• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Uraian Tumbuhan - Ekstrak Daun Katuk (Sauropus Androgynus Merr.) Sebagai Obat Luka Insisi Kronis Dalam Sediaan Salep Dan Krim

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Uraian Tumbuhan - Ekstrak Daun Katuk (Sauropus Androgynus Merr.) Sebagai Obat Luka Insisi Kronis Dalam Sediaan Salep Dan Krim"

Copied!
17
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Uraian Tumbuhan

Uraian tumbuhan meliputi sistematika tumbuhan, sinonim tumbuhan, nama daerah, nama asing, daerah tumbuh, morfologi tumbuhan, kandungan kimia dan kegunaan dari tumbuhan.

2.1.1 Sistematika tumbuhan

Dalam taksonomi tumbuhan, katuk diklasifikasikan sebagai berikut (Tjiptrosoepomo, 2007):

Kingdom : Plantae

Divisi : Spermatophyta

Sub divisi : Angiospermae Kelas : Dicotyledoneae Ordo : Euphorbiales

Family : Euphorbiaceae Genus : Sauropus

Spesies : Sauropus androgynus Merr. 2.1.2 Sinonim tumbuhan

Sinonim: Sauropus albicus BI.

Sauropus indicus Wight.

Sauropus sumatranus Meq. (Balitbangkes, 2001)

(2)

Simani (Minangkabau), Cekop Manis atau Memata (Melayu), Katuk

(Sunda), Karekur (Madura), Kebing atau katukan (Jawa), Kayu manis (Bali) (Rukmana dan Harahap, 2003; Ferdianto, 2011).

2.1.4 Habitat tumbuhan

Tumbuhan katuk mempunyai daya adaptasi yang luas terhadap lingkungan didaerah tropis, dapat tumbuh dan berproduksi dengan baik di daerah dataran

rendah sampai dataran tinggi yang memiliki ketinggian antara 5–1.300 m di atas permukaan laut. Tumbuhan katuk masih dapat tumbuh di daerah yang memiliki

ketinggian lebih dari 1.300 m di atas permukaan laut, tetapi dengan pertumbuhan yang agak lambat dan ukuran daun kecil-kecil sehingga produksi tanaman cenderung rendah. Lingkungan yang paling ideal untuk membudidayakan

tanaman katuk adalah daerah yang mempunyai suhu udara berkisar antara 21– 320C dan curah hujan antara 750–2.500 mm/tahun (Rukmana dan Harahap, 2003).

2.1.5 Morfologi tumbuhan

Katuk merupakan tanaman perdu dengan ketinggian antara 2,5–5 m. Tumbuhan katuk berakar tunggang yang berwarna putih kotor, menyebar ke

segala arah dan dapat mencapai kedalaman antara 30-50 cm. Batang tumbuhan katuk tumbuh tegak, berkayu, bulat berwarna hijau ketika muda dan setelah tua berwarna kelabu keputih-putihan atau cokelat kehijauan (Balitbangkes, 2001;

Rukmana dan Harahap, 2003).

Daun tumbuhan katuk merupakan daun tunggal, bertangkai dengan

panjang tangkai daun 3-5 mm. Helaian daun berbentuk bundar memanjang atau bundar telur sampai lonjong dengan panjang helaian 2-4 cm dan lebar 1,5-2,5 cm. Ujung dan pangkal daun meruncing dengan tepi daun yang rata. Permukaan atas

(3)

berambut. Tulang daun jelas menonjol pada permukaan bawah daun (Depkes RI,

1989).

Bunga tumbuhan katuk merupakan bunga majemuk, berbentuk payung dan

tumbuh di ketiak daun, berukuran kecil berwarna merah gelap sampai kekuning-kuningan. Mahkota bunga berbentuk bulat telur dengan warna merah muda hingga ungu. Putik bunga berkepala tiga dan jumlah benang sari satu atau lebih dengan

panjang tangkai sari 5–10 mm. Bakal buah menumpang dengan warna ungu. Kelopak bunga yang keras dan berwarna putih kemerah-merahan. Buah tumbuhan

berbentuk bulat, beruang tiga dengan diameter ± 1,5 mm, berwarna hijau keputih-putihan. Bentuk biji bulat, keras dan berwarna putih (Balitbangkes, 2001; Rukmana dan Harahap, 2003).

