• Tidak ada hasil yang ditemukan

EVALUASI KESUKSESAN SISTEM E PROCUREMENT

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "EVALUASI KESUKSESAN SISTEM E PROCUREMENT"

Copied!
103
0
0

Teks penuh

(1)

i

EVALUASI KESUKSESAN

SISTEM

E-PROCUREMENT

KEMENTERIAN KEUANGAN

DENGAN PENDEKATAN

D&M IS SUCCESS MODEL

Disusun oleh :

Nama Peneliti I : Tenry Nur Amriani

Nama Peneliti II : Azwar

BADAN PENDIDIKAN DAN PELATIHAN KEUANGAN BALAI PENDIDIKAN DAN PELATIHAN KEUANGAN MAKASSAR

(2)

ii

Information System (IS) Success Model. Sumber data yang digunakan dalam penelitian ini berasal dari data primer dan data sekunder. Data primer berupa data yang diperoleh langsung dari responden melalui kuesioner yang dibagikan. Sedangkan data sekunder adalah data yang diperoleh dan disajikan oleh pihak-pihak lainnya seperti Pusat LPSE, Komisi Pemberatasan Korupsi (KPK), Sekretariat Jenderal Kementerian Keuangan dan lainnya. Dengan teknik simple random sampling dan pendekatan kuantitatif Pemodelan Persamaan Struktural atau

Structural Equation Modelling (SEM) berbasis komponen atau varian dengan Partial Least Square (PLS), penelitian ini menguji pengaruh indikator pengukuran kesuksesan penerapan sistem teknologi informasi e-procurement berdasarkan model DeLone dan McLean (1992). Model ini menggunakan enam variabel pengukuran yaitu kualitas sistem (system quality), kualitas informasi (information quality), kepuasan pemakai (user satisfaction), penggunaan sistem (use), dampak individu (individual impact) dan dampak organisasi (organizational impact).

Penelitian membuktikan secara empiris bahwa implementasi sistem e-procurement

di lingkungan Kementerian telah berjalan sukses di seluruh kriteria pengukuran sesuai model kesuksesan DeLone dan McLean (1992).Penerapan sistem informasi berbasis teknologi informasi dapat dikembangkan untuk sistem-sistem yang lain di Kementerian Keuangan maupun di Kementerian/Lembaga lain dengan menggunakan sistem yang yang kuat baik dari sisi proses maupun teknologi yang mendukungnya seperti hardware dan software yang handal. Upaya peningkatan, penguatan dan perluasan penerapan e-procurement adalah sejalan dengan isu transformasi kelembagaan di Kementerian Keuangan berupa peningkatan investasi dan kerangka kerja kebijakan serta legal yang kondusif untuk teknologi informasi di Kementerian Keuangan. Dengan demikian, penyempurnaan sistem yang terus menerus yang merespon perkembangan teknologi dan kebutuhan pengguna akan meningkatkan kinerja Kementerian Keuangan dengan percepatan yang lebih tinggi.

(3)

iii

and secondary data with quantitative approach of Structural Equation Modelling (SEM) based on Partial Least Square (PLS)’s component or variance, this research examine the effect of success indicators measurement on implementation of e-procurement system based on Delone and McLean (1992) model. This model use six variables such as system quality, information quality, user satisfaction, use,

individual impact and organizational impact. This research showed empirically that the e-procurement system currently implementated by Ministry of Finance already running successfully based on all Delone and McLean’s success measurement criterias.

(4)

iv

penulis dapat menyelesaikan penelitian dan kajian akademis yang berjudul

EVALUASI KESUKSESAN SISTEM E-PROCUREMENT KEMENTERIAN

KEUANGAN DENGAN PENDEKATAN D&M IS SUCCESS MODEL “. Kajian akademis ini bertujuan untuk mengembangkan ilmu dan pengetahuan di bidang

keuangan negara.

Selama penelitian dan penyusunan laporan penelitian dalam kajian

akademis ini, penulis tidak luput dari kendala. Kendala tersebut dapat diatasi

berkat adanya bantuan, bimbingan dan dukungan dari berbagai pihak. Oleh

karena itu, penulis ingin menyampaikan rasa terima kasih sebesar-besarnya

kepada :

1. Ibu Sumiyati, Ak.,M.F.M., selaku kepala Badan Pendidikan Pelatihan

Keuangan;

2. Bapak Drs. Tony Rooswiyanto, M.Sc. , selaku Plt. Sekretaris Badan

Pendidikan Pelatihan Keuangan;

3. Bapak Dr. H. Zahminan Zega,S.H., M.Pd. selaku Kepala Balai Diklat

Keuangan Makassar;

4. Bapak Parwanta, M.Si., Bapak Zaafri Ananto Husodo, Ph.D dan Ibu DR.

Tanti Novianti, S.P., M.Si., selaku Pembimbing dan Penguji Seminar Hasil

Kajian Akademis;

(5)

v penelitian ini.

Selain mengucapkan terima kasih kepada pihak-pihak yang telah

mendukung terselesaikannya penelitian ini, penulis juga memohon maaf atas

segala kesalahan dan kekurangan yang terdapat dalam penelitian ini. Saran dan

kritik yang dapat membangun penelitian ini akan sangat kami harapkan.

Penyusun

(6)

vi

ABSTRACT (ABSTRAK DALAM BAHASA INGGRIS) ... iii

KATA PENGANTAR ... iv

C. Ruang Lingkup Penelitian ... 8

D. Tujuan Penelitian ... 8

E. Manfaat Penelitian ... 9

F. Sistematika Penulisan ... 10

BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN PENGEMBANGAN HIPOTESIS A. Tinjauan Pustaka... 11

C. Variabel Penelitian dan Definisi Operasional ... 37

D. Metode Analisis Data ... 42

BAB IV ANALISIS DAN PEMBAHASAN A. Gambaran Umum Objek Penelitian ... 50

B. Gambaran Umum Responden ...51

C. Analisis Data ... 54

D. Pengujian Hipotesis dan Pembahasan………..…………65

(7)

vii

Tabel 2 Indikator Pengukuran Variabel Kualitas Sistem (System Quality)

Tabel 3 Indikator Pengukuran Variabel Penggunaan Sistem (Use)

Tabel 4 Indikator Pengukuran Variabel Kepuasan Pemakai (User Satisfaction)

Tabel 5 Indikator Pengukuran Variabel Dampak Individu (Individual Impact)

Tabel 6 Indikator Pengukuran Variabel Dampak Organisasi (Organizational Impact)

Tabel 7 Kriteria Penilaian PLS

Tabel 8 Gambaran Responden Berdasarkan Jenis Kelamin Tabel 9 Gambaran Responden Berdasarkan Pengalaman Tabel 10 Gambaran Responden Berdasarkan Pendidikan Tabel 11 Nilai Muatan (Loading) Indikator

Tabel 12 Nilai Muatan (Loading) Indikator Hasil Estimasi Ulang Tabel 13 Nilai Cross Loading Model 1

Tabel 14 Nilai Cross Loading Model 2 Tabel 15 Nilai AVE Konstruk

Tabel 16 Composite Reliability dan Cronbach Alpha

(8)

viii

Gambar 2 The updated DeLone and McLean’s 2003 Model Gambar 3 Model Penelitian Hussein et al. (2005)

Gambar 4 Model Kesuksesan KMS Gambar 5 Kerangka Pemikiran Gambar 6 Model 1 Penelitian Gambar 7 Model 2 Penelitian

(9)
(10)

1

A. Latar Belakang

Pengadaan barang/jasa pemerintah yang efektif dan efisien merupakan

salah satu bagian yang penting dalam perbaikan pengelolaan keuangan negara.

Salah satu perwujudannya adalah dengan pelaksanaan proses pengadaan

barang/jasapemerintah secara elektronik, yaitu dengan memanfaatkan fasilitas

teknologi komunikasi dan informasi. Proses pengadaan barang/jasa pemerintah

secara elektronik ini akan lebih meningkatkan dan menjamin terjadinya efisiensi,

efektifitas, transparansi dan akuntabilitas dalam belanja negara. Selain itu,

proses pengadaan barang/jasa pemerintah secara elektronik ini juga dapat lebih

menjamin tersedianya informasi, kesempatan usaha, serta mendorong terjadinya

persaingan yang sehat dan terwujudnya keadilan (non discriminative) bagi

seluruh pelaku usaha yang bergerak di bidang pengadaan barang/jasa

pemerintah.

