1
Pendidikan Literasi Media Bagi Remaja Belia:
Perbedaan Identifikasi Masalah Oleh Guru, Orang Tua, dan Anak
Oleh:
Billy K. Sarwono1, Hendriyani2, & B. Guntarto3
Pendidikan literasi media mulai marak dilakukan di Indonesia sejak sekitar tahun 2002. Banyak aktivis pendidikan literasi media yang fokus pada anak dan remaja karena posisi mereka sebagai khalayak khusus, dengan melibatkan sekolah, terutama guru. Pada tahun lalu peneliti bekerja sama dengan dua SMP di Jakarta untuk merumuskan model pendidikan literasi media bagi remaja belia. Hasil evaluasi terhadap program memperlihatkan belum banyak perubahan, terutama dalam perilaku bermedia remaja. Untuk memperbaiki program tersebut, tahun ini peneliti menyelenggarakan focus group discussion untuk menggali tantangan yang dihadapi remaja dalam bermedia, serta peran serta orangtua dan guru dalam mendampingi remaja. FGD diselenggarakan di Jakarta pada Juni 2014 dengan melibatkan siswa SMP, guru mereka, serta orangtua mereka; masing-masing dalam kelompok terpisah. Hasil diskusi memperlihatkan identifikasi tantangan bermedia yang berbeda pada masing-masing kelompok. Orangtua lebih banyak melihat televisi sebagai alat hiburan; dan
memandang Internet sebagai alat bantu belajar anak. Pemakaian ponsel menjadi bahan keresahan mereka, namun mereka cenderung merasa tidak berdaya karena tidak dapat membatasi pemakaian ponsel oleh anak mereka. Guru juga melihat Internet sebagai alat bantu belajar, namun mereka juga menyadari bahwa ada potensi bahaya dari Internet. Keresahan utama guru disebabkan maraknya penyebaran isi bermuatan seksual yang eksplisit di kalangan anak, terutama melalui ponsel dan media sosial. Anak sendiri lebih banyak melihat manfaat media; mereka adalah pemakai aktif ponsel dan Internet. Tantangan yang mereka rasakan justru berbeda dengan yang dikhawatirkan orangtua dan guru mereka: bagaimana menjaga eksistensi diri mereka di Internet, terutama di media sosial.
Kata kunci: Literasi Media, Internet, Guru, Orangtua, Anak.
1 Billy Sarwono adalah pengajar di Departemen Ilmu Komunikasi FISIP UI. Ia menjadi anggota Media
Climate Working Groups, yang terdiri peneliti-peneliti dari 18 negara. Ia juga aktif di Yayasan Pengembangan Media anak sebagai peneliti dan fasilitator pelatihan/workshop. Fokus studinya pada media dan minoritas, serta isu perubahan iklim dan lingkungan. Email:
billysarwono@gmail.com
2Hendriyani adalah pengajar di Departemen Ilmu Komunikasi FISIP Universitas Indonesia. Studinya
fokus pada media dan anak di Indonesia. Email: hendriyani.sos@ui.ac.id
3B. Guntarto adalah pengajar di Universitas Paramadina. Ia menjadi kandidat doktor Ilmu
2
Media, terutama televisi, telah menjadi bagian tak terpisahkan bagi kehidupan sehari-hari mayoritas orang di Indonesia. Penelitian yang dilakukan pada anak-anak di Jakarta pada tahun 2009 memperlihatkan kepemilikian media yang sangat tinggi dalam rumah tangga, yaitu 98% memiliki televisi, 90% memiliki telpon selular, 80% memiliki video player, 74% memiliki radio, 62% memiliki games player, 59% memiliki komputer, walau hanya 28% yang memiliki koneksi internet di rumah (Hendriyani, Hollander, d’Haenens, & Beentjes, 2012). Penelitian tersebut juga menemukan bahwa ketersediaan media yang tinggi dalam rumah mendukung konsumsi media yang jumlah waktu yang tinggi pula dalam keluarga. Data penelitian lain menunjukkan walau televisi di Indonesia masih menjadi medium yang paling dominan di dalam rumah tangga, namun jumlah kepemilikan telpon selular, naik dari 67% di tahun 2011 menjadi 81% rumah tangga pada tahun 2012. Menurut data pemerintah Indonesia, pada tahun 2013 jumlah pengguna Internet di Indonesia mencapai sekitar 82 juta jiwa dan 80% di antaranya adalah remaja, sedangkan menurut UNICEF Indonesia (2014), remaja pengguna Internet berjumlah sekitar 68 juta jiwa. Dengan demikian, tidaklah mengherankan bila Indonesia dikategorikan sebagai negara dengan urutan ke empat pengguna facebook terbanyak di dunia, dan urutan ke dua untuk penetrasi twitter paling tinggi di dunia.
Dewasa ini, media semakin merasuki hidup dari anak dan remaja. Anak-anak menghabiskan waktu antara 30-35 jam dalam seminggu untuk menonton televisi (YPMA, 2008). Penelitian Hendriyani, Hollander, d’Haenens, and Beentjes (2011) memperlihatkan bahwa rata-rata waktu program televisi anak pada dekade 2000an adalah 137,7 jam per minggu, disiarkan oleh 11 stasiun TV bersiaran nasional. Angka ini meningkat dari 6,8 jam per minggu di dekade 1970an, menjadi 6,6 jam per minggu pada dekade 1980an, dan 34,6 jam per minggu pada 1990an. Memang, belum ada data suplai media lain untuk khalayak anak di Indonesia, namun data pada televisi ini dapat memberikan gambaran bahwa suplai program televisi untuk khalayak anak terus meningkat dari waktu ke waktu; sebuah indikator bahwa kelompok usia ini dianggap sebagai ‘pembeli’ potensial. Fenomena tersebut sangat mungkin terjadi pada media lain, seperti penggunaan video game.
