• Tidak ada hasil yang ditemukan

CITRA SOSIAL POLITIK DALAM NOVEL GADIS J

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "CITRA SOSIAL POLITIK DALAM NOVEL GADIS J"

Copied!
15
0
0

Teks penuh

(1)

CITRA SOSIAL POLITIK DAN IKONITAS DALAM NOVEL GADIS JAKARTA KARYA NAJIB KAILANI

Disusun untuk Memenuhi Tugas Ujian Akhir Semester Matakuliah Dirasat Natsriyyah

Dosen Pembimbing: Rizqi Handayani, MA

Oleh:

Abdullah Maulani 1112021000049

PRODI BAHASA DAN SASTRA ARAB

FAKULTAS ADAB DAN HUMANIORA

UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA

(2)

A. Pendahuluan

Konflik yang timbul di era 65-an sangat menyedot perhatian publik tanah air dari generasi ke generasi. Bagaimana tidak, simpang siur fakta dan saling klaim kebenaran berbagai pihak membuat konflik yang diakhiri dengan drama G 30 S/PKI ini semakin jauh dan bias dari kebenaran. Banyak pertanyaan yang masih belum terjawab dan banyak fakta yang masih belum diungkap.

Tidak hanya publik tanah air yang turut memberikan opini akan tragedi 1965 tersebut. Gadis Jakarta karya novelis Mesir kenamaan, Najib Kailani, menceritakan pergolakan politik Indonesia tahun 1965. Dikisahkan seorang gadis, anak dedengkot Masyumi yang harus berjuang sendirian membebaskan ayah dan kekasihnya yang ditahan “Partai”, karena menentang haluan ideology “Partai”. “Partai” (PKI) demikian menguasai percaturan politik di Indonesia ketika itu menggunakan berbagai cara untuk mencapai cita-citanya. Namun kegigihan Az-Zaim (Ketua Partai) kandas oleh kegigihan gadis muda. Karena cintanya ditolak, Az-Zaim nekat menggunakan berbagai cara, termasuk menculik dan memenjarakan sang ayah dan kekasih gadis itu (Fatimah).

Novel historis ini, menceritakan babak demi babak pergolakan politik, yang menurut setting cerita ini adalah pemberontakan PKI. Uniknya penulis menggunakan berbagai simbol untuk memperkuat ide cerita. Namun kesan romantis dari sebuah novel tetap terjaga dengan baik.

Barangkali novel ini adalah satu-satunya novel yang ditulis oleh orang asing, khususnya Arab tentang kondisi Indonesia. Bisa jadi karena kedekatan ideologis antara Indonesia dan Mesir yang mengilhami penulis. Seperti kedekatan ideologis Masyumi dengan Ikhwanul Muslimin di Mesir.

(3)

B. Tinjauan Teori Semiotik C.S. Peirce

Novel sebagai sebuah karya sastra mengandung banyak kemungkinan makna yang bisa dipahami oleh pembaca sesuai dengan kacamata yang dipakai. Suatu makna yang ditemukan pembaca dalam melihat sebuah novel bisa saja sama dengan keinginan pengarang.

Pada dasarnya ada dua pendekatan umum yang bisa diterapkan dalam melihat sebuah novel, yaitu pendekatan yang bersifat ekstrinsik yang melibatkan aspek-aspek luar dalam merekonstruksi makna sebuah novel, seperti aspek sosial dan budaya pengarang yang dihubungkan dengan aspek struktur dalam karya sastra; dan yang kedua adalah pendekatan yang bersifat intrinsic yang melihat novel dari keterkaitan unsur yang ada di dalamnya.

Dalam melihat keberadaan tanda, C.S. Peirce mengisyaratkan adanya tiga unsur yang pokok agar sebuah tanda bisa dipahami sebagai sebuah tanda dalam kehidupan, yaitu tanda sendiri, ground atau sebuah tata aturan atau konvensi yang mendasari pemahaman tanda, dana denotatum yaitu suatu kelas dari acuan yang ditunjuknya. Satu hal yang penting dalam konsep Pierce adalah adanya sebuah tanda baru yang dikembangkan setelah sebuah proses penafsiran berlangsung yang ia namakan dengan interpretan. Tanda ini merupakan sebuah gagasan yang muncul dalam benak seseorang yang melakukan interpretasi sekaligus membuat rangkaian tanda dan denotatum yang baru, sehingga terjadi rangkaian penafsiran tanda yang tidak terputus untuk menyelami segala kemungkinan.1