Dalam rangka pelaksanaan pengadaan barang/jasa pemerintah secara

elektronik tersebut, Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah

(LKPP) kemudian mengembangkan sebuah aplikasi e-procurement bernama

Sistem Pengadaan Secara Elektronik (SPSE) untuk diterapkan pada

instansi-instansi pemerintah di seluruh Indonesia. Untuk mengoperasikan sistem

e-procurement yang telah dikembangkan tersebut, dibentuk sebuah unit Layanan

(11)

2 Sistem e-procurement di lingkungan Kementerian Keuangan yang telah

berjalan efektif sejak tahun 2010 ini telah berhasil mendorong terciptanya

penghematan anggaran rata-rata 10-20% setiap tahun (Pusat LPSE, 2013).

Sistem e-procurement juga terbukti dapat mendorong percepatan penyerapan

anggaran untuk pelaksanaan pembangunan (Pusat LPSE, 2012). Selain itu,

implementasi pengadaan barang/jasa pemerintah melalui sistem e-procurement

berhasil menekan atau mengurangi tingkat tindak pidana korupsi di seluruh

instansi pemerintah baik pusat maupun daerah. Hal ini berdasarkan Data

Pengaduan Masyarakat Tentang Pengadaan Barang/Jasa oleh Komisi

Pemberantasan Korupsi (KPK) yang menyebutkan jumlah pengaduan yang

mengandung indikasi Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN) yang ditindaklanjuti

oleh KPK pada tahun 2010 di mana implementasi sistem e-procurement mulai

dilaksanakan yang terus mengalami penurunan dengan trend yang sama hingga

tahun-tahun berikutnya (Pusat LPSE, 2012). Sejumlah keunggulan-keunggulan

sistem e-procurement ini menjadi faktor penting keberhasilan implementasi

sistem di setiap instansi pemerintah.

Mengingat bahwa SPSE adalah sebuah sistem pengadaan barang/jasa

berbasis sistem informasi maka pengelolaan sistem informasi secara efektif di

dalam organisasi publik menjadi sebuah hal yang sangat penting. Banyak

lembaga pemerintah saat ini mulai mengembangkan dan memberikan perhatian

khusus pada sistem informasi sebagai media yang memfasilitasi pengumpulan

dan penggunaan informasi secara efektif. Sistem informasi juga digunakan oleh

(12)

3 akan menggunakan sistem informasi untuk mengembangkan produk, jasa, dan

kemampuan yang akan memberikan keunggulan dalam pelayanannya.

Pengadopsian dan pengembangan sistem informasi merupakan investasi

yang mahal. Meskipun demikian, investasi yang mahal belum tentu mendapatkan

sistem yang berkualitas dan sesuai dengan apa yang diharapkan oleh

organisasi. Keberhasilan implementasi sistem informasi dipengaruhi oleh

berbagai faktor yang kompleks. Sedangkan kegagalan implementasi sistem

informasi, biasanya terjadi karena tidak kompatibelnya sistem dengan proses

bisnis dan informasi yang diperlukan organisasi (Janson dan Subramanian 1996;

Lucas et al. 1988). Robbins dalam Wiyono dkk. (2008) menyatakan bahwa hasil

survei yang dilakukan sebuah lembaga penelitian terhadap 232 responden di

Amerika Serikat atas implementasi Enterprise Resource Planning (ERP) pada

tempat mereka bekerja, menunjukkan bahwa 51% melihat implementasi ERP

tidak berhasil dan 46% lainnya merasa organisasi mereka tidak memahami

bagaimana menggunakan sistem untuk mengembangkan diri dalam menjalankan

bisnis.

Kegagalan-kegagalan dalam implementasi sebuah sistem informasi oleh

Jogiyanto (2007) dibedakan menjadi dua aspek. Pertama adalah aspek teknis,

yaitu aspek yang menyangkut sistem itu sendiri yang merupakan kualitas teknis

sistem informasi. Kualitas teknis yang buruk menyangkut masih banyaknya

kesalahan sintak, kesalahan logik dan bahkan

kesalahan-kesalahan informasi. Kedua adalah aspek non-teknis. Kegagalan non-teknis

berkaitan dengan persepsi pengguna sistem informasi yang menyebabkan

(13)

4 dikembangkan. Pengukuran kegagalan yang ditentukan berdasarkan persepsi

dari penggunanya memiliki kelebihan, yaitu secara alami mengintegrasikan

berbagai aspek. Hal ini menunjukkan bahwa masalah yang terjadi adalah lebih

pada aspek sumber daya manusia pengguna yang belum optimal dalam

implementasi sistem informasi. Aspek ini lebih menyangkut kepada perilaku para

pemakai sistem informasi tersebut.

Salah satu model yang populer yang banyak digunakan dalam meneliti

aspek perilaku dalam implementasi sebuah sistem informasi khususnya

implementasi di tingkat organisasi adalah model yang dikembangkan oleh

DeLone dan McLean (1992) yang dikenal dengan Model Kesuksesan Sistem

Informasi DeLone dan McLean (D&M IS Success Model). Model ini merefleksi

ketergantungan dari enam pengukuran kesuksesan sistem informasi, yakni :

kualitas sistem (system quality), kualitas informasi (information quality), kepuasan

pemakai (user statisfaction), penggunaan (use), dampak individu (individual

impact)dan dampak organisasi (organizational impact). Kemudian setelah itu,

dari kontribusi penelitian-penelitian sebelumnya dan akibat

perubahan-perubahan dari peran dan penanganan sistem informasi yang telah berkembang,

DeLone dan McLean (2003) memperbaharui modelnya dan menyebutnya

sebagai model kesuksesan sistem informasi Delone dan McLean yang telah

diperbarui (Updated D&M IS Success Model).

Meskipun sistem e-procurement telah berjalan secara masif di seluruh

lingkungan instansi pemerintah baik pusat maupun daerah, diakui bahwa

Perpres Nomor 70 Tahun 2012 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah

(14)

5 pemerintah sebelum diterbitkannya Perpres Nomor 4 Tahun 2015, tidak atau

belum mengatur secara eksplisit (gamblang) kewajiban pelaksanaan pengadaan

secara elektornik bagi Kementerian/Lembaga dan Pemerintah Daerah. Dalam

Perpres Nomor 70 Tahun 2012 masih disebutkan bahwa pengadaan barang/jasa

dapat dilakukan secara elektronik yang secara tersirat menunjukkan bahwa

pengadaan barang/jasa juga dapat dilakukan dengan manual atau non

e-procurement.

Hingga saat ini, masih ada panitia pengadaan/Unit Layanan Pengadaan

(ULP) Satuan Kerja Kementerian/Lembaga yang memilih untuk melelang paket

pekerjaan dengan manual atau non e-procurement. Hal ini dapat kita lihat pada

Sistem Pengadaan Secara Elektronik yang ada pada situs/website LPSE. Kita

masih dapat melihatnya pada menu pilihan “Cari Lelang Non E-Proc”. Jika kita

memilih menu pilihan tersebut ternyata masih ada paket pekerjaan yang

dilakukan dengan manual atau non e-procurement. Nilai Harga Perkiraan Sendiri

(HPS) paket-paket tersebut tidak hanya di bawah 200 juta tetapi bahkan hingga

milyaran rupiah.

Sifat mandatory atau kewajiban penggunaan sistem e-procurement ini

justru ada di perangkat aturan terkait lainnya yaitu pada Instruksi Presiden

(Inpres) Nomor 1 Tahun 2013 tentang Aksi Pencegahan dan Pemberantasan

Korupsi. Dalam butir 47 lampiran Inpres tersebut, secara tegas disebutkan

bahwa pelaksanaan pengadaan secara elektronik (e-procurement) wajib untuk

100% pengadaan di lingkup Kementerian/Lembaga dan Pemerintah Daerah.

Sebelumnya di tahun 2011, Presiden Republik Indonesia juga mengeluarkan

(15)

6 Korupsi yang salah satu isinya mewajibkan pelaksanaan pengadaan secara

elektronik (e-procurement) untuk 75% dari paket pelelangan/pengadaan dari

Kementerian/Lembaga dan 40% dari Pemerintah Daerah. Setelah itu, barulah

pada bulan Maret tahun 2015, Presiden mengeluarkan Peraturan Presiden

Nomor 4 Tahun 2015 yang mewajibkan pelaksanaan pengadaan barang/jasa

pemerintah dilakukan secara elektronik, sebagaimana tertuang pada pasal 106

ayat 1 Perpres tersebut (Azwar, 2014).

Oleh karena itu, kajian terkait perubahan ini penting dilakukan, mengingat

perubahan sistem pengadaan barang/jasa pemerintah dari manual ke

e-procurement memerlukan proses transisi. Sebuah organisasi perlu melihat

sejauh mana sebuah sistem baru dapat diterima dan berhasil berjalan dengan

baik sesuai yang diharapkan. Kajian ini perlu dilakukan untuk menganalisis

sejauh mana keberhasilan sistem e-procurement yang telah berjalan selama ini

berdasarkan sudut pandang pengguna (user) sebagai sistem yang bersifat

mandatory, sehingga dengan hasil pembuktian uji empiris model kesuksesan

sistem informasi ini diharapkan akan lahir rekomendasi kebijakan terhadap

implementasi Sistem Pengadaan Secara Elektronik (e-procurement) yang lebih

efektif di masa yang akan datang.

