• Tidak ada hasil yang ditemukan

Demokrasi berasal dari bahasa yunani yai

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Demokrasi berasal dari bahasa yunani yai"

Copied!
13
0
0

Teks penuh

(1)

1) Demokrasi berasal dari bahasa yunani yaitu Demos dan Kratos, Demos yg berarti Rakyat dan Kratos yg berati Kekuasaan, maka demokrasi sering juga di sebut dengan "Kekuasaan Rakayat". Demokratis adalah penyebutan untuk pemerintahan yg telah menggunakan System Demokrasi dalam perpolitikan nya,

Biasanya ciri-ciri negara yg demokratis adalah:

Adanya keterlibatan warga negara (rakyat) dalam pengambilan keputusan politik, baik langsung maupun tidak langsung (perwakilan).

Adanya pengakuan, penghargaan, dan perlindungan terhadap hak-hak asasi rakyat (warga negara).

Adanya persamaan hak bagi seluruh warga negara dalam segala bidang.

Adanya lembaga peradilan dan kekuasaan kehakiman yang independen sebagai alat penegakan hukum

Adanya kebebasan dan kemerdekaan bagi seluruh warga negara.

Adanya pers (media massa) yang bebas untuk menyampaikan informasi dan mengontrol perilaku dan kebijakan pemerintah.

Adanya pemilihan umum untuk memilih wakil rakyat yang duduk di lembaga perwakilan rakyat. Adanya pemilihan umum yang bebas, jujur, adil untuk menentukan (memilih) pemimpin negara dan pemerintahan serta anggota lembaga perwakilan rakyat.

Adanya pengakuan terhadap perbedaan keragamaan (suku, agama, golongan, dan sebagainya

2) Menurut Soepono Djojowando, selain maksud-maksud yang tidak pernah diungkapkan, reaksi-reaksi penolakan terhadap demokrasi terpimpin didasarkan pada alasan, bahawa pengertian terpimpin bertentangan dengan asas demokrasi. Syarat mutlak demokrasi adalah kebebasan , sedangkan istilah terpimpin sudah menghilangkan (minimal mengurangi) kebebasan. Oleh sebab itu, demokrasi terpimpin disamakan dengan diktator, atau setidak–tidaknya pasti menuju kea rah diktator. Dan ada pula yang menghubungkan demokrasi terpimpin dengan komunis.

Demokrasi terpimpin (tahun 1959-1965)

Friday, March 19, 2010 5:57:02 AM

Pada sistem ini berlaku sejak dikeluarkannya Dekrit President 5 Juli 1959 yang berbunyi sebagai berikut:

1) Pembubaran konstituante.

2) Berlakunya Kembali UUD 1945.

3) Pemberontakan MPRS dan DPAS dalam waktu yang sesingkat-singkatnya.

(2)

yang perlu diingat, sebagai berikut:

1) Kedudukan presiden sebagai kepala negara dan kepala pemerintahan. 2) Para menteri bertanggungjawab kepada presiden.

Adapun ciri-ciri demokrasi terpimpin sebagai berikut:

1) Dominasi presiden, Presiden Soekarno berperan besar dalam penyelenggaraan pemerintahan. 2) Terbatasnya peran partai politik.

3) Meluasnya peran militer sebagai unsur politik.

4) Berkembangnya pengaruh Partai Komunis Indonesia.

Di dalam pelaksanaan demokrasi terpimpin banyak mengalami penyimpangan sebagai berikut: 1. Kaburnya sistem kepataian dan lemahnya peranan partai politik.

2. Jaminan hak-hak dasar warga negara masih lemah.

3. Terbatasnya kebebasan-kebebasan perssehingga banyak media massa yang gagal terbit. 4. Terjadinya sentralisasi kekuasaan pada hubungan pusat dan daerah. Pemerintah memiliki kewenangan besar dalam mengatur daerah.

Demokrasi Pancasila (1965-1998/Orde Baru)

Demokrasi Pancasila berlaku semenjak lahirnya Orde Baru. Demokrasi Pancasila merupakan demokrasi yang menjiwai kelima sila yang ada dalam pancasila, sebagai berikut:

1) Berdasakan kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaaan dalam permusyawaratan/perwakilan.

2) Dilaksanakan dengan rahmat Tuhan Yang Maha Esa.

3) Menjunjung tinggi nilai kemanusiaaan yang adil dan beradab. 4) Memelihara persatuan dan kesatuan bangsa.

5) Mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat indonesia.

