e-ISSN 2528-1488, p-ISSN 1411-0172
ADAPTASI KLON-KLON LOKAL UBIJALAR DI
DATARAN RENDAH PAPUA
ADAPTATION OF LOCAL SWEET POTATO CLONES
IN THE LOWLANDS OF PAPUA
Demas Wamaer1
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Papua Barat
Received March 17, 2017 – Accepted July 17, 2017 – Available online December 24, 2017
ABSTRACT
Objective of study was to obtain local clones of adaptive lowland ubijalar in Papua. Experiment was conducted in lowland dry season 2012/2013 in two locations, namely Keerom and Jayapura districts. Randomized Block Design (RAK), 10 local varieties of adaptive lowland Papua and two national superior varieties (Beta 2 and Cangkuang) were used. Cultivation technique used is a bund system. Results: there were three local varieties with higher yield and yield potential than Beta-2 comparison varieties (22.4 t/ha with yield potential 22.9 t/ha) and Cangkuang (20.6 t/ha with potential yield 21,6 ta/ha), while the three local varieties are Ningkay-3 having average productivity 27,5 t/ha (yield potential 28,0 t/ha) Ningkay-6 has productivity 24,9 t ha yield potential 28.1 t/ha) and Ordinance Tingkamang-1 has an average productivity of 23.8 t/ha (yield potential of 24.5 t/ha). These three varieties are Ningkay-3, Ningkay-6, and Oringking Tingkamang-1 each also has a very high tuber-dry production either compared to other test varieties or with a comparison variety, the averaged average is 9,3; 8,0 and 7.3 t/ha with dry matter 33.8; 32.3 and 30.8 percent respectively. Further testing with various seasons and more locations and varying altitude is required.
Key-words: local clon, sweet potato, Papua
INTISARI
Tujuan penelitian: mendapatkan klon lokal ubijalar yang adaptif dataran rendah di Papua. Penelitian dilaksanakan di lahan kering dataran rendah musim penghujan 2012/2013 di dua lokasi, yaitu Kabupaten Keerom dan Jayapura. Digunakan Rancangan Acak Kelompok (RAK), 10 varietas lokal Papua adaptif dataran rendah dan dua varietas pembanding unggul nasional (Beta Dua dan Cangkuang). Teknik budidaya yang digunakan adalah sistem guludan. Hasil: terdapat tiga varietas lokal yang memiliki produksi dan potensi hasil umbi lebih tinggi dibanding varietas pembanding Beta Dua (22,4 t per ha dengan potensi hasil 22,9 t per ha) dan Cangkuang (20,6 t per ha dengan potensi hasil 21,6 t per ha), sedangkan ketiga varietas lokal tersebut adalah Ningkay-Tiga memiliki rata-rata produktivitas 27,5 t per ha (potensi hasil 28,0 t per ha), Ningkay-Enam memiliki produktivitas 24,9 t per ha (potensi hasil 28,1 t per ha), dan Ornaning Tingkamang-Satu memiliki rata-rata produktivitas 23,8 t per ha (potensi hasil 24,5 t per ha). Ketiga varietas ini adalah Ningkay-Tiga, Ningkay-Enam, dan Ornaning Tingkamang-Satu masing-masing juga memiliki produksi bahan kering umbi yang sangat tinggi, baik dibanding dengan varietas uji lainnya atau dengan varietas pembanding, rata-rata yang diberikan yaitu secara berurutan adalah 9,3; 8,0, dan 7,3 t per ha dengan bahan kering 33,8; 32,3, dan 30,8 persen. Perlu dilakukan pengujian lebih lanjut dengan berbagai musim dan lokasi yang lebih banyak serta ketinggian tempat yang bervariasi.
Kata kunci: klon lokal, ubijalar, Papua
1
PENDAHULUAN
Ubijalar merupakan pangan pokok bagi suku-suku yang hidup di wilayah yang sumber pangan alternatifnya sangat sedikit seperti yang hampir tidak memiliki tanaman pangan tradisional lain seperti sagu. Di beberapa lokasi, kedudukan ubijalar sangat strategis, baik dari aspek ekologi maupun
dari aspek ekonomi. Peluang untuk
mendapatkan komoditas substitusi ubijalar sebagai bahan pangan relatif kecil. Secara ekologis, sangat langka tanaman pangan berisiko rendah selain ubijalar yang mampu beradaptasi dan berproduksi dengan baik dengan teknologi sederhana. Dari aspek ekonomi, memasok ubi jalar dari kabupaten lain ke lokasi tertentu yang sangat terisolasi merupakan alternatif yang kurang ekonomis karena sulitnya transportasi dan logistik. Bagi penduduk daerah pedalaman yang menggunakan ubijalar sebagai makanan pokok sering mengalami kesulitan, karena pertanaman gagal berproduksi sebagai akibat dari pengaruh alam yang ekstrim (banjir dan kekeringan) atau serangan hama atau penyakit. Dengan demikian teknologi alternatif untuk mengatasi masalah tersebut
harus tersedia. Secara politis
mempertahankan ubijalar sebagai pangan
pokok ikut mendorong terwujudnya
diversifikasi pangan nasional.
Dalam kaitannya dengan spesifik komoditas, arah pengembangan pertanian
dilandasi oleh upaya pelestarian
swasembada pangan dan pemantapan
program diverisifikasi pangan mendukung ketahanan pangan dan pengembangan agro-industri. Peluang pengembangan pertanian Papua yang didasarkan pada spesifik komoditas sangat erat kaitannya dengan peningkatan produktivitas usaha tani tanaman pangan bagi petani. Komoditas
ubijalar merupakan komoditas tanaman pangan yang perlu mendapat perhatian
untuk semua agro-ekosistem yang
menunjang untuk Papua.
