekretaris Pelaksana Kopertis Wilayah VII Jawa Timur
“Education is the most powerful weapon which you can use the change the world”
Nelson Mandela
Saya sengaja mengutip pernyataan yang melegenda dari mantan Presiden Afrika Selatan dan peraih nobel perdamaian tersebut guna memperkuat keyakinan kita bahwa pendidikan merupakan kunci utama meraih kesuksesan. Jika kita ingin memperbaiki kehidupan, memperbaiki masa depan, memperbaiki keluarga, memperbaiki masyarakat, memperbaiki bangsa, dan bahkan mengubah dunia, maka jawabannya satu: Pendidikan. Dalam konteks ini, pendidikan dimaknai sebagai upaya sadar dan terencana yang memungkinkan setiap individu belajar secara aktif mengembangkan potensi dirinya menuju insan paripurna. Seseorang yang ingin sukses dan menjadi pemenang dalam kehidupan perlu menempatkan pendidikan sebagai pilar terdepan. Negara yang ingin maju dan berhasil perlu menempatkan pendidikan sebagai agenda utama pembangunan. Sejumlah data bisa ditunjukkan untuk menyatakan bahwa tingkat pendidikan suatu bangsa berbanding lurus dengan kemajuan bangsa itu sendiri. Menurut data World Bank 2014, angka partisipasi kasar pendidikan tinggi di Indonesia baru mencapai 27%, sementara Malaysia 36%, Thailand 51%, Australia 83%, Amerika 95%, dan Korea 98%. Dilihat dari struktur pendidikan, 55,31% tenaga kerja kita berpendidikan SD ke bawah dan hanya 11,98% berpendidikan perguruan tinggi (Kompas.com, 2014), sementara di Singapura, lebih dari 90% pekerjanya berpendidikan menengah dan tinggi. Terkait dengan Human Development Index, Indonesia ada pada posisi 121 dari 187 negara, sementara Philipina pada peringkat 114, Thailand 89, Malaysia 62, dan Singapura ada pada peringkat 9 (UNDP, 2014). Demikian juga data global competitivenss report 2013-2014 menunjukkan bahwa posisi Indonesia ada pada peringkat 38, sementara Thailand pada posisi 37, Malaysia 24, dan Singapura pada posisi 2 (World Economic Forum, 2013).
1,3 milyar. Indonesia juga memiliki rasio guru-murid yang lebih baik dibanding Malaysia, China, Inggris, dan Amerika.
Dari telaah dan perenungan mendalam, saya sampai pada kesimpulan bahwa yang membuat suatu bangsa maju bukan karena keberlimpahan sumberdaya alam atau lamanya suatu negara berdiri, tetapi lebih pada kualitas manusianya. Sementara itu, kualitas manusia hanya dapat dihasilkan melalui pendidikan yang memberdayakan, sebuah proses pendidikan yang membuat individu menjadi mandiri, mampu berpikir kritis, inovatif, berkarakter, dan berdaya saing.
Pendidikan yang memberdayakan
Pendidikan yang memberdayakan menempatkan peserta didik sebagai insan yang aktif dan dengan segenap potensi yang dimilikinya, mampu mengonstruksi pengetahuan dan pengalamannya. Sebagaimana lima pilar yang dikampayekan Unesco (2009a), yakni learning to know, learning to do, learning to be, learning to live together, and learning to transform one self and society. Dengan demikian, individu pembelajar tidak sekadar tahu tetapi juga mampu mengonstruksi pengetahuan, terampil menerapkan pengetahuan yang dimiliki, baik dalam konteks dirinya maupun lingkungan masyarakatnya. Setiap individu, menurut Debono (2015), memiliki kemampuan mengorganisasikan dirinya, yang kemudian disebut sebagai self-organizing system. Individu sebagai suatu sistem, akan mampu mengelola ikhwal dirinya untuk maju dan berkembang (Mayer, 2014). Sejalan dengan ini, fungsi institusi pendidikan adalah menciptakan lingkungan dan iklim belajar yang memungkinkan segenap potensi pembelajar teraktualisasikan. Sumber-sumber belajar seperti perpustakaan, laboratorium, buku, jurnal, dan internet cukup tersedia dan dapat diakses dengan mudah. Proses pembelajaran harus mampu memberikan inspirasi, menumbuhkan dan memperkuat rasa keingintahuan (curiosity) mahasiswa terhadap sesuatu. Rasa keingintahuan yang kuat akan menumbuhkan budaya belajar, keberanian bertanya, dan keinginan mencipta. Kondisi yang demikian merupakan iklim yang baik bagi munculnya inovasi dan kemajuan suatu bangsa. Inilah yang dipikirkan dan dilakukan oleh Singpura, Korea, dan China, yaitu how to instill a culture of enquiry and critical thinking into their education systems (Leslie, 2014).
masyarakat. Misalnya, banyak anggota masyarakat yang terkena penipuan berkedok investasi dan penipuan dengan modus hadiah, yang nyata-nyata tidak masuk akal sehat. Demikian juga orang begitu mudah melakukan tindak kekerasan, menyakiti, dan bahkan menghilangkan nyawa orang lain karena hal yang sepele.
Dibutuhkan kesadaran yang kuat bahwa tujuan utama pendidikan bukan untuk mencari nilai atau mendapatkan ijazah. Apalagi menempuh jenjang pendidikan tinggi sekadar untuk prestise dan mendapatkan pengakuan yang sejatinya semu. Penyelenggaraan pendidikan yang sekadar berorientasi pemerolehan ijazah tanpa akuntabilitas dan proses yang benar, tidak saja melanggar ketentuan tetapi juga mendestruksi kecerdasan publik, menjadi lemah pikir yang dalam jangka panjang dapat berujung pada pembodohan bangsa. Itulah mengapa pemerintah, dalam hal ini Dikti dan Kopertis, melarang keras penyelenggaraan kelas jauh, pendidikan di luar domisili tidak sesuai ketentuan, pemendekan masa studi, dan pengebirian SKS. Dikti dan Kopertis sebagai representasi negara punya kewajiban untuk melindungi kepentingan publik.