Namun dalam pelaksanaannya, pemerintah Orde Baru justru mengarah pada pemerintahan sentralistik yang diarahkan pada kepentingan pemerintah/kelompok/penguasa. Kepresidenan menjadi pusat dari seluruh proses politik menjadi pembentuk dan penentu agenda nasional, mengontrol kegiatan politik, dan pemberi legacies bagi seluruh lembaga pemerintahan negara. Hal ini mengakibatkan harapan tentang majunya kehidupan demokrasi justru mengalami kemunduran.

Beberapa penyebab mengapa demokrasi tidak dapat terwujud pada masa orde baru sebagai berikut:

1) Rekruitmen politik yang tertutup.

2) Pemilu yang jauh dari semangat demokrasi.

3) Pengakuan terhadap hak-hak dasar yang masih terbatas. 4) Rotasi kekuasaan eksekutif hampir tidak ada.

Ada beberapa penyebab kegagalan pada masa orde baru, yaitu:

1) Hancurnya ekonomi nasional yang ditandai terjadinya krisis ekonomi yang tak kunjung teratasi.

(3)

3) Desakan semangat demokratis dari para pendukung demokrasi. Para pendukung demokrasi terutama lawan politik orde baru banyak yang tampil kembali menuntut pembubaran pemerintah.

Adanya krisis multidimensional menyebabkan rakyat tidak percaya pada pemerintah orde baru. Mereka menuntut agar pemerintahan orde baru segera mundur dan digantikan dengan

pemerintahan yang baru. Mereka juga menuntut agar pemerintahan orde baru segera turun, termasuk presiden Soeharto untuk mengundurkan diri serta para pejabat yang tersangkut KKN segera diusut dan diadili, agar tidak menambah penderitaan rakyat yang berlarut-larut. Pada tanggal 21 mei 1998 tuntutan rakyat dapat terwujud, Presiden Soeharto resmi mengundurka diri dan digantikan oleh wakilnya Ir. Ing. B. J Habibie, dengan berakhirnya masa orde baru

digantikan oleh masa reformasi.

1. Pers masa orde baru

Tidak bisa dipungkiri bahwa pers memiliki peran yang sangat penting di suatu negara. Tanpa pers, tidak ada informasi yang bisa tersalurkan baik dari rakyat ke pemerintahnya maupun sebaliknya. Singkat kata, pers memiliki posisi tawar yang tidak bisa diremehkan. Konsepsi Riswandha (1998 : 101) mengatakan bahwa ada empat pilar pemelihara persatuan bangsa, salah satunya adalah kaum intelektual atau pers. Pers berfungsi sebagai pemikir dan penguji konsep-konsep yang diterapkan pada setiap kebijakan.

Pada masa orde baru, pers bisa dikatakan tidak ada fungsinya untuk warga negara. Pers sangat terlihat hanya sebagai boneka penguasa. Tidak ada kebebasan berpendapat yang dijanjikan pemerintah pada awal awal kekuasaan orde baru. Keberadaan pers diawasi secara ketat oleh pemerintah di bawah naungan departemen penerangan. Hal ini dilakukan untuk mengantisipasi hal – hal buruk di dalam pemerintahan orde baru sampai di telinga masyarakat. Pers tidak bisa melakukan apapun selain patuh pada aturan yang ditetapkan oleh pemerintah. Aspirasi

masyarakat untuk pemerintah tidak tersalurkan sama sekali. Hal ini dikarenakan komunikasi politik yang terjadi hanya top – down. Artinya pers hanya sebagai komunikator dari pemerintah ke rakyat. Pers tidak dapat melakukan fungsinya sebagai komunikator dari rakyat ke pemerintah. Selain itu, pemberitaan yang disalurkan ke masyarakat mengenai pemerintah harus merupakan berita – berita yang menjunjung tinggi keberhasilan pemerintah. Yang diberitakan hanyalah sesuatu yang baik. Apabila suatu media nekat menerbitkan pemberitaan – pemberitaan miring soal pemerintah, bisa di pastikan nasib media tersebut berada di ujung tanduk.

(4)

Tidak hanya itu, 9 elemen dasar Bill Kovach mengenai jurnalisme yang seharusnya diamalkan oleh pers tidak terlaksana. 9 elemen dasar tersebut adalah :