B. Rumusan Masalah

Penelitian ini mengunakan objek penelitian Sistem Pengadaan Secara

Elektronik(e-procurement) yaitu sistem pelelangan umum dalam rangka

memperoleh barang/jasa dengan menggunakan media elektronik berbasis web

(16)

7 Penelitian ini berusaha meneliti sejauh mana kesuksesan implementasi sistem

e-procurement di Kementerian Keuangan dan meneliti hubungan antar variabel

dengan pendekatan Model Kesuksesan Sistem Informasi DeLone dan McLean

(D&M IS Success Model). Secara rinci, rumusan masalah penelitian yang hendak

dijawab dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :

1. Bagaimana pengaruh kualitas informasi (information quality) terhadap

kepuasan pemakai (user satisfaction)?

2. Bagaimana pengaruh kualitas sistem (system quality) terhadap kepuasan

pemakai (user satisfaction)?

3. Bagaimana pengaruh kualitas informasi (information quality) terhadap

penggunaan sistem (use) ?

4. Bagaimana pengaruh kualitas sistem (system quality) terhadap penggunaan

sistem (use)?

5. Bagaimana pengaruh kepuasan pemakai (user satisfaction) terhadap

penggunaan sistem (use)?

6. Bagaimana pengaruh penggunaan sistem(use) terhadap kepuasan pemakai

(user satisfaction) ?

7. Bagaimana pengaruh penggunaan sistem (use) terhadap dampak individu

(individual impact)?

8. Bagaimana pengaruh kepuasan pemakai (user satisfaction) sistem

terhadap dampak individu (individual impact)?

9. Bagaimana pengaruh dampak individu (individual impact) terhadap dampak

(17)

8

C. Ruang Lingkup Penelitian

Lingkup penelitian ini hanya dibatasi pada implementasi atau penggunaan

Sistem Pengadaan Secara Elektronik(e-procurement) yaitu sistem pelelangan

umum pengadaan barang/jasa di lingkungan Kementerian Keuangan melalui

website : https://www.lpse.depkeu.go.id/eproc/.

D. Tujuan Penelitian

Tujuan umum penelitian ini adalah mengevaluasi sejauh mana

keberhasilan sistem e-procurement Kementerian Keuangan yang telah berjalan

selama ini berdasarkan sudut pandang pengguna (user) dengan menggunakan

pendekatan D&M IS Success Model. Sedangkan tujuan secara rinci dengan

mendasarkan pada alat pengukuran yang digunakan dalam D&M IS Success

Model adalah sebagai berikut :

1. Untuk menganalisis pengaruh kualitas informasi (information quality)

terhadap kepuasan pemakai (user satisfaction);

2. Untuk menganalisis pengaruh kualitas sistem (system quality) terhadap

kepuasan pemakai (user satisfaction);

3. Untuk menganalisis pengaruh kualitas informasi (information quality)

terhadap penggunaan sistem (use);

4. Untuk menganalisis pengaruh kualitas sistem (system quality) terhadap

penggunaan sistem (use);

5. Untuk menganalisis pengaruh kepuasan pemakai (user satisfaction)

(18)

9 6. Untuk menganalisis pengaruh penggunaan sistem (use) terhadap kepuasan

pemakai (user satisfaction);

7. Untuk menganalisis pengaruh penggunaan sistem (use) terhadap dampak

individu (individual impact);

8. Untuk menganalisis pengaruh kepuasan pemakai (user satisfaction) sistem

terhadap dampak individu (individual impact);

9. Untuk menganalisis pengaruh dampak individu (individual impact) terhadap

dampak organisasi (organizational impact)?

E. Manfaat Penelitian

Secara akademis, penelitian ini diharapkan dapat memberikan bukti

empiris tentang model kesuksesan sistem informasi berupa Sistem Pengadaan

Secara Elektronik (e-procurement) yang diterapkan di lingkungan Kementerian

Keuangan. Penelitian ini juga diharapkan dapat menambah referensi penelitian

dalam bidang sistem informasi public, khususnya dalam pengembangan model

kesuksesan sistem informasi DeLone dan McLean, sehingga dapat digunakan

sebagai bahan penelitian berikutnya.

Secara praktis, hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan umpan

balik dalam rangka meningkatkan dan menjamin tercapainya efisiensi, efektifitas,

transparansi dan akuntabilitas dalam pengadaan barang/jasa pemerintah

khususnya pada Kementerian Keuangan sebagai pengguna sistem informasi.

Dengan penelitian ini juga diharapkan dapat diketahui faktor-faktor yang menjadi

penyebab keberhasilan implementasi sebuah sistem informasi, sehingga dapat

(19)

10 lain dan/atau untuk pengembangan sistem informasi yang baru di masa yang

akan datang khususnya di bidang pengadaan barang/jasa pemerintah.

F. Sistematika Penulisan

Sistematika penulisan dalam hasil penelitian ini disusun sebagai berikut :

BAB I PENDAHULUAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN PENGEMBANGAN HIPOTESIS

A. Tinjauan Pustaka

B. Pengembangan Hipotesis

C. Kerangka Pemikiran

BAB III METODE KAJIAN AKADEMIS

A. Jenis Penelitian

B. Data, Populasi dan Sampel

C. Variabel Penelitian dan Definisi Operasional

D. Metode Analisis Data

BAB IV ANALISIS DAN PEMBAHASAN

A. Gambaran Umum Objek Penelitian

B. Gambaran Umum Responden

C. Analisis Data

BAB V PENUTUP

A. Kesimpulan

B. Keterbatasan dan Saran

(20)

11 A. Tinjauan Pustaka

Pada bagian ini peneliti menyajikan berbagai tinjauan pustaka yang

berhubungan dengan teori/konsep terkait topik penelitian serta bukti empiris dari

penelitian-penelitian sebelumnya. Setelah itu, peneliti mengembangkan hipotesis

yang akan diuji dalam penelitian.

1. E-Procurement.

Seperti halnya e-commerce, e-procurement merupakan transformasi

mekanisme pengadaan secara manual (LKPP, 2009). Definisi e-procurement dari

berbagai sumber yaitu :

1. Menurut Kantor Manajemen Informasi Pemerintah Australia (Australian

Government Information Management), e-procurement merupakan

pembelian antar-bisnis (business-to-business) dan penjualan barang dan

jasa melalui internet (www.agimo.gov.au, 2001);

2. Bank Dunia menyebut e-procurement dari sisi pemerintahan sebagai

electronic government procurement atau e-GP yaitu penggunaan teknologi

informasi dan komunikasi khususnya internet oleh pemerintahan dalam

melaksanakan hubungan pengadaan dengan para pemasok untuk

memperoleh barang, karya-karya dan layanan konsultasi yang dibutuhkan

oleh sektor publik (Ippolito, 2003);

3. Palmer (2003) menyebutkan, e-procurement adalah teknologi yang

(21)

12 barang melalui internet yang meliputi semua aspek fungsi pengadaan yang

didukung oleh bermacam-macam bentuk komunikasi secara elektronik;

4. Menurut Peraturan Presiden nomor 8 tahun 2006 dan mulai diterapkan sejak

tahun 2007 dengan berdirinya LKPP, e-procurement atau pengadaan

barang/jasa pemerintah yang selanjutnya disebut PPE adalah sistem

pengadaan barang/jasa Kementerian/Lembaga/Sekretariat Lembaga Tinggi

Negara/Sekretariat Lembaga Tertinggi Negara/TNI/Polri/Komisi/Pemerintah

Propinsi/Pemerintah Kabupaten/Pemerintah Kota/Bank Indonesia (BI)/Badan

Hukum Milik Negara (BHMN)/Badan Usaha Milik Negara (BUMN)/Badan

Usaha Milik Daerah(BUMD)/Badan Layanan Umum (BLU), yang proses

pelaksanaannya dilakukan secara elektronik dengan memanfaatkan fasilitas

teknologi komunikasi dan informasi, yang meliputi : e-Lelang Umum (

e-regular Tendering); e-Lelang Penerimaan (e-Reverse Tender), e-Pembelian

(e-Purchasing), e-Penawaran Berulang (e-Reverse Auction), dan e-Seleksi

(e-Selection).

Berdasarkan definisi e-procurement dari berbagai sumber tersebut, maka

dapat disimpulkan bahwa e-procurement secara umum adalah kegiatan

pengadaan barang/jasa yang dilakukan oleh sektor publik baik pemerintah

pusat/daerah maupun lembaga publik lainnya termasuk Badan Usaha Milik

Negara dengan menggunakan fasilitas teknologi internet yang dikembangkan

oleh Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah (LKPP).