Pembicaraan tentang ikon yang berlandaskan sebuah “persamaan” masih menyisakan masalah yang cukup rumit, yaitu kesamaan apa yang diinginkan? Aspek persamaan tidaklah kita sebut sebagai sama secara seratus persen, tetapi cukuplah adanya sebuah identitas atau persepsi yang terdapat pada suatu tanda dan juga pada acuannya. Apabila deskripsi-deskripsi dari tanda mempunyai aspek kesamaan dengan deskripsi

1

(4)

acuannya, maka cukuplah ia menggambarkan sebuah ikonitas. Secara sederhana mungkin digambarkan sebagai berikut;2

A (Novel) = a + b + c + d B (Acuan) = p + q + r + d

Pada skema di atas kita melihat adanya huruf-huruf a,b,c,p,q, dan r yang menunjukkan karakteristik dari tanda dan acuannya sedangkan hadirnya /d/ dalam kedua karakteristik di atas yang digambarkan menunjukkan adanya ikon. Ada dua tipologi ikon penting yang cukup berguna dalam melihat detil-detil makna yang mungkin bisa diungkap dari sebuah karya sastra, yaitu yang dinamakan dengan ikon tipologis dan ikon diagramatik. Ikon tipologis didasarkan pada adanya “kesamaan” yang bersifat “spasialitas”, baik profil, garis ataupun tempat antara tanda dan acuannya.3

C. Landasan Teori Sosiologi dalam Karya Sastra

Sosiologi sastra berasal dari kata sosiologi dan sastra. Sosiologi berasal dari akar kata sosio (Yunani) (socius berarti bersama-sama, bersatu, kawan, dan teman) dan logi (logos berarti sabda, perkataan, perumpamaan). perkembangan berikutnya mengalami perubahan makna, sosio/socius berarti masyarakat, logi logos berarti ilmu. Jadi, sosiologi berarti ilmu mengenai asal-usul dan pertumbuhan (evolusi) masyarakat, ilmu pengetahuan yang mempelajari keseluruhan jaringan hubungan antar manusia dalam masyarakat, sifatnya umum, rasional dan empiris. Sastra dari akar kata sas (sansekerta) berarti mengarahkan , mengajar, member petunjuk dan instruksi. Akhiran tra bearti alat, sarana. Jadi, sastra berarti kumpulan alat untuk mengajar atau buku petunjuk pengajaran yang baik. Makna kata sastra bersifat lebih spesifik sesudah terbentuk menjadi jadian, yaitu kesusastraan, artinya kumpulan hasil karya yang baik4 .

2

Uki Sukiman, Ikonitas dalam Novel Hamamah Salam Karya Najib Kailani, h. 117. Artikel diunduh dari:

http://digilib.uin-suka.ac.id/7933/1/UKI%20SUKIMAN%20IKONITAS%20DALAM%20NOVEL%20HAMAMAH%20SALAM%2 0KARYA%20NAJIB%20AL-KAILANI.pdf.

3

Uki Sukiman, h. 118. 4

(5)

Teori sosiologi sastra ini berawal dari konsep mimesis (tiruan) Plato (428-348 SM) yang melihat karya sastra sebagai tiruan dari kenyataan. Berbeda dengan Plato, muridnya Aristoteles (384-322) berpendapat bahwa dalam meniru realitas, sastrawan tidak semata-mata meniru realitas, melainkan juga menciptakan sesuatu yang baru, karena karya sastra ditentukan oleh sikap kreatif sastrawan dalam memandang realitas. Dalam teori sastra Arab, adanya teori muhâkah (meniru) dan taśni’ (mencipta, baik dalam bentuk tahsin atau memperindah maupun taqbih atau memperburuk) menunjukkan kuatnya pengaruh teori Aristoteles. 5

Pada abad ke-18, teori mimesis Plato dan Aristoteles itu kemudian dikembangkan Hippoyte Teine (1766-1817), kritikus naturalis Perancis sebagai peletak dasar sosiologi sastra modern. Menurutnya, sebuah karya sastra merupakan faktor yang dipengaruhi oleh ras (apa yang diwarisi manusia dalam jiwa dan raganya), moment (situasi sosial dan politik pada masanya), dan lingkungan (keadaan iklim, alam dan lingkungan sosial). Dalam khazanah sastra Arab, kritikus sastra yang dipengaruhi oleh Hippoyte Taine adalah Ahmad al-Syayib (kritikus abad ke20). Menurutnya faktor yang mempengaruhi karya sastra adalah tempat tinggal sastrawannya, zaman di mana ia hidup, etnisistas, kontak dengan bangsa lain, agama, keadaaan politik, dan lainnya seperti kritik dari kritikus.

