STRATEGI PENGENDALIAN PATOGEN DAN TREND PRAKTIK PENGENDALIANNYA
DALAM MENINGKATKAN DAYA SAING PRODUK PERTANIAN1
9 milyar orang pada tahun 2050. Untuk skala nasional, produksi pertanian haruslah menjadikan bangsa Indonesia memiliki kedaulatan pangan. Sementara di sisi lain, pertanian, sebagai komoditas perdagangan, harus memiliki daya saing agar mampu berkompetisi dengan produk pertanian dari negara‐negara lain dalam bersaing di pasar bebas.
Dilihat dari aspek perlindungan tanaman, keduanya memiliki sedikit perbedaan. Jika tujuan utamanya adalah untuk tercapainya produksi yang optimum, maka strategi perlindungan tanaman apa pun dapat dilakukan. Sementara itu, jika tujuan utamanya adalah meningkatkan daya saing, maka strategi perlindungan tanaman yang diterapkan haruslah dilakukan secara hati‐ hati.
Baik produksi pertanian untuk kecukupan pangan, maupun untuk peningkatan daya saing, keduanya menghadapi kendala yang sama, yaitu gangguan dari organisme pengganggu tanaman (OPT). Menurut Oerke (2006), rata‐rata kehilangan produksi pertanian, setiap tahunnya berkisar antara 50‐
1
80%, dengan perincian, kehilangan hasil akibat gulma 34%, akibat hama 18% dan akibat patogen 16%. Data ini belum memperhitungkan kehilangan hasil pascapanen, yang diperkirakan rata‐rata 10% (Pinstrup‐Andersen, 2001).
Walaupun persentase kehilangan hasil pertanian oleh patogen termasuk
yang paling kecil, namun Era Globalisasi yang ditandai dengan tingginya mobilisasi manusia, terjadinya perubahan iklim, kurang bijaksananya cara budidaya, dan tuntutan konsumen yang berlebihan, diprediksi akan menyebabkan peranan patogen penyebab penyakit tanaman sebagai pembatas
optimalnya produksi pertanian, akan semakin meningkat (Knobler et al., 2006).
Dalam beberapa kasus, patogen penyakit tanaman sangat sulit dikendalikan, serta bukan hanya merugikan secara ekonomi (kehilangan penghasilan produsen, meningkatkan harga di konsumen, membatasi jenis tanaman, dan hilangnya plasma nutfah), tetapi juga merugikan secara estetika (bentuk dan tampilan tanaman menjadi tidak estetis) serta merugikan secara sosial dan politik (Maloy, 1993). Oleh karena sangat pentingnya peranan patogen penyakit tanaman sebagai faktor pembatas produksi pertanian, maka tindakan pengendalian patogen menjadi salah satu prioritas dalam budidaya pertanian.
Sementara itu, hal lain yang harus juga menjadi perhatian adalah bahwa
pertanian Indonesia, selain bertujuan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat Indonesia, juga merupakan salah satu komponen ekonomi yang dapat menjadi komoditas perdagangan untuk menambah penghasilan negara. Untuk dapat bersaing dengan produk pertanian negara‐negara lain, maka produk pertanian Indonesia harus memiliki kualitas yang unggul. Melimpahnya produksi dan sesuainya dengan kebutuhan pasar, tidak serta merta menjamin produk pertanian Indonesia memiliki daya saing terhadap produk kompetitor. Berbagai kasus membuktikan bahwa jika proses produksinya tidak memenuhi standar internasional, produk pertanian Indonesia di tolak oleh negara‐negara pengimpor. Kopi Lampung pernah ditolak masuk pasar Jepang hanya karena kandungan pestisida yang melebihi standar yang ditetapkan. Dengan demikian, untuk memiliki daya saing yang tinggi, produk pertanian Indonesia harus
memiliki kualitas yang tinggi dan telah memenuhi kaidah good agricultural
practice (GAP), termasuk salah satunya adalah bagaimana cara perlindungan
tanamannya.
