• Tidak ada hasil yang ditemukan

PENGALAMAN IBU DALAM MERAWAT ANAK DENGAN

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "PENGALAMAN IBU DALAM MERAWAT ANAK DENGAN"

Copied!
16
0
0

Teks penuh

(1)

Santun Setiawati, Ratna Ningsih, Een Raenah Jurusan Keperawatan Poltekkes Jakarta III

Email: setiawatisantun@yahoo.com

ABSTRAK

Tuberkulosis (TB) merupakan penyakit infeksi menular yang disebabkan oleh bakteri mycobacterium tuberkulosis. Kesembuhan pada anak dengan TB tidak terlepas dari perawatan yang dilakukan oleh orang tua, khususnya ibu. Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi pengalaman ibu dalam merawat anak dengan TB paru. Desain penelitian kualitatif yang digunakan adalah fenomenologi jenis deskriptif yang dianalisis dengan metode Colaizzi. Partisipan berjumlah 6 orang. Hasil penelitian ini menemukan 7 tema yaitu: 1) pemahaman tentang penyakit TB paru, 2) perawatan yang telah dilakukan ibu, 3) kebutuhan yang diperlukan, 4) sumber pendukung, 5) hambatan yang ditemui, 6) cara penyelesaian hambatan yang ada dan 7) dampak penyakit terhadap pertumbuhan dan perkembangan anak. Pemahaman partisipan tentang TB paru masih kurang dan hambatan yang ditemui partisipan dalam merawat anak terutama saat memberikan obat TB pada 1-2 bulan pertama pemberian, saat memberikan makan serta menjaga kebersihan lingkungan rumah. Masih ada status gizi anak yang kurang dan satu anak mengalami TB tulang. Hasil penelitian ini diharapkan dapat digunakan untuk program pembinaan dan pendidikan kesehatan pada keluarga dengan anak yang mengalami TB paru.

Kata kunci: pengalaman merawat, penyakit TB paru, anak.

ABSTRACT

The tuberculosis is a communicable disease which caused by mycobacterium tuberculosis. The cure of children with TB are never apart from the treatments which are given by parents particularly mothers. This research purposed to identify the mother’s experience in taking care of children with TB. The research design used qualitative research which was descriptive phenomenology. The numbers of participants were 6 persons. The result of this research are 7 (seven) themes, such as: 1) understanding of lung TB disease; 2) treatments which were given by mothers; 3) demands needed by children; 4) support sources; 5) the obstacles; 6) problem solving of the obstacles; 7) the impact of disease towards child developments. The participants’ understanding about lung TB were still lack, the obstacle founded in taking care the children mainly when they were giving medications in the first one to two months, giving meals, and keeping the house hygiene. There were children with lack of nutrition status, and one child who was suffering bone TB with gibbous. The result of this research is enabling to use in nurturing program and health education for the families with lung TB children.

Keywords: experience of taking care, lung TB disease, children

(2)

PENDAHULUAN

Tujuan pembangunan milenium (Millennium Development Goals/MDGs) merupakan deklarasi milenium hasil kesepakatan kepala negara dan perwakilan dari 189 negara Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) yang disepakati mulai September 2000. MDGs terdiri dari delapan butir tujuan untuk dicapai pada tahun 2015. Delapan butir tujuan MDGs adalah menanggulangi kemiskinan dan kelaparan, mencapai pendidikan dasar untuk semua, mendorong kesetaraan gender dan pemberdayaan perempuan, menurunkan angka kematian anak, meningkatkan kesehatan ibu, memerangi HIV/AIDS, malaria, dan penyakit menular

lainnya, memastikan kelestarian

lingkungan hidup, dan membangun kemitraan global untuk pembangunan (World Health Organization/WHO, 2000).

Pengendalian penyakit menular seperti TB merupakan salah satu indikator keberhasilan MDGs yang harus dicapai oleh Indonesia dan negara anggota PBB lainnya yang ditandai dengan penurunan angka kesakitan dan angka kematian TB menjadi setengahnya pada tahun 2015. TB masih merupakan masalah kesehatan penting di dunia dan di Indonesia (Tjandra, 2012 dalam Depkes, 2012). WHO melaporkan lebih dari 250.000 anak

terserang TB dengan angka kematian 100.000 anak tiap tahunnya. Biasanya anak penderita TB yang berisiko mengalami kematian adalah anak yang mengalami TB berat seperti TB milier, TB selaput otak (meningitis), TB usus, dan TB hati.

Data hasil Riskesdas pada tahun 2010, Indonesia menduduki urutan keempat jumlah penderita baru TB terbanyak di dunia (Balitbangkes, 2012). Jumlah kasus TB pada anak mencapai sekitar 10% dari jumlah kasus TB secara keseluruhan. Umumnya anak tertular TB dari orang dewasa yang terjangkit penyakit tersebut, sehingga jumlah penderita TB anak akan meningkat seiring bertambahnya penderita TB orang dewasa (Nastiti, 2012).