Flaubart (1821-1880 M) menilai bahwa pandangan Taine di atas telah menyerang anggapan yang berlaku pada masanya bahwa kara sastra seolah merupakan meteor yang jatuh dari langit, sebagaimana telah disinggung di atas. Sebab itu, pandangannya ini mengalami resistensi dari kalangan yang percaya pada ilham (misteri). Flaubart sependapat dengan Taine bahwa sekalipun segi-segi sosial tidak diperlukan dalam penyerapan estetik, tetapi sukar bagi sastrawan untuk mengingkari keberadaannya.6

Sebagaimana dikatakan Abrams (1981), para kritikus Neo-Marxis kemudian menegaskan teori sosiologi Taine di atas dengan berpandangan, sebagaimana Karl Marx, bahwa segala sesuatu, termasuk di dalamnya agama, politik, dan sastra, ditentukan oleh ideologi-ideologi dan suprastruktur-suprastruktur yang berkaitan secara dialektikal dan merupakan akibat dari struktur dan perjuangan kelas pada zamannya. Menurut George

5

Sukron Kamil, Teori Kritik Sastra Arab Klasik dan Modern, (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2009), h. 113. 6

(6)

Lukacs, kritikus Neo-Marxis asal Hungaria, sebuah novel tidak hanya mencerminkan realitas sebagai semacam fotografis, tetapi lebih dari itu, memberikan kepada pembacanya sebuh refleksi yang lebih besar, lebih lengkap, lebih hidup, dan lebih dinamis yangmungkin melampaui pemahaman umum. Th. Adorno dari aliran Frankfurt selanjutnya menolak pandangan Lukacs. Baginya, meskipun idealnya demikian, tetapi sebagaimana terjadi dalam sastra avant grande sastra justru telah bersekongkol dengan sistem ekonomi yang membentuknya, sehingga tidak mampu mengambil jarak dengan realitas yang sudah dimanipulasi oleh sistem sosial yang ada.

D. Analisa Gadis Jakarta; Citra Sosial Politik Indonesia 1960-an 1. Citra Jakarta 1960-an

Najib menggambarkan suasana Jakarta sebagaimana dalam Gadis Jakarta;

Fatimah berjalan menyususri sepanjang jalan raya. Ia melihat Jakarta penuh dengan kesia-siaan. Kekacauan dan ketidakpastian semakin meningkat. Jakarta seperti kota yang dihuni kaum budak, dipenuhi nyanyian, lolong kesakitan, dan duka. Kesulitan hidup bersembunyi di belakang aroma harum pembicaraan. Jakarta sudah memakai baju besi yang menutupi ciri khasnya.7

… Para penyerang keluar ruangan sambil tertawa puas, mereka

memperooleh kemenangan. Pada dada mereka terdapat lambing partai yang dikalungkan di leher. Fatimah mengawasi tigkah polah mereka. Sejenak kemudian bangunan sekolah roboh. Para siswa dan guru yang sedang merawat korban panik. Sementara itu, sejumlah polisi yang menyaksikan keadaan kacau itu hanya berpangku tangan, seolah-olah merasa lega.

“Ini bukan Jakarta yang aku kenal,”jerit hati Fatimah.8

Firman Lubis menuturkan melalui memoarnya akan ketidakpuasannya dengan kondisi ekonomi sosial waktu itu. Menjelang peristiwa G30S, keadaan ekonomi Indonesia sangat buruk. Inflasi melangit dan menyebabkan nilai rupiah merosot tajam dalam waktu relative singkat. Inflasi waktu itu diperkirakan mencapai 1000% lebih. Sebagai gambaran, ongkos naik bus umum pada 1962 masih berkisar Rp 1 berubah menjadi Rp 1000 pada 1965. Bahan pokok untuk hidup sehari-hri sulit didapat. Orang-orang harus mengantre untuk bisa membeli kebutuhan bahan pokok, seperti beras, minyak goreng, minyak tanah, dan gula pasir. Ini pun hanya bisa dibeli di took-toko sandang pangan tertentu yang ditunjuk pemerintah dan dibatasi jumlahnya.