2. Strategi Pengendalian Patogen Penyebab Penyakit
Tanaman
Secara epidemiologi, mengendalikan penyakit tanaman, dapat didasarkan kepada bagaimana penyakit tanaman menyebar dari satu tanaman ke tanaman lainnya (menyebabkan terjadinya epidemi). Dalam praktiknya, terdapatnya satu atau beberapa tanaman terserang patogen di lahan pertanaman, belum dianggap merugikan jika patogennya tidak menyebar ke seluruh pertanaman.
penyebaran polisiklik, patogen menghasilkan struktur infektif (contohnya spora
Sedangkan tipe patogen yang penyebarannya polisiklik dapat digambarkan dengan persamaan :
Xt = X0.er.t
Keterangan :
Xt = keparahan penyakit pada waktu t
X0 = inokulum awal
r = laju perbanyakan patogen t = waktu perkembangan penyakit e = bilangan 2,71828183
Berdasarkan kedua persamaan diatas, pada prinsipnya, pengendalian
patogen dapat dilakukan dengan dua pendekatan, yaitu (1) menurunkan jumlah propagul patogen sebagai inokulum awal; dan (2) menekan laju perbanyakan patogen (Maloy, 1993). Upaya yang dapat dilakukan untuk menurunkan inokulum awal dapat dilakukan dengan cara : (1) mereduksi patogen yang sudah ada; (2) mengeradikasi atau memusnahkan total inokulum yang sudah ada; dan (3) mencegah masuknya patogen atau melokalisasinya di suatu tempat.
Sementara itu, upaya untuk menekan laju perbanyakan patogen dapat
dilakukan terhadap tanaman inangnya, dengan cara : (1) menggunakan tanaman resisten dengan resistensi genetiknya; (2) menginduksi resistensi tanaman melalui berbagai perlakuan; dan (3) melakukan tindakan proteksi terhadap tanaman.
2.1 Trend Baru Teknik Pengendalian Patogen
Dari sekian banyak taktik pengendalian yang dapat dipilih dalam mengendalikan penyakit tanaman, selain pertimbangan harus efektif, trend baru yang menjadi dasar pertimbangan pemilihannya di Abad XXI ini, antara lain adalah : 1. harus ramah lingkungan; dan 2. memenuhi praktik baik bercocok
tanam (good agricultural practice – GAP). Jika petani dapat membuktikan bahwa
mereka telah menerapkan GAP yang memperhatikan aspek kelestarian lingkungan, maka produk pertaniannya, bukan saja dapat diloloskan masuk ke pasar negara‐negara maju, tetapi juga memiliki posisi jual yang lebih baik.
2.2 Pengendalian Terpadu
karena itu, untuk mengendalikan patogen penyebab penyakit tanaman, diperlukan strategi pengendalian terpadu (El Khoury & Makkouk, 2010).
Selain alasan tidak adanya satupun taktik pengendalian yang jika diaplikasikan secara mandiri dan dapat mencapai level yang memuaskan, penerapan pengendalian terpadu juga dipilih karena dapat menekan dampak dari perlakuan yang dipilih sehingga sesuai dengan konsep kelestarian lingkungan dan pertanian berkelanjutan. Selain itu, hasrat manusia, terutama mereka yang memiliki tingkat pendidikan dan pemahaman yang baik, cenderung mengharapkan mengonsumsi makanan yang sehat dan rendah kandungan kimia sintetiknya. Oleh karena itu, pemilihan taktik pengendalian patogen yang mendekati alami, merupakan faktor yang harus menjadi pertimbangan.
Beberapa taktik pengendalian yang tersedia untuk penyakit tanaman adalah : (1) penerapan kebijakan dan perundang‐undangan; (2) penggunaan tanaman resisten; (3) teknik bercocok tanam; (4) pengendalian biologis; dan (5) penggunaan senyawa kimia (El Khaoury & Makkouk, 2010).
