• Tidak ada hasil yang ditemukan

Overview Infrastruktur Dalam Menunjang P

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Overview Infrastruktur Dalam Menunjang P"

Copied!
29
0
0

Teks penuh

(1)

STATEMENT OF AUTHORSHIP

Saya yang bertandatangan dibawah ini menyatakan bahwa paper terlampir

adalah murni hasil pekerjaan saya sendiri. Tidak ada pekerjaan orang lain yang

saya gunakan tanpa menyebutkan sumbernya."

Materi ini tidak/belum pernah disajikan/digunakan sebagai bahan untuk paper

orang lain kecuali saya menyatakan dengan jelas bahwa saya menyatakan

menggunakannya.

Saya memahami bahwa paper yang saya kumpulkan ini dapat diperbanyak dan

atau dikomunikasikan untuk tujuan mendeteksi adanya plagiarisme.”

Nama

: MUHAMMAD ABDUH

NPM

: 1206333452

Mata Kuliah

: Manajemen Infrastruktur Publik (MIP)

Judul Paper

: Overview Infrastruktur Dalam Menunjang

Pengembangan Pariwisata Perdesaan

Tanggal

: 10 September 2013

Dosen

: Lukas Sihombing

Salemba, 10 September 2013

ttd

(2)

Paper

Overview Infrastruktur Dalam Menunjang Pengembangan Pariwisata Perdesaan

Muhammad Abduh

Universitas Indonesia

Catatan Tentang Penulis

Para Penulis sedang menempuh studi pascasarjana di Magister Perencanaan dan Kebijakan Publik (MPKP) di Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia (FEUI).

(3)

A. Pendahuluan

Upaya pengurangan kesenjangan antar wilayah, sebagaimana diamanahkan dari tujuan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2009-2014 dilaksanakan melalui 3 (tiga) arah kebijakan dan strategi utama, yaitu (1) pelaksanaan pengendalian dan pelaksanaan penataan ruang, (2) koordinasi dan integrasi pembangunan wilayah, baik dalam lingkup perkotaan dan perdesaan, maupun dalam lingkup kawasan-kawasan prioritas

(kawasan strategis, tertinggal, perbatasan, dan rawan bencana), yang diperkuat dengan (3) penyelenggaraan desentralisasi dan pemerintahan daerah, yang dilaksanakan melalui 12 prioritas bidang1. Perlu diketahui bahwa diantara 12 poin prioritas bidang tersebut, upaya

peningkatan daya saing desa menjadi salah satunya.

Salah satu upaya yang dilakukan pemerintah dalam meningkatkan daya saing perdesaan ini bisa dilihat dari upaya menjadikan sektor pariwisata sebagai basis peningkatan potensi dan kapasitas sumber daya lokal. Hal ini sebagaimana tertuang dalam rencana induknya terkait pengembangan pariwisata nasional pemerintah telah yang diterbitkan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 50 tahun 2011 (yang direncanakan akan berlaku mulai 2010 hingga 2025 nanti) Pasal 28 (c) dan 29 (3-b).

Perlu diketahui disini, Kepariwisataan merupakan keseluruhan kegiatan yang terkait dengan pariwisata dan bersifat multidimensi serta multi displin yang muncul sebagai wujud

kebutuhan setiap orang dan negara serta interaksi antara wisatawan dan masyarakat setempat, sesama wisatawan, pemerintah, pemerintah daerah, dan para pengusaha (sebagaimana tercatat dalam PP 50/ 2011).

1 Prioritas bidang tersebut meliputi: (1) Kebijakan pemetaan seluruh wilayah nasional dan penyediaan data

serta informasi spasial untuk melindungi keutuhan wilayah NKRI dan memperkuat daya saing perekonomian nasional; (2) Kebijakan penyelenggaraan penataan ruang yang berkelanjutan; (3) Kebijakan Reforma Agraria sebagai pendekatan integral pengelolaan pertanahan; (4) Kebijakan pengembangan kota sebagai penggerak pertumbuhan nasional dan regional serta kota sebagai tempat itnggal yang nyaman, layak huni dan

berkelanjutan; (5) Kebijakan peningkatan daya tarik desa dengan membangun ketahanan desa dan peningkatan daya saing desa; (6) Kebijakan membangun keterkaitan antara kota dan desa melalui pengembangan ekonomi lokal; (7) Kebijakan pengembangan kawasan strategis sebagai pusat-pusat pertumbuhan ekonomi nasional; (8) Kebijakan percepatan pembangunan kawasan tertinggal; (9) Kebijakan percepatan pembangunan kawasan perbatasan; Kebijakan peningkatan kesadaran, pengarusutamaan, penguatan kapasitas dalam pengurangan risiko bencana dan penggulangan bencana di kawasan rawan bencana; (11) Kebijakan penataan pembagian urusan Pemerintah-Pemerintah Daerah Provinsi maupun kabupaten/Kota; Kebijakan pengembangan kapasitas aparatur pemerintah daerah dan kemampuan

(4)

Definisi ini diambil, salah satunya untuk memberikan dampak kesejahteraan dari masyarakat, tak terkecuali dari masyarakat perdesaan. Maka dalam prosesnya ini, seluruh pihak

memegang peranan penting dalam rangka mewujudkan suksesnya pengembangan pariwisata nasional, yang ditempuh dalam beberapa cara. Baik itu dalam hal menjadikan desa itu destinasi wisata; meningkatkan kualitas pemasaran; upaya industrialisasi; serta manajemen stakeholders yang terkait (PP 50/2011). Dengan demikian, pariwisata (dalam hal ini)

merupakan sebuah potensi yang digunakan untuk alasan peningkatan kesejahteraan, dengan indikator berkurangnya kesenjangan anatara daerah kota dan desa.