Setelah bisa dipastikan kemampuan berpikir kritis dan konstruktif terbentuk, proses berpikir perlu dijaga agar tetap jernih, jangan sampai terjadi bias atau sesat pikir. Hal yang demikian bisa terjadi apabila seseorang tidak lagi independen, misalnya karena ada muatan emosi, kepentingan pribadi, dan tekanan dari luar. Perlu diingat, sesar pikir bisa menyebabkan sesat perilaku. Hukum dan aturan sulit ditegakkan manakala berhimpitan dengan kerabat keluarga dan pertemanan yang muatan emosinya begitu kuat. Pengadaan barang dan penyelenggaraan kegiatan bisa koruptif apabila ada kepentingan pribadi untuk mendapatkan keuntungan. Demikian juga suatu kebijakan yang pruden bisa berbelok ditengah jalan jika ada intervensi atau tekanan dari luar. Intinya, pola pikir dan sikap imparsial perlu dirawat agar seseorang bisa tetap berpikir jernih dan memiliki laku jalan lurus.
Pendidikan yang memberdayakan juga berarti menyejahterakan. Ada relasi yang cukup kuat antara tingkat pendidikan dan kesejahteraan. Pendidikan yang baik akan mengangkat derajat seseorang. Individu yang terdidik dengan baik akan dapat membuka dan menciptakan peluang bagi diri dan orang lain yang berdampak pada ekonomi. Dari aspek ekonomi, per capita income Indonesia sebesar 4.730 US$, sementara Thailand 9.280 US$, Malaysia 16.270 US$, Jepang 36.750, dan Singapura telah mencapai 60.110 US$ (World Bank, 2014). Dalam hal ini, kita bisa belajar dari Malaysia, Singapura, dan Korea. Bukankah pada awal kemerdekaan mereka kondisinya relatif mirip sebagai negara yang baru merdeka, yakni terjadi keterbelakangan ekonomi yang masif. Terlebih mereka tidak memiliki sumberdaya alam yang cukup dibanding Indonesia. Sekarang bisa kita lihat bagaimana kehebatan mereka dalam kesejahteraan ekonomi. Lagi-lagi, kunci keberhasilan mereka adalah menempatkan pendidikan yang bermutu sebagai piliar utama. Tesis ini yang rupanya menginspirasi program beasiswa bidikmisi Kemdikbud, memutus mata rantai kemiskinan bagi keluarga kurang mampu dengan memberikan kesempatan kepada calon mahasiswa, yang secara ekonomi kurang beruntung namun secara akademik sangat potensial, melalui pendidikan yang bermutu. Setelah mereka lulus, maka diharapkan bisa mendapatkan atau menciptakan pekerjaan yang dapat mengangkat ekonomi keluarga.
pada 2015 meningkat lebih dari 100%. Pada tahun 2013 tercatat 12,1 penderita per 1000 penduduk, sementara pada 2015 menjadi 25-35 orang per 1000 penduduk (Kompas, 16 April 2015). Sebuah penelitian yang dilakukan di Jakarta juga menunjukkan bahwa ada 67% penduduk Jakarta mengalami kelebihan berat badan atau obesitas, 95% penduduk wanita memiliki lingkar perut di atas normal, dan pada saat yang sama, 87% pria memiliki riwayat hipertensi (The Jakarta Post, May 11, 2012). Data-data tersebut berkaitan erat dengan budaya gerak, dalam hal ini olahraga, yang masih rendah. Fakta tersebut juga sejalan dengan hasil penelitian Komnas Penjasor 2011 bahwa tingkat kebugaran jasmani remaja kita (14-17 tahun) sangat memprihatinkan, putra 33,66 ml/kg/min dan putri 24,23 ml/kg/min. Secara rinci, untuk remaja putra, 56% kategori sangat rendah, 15% kategori rendah, 23% kategori sedang, dan hanya 6% masuk kategori baik ke atas. Sementara untuk putri, 64% masuk kategori sangat rendah, 30% kategori rendah, 3% kategori sedang, dan hanya 2% masuk kategori baik.
Pendidikan yang memberdayakan juga mengandung makna memanusiakan. Istilah “memanusiakan” penting untuk digaris bawahi mengingat seseorang bisa kehilangan kemanusiaannya manakala limbic system yang merupakan locus berprosesnya syahwat “kebinatangan” tidak terkelola dan terdidik dengan baik. Nafsu ingin menguasai, menghancurkan orang lain yang tidak sejalan, keserakahan ekonomi, termasuk libido ada di wilayah ini. Karena itu, kesanggupan untuk menahan dan mengelola syahwat-syahwat instinktif yang dapat mendistorsi sifat kemanusiaan perlu dirawat. Acapkali kita tidak tahan atas godaan kemewahan dan kenikmatan di sekitar kita, apakah itu berupa kedudukan, rekognisi sosial, materi, bonus, komisi, dan bentuk gratifikasi lainnya. Eksperimen klasik Walter Mischel terhadap sekelompok anak usia 4-5 tahun sungguh menarik untuk disimak. Anak-anak dimasukkan ke dalam ruangan, duduk secara beraturan, dan di hadapan setiap anak disediakan marhsmello (semacam permen-coklat). Mereka diberi dua opsi, pertama, ketika bel berbunyi anak-anak boleh langsung makan marhsmello tersebut, atau opsi kedua menahan diri sampai 15 menit hingga eksperimenter datang dan memberikan marhsmello dua kali lipat. Ada sebagian yang memilih opsi pertama dan sebagian yang lain memilih opsi kedua. Seteleh mereka remaja dan dewasa dicek lagi, hasil penelitian menunjukkan bahwa anak yang bisa menunda kenikmatan (delayed gratification) bisa lebih sukses dikemudian hari, baik dalam akademik, kompetensi sosial, dan kemampuan menghadapi tekanan, dibanding dengan mereka yang tidak dapat menahan diri (Maksum, 2014).