2.2.1 Penerapan Kebijakan dan Perundang‐undangan
Penerapan kebijakan dan perundang‐undangan sebenarnya merupakan langkah yang efektif dan dapat berdampak secara luas dalam menangkal masuknya patogen dari luar wilayah dan menghambat penyebaran patogen di wilayah yang sudah terdeteksi adanya patogen. Tugas ini diemban oleh Badan Karantina Pertanian Kementrian Pertanian. Perihal ini, akan dibahas dalam oleh Dr. Antarjo Dikin, pada sesi berikutnya. Tugas Badan Karantina ini sangat berat jika tidak ada dukungan dan pastisipasi seluruh lapisan masyarakat. Dengan meningkatnya lalulintas barang dan manusia di era globalisasi, akan semakin mempersulit tugas Badan Karantina Pertanian dalam melaksanakan penerapan kebijakan pemerintah dan perundang‐undangan.
Kasus masuknya nematoda sista kentang ‐ Globodera rostochiensis dan
yang terbaru adalah bakteri Clavibacter michiganensis subsp. sepedonicum juga
patogen pada tanaman kentang (Suganda & Natasasmita, 2014), merupakan salah satu bukti sulitnya tugas Badan Karantina Pertanian. Sebelumnya, kedua patogen ini tidak terdapat di Indonesia karena merupakan organisme pengganggu tanaman karantina (OPTK) A‐1.
2.2.2 Penggunaan Varietas Resisten
Resistensi tanaman merupakan cara pengendalian patogen yang paling ideal, karena menghemat waktu, biaya, dan upaya, serta aman bagi lingkungan (Maloy, 1993). Resistensi tanaman menekan laju perbanyakan patogen dan pada gilirannya menekan inokulum awal untuk musim berikutnya. Dengan menanam tanaman resisten, petani tidak perlu melakukan tindakan khusus selain menanamnya.
Resistensi tanaman sudah terbukti efektif dalam mengendalikan patogen. Selama puluhan tahun, resistensi tanaman sudah menjadi bagian dari strategi pengendalian terhadap patogen (Pink, 2002). Di negara‐negara maju, untuk
mengendalikan penyakit karat (Puccinia graminis) pada tanaman gandum,
juga merupakan bagian dari pengendalian penyakit padi (El Khoury & Makkouk, 2010).
Namun demikian, fakta membuktikan bahwa resistensi tanaman saja tidak cukup untuk dapat melindungi tanaman dari penyakit. Kasus patahnya gen
gen resistensi tunggal pada gandum oleh munculnya ras‐ras baru pada jamur P.
graminis (dikenal dengan istilah boom and bust cycle) menunjukkan kebenaran
bahwa satu cara pengendalian tidak akan cukup memberikan hasil yang memuaskan (Keane & Brown, 1997). Penurunan hasil gandum tetap terjadi, karena resistensi memang bukan imunisasi.
Tanaman transgenik, yang diprediksi akan dapat menjadi jawaban bagi permasalahan produksi dan perlindungan tanaman, sampai saat ini baru tersedia untuk karakter resistensi terhadap herbisida dan serangga. Untuk ketahanan terhadap patogen, baru tersedia untuk karakter ketahanan terhadap
virus, yaitu pada pepaya dengan gen coat protein. Namun penggunaan secara
komersial untuk diterapkan oleh petani nampaknya tidak terlalu menjajikan. Selain prosedurnya rumit, harganya mahal, juga sering menjadi monopoli perusahaan pengembangnya sendiri (Bakshi & Dewan. 2013, The Economist, 2014).
Resistensi Terinduksi
Cara pengendalian yang sedang aktif dikembangkan di berbagai belahan dunia saat ini adalah mencoba menginduksi resistensi tanaman dengan menggunakan berbagai bahan penginduksi. Fakta bahwa tanaman mampu melawan infeksi patogen jika sistem pertahanan dirinya diaktifkan, telah menghasilkan berbagai temuan bahwa senyawa kimia maupun mikroba dapat
berperan sebagai penginduksi (Abdel‐Kader et al., 2013, Anand et al., 2014).
Tabel 1. Tanaman yang memperlihatkan SAR dengan penginduksi mikrob
(disarikan dari Anand et al., 2014).