Jenis kultivar ubijalar yang diusahakan sangat bervariasi. Lembah Baliem memiliki keragaman genetik lebih luas dibanding daerah-daerah luar lembah. Jumlah kultivar budidaya ubijalar pada daerah lembah Baliem sudah dikoleksi oleh
CIP-ESEAP bekerjasama dengan
Balitbiogen dan Balitkabi sebelum tahun 2000. Hasil identifikasi terhadap sifat tanaman di kabupaten Jayawijaya ditemui beberapa kultivar yang memiliki morfotipe khusus seperti tipe daun bulat berlekuk
dangkal dan menggulung ke atas,
permukaan daun yang mengkilap seperti minyak. Ditinjau dari segi kegunaan juga ada kultivar yang digunakan sebagai suguhan dalam acara ritual dan adat, makanan ternak babi dan bahan obat-obatan tradisional mereka. Sehubungan dengan semakin banyaknya jenis-jenis lokal dan varietas unggul yang berumur pendek yang digunakan masyarakat maka jenis-jenis yang berumur dalam cenderung menghilang (Achmadi 1988). Dalam rangka untuk mengatasi hilangnya kultivar-kulivar lokal di kabupaten Jayapura dan Keerom maka dilakukan koleksi (explorasi) varietas lokal yang mungkin nantinya cocok digunakan untuk berbagai kegunaan, baik untuk menjaga ketahanan pangan maupun sebagai bahan baku agro-industri.
Kebiasaan masyarakat pegunungan yang
memanen ubijalar secara bertahap
(peacemeal harvesting), dari berbagai aspek
pengolahan produk antara yang dapat disimpan. Penyimpanan ubijalar dalam bentuk segar dalam waktu lama juga belum dipraktekkan oleh petani. Mengingat hasil panen per satuan luas cukup tinggi sedangkan pemasaran umumnya dalam bentuk segar, maka sering terjadi penurunan mutu sebelum bahan sampai ke tangan konsumen.
Kendala penyediaan yang lain adalah sifat musiman panen ubijalar. Pada saat musim panen ubijalar melimpah,
sedangkan pada saat musim tanam
ketersediaannya kurang. Untuk mengatasi kontinuitas penyediaan ubijalar segar maka diupayakan menciptakan produk setengah jadi yang tahan simpan dan bersifat seperti ubijalar segar (sebagai makanan pokok) pada saat diolah serta dapat digunakan sebagai bahan substitusi atau suplementasi produk yang sudah ada.
Sampai saat ini Kementerian Pertanian sudah menghasilkan tiga varietas unggul ubijalar adaptif dataran tinggi, yaitu Papua Solossa, Papua Pattipi, dan Sawentar yang penelitiannya sebagian besar dilakukan di Papua, terutama di daerah pegunungan Jayawijaya. Sementara untuk dataran rendah, petani selama ini pada umumnya menggunakan varietas lokal.
Pada tahun 2009 Dinas Pertanian dan
Ketahanan Pangan Provinsi Papua
bekerjasama dengan Balai Penelitian Tanaman Kacang-kacangan dan Umbi-umbian (Balitkabi) telah melakukan explorasi varietas lokal ubijalar di empat kabupaten di Papua yang mewakili dataran rendah Papua, yaitu Kabupaten Jayapura, Kota Jayapura, Kabupaten Kerom, dan Kabupaten Merauke. Dari kegiatan tersebut diperoleh sebanyak 41 aksesi (jenis) varietas lokal dan setelah dievaluasi daya hasilnya di beberapa lokasi dataran rendah ternyata hasil umbinya cukup bagus dan begitu juga
kualitas umbinya. Terdapat dua varietas lokal Papua yang memiliki potensi hasil yang cukup tinggi, yaitu varietas lokal Yoka yang berasal dari desa Yoka, distrik Heram, Kota Jayapura dan Ornaning Kokurap yang berasal dari desa Sanggai, distrik Namblong, kabupaten Jayapura. Umbi dari kedua varietas lokal ini berpeluang untuk digunakan sebagai bahan baku industri pati
dan juga sebagai makanan pokok
masyarakat setempat. Untuk bisa digunakan secara komersil maka kedua varietas lokal tersebut harus dirilis (dilepas) terlebih dahulu sebagai varietas unggul. Untuk itu dalam rangka mendukung usulan pelepasan varietas tersebut maka dilakukan kegiatan pengkajian dan penelitian ini.
Evaluasi potensi hasil dan keragaan
agronomis dari semua aksesi yang
dikumpulkan terus dilakukan di dataran rendah Papua oleh Dinas Pertanian dan Ketahanan Pangan Provinsi Papua dan BPTP Papua serta oleh Balitkabi. Dari evaluasi tersebut terdapat dua aksesi yang konsisten memberikan daya hasil yang tinggi di dataran rendah dan berpeluang untuk dilepas sebagai varietas unggul. Kedua varietas lokal tersebut adalah Yoka lima yang berasal dari Distrik Heram Kota Jayapura dan Ornaning Kokurap Satu dari
Desa Sanggai, Distrik Namblong,
Kabupaten Jayapura. Karakterisasi sifat
morphologi telah dilakukan sewaktu
kegiatan inventarisasi (Jusuf dkk 2009). Dari pengujian di beberapa lokasi kedua klon ini terindikasi memiliki rata-rata dan potensi hasil yang tinggi. Hasil pengujian di tiga lokasi di Malang (Jatim) dan Sentani
(Papua), kedua varietas lokal ini
Kedua varietas lokal ini memiliki bentuk umbi yang cukup bagus dan kadar bahan kering yang cukup tinggi (30 persen). Kedua varietas lokal ini ditanam cukup luas di dataran rendah Papua terutama di Kota dan Kabupaten Jayapura (komunikasi personal). Adapun untuk varietas lokal ubijalar dataran tinggi dulu pernah diajukan oleh BPTP Papua untuk dilepas tapi belum disetujui dan kali ini akan diajukan lagi. Varietas lokal yang diajukan adalah Helaleke Lama untuk makanan manusia dan Musan untuk makanan babi (Makalah usulan pelepasan terlampir). Di samping itu juga ada dukungan data penelitian kerjasama CIP-ACIAR-Balitkabi selama tahun 2002 hingga 2004. Kedua varietas lokal dataran tinggi tersebut berasal dari Kabupaten Jayawijaya.