Tak sedikit pakar media yang menegaskan bahwa efek negatif berkorelasi dengan jumlah waktu penggunaan media, dan konten media yang dipilih (Nina Armando, Sarwono, Hendriyani, 2013). Efek negatif yang muncul adalah konsumtivisme, gaya hidup remaja yang menekankan kultur barat yang menganut nilai-nilai kebebasan, perilaku agresif akibat banyaknya isi media yang mengandung kekerasan, perilaku seksual anak akibat mengonsumsi pornografi, penggunaan tembakau atau rokok, narkoba dan obat-obatan
terlarang, minuman alcohol, obesitas, menurunnya prestasi akademik, dan ADHD atau
Attention Deficit Hyperactivity Disorder sampai dengan menurunnya kualitas kesehatan fisik
maupun psikis anak dan remaja. Dampak lain menunjukkan bahwa tingginya jumlah waktu yang digunakan dalam mengakses media digital menyebabkan menurunnya waktu untuk bersosialisasi dan berkomunikasi dengan orang lain, menurunnya jumlah jam untuk belajar atau membaca buku, dan meningkatnya depresi serta kesendirian (Hughes, Ebata, & Dollahite, 1999).
3
isi media yang sensual atau mengandung seksualitas, dan banyaknya tayangan kekerasan membuat anak dan remaja tak lagi sensitive terhadap kejahatan, kekerasan. Mereka bisa menganggap bahwa kekerasan adalah hal yang wajar untuk dilakukan dalam usaha
mencapai apa yang diinginkan. Mereka bisa melakukan bullying dan menjadi tak peduli
pada kepentingan orang lain karena nilai-nilai sosial tak lagi merupakan penekanan dalam media.
Permasalahan Penelitian
Dalam studi khalayak media, kelompok orang muda –anak dan remaja– sering mendapatkan perhatian khusus karena, beberapa hal. Pertama, sebanyak 30% dari 237 juta penduduk Indonesia masuk dalam kategori usia anak dan remaja (mereka yang di bawah 18 tahun). Kedua, usia mereka berada dalam tahap perkembangan kognitif dan afektif yang rentan dipengaruhi media. Ketiga, mereka adalah pemakai media yang aktif menggunakan media untuk kepentingan mereka sendiri (misalnya, lihat Buckingham, 2000; Potter, 2012; Valkenburg, 2004). Berikutnya, penggunaan media oleh remaja tak dilakukan secara kritis dan selektif, ditambah lagi remaja merupakan target sasaran industri media yang komersial dan terakhir karena longgarnya regulasi media.
Semakin bertumbuhnya penggunaan media seperti televisi, Internet, dan ponsel oleh anak-anak Indonesia telah menimbulkan kekhawatiran di berbagai negara termasuk di Indonesia. Para ahli mulai menekankan pentingnya peran orangtua untuk memediasi penggunaan media anak; secara khusus terhadap konten-konten kekerasan, akses terhadap pornografi online, dan konten-konten lain yang merusak. Tidak sedikit hasil studi (Livingstone & Helsper, 2008, Clark, 2011) yang menunjukkan bahwa orangtua telah berusaha untuk meregulasi penggunaan media dari anaknya, dengan harapan agar dapat memaksimalkan keuntungan dari media dan meminimalisir efek negatif yang dihasilkan. Penelitian yang dilakukan Chan & McNeal (2002:161) menemukan adanya perbedaan pandangan antara orangtua yang berprofesi guru, pengajar, peneliti atau mereka yang berpendidikan tinggi dengan orang tua lainnya. Hal ini terjadi karena mereka yang tergabung dalam profesi tersebut di atas jarang menonton televisi, memiliki pandangan yang lebih negatif terhadap iklan televisi, dan mereka masih mampu mengontrol penggunaan media televisi dan punya kemampuan untuk mempengaruhi cara berpikir anak-anaknya.
Apa yang dibahas dalam makalah ini adalah bagian dari sebuah proses penelitian yang pada saat makalah ini dubuat, sedang berlangsung. Penelitian ini sendiri berujudul “Dampak Pendidikan Literasi Media Terhadap Pemaknaan Gaya Hidup” dengan obyek penelitian siswa SMP di Jakarta Timur. Penelitian diawali dengan penggalian data mengenai interaksi anak dengan media dengan menggunakan metode focus group discussion; kemudian diadakan pelatihan guru; pembahasan materi ajar; penggalian data tentang kondisi literasi media siswa (pre-tes); pelaksanaan Pendidikan Literasi Media di kelas; dan diakhiri dengan pos-tes.
4
lebih jauh dalam konteks apa saja perbedaan tersebut muncul, bagaimana rumusannya, dan seberapa intensitasnya.
Pemahaman terhadap adanya perbedaan tersebut menjadi penting ketika program literasi media hendak diterapkan pada kelompok remaja tersebut, sehingga dapat diantisipasi melalui kesempatan tatap muka guru dengan siswa di sekolah, maupun dalam bentuk pendampingan oleh orangtua di rumah.
Kerangka Berpikir
Sejak media masuk dalam kehidupan manusia, beragam teori dalam ilmu sosial tentang pengaruh media terhadap khalayak, di tataran individu maupun masyarakat, terus
bermunculan. Teori-teori yang masih terus dipakai sampai sekarang antara lain: Social
Learning Theory yang dikembangkan oleh Albert Bandura pada tahun 1960an yang
menjelaskan bahwa manusia dapat belajar dari berbagai observasi yang mereka lakukan, termasuk juga observasi terhadap isi televisi (Bandura & Walters dalam Signorielli, 2001).
Ide tersebut dikembangkan lebih jauh dalam Ilmu Komunikasi menjadi Cultivation Theory,
bahwa media dapat berperan sebagai agen sosialisasi: semakin banyak waktu yang dihabiskan seseorang menonton televisi, semakin mungkin pemaknaan mereka tentang dunia dan orang-orang menyerupai apa yang orang tersebut tonton di televisi (Signorielli, 2001). Teori ini menjadi salah satu teori yang dominan dalam Ilmu Komunikasi, yang berkembang dengan asumsi bahwa media mempengaruhi khalayaknya, dan sebaliknya, dalam porsi tertentu dan pada kondisi tertentu.