(3)

Selain itu anak juga membutuhkan asupan nutrisi yang adekuat untuk proses pertumbuhan dan perkembangan serta mempercepat proses penyembuhan dalam kondisi sakit. Keberhasilan makan sangat dipengaruhi secara emosional oleh ibu, sebagai orang yang paling bertanggung jawab, di samping faktor-faktor lain yaitu keluarga, budaya dan lingkungan sekitarnya (Arundito & Ismail, 2012).

Keberhasilan pengobatan TB paru juga didukung dengan pengawasan pengobatan yang baik, pemenuhan kebutuhan nutrisi yang adekuat, lingkungan rumah yang baik, pemenuhan kebutuhan aktivitas dan istirahat (Yuliana, 2007). Tingkat pengetahuan orang tua yang baik tentang TB paru juga merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi kesembuhan TB paru pada anak (Nuriyani, 2008). Orang tua juga perlu memahami bahwa sumber penularan penyakit TB paru pada anak adalah orang terdekat anak antara lain orang tuanya, orang serumah atau orang yang sering berkunjung dan

sering berinteraksi langsung

(Yulistyaningrum & Rejeki, 2010). Penelitian yang dilakukan oleh Suandi dkk (2012) menjelaskan bahwa stigma yang rendah terhadap penyakit TB diperlukan bagi orang tua yang memiliki anak dengan penyakit TB untuk proses penyembuhan anak dengan TB dan penelitian yang

dilakukan oleh Yuliana (2007) menjelaskan bahwa semakin baik pola perawatan ibu pada anak TB paru primer maka semakin cepat proses penyembuhannya.

Data Riskesdas 2010 menunjukkan bahwa DKI Jakarta termasuk kedalam provinsi kelima dengan angka prevalensi tertinggi TB. Kasus TB di wilayah Jakarta Timur merupakan kasus tertinggi di Jakarta. Sejak Januari hingga Juni 2007, Dinas Kesehatan mencatat ada 3.299 kasus TB di Jakarta Timur dengan 688 kasus terjadi pada anak-anak (0-14 tahun) dan 2.611 kasus terjadi pada orang dewasa (www.tempo.com, 2007). Penelitian ini secara umum bertujuan untuk memperoleh gambaran tentang pengalaman ibu dalam merawat anak dengan TB paru.

METODE

Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif dengan metode fenomenologi deskriptif yang bertujuan untuk

memperoleh gambaran tentang

pengalaman ibu yang merawat anak dengan TB paru. Partisipan dalam penelitian ini dipilih berdasarkan kemampuannya dalam menceritakan atau mengungkapkan fenomena kehidupan yang dialaminya (Speziale & Carpenter, 2003). Teknik pengambilan sampelnya

adalah purposive sampling yaitu

(4)

pertimbangan tertentu yang dibuat oleh peneliti sendiri dengan menetapkan kriteria sampel sebelumnya (Notoatmodjo, 2010).

Adapun kriteria dari partisipan adalah: ibu

yang secara langsung merawat anaknya yang mengalami TB paru, dengan usia anak balita, ibu yang telah merawat anaknya yang mengalami TB paru setelah pelaksanaan pengobatan TB minimal 1

bulan, mampu menceritakan

pengalamannya dalam merawat anak dengan TB paru, mampu berbahasa Indonesia dengan baik, kooperatif dan bersedia terlibat dalam penelitian secara

penuh dengan menandatangani inform

consent. Peneliti melakukan pengumpulan data sebanyak 6 partisipan karena sudah mencapai saturasi.

Penelitian dilakukan di masyarakat wilayah kerja Sudinkes Jakarta Timur. Pemilihan lokasi penelitian berdasarkan

purposive peneliti. Pengambilan data awal dilakukan di salah satu poli anak rumah sakit di wilayah Jakarta Timur yang menjadi salah satu rumah sakit rujukan bagi penderita TB paru anak, kemudian peneliti melakukan kunjungan rumah sesuai hasil kesepakatan dengan partisipan. Waktu penelitian dilaksanakan sejak bulan Juli 2013 sampai dengan Desember 2013. Instrumen dalam penelitian kualitatif adalah peneliti sendiri. Peneliti melakukan wawancara mendalam dengan partisipan

dan melakukan catatan lapangan saat pengumpulan data. Alat bantu saat pengumpulan data adalah pedoman

wawancara, catatan lapangan, handycame

dan handphone.

Triangulasi pada hakikatnya merupakan pendekatan multimetode yang dilakukan peneliti saat mengumpulkan dan menganalisis data (Rahardjo, 2010). Peneliti dalam melakukan penelitian ini menggunakan triangulasi metode dengan wawancara dan observasi, triangulasi antar-peneliti dengan bersama-sama tim dalam melakukan pengumpulan data dan triangulasi sumber data dengan melihat dokumen terkait rutinitas partisipan membawa anaknya ke rumah sakit untuk kontrol berobat setiap bulannya.