Tanaman Organisme Penginduksi Patogen Sasaran
Alfalfa Colletotrichum lindemuthianum Colletotrichum
Kedelai Colletotrichum Colletotrichum
Kentang Phythophthora infestans Phythophthora infestans
Tomat Phythophthora infestans Phythophthora infestans
Mentimun Colletotrichum lagenarium Colletotrichum lagenarium
Padi Pseudomonas syringae Magnaporthe grisea
Tabel 2. Resistensi terinduksi oleh mikrob PGPR (disarikan dari Anand et al.,
2014).
PGPR Tanaman
Terlindungi Patogen Sasaran
Ochrobactrum lupi Paprika Xanthomonas axonopodis
P. fluorescens Tomat dan paprika F. o. f.sp. lycopersici,
Serratia plymuthics strain R1GC4
Mentimun Pythium ultimum
Burkholderia phtofirmans
PsJN
anggur Botrytis cinerea
P. fluorescen EP1 Tebu C. falcatum
Bacillus pumilus SE34 tomat F. oxysporum
Tabel 3. Resistensi terinduksi oleh mikrob non‐pathogenic atau strain avirulen
(disarikan dari Anand et al., 2014).
Penyakit Tanaman
Organisme Penginduksi Patogen Sasaran
Net blotch barley Bipolaris maydis jagung atau
Septoria nodorum gandum
Drechslera teres f. maculata
Blast padi Pyricularia oryzae dan
Bipolaris sorokiniana
Pyricularia oryzae
Powdery mildew mentimun
Alternaria cucumarina atau
Cladosporium fulvum
Fusarium oxysporum strain
Fo47
Penginduksi Bahan Aktif Produsen
Actigard®,
Blokade®, Bion®
Acibenzolar‐S‐methyl Singenta Crop Protection,
USA
Allete® WG Fosetyl‐Al Bayer Crop Science,
Germany
Elexa Chitosan dll Safe Science, USA
Forr‐R, Fos® 400 Asam posporus UIM Agrochemicals,
Australia
Goemar 411 laminarin Laboratories Goemar,
France
Key Plex Asam alpha‐keto Morese Enterprises, USA
Messenger® harpin Eden Bioscience, USA
Nautri Phite® P Asam posporus Biagro Western Sales Inc.
USA
Milsan® Ekstrak Reynoutria
sachalinensis
KHH Bioscience Inc, USA
Oxycom Hidrogen peroksida Redox Chemical Inc. USA
PhytoGuard® Potassium fosfat Intrachem Bio. France
Prophyt® Potassium fosfat Helena Chemical Co, USA
RezistTM Tembaga, mangan dan zeng Laboratories Goemar,
France
SynemixTM Ekstrak rumput laut Laboratories Goemar,
France
Vacciplant (Physpl) β‐1,3 glucan Laboratories Goemar,
France
2.2.3 Teknik Bercocok Tanam
Cara bercocok tanam merupakan praktik pengendalian penyakit tanaman yang ditujukan untuk meningkatkan kesehatan tanaman dalam upaya menciptakan iklim yang tidak kondusif bagi perkembangan penyakit (menekan laju perkembangan penyakit – r, di dalam rumus epidemik), dan menekan level
inokulum awal (atau X0 di dalam rumus epidemik.
Pentingnya peranan inokulum awal terhadap kemunculan penyakit dan berat‐ringannya tingkat keparahan penyakit sudah banyak dibuktikan dalam
berbagai penelitian. Naz et al. (2008) melaporkan bahwa semakin tinggi level
inokulum Rhizoctonia solani, semakin berat tingkat serangan penyakit black scurf
pada tanaman kentang. Hasil ini konsisten pada 11 kultivar kentang terlepas
dari adanya perbedaan tingkat resistensinya. Sementara itu, Munde et al. (2013)
juga melaporkan bahwa semakin tinggi level inokulum Sclerotium rolfsii,
semakin tinggi tingkat keparahan dan semakin cepat penyakit busuk akar muncul pada tanaman sorgum.