Dari kenyataan tersebut disimpulkan bahwa untuk varietas lokal dataran rendah pengusulnya adalah Dinas Pertanian dan Ketahanan Pangan Provinsi Papua, Balitkabi, dan BPTP Papua. Adapun untuk varietas lokal dataran tinggi, pengusulnya adalah BPTP Papua, ACIAR, Balitkabi, dan Dinas Pertanian dan Ketahanan Pangan, Provinsi Papua. Jayapura. Rancangan yang digunakan adalah
Rancangan Acak Kelompok (RAK)
menggunakan 10 varietas lokal Papua adaptif dataran rendah dan dua varietas pembanding unggul nasional (Beta Dua dan
Cangkuang). Teknik budidaya yang
digunakan adalah sistem guludan dengan jarak tanam 100 cm x 25 cm satu stek per
lobang, pemupukan 300 kg Phonska + 100 kg Urea + 20 kg Furadan + 5 ton pupuk
kandang per hektar. Pupuk phonska
diberikan dua kali, yaitu pada saat tanaman berumur satu minggu dengan takaran sepertiga bagian pupuk dan sisanya diberikan pada umur 1,5 bulan setelah tanam, sedangkan pupuk kandang hanya pada saat tanam. Pengendalian hama atau penyakit lainnya dilakukan secara intensif. Ukuran petak 3 m x 5m dengan tiga ulangan.
Pemeliharan meliputi penyiangan,
pembalikan batang, dan pengendalian hama dan penyakit utama dilakukan sesuai dengan kebutuhan. Panen umbi dilakukan pada umur empat hingga 4,5 bulan setelah tanam. Data yang diamati meliputi: jumlah dan berat umbi dari umbi besar, sedang, dan kecil per plot, berat brangkasan, bahan kering umbi, skor bentuk umbi, skor keseragaman bentuk dan ukuran umbi, skor rengkah, skor serangan hama utama (pemakan daun, penggulung daun, dan hama boleng), skor serangan penyakit utama (kudis, bercak coklat, dan bercak ungu).
21,2 t per ha serta memberikan rataan 19,41 t per ha, sedangkan varietas pembanding unggul nasional Cangkuang memberikan rata-rata produksi umbi 19,5 t per ha. Hasil uji analisis menunjukkan bahwa hanya varietas lokal Ningkay Tiga saja yang berbeda sangat nyata lebih tinggi terhadap semua varietas yang diuji termasuk terhadap varietas pembanding, yaitu Beta Dua dan Cangkuang (Tabel 1).
Rata-rata produksi umbi dari 12 klon yang diuji di Besum (Kabupaten Jayapura) sekitar 22,62 t per ha dengan kisaran hasil 18,8 hingga 28,1 t per ha. Dari 12 klon yang diuji terdapat dua klon yang memberikan rata-rata produksi di bawah 20 t per ha, yaitu Tinta (19,9 t per ha) dan Siape (18,8 t per ha), sedangkan klon uji lainnya memberikan rata-rata produksi antara 20,0 hingga 28,1 t per ha. Klon Ningkey Enam, Ningkey Tiga, dan Ornaning Tingkamang Satu merupakan klon yang memiliki rata-rata produksi tertinggi di lokasi ini, yakni 28,1; 28,0, dan 24,5 t per ha. Analisis sidik ragam menunjukkan bahwa klon Ningkey Enam dan Ningkey Tiga memberikan produksi berbeda sangat nyata terhadap
semua klon uji, termasuk varietas
pembanding Beta Dua dan Cangkuang yang memberikan hasil masing-masing 22,9 t per ha dan 21,8 t per ha. Akan tetapi produksi klon Ningkey Enam dan Ningkey Tiga tidak berbeda nyata lebih tinggi terhadap varietas uji Ornaning Ti
Dari Tabel 1 terlihat bahwa rata-rata hasil di Besum (22,62 t per ha) lebih tinggi
dibanding Keerom (19,41). Hal ini
menunjukkan bahwa lokasi Besum memiliki tingkat kesuburan tanah yang lebih baik
dibanding Keerom, di samping itu
kemungkinan klon yang diuji lebih adaptif terhadap jenis atau tekstur tanah di lokasi Besum. Hasil rata-rata masing-masing klon dari Tingkamang Satu (Tabel 1).
Kedua lokasi tersebut menunjukkan bahwa tujuh varietas memberikan rata-rata hasil di atas 20 t per ha. Ketujuh varietas tersebut adalah Ningkey Tiga, Ningkey Enam, Ornaning Tingkamang Satu, Beta Dua, Ningkey Dua, Cangkuang, dan Ningkey Empat dengan rata-rata produksi masing-masing secara berurutan adalah 27,5; 24,6; 23,8; 22,4; 21,8; 20,6, dan 20,3 t per ha (Tabel 1).
Bahan Kering Umbi. Bahan kering umbi merupakan parameter yang sangat penting dalam seleksi ubijalar untuk konsumsi karena menyangkut produksi bahan kering umbi dan enak tidaknya umbi yang dimakan. Kadar bahan kering umbi berkorelasi positif dengan kadar pati, sedangkan kandungan pati umbi berkolerasi positif enak tidaknya rasa umbi suatu varietas, umbi yang mengandung pati yang tinggi cenderung memberikan rasa enak (Wang 1982).
Perbedaan kadar bahan kering umbi antar-lokasi tidak terlalu nyata karena kadar
bahan kering umbi memiliki nilai
varietas Cangkuang (34,3 persen). Lain halnya dengan pengujian yang dilakukan di Besum, rata-rata kadar bahan kering umbi dari semua klon uji 33,27 persen dan semua klon uji memiliki kadar bahan kering umbi berbeda nyata lebih rendah terhadap kadar
bahan kering varietas pembanding
Cangkuang (34,8 persen). Adapun klon uji lainnya (selain Siape dan Malugurom) memiliki kadar bahan kering umbi yang berbeda nyata lebih rendah dibanding varietas Cangkuang. Untuk parameter bahan kering umbi memang varietas pembanding Cangkuang yang dijadikan pembanding karena memiliki bahan kering yang tinggi dibanding dengan varietas pembanding Beta Dua yang indikasinya lebih ke kandungan beta karotin, sedangkan varietas Cangkuang lebih terindikasi ke bahan kering dan pati tinggi.