7

Najib Kailani, h. 140. 8

(7)

Akibatnya banyak keluarga kelas bawah yang kekurangan makan. Fasilitas umum memburuk, pasokan air PAM berhenti mengalir dan listrik seringkali mengalami pemadaman. Meningkatnya inflasi secara tajam telah mendorong pemerintah untuk melakukan devaluasi, memotong nilai rupiah sebesar 1000 kali pada desember 1968.9 2. Pergolakan Politik Indonesia 1960-an; Masyumi dan PKI

Partai Masyumi merupakan salah satu partai politik yang lahir dari Rahim proklamasi kemerdekaan Indonesia. Partai Masyumi didirikan pada tanggal 7 Nopember 1945 melalui muktamar umat Islam di gedung Mu’allimin Yogyakarta. Masyumi merupakan satu-satunya partai yang berazaskan Islam yang lahir pada awal kemerdekaan. Partai Masyumi didukung oleh organsasi-organisasi keagamaan yang sudah eksis sebelumnya seperti NU, Muhammadiyah, Persis dan lain-lain. Banyaknya dukungan dari berbagai organisasi tersebut membuat Masyumi berkembang sangat pesat dalam tempo ang relatif singkat. Kehadiran Masyumi sebagai partai politik di Indonesia turut mewarnai kancah perpolitikan Indonesia. Bahkan peran politik Masyumi sangat besar pengaruhnya terhadap perpolitikan Indonesia. Hal itu tidak terlalu mengherankan karena Masyumi merupakan salah satu partai besar Indonesia. Selain itu, Masyumi memiliki kader-kader yang kompeten dan berkualitas di bidangnya serta memiliki pengaruh yang besar dalam masyarakat. Dengan kata lain setiap periode politik atau parlemen Indonesia sejak awal kemerdekaan tidak akan sempurna tanpa melihat peran politik Masyumi.10

Dalam Gadis Jakarta, Partai Masyumi merupakan partai protagonis yang sangat sering disebut karena merupakan bagian dari identitas beberapa tokoh seperti Haji Muhammad (ayah Fatimah), Abul Hasan, dan Fatimah itu sendiri. Dalam novel ini dijelaskan bagaimana Partai Masyumi dan tokoh-tokohnya dibantai dan diberangus oleh PKI baik fisik seperti yang terjadi pada Haji Muhammad maupun melalui propaganda-propaganda seperti istilah-istilah yang dipakai Najib seperti “kaum reaksioner”. Masyumi pada akhirnya dibubarkan oleh Presiden Soekarno pada

9

Firman Lubis, Jakarta 1960-an Kenangan Semasa Mahasiswa, (Jakarta: Masup Jakarta, 2008), h. 236. 10

Insan Fahmi Siregar, Pasang Surut Politik Masyumi dalam Pemerintahan (1945-1960) Forum Ilmu Sosial, vol. 35 No. 1, Juni 2008. Arikel diunduh pada 18 Juni 2015 dari:

(8)

tahun 1960 dikarenakan tokoh-tokohnya dicurigai terlibat dalam gerakan pemberontakan dari dalam Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia (PRRI).

Partai Komunis Indonesia memiliki kira-kira tiga juta anggota dalam barisannya dan mengklaim mendapat dukungan dari kira-kira 15 juta orang dalam berbagai ormas di seluruh negeri pada waktu itu. Karena basis yang besar ini, maka partai ini mampu memobilisasi pendukungnya melakukan berbagai bentuk clash of actions di tingkat akar rumput. Pada gilirannya, hal ini memungkinkan partai untuk

mempengaruhi secara kuat dan massif lemabag-lembaga pemerintah baik pusat maupun daerah dalam koalisi nasional partai-partai politik yang dikenal dengan NASAKOM (Nasionalis, Agama dan Komunis). Meskipun asset yang luar biasa ini dan kemampuan memobilisasi massa yang amat mengesankan, sehingga PKI mendominasi lapangan politik negeri itu di tingkat akar rumput, namun elite kepemimpinannya tetap cemas mengenai pengaruh marjinal yang dimainkan partainya di puast kekuasaan negara, terutama sekali dalam cabinet. Partai itu hanya memiliki tiga orang menteri saja, yaitu Aidit dan Lukman sejak tahun 1962, dan Njoto sejak tahun 1964. Bedasarkan hal ini, maka Politbiro partai memutuskan untuk melancarkan sebuah prakarsa yang berani, yang dikenal sebagai sebuah “ofensif revolusioner”, untuk menonjolkan pengaruh luar-biasa yang dimilikinya di kalangan masyarakat umum dan membawanya masuk ke dalam kabinet dan badan-badan lain dari kekuasaan negara. Dengan kata lain, telah tiba waktunya bagi PKI untuk mempergunakan segala modalnya ini untuk memulai transisi perubahan dari tahap “revolusi demokrasi nasional” di Indonesia ke suatu tahap proses revolusioner “yang lebih tinggi”, yaitu “demokrasi rakyat”, serta membuka jalan kea rah tujuannya yang tertinggi, yaitu memonopoli kekuasaan dalam kediktatoran kaum proletar (dictator proletariat).11