Laku keserakahan sebagian bangsa ini bisa kita lihat dari indeks persepsi korupsi yang dikeluarkan oleh lembaga Transparency International tahun 2014, Indonesia ada pada peringkat 107 dari 175 negara yang disurvei dengan skor 34 pada rentang skala 0-100. Sementara Philipina dengan skor 38, Malaysia 52, Jepang 76, dan Singapura 84. Demikian juga dalam penyalahgunaan narkotika, BNN memprediksi prevalensi pengguna narkoba di Indonesia pada 2015 mencapai 5,1 juta orang dan sekitar 50 orang meninggal setiap hari akibat narkoba. Tentu, hal ini sangat mengkawatirkan, kita berada dalam darurat narkoba. The last but not least adalah soal terorisme yang menghentak kemanusiaan. Kelompok radikal yang menggunakan emosi agama ini, tanpa disadari ideologinya telah menelisik jauh pada sejumlah remaja kita. Mereka menganggap kebenaran ada pada dirinya dan pihak yang berbeda dianggap salah dan absah untuk dihancurkan. Sejatinya mereka merupakan anak-anak yang baik, tetapi salah asuhan dan salah jalan menempuh kekerasan “suci” untuk memperoleh “surga”.
memanusiakan. Pertanyaannya sekarang, bagaimana mewujudkan tujuan tersebut? Rekonstruksi kurikulum menjadi agenda yang urgen untuk dilakukan.
Kurikulum, antara dokumen dan implementasi
Secara sederhana, kurikulum dapat diartikan sebagai seperangkat rencana dan pengaturan mengenai capaian pembelajaran lulusan, bahan kajian, proses, dan penilaian yang digunakan sebagai pedoman penyelenggaraan pendidikan. Kurikulum menjadi urgen karena merupakan peta jalan menuju harapan, yakni manusia Indonesia yang hendak kita wujudkan. Perlu disadari bahwa tantangan generasi berubah dari waktu ke waktu, dan karena itu pula, kurikulum tentu perlu menyesuaikan dengan kebutuhan jamannya. Dalam konteks pendidikan tinggi, kurikulum mengalami beberapa kali perubahan (Kemdikbud, 2014b). Pada tahun 1990-an, konsep ilmu pengetahuan dan teknologi (Iptek) mendapatkan tempat yang terhormat dalam diskursus pembangunan, termasuk di dalam dunia pendidikan. Karena itu, pada kurikulum 1994 bisa disebut sebagai kurikulum berbasis isi, yang diarahkan pada penguasan Iptek. Memasuki tahun 2000, Unesco mempromosikan empat pilar pendidikan, yakni learning to know, learning to do, learning to be, dan learning to live together. Beriringan dengan itu, sekitar 2002, istilah kompetensi menjadi wacana yang sangat kuat bertalian dengan kualitas lulusan. Oleh karenanya, kurikulum saat itu dikatakan sebagai kurikulum berbasis kompetensi.
Lalu, bagaimana halnya dengan kurikulum yang sekarang? Keluarnya sejumlah peraturan perundang-undangan seperti UU No. 12 tahun 2012 tentang pendidikan tinggi, Perpres No. 8 tahun 2012 tentang kerangka kualifikasi nasional Indonesia (KKNI), dan Permendikbud No. 49 tahun 2014 tentang standar nasional pendidikan tinggi, memberikan pesan kuat bahwa pendidikan tinggi harus mampu melahirkan manusia Indonesia yang cakap, berkarakter, dan berdaya saing. Pendidikan tinggi berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa (Kemdikbud, 2012a). Selain itu, pendidikan tinggi harus mampu memberdayakan mahasiswa menjadi manusia terdidik (educated person) yang berpengetahuan, kreatif, inovatif, dan berkarakter. Manusia Indonesia juga harus mampu sejajar dan bersaing dengan warga bangsa yang lain. Kualifikasi manusia Indonesia seperti itulah yang diharapkan bisa terbentuk melalui proses pendidikan di perguruan tinggi. Hal ini sejalan dengan hasil penelitian terkait dengan keterampilan yang dibutuhkan diabad 21. Ada lima keterampilan pokok yang perlu dimiliki, yakni keterampilan beradaptasi, berkomunikasi kompleks, memecahkan masalah nonrutin, manajemen diri, dan berpikir sistem (National Academy of Sciences, 2011).
Lalu, bagaimana kurikulum dikembangkan? Sesuai semangat UU no 12 tahun 2012 yang memberikan otonomi pada perguruan tinggi, maka pengembangan kurikulum diserahkan sepenuhnya pada otonomi kampus. Entitas program studi dan asosiasi keilmuan, termasuk asosiasi profesi menjadi think tank penyusun kurikulum. Tentu menjadi lebih baik, jika penyusunan kurikulum melibatkan pemangku kepentingan, terutama pengguna lulusan.
sistem blok, menyusun matakuliah berdasarkan ketercapaian kompetensi, bukan sekadar pembelajaran semesteran. Selain dua model tersebut, ada model lain yang bisa juga dipertimbangkan untuk diterapkan, yakni model konsekutif dan model konkuren. Kedua model ini biasanya diterapkan dalam konteks pendidikan guru. Model konsekutif adalah menyusun struktur matakuliah secara berurutan dengan memperhatikan capaian pembelajaran. Ada pembedaan yang tegas antara penguasaan kompetensi keilmuan dan kompetensi pedagogik. Mengacu model konsekutif, maka pendidikan guru didesain menjadi 4+1, yakni empat tahun fokus pada penguasaan kompetensi keilmuan dan satu tahun kompetensi profesi. Adapun model konkuren menyusun kurikulum yang mengintegrasikan antara kompetesi keilmuan dan kompetensi profesi pada saat yang bersamaan, sebagaimana yang selama ini dilakukan di lembaga pendidikan tenaga kependidikan.