1. Kewajiban utama jurnalisme adalah pada pencarian kebenaran

2. Loyalitas utama jurnalisme adalah pada warga negara

3. Esensi utama jurnalisme adalah disiplin verifikasi

4. Jurnalis harus menjaga indepedensi dari objek liputannya

5. Jurnalis harus membuat dirinya sebagai pemantau independen dari kekuasaan

6. Jurnalis harus memberi forum bagi publik untuk saling kritik dan menemukan kompromi

7. Jurnalis harus berusaha membuat hal penting menjadi menarik dan relevan

8. Jurnalis harus membuat berita yang komprehensif dan proporsional

9. Jurnalis harus diperbolehkan mendengarkan hati nurani personelnya

Jika sudah begitu, bisa dikatakan pers telah kehilangan jati dirinya. Contoh kediktatoran pemerintah terhadap pers adalah peristiwa 21 Juni 1994. Saat itu beberapa media massa seperti Tempo, deTIK, dan editor dicabut surat izin penerbitannya atau dengan kata lain dibredel setelah mereka mengeluarkan laporan investigasi tentang berbagai penyelewengan yang dilakukan oleh pejabat-pejabat Negara. Akan tetapi, meskipun pemerintah telah membungkam media

sedemikian rupa, tetapi saja ada media yang pantang menyerah melakukan perlawanan pada pemerintah. Salah satunya adalah Tempo. Pemerintah orde baru selalu merasa terancam dengan keberadaan Tempo. Hal tersebut wajar karena sikap pantang menyerah yang ditanamkan media tersebut kepada wartawan – wartawannya. Tidak dapat dipungkiri bahwa Tempo menjadi media terpenting pada masa orde baru.

Sesungguhnya pada masa orde baru terdapat lembaga yang menaungi pers di Indonesia, yaitu Dewan Pers. Sesuai UU Pers Nomor 40 tahun 1999, dewan pers adalah lembaga independen yang dibentuk sebagai bagian dari upaya untuk mengembangkan kemerdekaan pers dan meningkatkan kehidupan pers nasional. Berdasarkan amanat UU, dewan pers meiliki 7 fungsi :

1. Melindungi kemerdekaan pers dari campur tangan pihak lain, bisa pemerintah dan juga masyarakat

2. Melakukan pengkajian untuk pengembangan keidupan pers

3. Menetapkan dan mengawasi pelaksanaan kode etik jurnalistik

(5)

5. Mengembangkan komunikasi antara pers, masyarakat, dan pemerintah.

6. Memfasilitasi organisasi pers dalam menyusun peraturan di bidang pers dan meningkatkan kualitas profesi wartawan

7. Mendata persahaan pers

Namun sangat disayangkan bahwa dewan pers masa orde baru tidak melaksanakan fungsinya dengan efektif. Ironisnya, dewan pers justru tidak melindungi rekan sesama jurnalis. Hal tersebut terlihat saat peristiwa pembredelan media tahun 1994. Banyak anggota dewan pers yang tidak meyetujui pemberedelan tersebut, namun dewan pers dipaksa menyetujui langkah pemerintah tersebut. Tidak ada yang bisa dilakukan dewan pers selain mematuhi instruksi pemerintah. Menolak sama artinya dengan melawan pemerintah. Bisa disimpulkan keberadaan dewan pers masa orde baru hanya sebatas formalitas.

2. Pers masa reformasi

Bagaimana dengan kebebasan pers pada masa reformasi? Tidak bisa dipungkiri bahwa pers pada masa orde baru sangat berbeda dengan pers pada masa reformasi. Tidak ada kebebasan pers pada masa orde baru. Namun, saat orde baru tumbang, pers seperti kehilangan kendali. Arus

kebebasan dibuka lebar – lebar secara spontan. Gelombang kebebasan pers tercipta secara besar besaran, bukan perlahan dengan proses yang seharusnya.

Suatu kebijakan yang monumental karena dianggap sebagai tonggak dimulainya kebebesan pers di Indonesia yakni dikeluarkannya Permenpen No. 01/per/Menpen/1998, tentang Kententuan – Ketentuan SIUPP. Pada Permenpen ini, sanksi pencabutan SIUPP maupun pembreidelan bagi pers ditiadakan. Ada lima peraturan, baik berupa Peraturan Menteri maupun Surat Keputusan Menteri, yang keseluruhannya menghambat ruang gerak pers, dicabut. Puncaknya adalah dikeluarkannya Undang- Undang No. 40 Tahun 1999 tentang Pers. Terdapat pasal di dalam undang-undang ini yang menyatakan pencabutan semua undang- undang pers yang ada sebelumnya. Sejak saat itu, tidak ada lagi kebijakan pemerintah yang memberatkan pers. Akibatnya, permintaan untuk izin penerbitan meningkat.

Pers masa reformasi selalu dihubungkan dengan demokrasi. Yang mana demokrasi berarti kebebasan untuk berbicara dan mengeluarkan pendapat. Salah satu indikator demokrasi adalah terciptanya jurnalisme yang independen. Walaupun pada kenyataannya saat ini, terkadang pers masih dimanfaatkan oleh pemerintah untuk melanggengkan kekuasaan. Pers masa reformasi bebas menuliskan apapun kritik mereka terhadap pemerintah. Tidak ada pembungkaman, apalagi pembredelan. Jika pemerintah tersinggung dengan apa yang disampaikan oleh pers, jalan untuk melawannya bukan dengan memberedel pers, tetapi dengan memanfaatkan pers itu sendiri sebagai alat komunikasi yang efektif antara masyarakat dan pemerintah. Dengan kata lain, pers masa reformasi menempatkan dirinya sebagai perantara rakyat dan pemerintah supaya tidak terjadi perbedaan persepsi.