Setiap kali setelah selesai wawancara kepada partisipan, peneliti membuat transkrip wawancara hingga menjadi hasil wawancara (verbatim). Pengolahan data dilakukan dengan cara menganalisis data menggunakan metode Colaizzi. Keabsahan data penelitian kualitatif meliputi

credibility, dependability, confirmability

dan transferability (Polit & Beck, 2008). Peneliti melakukan penelitian setelah surat

ijin penelitian dan ethical clearance

didapat.

(5)

Semua partisipan dalam penelitian ini adalah ibu yang merawat anak dengan TB paru, berjumlah 6 orang. Usia partisipan sekitar 30-42 tahun. Pendidikan terbanyak adalah SMP, pekerjaan partisipan terbanyak adalah ibu rumah tangga dan status partisipan terbanyak adalah menikah. Usia anak antara 1 tahun 7 bulan sampai 4 tahun 9 bulan. Jenis kelamin anak 3 laki-laki dan 3 perempuan. Status gizi baik dan hanya satu yang status gizinya kurang. Semua anak telah mendapatkan imunisasi BCG. Dua anak mempunyai riwayat kontak dengan pasien TB dewasa. Saat ini, hanya satu anak yang pernah minum obat TB hanya 2 minggu saat usia 8 bulan. Lingkungan rumah semua partisipan di lingkungan pemukiman padat.

Tema-tema yang telah teridentifikasi dalam penelitian ini terdapat 7 tema yaitu: pemahaman tentang penyakit TB paru, perawatan yang telah dilakukan ibu, kebutuhan yang diperlukan, sumber pendukung, hambatan yang ditemui, cara penyelesaian hambatan yang ada dan dampak penyakit terhadap pertumbuhan dan perkembangan anak.

Pemahaman tentang penyakit TB paru terdapat pada tema 1. Pengetahuan tentang penyakit TB diperlukan sebagai dasar dalam melakukan perawatan pada anak dengan TB paru. Pengetahuan yang

dimiliki ibu tentang penyakit TB paru dapat dijadikan data bahwa ibu memahami tentang penyakit paru dengan benar. Pemahaman tentang penyakit TB paru meliputi: pengertian, penyebab, tanda dan gejala, cara penularan, cara pengobatan, dan sumber informasi.

Sebagian besar partisipan mengetahui anaknya mengalami penyakit TB paru setelah anak berobat atau dirawat di klinik atau rumah sakit (RS). Sebagian partisipan pada awalnya tidak memahami tentang penyakit TB paru.

“… Saya awalnya ngak tahu apa itu penyakit Tebe. Apa dari keturunan, saya juga ngak tahu. Apa dari lingkungan saya juga ngak tahu. Setelah ada penjelasan di RS, penyakit Tebe dari kuman atau bakteri Tebe dan harus berobat sampai 1 tahun aku baru tahu…” (P1).

Sebagian partisipan memahami penyebab penyakit TB paru.

“…Penyebab anaknya menderita TB paru karena terkena kuman…” (P5 dan P6).

Semua partisipan mampu menyebutkan tanda dan gejala penyakit TB paru terutama yang sering terjadi pada anaknya saat mengalami sakit.

(6)

Sebagian besar partisipan memahami cara penularan penyakit TB paru.

“…Penyakit paru dapat menular karena batuk orang yang kena paru…” (P2 dan P4).

Semua partisipan memahami cara pengobatan penyakit TB paru.

“…Berobat sampai sekitar 1 tahun, tapi nanti akan dirontgen lagi setelah 6 bulan. Ternyata setelah pengobatan 6 bulan anak saya kata dokter hasilnya bagus dan sudah bersih jadi tidak perlu minum obat TB lagi cukup sampai 6 bulan…” (P1).

Semua partisipan mendapatkan informasi tentang penyakit TB paru dari berbagai sumber antara lain: petugas kesehatan, keluarga, tetangga, media cetak dan media elektronik.

“…Dari dokter dan suster di RS, dari tetangga, dari petugas PKM, dari baca, dari nonton TV…” (P4 dan P5).

Salah satu strategi penanggulangan TB nasional adalah mencapai paradigma sehat melalui peningkatan upaya promosi kesehatan dengan meningkatkan penyuluhan kesehatan dalam rangka meningkatkan pemahaman masyarakat tentang penyakit TB paru (Depkes RI, 2002). Pemahaman yang baik tentang penyakit TB paru diperlukan khususnya bagi keluarga yang merawat anggota keluarganya dengan TB paru. Keluarga

yang sangat berperan pada perawatan anak dengan TB paru adalah orang tua khususnya ibu.

Partisipan lebih banyak menyebutkan tentang penyebab penyakit TB paru dan partisipan ada yang menyebutkan persamaan penyakit TB paru yaitu flek pada paru. Tidak ada partisipan yang menyebutkan bahwa penyakit TB paru adalah penyakit infeksi yang disebabkan

oleh mycobacterium tuberculosis yang

biasanya menyerang paru-paru (WHO, 2011) ataupun penyakit menular langsung yang disebabkan oleh kuman TBC (mycobacterium tuberculosis) (Depkes RI, 2002).