Industri pariwisata nasional mengalami peningkatan yang menggembirakan dalam beberapa tahun belakangan. Data Bank Dunia hingga 2010 lalu ada sekitar 7 juta wisatawan

mancanegara yang masuk ke Indonesia. Hal ini meningkat sebesar 10,74 dari tahun sebelumnya, dengan total pemasukan mencapai. 7,618 miliar dolar AS atau setara dengan 4,36% dari total ekspor.

Dengan ekspektasi kondisi ekonomi global yang terus membaik (dengan kurs rata-rata Rp 9262,3 per USD), dan dengan asumsi pertumbuhan jumlah kedatangan wisatawan

mancanegara (wisman) sekitar 1-2% per tahun, diperkirakan jumlah turis asing yang akan menjejeaki Indonesia pada 2025 mendatang akan mencapai 8,49 juta orang. Hal ini dengan membawa sekitar 10.517 juta dolar US atau sekitar Rp 105,84 Trilun.

Gambar 1: Perkembangan Kunjungan Wisatawan Mancanegara (Wisman) 15 Tahun

Terakhir

Wisman (Juta Orang) Penerimaan (Rp Triliun)

(5)

Sumber: World Bank; BPS; CEIC (diolah)

Hal ini tentu bukan perkara mudah. Selain hambatan internal, hambatan eksternal juga

mengancam pertumbuhan pariwisata lokal kita dalam konteks persaingan dengan negara lain. World Economic Forum, dalam Laporan The Travel & Tourism Competitiveness Report 2013 yang diluncurkan baru-baru ini (2013) mencatat ada 14 pilar yang mendukung daya saing dari pariwisata suatu negara. Hal itu meliputi: Regulasi; Keberlanjutan Lingkungan; Keamanan dan Kenyamanan; Kesehatan dan Higienis; Keberpihakan/ Prioritas terhadap Pariwisata; Infrastruktur Udara; Infrastruktur darat; Infrastruktur Pariwisata; Infrastruktur Informasi (ICT); Harga yang kompetitif; Sumber daya manusia; Daya tarik untuk di

Kunjungi (penerimaan masyarakat dan negara); Sumberdaya Alam; dan Sumberdaya Budaya.

Dalam laporan tersebut Indonesia harus lebih bekerja keras untuk menaikan peringkatnya dengan menduduki posisi 70 dari 140 negara. Sebenarnya peringkat ini sudah mengalami kemajuan dibandingkan tahun 2011 yang ada di posisi 74, atau pada 2009 dengan peringkat 81. Namun posisi ini jauh dibawah Thailand yang bisa mencapai posisi 43 pada 2013 ini, atau Malaysia yang berada di posisi 35, dan Singapura yang ada di posisi 10. Indonesia hanya berada diatas Vietnam (peringkat 80), Filipina (peringkat 82), maupun kamboja (106).

Gambar 2: Indeks daya Saing Pariwisata Dunia Tahun 2013

Sumber: The Travel & Tourism Competitiveness Report 2013 (diolah)

Hal ini tentu perlu menjadi evaluasi dalam memonitor perkembangan pariwisata di Indonesia, termasuk dalam menyukseskan desa sebagai komoditas pariwisata. Perlu diingat kembali dari penjelasan desa wisata yang tertuang baik dari RPJMN maupun induk rencana

pengembangan pariwisata nasional, bahwa desa pariwisata bisa dikatakan sebagai alat

3.56 3.93 3.95 4.01 4.03

4.47 4.7

5.23 5.66

(6)

pengembangan kapasitas perekonomian masyarakat desa, sehingga kesenjangan anatar desa dengan kota bisa dikendalikan dan diminimalisir.

Perlu diketahui bahwa saat ini pembangunan ekonomi cenderung berpusat di daerah

perkotaan saja. Perkeonomian masyarakat desa yang saat ini didominasi oleh sektor pertanian nampaknya tidak mampu mengimbangi perubahan gaya hidup dari masyarakat desa yang dilihat dalam pola konsumsi masayarakatnya. Hal ini memberikan dampak, salah satunya, pada masalah-masalah yang berimplikasi pada keberlangsungan kehidupan di perkotaan perkotaan –dalam kaitannya dengan mobilisasi penduduk.

Hasil anallisis terhadap pola konsumsi masyarakat yang dilakukan pada tahun 2012 lalu, yang dikutip dari buku profil pembanguan perdesaan 2012, diketahui bahwa porsi pengeluaran non-makanan atas makanan menunjukkan trend yang semakin meningkat. Hal ini bisa juga diartikan sebagai pergeseran pola konsumsi kepada pola yang sifatnya bergaya urban (kota). Dimana orientasi masyarakat desa mulai memperhatikan aspek-aspek kebutuhan yang sifatnya sekunder maupun tersier.Hal ini bisa dilihat dari rasio (porsi) antara data pengeluaran masyarakat desa untuk tujuan makanan terhadap non-makanan. Hingga tahun 2012 rasionya bahkan kembali turun sekitar mencapai 1,44. Hal ini berarti hanya ada 144 unit kebutuhan akan makanan, dari tiap 100 kebutuhan non makanan (Profil Pembangunan Perdesaan 2012, Bappenas).