(6)

pemerintah tidak hanya komunikasi top – down, melainkan juga bottom – up. Pers menjadi sarana masyarakat untuk menyalurkan aspirasinya, baik berupa tuntutan maupun dukungan. Pers juga menjadi sarana pemerintah mensosialisasikan kebijakan – kebijakan yang telah diambilnya. Pers menjadi wadah pemerintah untuk mengetahui apakah kebijakan – kebijakan yang akan diambil disetujui rakyat atau tidak. Apabila suatu kebijakan telah diambil dan dilaksanakan, pers dapat mengambil perannya sebagai pengontrol kebijakan. Intinya, pers masa reformasi

senantiasa melaksanakan fungsinya pada setiap proses sistem politik. Pada masa ini, 9 elemen dasar serta fungsi – fungsi pers cukup terlaksana.

Namun, kebebasan pers yang tercipta pada masa reformasi bukan berarti tidak menimbulkan masalah apapun. Kebebasan pers masa reformasi terkadang terlewat batas. Terdapat

ketidakseimbangan antara keinginan masyarakat dengan kepentingan pers. Pers cenderung menampilkan sesuatu yang berbau komersil dan hanya memikirkan keuntungan perusahaan. Berita yang disajikan terkadang tidak objektif. Tidak hanya itu, pers juga terkadang melanggar kode etik nya sendiri. Norma dan nilai yang ada di masyarakat diabaikan. Dalam pencarian berita pun pers sering meniadakan kesopan santunan. Pers tidak lagi menghargai privatisasi sumber berita. Sebagai contoh, pers seharusnya fokus hanya pada masalah – masalah yang berhubungan dengan kepentingan masyarakat, seperti kebijakan pemerintah, akan tetapi pers

menambahkannya dengan urusan pribadi sumber berita. Hal itu sangat melanggar norma.

Kekhawatiran masyarakat terhadap kebebasan pers, sempat muncul dalam aksi perlawanan dalam bentuk kekerasan fisik. Hal ini antara lain ditandai dengan penyerangan harian Jawa Pos di Surabaya oleh Banser pendukung Abdurrahman Wahid (alam Emilianus, 2005: 128).

Intinya, pers menjadi lupa bahwa kebebasan pun masih harus ada batasnya. Di masa reformasi pers lebih menampilkan diri sebagai pihak yang dekat dengan kekuasaan dan modal. Dan hal ini harus diantisipasi oleh masyarakat sebagai pengawas atas perilaku pers di Indonesia.

BAB III KESIMPULAN

Berdasarkan pembahasan yang telah dijelaskan, dapat disimpulkan bahwa kebebasan pers pada masa orde baru sangat berbeda dengan kebebasan pers pada masa reformasi. Pada masa orde baru pergerakan pers sangat dibatasi dan hanya sebagai boneka pemerintah untuk

melanggengkan kepentingannya. Sedangakan pada masa reformasi, kebebasan pers sangat terjamin. Ruang gerak pers menjadi sangat luas. Pers dapat melakukan fungsi top – down dan bottom – up, walaupun terkadang masih dimanfaatkan sebagai alat penguasa serta pemilik modal. Kebebasan pers masa reformasi juga bukan berarti tanpa masalah, banyak masalah yang timbul akibat dari kebebasan pers itu sendiri.

KEBEBASAN BERPENDAPAT BERDASAR ATAS

(7)

UMUM DITINJAU DARI PERSPEKTIF HAK

ASASI MANUSIA

Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik.

Sanksi pelanggaran pasal disebutkan pada Pasal 45 ayat 1 adalah :

Setiap Orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (1), ayat (2), ayat (3), atau ayat (4) dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).

Dasar–dasar diajukannya permohonan pengujian ini adalah karena Pasal 27 ayat (3) UU No 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik bertentangan dengan Pasal 1 ayat (2), Pasal 1 ayat (3), Pasal 27 ayat (1), Pasal 28, Pasal 28 C ayat (1) dan ayat (2), Pasal 28 D ayat (1), Pasal 28 E ayat (2) dan ayat (3), Pasal 28 F, dan Pasal 28 G ayat (1) UUD 1945.