Apakah kurikulum yang telah didesain sedemikian rupa pada gilirannya dapat mewujudkan tujuan yang hendak dicapai? Di sinilah persoalannya. Pergulatan antara kurikulum sebagai dokumen dan kurikulum in action. Acapkali kurikulum sebagai dokumen telah tersusun dengan begitu baik, namun pelaksanaannya jauh panggang dari api. Dalam konteks ini, peran pengelola kurikulum, dalam hal ini ketua program studi dan peran pelaksana kurikulum, yakni dosen, menjadi sangat urgen. Ada korelasi yang sangat kuat antara kepemimpinan akademik dan kualitas dosen terhadap keberhasilan pelaksanaan kurikulum, Semakin tinggi komitmen Kaprodi dan dosen dalam melaksanakan kurikulum, semakin tinggi pula peluang keberhasilan capaian-capaian kurikulum.
Capaian pembelajaran dan KKNI
Ada semacam missing link antara lulusan perguruan tinggi dengan dunia kerja. Persoalan pengangguran bukan semata karena ketiadaan pekerjaan, tetapi juga ketidaksesuaian antara jenis pekerjaan dan lulusan yang memenuhi kualifikasi yang dibutuhkan. Artinya, ada sejumlah pekerjaan yang tidak bisa diisi oleh lulusan perguruan tinggi. Pemangku kepentingan tidak tahu capaian pembelajaran yang dimiliki oleh lulusan. Kemampuan apa saja yang dimiliki oleh lulusan perguruan tinggi jenjang diploma, sarjana, magister, dan doktor? Bagaimana pula dengan mereka yang memiliki kemampuan memadai meski tidak diperoleh melalui pendidikan formal? Pertanyaan lanjutan yang tidak kalah pentingnya adalah apakah lulusan pendidikan sarjana di Indonesia setara dengan lulusan sarjana dari Singapura, Malaysia, atau Thailand? Begitu juga berlaku sebaliknya? Dalam konteks ini, globalisasi pendidikan menjadi pertimbangan, terlebih seiring kebijakan masyarakat ekonomi Asean yang akan berlaku pada akhir 2015. Ikhwal inilah yang pada dasarnya melatarbelakangi keluarnya Perpres no. 8 tahun 2012 mengenai kerangka kualifikasi nasional Indonesia (KKNI), yang merupakan kerangka penjenjangan kualifikasi SDM yang menyetarakan capaian pembelajaran bidang pendidikan dengan pelatihan dan pengalaman kerja. Ada 9 level dalam KKNI, yang dari perspektif pendidikan formal, level 1-2 adalah pendidikan menengah, level 3-6 adalah pendidikan diploma dan sarjana, level 7 profesi, level 8 magister, dan level 9 doktor. Dari perspektif dunia kerja, level 1-3 adalah operator, 4-6 teknisi/analis, dan 7-9 ahli.
terjadinya masifikasi pendidikan tinggi dewasa ini (Unesco, 2009b). Adanya KKNI memberikan kesempatan kepada siapapun dia, dengan kompetensi yang dimiliki dapat disejajarkan satu dengan yang lain. Pencapaian KKNI dapat dilakukan melalui berbagai jalur, yaitu pendidikan formal, pengembangan profesi, peningkatan karier di dunia kerja, dan akumulasi pengalaman individu.
Terkait dengan KKNI, apa yang perlu dilakukukan oleh kampus? Perguruan tinggi perlu menggunakan KKNI sebagai rujukan dalam merencanakan sistem pembelajaran sehingga lulusannya sesuai dengan kualifikasi jenjang KKNI. Mengacu Permendikbud No. 73 tahun 2013 tentang penerapan KKNI bidang pendidikan tinggi, perguruan tinggi, melalui Prodi, perlu menyusun deskripsi capaian pembelajaran minimal mengacu level KKNI. Capaian pembelajaran merupakan kemampuan yang diperoleh seseorang melalui internalisasi pengetahuan, sikap, ketrampilan, kompetensi, dan akumulasi pengalaman kerja. Dengan demikian, Prodi dengan segenap sumberdaya yang dimiliki, multitrack and multimethod, mengupayakan terwujudnya capaian pembelajaran. Setelah dipastikan rumusan capaian pembelajaran, langkah berikutnya adalah menyusun, melaksanakan, dan mengevaluasi kurikulum mengacu KKNI. Terakhir, mengembangkan sistem penjaminan mutu internal untuk memastikan capaian pembelajaran yang telah ditetapkan.
Unsur capaian pembelajaran mencakup sikap dan tata nilai, kemampuan, pengetahuan, dan tanggung jawab. Seluruh unsur ini menjadi kesatuan yang saling mengait dan juga membentuk relasi sebab akibat. Dengan demikian, dalam konteks capaian pembelajaran, siapapun orang di Indonesia, dalam perspektif sebagai SDM, pertama-tama harus memiliki sikap dan tata nilai keindonesiaan, padanya harus dilengkapi dengan kemampuan yang tepat dan didukung oleh pengetahuan yang sesuai, maka padanya berlaku tanggung jawab sebelum dapat menuntut haknya (Kemdikbud, 2014b).