Karakteristik partisipan sebagian besar berpendidikan SMP sebanyak 3 orang dan SD sebanyak 2 orang. Menurut Notoadmodjo (2010) pendidikan dapat mempengaruhi seseorang pada umumnya, semakin tinggi pendidikan seseorang, semakin mudah menerima informasi dan sebaliknya semakin rendah tingkat pendidikan seseorang semakin sulit untuk menerima informasi. Tingkat pengetahuan orang tua yang baik tentang TB paru juga merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi kesembuhan TB paru pada anak (Nuriyani, 2008).

(7)

faktor risiko terinfeksi penyakit TB paru. Satu partisipan dapat menjawab bahwa penyebab penyakit TB adalah dari kuman atau bakteri TB, sedangkan partisipan yang lain lebih banyak menjawab tentang faktor risiko terinfeksi penyakit TB paru yaitu karena lingkungan yang lembab, kuman dari pakaian kotor, asap pabrik dan sirkulasi rumah yang pengap.

Semua partisipan mampu

menyebutkan tanda dan gejala penyakit TB paru terutama yang sering terjadi pada anaknya saat mengalami sakit yaitu batuk yang sering, panas, sesak, muntah dan berat badan yang menurun. Hal ini disebabkan karena partisipan mengingat tanda dan gejala yang sering dialami oleh anaknya. Proses mengingat adalah kemampuan untuk menerima, menyimpan dan memproduksikan kesan-kesan (Notoatmodjo, 2010).

Sebagian partisipan memahami cara penularan penyakit TB paru yaitu dari batuk orang yang menderita penyakit paru. Saat batuk, penderita TB menyebarkan kuman ke udara dalam bentuk droplet. Droplet yang mengandung kuman dapat bertahan di udara pada suhu kamar selama beberapa jam. Orang lain dapat terinfeksi apabila menghirup droplet tersebut dan masuk kedalam saluran pernafasan (Depkes RI, 2002). Ada dua partisipan yang anaknya menderita TB paru karena

ada riwayat kontak dengan penderita TB yaitu suami partisipan dan tetangga partisipan yang kontak sering dengan anak. Partisipan yang lainnya tidak mengetahui anaknya menderita TB paru karena tertular dari siapa. Faktor risiko dimungkinkan karena tempat tinggal partisipan di lingkungan perumahan padat, sempit, dan kurang terawat. Kondisi tersebut sesuai dengan hasil penelitian Yulistiyaningrum dan Rejeki (2010) yang menjelaskan bahwa anak yang kontak dengan penderita TB paru 6 kali lebih besar tertular TB paru dibandingkan dengan anak yang tidak pernah kontak dengan penderita TB paru.

(8)

Kepatuhan pemberian obat pada anak sangat bergantung pada orang terdekat yang mengasuh anak atau keluarga yang mendampingi anak. Hal ini sejalan dengan penelitian Hutapea, 2006 (dalam Rotua 2011) yang menjelaskan bahwa dukungan keluarga dapat meningkatkan kepatuhan minum obat TB. Semua anak dapat minum obat secara teratur dan tidak pernah lupa, hal ini didukung oleh orang tua terutama ibu yang setiap pagi setelah anak bangun tidur diberikan obat TB dan ketersediaan obat obat dalam bentuk KDT. Keberhasilan pengobatan TB paru juga didukung dengan pengawasan pengobatan yang baik, pemenuhan kebutuhan nutrisi yang adekuat, lingkungan rumah yang baik dan pemenuhan kebutuhan aktivitas dan istirahat (Yuliana, 2007).

Semua partisipan mendapatkan informasi tentang penyakit TB paru dari berbagai sumber antara lain: petugas kesehatan, keluarga, tetangga, media cetak dan media elektronik. Petugas kesehatan sangat berperan dalam pemberian informasi terkait pemahaman individu tentang penyakit yang dialami atau diderita oleh keluarga (Notoatmodjo, 2010). Informasi juga tersedia di lingkungan sekitar baik berbentuk media cetak maupun elektronik.

Tema 2 tentang perawatan anak yang telah dilakukan ibu. Sebagian besar

partisipan memberikan obat TB pada pagi hari setelah bangun tidur. Obat diberikan dengan cara dihaluskan dan diberi air sedikit baru diminumkan ke anak. Saat pemberian obat, anak sambil digendong, dipangku atau duduk. Saat pemberian 1-2 bulan pertama pemberian obat agak lebih sulit, anak rewel dan dimuntahkan, sehingga anak sedikit dipaksa saat pemberian obat. Apabila dimuntahkan pemberian obat diulang lagi. Namun setelah lebih dari 2 bulan pemberian obat lebih mudah dan anak lebih sering mengingatkan atau meminta. Pemberian obat setiap hari dan tidak lupa. Setelah minum obat, pemberian makan atau minum dilakukan setengah sampai satu jam kemudian.