Pasal 27 ayat (3) UU ITE menurut para pemohon telah bertentangan dengan prinsip–prinsip negara hukum yang menginginkan setiap pembentukan UU dijelaskan secara jelas, dapat

dimengerti, dan dapat dilaksanakan secara adil. Selain itu Pasal 27 ayat (3) bertentangan dengan asas legalitas, prediktibilitas, dan transparansi.

Pasal 27 ayat (3) bertentangan dengan prinsip kedaulatan rakyat, dimana rakyat berhak memilih para penyelenggara negara melalui pemilu. Untuk itu rakyat berhak untuk menerima, mengolah, membuat, mengirimkan, dan menyebarluaskan informasi latar belakang dari para calon

penyelenggara negara. Informasi tersebut, akan sangat mudah berbelok menjadi tindak pidana penghinaan, sehingga membuat para pemohon tidak lagi dapat secara bebas untuk menerima, mengolah, membuat, mengirimkan, dan menyebarluaskan informasi latar belakang dari para calon penyelenggara negara yang akibatnya para pemohon kehilangan kesempatan untuk menentukan pilihannya secara tepat, bijak, dan rasional.

Pasal 27 ayat (3) telah melanggar asas lex certa dan kepastian hukum karena pasal 27 ayat (3) tidak dimuat dalam rumusan delik sejelas-jelasnya dan perumusan ketentuan pidana yang tidak jelas atau terlalu rumit hanya akan memunculkan ketidakpastian hukum.

Selain itu rumusan pasal 27 ayat (3) jo Pasal 45 ayat (1) mempunyai efek jangka panjang yang menakutkan karena, jika ancaman pidana lebih dari 5 tahun dapat secara efektif menghambat hak para pemohon untuk menduduki jabatan – jabatan publik dan menjadi bagian dari profesi hukum.

Untuk itu Para Pemohon mengajukan permohonan pengujian Pasal 27 ayat (3) UU No 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik agar ketentuan tersebut dinyatakan

(8)

Pada pokoknya dalam permohonan tersebut para pemohon mendalilkan bahwa Pasal 27 ayat (3) UU ITE telah mengabaikan prinsip-prinsip negara hukum, melanggar prinsip-prinsip kedaulatan rakyat, melanggar prinsip lex certa dan kepastian hukum, Pasal 27 ayat (3) UU ITE mempunyai potensi disalahgunakan, melanggar kemerdekaan berekspresi, berpendapat, menyebarkan informasi, dan Pasal 27 ayat (3) mempunyai efek jangka panjang yang menakutkan.

Keseluruhan dalil Para Pemohon tersebut sangat relevan mengingat bahwa masalah reputasi sesungguhnya telah diatur secara rinci dan rigid dalam KUHP, sehingga pengaturan delik reputasi yang sama sekali baru tentu harus dipertanyakan motif dari para perumus UU tersebut. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Aliansi Nasional Reformasi Hukum Telematika Indonesia juga menunjukkan dengan baik bahwa di negara-negara hukum modern seperti Belanda,

Singapura, dan Australia sekalipun tidak memiliki delik reputasi yang secara khusus diatur dalam peraturan perundang-undangan di luar KUHP.

Di dalam Pasal 27 ayat 3 UU ITE terdapat 2 unsur, yaitu

1) unsur obyektif dan

2) unsur subyektif.

Unsur-unsur obyektif di dalam pasal tersebut adalah:

1. Perbuatan:

 Mendistribusikan

 Mentransmisikan

 Membuat dapat diaksesnya.

2. Melawan hukum, yaitu yang dimaksud dengan “tanpa hak”

3. Obyeknya adalah informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik yang memuat penghinaan dan/atau pencemaran nama baik.

(9)

Pertanyaan selanjutnya adalah bagaimana mengetahui bahwa Pasal 27 ayat 3 UU ITE dapat dipakai dalam kasus penghinaan di dalam ranah internet sedangkan tidak ada penjelasan tersendiri terhadap pasal ini.

Permasalahan ini sempat menjadi polemik dikemudian hari setelah pengundangan UU ITE. Kasus pertama dari UU ITE ini adalah kasus pencemaran nama baik oleh seorang jurnalis bernama Narliswandi Piliang atau biasa disebut dengan Iwan Piliang kepada Alvien Lie seorang anggota DPR melalui milis Forum Pembaca Kompas. Berdasarkan laporan Alvien Lie kepada polisi tersebut pada tanggal 25 November 2008 Iwan Piliang menggugat pasal tersebut kepada Mahkamah Konstitusi (MK) yang didukung oleh Masyarakat Telematika (MASTEL) dan Asosisasi Pengusaha Warnet dan Komunitas Telematika (Apwkomitel).