Penerapan e-procurement diharapkan dapat memberikan manfaat

(22)

13 sektor swasta. Fokus utama penerapan e-procurement terutama pada aspek

efisiensi proses pengadaan barang/jasa di sektor publik. Selain itu,

penerapan e-procurement diharapkan mampu memberikan kemudahan,

penghematan dan mampu memberikan hasil atau produk sesuai dengan apa

yang diinginkan. Untuk mendukung hal tersebut, maka berdasarkan Peraturan

Presiden Nomor 54 tahun 2010 yang telah diubah dengan Peraturan Presiden

Nomor 35 tahun 2011 sebagai perubahan pertama dan peraturan presiden

Nomor 70 tahun 2012 sebagai perubahan kedua, fasilitas teknologi

komunikasi dan informasi dalam e-procurement terdiri dari :

a. E-tendering yaitu tata cara pemilihan penyedia barang/jasa yang

dilakukan secara terbuka dan dapat diikuti oleh semua penyedia

barang/jasa yang terdaftar pada sistem pengadaan secara elektronik

dengan cara menyampaikan 1 (satu) kali penawaran dalam waktu

yang telah ditentukan;

b. E-catalogue yaitu sistem informasi elektronik yang memuat daftar, jenis,

spesifikasi teknis dan harga barang tertentu dari berbagai penyedia

barang/jasa pemerintah;

c. E-purchasing yaitu tata cara pembelian barang/jasa melalui sistem

katalog elektronik (e-catalogue).

Tidak semua lembaga publik di berbagai negara melaksanakan proses

e-procurement dengan semua fitur secara bersamaan. Demikian juga di Indonesia,

dimana perkembangan e-procurement diawali dengan e-announcement yang

(23)

14 oleh Assar (2008) menghasilkan temuan bahwa integrasi keseluruhan fitur

e-procurement di sektor publik di negara Perancis mengalami kendala dari sisi

teknologi karena lemahnya formula dari pemerintah pusat.

2. Manfaat dan Tantangan E-Procurement.

Sebagai salah satu alat dalam menciptakan tata pemerintahan yang

bersih dari korupsi dan nepotisme sebagai manfaat secara makro dari

e-procurement, manfaat langsung yang diharapkan dari penerapan sistem baru ini

adalah proses yang lebih singkat terutama dari segi waktu dan birokrasi serta

penghematan biaya dalam proses pengadaan (Hardjowijono, 2009).

Manfaat dari e-procurement adalah tercapainya kolaborasi yang baik

antara pembeli dan pemasok, mengurangi penggunaan tenaga lapangan,

meningkatkan kordinasi,mengurangi biaya transaksi dan siklus pengadaan,

tingkat persediaan yang rendah dantransparansi yang baik (Palmer, 2003).

Manfaat lain dari penerapan e-procurement adalah sebagai upaya untuk

menjamin persamaan kesempatan dan akses dari berbagai pihak terutama

pelaku usaha dalam negeri dan peningkatan penggunaan produksi dalam negeri

dalam proses pengadaan sehingga tercipta persaingan sehat di antara mereka.

E-procurement sebagai salah satu upaya dalam menciptakan tata

pemerintahan yang bersih dan bertanggung jawab, mempunyai beberapa

tantangan, diantaranya pemahaman dan penolakan atas peralihan sistem

pengadaan barang dan jasa konvesional ke sistem baru secara online.

Penolakan atas sebuah perubahan adalah wajar. Reaksi penolakan atas

(24)

15 tersebut datang dari Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) di lingkungan

Pemerintah Provinsi Jawa Barat dan beberapa asosiasi rekanan jasa konstruksi

(www.lkpp.go.id, 2009). Alasan penolakan tersebut dikarenakan sistem yang

belum sepenuhnya dinilai siap oleh beberapa kalangan.

Reaksi penolakan atas penerapan sebuah sistem baru tersebut sejalan

dengan beberapa teori penolakan oleh beberapa ahli. Teori penolakan oleh Kling

(Markus, 1983) bahwa penerapan sistem baru melahirkan beberapa sikap

penolakan yaitu rational, structural, human relations, interactionist, organizational

politics,dan class politics.

Dari beberapa sikap tersebut menunjukkan reaksi yang berbeda-beda,

mulai dari bertahan terhadap sistem lama hingga menghambat dan merusak

sistem baru. Hambatan lain dalam implementasi e-procurement yaitu adanya

kesenjangan digital, metodologi, kepentingan kelompok dan resistensi individual

atas keengganan untuk berubah (www.bappenas.go.id, 2009). Kepatuhan

peraturan juga ikut andil dalam penerapan sistem baru tersebut. Hal itu masih

ditambah dengan terjadinya beberapa kali perubahan peraturan hukum yang

bagi sebagian masyarakat memerlukan waktu untuk memahami peraturan baru.

Tantangan lain dalam penerapan sistem e-procurement yaitu faktor teknis berupa

standar keamanan dan pengembangan sistem itu sendiri (Setiawan, 2002).

Tantangan yang bersifat teknis atau aksesibilitas menjadi hal penting dalam

menilai efektivitas pelaksanaan e-procurement (Bruno, 2005).

Seperti halnya pada awal perkembangan e-commerce, seandainya

proses perpindahan pemesanan dan tagihan tidak pula didukung oleh

(25)

16 berdagang secara elektronik masih dilakukan secara manual dalam proses

penyelesaian transaksi. Bagi organisasi pelaku sistem e-procurement, selain

pengembangan sistem yang berkelanjutan berdasar fungsinya,integrasi teknis

dan SDM yang berbudaya teknologi menjadi hal mutlak dalam

sebuahkesuksesan sistem e-procurement.

Jika dilihat dari proses pelaksanaan e-procurement yang sepenuhnya

menggunakan teknologi internet untuk menjalankan proses tersebut, maka

pemilihan penyedia/rekanan dapat diidentifikasi dengan cepat, lebih banyak

referensi penyedia/rekanan yang dapat dipilih untuk pengadaan barang dan

pembeli dapat menentukan harga terbaik untuk meningkatkan efisiensi

pengadaan barang.

3. Sistem E-Procurement Kementerian Keuangan.

Pada bulan Desember 2007, Presiden mengeluarkan Peraturan Presiden

Nomor 106 tentang Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah

(LKPP). Lembaga ini merupakan pemekaran Pusat Pengadaan yang

sebelumnya berada di Bappenas. Dengan adanya Perpres ini, seluruh tugas

menyangkut kebijakan pengadaan barang dan jasa pemerintah menjadi

tanggung jawab LKPP, termasuk di dalamnya pengembangan dan implementasi

electronic government procurement.

Dalam rangka pelaksanaan pengadaan barang/jasa pemerintah secara

elektronik tersebut, LKPP kemudian mengembangkan sebuah aplikasi

e-procurement bernama Sistem Pengadaan Secara Elektronik (SPSE) untuk

(26)

17 diterapkan pada tahun 2008 oleh 11 instansi dan sejak tahun 2003 telah

diimplementasikan oleh 573 Kementerian/Lembaga/Daerah/Instansi (K/L/D/I)

yang memiliki Layanan Pengadaan Secara Elektronik (LPSE). SPSE ini

dikembangkan dengan semangat free license. Instansi dengan anggaran yang

terbatas tetap dapat menerapkan SPSE karena tidak diperlukan biaya lisensi

kecuali pembelian server dan sewa akses internet.SPSE dikembangkan

menggunakan Java dan database PostgreSQL sehingga dapat berjalan di

Platform Linux. Dalam mengembangan SPSE, LKPP melibatkan instansi-instansi

terkait yaitu Lembaga Sandi Negara dan Badan Pengawasan Keuangan dan

Pembangunan (BPKP). Lembaga Sandi Negara mengembangkan Aplikasi

Pengaman Dokumen (APENDO). Dokumen penawaran dari peserta lelang

di-enkripsi dan di-dekripsi menggunakan Aplikasi Pengaman Dokumen (APENDO).

Sub sistem e-audit dikembangkan bekerja sama dengan BPKP yang

memungkinkan SPSE mengeluarkan informasi detail tentang proses lelang untuk

keperluan audit. Layanan yang tersedia dalam SPSE adalah e-Lelang Umum (

e-Regular Tendering) yaitu pelelangan umum dalam rangka mendapatkan

barang/jasa, dengan penawaran harganya dilakukan satu kali pada hari, tanggal,

dan waktu yang telah ditentukan dalam dokumen pengadaan, untuk mencari

harga terendah tanpa mengabaikan kualitas dan sasaran yang telah ditetapkan,

dengan mempergunakan media elektronik yang berbasis pada web/internet

dengan memanfaatkan fasilitas teknologi komunikasi dan informasi.