Hasil rata-rata bahan kering umbi dari dua lokasi pengujian terdapat dua varietas uji yang memiliki kadar bahan kering umbi setara dengan pembanding Cangkuang. Kedua varietas tersebut adalah Siape dan Malugurom dengan rata-rata bahan kering masing-masing adalah 34,4 dan 34,1 persen, sedangkan varietas pembanding Cangkuang memberikan rata-rata bahan kering umbi 34,6 persen Kisaran bahan kering umbi klon uji lainnya antara 30,8 hingga 33,8 persen sehingga dengan demikian semua varietas yang diuji ini tergolong memiliki bahan kering umbi yang tinggi.
Pada dasarnya kandungan bahan kering umbi pada varietas yang sama tidak terlalu berpengaruh terhadap perbedaan lokasi, pengaruh terhadap kandungan bahan
kering umbi ditandai dengan warna
dagingnya. Warna daging selain oranye cenderung memiliki kadar bahan kering umbi lebih tinggi dibanding klon atau varietas yang memiliki kandungan beta karotin. Permasalahan yang dihadapi dalam pembentukan varietas ubijalar berkadar beta karotin tinggi adalah kadar air tinggi dan bahan kering rendah (Yamakawa 1998) serta rasa manis dan lembek di mulut (Woolfe 1992). Untuk produk tepung dibutuhkan klon dengan kadar bahan kering yang tinggi, sedangkan untuk produk jus dibutuhkan klon dengan kadar beta karotin dan hasil tinggi (Ginting 2004).
Produksi Bahan Kering Umbi. Pola produksi bahan kering pada tanaman ubijalar telah dipelajari oleh beberapa peneliti. Maksimasi total produksi bahan kering pada tanaman ubijalar tergantung pada ketersediaan radiasi matahari, kapasitas fotosintesis dari tanaman, dan durasi dari kapasitas tersebut. Peningkatan radiasi atau aktifitas fotosintesis dan pemeliharaan pada waktu yang panjang akan meningkatkan produksi bahan kering (Kuo & Cen 1992).
Hasil penelitian Ningsih (1992)
menunjukkan bahwa nilai heritabilitas kandungan bahan kering umbi dari 18 klon ubijalar yang diteliti cukup tinggi, yaitu 61,2 + 19,5 persen (famili) dan 58,6 + 9,8 persen (individu tanaman).
Rata-rata produksi bahan kering umbi dari 12 klon uji di Keerom adalah 6,31 t per ha dengan kisaran 4,4 hingga 9,1 t per ha. Rata-rata produksi bahan kering umbi tertinggi dimiliki oleh klon Ningkey Tiga (9,1 t per ha) diikuti oleh Ningkey 6 (7,1 t per ha). Analisis sidik ragam menunjukkan bahwa produksi bahan kering kedua klon ini berbeda nyata lebih tinggi dibanding kedua varietas Beta Dua (6,9 t per ha) dan Cangkuang (6,7 t per ha) serta terhadap semua klon uji. Akan tetapi produksi bahan kering umbi klon Ningkey Tiga tidak berbeda nyata lebih tinggi dibanding klon Ningkey Enam (Tabel 1). Tingginya produksi bahan kering umbi dari Ningkey
Tiga dan Ningkey Enam terutama
disebabkan produksinya yang tinggi, sedangkan kadar bahan keringnya hampir sama dengan klon uji lainnya.
Untuk pengujian di Besum, rata-rata produksi bahan kering umbi dari 12 klon uji di Keerom adalah 7,51 t per ha dengan
kisaran 6,5 hingga 9,0 t per ha. Produksi bahan kering umbi tertinggi dimiliki oleh klon Ningkey Tiga (9,5 t per ha), oleh Ningkey Enam (9,0 t per ha). Sama halnya dengan penelitian di Besum, tingginya produksi bahan kering umbi kedua klon ini terutama disebabkan oleh produksi umbi.
Apabila produksi bahan kering di Besum dan Keerom digabung dan dirata-ratakan maka terlihat klon Ningkey Tiga memiliki produksi bahan kering tetinggi dan diiikuti oleh Ningkey Enam berturut-turut 9,3 t per ha dan 8,0 t per ha. Tingginya produk bahan kering dari kedua klon ini disebabkan tingginya produksi umbi dan
kadar bahan kering umbi sehingga
berpengaruh pada produksi bahan kering umbi. Dalam hal ini varietas pembanding Cangkuang (7,1 t per ha) dan Beta Dua (7,1 t per ha) memiliki produksi bahan kering jauh di bawah Ningkey Tiga dan Ningkey Enam (Tabel 1).