Keinath (1995) melaporkan bahwa kemunculan dan keparahan penyakit
rebah kecambah pada kubis oleh Rhizoctonia solani sangat ditentukan oleh
jumlah inokulum awal (sklerotia) di dalam tanah. Semakin tinggi jumlah inokulum, semakin parah penyakitnya.
Hal serupa dilaporkan oleh oleh Hao et al. (2009). Penyakit layu
fusarium pada tanaman kapas oleh jamur Fusarium oxysporum f.sp. vasinfectum
merupakan penyakit yang tingkat keparahannya (disease severity) sangat
tergantung kepada level inokulum di dalam tanah, walaupun resistensi kultivar juga ikut berperan dalam menentukan berat‐ringannya tingkat keparahan. Pada Gambar 1 dibawah ini terlihat bahwa semakin tinggi inokulum awal, semakin tinggi keparahan penyakit.
Gambar 1. Tingkat keparahan penyakit layu pada tanaman kapas oleh F.o. f.sp.
vasinfectum (Hao et al., 2009).
Oleh karena itu, penurunan inokulum awal (X0) merupakan suatu praktik
yang sangat baik untuk mengurangi resiko penyakit tanaman. Pembenaman serasah tanaman terinfeksi dapat memperlambat munculnya penyakit dan menurunkan tingkat keparahan penyakit tanaman. Suganda dkk. (1988) melaporkan bahwa semakin banyak serasah tanaman tomat terinfeksi sebagai inokulum, semakin cepat dan semakin parah penyakit yang terjadi. Namun jika serasah tanaman tomat terinfeksi tersebut dibenamkan, semakin dalam pembenaman, semakin rendah tingkat keparahan penyakit bercak melingkar (ring spot) pada tanaman tomat oleh jamur Alternaria solani.
Beberapa teknik bercocok tanam yang dapat dikategorikan sebagai cara
pengendalian patogen, a.l. adalah pengolahan tanah, solarisasi dan pemulsaan dengan plastik, pergiliran tanaman, dan bertanam campuran (Agus, 2008,
Autrique & Pots, 2008, Berry, 2009, dan Mmalezieux, et al., 2007). Mmalezieux,
et al., (2007) melaporkan bahwa dari hasil survey yang mereka lakukan, praktik
bertanam campuran memberikan berbagai keuntungan seperti produktivitas yang lebih tinggi, penekanan terhadap OPT, memperbaiki ekologi dan memguntungkan secara ekonomi.
2.2.4 Pengendalian Biologis
Trichoderma spp. dan berbagai genus bakteri. Pestisida untuk mengendalikan patogen dengan bahan aktif mikrob sebenarnya sudah banyak yang dipasarkan secara komersil, baik di luar negeri maupun di Indonesia. Di luar negeri produk pengendali biologis dikenal dengan nama dagang Soilgard, Kodiak, HiStick, Serenade, dan lain‐lain.
2.2.5 Pengendalian Dengan Senyawa Kimia (Pestisida)
Pengendalian penyakit tanaman dengan senyawa kimia tidak akan dapat
dipisahkan dari produksi pertanian. Terlepas dari fakta bahwa senyawa kimia adalah racun yang dapat terkonsumsi, menyebabkan pencemaran lingkungan, menyebabkan resistensi dan resurjensi patogen (Fishel, 2014), dan sebagainya, sampai saat ini, senyawa kimia masih merupakan salah satu cara pengendalian yang sangat diandalkan, terutama ketika patogen sudah mencapai ambang yang dapat merugikan secara ekonomi. Menurut Wyenandt & Maxwell (2011), fungisida merupakan salah satu komponen dari pengendalian terpadu, tanpa fungisida produksi sayuran komersil tidak memungkinkan secara ekonomis. Tanpa fungisida, penanaman tanaman inang di daerah endemik, tidak mungkin
dapat dilakukan dikarenakan oleh Phytophthora infestans (Cooke, 1992). Disitir
dari Gianessi & Reigner (2005) satu buah mentimun terinfeksi Phytophthora
dapat menghasilkan 840 juta spora, sementara 500 juta spora dapat dihasilkan oleh hanya satu tanaman seledri yang terinfeksi.