(9)

Sebagian besar partisipan dapat menyiapkan dan memberikan makan sehari tiga kali. Menu makan bervariasi terdiri dari nasi, lauk, buah dan susu. Makanan selingan yang diberikan antara lain roti, biskuit dan kue-kue. Jajanan sembarangan tidak dilakukan dan makanan seperti ciki atau beli es sudah dihindari. Ada dua partisipan yang masih memberikan ASI. Keluhan sebagian besar partisipan anak makannya hanya sedikit dan susah makan. Ada juga partisipan yang berasumsi bahwa anak tidak boleh makan malam karena dapat menyebabkan cacingan.

“…Anaknya pagi biasanya makan bubur, sekitar 8 sendok. Ngemil pisang. Makan susah. Makan siang nasi sayur, lauknya senang ikan, sosis, telor, atau ayam kalo uangnya ada. Makan sore juga sama. Kalo malam tidak makan paling ngemil. Kata orang kalo anak kecil makan malam takut cacingan kata orang-orang. Anak suka makan sayur dan ngemil biskuit. Ciki dan es tidak dikasih takut batuk paling air es dari kulkas. Anak masih mendapat ASI. ASI masih banyak. Anak tiap hari minum susu kotak biasanya 3 kali tiap hari…” (P6).

Sebagian besar partisipan memahami tentang pola hidup sehat antara lain anak tidur siang, bermain tidak kecapean, tidur malam yang cukup, menjauhi anak dari orang yang sedang batuk, tidak makan dan

minum secara bersama-sama dan keluarga tidak merokok di dalam rumah.

“…Anaknya tidur siang 1 jam. Kalo tidur malam mulai jam 9 dan bangun jam 8 pagi. Kalo ada yang batuk jangan dekat-dekat dengan orang itu… (P2).

Sebagian besar partisipan membawa anaknya berobat bila sakit. Tempat berobat antara lain klinik, PKM dan RS.

“…Kalo anak sakit langsung berobat. Berobatnya ke PKM dulu baru dirujuk ke

RSY…” (P2 dan P6).

(10)

“…Kalo jendela rumah memang tidak bisa dibuka, jadi yang dibuka pintu supaya ada sirkulasi karena rumahnya dempet-dempet disini. Kalo didalam rumah sinar matahari langsung masuk lewat genteng transparan, walaupun genteng transparannya tidak banyak. Kalo rumah setiap hari disapu pagi sore. Kalo ngepel hanya sekali sehari. Ngepelnya pakai karbol. Lap-lap tidak rutin. Kasur jarang dijemur tidak ada tempatnya. Kalo anaknya batuk juga ngak buang dahak sembarangan. Anak-anak saya tidak jorok…” (P1).

Sebagian partisipan tidak mengetahui darimana anaknya menderita TB paru dan sebagian lagi mengetahui asal anaknya menderita TB paru.

“…Dirumah dan sekitarnya tidak ada yang sedang menjalani pengobatan TB…” (P1 dan P2).

Pemberian obat yang telah dilakukan partisipan tekait dengan usia partisipan yang cukup matang dan dewasa dalam memberikan obat disertai dengan pengalaman merawat anak yang perlu diberikan obat. Pemberian obat dilakukan dengan berbagai cara sambil digendong, dipangku sambil dibujuk. Kesulitan yang dialami partisipan terutama 1-2 bulan pemberian setelah itu partisipan lebih mudah dalam memberikan obat bahkan anak meminta atau mengingatkan bila ibu belum memberikan obat. Kondisi tersebut sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Yuliana (2007) yang menjelaskan

bahwa keberhasilan pengobatan TB paru

juga didukung dengan

pengawasan/pemberian pengobatan yang baik. Terkait dengan satu partisipan yang memberikan makanan atau minuman setelah pemberian obat harus diubah, karena diupayakan pemberian obat TB yang baik dalam kondisi perut kosong dan pemberian makanan dan minuman sebaiknya setelah 1 jam pemberian obat.

Sebagian besar partisipan dapat menyiapkan dan memberikan makan sehari tiga kali. Menu makan bervariasi terdiri dari nasi, lauk, buah dan susu. Makanan selingan yang diberikan antara lain roti, biskuit dan kue-kue. Jajanan sembarangan tidak dilakukan dan makanan seperti ciki atau beli es sudah dihindari. Ada dua partisipan yang masih memberikan ASI. Keluhan sebagian besar partisipan adalah anak mengalami susah makan dan sedikit intakenya.

Sebagian besar partisipan

(11)

menyebabkan lemahnya daya tahan tubuh terhadap penyakit. Tingkat pengetahuan orang tua yang baik tentang TB paru juga merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi kesembuhan TB paru pada anak (Nuriyani, 2008).

Terkait pemahaman satu orang partisipan yang harus diubah tentang pemberian makan malam yang dihindari pada anak karena akan menyebabkan cacingan merupakan salah satu contoh pemahaman partisipan yang salah tentang pemberian makan pada anak yang berdampak intake nutrisi yang dibutuhkan anak kurang.

Sebagian besar partisipan memahami tentang pola hidup sehat antara lain anak tidur siang, bermain tidak kecapean, tidur malam yang cukup, menjauhi anak dari orang yang sedang batuk, tidak makan dan minum secara bersama-sama dan keluarga tidak merokok di dalam rumah. Hal ini juga sejalan dengan penelitian Yuliana (2007) yang menjelaskan bahwa keberhasilan pengobatan TB paru juga didukung dengan pemenuhan kebutuhan aktivitas dan istirahat.