Tabel 1 : Rata-rata produksi umbi (t/ha), bahan kering umbi (%), dan produksi bahan kering umbi (t/ha) di dua lokasi pengujian, MP 2012/2013
Klon/ Varietas
Produksi (t/ha) Bahan kering (%) Prod bhn kering (t/ha)
Keerom Besum Rerata Keerom Besum Rerata Keerom Besum Rerata
Tinta 19,3 19,9 19,6 32,5 33,3 32,9 6,3 6,6 6,4
Siape 15,4 18,8 17,1 34,3 34,5 34,4 5,3 6,5 5,9
Yoka 2 19,1 20,0 19,6 32,7 32,8 32,8 6,2 6,6 6,4
Ningkey 2 21,2 22,4 21,8 32,0 32,5 32,3 6,8 7,3 7,0
Ningkey 3 27,0 28,0 27,5 33,8 33,8 33,8 9,1 9,5 9,3
Ningkey 4 18,1 22,5 20,3 32,5 33,0 32,8 5,9 7,4 6,7
Ningkey 6 21,7 28,1 24,9 32,5 32,0 32,3 7,1 9,0 8,0
Malugurom 12,9 22,1 17,5 33,8 34,3 34,1 4,4 7,6 6,0
Inggo Lakuwe 13,8 20,5 17,1 33,2 33,3 33,3 4,6 6,8 5,7
O. Tingkamang 1 23,1 24,5 23,8 28,5 33,1 30,8 6,6 8,1 7,3
Beta 2 (Cek) 21,8 22,9 22,4 31,5 31,7 31,6 6,9 7,2 7,1
Cangkuang (Cek) 19,5 21,6 20,6 34,3 34,8 34,6 6,7 7,5 7,1
Rataan 19,41 22,62 - 32,64 33,27 - 6,31 7,51 -
KK (%) 17,68 14,49 - 1,77 1,75 - 18,26 14,48 -
Karakteristik Umbi. Karakter umbi yang penting dalam seleksi ubijalar mencakup kualitas, bentuk, keseragaman bentuk dan ukuran, rengkah umbi serta warna kulit dan daging umbi. Kualitas umbi yang baik dicirikan dengan kandungan bahan kering yang tinggi dan apabila dimasak terasa kesat dan mempur, dan demikian pula sebaliknya umbi yang memiliki kualitas kurang baik biasanya memiliki kandungan air yang tinggi atau kandungan bahan kering yang rendah, apabila dimasak umbi tersebut terasa lembek dan berair. Selain kualitas
umbi, bentuk umbi juga merupakan
parameter penting dalam seleksi ubijalar. Pada Tabel 2 terlihat bahwa dari 12 klon yang diuji, terdapat satu klon yang memiliki kualitas umbi yang baik (skor lima), yaitu Tinta, 10 klon tergolong memiliki kualitas umbi cukup baik (skor digunakan untuk konsumsi, biasanya umbi yang bentuknya bagus akan lebih diminati daripada umbi yang kurang baik bentuknya. Bentuk umbi yang baik adalah yang berbentuk lonjong dengan permukaan umbi yang rata (tidak berlekuk lekuk). Biasanya untuk tujuan industri makanan, terutama kripik, dibutuhkan umbi yang bentuknya
bagus tidak berlekuk karena mudah
mengupasnya dan tidak banyak umbi yang terbuang sewaktu umbi dikupas. Adapaun untuk tujuan konsumsi dan untuk keperluan keluarga sendiri, bentuk umbi tidaklah begitu dipentingkan. Dari 12 klon yang diuji hanya satu klon yang memiliki bentuk umbi yang bagus (skor lima), yaitu Siape, delapan klon memiliki bentuk umbi agak baik (skor
empat), dan tiga klon memiliki bentuk umbi sedang (skor tiga). Klon Ningkey Tiga dan Ningjkey Enam dengan produksi bahan kering tertinggi memiliki bentuk umbi sedang (skor empat) (Tabel 2). Parameter seleksi lainnya yang diamati juga meliputi keseragaman bentuk dan ukuran umbi. Petani ataupun konsumen pada umumnya lebih menyukai ubi yang seragam, baik dari segi bentuk maupun ukurannya, dan terlebih lagi untuk kebutuhan industri yang pada umumnya sudah menggunakan peralatan
modern. Rengkah juga merupakan
parameter seleksi pada tanaman ubijalar karena di samping penampilan ubi kurang bagus, harganya juga lebih rendah daripada ubi yang tidak rengkah. Rengkah dapat disebabkan oleh nematoda, genetis atau masa panen yang terlalu lama.
Daging umbi dari varietas lokal Papua semuanya berwarna kuning dan perbedaan warnanya hanya pada tingkat kecerahan atau kegelapan daging umbinya. Dari 10 klon yang diuji, tujuh klon memiliki warna daging umbi kuning muda (K2), satu klon kuning sedang (K3), dan dua klon memiliki daging umbi berwarna gelap (K5). Klon yang memiliki daging umbi berwarna kuning gelap biasanya memiliki kadar bahan kering yang tinggi dan rasanya lebih enak dari klon dengan daging umbi berwarna cerah (K2). Klon yang memiliki daging umbi berwarna kuning gelap (K5) adalah klon Malugurom dan Ningkey Empat, sedangkan klon dengan daging umbi kuning sedang (K3) dimiliki oleh klon Yoka Dua.
Pengamatan dangan cara pemberian skor mengikuti buku panduan oleh Rasco (1994). Umbi dengan warna daging oranye yang sangat gelap berkorelasi dengan
tingginya kandungan β-karotin dan umbi
dengan memiliki kandungan β-karotin yang
vitamin A yang tinggi dan ini bermanfaat bagi manusia yang memiliki masalah dengan kesehatan mata. Umbi dengan warna daging oranye juga baik sebagai bahan pewarna dalam dalam makanan karena warna oranye yang dikandung tidak mengandung zat kimia jadi aman untuk dikonsumsi olah manusia. Adapun umbi dengan warna daging ungu yang sangat
gelap berkorelasi dengan tingginya
kandungan antosianin.
Serangan Hama dan Penyakit. Hama yang sering dijumpai di lapangan adalah pemakan daun yang disebabkan oleh Aspidomorpha
miliaris F. Dari 10 varietas lokal Papua dan
dua varietas unggul nasional yang diuji di lokasi Keerom memberikan rataan skor untuk hama pemakan daun adalah 3,9 (Tabel4). Nilai ini sudah masuk dalam katagori skor empat, sedangkan di lokasi Besum memberikan rataan 4,3 (Tabel 5), jadi di kedua pengujian ini memiliki tingkat serangan hama pemakan daunnya sekitar 11 hingga 25 persen.
Tabel 2. Skor karakteristik umbi dari klon lokal Papua adaptif dataran rendah di Besum dan Keerom MP 2012/2013.