Demokrasi adalah sistem pemerintahan kufur yang sangat tidak Islami. Yang paling banyak itulah yang menjadi kebenaran. Demokrasi memungkinkan membuat tindakan buruk dengan segala cara untuk mendapatkan kemenangan, karena hanya dinilai dari siapa yang paling banyak setuju. Demokrasi sangat mentrigger kecurangan. Istilah “demokrasi” berasal dari Yunani Kuno yang tepatnya diutarakan di Athena kuno pada abad ke-5 SM. Negara tersebut dianggap sebagai contoh awal dari sebuah sistem yang berhubungan dengan hukum demokrasi modern. Namun, arti dari istilah ini telah berubah sejalan dengan waktu, dan definisi modern telah berevolusi sejak abad ke-18, bersamaan dengan perkembangan sistem “demokrasi” di banyak negara.

Kata “demokrasi” berasal dari dua kata, yaitu demos yang berarti rakyat, dan kratos/cratein yang berarti pemerintahan, sehingga dapat diartikan sebagai pemerintahan rakyat, atau yang lebih kita kenal sebagai pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat. Demokrasi adalah bentuk atau mekanisme sistem pemerintahan suatu negara sebagai upaya mewujudkan kedaulatan rakyat (kekuasaan warganegara) atas negara untuk dijalankan oleh pemerintah negara tersebut. Pada intinya, yang banyaklah yang menang dan yang banyak dianggap sebagai suatu kebenaran.

“Many forms of Government have been tried, and will be tried in this world of sin and woe. No one pretends that democracy is perfect or all-wise. Indeed, it has been said that democracy is the worst form of government except all those other forms that have been tried from time to time.”

—Winston Churchill (Hansard, November 11, 1947)

(10)

negara ini bisa saling mengawasi dan saling mengontrol berdasarkan prinsip checks and balances.

Konsep demokrasi menjadi sebuah kata kunci tersendiri dalam bidang ilmu politik. Hal ini disebabkan karena demokrasi saat ini disebut-sebut sebagai indikator perkembangan politik suatu negara. Demokrasi menempati posisi vital dalam kaitannya pembagian kekuasaan dalam suatu negara umumnya berdasarkan konsep dan prinsip trias politica dengan kekuasaan negara yang diperoleh dari rakyat juga harus digunakan untuk kesejahteraan dan kemakmuran rakyat. Prinsip semacam trias politica ini menjadi sangat penting untuk diperhitungkan ketika fakta-fakta sejarah mencatat kekuasaan pemerintah (eksekutif) yang begitu besar ternyata tidak mampu untuk membentuk masyarakat yang adil dan beradab, bahkan kekuasaan absolut pemerintah seringkali menimbulkan pelanggaran terhadap hak-hak asasi manusia.

Demikian pula kekuasaan berlebihan di lembaga negara yang lain, misalnya kekuasaan berlebihan dari lembaga legislatif menentukan sendiri anggaran untuk gaji dan tunjangan anggota-anggotanya tanpa mempedulikan aspirasi rakyat, tidak akan membawa kebaikan untuk rakyat. Intinya, setiap lembaga negara bukan saja harus akuntabel (accountable), tetapi harus ada mekanisme formal yang mewujudkan akuntabilitas dari setiap lembaga negara dan mekanisme ini mampu secara operasional (bukan hanya secara teori) membatasi kekuasaan lembaga negara tersebut.

Sebuah negara dikatakan demokratis apabila negara tersebut terus berproses menuju ke masyarakat demokratis. Salah satu indikasi kuat kreteria negara demokratis adalah adanya pemilihan umum yang jujur dan adil. Seperti diakui oleh pengamat Internasional bahwa sejak tahun 1999 Indonesia sudah melaksanakan pemilu secara relatif adil dan jujur. Bahkan pada pemilu tahun 1955 pun diakui sebagai pemilu yang adil.

Masalahnya sekarang kenapa dari pelaksanaan pemilu ataupun pilkada di banyak daerah selalu diwarnai oleh keributan yang tidak jarang menjadi kerusuhan? Padahal jika kita menilik nilai-nilai demokrasi sejatinya hal tesebut justru bertentangan dengan demokrasi. Dalam pengamatan selanjutnya ternyata Indonesia masih dalam tataran melakasanakan demokrasi pada tingkatan prosedural yaitu sesuai dengan prosedur demokratis seperti adanya pemilu, adanya lembaga-lembaga perwakilan dan seterusnya.

Indonesia belum mencapai pada pelaksanaan demokrasi yang subtansial yaitu sikap-sikap dan prilaku demokratis. Hal ini tampak bukan hanya pada masyarakat sendiri tapi juga terutama pada pemerintah. Karena itu tidak mengherankan jika keributan pada pilkada masih mewarnai proses demokrasi Indonesia. Disamping karena tingkat rasionalitas politik masyarakat pada umumya dinilai masih rendah juga karena demokrasi subtansial belum dilaksanakan. Kiranya hal ini mengindikasikan jalan panjang demokrasi Indonesia masih penuh dengan hambatan dan tantangan justru dari efek dari demokrasi itu sendiri.