2.1.6 Kandungan kimia

Daun katuk mengandung flavonoida, alkaloida, glikosida, tanin dan steroida. Kandungan nutrisi katuk antara lain: protein, lemak, vitamin (vitamin K,

vitamin A, vitamin B, dan vitamin C) dan mineral (kalsium) (Simbolon, 2011; Anonim, 2010).

2.1.7 Kegunaan

Daun katuk dimanfaatkan untuk memperbanyak air susu ibu (ASI), obat jerawat, juga berkhasiat sebagai obat demam, darah kotor obat bisul, dan obat

borok (Rukmana dan Harahap, 2003; Ferdianto, 2011).

2.2 Ekstraksi

Ekstraksi adalah kegiatan penarikan kandungan kimia yang dapat larut

(4)

aktif yang terdapat dalam berbagai simplisia dapat digolongkan ke dalam

golongan minyak atsiri, alkaloid, flavonoid dan lain-lain (Ditjen POM, 2000). Beberapa metode ekstraksi dengan menggunakan pelarut, yaitu (Ditjen

POM, 2000): a. Cara dingin 1. Maserasi

Maserasi adalah proses penyarian simplisia dengan cara perendaman menggunakan pelarut dengan sesekali pengadukan pada temperatur kamar.

Maserasi yang dilakukan pengadukan secara terus-menerus disebut maserasi kinetik sedangkan yang dilakukan pengulangan panambahan pelarut setelah dilakukan penyaringan terhadap maserat pertama dan seterusnya disebut

remaserasi. 2. Perkolasi

Perkolasi adalah proses penyarian simplisia dengan pelarut yang selalu

baru sampai terjadi penyarian sempurna yang umumnya dilakukan pada temperatur kamar. Proses perkolasi terdiri dari tahap pelembaman bahan, tahap

perendaman antara, tahap perkolasi sebenarnya (penetesan/penampungan ekstrak) terus-menerus sampai diperoleh perkolat yang jumlahnya 1-5 kali bahan.

(5)

Refluks adalah proses penyarian simplisia dengan menggunakan alat pada

temperatur titik didihnya, selama waktu tertentu dan jumlah pelarut terbatas yang relatif konstan dengan adanya pendingin balik.

2. Digesti

Digesti adalah proses penyarian dengan pengadukan kontinu pada temperatur 40-50°C.

3. Sokletasi

Sokletasi adalah proses penyarian dengan menggunakan pelarut yang

selalu baru, dilakukan dengan menggunakan alat soklet sehingga menjadi ekstraksi kontinu dengan pelarut relatif konstan dengan adanya pendingin balik. 4. Infundasi

Infundasi adalah proses penyarian dengan menggunakan pelarut air pada temperatur 90°C selama 15 menit.

5. Dekoktasi

Dekoktasi adalah proses penyarian dengan menggunakan pelarut air pada temperatur 90°C selama 30 menit.

2.3 Salep

Salep adalah sediaan setengah padat yang mudah dioleskan dan digunakan sebagai obat luar. Bahan obatnya larut atau terdispersi homogen dalam dasar salep

yang cocok (Ditjen POM, 1979). Fungsi salep adalah:

a. Pembawa (“vehicle”) substansi obat untuk pengobatan kulit.

(6)

c. Pelindung (“protective”) untuk mencegah kontak permukaan kulit dengan

larutan berair dan rangsang terhadap kulit. (Anief, 1986).

Salep dapat mengandung obat atau tidak mengandung obat, yang

disebutkan terakhir biasanya dikatakan sebagai “dasar salep” dan digunakan sebagai pembawa dalam penyiapan salep yang mengandung obat (Ansel, 1989).

Dasar salep digolongkan ke dalam 4 kelompok besar: dasar salep

hidrokarbon, dasar salep absorpsi, dasar salep yang dapat dicuci dengan air, dan dasar salep yang larut dalam air (Ansel, 1989).