Dalam menggunakan media, pada umumnya khalayak selalu bersikap aktif. Salah satu konsep yang bisa digunakan untuk mengetahui bahwa khalayak itu tidak pasif tetapi
aktif adalah dengan menggunakan konsep literasi media. Khalayak yang media literate,
berarti ia juga menggunakan berbagai kemampuannya dalam menggunakan, mengakses bahkan memaknai isi media. Definisi payung tentang literasi media seperti dirumuskan dalam National Leadership Conference on Media Literacy, menyatakan bahwa literasi media merupakan kemampuan untuk mengakses, menganalisis, mengevaluasi, dan
memproduksi isi pesan media (Aufderheide, 2993: v). Akses mencakup Akses berarti
kemampuan untuk mencari informasi atau menemukan pesan dan untuk dapat memahami
dan menafsirkan makna pesan itu. Analisis mengacu pada proses mengenali dan memeriksa
tujuan pembuat pesan media, khalayak media, teknik konstruksi yang digunakan, sistem simbol, dan teknologi yang digunakan untuk membangun pesan. Konsep analisis juga mencakup kemampuan untuk mengenali konteks politik, ekonomi, sosial, dan sejarah dimana pesan media yang diproduksi dan diedarkan sebagai bagian dari sistem budaya.
Evaluasi mengacu pada proses menilai kebenaran, keaslian, kreativitas, atau kualitas lain
dari pesan media, membuat penilaian tentang nilai dari pesan media. Literasi media juga
mencakup kemampuan untuk mengkomunikasikan pesan dalam berbagai macam bentuk
(menggunakan teks bahasa, foto, video, media online, dll).
Lebih lanjut, Rosenbaum, Beentjes, & Konig (2008) menjabarkan adanya dimensi-dimensi dalam penggunaan media oleh khalayak: locating and selecting, managing media use,
mobilizing the media, dan interpreting media content. Dalam perspektif psikologi, W. James
Potter (2013: 22-23) merumuskan definisi literasi media sebagai “serangkaian perspektif yang digunakan secara aktif untuk menghadapi terpaan media, menginterpretasi, dan
meng-counter makna dari pesan media”. Bagi Potter kunci literasi media adalah persoalan
5
Berdasarkan rumusan tentang literasi media dari berbagai lembaga dan ahli serta identifikasi terhadap kemampuan literasi media, terdapat 4 materi utama yang perlu dipahami dan dimiliki oleh setiap orang yang menggunakan media agar seseorang memiliki literasi media yang baik. Keempat materi utama itu adalah: akses terhadap media; struktur pengetahuan mengenai media; keterampilan dalam mengolah isi pesan media; dan kemampuan dalam menyusun isi pesan media (Martens, 2010). Dalam konteks struktur pengetahuan seperti yang disampaikan oleh Potter, ia menambahkan satu hal lagi: pemahaman kebutuhan diri seseorang terhadap media. Dalam memproses informasi atau isi pesan dari media, ada sejumlah keterampilan yang perlu dimiliki oleh seseorang agar
menjadi media literate. Potter (2013: 18-22) merumuskan dalam 7 keterampilan: kemampuan
dalam melakukan analisis; evaluasi; pengelompokan; induksi; deduksi; sintesis; dan abstraksi terhadap isi pesan media.
Selanjutnya kemampuan seorang anak atau remaja dalam melaksanakan dimensi-dimensi tersebut merupakan indikator tingkat literasi media yang dimilikinya. Dengan memiliki kemampuan literasi media, siswa akan dapat melakukan kontrol (akses, konten, dan pemaknaan) terhadap media, dan bukan sebaliknya. Kemampuan literasi media juga akan membuat siswa dapat menarik garis batas antara dunia nyata kita dengan dunia yang dibentuk oleh media. Hal ini juga akan membuat siswa memiliki peta yang jelas yang memandu kita dalam mengarungi dunia media sehingga kita dapat mengambil manfaat dari media tanpa terganggu/terpengaruh oleh materi yang tidak pantas. Literasi media juga membantu siswa untuk bisa membedakan mana yang benar dan mana yang salah.
Tabel berikut ini mengambarkan berbagai dimensi dalam konsep literasi media
Tabel 1. Identifikasi Dimensi dan Komponen Literasi Media
Dimensi Komponen Sub‐Komponen
1.Pengetahuan
Pengetahuan tentang media Dampak media
Isi media Industri media Khalayak media
Kebutuhan diri thd media
2.Keterampilan (skill)
Akses dan penggunaan Kebiasaan menggunakan
media konvensional Kebiasaan menggunakan media baru/Internet Kepemilikan gadget Keterampilan mencari informasi
Keterampilan mengolah isi pesan
Analisis Evaluasi Pengelompokan Induksi
Deduksi Sintesis Abstraksi Kemampuan berkomunikasi
dan berinteraksi dengan menggunakan media
Relasi sosial
6
Metode Penelitian
Di sini akan dijelaskan metode pengumpulan data melalui Focus Group Discussion
(FGD), pemilihan anggota FGD dan pengolahan data.
FGD atau kelompok diskusi yang terfokus, merupakan strategi riset untuk memahami
pendapat, sikap dan perilaku. Melalui FGD ini ingin diketahui bagaimana pola dan
kebiasaan anak dalam menggunakan media, peran orangtua di lingkungan di rumah, peran guru di lingkungan sekolah. Bagaiamana siswa, orang tua dan guru memaknai penggunaan,
akses dan isi media. Adapun perekrutan peserta FGD diserahkan kepada gatekeeper
(Neuman, 2011:429-430). Dalam penelitian ini yang menjadi gate keeper adalah guru SMP
yang merupakan key informan dan pernah ikut berpartisipasi dalam kegiatan penelitian yang
dilakukan sebelumnya. Melalui gate keeper ini, peneliti memberikan kriteria pemilihan
peserta FGD, sebagai berikut: pertama, memiliki kemampuan mengemukakan pendapat,
namun tidak cenderung bersikap dominan dalam berpendapat. Kedua, memiliki tingkat status social ekonomi yang setara, yaitu kelas menengah, ketiga, memiliki kepedulian
terhadap dampak negatif media (baik media mainstream maupun media digital) terhadap
gaya hidup remaja. Keempat mengenal, dan pernah mengakses digital media, walaupun tidak menguasainya.