Pemenuhan standard
Capaian pembelajaran dalam kurikulum dapat dioptimalkan apabila ada standarisasi, mulai dari masukan, proses, dan keluaran. Secara lebih komprehensif, ada Permendikbud no. 49 tahun 2014 tentang standar nasional pendidikan tinggi (SNPT), yang bisa dijadikan kerangka kerja mewujudkan capaian pembelajaran. Terdapat 10 standar yang perlu dipenuhi, yaitu: standar kompetensi lulusan, isi pembelajaran, proses pembelajaran, penilaian pembelajaran, dosen dan tenaga kependidikan, sarana dan prasarana pembelajaran, pengelolaan pembelajaran, pembiayaan pembelajaran, penelitian, dan pengabdian pada masyarakat. Dalam setiap standar tersebut terdapat ketentuan yang perlu diacu dalam penyelenggaraan pendidikan tinggi. Meski demikian perlu diingat bahwa sejatinya SNPT adalah kriteria minimal tentang penyelenggaraan tridharma, yang bertujuan menjamin tercapainya tujuan pendidikan tinggi dan mencapai mutu sesuai kriteria yang ditetapkan. Karena merupakan kriteria minimal, maka perlu diupayakan dan didorong agar perguruan tinggi melampaui kriteria yang ditetapkan. Pada saat yang sama, penetapan standar juga perlu dievaluasi dan disempurnakan secara periodik dan berkelanjutan.
tentang guru dan dosen, tetapi hingga sekarang masih banyak dosen yang berstatus S1. Berdasarkan data di PD-Dikti pada 12 April 2015, terdapat 38.796 atau 22% dari total 178.270 dosen yang masih bergelar S1 di Kementerian Ristek dan Pendidikan Tinggi. Sementara itu, dosen yang berkualifikasi S2 sebanyak 61% dan S3 sebanyak 13%, serta yang memperoleh jabatan professor baru 3%. Sebuah perguruan tinggi dianggap unggul, menurut BAN-PT, manakala jumlah dosen bergelar Doktor ≥ 50% dan yang memiliki jabatan akademik professor ≥ 30%. Seorang dosen juga perlu memperbarui pengetahuan dan keterampilan dengan mengikuti sejumlah seminar, pelatihan, dan sejenisnya. Untuk bisa memberikan inspirasi dan pencerahan kepada mahasiswa, rasanya tidak mungkin seorang dosen hanya mengandalkan pengetahuan masa lampau, buku yang digunakan sudah tertinggal lebih dari 10 tahun, tidak pernah melakukan penelitian dibidangnya, dan abai terhadap perkembangan keilmuan terkini.
Kedua, terkait sarana dan prasarana. Mengenai sarana prasarana, tidak cukup sekadar adanya ruang kuliah, tetapi juga laboratorium, perpustakaan, dan tempat diskusi yang memungkinkan mahasiswa berinteraksi dan menggunakan sumber-sumber belajar secara optimal. Demikian juga tempat/ruang untuk pengembangan bakat dan minat mahasiswa seperti karya ilmiah, olahraga, dan kesenian. Dosen juga diberikan tempat/ruang untuk menjalankan aktifitas profesinya seperti membaca, menyiapkan perkuliahan, dan menerima konsultasi mahasiswa. Masih banyak perguruan tinggi yang belum bisa menyediakan fasilitas, baik bagi dosen dan mahasiswa, meski dalam standar yang minimal.
Ketiga, proses pembelajaran. Proses pembelajaran dilakukan dengan memperhatikan kelayakan, baik dalam kuantitas maupun kualitas. Dalam satu semester, pertemuan dilakukan selama 16 kali pertemuan. Perlu juga diingat bahwa pengertian 1 sks setara dengan 160 menit kegiatan belajar per minggu per semester. Dalam bentuk pembelajaran kuliah 1 sks mencakup 50 menit tatap muka, 50 menit terstruktur, dan 60 menit mandiri. Pembelajaran akan optimal jika sks diterapkan secara murni dan konsisten. Mahasiswa belajar tidak hanya saat bertemu dengan dosen, tetapi ditindaklanjuti dalam bentuk pendalaman melalui kegiatan tersruktur dan mandiri. Dalam konteks pembelajaran, yakni interaksi antara dosen, mahasiswa, dan sumber belajar, perlu dijaga keseimbangan terkait beban kerja. Bagi mahasiswa, beban normal belajar adalah 8 jam per hari atau 48 jam per minggu, setara dengan 18 SKS per semester. Sementara itu bagi dosen, beban kerja yang mencakup tridharma dan tugas tambahan, paling sedikit 40 jam per minggu atau setara dengan 12 sks. Dengan memperhatikan ketentuan tersebut, diharapkan iklim akademik akan tumbuh sehingga capaian pembelajaran dapat terwujud. Beban belajar/kerja yang jauh di bawah atau di atas normal tentu tidak diharapkan, apalagi yang berkorelasi negatif dengan penguatan iklim akademik.
Perlu kesadaran yang cukup kuat dari dosen bahwa paradigma pembelajaran sudah berubah, tidak lagi berpusat pada dosen, tetapi mahasiswa (Kemdikbud, 2014b). Dalam konteks ini, mahasiswa belajar mencari dan mengonstruksi pengetahuan, bukan sekadar menerima pengetahuan dari dosen. Demikian juga pengetahuan harus dipandang sebagai hasil konstruksi atau hasil transformasi oleh pembelajar, bukan sesuatu yang sudah jadi yang tinggal ditransfer ke mahasiswa. Peran dosen lebih sebagai fasilitator dan motivator, sementara mahasiswa menunjukkan kinerja kreatif, yang mengintergrasikan kemampuan kognitif, psikomotor, dan afektif. Metodenya mengarah pada inquiry and discovery dan sumber belajarnya bersifat multi demensi dan kontekstual.
melalui proses pembelajaran yang menunjukkan kemampuan mahasiswa dalam proses dan produk. Penilaian model ini terdiri dari tiga kegiatan pokok, yakni dosen memberi tugas, mahasiswa menunjukkan kinerjanya, dan dinilai berdasarkan indikator tertentu dengan instrumen yang disebut Rubrik (Kemdikbud, 2014b). Perlu diketahui bahwa rubrik merupakan panduan penilaian yang menggambarkan kriteria yang digunakan dosen dalam menilai dan memberi tingkatan ketercapaian hasil belajar mahasiswa. Dalam rubrik termuat daftar karakteristik unjuk kerja yang diharapkan terwujud dalam proses dan hasil kerja serta dijadikan panduan untuk mengevaluasi masing-masing karakteristik tersebut.