1. Dasar salep hidrokarbon: bersifat lemak dan sukar dicuci dengan air. Misalnya adalah parafin, vaselin, minyak nabati.

2. Dasar salep serap (absorpsi)

Dasar salep dapat menyerap air dalam jumlah terbatas. Misalnya adalah: Adeps lanae, lanolin, lilin (cera). 3. Dasar salep yang dapat dicuci dengan air

Dasar salep yang merupakan emulsi minyak dalam air, misalnya salep hidrofilik, vanishing cream.

4. Dasar salep yang dapat larut dalam air, yaitu dasar salep yang mengandung komponen larut dalam air. Misalnya adalah: polietilenglikol (Jas, 2007; Ditjen POM, 1979).

Kualitas dasar salep adalah:

a. stabil, selama masih dipakai mengobati. Maka salep harus bebas dari

(7)

b. Lunak, yaitu semua zat dalam keadaan halus dan seluruh produk

menjadi lunak dan homogen, sebab salep digunakan untuk kulit yang teriritasi dan inflamasi.

c. Mudah dipakai, umumnya salep tipe emulsi adalah yang paling mudah

dipakai dan dihilangkan dari kulit.

d. Dasar salep yang cocok, yaitu dasar salep yang kompatibel secara

fisika dan kimia dengan obat yang dikandungnya. Dasar salep tidak boleh merusak atau menghambat aksi terapi dari obat yang mampu

melepas obatnya pada daerah yang diobati.

e. Terdistribusi merata, obat harus terdistribusi merata melalui dasar

salep padat atau cair pada pengobatan (Anief, 2007).

Faktor-faktor yang mempengaruhi efek absorpsi obat dalam salep oleh kulit adalah:

1. Segi fisiologi: keadaan kulit, luas daerah pemakaian, banyaknya

pemakaian, letak pemakaian dan lama pemakaian. 2. Keadaan hidrasi pada stratum corneum.

3. Temperatur kulit.

4. Adanya pelarut yang dapat campur atau melarut dalam stratum corneum. 5. Konsentrasi obat (Anief, 1986).

2.4 Krim

Krim didefinisikan sebagai “cairan kental atau emulsi setengah padat baik bertipe air dalam minyak atau minyak dalam air” yang mengandung satu atau

(8)

mengandung air tidak kurang dari 60%. Krim biasanya digunakan sebagai

emolien atau pemakaian obat pada kulit (Syamsuni, 2006).

Istilah krim secara luas digunakan dalam farmasi dan industri kosmetik,

dan banyak produk dalam perdagangan disebut krim tetapi tidak sesuai dengan definisi. Kebanyakan hasil produksi yang nampaknya seperti krim tetapi tidak mempunyai dasar dengan jenis emulsi, biasanya disebut krim.

Banyak dokter dan pasien lebih suka pada krim daripada salep, untuk satu hal, umunya mudah menyebar rata dan dalam hal krim dari emulsi jenis minyak

dalam air lebih mudah dibersihkan daripada kebanyakan salep (Ansel, 1989). Sediaan krim memiliki konsistensi relatif cair yang diformulasikan sebagai emulsi air dalam minyak (A/M) atau minyak dalam air (M/A). Tipe A/M mudah

kering dan rusak. Zat pengemulsi sama dengan emulgator.

Krim dapat dipergunakan sebagai vehikulum (bahan pengisi) zat berkhasiat, antara lain antibiotika, antiseptika, kemoterapetika, analgetika,

laksatif, vitamin, dan lain-lain (Jas, 2007).

2.5 Kulit

Kulit merupakan suatu organ besar yang berlapis-lapis, dimana pada orang

dewasa beratnya kira-kira delapan pon, tidak termasuk lemak. Kulit menutupi permukaan lebih dari 20.000 cm2 dan mempunyai bermacam–macam fungsi dan

kegunaan. Kulit berfungsi sebagai pembatas terhadap serangan fisika dan kimia (Lachman, dkk., 1994).