Jumlah FGD dilakukan terhadap tiga kelompok, yaitu kelompok guru, kelompok
orangtua (dua kelompok); dan kelompok siswa (dua kelompok). Setiap FGD terdiri dari
lebih kurang 8 orang . Adapun pelaksanaan FGD dilakukan pertengahan Juni 2014 di kedua
lokasi SMP di Jakarta Timur yang menjadi partner penelitian. Untuk mendapatkan data diri partisipan FGD, sebelum FGD dimulai, para partisipan tersebut diminta untuk mengisi data diri. Informasi yang diperoleh dari beberapa pertanyaan terkait dengan topik penelitian, seperti terpaan media konvensional, frekuensi menggunakan media digital, dan lain sebagainya kemudian dibuat transkripnya.
Setelah data FGD terkumpul, peneliti kemudian melakukan koding. Pengolahan koding
menggunakan menggunakan analytical framework approach, yaitu dengan melakukan
pemisahan data berdasarkan pembedaan konsep (Patton 2002:431-534). Ada tiga tahapan pembuatan koding, yaitu open coding, lalu axial coding, dan akhirnya selective coding (Ezzy, 2002: 93).
Adapun beberapa keterbatasan penelitian dalam pengumpulan data adalah, tak jarang partisipan FGD memiliki pemahaman yang berbeda terhadap konsep yang ditanyakan oleh moderator, sehingga ada beberapa pertanyaan yang jawabannya tak relevan. Misalnya:
1. Jawaban bagi keterampilan menggunakan HP sama saja dengan keterampilan
memverifikasi informasi.
2. Jawaban terhadap manfaat penggunaan media serupa dengan dampak penggunaan
media.
3. Pada kelompok siswa, partisipan hanya menjawab seperlunya dan sangat singkat,
sehingga data atau informasi yang dibutuhkan sangat minim didapatkan.
Temuan Data
7
Tabel
Temuan
Data
FGD
Guru
dan
Orang
Tua
DIMENSI KOMPONEN SUB‐
KOMPONEN Partisipan: GURU Partisipan: ORANG TUA Partisipan: SISWA
Pengetahuan A. Pengeta‐ huan
a. Terampil mencari informasi b. Bisa curhat di media digital c.Menumbuhkan minat dan motivasi pembelajaran,
d. Menumbuhkan jiwa entrepreneur, e. Mengembangkan kreativitas
Dampak positif:
a.Mendapat pengetahuan dan informasi yang tak diperoleh dari sekolah
b. Mudah mencari informasi terkait tugas sekolah c. Tahu informasi tentang makanan sehat atau junk food
d. Dimanfaatkan untuk berjualan e. Mudah mencari teman, pergaulan f. Tahu informasi tentang lingkungan, hewan langka
g. Mendorong kreativitas h. Lebih modern
Dampak positif: a.sebagai sarana belajar b. memperluas wawasan
c. memudahkan kontak dengan teman terkait tugas‐tugas sekolah
d.bila malas mencari informasi lewat buku maka bisa mencari lewat internet
e.mendorong cara berpikir kreatif
Dampak Negatif:
a.Terlambat mengerjakan PR b.Suka belanja online c.Konsumtif
d.Dewasa sebelum waktunya e.Antisosial
f.Cenderung berbohong
g.Anak laki2 sekarang lebih feminin h.Meniru perilaku di media: diet, fast food
i. Menyukai games yang menantang j. Kecanduan film porno & game
k.Melamun karena sering nonton film porno.
l. Mudah menghina, caci maki, tidak bijak m.Terjadi kekakuan komunikasi tatap
muka
Dampak negatif:
a.Tidak bisa mengatur waktu belajar b. Membuat siswa malas belajar
j.Kurang dekat dengan keluarga
k. Kurang tangguh dalam mengerjakan tugas cenderung copy paste
l. Sarana menonton film porno
Dampak negatif: a.Jarang belajar
b. prestasi akademik menurun
c. malas belajar, cenderung copy paste informasi d. ketagihan media digital
e. jarang membantu tugas orang tua di rumah f. mengabaikan waktu sholat
g.malas bergerak karena merasa nyaman menggunakan media digital
h. konflik di media sosial i. memiliki sifat agresif j. kurang bersosialisasi j. merusak mata mencari sumber informasi
d. Isi media pelajaran bhs Inggris
a.internet lebih cepat b. bisa melakukan chatting
8
DIMENSI KOMPONEN SUB‐
KOMPONEN Partisipan: GURU Partisipan: ORANG TUA Partisipan: SISWA
Media digital media
c. Perlu menfasilitasi kemampuan guru d. Sensor yang dilakukan pemerintah tak efektif
Iklan mendorong anak jadi mengonsumsi barang dan makanan. keluarga lainnya (kakak, adik)
a.Tidak semua khalayak bisa memproses informasi atau tayangan
5.Kebutuhan gaptek, agar pengetahuan tidak kalah dengan anak dan dapat mengawasi konten media dan maka mudah diarahkan ke dalam pemanfaatan yang lebih baik.