Gambar 3: Pola Konsumsi Dalam Masyarakat Tahun 2000-2011

Sumber: CEIC, dan BPS (diolah)

0.50

Rasio Pengeluaran Makanan Thd Non Makanan

Rasio Pengeluaran Terhadap Upah per Kapita (%)

Desa Kota

(7)

“Kombinasi atas rendahnya produktivitas sektor pertanian dan meningkatnya kebutuhan non-makanan, meskipun rasionya masih ada diatas daerah perkotaan, memberikan rasionalitas warga desa untuk mendapatkan akses pekerjaan dan fasilitas penyedia kebutuhan hidup yang lebih baik. Maka dari itulah mobilisasi baik secara geografis, maupun sektoral merupakan sebuah keniscayaan bagi penduduk desa, selama ketimpangan antara keduanya tidak di pecahkan” (Profil Pembangunan Perdesaan 2012, Bappenas).

“Akibatnya bisa dilihat dari terjadinya perubahan pola mobilisasi penduduk. Fenomena migrasi ini bisa kita lihat dari jumlah pertumbuhan rata-rata penduduk desa yang belakangan cenderung melambat. Angka sementara terkait jumlah penduduk desa hingga 2012 mencapai 121,09 juta jiwa, dengan pertumbuhan yang cenderung melambat dibandingkan tahun

sebelumnya sebesar 0,63%. Rasio jenis kelamin laki-laki terhadap perempuan di desa mengalami peningkatan pada 2011 dibandingkan tahun sebelumnya menjadi 101,42. Angka ini berarti terdapat sekitar 101 penduduk laki-laki dari tiap 100 penduduk perempuan. Hal ini meningkat dibandingkan tahun 2010 yang rasionya sekitar 100” (Profil Pembangunan

Perdesaan 2012, Bappenas).

Dari sini, pengembangan pariwisata di tingkat perdesaan sebagai sebuah alternatif magnet tenaga kerja perdesaan agar tidak melakukan mobilisasi menjadi liner dengan filosofi pengembangan pariwisata di perdesaan sebagai alat menanggulangi kesenjangan ekonomi pada perdesaan terdap kota- sebagaimana disebutkan diatas tadi.

B. Masalah & Maksud Penulisan

Masalah timbul ketika berbicara infrastruktur penunjang pertumbuhan pariwisata di

(8)

Gambar 4: Deskripsi Sub-Indeks Daya Saing Infrastruktur Dalam Indeks Daya Saing Pariwisata Dunia Tahun 2013.

Sumber: The Travel & Tourism Competitiveness Report 2013 (diolah)

Atas dasar itulah dibutuhkan sebuah overview untuk menggambarkan progress pembangunan infrastruktur penunjang pariwisata di perdesaan. Dan studi kali ini berusaha memperkaya studi yang mengkaitkan antara pengembangan wisata perdesaan dan infrastruktur ini dalam kasus Indonesia.

Poin penting tulisan ini akan menggambarkan secara singkat beberapa hal berikut: 1. Mengetahui karakteristik dan potensi wisata perdesaan Indonesia

2. Mengetahui kondisi eksisting infrastruktur perdesaan Indonesia

3. Dari kondisi diatas coba ditawarkan mekanisme pengembangan infrastruktur perdesaan agar menunjang pariwisatanya.

C. Tinjauan Pustaka

Dalam Buku II RPJMN tentang Wilayah dan tata Ruang (Bab IX) ditulis “Pembangunan

nasional berdimensi kewilayahan bertujuan untuk mengurangi kesenjangan antarwilayah terdiri dari beberapa unsur yang saling melengkapi satu sama lain, yang mencakup: data dan informasi spasial, penataan ruang, pertanahan, perkotaan, perdesaan, ekonomi lokal dan daerah, kawasan strategis, kawasan perbatasan, daerah tertinggal, kawasan rawan bencana,

0 1 2 3 4 5 6

Air Transport

Ground Transport

Tourism ICT

(9)

desentralisasi, hubungan pusat daerah, dan antar daerah serta tata kella kapasitas

pemerintahan daerah” (RPJMN Buku II Bab IX).

Permasalahan kesenjangan di tingkat perdesaan merupakan sebuah permasalahn yang penting untuk di atasi. Hal ini tidak lain dikarenakan perdesaan merupakan organisasi terkecil dari komponen kewilayahan yang diakui negara. Namun demikian, desa bukanlah sekedar unit administratif, namun juga merupakan basis sumberdaya ekonomi (tanah, sawah, sungai, ladang, kebun, hutan, dan sebagainya), basis komunitas yang memiliki keragaman nilai-nilai lokal dan ikatan-ikatan sosial, ataupun basis kepemerintahan yang mengatur dan mengurus sumberdaya dan komunitas tersebut (Sebagaimana dikutip dalam RPJMN Buku II Bab IX).

Upaya pengurangan kesenjangan antar wilayah, sebagaimana diamanahkan dari tujuan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2009-2014 dilaksanakan melalui 3 (tiga) arah kebijakan dan strategi utama, yaitu (1) pelaksanaan pengendalian dan pelaksanaan penataan ruang, (2) koordinasi dan integrasi pembangunan wilayah, baik dalam lingkup perkotaan dan perdesaan, maupun dalam lingkup kawasan-kawasan prioritas

(kawasan strategis, tertinggal, perbatasan, dan rawan bencana), yang diperkuat dengan (3) penyelenggaraan desentralisasi dan pemerintahan daerah, yang dilaksanakan melalui 12 prioritas bidang. Perlu diketahui bahwa diantara 12 poin prioritas bidang yang disebutkan, upaya peningkatan daya saing desa. Salah satu upaya yang dilakukan pemerintah dalam meningkatkan daya saing perdesaan ini bisa dilihat dari upaya menjadikan sektor pariwisata sebagai basis peningkatan potensi dan kapasitas sumber daya lokal. Hal ini sebagaimana tertuang dalam rencana induknya terkait pengembangan pariwisata nasional pemerintah telah yang diterbitkan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 50 tahun 2011 (yang direncanakan akan berlaku mulai 2010 hingga 2025 nanti) Pasal 28 (c) dan 29 (3-b).