Kulit dibentuk dari tumpukan tiga lapisan berbeda yang berturutan dari

(9)

jaringan dibawah kulit yang berlemak atau yang disebut hipodermis. Kulit

mempunyai aneksa, kelenjar keringat, dan kelenjar sebum (glandula sebaceous) yang berasal dari lapisan hipodermis atau dermis (Aiache, dkk., 1993).

Epidermis merupakan lapisan epitel, tebal rata-rata 200 μm, dengan sel-sel yang berdiferensiasi bertahap dari bagian yang lebih dalam menuju ke permukaan dengan proses keratinisasi. Epidermis dibedakan atas 2 bagian: lapisan malfigi

yang hidup, menempel pada dermis, dan lapisan tanduk yang tersusun atas sekumpulan sel-sel mati yang mengalami keratinisasi (Aiache, dkk., 1993). Sel-sel

epidermis ini disebut keratinosit. Ketebalan epidermis berbeda-beda pada berbagai bagian tubuh, yang paling tebal 1 milimeter, misalnya pada telapak kaki dan telapak tangan, dan lapisan yang tipis berukuran 0,1 milimeter terdapat pada

kelopak mata, pipi, dahi, dan perut (Tranggono dan Latifah, 2007).

Stratum corneum merupakan sawar kulit pokok terhadap kehilangan air.

Lapisan sel mati berkeratin sangat hidrofil dan mengembang bila tercelup air, hal

ini menjaga permukaan kulit tetap halus dan lentur. Hilangnya stratum corneum akan menyebabkan penguapan, kekurangan komponen sel, dan penetrasi substansi

asing (Anief, 1997).

Dermis merupakan jaringan penyangga berserat dengan ketebalan rata-rata 3-5 mm, peranan utamanya adalah sebagai pemberi nutrisi pada epidermis.

Berdasarkan tinjauan kualitatif dan susunan ruang serabut kolagen dan elastin, dermis terdiri atas dua lapisan anatomik yaitu lapisan papiler jaringan kendor yang

(10)

μm. Hipodermis dan jaringan penyangga kendor, mengandung sejumlah kelenjar

lemak juga mengandung glomelurus kelenjar keringat (Aiache, dkk., 1993).

Gambar 2.1 Struktur kulit (Tortora, 1986)

2.6 Luka

Luka adalah hilang atau rusaknya sebagian jaringan tubuh yang dapat

disebabkan oleh trauma benda tajam atau tumpul, perubahan suhu, zat kimia, ledakan, sengatan listrik, atau gigitan hewan. Ketika luka timbul, akan muncul beberapa efek, yaitu: hilangnya seluruh atau sebagian fungsi organ, perdarahan

dan pembekuan darah, kontaminasi bakteri, kematian sel (Sinaga, 2009).

(11)

Luka sering digambarkan berdasarkan bagaimana terjadinya luka dan

menunjukkan derajat luka.

1. Berdasarkan tingkat kontaminasi

a. Clean Wounds (Luka bersih), yaitu luka bedah tak terinfeksi, tidak terjadi proses peradangan (inflamasi). Luka bersih biasanya menghasilkan luka yang tertutup. Kemungkinan terjadinya infeksi luka sekitar 1% - 5%.

b. Clean-contamined Wounds (Luka bersih terkontaminasi), merupakan luka pembedahan dimana saluran respirasi, pencernaan, genital atau perkemihan

dalamkondisi terkontrol, kontaminasi tidak selalu terjadi, kemungkinan timbulnya infeksiluka adalah 3% - 11%.

c. Contamined Wounds (Luka terkontaminasi), termasuk luka terbuka, fresh,

luka akibat kecelakaan dan operasi dengan kerusakan besar dengan teknik aseptik atau kontaminasi dari saluran cerna; pada kategori ini juga termasuk insisi akut, inflamasi nonpurulen. Kemungkinan infeksi luka 10% - 17%.

d. Dirty or Infected Wounds (Luka kotor atau infeksi), yaitu terdapatnya mikroorganisme pada luka.