Keterampilan B.Akses dan Penggunaan
Penggunaan media konvensional dan media digital seiring, karena anak senang nonton sinetron remaja, tapi juga mengakses film dan lainnya dari media digital
TV merupakan media konvensional yang paling sering digunakan
Internet banyak diakses untuk kepentingan tugas sekolah, mengirim tugas via email, akses informasi, games, belanja dan jualan on line, penggunaan FB
Media social dan internet digunakan untuk: a.memanfaatkan waktu luang.
b. mencari informasi, berbagai jenis cerita atau gambar/foto porno
b. Kebanyakan guru hanya menyuruh siswa mencari informasi melalui internet tanpa membekalinya dengan arahan & rambu‐rambu penggunaan internet sesuai aturan
a. Anak aktif mencari informasi melalui media internet, terampil menggunakan media internet untuk download games
b. Anak lebih terampil daripada ibunya
9
DIMENSI KOMPONEN SUB‐
KOMPONEN Partisipan: GURU Partisipan: ORANG TUA Partisipan: SISWA
C.Ketrampil‐
an mengolah isi pesan
10.Analisis a.Guru haru tahu proses produksi pesan/tayangan media sehingga mampu menjelaskan realitas di balik pesan dan membandingkannya dengan realitas di media
b.Guru menyeleksi dan merekomendasi‐ kan stasiun televisi yang bermanfaat bagi siswa beserta program‐program acaranya
a. Sikap kritis anak didapat dari media/pergaulan. b.Anak belum dapat memahami istilah‐istilah yang didapatkan dari internet/TV
c. Orang tua yang berperan menerangkan hal tersebut ke anak.
d. anak mampu melakukan analisis terkait dengan keperluan games
a.Mampu menceritakan beberapa kasus b. Mampu menarik kesimpulan dari kasus‐kasus pengalaman perselisihan karena media.
11.Evaluasi a.Guru memberikan standard pada siswa terkait tugas membuat video
b.Siswa cenderung melakukan hal yang simple dan merasa tak perlu melakukan evaluasi.
Anak dapat memahami program tayangan TV tentang jajanan yang tidak sehat dan informasi makanan junk food yang telah disampaikan orang tua sebelumnya
Mampu mengetahui hal‐hal yang baik dan buruk dalam tayangan media
D.Kemam‐
puan Berko‐ munikasi Mengguna‐ kan Media
17. Relasi sosial a. Akses wifi sambil nongkrong b. Game merupakan ajang lomba c. Berkenalan lewat sosmed d. Kesempatan untuk berkomunikasi secara terbuka lebih besar
a. Bermain game online dengan teman b. Mengerjakan tugas sekolah dengan teman
Media digital digunakan untuk berhubungan dalam organisasi oleh para siswa.
Melalui media, siswa saling bekerjasama dan memberikan partisipasi.
19. Penyusunan
pesan
Anak‐anak gemar men‐tweet dengan menggunakan bahasa alay atau caci maki.
Anak bisa membuat pesan status di media digital yang digunakannya.
Siswa mampu menyusun isi pesan dengan baik
10
Tabel di atas menjelaskan tentang dua komponen utama dalam upaya untuk memahami tingkat literasi media seseorang, yaitu:
I. Pengetahuan tentang media, yang diukur dari beberapa sub-komponen:
1. Dampak terhadap pengetahuan, sikap dan perilaku anak: positif dan negatif
2. Pengetahuan tentang karakter dan isi media
3. Pengetahuan tentang industri media
4. Pengetahuan tentang khalayak media
5. Kebutuhan diri terhadap media: apakah bisa membatasi diri dan memilih media
sesuai tujuan
II. Ketrampilan dalam menggunakan media yang terdiri dari tiga komponen, yaitu:
A. Akses dan penggunaan media yang diukur dari beberapa hal yaitu:
1. penggunaan media konvensional
2. penggunaan media digital
3. kepemilikan gadget
4. ketrampilan mencari informasi
B. ketrampilan mengolah isi pesan dan penggunaan
1. analisis
2. evaluasi
C. kemampuan berkomunikasi menggunakan media
1. relasi sosial
2. penyusunan pesan.
Dari data di atas, peneliti mencoba melihat pada komponen apa saja ketiga kelompok FGD memiliki persamaan pandangan? Data menunjukkan, bahwa banyak persamaan di antara ketiga pada komponen dampak positif media. Dalam komponen ini, ketiga kelompok sepakat bahwa dampak positif media adalah (1) menyajikan informasi, pengetahuan secara umum, (2) menyajikan informasi yang terkait dengan tugas sekolah, seperti mencari tugas yang diminta guru, (3) sarana pergaulan, seperti media digital digunakan sebagai sarana untuk menceritakan permasalahan yang tak mudah dilakukan dalam komunikasi interpersonal (4) sarana untuk
menumbuhkan kreativitas enterpreneurship, seperti sarana untuk berjualan online. Selain itu, di
kelompok orang tua menambahkan bahwa banyak informasi yang tak diperoleh di sekolah bisa diperoleh lewat internet, seperti informasi mengenai binatang langka.
Ketika ditanyakan tentang dampak negatif, maka guru, orang tua dan siswa cenderung memiliki jawaban yang serupa yaitu terkait dengan: (a) mengerjakan tugas sekolah atau proses belajar di rumah. Walau guru juga mempunyai keprihatinan yang sama, namun jawaban dari kelompok guru hanya menyebutkan satu dampak negatif terkati dengan mengerjakan PR. Sebaliknya kelompok siswa dan orang tua bisa menceritakan lebih banyak variasi dampak negatif terkait proses belajar di rumah. Menurut mereka, sebagian anak tak disiplin dalam menjalankan tugas sekolah, seperti mengerjakan PR, malas membaca, kurang tangguh dalam mengerjakan tugas sekolah, karena lebih cepat mendapatkan dari internet daripada berpikir dan bekerja keras dalam menyelesaikan tugas sekolah.
Seorang ibu menceritakan: “Anak saya kemarin tuh ada tugas suruh bikin 120 soal IPA, …
kata teman-tamannya, eh buka ini lho buka itu lho pake WA… Saya bilang buka buku dulu
11
Dampak negatif lain adalah (b) anak-anak memiliki akhlak yang kurang baik. Ketiga kelompok memiliki jawaban serupa bahwa anak-anak cenderung suka berbohong, mudah mencaci maki, berwatak agresif, kurang sabar, namun dari keragaman pendapat, kelompok orang tua dan anak memberikan penekanan lebih banyak pada etika, norma yang dilakukan di rumah seperti lupa sholat, serta tugas-tugas yang dilakukan di rumah seperti membantu orang tua, bersosialisasi dengan keluarga. Sementara itu, kelompok guru memiliki pandangan yang menekankan perkembangan psikologis seorang anak seperti, dewasa sebelum waktunya, serta anak laki lebih feminin.