Adapun LPSE sebagaimana yang telah disinggung di atas, adalah

sebuah unit yang dibentuk oleh sebuah K/L/D/I untuk mengoperasikan sistem

(27)

18 dibentuk oleh kepala instansi (menteri, gubernur atau walikota). Pada

perkembangan selanjutnya, sebagian instansi telah mendirikan LPSE secara

struktural seperti di Kementerian Keuangan Republik Indonesia, Provinsi Jawa

Barat dan Provinsi Sumatera Barat. Pada proses pengadaan, LPSE hanya

sebagai fasilitator yang tidak ikut dalam proses pengadaan. Pelaksanaan proses

pengadaan sepenuhnya dilakukan oleh panitia pengadaan atau Unit Layanan

Pengadaan (ULP). LPSE tidak hanya melayani pengadaan dari instansi tempat

LPSE tersebut berada. LPSE Kementerian Keuangan misalnya, memfasilitasi

pengadaan dari LKPP, KPK, Komisi Yudisial, dan PPATK. Hal serupa juga terjadi

di LPSE-LPSE lain seperti di LPSE Universitas Diponegoro, LPSE Provinsi Jawa

Barat, LPSE Provinsi Sumatera Barat, LPSE Kota Yogyakarta, dan LPSE

Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta.

4. Kesuksesan Sistem Informasi.

Sistem informasi merupakan seperangkat komponen yang saling

berhubungan yang berfungsi mengumpulkan, memproses, menyimpan, danmen

distribusikan informasi untuk mendukung pembuatan kepuasan dan pengawasan

dalam organisasi (Laudon dan Laudon, 2000). Bodnar dan Hopwood (2000)

menyatakan bahwa sistem informasi berbasis komputer merupakan sekelompok

perangkat keras dan perangkat lunak yang dirancang untuk mengubah data

menjadi informasi yang bermanfaat. Penggunaan perangkat keras dan perangkat

lunak tersebut dimaksudkan untuk menghasilkan informasi secara cepat dan

(28)

19 Adapun kesuksesan yang dimaksud dalam penelitian ini yaitu merujuk

pada penilaian pengguna atas kualitas sistem dan kualitas informasi yang

dijabarkan pada kepuasan pengguna dan penggunaan terhadap sistem yang

digunakan tersebut. Suatu sistem dikatakan sukses apabila dari para

pengguna sistem mau menggunakan sistem tersebut dan juga memberikan

kepuasan pengguna sebagaimana fungsi dari sistem tersebut. Markus dan

Keil (1994) menjelaskan bahwa kepuasan pengguna tidak akan bermakna

apabila sistem tersebut tidak menyebabkan kinerja individu meningkat dan

memberikan pengaruh yang positif bagi organisasi.

Di dalam penelitian sistem informasi, ada beberapa faktor dalam menilai

kesuksesan sistem teknologi informasi. Hal tersebut menyebabkan beberapa

penelitian menetapkan variabel yang berbeda pula. Belum adanya standar

yang baku menjadikan pengukuran kesuksesan suatu sistem informasi menjadi

tidak mudah, harus ada beberapa aspek yang menjadi pertimbangan seperti

faktor lingkungan di mana sistem tersebut diterapkan, jenis sistem apa yang

akan diterapkan dan sebagainya.

Ives et al. (1983) menyatakan bahwa kepuasan pengguna informasi

adalah suatu ukuran persepsi atau subjektif dari kesuksesan sistem.

Penggunaan terhadap sistem dapat dijadikan sebagai suatu indikator

kesuksesan sistem berdasarkan pada kondisi tertentu. Jika pengguna

mempertimbangkan sistem tersebut tidak handal atau datanya tidak akurat,

penggunaan mereka terhadap sistem tersebut akan menggambarkan

keragu-raguan. Jika berada dalam lingkungan voluntary, sistem tersebut akan

(29)

20 menyatakan kesuksesan sistem informasi suatu perusahaan tergantung pada

bagaimana sistem itu dijalankan, kemudahan sistem itu bagi para

penggunanya, dan pemanfaatan teknologi yang digunakan.

Mason (1978) memperkenalkan teori yang dikenal dengan teori pengaruh

informasi, yang penekanannya pada pengaruh dari suatu informasi. Mason

(1978) kemudian mengganti efektivitas dengan pengaruh serta mendefinisikan

tingkat pengaruh dari suatu informasi sebagai suatu jenjang dari suatu

peristiwa yang terjadi pada titik akhir penerima dari sistem informasi. Tingkatan

pengaruh berisi urutan peristiwa pengaruh, yaitu: penerimaan dari informasi

(receipt), evaluasi dari informasi, dan aplikasi dari informasi yang mengarah

kepada perubahan perilaku penerimaan dan kinerja sistem. DeLone dan McLean

(1992) mengusulkan sebuah kerangka untuk mengukur keberhasilan infomasi

sistem dengan membedakan kualitas sistem, kualitas informasi, kepuasan

pengguna, kegunaan, dampak individu dan dampak organisasi. Mereka juga

menyarankan model kausal untuk mengukur keberhasilannya. Kualitas sistem

dan kualitas informasi, secara individu dan bersama-sama mempengaruhi

kepuasan pengguna dan penggunaan. Hal ini juga berpendapat kepuasan

pengguna dan penggunaan menjadi hubungan timbal balik saling tergantung

dan dianggap menjadi anteseden langsung dari dampak individu, yang

nantinya juga mempengaruhi dampak organisasi.

Dari beberapa model pengujian kesuksesan atas penerapan suatu

sistem informasi, model DeLone dan McLean (1992) banyak mendapat

perhatian. Dalam kurun waktu dua dekade, sejak pertama kali dipublikasikan

(30)

21 kontribusi untuk perbaikan hingga akhirnya model tersebut di-update pada tahun

2003. Beberapa peneliti yang mencoba untuk menerapkan model tersebut,

antara lain dalam bidang pendidikan (e-learning), perdagangan (e-commerce),

maupun bidang-bidang lain termasuk sektor publik yang dilakukan oleh Livari

(2005) dan Radityo dan Zulaikha (2007).

5. Kesuksesan Sistem Informasi Model DeLone dan McLean.

D&M IS Success Model mempunyai enam dimensi yaitu kualitas sistem,

kualitas informasi, kepuasan pemakai, intensitas penggunaan, dampak individu,

dan dampak organisasi. Kualitas sistem dan kualitas informasi merupakan dua

dimensi pertama pada D&M IS Success Model, dimana kualitas sistem

menunjukan kualitas produk dari aplikasi sistem informasinya dan kualitas

informasi menunjukkan kualitas produk yang dihasilkan oleh aplikasi sistem

informasinya. Kedua kualitas tersebut, menentukan sikap dari pemakainya

sebagai penerima informasinya. Penggunaan sistem dan informasinya akan

mempunyai pengaruh pada pemakainya dan pada sistemnya. Pengaruh pada

pemakainya akan menentukan kepuasan dari pemakainya dan dampak pada

individualnya. Pengaruh dari sistemnya akan mempengaruhi dampak

organisasinya.

Selanjutnya kerangka teoritis tersebut menunjukkan bahwa kualitas

sistem (system quality) dan kualitas informasi (information quality) yang baik,

yang direpresentasikan oleh usefulness (kemanfaatan) dari output sistem yang

diperoleh, dapat berpengaruh terhadap tingkat penggunaan sistem yang

(31)

22 Dengan merujuk pada definisi bahwa kualitas sistem berarti kualitas dari

kombinasi hardware dan software dalam sistem informasi (DeLone dan McLean,

1992), maka dapat disimpulkan bahwa semakin baik kualitas sistem dan kualitas

output sistem yang diberikan, misalnya dengan cepatnya waktu untuk

mengakses; dan kegunaan dari output sistem, akan menyebabkan pengguna

tidak merasa enggan untuk melakukan pemakaian kembali (re-use); dengan

demikian intensitas pemakaian sistem akan meningkat. Pemakaian yang

berulang-ulang ini dapat dimaknai bahwa pemakaian yang dilakukan bermanfaat

bagi pemakai. Tingginya derajat manfaat yang diperoleh mengakibatkan pemakai

akan lebih puas.

Penggunaan sistem informasi yang telah dikembangkan mengacu pada

seberapa sering pengguna memakai sistem informasi. Semakin sering pengguna

memakai sistem informasi, biasanya diikuti oleh semakin banyak tingkat

pembelajaran (degree of learning) yang didapat pengguna mengenai sistem

informasi (Mc Gill et al., 2005). Peningkatan derajat pembelajaran ini merupakan

salah satu indikator bahwa terdapat pengaruh keberadaan sistem terhadap

kualitas pengguna (individual impact). Selanjutnya kepuasan pengguna tersebut

berpengaruh terhadap individual impact.