(10)

Definisi ini diambil, salah satunya, untuk memberikan dampak kesejahteraan dari

masyarakat, tak terkecuali dari masyarakat perdesaan. Dimana dalam skala regional, arah pembangunan ini mengikuti filosofi pembangunan desa yang tertuang dalam 7 poin fokus prioritas pembangunan perdesaan2. Maka dalam prosesnya ini, seluruh pihak memegang peranan penting dalam rangka mewujudkan suksesnya pengembangan pariwisata nasional, yang ditempuh dalam beberapa cara. Baik itu dalam hal menjadikan desa itu destinasi wisata; meningkatkan kualitas pemasaran; upaya industrialisasi; serta manajemen stakeholders yang terkait (PP 50/2011). Dengan demikian, pariwisata (dalam hal ini) merupakan sebuah potensi (tools/alat) yang digunakan untuk alasan peningkatan kesejahteraan, sekaligus alat untuk mengurangi kesenjangan antara desa dengan kota. Baik itu dalam membentuk desa wisata, desa berbasis industri kreatif, di bidang pariwisata, maupun desa pendukung usaha pariwisata (sebagaimana menjadi catatan dalam Buku II RPJMN 2010-2014 Bab IX).

Menurut PP No 50 tahun 2011 desa wisata ini sebenarnya merupakan sebuah strategi untuk mengembangkan sumber daya lokal yang dimiliki desa yang bersangkutan. Desa ini masuk dalam target intervensi dengan alat PNPM Mandiri pariwisata. Dimana pada 2013 ini direncanakan akan menyentuh 596 desa, yang tersebar di 33 Provinsi (sebagaimana tertuang dalam RKP 2013). Pemanfaatan sumber daya lokal ini sekaligus untuk menangkap peluang baru atas sumberdaya inti yang sudah ada sebelumnya.

Upaya pengembangan/Development dalam pariwisata tak bisa dipisahkan dari pembangunan infrastruktur. Hal ini bisa dilihat dari bila kita melihat pengembangan pariwisata melalui pendektan Daur Hidup (Life Cycle Model). Butler, seperti digunakan Andriotis (2000) dalam thesisnya, bahkan menjelaskan secara tekstual bahwa fase pengembangan pariwisata ditandai dengan pembangunan infrastruktur pariwisata (fasilitas, jasa, dan akomodasi), dan munculnya pasar, yang merupakan konsekuensi langsung atas promosi pada para turis yang dilakukan juga secara luas. Sementara itu, Butler (2011) dalam reviewnya menyebutkan faktor ini yang

(11)

kemudian menjadikan laju evolusi pariwisata pada fase setelah berkembang (develop) menjadi lebih cepat stagnan, atau bahkan mengalami anti klimaks.

Gambar 5: Hipotesa Evolusi Kawasan Pariwisata

Sumber: Butler (1980) dalam Andriotis (2000)

Sayangnya (lanjut Androitis, 2000), pengembangan pariwisata hal ini biasanya

berkonsekuensi atas hilangnya kontrol warga lokal atas perekonomian dan digantikan oleh dominasi pemodal dari luar. Disini terjadi trade-off antara kepentingan masyarakat umum dan kepentingan komersial pengusaha. Lebih lanjut Andriotis juga menjelaskan bahwa

pembangunan infrastruktur bisa juga termasuk dalam bagian dampak negatif dari

(12)

Gambar 6: Dampak Pengembangan Industri Pariwisata

Sumber: Adriotis (2000)

Andriotis mengakui bahwa apapun pendekatan dalam mengembangkan pariwisata memiliki kekurangan. Namun demikian, ia berkesimpulan bahwa pembangunan pariwisata hendaknya memiliki paradigma memperkecil dampak negatif dari pengembangan pariwisata itu sendiri. Maka disini, kepahaman seorang palnner akan damapk yang mungkin ditimbulkan atas upaya mengembangkan pariwisata. (Andriotis, 2000).

D. Hasil dan Pembahasan

 Kondisi Eksisting Pariwisata Indonesia

(13)

Prambanan; Taman Nasional Ujung Kulon; Situs Manusia Purba Sangiran; Taman nasional Lorentz; Landscape persawahan Subak di Bali; dan Hutan Hujan Tropis sumatera. Meskipun Hutan hujan tropis di Sumatera juga termasuk dalam daftar warisan yang terancam

eksistensinya karena kerusakan hutan. Hal ini belum termasuk dalam daftar objek-objek lain yang masih menunggu konfirmasi, ataupun pernah tercatat sebagai situs warisan dunia di PBB tersebut (lihat lampiran 1). Hal ini belum termasuk dalam objek wisata unik lainnya yang tersebar dalam berbagai lokasi di Indonesia baik yang sudah teridentifikasi maupun belum. Maka dari itulah, ketika berbicara tentang objek, maka Indonesia bisa dikatakan tidak kekurangan akan hal tesebut.

Gambar 7: Keberadaan Situs-situs yang diakui UNWTO

Sumber: http://whc.unesco.org/en/statesparties/id

Terkait regulasi, data dari UNWTO, salah satu cabang PBB dibidang Pariwisata sebagaimana dikutip dari Laporan The Travel & Tourism Competitiveness Report 2013, untuk tahun 2012 mencatat indeks kemudahan mendapatkan visa untuk berkunjung ke Indonesia masih

tergolong rendah. Padahal banyak negara tetangga sesama Asia Tenggara, germasuk Kamboja, sudah memiliki angka indeks diatas 100.