Upaya untuk menggunakan fungisida secara lebih rasional dan tepat
sudah banyak dilakukan. Trend penggunaannya semakin lama semakin menurun (Gianessi & Reigner, 2005; Wyenandt & Maxwell, 2011). Berbagai upaya untuk menekan kemunculan resistensi patogen terhadap suatu bahan aktif fungisida sudah banyak dilakukan, antara lain dengan monitoring secara berkelanjutan, membuat fungisida campuran lebih dari satu bahan aktif, menggunakannya secara berselang‐seling bahan aktif, bahkan dengan fungisida berbahan aktif nabati (Brent & Hollomon, 2007). Keefektifan suatu bahan aktif fungisida memang harus dipertahakan selama mungkin mengingat untuk menemukan dan menggembangkan satu jenis bahan aktif diperlukan waktu 10 tahun dengan total biaya sampai dapat dipasarkan mencapai US$200 juta (CropLife International, 2007).
Pestisida Nabati Sebagai Alternatif
Salah satu alternatif terhadap pestisida sintetik yang semakin mendapat
perhatian sebagai cara pengendalian patogen yang ramah lingkungan adalah
fungisida nabati (Anand et al., 2014, Baraka et al., 2011, Bowers & Locke, 2000).
Berbagai riset telah dilakukan di seluruh dunia untuk mengekplorasi bahan alam lokal sebagai fungisida dan bakterisida. Banyak yang sudah dikategorikan efektif dan potensial bahkan sudah banyak pula yang dijual secara komersil. Beberapa di antaranya dijual dan dipasarkan secara internasional dengan merek dagang Regalia PTO, Milsana, Bion 50 WG, Zero Tolerance, Citron 75 SL, Eco‐PM, Tricha,
Biocure, dan lain‐lain (Anand et al., 2014). Sementara itu, produk lokal
3. Simpulan
1. Penyakit tanaman memiliki peran yang sangat penting sebagai salah satu
faktor pembatas tercapainya produksi pertanian yang optimum, dan diprediksi peranannya akan semakin penting di Era Globalisasi.
2. Untuk mengendalikannya diperlukan strategi pengendalian terpadu yang
selain harus efektif juga harus memenuhi kaidah good agricultural
practice agar meningkatkan kualitas dan daya saing.
3. Terdapat berbagai cara pengendalian yang dapat dipilih dengan sekuens
dimulai dari penerapan perundang‐undangan, penggunaan varietas resisten, teknik bercocok tanam, pengendalian biologis, pengendalian dengan senyawa botani, dan penggunaan fungisida sintetik jika diperlukan. resistance inducers approaches for controlling foliar diseases of some vegetables under protected cultivation system. Plant Pathology & Microbiology :4‐9. http://dx.doi.org/10.4172/2157‐7471.1000200 (20 Nov. 2014).
Agu, C.M. 2008. Effects Of Intercropping On Root‐Gall Nematode Disease On
Soybean (Glycine max (L) Merril). New York Science Journal 1 (1).
January 1, 2008. ISSN 1554‐0200.
Anand, Y.R., S.J. Singh, D.K. Kumar, K.R. Panyam, P. Sumitra, K.H. Malemnganba Meitei, S. Gurumurthy, and B. Asthir. Recent Advances In Induced Resistance for Plant Disease Management: An Overview. 2014. In : Innovations in Plant Sciences and Biotechnology (S.H. Wani, C.P. Malik, A. Hora, and R. Kaur, eds). Agrobios, India.
Autrique, A. and M.J. Potts. 2008. The influence of mixed cropping on the
control of potato bacterial wilt (Pseudomonas solanacearum). Annals of
Appl. Biol. 111(1):125‐133.
Bakshi, S. and D. Dewan. 2013. Status of transgenic cereal crops: a review. Cloning & Transgenesis 3(1):1‐13. http://dx.doi.org/10.4172/2168‐ 9849.1000119 (diakses 11 Nov 2014).