Istilah “Partai” yang sering disebut dalam Gadis Jakarta ditengarai istilah yang digunakan Najib Kailani untuk meyebut PKI. Meskipun tidak terang-terangan menyebut PKI, namun Najib Kailani menyebut dengan jelas Partai Masyumi yang notabene musuh besar PKI yang berhasil disingkirkannya dari panggung politik

11

(9)

Indonesia. Berbagai cara licik dan isu negatif dihembuskan PKI untuk menghabisi lawan politiknya. Najib Kailani pun menggambarkannya dalam Gadis Jakarta:

Sang ibu tidak ikut nimbrung berbicara, ia terlihat bingung. Air bening menggantung di kelopak matanya. Sedang Fatimah baru sadar, bahwa persoalan tersebut telah dimanipulasi. Ia mempunyai rencana untuk menghadapi fitnah mereka dengan cara memberitakan di media massa kebohongan-kebohongan itu. Ia ingin menyelamatkan organisasi Masyumi yang dibenci pemerintah, dan digambarkan sebagai gerombolan perampok dan penjahat. Mereka ingin memecah belah Masyumi dengan menghembuskan kabar bohong mengenai perselisihan di antara angootanya, dan krisis kepercayaan pada para pimpinan Masyumi. Mereka juga berusaha memojokkan Masyumi dengan mengidentikkan organisasi itu sebagai organisasi yang melawan pemerintah, bahkan tuduhan itu juga dialamatkan pada para anggota Masyumi secara pribadi. 12

Pasca kegagalan pemberontakan PKI 1948, orang-orang komunis kembali mendapatkan posisinya dengan berbagai cara, seperti dengan memperluas control dan pengaruh mereka terhadap gerakan serikat dagang; organisasi-organisasi petani dan pemuda dari sejumlah partai kecil yang mewakili isu-isu daerah atau ras tertentu (seperti Cina), bermesraan dan bermain-main dengan fraksi-fraksi kepemimpinan PNI; tidak henti-hentinya berkampanye menyingkirkan Masyumi di samping juga berusaha mengangkat nama PSI; memelihara hubungan baik dengan Presiden Soekarno sampai-sampai Soekarno tidak bisa menimbang keuntungan dan kerugian dukungan PKI.13

E. Analisa Ikonitas Tokoh dalam Tokoh-tokoh Gadis Jakarta

Novel bertemakan historis ini sangat menarik apabila kita coba hubungkan tokoh-tokoh yang ada di dalamnya dengan tokoh real-nya. Meskipun tidak semua tokoh ditenggarai ada tokoh aslinya, melainkan tokoh-tokoh ciptaan pengarang sendiri yang membangun alur cerita.

1. Fatimah; sang tokoh utama merupakan seorang mahasiswi salah satu perguruan tinggi di Jakarta yang berwatak pemberani dan kritis terhadap ketimpangan sosial yang

12

Najib Kailani, h. 96. 13

(10)

terjadi di sekelilingnya. Meskipun tokoh yang sentral dalam kisah Gadis Jakarta namun Fatimah hanya sebagai tokoh utama pengantar namun membangun cerita secara keseluruhan.

2. Abul Hasan; Tunangan Fatimah ini berwatak penuh dedikasi, responsibility yang tinggi terhadap keluarganya, dan begitu menyayangi dan mencintai Fatimah. Ia dipenjara oleh “Partai” karena dianggap membahayakan. tidak ada petunjuk yang jelas dengan tokoh yang real sama seperti Fatimah.