(14)

Gambar 8: Sub-Sub-IndeksKemudahan Administrasi Memasuki Wilayah dalam Indeks Daya Saing Pariwisata Tahun 2013

Sumber: The Travel & Tourism Competitiveness Report 2013 (diolah)

Rendahnya indeks ini bisa diterjemahkan dalam dua sisi. Yakni terkait sisi keamanan, dan terkait sisi perolehan pasar. Perlu diketahui bahwa Indonesia adalah negara yang terbuka bagi siapapun selama mengikuti regulasi ketika masuk kedalam negara. Regulasi ini terkait untuk menjaga keamanan dan kedaulatan negara, terutama yang berasal dari luar. Sementara itu kebebasan untuk memasuki wilayah Indonesia juga dimanfaatkan sebagai fasilitas pariwisata. Maka dengan demikian pertimbangan pengembangan pariwisata kita, dihadapkan dalam dua kutub kepentingan. Dimana meningkatkan kualitas salah satu dari dua hal diatas (keamanan dan pariwisata) berpegaruh kepada penurunan kualitas pada sisi yang lain. Oleh karena itu mencari jalan tengah merupakan solusi dari hal tersebut yang disesuaikan dengan tujuan-tujuan nasional, tanpa melupakan aspek efisiensi dan efektifitas dalam implementasinya.

Dari sisi intervensi pemerintah (dalam tataran regional) besarnya keberpihakan terhadap sektor pariwisata dan budaya bisa dilihat dari besarnya alokasi anggaran yang diberikan untuk sektor ini baik itu dari pemerintah daerah tingkat 1 maupun daerah tingkat 2. Secara keseluruhan (nasional) dalam lima tahun terakhir alokasi untuk sektor pariwisata hanya menempati porsi sekitar 0,66% dari total anggaran daerah (terakhir pada 2012 hanya 0,69%).

55.5 60.1

69.0 71.0

102.1

140.3

151.0

(15)

Gambar 9: Akumulasi Alokasi dan Pertumbuhan Anggaran Pemerintah Provinsi dan Kabupaten/Kota Untuk Keperluan Pariwisata (%)

Sumber: DJPK Kemenkeu (diolah)

Dilihat dari dinamikanya, proses politik nampaknya ikut berpengaruh terhadap besaran alokasi anggaran fungsi pariwisata ini. Hal ini bisa dilihat dari pola pertumbuhan dari anggaran tersebut terutama antara tahun 2008 hingga 2009. Pada rentang tahun tersebut, secara umum, alokasi anggaran lebih banyak dititik beratkan pada program-program

kesejahteraan yang bersentuhan langsung dengan masyarakat. Hal ini bisa dilihat dari deviasi proporsi anggran pada tahun 2009 terhadap 2008. Diketahui anggran yang meningkat pada saat itu dialokasikan pada fungsi-fungsi ketertiban &keamanan (meningkat 0.06%);

perlindungan sosial (0,15%); kesehatan (0,43%); dan pendidikan (2,51%). Hal ini kemudian berdampak pada alokasi pariwisata yang dampaknya dirasakan tidak langsung, karena melalui proses investasi terlebih dahulu. Meskipun demikian pada tahun-tahun berikutnya anggaran pariwisata ini terus mengalami peningkatan (lihat Lampiran 2).

Provinsi yang paling konsern mengalokasikan anggaran pariwisatanya adalah Provinsi Bali (sekitar 2,4%) dengan total anggaran sebesar 88,34 Miliar. Sementara itu DKI Jakarta menempati urutan ke 4 terbesar dalam proporsi alokasi anggaran Pariwisatanya. Meski demikian provinsi ini memiliki jumlah alokasi paling dominan nilainya sebesar Rp 621,92 Miliar. Dalam Tingkat Kabupaten kota, jumlah proporsi alokasi anggaran terbesar di tempati Kabupaten lingga (Prov Kepulauan Riau) sebesar 3,01% dari total APBD tahun 2012. Diikuti oleh kabupaten Limapuluhkota (2,85%); Kota Bukit Tinggi (2,74%); dan Kabupaten Raja

0.65

2007 2008 2009 2010 2011 2012 Proporsi (%) Pertumbuhan (%)

(16)

Ampat (2,55%). Diketahui pula bahwa masih terdapat 40 Kabupaten dan 4 kota yang belum memiliki fungsi anggaran untuk kepentingan Pariwisata dan Budaya.

Gambar 10: Proporsi Alokasi Anggaran Pemerintah per Provinsi dan per

Kabupaten/Kota Untuk Keperluan Pariwisata Terhadap Total APBD Masing-Masing Tahun 2012

Sumber: DJPK Kemenkeu (diolah)

Dua kasus yang menarik dilihat disini adalah Bali dan DKI Jakarta. Bali sebagaimana kita ketahui adalah sebuah ikon Indonesia yang mendunia akan objek-objek wisata pantai, dan kebudayaan (culture) yang eksotik.