Baraka, M.A., F.M. Radwan, W.I. Shaban, and K.H. Arafat. 2011. Efficiency of some plant extracts, natural oils, biofungicides and fungicides against root rot disease of date palm. J. Biol. Chem. Environ. Sci. 6(2):405‐429.
Bowers, J. H., and Locke, J. C. 2000. Effect of botanical extracts on the population
density of Fusarium oxysporum in soil and control of Fusarium wilt in the
greenhouse. Plant Dis. 84:300‐ 305.
Brent, K.J. and D.W. Hollomon. 2007. Fungicide resistance in Crop Pathogens: How Can It Be Managed? CropLife International. FRAC.
Da Rocha, A.B. and R. Hammerschmidt. 2005. History and perspectives on the use of disease resistance inducers in horticultural crops. Horttechnology Gianessi, L.F. and N. Reigner. 2005. The Value of Fungicides in U.S. Crop
Production. CropLife Foundation, Crop Protection Research Institute. Washington D.C.
Gisi, U., I. Chet, M.L. Gullino (eds). Recent Developments in Managemen of Plant Diseases. Springer.
Keane, P.J. and J. Brown. 1997. Disease management: resistant cultivars. Pp. 405‐425 in Plant Pathogens and Plant Diseases (J.F. Brown and H.J. Ogle, eds). http://www.appsnet.org/Publications/Brown_Ogle/ (21 Nov. 2014).
Keinath, A.P. 1995. Relationships between inoculum density of Rhizoctonia
solani, wiresteam incidence and severity, and growth of cabbage.
Phytopathology 85:1487‐1492.
Knobler, S., A. Mahmoud, S., Lemon, and L. Pray (eds). 2006. The Impact of Globalization on Infectious Disease Emergence and Control. The National Academic Press. Wahsngton D.C.
Maloy, O.C. 1993. Plant Disease Control: Principles and Practice. John Wiley & Sons, Inc. 346 p.
Mmalezieux, E., Y. Crozat, C. Dupraz, M. Laurans, D. Makowski, H. Ozier‐ Lafontaine, B. Rapidel, S. de Tourdonnet, and M. Valantin‐Morison. 2007. Mixing plant species in cropping systems: concepts, tools and models. A
review. EDP Sciences. https://hal.archives‐
ouvertes.fr/file/index/docid/886426/filename/hal‐00886426.pdf.
Pinstrup‐Andersen, P. 2001. The Future World Food Situation and the Role of
Plant Diseases. The Plant Health Instructor. DOI: 10.1094/PHI‐I‐2001‐
0425‐01.
Suganda, T., L. Djaja, T. Sunarto, A. Purnama, dan D.T. Iswara. 1998. Pengaruh
berat dan posisi residu tanaman tomat terinfeksi Alternaria solani
terhadap kemunculan penyakit bercak coklat pada tanaman tomat. J. Agrikultura 9:6‐11.
Suganda, T. dan S. Natasasmita. 2014. Penyebaran Penyakit Busuk Cincin
Kentang Di Jawa Barat. Laporan Penelitian LPPM Universitas Padjadjaran (Tidak dipublikasikan).
The Economist. Nov 8th, 2014. Genetically modified crops, Field Research.
http://www.economist.com/news/science‐and‐technology/21630961‐ biggest‐study‐so‐far‐finds‐gm‐crops‐have‐large‐widespread‐benefits‐field Washington, W.S., N. Shanmuganathan, and C. Forbes. 1992. Fungicide control of
strawberry fruit rots, and the field occurrence of resistance of Botrytis
cinerea to iprodione, benomyl and dichlofluanid. Crop Protection
11:355‐360. DOI: 10.1016/0261‐2194(92)90063‐B.
Wyenandt, A. and N.L. Maxwell. 2011. Evaluating fungicide recommendations for vegetable crops in the United States: should more be done to limit the risks of fungicide resistant development. Journal of Extension 49(3):Feature 3FEA8.
‐tsg‐