(11)

Yang dimana kasus itu terjadi karena hal yang sifatnya sepele saja, yaitu Pengalaman tidak mengenakkan Prita sebagai seorang pasien dari sebuah rumah sakit, dilampiaskan dengan keluh kesah berkirim email pada temannya. Tidak diduga oleh siapapun ternyata curahan hati itu berdampak hukum, harus mendekam di penjara. Benarkah hanya karena memberi kritik

seseorang bisa ditahan? Mengapa sebuah keluhan seorang pasien lewat media elektronik internet dapat berdampak hukum demikian besar?

Sebenarnya bila ditilik secara cermat, pengalaman seperti ini banyak sekali dialami baik oleh pasien dan pihak rumah sakit. Cukup sering dijumpai seorang pasien mengadukan ketidak puasan layanan seorang dokter dan rumah sakit baik di media cetak, elektronik dan internet. Fenomena yang biasa terjadi ini menjadi sesuatu yang sangat besar karena baru pertamakali sebuah rumah sakit berani menuntut dugaan pencemaran nama baik yang dilakukan pasien.

Mungkin bagi sebagian masyarakat hal itu merupakan sebuah sekedar kritikan untuk sebuah pelayanan rumah sakit. Kelompok lain mengatakan sekedar kirim email mengapa harus mengorbankan seorang Ibu rumah tangga dengan memisahkan dua anak kecil di rumahnya. Tetapi pihak rumah sakit yang berseteru tetap bersikeras bahwa tulisan sang ibu jelas-jelas sebuah pencemaran nama baik.

Bila disimak lebih cermat ternyata asal muasal sengketa adalah dugaan pencemaran nama baik oleh bekas pasien kepada rumah sakit yang pernah merawatnya. Dalam tulisan tersebut tersurat bahwa rumah sakit berikut dokternya sebagai penipu dan rumah sakit mencari pasien berkedok hasil laboratorium yang fiktif. Jadi sekali lagi permasalah utama adalah dugaan pencemaran nama baik, bukan sekedar penulisan atau berkeluh kesah melalui email. Fokus masalah yang tidak jelas inilah yang akan mengaburkan permasalahan yang sebenarnya ada. Interpretasi pemcemaran nama baik sendiri akan terjadi multitafsir sehingga harus diarahkan pada jalur hukum.

Dari sebuah cerita yang kecil tersebut ternyata berdampak besar dan menjadi sesuatu kontroversi yang tiada berhenti ujungnya. Dari pengalaman yang seringkali terjadi tersebut menjadi melebar tak tentu arah. Karena pelaku dugaan pencemaran nama baik adalah seorang ibu yang tidak berdaya yang mempunyai anak kecil maka opini, simpati, dan dukungan mengalir secara deras tak terbendung tanpa melihat fokus masalah dan demi kebebasan berpendapat.

Dengan suhu politisi yang tinggi ini tidak disia-siakan seorang calon presiden yang masih aktif menjabat wakil presiden mengatakan dengan lebih cepat dan lebih baik. Bebaskan Prita, polisi harus pelajari kasusnya lagi lebih baik. Sedangkan calon presiden lain yang biasa berhemat kata,dengan bahasa tubuh langsung mengunjungi Prita ke tempat tahanan. Presiden sebagai calon presiden incumbent seakan tak mau kalah menyikapinya secara jelas dan tegas mengatakan bahwa dalam menegakkan hukum harus memakai hati nurani dan rasa keadilan. Dalam

pencitraan mungkin tindakan para calon pemimpin negeri ini sangat hebat dalam membela wong cilik. Tetapi dari sisi hukum campur tangan terhadap penegakan hukum yang selama ini

(12)

Kalau sudah orang-orang besar di negeri ini mengayuhkan langkahnya, pasti masyarakat dan pejabat di bawahnya akan mengikuti dan bersuara lebih keras lagi. Menteri kesehatan beberapa hari berikutnya dengan lantang mengatakan bahwa nama Internasional harus dicopot karena menyalahi aturan, padahal banyak nama Rumah Sakit Internasional yang serupa selama ini tidak dipermasalahkan. Kejaksaan Agung dan Polisi sebagai penegakan hukum ikut saling tuding karena desakan masyarakat dan campur tangan pemimpin negeri ini. Bahkan karenanya, dalam waktu singkat Prita langsung dibebaskan dari tahanan.