Sebagian besar partisipan membawa anaknya berobat bila sakit. Tempat berobat antara lain klinik, Puskesmas dan RS. Tindakan yang dilakukan oleh partisipan adalah tindakan yang tepat dan tindakan pencegahan terhadap penyakit TB sudah

dilakukan oleh semua partisipan yaitu pemberian imunisasi BCG pada anak saat bayi. Sesudah pemberian vaksin, TB masih dapat memasuki tubuh. Meskipun demikian dengan pertahanan tubuh yang meningkat akan mengendalikan atau membunuh kuman TB. Efektivitas imunisasi BCG untuk dapat mencegah penyakit TB juga ditentukan antara lain oleh keadaan gizi anak.

Sebagian besar partisipan mengakui lingkungan rumahnya padat dan sempit sehingga terlihat berantakan. Ada partisipan yang mengakui rumahnya belum dibersihkan saat peneliti datang. Tingkat pendapatan yang rendah atau kemiskinan mengarah pada perumahan yang terlampau padat. Keadaan padatnya hunian meningkatkan risiko penularan penyakit (Yulistyaningrum dan Rejeki, 2010).

(12)

orang tuanya, orang serumah atau orang yang sering berkunjung dan sering berinteraksi langsung.

Tema 3 adalah kebutuhan yang diperlukan. Kebutuhan utama dalam merawat anak adalah obat TB. Obat TB diberikan secara gratis dengan proses administrasi yang sesuai, namun kebutuhan lain terutama kebutuhan mencukupi kebutuhan primer keluarga adalah kebutuhan lain yang harus tersedia.

“…Karena di RS X tidak dapat lagi berobat gratis saya urus KJS agar dapat berobat gratis di RS Y. Surat pengantar dari RT dan mengurus ke PKM Kelurahan, sehingga pengobatan TB paru anaknya selalu gratis. Kebutuhan lainnya adalah susu yang memang memerlukan biaya yang banyak…” (P1).

Semua partisipan dapat mengurus proses administrasi yang sesuai, sehingga semua anak mendapatkan pengobatan TB secara gratis setiap bulannya. Hal ini sangat membantu semua partisipan karena pengobatan TB berlangsung lama minimal 6 bulan. Hal ini sejalan dengan kebijakan pemerintah yang menyatakan bahwa OAT untuk penanggulangan TBC nasional diberikan kepada penderita secara cuma-cuma dan dijamin ketersediannya (Depkes RI, 2002).

Semua partisipan mengatakan bahwa untuk kebutuhan hidup sehari-hari dicukup-cukupin, diirit-irit pengeluaran

dengan harapan semua dapat berjalan dengan baik. Tema 4 adalah tentang sumber pendukung. Sumber pendukung yang dibutuhkan partisipan adalah keluarga, tetangga sekitar, dan pihak PKM.

“…Penghasilan suami dari menjahit dan berdagang. Ibu tidak bercerita kesusahan kepada keluarga yang lain dan hanya memberitahukan bahwa anaknya sakit. Pihak PKM juga membantu dalam surat rujukan sehingga gratis dalam pengobatan…” (P2).

Keluarga sangat membantu dalam merawat anak dengan TB paru. Keluarga yang turut mendukung antara lain orang tua, mertua dan suami. Dukungan yang diberikan adalah dukungan materi ataupun support agar proses penyembuhan anak berjalan dengan baik dan tepat waktu. Tetangga sekitar juga sangat membantu baik moril maupun materil. Tetangga sekitar mengetahui anaknya menderita TB paru dan tidak merasa dikucilkan dalam berkehidupan bertetangga.

(13)

penyembuhan anak. Pihak Puskesmas sangat mendukung terutama terkait dengan proses rujukan ke RS yang diperlukan semua partisipan agar mendapatkan pengobatan TB secara gratis.

Tema 5 tentang hambatan yang ditemui selama merawat anak. Sebagian partisipan mengungkapkan bahwa bukan hambatan yang berarti selama merawat anak dengan TB paru, namun lebih kearah kesabaran saat memberikan obat setiap hari terutama pada awal pemberian pengobatan dan waktu yang lama dalam minum obat. Kesabaran saat anak susah dan sedikit makannya. Kebersihan lingkungan rumah yang terabaikan. Hal ini dapat dilihat dari pernyataan partisipan sebagai berikut:

“…Bukan hambatan, cuma suka kasian saat anak minum obat yang lama. Tapi saya harus tetap memberikan karena harus sampai selesai. Merasa bosan sih tidak dan tetap semangat supaya anak tetap sembuh. Anaknya makannya hanya sedikit. Suka nangis kalo liat anak mau minum obat…” Kalo ngepel hanya sekali sehari. Ngepelnya pakai karbol. Lap-lap tidak rutin…” (P1).