Individual impact merupakan pengaruh dari keberadaan dan pemakaian

sistem informasi terhadap kinerja, pengambilan keputusan, dan derajat

pembelajaran individu dalam organisasi. Secara positif, keberadaan sistem

informasi baru akan menjadi rangsangan (stimulus) dan tantangan bagi individu

dalam organisasi untuk bekerja secara lebih baik, yang pada gilirannya

(32)

23 Gambar 1

Model Kesuksesan Sistem Informasi DeLone dan McLean Sumber: DeLone dan McLean, 1992

Setelah menyusun model ini, DeLone dan McLean (2003) lebih lanjut

mengatakan bahwa permasalahan dengan menggunakan penggunaan sistem

(use) sebagai pengukur kesuksesan adalah pada definisinya yang terlalu

sederhana tanpa memperhatikan sifat dari penggunaannya.Telah banyak

perubahan peran system informasi selama 10 tahun sejak DeLone dan McLean

pertama kali dikenalkan. Dengan mengkaji lebih dari 100 artikel yang

dipublikasikan di jurnal-jurnal sistem informasi terkenal seperti Information

System Research, Journal of Management Information Systems, dan MIS

Quarterly sejak tahun 1993, DeLone dan McLean (2003) memperbaiki modelnya

dan mengusulkan model yang sudah dimutakhirkan terutama untuk digunakan di

e-commerce yang merupakan aplikasi yang belum banyak muncul di model awal.

Dari kontribusi-kontribusi penelitian-penelitian sebelumnya dan akibat

perubahan-perubahan dari peran dan penanganan sistem informasi yang telah

berkembang, DeLone dan McLean (2003) memperbarui modelnya dan

(33)

24 (Updated D&M IS Success Model). Hal-hal yang diperbarui ini adalah sebagai

berikut :

1. Menambah dimensi kualitas pelayanan (service quality) sebagai tambahan

dari dimensi-dimensi kualitas yang sudah ada, yaitu kualitas sistem (system

quality) dan kualitas informasi (information quality);

2. Menggabungkan dampak individual (individual impact) dan dampak

organisasional (organizational impact) menjadi satu variabel yaitu

manfaat-manfaat bersih (net benefits). Alasan terjadinya penggabungan adalah

dampak dari sistem informasi yang dipandang sudah meningkat tidak hanya

dampaknya pada pemakai individual dan organisasi saja, tetapi dampaknya

sudah ke grup pemakai, ke antar organisasi, konsumer, pemasok, sosial

bahkan ke negara. Tujuan penggabungan ini adalah untuk menjaga model

tetap sederhana (parsimony);

3. Menambahkan dimensi minat memakai (intention to use) sebagai alternatif

dari dimensi penggunaan sistem (use). DeLone dan McLean (2003)

mengusulkan pengukuran alternatif, yaitu minat memakai (intention to use).

Minat memakai adalah suatu sikap (attitude), sedang pemakaian (use)

adalah suatu perilaku (behavior). DeLone dan McLean (2003) juga

berargumentasi dengan mengganti penggunaan system (use) memecahkan

masalah yang dikritik oleh Seddon (1997) tentang model proses lawan model

kausal.

Dengan adanya beberapa penambahan variabel pada model, maka

model DeLone dan McLean yang telah diperbarui (2003) nampak sebagai

(34)

25 Gambar 2

The updated DeLone and McLean’s 2003 Model

Sumber : The DeLone andMcLean Model of Information Systems Success : A Ten-Year Update.Journal of Management Information Systems. Vol. 19 No. 4.

Pada instrumen kualitas pelayanan dalam Updated D&M IS Success

Model, dimensi-dimensi yang digunakan untuk mengukur kualitas

pelayananadalah tangibles, reliability, responsiveness, assurance, and empathy.

Dimensi-dimensi ini diadopsi oleh para peneliti dari konsep Servqual pada kajian

pemasaran yang kemudian diuji-cobakan dalam konteks sistem informasi.

6. Penelitian Terdahulu.

Sampai saat ini, telah banyak penelitian empiris yang dilakukan di

berbagai bidang dan objek penelitian untuk menguji model kesuksesan sistem

informasi yang dikembangkan oleh DeLone dan McLean (1992).

Rai et al. (2002) melakukan penelitian untuk menguji model DeLone dan

McLean (1992) dalam konteks penggunaan sistem informasi sukarela

(voluntary). Data dikumpulkan dengan kuisioner dari 274 mahasiswa pengguna

sistem infomasi mahasiswa terintegrasi (integrated student information system) di

(35)

26 Hasil uji empiris mendukung model DeLone dan McLean (1992) yakni, kualitas

informasi berpengaruh signifikan terhadap penggunaan dan kepuasan pemakai,

kepuasan pemakai berpengaruh signifikan terhadap penggunaan tapi tidak

sebaliknya. Sebagai catatan, Rai et al. (2002) tidak menguji model sampai ke

dampak organisasi.

McGill et al. (2003) melakukan penelitian pada User Deplopped

Aplications (UDA) di Australia. Dari 9 hipotesis, hanya 4 yang terbukti signifikan

sedangkan 5 lainnya tidak signifikan. Dari penelitian itu terbukti secara empiris

bahwa perceived system quality dan information quality merupakan predictor

yang signifikan terhadap kepuasan pemakai, tetapi tidak signifikan terhadap

penggunaan. Kepuasan pemakai berpengaruh terhadap penggunaan dan

dampak individual. Penggunaan tidak berpengaruh terhadap dampak individual,

dan dampak individual juga tidak berpengaruh terhadap dampak organisasi.

Roldan dan Leal (2003) melakukan penelitian atas model DeLone dan

McLean (1992) pada bidang Executive Information System (EIS) di Spanyol.

Penelitian ini mengambil sampel 100 pemakai sistem (user) di 55 perusahaan

yang telah mengaplikasikan EIS. Penelitian ini menggunakan 3 variabel untuk

menganalisis pengaruh EIS ke dampak individu, yaitu: kecepatan dari identifikasi

masalah, kecepatan dari pengambilan keputusan, dan perpanjangan dari

analisis. Sedangkan variabel yang digunakan sebagai pengukur dampak

organisasi adalah: visi organisasi yang disebarkan, efektifitas pengambilan

keputusan organisasional dan kinerja organisasi persepsian. Dari hasil empiris

dibuktikan bahwa kualitas sistem dan kualitas informasi berpengaruh positif

(36)

27 signifikan antara kualitas sistem maupun kualitas informasi dengan penggunaan

sistemnya.

Livari (2005) melakukan penelitian untuk menguji model DeLone dan

McLean (1992) pada sistem informasi akuntansi di Oulu, Finlandia. Studi

lapangan dilakukan dengan menggunakan data longitudinal dengan mengambil

78 orang sampel yang merupakan pemakai utama dari sistem. Konsisten dengan

penelitian Roldan dan Leal (2003), pada penelitian ini dibuktikan bahwa kualitas

sistem persepsian (perceived system quality) merupakan prediktor yang

signifikan terhadap penggunaan dan kepuasan pemakai. Sedangkan kualitas

informasi persepsian (perceived information quality) berpengaruh terhadap

kepuasan pemakai tetapi tidak berpengaruh terhadap penggunaan. Antara

penggunaan dengan kepuasan pemakai tidak terbukti saling mempengaruhi satu

sama lain (reciprocaly). Dampak individu secara signifikan dipengaruhi oleh

kepuasan pemakai, tetapi tidak oleh penggunaan.

Hussein et al. (2005) melakukan penelitian untuk meneliti pengaruh faktor

teknologi dalam dimensi model kesuksesan sistem informasi DeLone dan

McLean(1992). Data dikumpulkan dari 201 pengguna e-government pada 4

agensi di Pemerintah Malaysia. Faktor teknologi direpresentasikan oleh 6

dimensi: IScompetency, IS facilities, IS integration, IS structure and user support.

Sedangkan dimensi kesuksesan sistem inform

asi digunakan: system quality, information quality, perceived usefulness,

(37)

28 Gambar 3

Model Penelitian Hussein et al. (2005) Sumber: Hussein et al. ,2005

Dari hasil uji empiris diketahui bahwa semua faktor teknologi berpengaruh

signifikan terhadap dimensi kesuksesan sistem informasi. Dari penelitian

tersebut,Hussein et al. (2005) menyimpulkan bahwa faktor-faktor teknologi

memiliki peran penting dalam menjamin kesuksesan implementasi sistem

informasi pada organisasi pemerintah.