(c) Ada dua dampak negatif yang merupakan keprihatinan guru dan orang tua, namun keprihatinan itu tak muncul dalam jawaban kelompok siswa, yaitu dampak muatan seksual atau pornografi di media yang bisa mempengaruhi perilaku anak, dan kecanduan game online. Siswa, pada umumnya tidak memandang muatan seksual dan game online sebagai permasalahan yang penting. Kemungkinan, hal ini disebabkan karena mereka sudah terlalu terbiasa terpapar materi tersebut.
Berikut ini penuturan peserta FGD orang tua yang menggambarkan keprihatinan ibu-ibu atas dampak pornografi pada anak perempuan lebih besar daripada dampak terhadap perilaku
anak laki-laki. Secara ekspresif seorang ibu mengatakan: “ini anak saya suka buka BF (Blue
Film), itu gimana”. Kekhawatiran ini memang bisa dimengerti ketika sebuah keluarga memiliki beberapa anak perempuan, dibandingkan dengan keluarga yang memiliki anak laki-laki. Hasil penelitian FGD menunjukkan bahwa ibu-ibu cenderung memberikan kebebasan lebih banyak kepada anak laki-laki daripada kepada anak perempuan. Seorang ibu menjelaskan: “… anak saya 3, perempuan semua, … saya sendiri juga sudah bicara dari sekarang ini tentang
kehamilan”. Ibu yang lain melanjutkan, “…anak saya laki-laki… saya tuh jarang mencurigai
anak, saya serahkan, saya kasih kunci, mau pulang jam berapapun silahkan”. Ibu yang lain
menambahkan: “… anak saya cowo 1 dan 2 cewe itu yang saya pegang dia misalkan kalau dia
bener Insya Allah adek-adeknya juga jadi bener. Jadi dia itu kan saya beri tugas untuk
membimbing ade adenya dari kecil. Jadi kalau belajar, ‘tanya kakak dulu kalau kakak susah baru
saya jadi mulai dari situ dia ada tanggung jawab jadi kalau kamu ngak bener kasian ade ade
kamu”.
(d) Terkait dengan kecanduan game online, seorang ibu menceritakan: “anak saya kalau
udah kenal dengan game ya, anak saya susah berhenti, kalau sudah di depan komputer susah
behenti, jadi harus kita dampingi terus, jam waktunya jam berapa harus berhenti, kapan harus sholat, kapan harus belajar”. Anggota FGD orang tua lainnya menjelaskan, bahwa anaknya
sudah canggih men-down load berbagai materi di internet sejak belum berumur 5 tahun.
Katanya: “… sampe-sampe abangnya mau ikut seminar pun ga boleh ikut seminar, ayo main
internet sama adek, tapi yang diajarkan itu kangame, jadi otaknya itu udah cenderung game, udah
kecanduan. Demikian pula penuturan seorang ibu lainnya bahwa kegiatan hariannya tak bisa
dipisahkan dari game online. Tuturnya:
12
Dengan kata lain, beberapa cerita di atas menunjukkan bahwa walaupun punya
kekhawatiran akan dampak negatif dari kecanduan penggunaan media digital, namun tak
mudah bagi orang tua menghadapi anak-anak yang kecanduan game online sejak masih
kanak-kanak atau balita.
(e) Temuan lain terkait isu belanja online. Kelompok guru mengatakan bahwa salah satu dampak negatif terhadap sikap adalah konsumtivisme yang terlihat dari kecenderungan belanja online. Namun pandangan negatif ini tak muncul dalam kelompok siswa, dan sikap ini tidak dianggap buruk oleh kelompok ibu karena si ibu sendiri juga menyukai kemudahan
belanja online yang tak mengenal jarak, dan telah membuktikan bahwa transaksi melalui online
bisa dipercaya. Ibu tersebut menjelaskan pengalamannya: Anak saya pernah beberapa kali nanya yang mana ya ma (yang harus dikontak) ya udah ini kita ikut aja nanti kita lihat hasilnya. Ibu tersebut melanjutkan:
“….. saya memang saya sering belanja online apa aja asal kebutuhan saya kalau yang jangkauannya susah trus di online ada. Saya sih selalu pesan dari ini saya selalu liat … yang di blacklist ….. jangan. Jadi saya liat dari situ dulu trus juga kebenaran saya pernah beberapa kali belanja itu kebeneran bagus semua sesuai dengan pesanan saya ….”
Temuan lain menjelaskan apa yang diketahui partisipan FGD terhadap keberadaan industry media? Ketiga kelompok memiliki penekanan yang berbeda. Di satu sisi guru prihatin
dengan aturan pemerintah yang tak konsisten dan bahkan pemberlakukan self censor pun tak
membuat media bisa mengontrol institusinya dalam menyajikan informasi, hiburan atau membuat program. Di sisi lain, sebagian guru lain prihatin bahwa masih banyak guru yang belum mengenal media digital karena keterbatasan yang dimiliki mereka sebagai individu atau sebagai bagian dari institusi pendidikan. Padahal mereka menyadari bahwa peran guru dalam mengontrol penggunaan media oleh siswa pun sangat besar. Oleh karena itu para guru berharap agar pemerintah dapat memfasilitasi kebutuhan guru untuk meningkatkan kemampuan mereka dalam mengakses media digital. Lain lagi dengan keprihatinan kelompok orang tua yang menyorot industri media sebagai institusi yang mencari keuntungan melalui iklan. Mereka menyadari bahwa target dari para pengiklan adalah anak-anak mereka. Sementara itu jawaban dari kelompok siswa menekankan pada produk yang dihasilkan oleh media cenderung kebarat-baratan.