Semua anak dalam penelitian ini dalam rentang usia balita. Adapun kesulitan makan pada anak balita usia 1-5 tahun berupa kurangnya nafsu makan semakin meningkat berkaitan denngan semakin meningkatnya interaksi dengan lingkungan

dan anak lebih mudah terkena penyakit terutama penyakit infeksi akut maupun kronis. Menurut Ramsay (2004) dalam Arundito dan Ismail (2012) kesulitan pemberian makan adalah salah satu gangguan perkembangan paling sering pada anak kecil dan bayi yang berdampak pada pertumbuhan yang buruk. Adapun faktor utama yang mempengaruhi nafsu makan anak adalah lingkungan keluarga, media masa, tekanan yang diterima anak dan penyakit. Pemberian pengobatan diperlukan kesabaran dan cara pemberian yang benar karena anak dapat bersifat menolak, memuntahkan, atau terjadi aspirasi (Hockenberry, 2007).

Kebersihan lingkungan rumah diketahui partisipan sebagai suatu hal yang diperlukan untuk meningkatkan kesehatan keluarga namun motivasi ibu yang terkadang masih memprioritaskan pengobatan dan pemberian makan dan

sedikit mengabaikan kebersihan

lingkungan tempat tinggal dengan alasan rumah sempit sehingga selalu berantakan.

(14)

saat anak susah atau sedikit makannya dengan memberikan makanan lebih telaten lagi. Menjaga kebersihan rumah.

“…Obat harus tetap diberikan. Pemberian hati-hati agar tidak tumpah dan sedikit-sedikit agar obat bisa masuk semua. Akan lebih telaten lagi kalo memberi makan anak dan ASI tetap diberikan Rumah dipinggir jalan jadi banyak debu jalanan, membersihkannya harus lebih rutin...” (P2).

Kebersihan rumah akan diupayakan lebih rutin cara membersihkannya. Partisipan sebagian besar adalah ibu rumah tangga yang memiliki waktu lebih banyak dibandingkan dengan ibu-ibu yang bekerja di luar rumah. Ibu rumah tangga diharapkan dapat mengatur waktu antara merawat anak dengan baik dan membersihkan rumah.

Tema 7 adalah dampak penyakit TB paru terhadap pertumbuhan dan perkembangan anak. Sebagian besar anak pertumbuhannya dan perkembangannya normal. Kondisi anak mulai membaik setelah menjalani pengobatan TB lebih dari 1 bulan. Ada satu anak yang mengalami status gizi kurang dan berat badan menurun. Ada satu anak yang mengalami gibus.

“…Anak saya sudah bisa ngomong umi, abi, makan, minum, jajan. Anaknya tengkurap 3 bulan, duduk 6 bulan, jalan 12 bulan. Gigi penuh. Waktu 3 bulan

pengobatan anak saya lemes, setelah 6 bulan pengobatan sudah dapat jalan lagi. Anak kooperatif saat dilakukan pengukuran tinggi badan. Anak dapat menunjuk bagian tubuhnya. Anak dapat makan roti sendiri. Berat badan anaknya bulan yang lalu 9,5 kg. Berat badan saat ini ada kenaikan menjadi 10 kg. Anak dapat berjalan walau agak miring karena ada tonjolan di punggung …” (P3).

Status gizi kurang dipengaruhi juga dengan kondisi ekonomi yang sulit untuk menyiapkan makanan bergizi sehingga berdampak berat badan mengalami penurunan. Keberhasilan pengobatan TB paru juga didukung dengan pemenuhan kebutuhan nutrisi yang adekuat (Yuliana, 2007). Anak yang mengalami gibus karena ada proses putus obat akibat pemberian informasi yang kurang jelas dari petugas kesehatan dan keterbatasan orang tua dalam menerima informasi. Tingkat pengetahuan orang tua yang baik tentang TB paru juga merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi kesembuhan TB paru pada anak (Nuriyani, 2008).

SIMPULAN

(15)

dilakukan ibu, 3) kebutuhan yang diperlukan, 4) sumber pendukung, 5) hambatan yang ditemui, 6) cara penyelesaian hambatan yang ada dan 7) dampak penyakit terhadap pertumbuhan dan perkembangan anak.

Pemahaman tentang penyakit TB masih perlu ditingkatkan dan perawatan yang telah dilakukan ibu masih perlu ditingkatkan terkait cara pemberian OAT serta lingkungan rumah yang masih perlu dibersihkan. Kebutuhan yang diperlukan lebih kearah mencukupi kebutuhan primer keluarga karena pendapatan keluarga yang rendah. Sumber pendukung yang dibutuhkan partisipan adalah keluarga, tetangga dan petugas Puskesmas. Hambatan yang ditemui partisipan terutama saat memberikan pengobatan TB saat 1-2 bulan pertama pengobatan dan saat memberikan makan dan menjaga kebersihan rumah. Cara penyelesaian hambatan yang ada dengan lebih sabar dan lebih telaten saat memberikan obat dan makanan serta meningkatkan kebersihan lingkungan rumah. Dampak penyakit terhadap pertumbuhan dan perkembangan anak, setelah pengobatan TB lebih dari 1 bulan kondisi kesehatan anak membaik. Ada satu anak yang mengalami status gizi kurang karena kemampuan keluarga dalam menyiapkan menu seimbang anak kurang optimal terkait status ekonomi keluarga

yang kurang dan satu anak yang mengalami gibus karena riwayat putus obat TB.