Keempat, terkait dengan penelitian. Perguruan tinggi harus memiliki kebijakan terkait arah, fokus, dan mekanisme penelitian. Jangan sampai perguruan tinggi hanya menghabiskan waktu untuk mengelola proses belajar-mengajar. Pengajaran hanyalah salah satu dari tridharma perguruan tinggi. Para dosen harus didorong untuk melakukan penelitian. Dosen perlu dirangsang untuk meraih dana penelitian dari luar institusi. Bagi mereka yang masih pemula, institusi perlu memberikan insentif, meski tidak besar, misalnya 3-5 juta per proposal. Dalam menciptakan budaya meneliti, keterlibatan dosen dan keikutsertaan mahasiswa dalam penelitian menjadi penting. Seiring dengan produk penelitian, publikasi ilmiah menjadi keniscayaan. Jumlah artikel yang terpublikasi, artikel yang disitasi, bahkan diperolehnya hak kekayaan intelektual, termasuk paten merupakan indikator utama kualitas penelitian di suatu perguruan tinggi.
Soal mutu, jangan ditawar
Berdasarkan data PD-Dikti pada 26 Maret 2015, jumlah perguruan tinggi di Indonesia sebanyak 4.268, terdiri dari 365 PTN dan 3.903 PTS, dengan total prodi sebanyak 21.864. Sementara itu, jumlah mahasiswa sebesar 7,4 juta, terdiri dari 2,8 juta di PTN dan 4,6 juta di PTS. Adapun jumlah dosen bergelar Doktor sebesar 22.430 (12%) dan yang memiliki jabatan akademik profesor sebesar 4.948 (3%) dari keseluruhan 184.551 dosen. Bandingkan dengan jumlah perguruan tinggi di Amerika, yakni 4.599 dengan 21 juta mahasiswa. Dari segi kuantitas, sangat boleh jadi yang kita miliki sudah lebih dari cukup. Namun dari segi mutu, masih menyisakan persoalan yang serius.
Saya ingin memberikan penguatan perlunya budaya membaca dan menulis dengan mengutip hasil penelitian Robert Wilson, et.al. (2013), neurologist pada Rush University Medical Center Chicago. Mereka meneliti 300 orang lanjut usia dan memeriksa kapasitas memori dan keterampilan berpikir setiap tahun. Mereka juga ditanya mengenai kebiasaan, menulis, dan aktifitas kognitif lainnya, termasuk saat masa anak-anak dan remaja. Mereka diikuti perkembangannya sampai meninggal dan selanjutnya diperiksa kondisi otaknya untuk membuktikan adanya demensia. Hasil penelitian cukup mengejutkan bahwa subyek yang jarang membaca dan menulis, mengalami penurunan fungsi kapasitas mental 48% lebih cepat dibanding rata-rata subyek penelitian. Karena itu, mari kita semua menjadikan kebiasaan membaca dan menulis sebagai gaya hidup, yang tidak saja berpengaruh pada profesionalisme sebagai dosen, tetapi juga meninggikan kualitas hidup kita sebagai manusia.
Budaya mutu harus menjadi bagian dari budaya kerja akademik kita. Apalagi sudah dikeluarkan Permendikbud no 50 tahun 2014 tentang sistem penjaminan mutu pendidikan tinggi. Dalam Permendikbud tersebut dinyatakan bahwa sistem penjaminan mutu merupakan kegiatan sistemik untuk meningkatkan mutu pendidikan tinggi secara berencana dan berkelanjutan, memastikan kesesuaian antara penyelenggaraan pendidikan dengan standar yang telah ditentukan. Ada dua model penjaminan mutu, pertama bersifat internal yang lazim disebut SPMI dan kedua bersifat eksternal yang dilakukan oleh BAN-PT. Keduanya berjalin berkelindan dalam mengupayakan terwujudnya mutu pendidikan tinggi. Sudah bukan waktunya lagi kita bekerja sekadar menggugurkan kewajiban, tidak pernah berpikir apakah yang kita kerjakan memberikan manfaat dan nilai lebih kepada pihak lain. Terlalu besar resiko yang harus ditanggung manakala mutu dikorbankan. Tidak bisa lagi kita mengajar hanya sekadar mengalihkan pengetahuan yang kita miliki kepada mahasiswa, tanpa ada jaminan hal itu dapat mengubah dan menginspirasi mahasiswa kearah yang lebih konstruktif. Ketika kita meneliti, tidak cukup sekadar memenuhi kredit poin kenaikan pangkat, tanpa pernah berpikir apakah yang kita teliti berkontribusi pada ilmu pengetahuan dan kemaslahatan umat manusia.
Daftar Bacaan
Debono, E. (2015). Serious creativity: How to be creative under pressure and turn ideas into action. London: Vermilion.
Kemdikbud (2014a). Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia nomor 49 tahun 2014 tentang standar nasional pendidikan tinggi. Jakarta: Kemdikbud. Kemdikbud (2014b). Buku kurikulum pendidikan tinggi. Jakarta: Ditjen Dikti, Kemdikbud. Kemdikbud (2014c). Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia
nomor 50 tahun 2014 tentang sistem penjaminan mutu pendidikan tinggi. Jakarta: Kemdikbud.
Kemdikbud (2013). Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia nomor 73 tahun 2013 tentang penerapan kerangka kualifikasi nasional Indonesia bidang pendidikan tinggi. Jakarta: Kemdikbud.