Wu dan Wang (2006) melakukan penelitian untuk mengukur kesuksesan

sistem informasi manajemen ilmu pengetahuan yang disebut sebagai Knowledge

Management System (KMS) pada perusahan dengan pendekatan model

kesuksesan sistem informasi DeLone dan McLean yang dikembangkan pada

tahun 1992 dan diperbaharui pada tahun 2003. Dari model

tersebut,dikembangkan konstruk untuk mengukur kesuksesan KMS dengan

variabel kepuasan pemakai (user statisfaction), manfaat KMS persepsian

(perceived KMS benefits), dan penggunaan KMS (KMS use) yang digambarkan

(38)

29 Gambar 4

Model Kesuksesan KMS Sumber: Wu dan Wang, 2006

Penelitian dilakukan pada 50 perusahaan di Taiwan yang telah

mengimplementasikan KMS pada perusahaan mereka. Analisa data dilakukan

menggunakan SEM dengan bantuan program LISREL. Hasilnya, 5 dari 7

hipotesis dinyatakan diterima dan 2 hipotesis dinyatakan ditolak. Dengan

demikian, penelitian ini secara empiris terbukti dan mendukung model DeLone

dan McLean (1992). Adanya ketidakkonsistenan dengan penelitian sebelumnya

menyangkut tidak signifikannya pengaruh kualitas sistem terhadap manfaat KMS

persepsian dan penggunaan KMS terhadap manfaat KMS persepsian.

Radityo dan Zulaikha (2007) melakukan penelitian untuk menguji

penggunaan aplikasi SIMAWEB (Sistem Informasi Akademik Berbasis Website)

pada Fakultas Ekonomi Universitas Diponegoro. Sampel diambil dari 200 orang

yang terdiri dari mahasiswa dan dosen pada Fakultas Ekonomi Universitas

Diponegoro. Hasilnya, dari 8 hipotesis hanya 2 yang signifikan yakni penggunaan

berpengaruh positif terhadap dampak individual dan dampak individual

berpengaruh positif signifikan terhadap dampak organisasi. Sedangkan 6

(39)

30 memiliki pengaruh signifikan terhadap penggunaan, kualitas sistem tidak memiliki

pengaruh signifikan terhadap kepuasan pemakai, kualitas informasi tidak

memiliki pengaruh signifikan terhadap penggunaan, kualitas informasi tidak

memiliki pengaruh signifikan terhadap kepuasan pemakai dan antara

penggunaan dan kepuasan pemakai tidak terbukti saling mempengaruhi satu

dengan yang lainnya.

Purwanto (2007) melakukan penelitian yang didasarkan pada model

kesuksesan sistem informasi DeLone dan McLean diperbaruhi

(updatedinformation system success model, DeLone dan McLean 2003). Tujuan

penelitian adalah untuk menguji efektivitas aplikasi e-government di Pemerintah

Kabupaten Sragen.Hasil uji model mengungkapkan bahwa kualitas informasi

e-government dan kualitas pelayanan e-government mempengaruhi secara

signifikan kepuasan pemakai e-government. Sebaliknya, hasil tersebut

menunjukkan suatu hubungan yang lemah antara kualitas sistem e-government

dan kepuasan pemakai e-government. Hasil tersebut tidak menunjukkan

hubungan-hubungan yang signifikan antara pemakaian e-government dan

variabel-variabel prediktor, seperti kualitas sistem e-government, kualitas

informasi e-government, kualitas pelayanan e-government, dan kepuasan

pemakai e-government. Kepuasan pemakai e-government secara dominan

mempengaruhi kemanfaatan bersih e-government dibandingkan pemakaian

e-government. Karena itu, kualitas e-government (seperti kualitas sistem, kualitas

informasi, dan kualitas pelayanan) mempengaruhi ke manfaat-manfaat bersih

(40)

31 Dengan mengacu kepada beberapa penelitian terdahulu di atas,

penelitian ini melakukan pengujian empiris D&M IS Success Model pada Sistem

Pengadaan Secara Elektronik (e-procurement) Kementerian Keuangan.

Penelitian ini berbeda dengan penelitian-penelitian sebelumnya karena pengujian

empiris D&M IS Success Model terkait sistem e-procurement di lingkungan

pemerintah khususnya di lingkungan Kementerian Keuangan belum pernah

dilakukan.

B. Pengembangan Hipotesis.

Penelitian ini menggunakan model DeLone dan McLean (1992) untuk

mengetahui kesuksesan penerapan sistem teknologi informasi e-procurement

dengan enam variabel pengukuran yaitu kualitas sistem, kualitas informasi,

penggunaan sistem, kepuasan pemakai, dampak individu dan dampak

organisasi. Peneliti menggunakan Model DeLone dan McLean (1992) dan tidak

menggunakan model yang sudah diperbaharui (Updated D&M IS Success

Model) dengan beberapa pertimbangan sebagai berikut :

a. model ini sudah bisa dikatakan model yang cukup kokoh, dibandingkan

dengan model yang telah di-update. Terbukti banyak peneliti di bidang

informasi sistem menguji model kesuksesan informasi dan sistemnya.

Argumentasi ini semakin diperkuat dengan penelitian yang dilakukan oleh

Wang (2008) yang menyebutkan bahwa ukuran net benefit dalam model

Updated D&M IS Success Model (2003) secara konseptual terlalu panjang

dan rumit untuk didefinisikan. Begitu pula, service quality merupakan dimensi

(41)

32 b. penelitian ini fokus pada aplikasi dari e-procurement (sistem dan

informasi), belum memasukkan unsur fungsi sebagaimana dipaparkan

dengan adanya service quality (Livari, 2005);

c. sistem e-procurement merupakan sistem yang wajib (mandatory)

digunakan untuk semua proses pengadaan barang/jasa pemerintah,

variabel intention to use pada model DeLone dan McLean (2003) lebih tepat

jika digunakan untuk sistem yang sifatnya tidak wajib digunakan;

d. belum adanya model yang baku dalam menilai kesuksesan penerapan

sistem teknologi informasi terutama di lingkup sektor publik atau

pemerintah (yang sifatnya mandatory).

Berdasarkan kajian literatur pada tinjauan pustaka dan beberapa

penelitian terdahulu, hipotesis penelitian terkait pengaruh setiap variabel pada

model DeLone dan McLean pada penelitian ini diuraikan sebagai berikut :

H1 : Kualitas informasi (information quality) diduga berpengaruh positif

terhadap kepuasan pemakai (user satisfaction).

H2 : Kualitas sistem (system quality) diduga berpengaruh positif terhadap

kepuasan pemakai (user satisfaction).

H3 : Kualitas informasi (information quality) diduga berpengaruh positif

terhadap penggunaan sistem (use).

H4 : Kualitas sistem (system quality) diduga berpengaruh positif terhadap

penggunaan sistem (use).

(42)

33 terhadap penggunaan sistem (use).

H6 : Penggunaan sistem (use) diduga berpengaruh positif terhadap

kepuasan pemakai (user satisfaction).

H7 : Penggunaan (use) diduga berpengaruh positif terhadap dampak

individu (individual impact).

H8 : Kepuasan pemakai (user satisfaction) diduga berpengaruh positif

terhadap dampak individu (individual impact).

H9 : Dampak individu (individual impact) diduga berpengaruh positif

terhadap dampak organisasi (organizational impact).

C. Kerangka Pemikiran

Berdasarkan uraian tinjauan pustaka, penelitian terdahulu dan hipotesis

yang telah dirumuskan, kerangka berfikir penelitian ini dapat digambarkan

sebagai berikut:

Gambar 5 Kerangka Pemikiran

(Sumber : Diadaptasi dari Model DeLone dan McLean, 1992

Model pengaruh dan hubungan kausal tersebut, dapat dijelaskan sebagai

(43)

34 Kualitas sistem (system quality) dan kualitas informasi (informationquality)

secara mandiri dan bersama-sama mempengaruhi penggunaan sistem (use) dan

kepuasan pemakai (user satisfaction). Tingginya intensitas penggunaan sistem

dapat mempengaruhi kepuasan pemakai. Begitu pula, kepuasan pemakai yang

besar dapat mempengaruhi tingkat intensitas penggunaan sistem dan kepuasan

pemakai mempengaruhi dampak individu (individual impact) dan selanjutnya

(44)

35 A. Jenis Penelitian.

Penelitian ini merupakan penelitian studi kasus, yakni penelitian tentang

status subyek penelitian yang berkenaan dengan suatu fase spesifik atau khas

dari keseluruhan personalitas (Nazir, 2003). Pada penelitian ini, subyek

penelitian adalah anggota Kelompok Kerja (Pokja) Unit Layanan Pengadaan

(ULP) Kementerian Keuangan.