Klon/ Bentuk Kualitas Keseragaman Rengkah Warna
Varietas umbi Umbi Bentuk Ukuran Kulit Daging
Tinta 3,0 5,0 4,0 4,0 5,0 K2 K2 U2
Siape 5,0 4,0 5,0 5,0 5,0 M3 K2
Yoka 2 3,0 4,0 4,0 3,0 3,0 M4 K3 U2
Ningkey 2 3,0 4,0 4,0 4,0 3,0 M6 K2
Ningkey 3 4,0 4,0 4,0 4,0 3,0 M6 K2
Ningkey 4 4,0 4,0 5,0 4,0 4,0 M4 K5
Ningkey 6 4,0 4,0 5,0 4,0 5,0 M1 K2
Malugurom 4,0 3,0 4,0 3,0 5,0 M5 K5 O1
Inggo Lakuwe 4,0 4,0 5,0 4,0 4,0 K3 O2
O. Tingkamang 1 4,0 4,0 4,0 3,0 3,0 K2 K2
Beta 2 (Cek) 4,0 4,0 4,0 4,0 4,0 M6 O3
Cangkuang (Cek) 4,0 4,0 4,0 4,0 3,0 M6 K3
Rataan 3,8 4,0 4,3 3,8 3,9 - -
Ket : a) 5=baik, 4= agak baik, 3=sedang, 2=agak jelek, 1=jelek.
b) 5=seragam, 4=agak seragam, 3=sedang, 2=agak bervariasi, 1=bervariasi. c) 1 = rengkah >75%, 2 = rengkah 51-75%, 3 = rengkah 26.50%, 4 = rengkah 11-25 %, 5 = tidak ada rengkah.
Tabel 3 : Rata-rata karakteristik pada pengujian kajian potensi hasil calon varietas ubijalar lokal Papua adaptif dataran rendah mendukung pelepasan varietas Besum, Papua MK II 2012.
Klon/ Bentuk Kualitas Keseragaman Rengkah
Warna
Varietas umbi Umbi Bentuk Ukuran Kulit Daging
Tinta 4,0 5,0 4,0 4,0 5,0 K2 K2 U2
Siape 5,0 4,0 5,0 5,0 5,0 M3 K2
Yoka 2 4,0 5,0 5,0 5,0 4,0 M4 K3 U2
Ningkey 2 4,0 5,0 5,0 5,0 5,0 M6 K2
Ningkey 3 4,0 5,0 4,0 4,0 4,0 M6 K2
Ningkey 4 5,0 5,0 4,0 4,0 5,0 M4 K5
Ningkey 6 4,0 4,0 5,0 4,0 4,0 M1 K2
Malugurom 4,0 4,0 4,0 4,0 4,0 M5 K5 O1
Inggo Lakuwe 4,0 4,0 5,0 4,0 5,0 K3 O2
O. Tingkamang 1 4,0 4,0 4,0 4,0 4,0 K2 K2
Beta 2 (Cek) 5,0 4,0 5,0 4,0 5,0 M6 O3
Cangkuang (Cek) 5,0 4,0 4,0 4,0 5,0 M6 K3
Rataan 4,3 4,4 4,5 4,3 4,6 - -
Ket : a) 5=baik, 4= agak baik, 3=sedang, 2=agak jelek, 1=jelek.
b) 5=seragam, 4=agak seragam, 3=sedang, 2=agak bervariasi, 1=bervariasi.
c) 1 = rengkah >75%, 2 = rengkah 51-75%, 3 = rengkah 26.50%, 4 = rengkag 11-25 % 5 = tidak ada rengkah.
d) M=merah, K=kuning, P= putih, O=oranye, 1=sangat pucat, 2=agak pucat, 3= pucat. 4= cerah, 5= agak gelap, 6= gelap, 7= sangat gelap.
Pengamatan yang dilakukan dengan cara memberi skor, cara ini belum bisa untuk menentukan varietas atau klon yang diuji tersebut tahan terhadap hama ini, karena untuk menentukan klon yang tahan atau toleran, harus melakukan pengujian dengan
cara screening terhadap hama yang
dimaksud. Hama lainnya yang ditemui di lapangan adalah hama penggulung daun
(Black leaf folder) yang disebabkan oleh
Brachmia convalvuli Wals. Kegiatan
penelitian yang dilakukan di lokasi Keerom memberikan rataan skor 4,6 (Tabel 4) dan di lokasi Besum memberikan rataan skor 4,5 (Tabel 5). Arti dari kedua nilai skor ini adalah memiliki tingkat serangan berkisar
antara 11 hingga 25 persen. Cara
menanggulangi hama ini adalah melakukan penyemprotan dengan insektisida Decis.
Pada umumnya petani tidak melakukan
pengendalian hama menggunakan
insektisida karena harganya mahal sehingga salah satu cara mengatasinya adalah dengan memanennya lebih awal. Hama boleng merupakan hama yang paling berbahaya pada tanaman ubijalar yang disebabkan oleh
Cylas formicarius. Sampai saat ini belum
(Tabel 4) dan di lokasi Besum adalah 4,1 (Tabel 5). Arti dari kedua nilai skor ini adalah memiliki tingkat serangannya berkisar antara 11 hingga 25 persen.
Dengan demikian selama melakukan penelitian di kedua lokasi, yaitu Keerom dan Besum, hama boleng ini tidak terlalu serius menyerang. Hal ini kemungkinan karena waktu tanam yang pas dan melakukan panen yang tepat serta pemeliharaan yang optimal.
Hama boleng ini muncul biasanya
disebabkan tanah yang mengalami
kekeringan dan bisa juga melakukan panen yang tertunda, dan untuk mengatasi hal itu harus dilakukan pengairan yang insentif, melakukan panen yang tepat, dan menanam varietas yang toleran terhadap hama tersebut. Penyakit utama pada tanaman ubijalar adalah karat daun (cercospora), kudis (Scab), dan bercak ungu. Penyakit kudis disebabkan oleh cendawan Sphaceloma
batatas. Pengujian yang dilakukan di dua
lokasi, yaitu Keerom dan Besum, Papua pada MK II 2012 penyakit kudis ini tidak ada aktivitas untuk menyerang. Hal ini dapat
dilihat pada tabel 4 dan 5 yang
memperlihatkan bahwa dari masing-masing varietas yang diuji semua memberikan rataan skor 5,0 yang berarti tidak ada serangan. Tanaman ubijalar apabila kena serangan penyakit kudis yang serius bisa menurunkan hasil panen sampai 50 persen. Penyakit ini biasanya menyerang tanaman ubijalar pada musim penghujan atau di daerah yang memiliki tingkat kelembaban yang tinggi. Pengendalian penyakit ini dapat dilakukan dengan perlakuan proteksi dengan cara merendam stek atau bibit sebelum ditanam selama lebih kurang 5 menit ke dalam larutan fungisida, yaitu benlate atau dhitane M45 serta menanam varietas yang tahan terhadap penyakit tersebut.