Seorang ibu bercerita: “…Iya, pengaruh dari media kan… kaya susu kan banyak.……, Hi-Lo apa… L-Man… Tumbuh tuh ke atas, bukan ke samping. Kasian anak-anak yang gemuk,
apalagi anak saya, pasti kan jadi bullying di sekolah”. Ibu yang lain melanjutkan: ”… anak saya
suka bilang: ‘ibu aku malu punya ibu gemuk’. oh gitu saya jadi mati matian diet hampir mati
pernah …”
Ketika ditanyakan apa yang mereka ketahui tentang khalayak, maka kelompok guru dan orang tua mengetahui bahwa khalayak itu beragam. Kelompok guru bisa menyebutkan variasi dari khalayak luas, sedangkan orang tua hanya menyebutkan secara garis besar. Sebaliknya, kelompok siswa tidak menyebutkan siapa khalayak itu namun mereka mengatakan bahwa khalayak memiliki kemampuan yang berbeda.
13
kedua kelompok itu menjawab pertanyaan tersebut dengan menyebutkan manfaat dari media,
terutama penggunaan handphone. Sementara itu kelompok siswa menjawab bahwa apakah
seseorang bisa membatasi diri atau tidak tergantung dari orang yang bersangkutan.
Terkait dengan pertanyaan penggunaan media, baik secara konvensional maupun media digital, ketiga kelompok sepakat bahwa televisi merupakan media konvensional yang masih banyak ditonton oleh keluarga, karena keluarga masih sering menonton film di televisi. Sebaliknya, telepon rumah dan media lainnya jarang digunakan. Sebaliknya, penggunaan media digital sangat meningkat, mengingat handphone yang dimiliki para partisipan FGD adalah HP yang memiliki fitur yang tinggi (memiliki kamera resolusi tinggi, ada fasilitas
internet) yang digunakan membuka Facebook, mencari informasi atau googling, untuk bermain
game, dan belanja atau berjualan online.
Terkait kemampuan siswa dalam mengolah pesan, para peserta FGD tak banyak menyampaikan gagasannya. Kelompok orang tua dan siswa merasa bahwa mereka sudah bisa melakukan analisis dan evaluasi, walaupun analisis dilakukan terhadap game online, dengan
harapan setelah berhasil menganalisis atau mengevaluasi game yang sedang digeluti maka
mereka memiliki kemampuan untuk mengatur strategi memenangkan pertandingan game
online. Sebaliknya, kelompok guru berpendapat bahwa anak-anak berpikir simple dan belum
mampu untuk melakukan evaluasi dan analisis terhadap informasi atau pesan yang diterimanya, sehingga seharusnya guru memiliki kemampuan untuk menjelaskan konstruksi realitas di balik pesan yang diterima oleh anak didiknya.
Hal serupa terjadi pula pada kemampuan menyusun pesan. Kelompok orang tua dan siswa memiliki pendapat serupa bahwa anak-anak dan siswa mampu menyusun pesan, terutama dalam menuliskan status mereka di media digital. Namun guru menuntut cara penyusunan pesan yang lebih berkualitas dengan menuliskan sesuai etika, menggunakan tata bahasa yang baik dan tidak sekedar menyampaikan pesan ala kadarnya.
Perbedaan pandangan dan pemahaman mengenai berbagai hal terkait dengan interaksi siswa dengan media oleh ketiga kelompok, dapat pahami sebagai dinamika kehidupan. Identifikasi terhadap permasalahan ini yang selanjutnya akan direspon oleh tim peneliti melalui kurikulum Pendidikan Literasi Media. Respon tersebut bukan sekedar upaya untuk menyamakan persepsi dan pemahaman, namun dengan menyajikan berbagai informasi dan pengetahuan yang terkait dengan industri media; isi pesan media; dampak media; dan khalayak media; secara sederhana dengan contoh yang gamblang sehingga mudah dimengerti.
14
Kesimpulan
Secara garis besar bisa dikatakan bahwa:
1. Ketiga kelompok FGD memiliki persamaan jawaban terhadap beberapa hal seperti
dampak positif media terhadap anak dan remaja. Di sisi lain, terdapat jawaban yang serupa dari kelompok orang tua dan guru namun tak muncul dalam kelompok siswa, yaitu mengenai dampak negatif isu materi seksual di media dan kecanduan game online. Pada kedua hal tersebut, siswa tidak menganggap sebagai persoalan yang berarti.
2. Jawaban kelompok orang tua yang serupa dengan siswa, namun berbeda dengan
kelompok guru adalah: kemampuan menganalisis dan menyusun isi pesan. Karena guru menekankan pentingnya penerapan etika dalam penggunaan media digital dan penggunaan tata bahasa yang baik, sedangkan orang tua dan siswa tidak terlalu memperhatikan kedua hal itu.
3. Jawaban yang berbeda dari ketiga kelompok terlihat saat mereka berpendapat tentang
eksistensi industri media yang dianggap ‘kebablasan’. Guru menganggap hal ini terjadi karena peraturan yang lemah, orang tua menganggap karena institusi media hidup dari iklan, dan siswa menganggap produksi media mengikuti trend atau gaya barat. Artinya, ketiga kelompok menganggap bahwa karakter industri yang seperti itu sebagai sesuatu yang memang begitu adanya dan bukan sebagai persoalan yang serius.
DAFTAR PUSTAKA
Aufderheide, P., ed. (1993). Media Literacy: A Report of The National Leadership Cenference on Media
Literacy. Aspen, CO: Aspen Institut.
Baran, S. J., Davis, D. K. (2009). Mass Communication Theory 5th edition. Boston, MA: Wadworth
Co.
Brown, L.D. (1989). Research Action in Many Worlds. Diunduh dari
http://www.scu.edu.au/schools/gcm/ar/w/LDavidBrown.pdf.
Bryman, A. (2008). Social Research Methods. Oxford: Oxford University Press.
Croteau, D., Hoyness, W. (1997). Media/Society: Industries, Image and Audiences, 2nd Edition.
Thousand Oaks, CA: Pine Forge Press.
Coleman, R., Means, R. (2002). Say It Loud. New York:Routledge.