Kemdikbud (2012a). Undang-undang nomor 12 tahun 2012 tentang pendidikan tinggi. Jakarta: Kemdikbud.
Kemdikbud (2012b). Peraturan Presiden nomor 8 tahun 2012 tentang kerangka kualifikasi nasional Indonesia. Jakarta: Kemdikbud.
Kompas (2015). Ancaman saat tubuh menua, edisi 16 April, h.14
Kompas.com (2014). BPS: Kualitas tenaga kerja Indonesia masih rendah, edisi 5 februari. Leslie, I. (2014). Curious: The desire to know and why your future depends on it. London:
Quercus.
Maksum, A. (2014). National mental model and competitiveness: Transformation toward achieving and progressive behavior. Anima, Indonesian Psychological Journal, vol. 29, no. 2.
Maksum, A. (2011). Membangun mental prestatif: Tugas utama pendidikan ke depan. Dalam Sirkit Syah dan Martadi, “Rekonstruksi Pendidikan”. Surabaya: Unesa University Press. Mayer, J.D. (2014). Personal intellegence: The power of personality and how it shapes our
lives. New York: Scientific American/Farrar, Straus and Giroux.
National Academy of Sciences (2011). Assessing 21st Century Skills: Summary of a Workshop. Washington: Division of Behavioral and Social Sciences and Education.
OECD (2013). PISA 2012 Results in Focus: What 15-year-olds know and what they can do with what they know.
Scimago (2014). The SCImago Journal & Country Rank, diunduh 17 Nov 2014. The Jakarta Post (2012). Study shows 67 percent of Jakartans overweight, Edisi 11 Mei.
UNDP (2014). Human development report 2014. New York: United Nation Development Program.
Unesco (2005). The Regional convention on the recognition of studies, diplomas and degrees in higher education in Asia and the Pacific. Kunming, China: Academic Degrees Committee of the State Council.
Unesco (2009a). Education for Sustainable Development. France: Division for the coordination of United Nations priorities in education.
Unesco (2009b). Trends in global higher education: Tracking an academic revolution. A report prepared for the Unesco 2009 world conference on higher education. France: Division for the coordination of United Nations priorities in education.
World Bank (2014). World development indicators. Washington: International Bank for Reconstruction and Development.
Pengembangan Kurikulum Pendidikan Tinggi
Berbasis KKNI dan SN-DIKTI
Joko Nurkamto
POKOK-POKOK PIKIRAN
Revolusi Mental Menggubah Pembelajaran: Pada Pendididkan Dasar,
Menengah, dan Tinggi
Nyoman S. Degeng
Integrasi
Soft Skills
dalam Pembelajaran
Dr. Wiwin Sri Hidayati, S.Pd., M.Pd
Dosen dan Ketua Prodi Pendidikan Matematika STKIP PGRI Jombang Drs. Asmuni, M.Si
Dosen dan Pembantu Ketua I STKIP PGRI Jombang
Soft Skills
Klaus (2007) menyatakan bahwa soft skills encompass personal, social, communication, and self management behaviours, they cover a wide spectrum: self awareness, trustworthiness, conscientiousness, adaptability, critical thinking, organizational awareness, attitude, innitiative, emphathy, confidence, integrity, self-control, leadership, problem solving, risk taking and time management. Pernyataan ini menjelaskan bahwa soft skill meliputi personal, sosial, komunikasi, dan perilaku manajemen diri, yang mencakup spektrum yang luas: kesadaran diri, kepercayaan, kesadaran, kemampuan beradaptasi, berpikir kritis, kesadaran organisasi, sikap, inisiatif, empati, kepercayaan diri, integritas, pengendalian diri, kepemimpinan, pemecahan masalah, pengambilan risiko dan manajemen waktu.
Aribowo (dalam Sailah, 2008) membagi soft skills menjadi dua bagian, yaitu intrapersonal skills dan interpersonal skills. Intrapersonal skills adalah keterampilan seseorang dalam mengatur diri sendiri. Adapun interpersonal skills adalah keterampilan seseorang yang diperlukan dalam berhubungan dengan orang lain. Dua jenis keterampilan tersebut dirinci sebagai berikut, intrapersonal skills terdiri dari: transforming character, transforming beliefs, change management, stress management, time management, goal setting & life purpose, accelerated learning techniques. Interpersonal skills terdiri dari: communication skills, relationship building, motivation skills, leadership skills, self-marketing skills, negotiation skills, presentation skills, public speaking skills.
mencakup keterampilan komunikasi, resolusi konflik dan negosiasi, efektivitas pribadi, pemecahan masalah secara kreatif, pemikiran strategis, membangun tim, keterampilan mempengaruhi dan keterampilan menjual (gagasan atau ide).
Rani (2006), menjelaskan bahwa: Soft Skills have two parts. One part involves developing attitudes and attributes, and the other part involves fine-tuning communication skills to express attitudes, ideas and thoughts well. Crucial to successful work is the perfect integration of ideas and attitudes, with appropriate communication skills in oral, written and non-verbal areas. Attitudes and skills are integral to soft skills. Each one influences and complements the other. Tulisan ini menjelaskan bahwa soft skills memiliki dua bagian, yaitu bagian yang melibatkan pengembangan sikap dan atribut, dan bagian lainnya melibatkan ketepatan keterampilan komunikasi untuk mengekspresikan sikap, ide dan pikiran dengan baik. Penting untuk pekerjaan yang sukses adalah integrasi sempurna dari ide-ide dan sikap dengan keterampilan komunikasi yang tepat secara lisan, tertulis, dan nonverbal. Sikap dan keterampilan merupakan bagian integral dari soft skill. Rujukan lainnya, Sharma (2009), menyebutkan bahwa soft skills adalah seluruh aspek dari generic skills yang juga termasuk elemen-elemen kognitif yang berhubungan dengan non academic skills. Menurut Widhiarso (2009), soft skills adalah seperangkat kemampuan yang mempengaruhi bagaimana kita berinteraksi dengan orang lain. Soft skills merupakan kemampuan yang tidak nampak dan seringkali berhubungan dengan emosi manusia. Donata (2010) menjelaskan bahwa Soft skills are intangible interpesonal skills that are associated with an individual’s ability to effectively interact with others and/or lead others. These skills are not easy to measure but they can be observed in individuals who possess the ability to interact with people well.