1.0 1.1

1.97 1.98 2.03 2.04 2.04

(17)

Yang menarik dalam besarnya alokasi anggaran di Jakarta adalah terkait objek dari pariwisata yang ditawarkan. Meski ia berada di pusat kota, Jakarta nampaknya mampu memberikan sebuah alternatif wisata yang tidak berbasis alam (natural grant), akan tetapi wisata yang sifatnya cultural (buatan manusia). Hal yang mencolok dari wisata ini adalah jenis wisata perdagangan. Bangunan megah dan mal-mal besar yang ada di Ibukota Indonesia ini menjadikan sebuah objek menarik dari wisatawan mancanegara. Puluhan mal-mal megah, dan pusat grosir dan

 Permintaan Wisman akan Pariwisata di Indonesia

Dari segi jumlah, selama 2011 kedatangan turis asing ke Indonesia masih berasal dari negara-negara serumpun yang tergabung dalam ASEAN sebanyak 3,13 juta Warga Negara Asing (WNA). Hal ini diikuti oleh Asia (1,93 juta) dan paling kecil adalah Afrika (0,032 juta jiwa)

Gambar 11: Jumlah Kedatangan WNA pada tahun 2011 Berdasarkan Daerah Asal (Ribu Jiwa)

Sumber: BPS (diolah)

Data BPS Tahun 2011 menunjukkan bahwa total uang dibelanjakan para turis asing tersebut mencapai 8.554 juta USD. Dimana turis paling loyal berasal dari Australia (1502 juta USD), diikuti Singapura (1054 juta USD) dan Malaysia (931 juta USD).

32 163

293

992 1,111

1,926

3,132

Africa Middle East America Oceania Europe Asia (Excl Asean)

ASEAN

Ri

b

u

Ji

w

(18)

Gambar 12: Rata-rata Pengeluaran Wisman menurut kewarganegaraan

Sumber: BPS (diolah)

Menurut jenis pengeluarannya, akomodasi menempati posisi paling atas sebesar 3764 juta USD atau sebesar 44% dari total pengeluaran agregat. Hal ini diikuti untuk keperluan makanan & minuman sebesar 19%, souvenir 9%, dan belanja lain 8%. Tingginya biaya akomodasi ini bisa menjadi bisa disebabkan oleh dua hal.

Gambar 13: Jenis Pengeluaran dari para Wisman Tahun 2011 (USD Juta)

Sumber: BPS (diolah)

(19)

 Kondisi Infrastruktur di Perdesaan

Indonesia memiliki ribuan pulau yang tersebar dalam 33 provinsi (dan baru-baru ini disahkan DPR untuk 34 Provinsi) yang masing-masingnya memiliki kondisi geografi yang unuk. Selain menyimpan potensi wisata didalamnya tantangan yang harus ditempuh untuk bisa menikmati hal tersebut adalah kemudahan transportasi untuk menuju lokasi pariwisata yang dimaksud.

Pada 2010, secara umum jumlah bandara di Indonesia mencapai 514 buah. Hal ini menyesuaikan dengan kondisi dari kontur geografis wilayah masing-masing provinsi

tersebut. Gorontalo dan Sulawesi Barat masing-masing hanya memiliki 1 bandara. Sementara Papua yang kondisi geografisnya berbukit memiliki jumlah bandara terbanyak.

Tabel 1: Data Jumlah Bandara per Provinsi Tahun 2010

Provinsi Jumlah Bandara Provinsi Jumlah Bandara

NAD 14 Bali 2

Sumatera Utara 10 Nusa Tenggara Barat 5

Sumatera Barat 5 Nusa Tenggara Timur 15

Riau 7 Kalimantan Barat 52

Jambi 3 Kalimantan Tengah 14

Sumatera Selatan 5 Kalimantan Timur 46

Bengkulu 2 Sulawesi Utara 5

Lampung 5 Sulawesi Tengah 8

Kep Bangka Belitung 2 Sulawesi Selatan 8

Kep Riau 7 Sulawesi Tenggara 5

DKI Jakarta 1 Gorontalo 1

Jawa Barat 13 Sulawesi Barat 1

Jawa Tengah 5 Maluku 12

DI Yogyakarta 2 Maluku Utara 11

Jawa Timur 7 Papua Barat 36

Banten 3 Papua 202

(20)

Dalam skup wilayah desa, kondisi geografis yang sangat beragam menuntut masyarakat di dalamnya untuk menyesuaikan diri dalam menggunakan moda transportasi sesuai dengan kondisi dimana mereka tinggal. Namun demikian modal transportasi darat mendominasi desa-desa di seluruh Indonesia. Gambar 14 menunjukkan bahwa, Persentase Jumlah Desa dengan moda transportasi darat di desa lebih rendah dibandingkan kota. Meski demikian jumlahnya –baik di desa maupun kota- pada 2010 ini lebih meningkat dibandingkan 2008. Tercatat ada sekitar 89,24% unit desa dari total keseluruhan pada 2010 ini, meningkat dibandingkan 2008 yang hanya berjumlah 87,305 pada 2008. sedangkan di kota pada 2010 lalu mencapai 95,23% dari total kota keseluruhan, meningkat dibandingkan 2008 yang hanya 93,83%.

Gambar 14: Persentase Jumlah Desa/Kota Berdasarkan Moda Transportasinya Tahun 2003-2010 (%)

Sumber: Podes 2003-2011 dalam Buku Profil Pembangunan Perdesaan 2012 (diolah)

2003 2005 2008 2010 Desa 93.22 88.76 87.30 89.25 Kota 97.97 85.68 93.83 95.24 84.00

(21)

Sementara itu proporsi jumlah desa dengan moda transportasi air, masih lebih tinggi dari kota. Tercatat jumlah desa dengan moda transportasi air pada 2010 jumlahnya mencapai 2,99%. Turun tipis dibandingkan 2008 yang mencapai 3,12% pada 2008. Sedangkan jumlah kota dengan moda transportasi air jumlahnya relatif stabil antara 2008 dengan 2010, dengan angka sekitar 0,6%.Sementara itu jumlah desa dengan moda transportasi campuran,

proporsinya juga lebih tinggi dibandingkan desa. Tercatat pada 2010 jumlahnya sekitar 7,75%. Atau turun dibandingkan 2008 dengan jumlah sekitar 9,57% dari jumlah desa total. Sedangkan kota pada 2010 jumlahnya mencapai 4,17%, atau turun dari 2008 yang mencapai 5,65%.