3. Haji Muhammad; seorang pentolan Partai Masyumi yang menjadi sasaran penculikan dan penganiayaan PKI terhadap tokoh-tokoh oposisinya. Bertabiat gigih, dan teguh pendirian terutama terhadap keimanannya. Namun tidak ditemukan ciri-ciri spesifik dalam Gadis Jakarta yang merujuk ke tokoh Masyumi tertentu, mengingat dalam kenyataannya, banyak sekali para tokoh agama dan Masyumi yang menjadi sasaran penculikan PKI.

4. Az-Zaim; tokoh antagonis dalam karya Najib Kailani ini identik dengan D.N. Aidit. Hal ini diungkap Najib mengenai identitas Aidit;

“Engkau harus menyadari posisimu sebagai istri seorang pemimpin partai, perdana menteri, anggota dewan Konstituante, anggota parlemen, dan wakil ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat, serta orang yang memperoleh penghargaan tertinggi dari negara”, ujar Az -Zaim sombong.14

D.N. Aidit dalam realitanya merupakan Ketua Central Committee PKI, salah seorang menteri dalam kabinet Dwikora dan sempat menjabat sebagai wakil ketua sementara MPR RI 1965. Bukti lain yang menunjukkan bahwa Az-Zaim identik dengan D.N Aidit adalah ketika peristiwa Az-Zaim melarikan diri dari kejaran tentara sebagaimana diungkap Najib;

Kedua orang itu segera mencari cara untuk bersembunyi, dan akhirnya mereka menemukan tempat aman, di belakang lemari. Ia merasa tercekik berada di tempat yang sempit, perasaan takut dan khawatir akan dibunuh menjalarinya. Ia teringat masa lalu, ketika ribuan orang mendengarkan ceramahnya yang berapi-api, sambutan hangat saat ia berkunjungan ke luar negeri, dan peristiwa-peristiwa lain. Semua kini sudah berlalu. Bahkan istrinya pun tidak berada di sampingnya.15

14

Najib Kailani, h. 4. 15

(11)

… Salah seorang tentara memeriksa di sekitar lemari. Ia berusaha melongok ke belakang lemari sambil berkata memberi perintah, “Saya

mencium aroma kejahatan, tolong bantu pindahkan lemari ini”

Setelah lemari dipindahkan, mereka menemukan Az-Zaim.16

Penangkapan DN Aidit dilakukan pada 22 November 1965, pukul 23.00 WIB. Aidit diciduk dari tempat persembunyiannya, di dalam rumah Kasim alias Harjomartono, di Kampung Sambeng, Solo, Jawa Tengah. Sebelum ke rumah Kasim, Aidit sempat sembunyi di beberapa tempat. Nahas, di rumah Kasim lah dia berhasil dijemput paksa tentara bersenjata lengkap ke Loji Gandrung, Solo, tempat peristirahatan AD. Saat berada di rumah Kasim, sebenarnya Aidit memiliki peluang untuk melarikan diri. Sebab, saat penggerebekan pertama dilakukan di rumah itu, tentara tidak berhasil menemukan tempat persembunyiannya. Bahkan, setelah rumah itu diobrak abrik, hasilnya tetap nihil. Tentara sempat berpikir Aidit telah berhasil melarikan diri. Namun, pihak intelijen bersikeras dia masih berada dan sembunyi di dalam rumah Kasim. Akhirnya, Kasim diangkut tentara ke markas, lalu menginterogasinya. Diduga tidak tahan dengan siksaan dan takut dengan ancaman tentara, Kasim buka mulut dan menunjukkan lokasi Aidit bersembunyi. Dari markas, tentara kembali membawa Kasim ke rumahnya. Di sana, sebagian tentara masih melakukan pengepungan. Di hadapan moncong senapan, Kasim lalu menggeser lemari di salah satu ruangan rumahnya. "Keluar dari tempat persembunyian! Atau rumah ini saya bakar," katanya menggertak.17 Merasa terdesak, Aidit pun bersuara dari balik persembunyiannya, lalu membuka pintu, dan keluar dari balik lemari. Aidit bertubuh pendek, dan kulitnya bersih. Dia pun balik menggertak Letnan Ming Priyatno. "Saya Menteri Koordinator (Menko), utusan Paduka yang Mulia Presiden Soekarno. Saudara mau apa?" balasnya menggertak. Mendapat gertakan Aidit, Letnan Ming Prayitno sempat kecut dan menjawab pelan."Saya hanya menjalankan tugas untuk menangkap," katanya. Aidit lalu menjawab, "Baik. Tetapi saya diperlakukan