Penjelasan di atas menunjukkan bahwa soft skills adalah keterampilan interpersonal yang berhubungan dengan kemampuan individu untuk berinteraksi dengan orang lain secara efektif. Keterampilam ini tidak mudah diukur, tetapi dapat diamati dengan melihat ketika seseorang berinteraksi dengan orang lain. Patrick (2001), mengelompokan soft skill dapat dikategorikan ke dalam 7 area yang disebut Winning Characteristics, yaitu, communication skills, organizational skills, leadership, logic, effort, group skills, and ethics. Kemampuan nonteknis yang tidak terlihat wujudnya (intangible) namun sangat diperlukan itu, disebut soft skills.
Chaturvedi (2011) menuliskan soft skills are essentially to be categorized as self development skills, interaction skills, leadership skills, organization skills and communication skills. Artinya, softskills dikategorikan sebagai keterampilan pengembangan diri, keterampilan berinteraksi, keterampilan kepemimpinan, keterampilan berorganisasi, dan keterampilan komunikasi. Soft skills melengkapi hard skills (bagian dari IQ), yang merupakan persyaratan teknis pekerjaan dan banyak kegiatan lainnya. Soft Skill atau keterampilan lunak merupakan tingkah laku personal dan interpersonal yang dapat mengembangkan dan memaksimalkan kinerja manusia (melalui pelatihan, pengembangan kerja sama tim, inisiatif, dan pengambilan keputusan lainnya.
keterampilan seseorang dalam berhubungan dengan orang lain (termasuk dengan dirinya sendiri). Atribut soft skills, dengan demikian meliputi nilai yang dianut, motivasi, perilaku, kebiasaan, karakter dan sikap. Atribut soft skills ini dimiliki oleh setiap orang dengan kadar yang berbeda-beda, dipengaruhi oleh kebiasaan berfikir, berkata, bertindak dan bersikap. Namun, atribut ini dapat berubah jika yang bersangkutan mau merubahnya dengan cara berlatih membiasakan diri dengan hal-hal yang baru.
Soft Skills included in Measuring Assessing Soft Skills (MASS) Materials Manners, Ownership of tasks, Attendance, Motivation, Professionalism, Work output Conduct in workplace, Timekeeping, Verbal Communication, Organisation/ planning, Team-working/ Respect, Helping others, Conscientiousness, Ability to ask for help, Adaptability/ Flexibility, (Kechagias,. 2011: 83-84). Maksudnya, beberapa hal yang merupakan penilaian dalam soft skills yaitu, kemampuan kerja, kepedulian, motivasi, profesionalisme, pengaruh hasil kerja di tempat kerja, kedisiplin, komunikasi verbal, organisasi atau perencanaan, kerjasama atau rasa hormat, membantu orang lain, waspada, kemampuan untuk membantu, adaptasi atau loyalitas.
Berbeda dengan soft sklls, hard skills adalah penguasaan ilmu pengetahuan, teknologi, dan keterampilan teknis yang terkait sesuai bidang ilmu. Hard skilsl merupakan keterampilan teknis yang dibutuhkan untuk profesi tertentu. Contoh, guru olah raga membutuhkan keterampilan menangkap bola, programmer wajib menguasai teknik pemrograman dg bahasa tertentu. Hard skills dibutuhkan untuk dapat bekerja sesuai tujuan. Hard skills berhubungan dengan kompetensi inti untuk setiap bidang keilmuan lulusan. Contoh, seseorang sarjana pendidikan harus menguasai hard skill di bidang menyusun perangkat pembelajaran.
Berdasarkan definisi di atas, penulis memberikan definisi soft skills sebagai jalinan atribut personalitas baik intrapersonal skills maupun interpersonal skills. Sedangkan hard skills adalah penguasaan ilmu pengetahuan, teknologi, dan keterampilan teknis yang terkait sesuai bidang ilmu.
Integrasi Soft Skills dan Hard Skills dalam Pembelajaran
Pengajaran dan pembelajaran di sekolah memiliki komponen sosial, emosional, dan akademis yang kuat. Bagaimana agar siswa tidak bosan dalam belajar? Pendidik harus memberikan muatan-muatan lain seperti memberi motivasi, memberi pujian, memberi jokes yang disampaikan baik secara verbal maupun nonverbal dengan ekspresi wajah yang ceria, dan memberikan senyuman yang tidak dipaksakan. Agar hal tersebut dapat dilakukan maka harus dibarengi dengan mengatur emosi ketika menghadapi berbagai macam karakter siswa yang berada dalam kelas. Sebagaimana kita ketahui bahwa siswa yang berada dalam satu kelas sangat mungkin kemampuannya heterogen. Untuk itulah guru/pendidik juga harus mengelola manajemen stres.
Selain itu, guru/pendidik juga harus menguasai keterampilan manajemen waktu, agar apa yang sudah direncanakan sebelumnya dapat dilaksanakan dengan benar. Hal tersebut untuk mendukung ketika mengajar. Bagaimana mengelola waktu dalam mengajar bukanlah hal yang mudah, apalagi jika sebelumnya tidak membuat perencanaan sama sekali. Oleh karena itu pendidik harus sudah membuat alokasi waktu yang dituangkan dalam Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP), mulai dari kegiatan pendahuluan, kegiatan inti, dan kegiatan penutup.