Implikasi dari penelitian ini

diharapkan dapat menjadi dasar dalam

meningkatkan keberhasilan program pemerintah untuk mengurangi angka penyakit TB paru pada anak dengan lebih mensosialisasikan cara pencegahan penularan penyakit TB dan merawat anak

dengan TB secara optimal. Tenaga

kesehatan khususnya perawat anak dapat lebih berperan sebagai edukator terkait penyakit TB terhadap masyarakat sebagai salah satu upaya dalam menurunkan angka penyakit TB pada anak.

DAFTAR RUJUKAN

Arundito, B.W. & Ismail, D. 2012.

Hubungan antara Pola Pemberian Makan Anak dengan Nafsu Makan Anak. www.publikasi.umy.ac.id. Diakses tanggal 20 Mei 2013.

Depkes RI. 2002. Pedoman Nasional

Penanggulangan Tuberkulosis. Cetakan ke-8. Jakarta: Depkes. RI.

Depkes RI. 2010. Pengendalian

Tuberkulosis Salah Satu Indikator Keberhasilan Pencapaian MDGs.

www.depkes.go.id. Diakses tanggal 20 Desember 2012.

Hockenberry, M.J. & Wilson, D. 2007.

Wong’s Nursing Care of Infants and Children. 8 th ed. St. Louis: Mosby

(16)

Judarwanto, W. 2012. Penanganan Terkini Tuberkulosis atau TB pada Anak.

www.childrengroup.wordpress.com. Diakses tanggal 20 Desember 2012.

Nastiti. 2012. Awas! TB pada Anak

‘Lamban’, tapi Mematikan.

www.gayahidupinilah.com. Diakses tanggal 20 Desember 2012.

Notoatmodjo, S. 2010. Konsep Perilaku Diakses tanggal 20 Desember 2012.

Polit, D.F. & Beck, C.T. 2008. Nursing Research: Generating and Assessing Evidence for Nursing Practice. 8 th ed.

Philadelphia: Wolters Klumer.

Rahajoe, N.N., Supriyatno, B. & Setyanto,

D.B. 2008. Buku Ajar: Respirologi

Anak. Edisi pertama. Jakarta: IDAI.

---. 2010. Riskesdas 2010.

www.litbang.depkes.go.id. Diakses tanggal 20 Mei 2013.

2011. Gambaran Perilaku Ibu dalam

Merawat Anak dengan Tuberkulosis

Paru. www.repository.unri.ac.id. Diakses tanggal 20 Mei 2012.

Suandi, D., Rakhmawati, W., Yuyun, S. &

Laorensia, S. 2012. Stigma Orang Tua

terhadap Tuberkulosis di Balai Besar Kesehatan Paru (BBPKM) Bandung.

www.unpad.ac.id.

Speziale, H.J.S. & Carpenter, D.R. 2003.

Qualitative research in nursing: Advancing the humanistic imperative,

3 nd Ed. Philadelphia: Lippincott

Williams & Wilkins.

---. 2007. TB Tertinggi di Jakarta

Timur. www.tempo.com. Diakses tanggal 20 Desember 2012.

WHO. 2009. Buku Saku Pelayanan

Kesehatan Anak di Rumah Sakit Pedoman bagi Rumah Sakit Rujukan Tingkat Pertama di Kabupaten/Kota. Jakarta: WHO.

WHO. 2011. Tuberculosis. www.who.int.

Diakses tanggal 20 Desember 2012.

Referensi

Dokumen terkait

IRT memiliki banyak waktu dirumah sehingga banyak pula waktu yang dimiliki untuk mengawasi dan memperhatikan balitanya, khususnya sikap dalam mengatasi kejang demam, sehingga

Kesadaran Merek (Brand Awareness) adalah kemampuan pelanggan untuk mengenali atau mengingat kembali sebuah merek dan mengaitkannya dengan suatu kategori

Sample criteria are: men and women between the ages of 17-50 years; having a temporomandibular joint disorder complaint based on Research Diagnostic criteria of

[r]

Alhamdulillah puji syukur atas kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat, hidayah, serta inayah-Nya kepada penulis, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi

Surabaya : Fakultas Ilmu Pendidikan Jurusan Bahasa dan Seni Katholik Widya Mandala. Skills And Keguruan dan

bahwa berdasarkan ketentuan Pasal 5 Peraturan Daerah Kabupaten Bantul Nomor 01 Tahun 2011 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) Kabupaten Bantul Tahun

Misalnya seorang yang mendapatkan ide membuat ilustrasi mengenai lengkuk tubuh manusia adalah murni sebuah ide, … tidak ada nilai baik ataupun buruk dalam ide tersebut, kecuali