16

Najib Kailani, 211. 17

(12)

sebagai Menko," katanya tegas. Demikian drama penangkapan Aidit di Solo, Jawa Tengah.18

5. Paduka

Mungkin sosok Paduka ini bisa dibilang mudah ditebak. Ya Soekarno. Beberapa perangai dan karakteristik Soekarno ditemukan dalam Gadis Jakarta ini;

“Aku takut engkau akan menjadi seperti Paduka yang menulis banyak

buku tentang perjuangan hak-hak perempuan, namun pada saat yang bersamaan ia menikahi banyak wanita. Sungguh aku benci laki-laki

seperti itu”.

“…Aku mempunyai antologi puisi yang mengagungkan mereka”. Kata Paduka sambil tertawa. “Engkau adalah murid yang cerdas dalam berpidato,” ujar Paduka sambil menepuk pundak Az-Zaim. Paduka memang dikenal sebagai seorang orator yang ulung.19

6. Jenderal Besar

Soeharto digambarkan oleh Najib Kailani sebagai seorang Jenderal Besar. setidaknya terlihat dalam petikan Gadis Jakarta berikut:

“…Jenderal Besar telah menguasai situasi, ia telah mengepung ibukota

dan akan menghabisi kaum revolusioner. Angkatan bersenjata sedang menyisir kota-kota besar dan kita terdesak..”20

Pada pagi hari 1 Oktober 1965, setelah menerima laporan tentang segala sesuatu yang terjadi, Panglima Komando Tjadangan Strategis Angkatan Darat (KOSTRAD) Mayor Jenderal Soeharto segera bertindak cepat. Karena pimpinan Angkatan Darat lumpuh berkenaan dengan penculikan dan pembunuhan-pebunuhan yang dilakukan oleh Gerakan 30 September, dan sesuai dengan kebiasaan yang berlaku bahwa apabila Menteri/Panglima Angkatan Darat berhalangan, Panglima KOSTRAD yang mewakilinya, maka untuk sementara pucuk pimpinan Angkatan Darat dipegang oleh Mayor Jenderal Soeharto. Dengan menggunakan unsur-unsur Kostrad yang ada di Jakarta pada waktu itu, yaitu Resimen Para Komando Angkatan Darat (RPKAD) sekarang bernama Komando Pasukan Khusus dan Batalyon 328/Para Kujang/Siliwangi, tindakan penumpasan dimulai. Pasukan-pasukan yang berdiri di

18

http://daerah.sindonews.com/read/985191/29/hari-terbunuhnya-dn-aidit-1428147661. Artikel diakses pada 20 Juni 2015 pukul 00.42 WIB.

19

Najib Kailani, 134. 20

(13)

pihak pemberontak yang berada di sekitar Lapangan Merdeka segera dapat dinetralisasi. Anggota-anggota pasukan Batalyon 530/Brawijaya dan sebagian anggota Batalyon 454/Diponegoro mundur ke Pangkalan Halim.21 Maka jelas yang dimaksud Najib akan tokoh Jenderal Besar adalah Soeharto.

F. Kesimpulan

Novel ini bercerita tentang romantika yang dilatarbelakangi oleh genre historis, yakni peristiwa G30S/PKI. Dimana penulis menceritakan bagaimana situasi dan kondisi khususnya ibukota sebelum dan sesudah pemberontakan tersebut.

Novel ini menarik untuk dibahas dengan pendekatan sosiologis dan konteks sejarah yang melatarbelakanginya. Selain itu menarik pula bagaimana penulis memberikan simbol bagi para tokoh-tokoh dalam novel ini. Seperti Soekarno disebut Najib Kailani sebagai Paduka, Soeharto disimbolkan dengan Jenderal Besar, dan khususnya tokoh antagonisnya yakni Az-Zaim ditengarai sebagai D.N. Aidit.

Novel yang ditulis Najib ini memberikan gambaran betapa peristiwa G30S/PKI ini sangat berpengaruh tidak hanya nasional tetapi dunia internasional. Karena G30S/PKI ini bisa dikatakan efek dari pengaruh perang dingin antara blok Barat dan Timur meskipun Presiden Soekarno dalam berbagai kesempatan menyatakan sikap tidak memihak melalui KTT non-Blok dan konferensi internasional lainnya. Namun adanya Nasakom merupakan buah dari adanya paham blok Timur dalam hal ini komunisme mulai masuk mempengaruhi Indonesia.