Dari data Desa/Kota pengguna moda darat diatas, dapat pula dilihat angka desa/kelurahan berdasarkan kemampuan jalannya untuk dilalui kendaran roda 4. Pada 2010 tercatat jumlah desa pemilik moda jalan darat yang mampu dilalui kendaran roda 4 mencapai angka 87,23%. relativ sama dibandingkan 2008. Sementara itu di kota pada 2010 jumlahnya mencapai 98,49%. Juga relativ sama dibandingkan 2008. Akses Jalan Didesa masih terkendala kualitasnya. Data Podes menunjukkan tahun 2010 jalan tanah masih menutupi 13.6% total jalan desa

Gambar 15: Persentase Jumlah Desa Dengan Moda Jalan Darat Berdasarkan Kemampuannya Untuk Dilalui Kendaran Roda 4 Tahun 2003-2010. Dan Jenis Permukaan Jalan Tahun 2010 (%)

Sumber: Podes 2003-2011 dalam Buku Profil Pembangunan Perdesaan 2012 (diolah)

2003 2005 2008 2010 Desa 89.55 88.88 87.46 87.23 Kota 98.34 88.02 98.56 98.49 86.00

Aspal-Beton Kerikil Tanah Lainnya

Persentase Jumlah Kota-Desa Berdasarkan Jenis Permukaan Jalan

yang Dimiliki Tahun 2010

(22)

Untuk melihat perkembangannya, Berdasarkan jenis lapisannya -secara proporsi, Jumlah Kota yang jalannya sudah beraspal masih lebih tinggi dibandingkan desa. Desa yang jalannya sudah beraspal/beton pada 2010 mencapai 61,44%, meningkat dibandingkan tahun 2008 yang hanya sebesar 55,8% dari total desa. Sementara itu jumlah kota yang masyoritas jalannya beraspal mencapai 94,14%. Angka ini meningkat dibandingkan tahun 2008 sebesar 92,75% dari jumlah total kota. Sedangkan menurut jalan yang telah dikeraskan/ hanya diberi kerikil jumlah proporsi desa lebih unggul dari kota. tercatat jumlah desa pada 2010 menurut kategori ini mencapai 24,38%, sedikit turun dibandingkan 2008 sebesar 26,38%. Sedangkan jumlah kota menurut kategori ini pada 2010 hanya mencapai 4,3% dari total kota yang ada. Angka ini sedikit turun dibandingkan tahun 2008 yang sebesar 5,15%.

Gambar 16: Persentase Jumlah Desa Dengan Moda Transportasi Darat Berdasarkan Jenis Permukaannya Tahun 2003-2010 (%)

Sumber: Podes 2003-2011 dalam Buku Profil Pembangunan Perdesaan 2012 (diolah)

2003 2005 2008 2010 Desa 52.21 58.17 55.80 61.45 Kota 86.08 56.81 92.75 94.14 50.00

2003 2005 2008 2010 Desa 31.67 25.68 26.38 24.39 Kota 9.92 25.45 5.16 4.36 0.00

2003 2005 2008 2010 Desa 15.65 15.67 17.34 13.60 Kota 3.83 16.70 1.97 1.34 0.00

(23)

Untuk kategori Jalan yang masih berbentuk tanah, Desa juga lebih tinggi proporsi jumlahnya dibandingkan kota. Jumlah desa berjalan tanah hingga 2010 mencapai 13,59% dari jumlah desa total, atau lebih rendah dibandingkan 2008 sebesar 17,34%. Sementara itu jumlah Kota berjalan tanah hingga 2010 mencapai 1,34% dari jumlah kota total, turun dibandingkan 2008 sebesar 1,97%.

E. Analisa dan Kesimpulan

Dari paparan diatas diketahui bahwa Indonesia dianugerahi oleh kondisi alam dengan potensi pariwisata yang melimpah. Bila dimanfaatkan dengan baik, dampak peningkatan

kesejahteraan bagi rakyat tentu akan meningkat. Terutama ketika kita bewrbicara dalam sisi wilayah perdesaan.

Hal yang harus kembali diperhatikan dalam pengembangan pariwisata ini adalah dengan memperkecil dampak negatif atas pembangunan itu sendiri, baik dari sisi Sosial, Ekonomi (gap), maupun lingkungan. Menurut Andriotis (2000) pembangunan infrastruktur juga paling bertanggung jawab terhadap terganggunya keseimbangan alam. Hal ini menjadi lebih parah ketika akses terhadap infrastruktur tadi tidak bisa dinikmati oleh warga lokal.

Di perdesaan yang cenderung homogen masalah sosial memang masih belum nampak. Namun, pembangunan infrastruktur bisa menjadi bumerang dengan meningkatkan gap-sosial/ekonomi ketika tidak dilakukan dengan manajemen yang baik. Tingginya konflik di perkotaan nampaknya bisa dijadikan proxy ketika kondisi sosial yang makin kompleks memicu terjadinya konflik antar individu maupun kelompok massa. Hal ini mengingat potensi konflik disana masih cenderung tinggi (lihat Gambar 17).

(24)

Gambar 17: Kondisi Kasus Konflik di Perkotaan dan Perdesaan Tahun 2008-2011

Sumber: Podes 2008-2011 (diolah)

Selain itu peningkatan pelayanan transportasi minimal yang memadai dan merata juga menjadi prioritas guna mewujudkan sistem logistik nasional yang menjamin distribusi bahan pokok, bahan strategis dan nonstrategis untuk seluruh masyarakat melalui penyediaan

(25)

Daftar Pustaka

Andriotis, Konstantinos (2000). Thesis: Local Community Perceptions of Tourism as a Development Tool: The Island of Crete. Bournemouth University.