2. Berdasarkan kedalaman dan luasnya luka

a. Stadium I : Luka “Superfisial” (Non-Blanching Erithema) : yaitu luka yang terjadi pada lapisan epidermis kulit.

b. Stadium II : Luka “Partial Thickness” : yaitu hilangnya lapisan kulit pada lapisan epidermis dan bagian atas dari dermis, adanya tanda klinis seperti

lubang yang dangkal.

c. Stadium III : Luka “Full Thickness” : yaitu hilangnya kulit keseluruhan meliputi kerusakan atau nekrosis jaringan subkutan yang dapat meluas

(12)

sampai pada lapisan epidermis, dermis dan fasia tetapi tidak mengenai otot.

Luka timbul secara klinis sebagai suatu lubang yang dalam dengan atau tanpa merusak jaringan sekitarnya.

d. Stadium IV : Luka “Full Thickness” yang telah mencapai lapisan otot, tendon dan tulang dengan adanya kerusakan yang luas.

3. Berdasarkan waktu penyembuhan luka

a. Luka akut: luka dengan masa penyembuhan sesuai dengan konsep penyembuhan yang telah disepakati. Kriteria luka akut adalah luka baru,

mendadak dan penyembuhannya sesuai dengan waktu yang diperkirakan, contoh: luka sayat, luka bakar, luka tusuk.

b. Luka kronis: luka yang mengalami kegagalan dalam penyembuhan, dapat

terjadi karena faktor endogen dan eksogen. Pada luka kronik gagal sembuh pada waktu yang diperkirakan, tidak berespon baik terhadap terapi dan punya tendensi timbul kembali, contoh: ulkus dekubitus, ulkus diabetik,

ulkus venous dan lain-lain (Prabakti, 2005).

2.6.2 Mekanisme terjadinya luka:

1. Luka insisi (Incised wounds), terjadi karena teriris oleh instrumen yang tajam. Misalnya yang terjadi akibat pembedahan. Luka bersih (aseptik) biasanya tertutup oleh sutura setelah seluruh pembuluh darah yang luka

diikat.

2. Luka memar (Contusion Wound), terjadi akibat benturan oleh suatu

tekanan dan dikarakteristikkan oleh cedera pada jaringan lunak, perdarahan dan bengkak.

3. Luka lecet (Abraded Wound), terjadi akibat kulit bergesekan dengan

(13)

4. Luka tusuk (Punctured Wound), terjadi akibat adanya benda, seperti peluru

atau pisau yang masuk kedalam kulit dengan diameter yang kecil.

5. Luka gores (Lacerated Wound), terjadi akibat benda yang tajam seperti

oleh kaca atau oleh kawat.

6. Luka tembus (Penetrating Wound), yaitu luka yang menembus organ tubuh biasanya pada bagian awal luka masuk diameternya kecil tetapi pada

bagian ujung biasanya luka akan melebar. 7. Luka Bakar (Combustio).

8. Luka gigitan hewan, disebabkan karena adanya gigitan dari hewan liar atau hewan piaraan. Hewan liar yang biasanya mengigit adalah hewan yang ganas dan pemakan daging, yaitu dalam usaha untuk membela diri.

Luka gigitan dapat hanya berupa luka tusuk kecil atau luka compang camping luas yang berat (Jasmi, 2011).

2.6.3 Penyembuhan luka

Penyembuhan luka dipengaruhi oleh berbagai faktor, dan infeksi adalah sebab yang paling penting dari penghambatan penyembuhan luka, karena infeksi

mengakibatkan inflamasi dan dapat menyebabkan cidera jaringan. Rangsangan eksogen dan endogen dapat menimbulkan kerusakan sel selanjutnya memicu reaksi vaskuler kompleks pada jaringan ikat yang ada pembuluh darahnya.

Reaksi inflamasi berguna sebagai proteksi terhadap jaringan yang mengalami kerusakan untuk tidak mengalami infeksi meluas tak terkendali.