Najib Kailani juga menyoroti konflik antara PKI dan lawan-lawan politiknya, khususnya Masyumi. Bagaimana PKI mengganyang Masyumi dengan

21

(14)

propaganda negatifnya. Meskipun pada akhirnya pertarungan politik dimenangkan oleh PKI karena Masyumi dibubarkan Presiden Soekarno pada 1960. Penulis menyiratkan keberpihakannya terhadap Masyumi ditengarai karena kedekatan ideologis Mesir yang diwakili Ikhwanul Muslimin dengan Indonesia yang diwakili Masyumi itu sendiri.

Begitu juga kondisi sosial ekonomi Indonesia, ibukota khususnya tidak luput dari pandangan Najib Kailani. Carut marut ekonomi dan inflasi turut mengoyak Indonesia yang masih hijau saat itu. Sangat tepat bila sebuah karya sastra merupakan media

recording masa lalu bila kita mengkaji novel Gadis Jakarta karya Najib Kailani ini.

G. Daftar Bacaan

AG Tianlean, Bakri. Bung Karno Antara Mitos dan Realita; Dana Revolusi, Michigan: Komite Penegak Keadilan dan Kebenaran, 2002.

Christomy,Tommy. Pengantar Semiotika Pragmatik Pierce; Nonverbal dan Verbal, makalah dalam penelitian semiotika yang diselenggarakan oleh Pusat Penelitian Kemasyarakatan dan Budaya Universitas Indonesia tanggal 23-26 September 2001.

Kailani, Najib. Gadis Jakarta, terj. Pahrurjoji Muhammad Bukhori, Yogyakarta: Navila, 2006.

Kutha Ratna, Nyoman. Paradigma Sosiologi Sastra, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2009. Lubis,Firman. Jakarta 1960-an Kenangan Semasa Mahasiswa, Jakarta: Masup Jakarta,

2008.

M. Vic, Victor. Kudeta 1 Oktober 1965 Sebuah Studi Konspirasi, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2008.

(15)

Siregar, Insan Fahmi. Pasang Surut Politik Masyumi dalam Pemerintahan (1945-1960) Forum Ilmu Sosial, vol. 35 No. 1, Juni 2008. Arikel diunduh pada 18 Juni 2015 dari: http://download.portalgaruda.org/article.php?article=136511&val=5664. Sukron Kamil, Teori Kritik Sastra Arab Klasik dan Modern, Jakarta: RajaGrafindo

Persada, 2009.

Sukiman,Uki. Ikonitas dalam Novel Hamamah Salam Karya Najib Kailani, h. 117. Artikel diunduh dari: http://digilib.uin-

suka.ac.id/7933/1/UKI%20SUKIMAN%20IKONITAS%20DALAM%20NOVEL %20HAMAMAH%20SALAM%20KARYA%20NAJIB%20AL-KAILANI.pdf. http://daerah.sindonews.com/read/985191/29/hari-terbunuhnya-dn-aidit-1428147661.

Referensi

Dokumen terkait

Penelitian yang menggunakan metode ini, melakukan kegiatan pengumpulan informasi dari sebagian populasi secara langsung di tempat kejadian (empirik) dengan tujuan untuk

Poirot muses that Rowena Drake might have met a similar fate to Olga as Garfield. would have no use for her once he secured her

Sementara hasil uji t statistik pada tabel 2 diatas menunjukkan bahwa CSR dan MBVA berpengaruh negatif dan signifikan terhadap nilai perusahaan dengan koefisien dan

Kompetensi, pemahaman sistem akuntansi dan pemahaman pengelolaan keuangan berpengaruh signifikan terhadap kinerja pengelola keuangan SKPD.. Sari, dkk (2013) Pengaruh Pemahaman

Berdasarkan hasil analisis data pada penelitian tindakan ini, hipotesis yang menyatakan “diduga melalui metode bermain playdough dapat meningkatkan kreatifitas

kualitas yang sama sehingga keinginan konsumen untuk tetap menikmati rokok A mild. dapat

We proposed an iris database for helping medical doc- tors in detecting colon disorder using image processing, however this database still need to be improved since the

Berdasarkan hasil pembahasan yang telah dibahas pada bab sebelumnya, maka dapat disimpulkan bahwa strategi bisnis PT.MBS (PT. Metta Bawana Sakti) dalam membangun kembali