Bappenas (2013), Profil Pembangunan Perdesaan 2012. Jakarta, Bappenas

BAPPENAS (2012), Rencana Kerja Pemerintah (RKP) tahun 2013, Jakarta, BAPPENAS. BAPPENAS. (2010), Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional 2010-2014: Buku I

& Buku II, Jakarta, BAPPENAS.

Blanke, Jennifer et al (2012). The Travel & Tourism Competitiveness Report 2013: Reducing Barriers to Economic Growth and Job Creation. Geneve, World Economic Forum.

Butler, RW. (2011), “Tourism Area Life Cycle”, Contermporary Tourism Reviews (CTR)

Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 50 Tahun 2011 tentang Rencana Induk Pembangunan Kepariwisataan Nasional Tahun 2010-2025, Republik Indonesia.

Sumber Data Utama

(26)

Lampiran 1: Daftar Situs Warisan Dunia yang diakui dan Pernah diakui, serta, secara Tentatif Diakui oleh PBB

Provinsi

Warisan Dunia

2013 Pernah Tercatat Tentatif

Nanggroe

Gunongan Historical Park (1995)

Sumatera

Utara Bawomataluo Site (2009)

Sumatera

Barat

J a m b i Muarajambi Temple Compound (2009)

Sumatera

Selatan

Bengkulu

Lampung

R i a u

Pulau Penyengat Palace Complex (1995); Muara Takus Compound Site (2009)

Jawa Barat Ujung Kulon National Park

Jawa Sangiran Early Man Site (1996)

Great Mosque of Demak (1995); Sukuh Hindu Temple (1995)

DI

(27)

Compounds

Jawa

Timur

Penataran Hindu Temple Complex (1995); Trowulan - Former Capital City of Majapahit Kingdom (2009)

Banten Banten Ancient City (1995)

B a l i

Landscape of Subak System

Landscape of Subak

System (2012) Besakih (1995); Elephant Cave (1995)

Nusa

Ngada traditional house and megalithic complex (1995)

Kalimantan

Barat

Betung Kerihun National Park (Transborder Rainforest Heritage of Borneo) (2004)

Timur Derawan Islands (2005)

Sulawesi

Utara

Waruga Burial Complex (1995); Bunaken National Park (2005) Sulawesi

Tengah

Sulawesi

Selatan

Tana Toraja Traditional Settlement (2009); Taka Bonerate National Park (2005); Prehistoric Cave Sites in Maros-Pangkep (2009)

Sulawesi

Tenggara Wakatobi National Park (2005)

(28)

Sulawesi

Barat

Maluku

Belgica Fort (1995); Banda Islands (2005)

Maluku

Utara

Irian Jaya

Barat Raja Ampat Islands (2005)

Papua

Lorentz National Park

(29)

Lampiran 2: Deviasi Proporsi Alokasi Anggaran Daerah Berdasarkan Fungsi Antar Tahun 2008-2012

Pel

Umum Tib&Kam Ekonomi

Ling Hdp

Perumahan

& Fasum Kesehatan Budpar Pendidikan Lin Sos

2008 2.95 (0.03) 0.04 0.28 0.59 (0.18) 0.04 (3.68) (0.02)

2009 (1.88) 0.06 (0.06) (0.07) (1.07) 0.43 (0.07) 2.51 0.15 2010 1.62 (0.01) 0.01 0.05 (2.58) 0.37 0.02 0.52 (0.01)

Gambar

Gambar 1: Perkembangan Kunjungan Wisatawan Mancanegara (Wisman) 15 Tahun
Gambar 2: Indeks daya Saing Pariwisata Dunia Tahun 2013
Gambar 3: Pola Konsumsi Dalam Masyarakat Tahun 2000-2011
Gambar 4: Deskripsi Sub-Indeks Daya Saing Infrastruktur Dalam Indeks Daya Saing Pariwisata Dunia Tahun 2013
+7

Referensi

Dokumen terkait

Model tersebut menunjukkan bahwa jumlah kedatangan dan jumlah pelayanan kereta setiap interval waktu 1 jam di stasiun berdistribusi Poisson dengan lima fasilitas

Penelitian ini bertujuanuntuk; 1) mengetahui kondisi usahatani padi sawah dan usahatani kedelai; 2) biaya, penerimaan dan pendapatan usahatani padi sawah dan usahatani

Apapun yang dikemukakan oleh para ahli tentang psikologi pendidikan, dapat disimpulkan bahwa psikologi pendidikan adalah cabang dari psikologi yang dalam

Dari Tabel 2 dapat diketahui bahwa kejadian gempa bumi dengan M>6,0 di wilayah Morotai disebabkan oleh 2 jenis sumber gempa, yaitu berasal dari subduksi dengan

Dengan ini saya bersedia berpartisipasi sebagai responden dalam penelitian yang dilakukan oleh saudari Distia Taravella selaku mahasiswa DIV Keperawatan Politeknik

Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui apakah terdapat perbedaan sikap konsumen atas merek dan niat beli pada penerapan direct premium fit dan non fit dengan produk

Dari beberapa tinjauan tersebut, maka dalam Tugas Akhir ini dirancang sistem pengendalian flow inlet gas pada purifikasi biogas menggunakan water scrubber dengan

Tikus putih yang mengonsumsi rodentisida dengan bahan aktif flokumafen paling banyak dikonsumsi oleh burung hantu celepuk pada perlakuan tiga hari yaitu (77.89 g),