Proses inflamasi sangat berhubungan erat dengan penyembuhan luka dan tanpa adanya inflamasi tidak akan terjadi proses penyembuhan luka, luka akan tetap menjadi sumber nyeri sehingga proses inflamasi dan penyembuhan luka akan

(14)

1. Prinsip Penyembuhan Luka

Ada beberapa prinsip dalam penyembuhan luka yaitu: (1) Kemampuan tubuh untuk menangani trauma jaringan dipengaruhi oleh luasnya kerusakan dan

keadaan umum kesehatan tiap orang, (2) Respon tubuh pada luka lebih efektif jika nutrisi yang tepat tetap dijaga, (3) Respon tubuh secara sistemik pada trauma,(4) Aliran darah ke dan dari jaringan yang luka, (5) Keutuhan kulit dan mukosa

membran disiapkan sebagai garis pertama untuk mempertahankan diri dari mikroorganisme, dan (6) Penyembuhan normal ditingkatkan ketika luka bebas

dari benda asing tubuh termasuk bakteri (Ismail, 2005). 2. Fase Penyembuhan Luka

Fase yang terjadi pada saat terjadinya luka dibagi tiga:

a. Fase inflamasi

Fase ini berlangsung sejak terjadinya luka sampai hari kelima. Pembuluh darah yang terputus pada luka akan menyebabkan perdarahan dan tubuh akan

menghentikannya dengan vasokonstriksi, pengerutan ujung pembuluh darah yang terputus, dan reaksi hemostasis (Syamsuhidayat dan Jong, 1997).

(15)

Fase proliferasi disebut fase fibroplasia karena yang terjadi adalah proses

proliferasi fibroblast. Fase ini berlangsung sampai minggu ketiga. Pada fase proliferasi luka dipenuhi sel radang, fibroplasia dan kolagen membentuk jaringan

berwarna kemerahan dengan permukaan berbenjol halus yang disebut granulasi. Epitel tepi luka yang terdiri dari sel basal terlepas dari dasar dan mengisi permukaan luka, tempatnya diisi sel baru dari proses mitosis, proses migrasi

terjadi kearah yang lebih rendah atau datar. Proses fibroplasia akan berhenti dan mulailah proses pematangan (Syamsuhidayat dan jong, 1997).

Gambar 2.3 Fase proliferasi c. Fase Penyudahan (Remodelling)

Fase penyudahan disebut fase maturasi. Pada fase ini terjadi proses

pematangan yang terdiri dari penyerapan kembali jaringan yang berlebih, pengerutan karena gaya gravitasi, dan berakhir dengan terbentuk jaringan yang

baru. Fase ini berakhir bila semua tanda radang sudah hilang. Selama proses ini dihasilkan jaringan parut yang pucat, tipis, dan mudah digerakkan dari dasar, udem dan sel radang diserap, sel muda menjadi matang, kapiler baru menutup dan

(16)

fase, luka kulit mampu menahan regangan 80% dari kulit normal. Fase ini

berlangsung 3–6 bulan (Syamsuhidayat dan jong, 1997).

Gambar 2.4 Fase remodelling

Penyembuhan luka merupakan suatu proses pergantian jaringan yang mati atau rusak dengan jaringan baru oleh tubuh dengan jalan regenerasi. Luka

dikatakan sembuh apabila permukaannya dapat bersatu kembali dan didaptkan kekuatan jaringan yang mencapai normal. Setiap kejadian luka, mekanisme tubuh akan berupaya mengembalikan komponen-komponen jaringan yang rusak tersebut

dengan membentuk struktur baru,dan fungsional sama dengan sebelumnya. Proses penyembuhan tidak terbatas pada proses regenerasi yang bersifat lokal tetapi

sangat dipengaruhi oleh faktor endogen seperti umur, nutrisi, imunologi, dan kondisi metabolik.

2.7 Kloramfenikol

Kloramfenikol diisolasi pertama kali pada tahun 1947 dari Streptomyces venezuelae karena ternyata kloramfenikol mempunyai daya antimikroba yang

(17)

tranferase yang berperan sebagai katalisator membentuk ikatan-ikatan peptida

pada proses sintesis protein sel (Anonim, 2006).

Dipasaran terdapat sekitar 13 merek dagang sediaan kloramfenikol dalam

Gambar

Gambar 2.1 Struktur kulit (Tortora, 1986)
Gambar 2.2 Fase inflamasi
Gambar 2.3 Fase proliferasi
Gambar 2.4 Fase remodelling

Referensi

Dokumen terkait