Dilihat dari permasalahan yang diteliti, penelitian ini merupakan penelitian

kausalitas yang bertujuan untuk menganalisis hubungan atau pengaruh

(sebab-akibat) dari dua atau lebih fenomena melalui pengujian hipotesis (Sekaran,

2006). Penelitian ini juga dapat digolongkan sebagai penelitian eksplanatori,

yakni penelitian yang mendasarkan pada teori atau hipotesis yang akan

dipergunakan untuk menguji suatu fenomena yang terjadi. Cooper dalam Rofiq

(2007) menyatakan bahwa penelitian eksplanatori melakukan studi terhadap

hubungan antara dua atau lebih variabel, kemudian berusaha untuk menjelaskan

fenomena yang terjadi.

B. Data, Populasi dan Sampel.

Sumber data yang digunakan dalam penelitian berasal dari data primer

dan data sekunder. Data primer adalah data yang diperoleh langsung dari

responden melalui kuesioner yang dibagikan. Sedangkan data sekunder adalah

(45)

36 Komisi Pemberatasan Korupsi (KPK), Sekretariat Jenderal Kementerian

Keuangan dan lainnya.

Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh anggota Pokja ULP yang

berasal dari beberapa wilayah/provinsi berdasarkan Surat Keputusan Kepala

Pusat LPSE Kementerian Keuangan atas nama Sekretaris Jenderal Kementerian

Keuangan dengan surat keputusan terakhir : Nomor 285/SJ/2014 tentang

Perubahan Kedua Atas Keputusan Sekretaris Jenderal Nomor 216/SJ/2014

tentang Penetapan Personil Perangkat Unit Layanan Pengadaan Daerah

Kementerian Keuangan yang berstatus aktif sebagai user/pengguna sistem

e-procurement Kementerian Keuangan, yaitu berjumlah 94 orang. Personil Pokja

ini berasal dari 23 provinsi di seluruh Indonesia,

Mengingat bahwa anggota pokja ULP di lingkungan Kementerian

Keuangan relatif homogen maka teknik pengambilan sampel yang digunakan

dalam penelitian ini adalah simple random sampling.

Untuk menentukan jumlah sampel, penelitian ini menggunakan rumus

Slovin sebagai berikut (Ariola, 2006) :

n = N

1 + (N. α2

) dimana:

n : jumlah sampel penelitian

N : Jumlah populasi penelitian

α : error level (tingkat kesalahan)

Dengan menggunakan rumus Slovin di atas dan tingkat kesalahan (error

level) sebesar 5% (tingkat signifikansi) maka jumlah sampel penelitian ini

(46)

37

n = 94

1 + (94. (0.05)2)

n = 94

1 + 0.235

n = 76 orang

C. Variabel Penelitian dan Definisi Operasional

Penelitian ini menggunakan 6 variabel dari model yang dikeluarkan oleh

DeLone dan McLean (1992) yaitu terdiri dari variabel eksogen dan variabel

endogen. Varibel eksogen adalah variabel independen (bebas) yang

mempengaruhi variabel dependen (terikat) yang ditunjukkan dengan adanya

anak panah yang berasal dari variabel tersebut menuju variabel endogen dalam

model. Sedangkan variabel endogen adalah variabel dependen (terikat) yang

dipengaruhi oleh variabel independen (bebas) yang ditunjukkan dengan adanya

anak panah yang menuju variabel tersebut dalam model.

Variabel eksogen penelitian ini terdiri atas : kualitas sistem (system

quality) dan kualitas informasi (information quality). Sedangkan variabel endogen

penelitian ini terdiri atas : kepuasan pemakai (user satisfaction), penggunaan

sistem (use), dampak individu (individual impact), dan dampak organisasi

(organizational impact).

1. Kualitas Informasi (Information Quality).

Kualitas informasi (information quality) mengukur kualitas keluaran dari

sistem informasi, (Jogiyanto, 2007). Kualitas informasi menunjukkan output dari

(47)

38 informasi yang dihasilkan bagi pengguna sistem. Apabila kualitas informasi

baik diharapkan para pengguna sistem dapat memperoleh manfaat lebih dari

sistem tersebut sehingga dapat berdampak pada kepuasan pengguna.

Kualitas informasi diukur secara subyektif oleh pemakai (user) dalam hal

ini para anggota Pokja ULP Kementerian Keuangan yang selanjutnya disebut

sebagai kualitas informasi (information quality).

Untuk mengukur variabel ini, penelitian ini menggunakan beberapa

indikator yang relevan dengan penggunaan sistem e-procurement dengan

mengadopsi indikator-indikator pengukuran yang digunakan oleh Livari (2005)

yaitu sebagai berikut :

Tabel 1

Indikator Pengukuran Variabel Kualitas Informasi (Information Quality)

No Indikator Skala Pengukuran

1 Kelengkapan (completeness) Skala Likert 1 – 5 :

5 Bentuk dari keluaran (format of output)

2. Kualitas Sistem (System Quality).

Kualitas sistem (system quality) digunakan untuk mengukur kualitas

sistem informasi itu sendiri (Jogiyanto, 2007). Artinya, kualitas sistem merupakan

kualitas teknis dari sistem informasi itu. Kualitas sistem berarti kualitas kombinasi

dari hardware dan software. DeLone dan McLean (1992) menjelaskan bahwa

kualitas sistem adalah performa dari sistem yang merujuk pada seberapa baik

kemampuan perangkat keras, perangkat lunak, kebijakan, prosedur dari sistem

(48)

39 diukur secara subyektif oleh pemakai (user) dalam hal ini para anggota Pokja

ULP Kementerian Keuangan.

Indikator yang digunakan mengacu pada indikator-indikator penelitian

yang digunakan oleh Livari (2005) dan Bailey dan Pearson (1983) yang

disesuaikan dengan penggunaan sistem e-procurement itu sendiri, yaitu

sebagaimana Tabel 4 berikut :

Tabel 2

Indikator Pengukuran Variabel Kualitas Sistem (System Quality)

No Indikator Skala Pengukuran

1 Fleksibilitas sistem (flexibility of the system) Skala Likert 1 – 5 :

Sangat Setuju : 5 ; Setuju : 4 ; Kurang Setuju : 3 ;Tidak Setuju : 2 ; Sangat Tidak Setuju : 1

2 Integrasi sistem (integration ofthe system)

3 Kenyamanan akses (convenience of acces)

4 Bahasa (language)

3. Penggunaan Sistem (Use).

Jogiyanto (2007) membedakan penggunaan sistem (use) ke dalam

penggunaan keluaran (information use) dan penggunaan sistem (system use)

yang berarti penggunaan informasi dan penggunaan dari sistem informasi itu

sendiri. Dari pembedaan itu perlu mendapat perhatian bahwa dalam konteks

penggunaan sistem e-procurement dimaksud adalah penggunaan aplikasi atau

sistem informasi e-procurement itu sendiri (system use), dengan asumsi bahwa

selain menggunakan sistem informasi, pemakai sistem secara otomatis juga

memanfaatkan hasil dari sistem informasi yakni berupa output laporan (report)

yang dihasilkan oleh sistem informasi. Jogiyanto (2007) menambahkan, konsep

penggunaan dari suatu sistem informasi dapat dilihat dari beberapa perspektif,

yaitu penggunaan nyata (actual use) dan penggunaan persepsian (perceived

Gambar

Gambar 1
Gambar 3 Model Penelitian Hussein et al. (2005)
Gambar 4 Model Kesuksesan KMS
Gambar 5 Kerangka Pemikiran
+7

Referensi

Dokumen terkait

(2013) menyatakan bahwa tingginya kadar amilopektin pada pati dapat mempermudah proses terjadinya gelatinisasi karena dapat menurunkan tingkat kelarutan pati sehingga bisa

Selanjutnya pada siklus II, kemampuan pengelolaan pembelajaran oleh guru pada siklus II pertemuan pertama dan kedua memperoleh skor 100% yang termasuk

dilakukan oleh Presiden ini juga dilakukan kepada Perda APBD, Pajak Daerah dan Retribusi Daerah dan Tata Ruang Daerah saat pemerintah daerah tidak menindak

menangani permasalahan dan keterbatasan yang dihadapi oleh anak. Apabila orang tua tidak cukup memahami bagaimana kondisi anak dan penanganannya lebih lanjut, maka

Sedangkan sensor infrared akan mendeteksi ketinggian bunga krisan potong di dalam prototype greenhouse dan pengaturan cahaya ini diatur menggunakan dimmer, dimana dimmer

30 Sarana pembelajaran Melakukan bimbingan dan fasilitasi bagi lembaga untuk mendapatkan pemahaman mengenai ketentuan peralatan dan perlengkapan sarana pembelajaran yang seharusnya

Kalau memasuki kampung kuno seperti kampung Kauman, banyak dijumpai rumah kauman yang telah dipengaruhi beberapa budaya.. Kebudayaan

Proses adaptadi yang dilakukan oleh mahasiswa Vietnam, yang mana mereka selalu berusaha untuk selalu menggunakan bahasa Indonesia jika ingin berkomunikasi dengan mahasiswa lokal