Tabel 4. Skor hama dan penyakit pada pengujian kajian potensi hasil calon varietas ubijalar lokal Papua adaptif dataran rendah mendukung pelepasan varietas Keerom, Papua MK II 2012.
Klon/ Pemakan Penggulung Boleng Cercospora Scab Bercak
Varietas daun Daun ungu
Tinta 4,0 5,0 5,0 4,0 5,0 5,0
Siape 4,0 4,0 4,0 4,0 5,0 3,0
Yoka 2 3,0 4,0 5,0 4,0 5,0 4,0
Ningkey 2 4,0 5,0 4,0 5,0 5,0 5,0
Ningkey 3 4,0 4,0 4,0 4,0 5,0 5,0
Ningkey 4 4,0 4,0 3,0 4,0 5,0 3,0
Ningkey 6 4,0 5,0 5,0 4,0 5,0 4,0
Malugurom 5,0 5,0 4,0 4,0 5,0 5,0
Inggo Lakuwe 4,0 5,0 5,0 4,0 5,0 5,0
O. Tingkamang 1 3,0 4,0 4,0 3,0 5,0 4,0
Beta 2 (Cek) 4,0 5,0 5,0 3,0 5,0 5,0
Cangkuang (Cek) 4,0 5,0 3,0 5,0 5,0 4,0
Rataan 3,9 4,6 4,3 4,0 5,0 4,3
Tabel 5. Skor hama dan penyakit pada pengujian kajian potensi hasil calon varietas ubijalar lokal Papua adaptif dataran rendah mendukung pelepasan varietas Besum, Papua MK II 2012.
Klon/ Pemakan Penggulung Boleng Cercospora Scab Bercak
Varietas daun Daun ungu
Tinta 4,0 4,0 5,0 4,0 5,0 5,0
Siape 4,0 5,0 4,0 5,0 5,0 3,0
Yoka 2 3,0 4,0 4,0 3,0 5,0 4,0
Ningkey 2 3,0 5,0 4,0 4,0 5,0 4,0
Ningkey 3 5,0 4,0 3,0 4,0 5,0 5,0
Ningkey 4 5,0 5,0 4,0 4,0 5,0 4,0
Ningkey 6 5,0 4,0 4,0 4,0 5,0 5,0
Malugurom 4,0 5,0 5,0 4,0 5,0 4,0
Inggo Lakuwe 5,0 4,0 4,0 5,0 5,0 5,0
O. Tingkamang 1 4,0 5,0 4,0 3,0 5,0 5,0
Beta 2 (Cek) 5,0 4,0 5,0 3,0 5,0 5,0
Cangkuang (Cek) 4,0 5,0 3,0 4,0 5,0 4,0
Rataan 4,3 4,5 4,1 3,9 5,0 4,4
Keterangan : *) 1 = serangan >75%, 2 = serangan 51-75%, 3 = serangan 26.50%, 4 = serangan 11-25 %, 5 = serangan 0-10%.
Serangan penyakit cercospora di lokasi pengujian Keerom memberikan skor rataan 4,0 yang berarti serangannya berkisar 11hingga 25 persen dengan skor yang bevariasi dari 3,0 (yang berarti serangannya 26 hingga 50 persen) sampai 5,0 (yang berarti tidak ada serangan). Terdapat dua varietas yang memiliki skor 5,0 (tidak ada serangan), kedua varietas tersebut adalah Ningkay Dua dan Siape, di samping itu juga terdapat dua varietas yang memiliki skor 3,0 (serangan berkisar 26 hingga 50 persen), kedua varietas tersebut adalah Ornaning Tingkamang Satu dan varietas pembanding Beta Dua. Adapun varietas uiji lainnya memberikan skor 4,0 (serangannya berkisar antara 11 hingga 25 persen) termasuk varietas pembanding Cangkuang (Tabel 4). Di lokasi Besum, Papua serangan penyakit ini memberikan rataan skor 3,9, nilai ini sudah termasuk dalam katagori skor 4,0
yang berarti serangannya berkisar antara 11 hingga 25 persen. Terdapat dua varietas yang memiliki serangan dengan skor 5,0 yang berarti tidak ada serangan, kedua varietas tersebut adalah Inggo Lakuwe dan Siape, di samping itu juga terdapat tiga verietas yang memiliki skor 3,0 yang berarti tingkat serangannya berkisar antara 26 hingga 50 persen. Ketiga varietas tersebut adalah Ornaning Tingkamang Satu, Yoka Dua, dan varietas pembanding Beta Dua. Adapun varietas pembanding Cangkuang dan varietas lokal uji lainnya memberikan skor serangan 4,0 yang berarti serangannya berkisar antara 11 hingga 25 persen (Tabel 5).