Curran, J. (2002). Media and Power. London: Routledge.
Curran, J., Morley, D. (2006). Media and Cultural Theory. New York, NY: Routledge.
Ezzy, Douglas.(2002). Qualitative Analysis. Practice and Innovation. Crows Nest, Australia;
Routledge.
Ferrance, E. (2000). Action Research. Diunduh dari
15
Fricke, W. (2002). Why action research and what it means to me. Diunduh dari
http://www.scu.edu.au/schools/gcm/ar/w/Fricke.pdf
Giles, D. (2003). Media Psychology. New Jersey, NJ: Lawrence Erlbaum Assoc, Publisher.
Greenberg, B. S., Brown, J. D., Buerkel, N. L. Buerkel. (1993). Media, Sex and The Adolescent.
Cresskill, NJ: Hampton Press.
Gumpert, G., Cathcart, R.(ed). (1982). Intermedia: Interpersonal Communication in A Media World.
New York, NY: Oxford University Press.
Gunarsa, S.D., Gunarsa Y.S. (2004). Psikologi Praktis: Anak, Remaja, dan Keluarga. Jakarta PT BPK
Gunung Mulia.
Hagen, Wasko (2000). Consuming Audience? Production and Reception in Media Research. Cresskill,
New Jersey: Hampton Press
Ibrahim, I. S. (2007). Budaya Populer Sebagai Komunikasi: Dinamika Popscape dan Mediascape di
Indonesia Kontemporer. Yogyakarta: Jalasutra.
Kasl, E. and Yorks, L. (2002). An Extended Epistemology for Transformative Learning
Theory and Its Application Through Collaborative Inquiry.TCRecord Online
http://www.tcrecord.org/Content.asp?ContentID=10878.
Malhotra, N. K. (2007). Marketing Research: an Applied Orientation. New Jersey: Pearson
Education, Inc.
Neuman, L. (2003). Social Research Methods: Quantitative and Qualitative Approaches. Boston:
Pearson Education Inc.
Neuman, L. (2011). Social Research Methods: Quantitative and Qualitative Approaches. Boston:
Pearson Education Inc.
O’Shaughnessy, M., Staler, J. (2005). Media and Society. Melbourne, Victoria: Oxford University.
Patton, Michael Quinn (2002). Qualitative Research & Evaluation Methods. Third Edition.
Thousand Oaks, CA: Sage Publications.
Potter, J. W. (2005). Media Literacy. 3rd edition. Thousand Oaks, CA: Sage Publications.
Potter, W. J. (2013). Media Literacy (6thed). Thousand Oaks, CA: Sage Publications.
Preiss, R. W. (2007). Mass Media Effects Research: Advances Thorugh Meta-Analysis. Mahwah, NI|J:
Laurence Erlbaum Association.
Wimmer, Roger D. and Dominick, Joseph R. (2006). Mass Media Research: An Introduction. Belmont, CA: Thomson Wadsworth.
Jurnal dan Artikel
Armando, Nina M. (2001). Konsumerisme Pada Majalah Remaja : Analisis Wacana Kritis Terhadap
16
Armando, Nina M; Billy K Sarwono, & Hendriyani (2007). Penelitian Potret Sinetron Remaja 2007.
Hasil Penelitian Hibah Strategi Nasional. Depok: FISIP – Universitas Indonesia.
Armando, Nina M, Billy K. Sarwono, Hendriyani (2008): Wajah Buram Sinetron Remaja Indonesia.
Thesis VII/No. 3. September-Desember.
Armando, Nina M (2009). Pengaruh Motivasi Menonton TV Terhadap Afinitas TV pada Anak-Anak. Hasil Penelitian FISIP Universitas Indonesia.
Armando, Nina M.; Hendriyani; Billy K. Sarwono (2009). School Based Media Education: Sharing
of Experience and Lessons Learned from Indonesia. Proceeding dalam AMIC Conference in New Delhi, India
Armando, Nina Mutmainah, Billy K. Sarwono, Hendriyani (2008): Wajah Buram Sinetron Remaja
Indonesia. Thesis VII/No. 3. September-Desember.
Heliana, Endah (2009). Tablodisasi Pada Berita Televisi . Volume VII/No.1. Januari-April.
Hendriyani, Hollander, E., d’Haenens, L., Beentjes, J. (2010). Children Television in Indonesia: a
Growing Business dalam Journal of Children and Media, dalam proses editing.
Kurniati Diah (2006). Komodifikasi Privasi Dalam Ruang Publik. Thesis V/ No.1. Januari- April.
Lestari, Ika (2009). Pemaknaan Komodifikasi Anak-Anak di Televisi – Thesis volume VII/No 2.
Mei-Agustus.
Martens, H. (2010). Evaluating Media Literacy Education: Concepts, Theories and Future
Directions. Journal of Media Literacy Education, vol. 2 (1), 1-22
.
Nisa, Airin; Billy K. Sarwono, Ken Reciana (2007). Youth Lifestyle in A Moslem Magazine (A
Reception Analysis on Muslimah Readers)”, Jurnal Mediator, Universitas Islam Bandung.
Prihandini, Isti (2007). Pelajaran Media Literacy dan Kemampuan Melek Media. Jurnal Thesis volume VI/No. 3. September-Desember. Depok : Departemen Ilmu Komunikasi, Universitas Indonesia.
Siskawati, Isna (2006). Komodifikasi Nilai-Nilai Agama dalam Sinetron Televisi. Jurnal Thesis:
Volume V/no 2. Mei-Agustus. Depok : Departemen Ilmu Komunikasi, Universitas Indonesia.
Lain-lain
http://portal.unesco.org/ci/en/ev.php-URL_ID=1653&URL_DO=DO_TOPIC&URL pada 21
April 2010.
The American Academy of Pediatrics. Diunduh dari
http://aappolicy.aappublications.org/cgi/search pada 21 April 2010.
--- (2009). Efektivitas Pendidikan Media di Sekolah. Semarang: Jurusan Ilmu Komunikasi