Begitu yang menjadi pelaku sengketa adalah Rumah Sakit dan dokter, maka kesempatan

munculnya opini yang tak terkendali menyudutkan tindakan dokter dan rumah sakit di manapun berada. Permasalahan menjadi melebar kemana-mana. Permasalahan berlanjut pada dokter yang dianggap tidak manusiawi, rumah sakit mata duitan, dokter tidak professional dan sebagainya. Dokter adalah manusia biasa, sangkaan tersebut adalah hal yang mungkin saja benar terjadi walau tidak boleh digeneralisasikan.

Etika berpendapat

Paska reformasi bangsa Indonesia adalah negara demokrasi dan negara hukum yang melindungi setiap warga negara dalam melakukan setiap bentuk kebebasan berpendapat, menyampaikan gagasan baik secara lisan maupun tulisan, hal ini dilindungi peraturan perundang-undangan di Indonesia baik didalam batang tubuh UUD 1945 pasal 28, maupun diatur secara jelas dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2005 mengenai jaminan hak-hak sipil dan politik, dimana poin-poin hak yang harus dilindungi oleh Negara mengenai hak berpendapat, hak berserikat, hak memilih dan dipilih, hak sama dihadapan hukum dan pemerintahan, hak mendapatkan keadilan.

Paska reformasi pula masyarakat Indonesia mengalami euphoria demokrasi yang sangat hebat. Dahulu untuk berbicara dengan nada tinggi terhadap presiden sudah menjadi pidana, sekarang mengkritik presiden di depan umum adalah hal biasa. Tampaknya kasus Prita ini adalah kasus yang kesekian kali sebagai pembelajaran bagi bangsa ini dalam berdemokrasi yang sebenarnya.

Sebagai negara demokrasi kebebasan berpendapat tidak harus menjadi sekedar bebas mengemukakan pendapat tetapi harus bertanggung jawab dan beretika dalam berpendapat. Menentukan parameter nilai etika dalam berpendapat yang ideal sangat sulit. Setiap upaya penentuan batas nilai etika berpendapat akan divonis sebagai pengebirian berpendapat. Bahkan undang undang baru seperti Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) yang diciptakan oleh para ahli hukum dan pendekar demokrasi saja dianggap mengkebiri kebebasan berpendapat.

(13)

Pameo lama mengatakan fitnah lebih kejam dari pembunuhan sehingga wajar bila itu terjadi akan berdampak hukum. Karena fitnah dan pencemaran nama baik akan berakibat sangat merugikan bagi yang mendapatkannya. Ternyata dari sebuah opini yang memutarkan balikkan fakta yang ada, dapat mematikan kehidupan dan mata pencaharian seseorang. Seorang pedagang bakso diisukan memakai daging celeng akan membuat pedagang akan kehilangan mata

pencaharian. Begitu juga seorang dokter dituding sebagai penipu maka hancurlah citra

profesionalnya. Demikian juga sebuah perusahaan kosmetik bila diisukan memakai minyak babi akan hancurlah perusahaan tersebut, demikian juga rumah sakit. Bila semua orang boleh bebas berpendapat seenaknya tanpa beretika, maka akan kacaulah negera demokrasi ini.

Referensi

Dokumen terkait

(D) Index letusan gunung merapi masih lebih rendah daripada gunung Krakatau (E) Masa istirahat yang panjang dari gunung.. berapi belum tentu menandakan akan terjadi

Problem Based Learning berbantuan video dapat membantu peserta didik untuk meningkatkan ketrampilannya dalam memecahkan suatu masalah dengan bantuan tayangan video agar siswa

EL65 Guru Sistem dapat menampilkan data siswa wali kelas EL66 Guru Sistem dapat menampilkan pengumuman wali kelas EL67 Guru Sistem dapat menambah pengumuman wali kelas EL68

Tidal energy could  convert into  power on  the basiS of height difference (Tidal  Barrages) and  on  the basis  of  flow  speed  (Tidal  Current).  The  studies 

Penelitian ini bertujuan untuk meningkatkan hasil belajar matematika siswa kelas 4 SD menggunakan model pembelajaran kooperatif tipe TGT berbantuan media

a) Guru membagi kelas menjadi lima kelompok, setiap kelompok terdiri dari 5 siswa yang dibagi dengan cara mengambil undian permen di dalam sebuah kotak. Pengelompokan

Dalam penelitian ini bentuk penelitian yang digunakan yaitu studi hubungan ( interrelationship studies ) untuk mengetahui hubungan antara kemampuan membaca pemahaman

Solusi yang diberikan Pondok Pesantren Al Mursyid dalam pendidikan agama islam kepada masyarakat desa Ngetal saat peneliti observasi ternyata meliputi: Memberikan