yang diuji terdapat dua varietas yang memberikan skor 3,0 (serangannya berkisar antara 26 hingga 50 persen), kedua varietas tersebut adalah Ningkay Empat dan Siape. Adapun varietas uji lainnya memberikan serangan dengan skor berkisar antara 4,0 (serangan berkisar 11 hingga 25 persen) sampai skor 5,0 (tidak ada serangan). Varietas pembanding Beta Dua memiliki skor 5,0 yang berarti tidak ada serangan dan
varietas pembanding Cangkuang
memberikan skor 4,0 yang berarti tingkat serangannya berkisar antara 11 hingga 25 persen (Tabel 4). Lain halnya dengan pengujian yang dilakukan di lokasi Besum, Papua dari 10 varietas lokal Papua dan dua varietas unggul nasional yang diuji terdapat satu varietas yang memberikan skor 3,0 (serangannya berkisar antara 26 hingga 50 persen) varietas tersebut adalah Siape. Adapun varietas uji lainnya memberikan serangan dengan skor berkisar antara 4,0 (serangan berkisar 11 hingga 25 persen) sampai skor 5,0 (tidak ada serangan). Varietas pembanding Beta Dua memiliki skor 5,0 yang berarti tidak ada serangan dan
varietas pembanding Cangkuang
memberikan skor 4,0 yang berarti tingkat serangannya berkisar antara 11 hingga 25 persen dengan memberikan skor rataannya adalah 4,4 yang berarti memiliki tingkat serangan berkisar antara 11 hingga 25 persen (Tabel 4). Meskipun penyakit bercak ungu ini menyerang tanaman ubi jalar, baik serius maupun tidak serius, akan tetapi tidak mengurangi baik kualitas, kuantitas maupun hasil pada umbi, hanya menunjukkan secara visual tanaman tersebut menjadi kurang menarik karena banyak bercak-bercak ungu pada daunnya.
KESIMPULAN DAN SARAN
1. Didapat tiga varietas lokal yang memiliki produksi dan potensi hasil umbi lebih tinggi dibanding varietas pembanding Beta-Dua (22,4 t per ha dengan potensi hasil 22,9 t per ha) dan Cangkuang (20,6 t per ha dengan potensi hasil 21,6 t per ha), sedangkan ketiga varietas lokal tersebut adalah Ningkay-Tiga yang memiliki rata-rata produksi umbi 27,5 t per ha dengan potensi hasil 28,0 t per ha, Ningkay-Enam memiliki rata-rata produksi umbi 24,9 t per ha dengan potensi hasil 28,1 t per ha dan Ornaning Tingkamang-Satu memiliki rata-rata produksi umbi 23,8 t per ha dengan potensi hasil 24,5 t per ha.
2. Ketiga varietas ini, yaitu Ningkay-Tiga,
Ningkay-Enam, dan Ornaning
Tingkamang-Satu masing-masing juga memiliki produksi bahan kering umbi yang sangat tinggi, baik dibanding dengan varietas uji lainnya atau dengan varietas pembanding, rata-rata yang diberikan adalah secara berurutan: 9,3; 8,0, dan 7,3 t per ha dengan bahan kering 33,8; 32,3, dan 30,8 persen. 3. Meskipun pada pengujian ini sudah
didapat tiga varietas lokal yang memiliki produksi dan potensi hasil
lebih tinggi daripada varietas
pembanding, akan tetapi belum bisa
dipastikan atau dikatakan bahwa
DAFTAR PUSTAKA
Ginting, E., M. Jusuf, St. A. Rahayuningsih, Y. Widodo, Ratnaningsih, A. Krisnawati & Suprapto. 2006. Pemanfaatan ubijalar kaya
antosianin dan beta karotin. Laporan Teknis
Penelitian Balitkabi tahun 2006. (No: E.5 /ROPP/DIPA/2006) Balitkabi Malang. 38 hal.
Ginting, E., Rahayuningsih & Suprapto. 2007. Pemanfaatan ubijalar kaya antosianin dan beta karoten menjadi beberapa produk
olahan pangan. Laporan Teknis Penelitian
Balitkabi tahun 2007 (No: K.5
/ROPP/DIPA/2007) Balitkabi Malang. 39 hal.
Kawano, K., Amaya.A, Daza.P. & Rios.1978. Factors affecting efficiency of hybridization and selection in cassava. Crop Sci 18: 373-376.
Kays, S.J. & S.E. Kays. 1998. Sweetpotato chemistry in relation to health. In D. R. LaBonte, M. Yamashita and H. Mochida (Eds). Proceedings of International Workshop on Sweetpotato System toward the 21 th Century. Miyakonojo, Japan, December 9-10, 1997. Kyushu National Agricultural Experimen Station. p. 231-272.
Yusuf, M., St. A. Rahayuningsih, Sutrisno & Suluh Pambudi. 2001. Klon harapan AB 94001-8, B 0053-9, Inaswang Op 95-6, MIS
104-4 dan MIS 146-1, calon varietas unggul.
Makalah disajikan pada rapat teknis team pelepasan varietas unggul tanaman, Bogor, November.
Woolfe, J.A. 1992. Sweet potato an
untapped food resource. Cambridge
University Press Cambridge. p. 60-61; 71-79; 146-158.
Yoshinaga. M. 1997. Breeding of
purple-fleshed sweetpotato. Proceeding of
International Workshop on Sweetpotato
Production System Towards the 21st
Century. pp 193-199
Yamakawa, O. 1998. Development of new cultivation and utilization system for sweetpotato toward the 21 th century. In D. R. La Bonte, M. Yamashita and H. Mochida
(Eds). Proceedings of International
Workshop on Sweet Potato System toward
the 21th Century. Miyakonojo, Japan,
December 9-10, 1997. Kyushu National Agricultural Experimen Station
Jusuf, M, St. A. Rahayuningsih, S. Pambudi. 2001. Adaptasi dan stabilitas hasil klon-klon harapan ubijalar. p.259-264. Dalam Jusuf et al. (Eds). Teknologi Inovatif Tanaman
Kacang-kacangan dan Umbi-umbian
Mendukung Ketahanan Pangan. Prosiding Seminar Hasil Penelitian. Pusat Penelitian
dan Pengembangan Tanaman Pangan.
Badan Litbang Pertanian.
Jusuf. M., K. Noerwijati , J. Restuono & A. Basna. 2011. Penampilan Hasil dan Karakter Agronomis Varietas Lokal Ubijalar Dataran Rendah Papua di 3 lokasi. Prosiding Seminar Kongres PERIPI (Perhimpunan
Ilmu Pemuliaan) di Bandung tanggal 16
Jusuf. M.,Winarto, A. Basna, J. Restuono & O.F.S Kawer. 2010. Inventarisasi varietas lokal umbi-umbian potensial mendukung ketahanan pangan dan pengembangan agro
industri pedesaan di Papua. Laporan akhir