• Tidak ada hasil yang ditemukan

KEDUDUKAN RAJA SEBAGAI KETUA SANIRI NEGE

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "KEDUDUKAN RAJA SEBAGAI KETUA SANIRI NEGE"

Copied!
78
0
0

Teks penuh

(1)

KEDUDUKAN RAJA SEBAGAI KETUA SANIRI

NEGERI LENGKAP DALAM SISTEM PEMERINTAHAN

NEGERI DI KOTA AMBON

(Studi Terhadap Pasal 11 ayat (3) butir a Peraturan Daerah

Kota Ambon Nomor 3 Tahun 2008 Tentang Negeri di Kota

Ambon)

OLEH

ABRAHAM J. A. MAHULETTE

NIM : 2012-21-228

SKRIPSI

Diajukan Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Hukum

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS PATTIMURA

AMBON

(2)

PERNYATAAN KEASLIAN NASKAH

Dengan ini saya menyatakan dengan sesungguhnya bahwa dalam penulisan skripsi ini tidak terdapat karya yang diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan disalah satu perguruan tinggi. Sepanjang pengetahuan saya, tidak terdapat karya yang pernah ditulis atau diterbitkan oleh orang lain kecuali secara tertulis yang diakui dalam naskah ini, dan disebut dalam daftar pustaka. Saya bersedia dituntut secara Hukum maupun Sanksi Akademis, apabila dikemudian hari pernyataan yang saya buat ini tidak benar.

Penulis

(3)
(4)
(5)

ABSTRAK

KEDUDUKAN RAJA DALAM SISTEM PEMERINTAHAN NEGERI

DI KOTA AMBON (Studi Terhadap Pasal 11 Peraturan Daerah Kota Ambon

Nomor 3 Tahun 2008 Tentang Negeri Di Kota Ambon)

ABRAHAM J. A. MAHULETTE

Pasal 11 Peraturan Daerah (Perda) Kota Ambon Nomor 3 Tahun 2008 Tentang Negeri Di Kota Ambon menempatkan kedudukan Raja sebagai Kepala Eksekutif dan Ketua Legislatif dalam Struktur Pemerintahan Negeri. Rangkap jabatan yang dimiliki oleh seorang raja ini berpotensi besar menimbulkan kesewenang-wenangan oleh raja yang akan berimbas pada buruknya kualitas hidup masyarakat negeri dan ketertinggalan pembagunan negeri. Dalam menelaah masalah ini dilakukan suatu penelitian dengan menggunakan jenis penelitian Yuridis Normatif, dengan Pendekatan Perundang-Undangan dan Pendekatan Koseptual.

Dari hasil penelitian menunjukan bahwa pengaturan kedudukan Raja dalam perda tersebut tidaklah tepat, meskipun saat itu pembuatannya berpedoman pada Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1979 Tentang Pemerintahan Desa. Alasannya adalah karena bertentangan dengan prinsip-prinsip penyelenggaraan pemerintahan demokrasi. Disisi lain Peraturan Daerah Kota Ambon Nomor 3 Tahun 2008 sudah tidak sejalan dengan perundang-undangan baru diatasnya yakni Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 dan peraturan pelaksanaannya.

(6)

MOTTO

“JIKALAU ENGKAU PERCAYA

ENGKAU AKAN MELIHAT

KEMULIAAN ALLAH”

(7)

HALAMAN PERSEMBAHAN

Menyadari sungguh akan kebesaran dan kemurahan kasih Allah dalam kehidupan keseharian, maka skripsi ini penulis persembahkan secara khusus kepada:

1. Tuhan Yesus Kristus sebagai wujud pengucapan syukur atas tutunan dan penyertaanNya sehingga penulis dapat menyelesaikan semua tugas dan tangung jawab sebagai mahasiswa khususnya penulisan skripsi ini;

2. Kedua Orang Tuaku Tersayang, Papa Bob dan Mama Nor, serta adik-adik tercinta Ulen dan Via.

(8)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, yang adalah sumber hikmat dan pengetahuan, karena atas cinta dan kasih-Nya penulisan skripsi yang berjudul Kedudukan Raja Sebagai Ketua Saniri Negeri Lengkap Dalam Sistem Pemerintahan Negeri Di Kota Ambon (Studi Terhadap Pasal 11

ayat (3) butir a Peraturan Daerah Kota Ambon Nomor 3 Tahun 2008).

Dalam penulisan skripsi ini penulis menyadari bahwa masih terdapat banyak kekurangan, untuk itu dengan penuh kerendahan hati penulis membuka diri bagi para pembaca untuk segala kritik maupun saran demi penyempurnaan skripsi ini. Dalam mendalami ilmu di Fakultas Hukum Universitas Pattimura Ambon, penulis menyadari bahwa tidak terlepas dari segala bantuan dan dukungan dari segala pihak baik secara moril maupun materi. Untuk itu melalui lembaran ini, penulis ingin menyampaikan rasa terima kasih dan penghargaan yang tulus kepada :

(9)

2. Dr. J. Tjiptabudy, SH. MHum, selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Pattimura Ambon yang telah mendidik, membimbing, dan mengarahkan penulis dengan sabar dan tulus selama menuntut ilmu di almamater tercinta. 3. Dr. R. J. Akyuwen SH.MHum, selaku Pembantu Dekan 1 yang membantu dan

memberikan arahan bagi penulis dalam proses penyelesaian studi.

4. Dr. A. I. Laturette, SH. MH, selaku Pembantu Dekan II Fakultas Hukum Universitas Pattimura, yang telah membantu dan memberikan motivasi kepada penulis selama proses penyelesaian studi. 5. Ny. S. S. Alfons, SH.MH, selaku Pembantu Dekan III yang telah memberikan

bimbingan bagi penulis selama menjalani proses perkuliahan di Almamater tercinta ini.

6. Dr. Arman Anwar, SH., MH, selaku Pembantu Dekan IV yang telah memberikan bimbingan dan pelajaran yang berharga selama di Almamater tercinta ini.

7. Dr. E. R. M. Toule, SH. MS, selaku Ketua Program Studi Ilmu Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Pattimura yang telah membimbing penulis baik dalam perkuliahan maupun penulisan skripsi ini.

(10)

9. Bapak Hendry J. Piries, SH., MH, Sebagai mentor yang telah membimbing, mendorong dan menasehati dalam mengikuti proses perkuliahan di Fakultas Hukum Universitas Pattimura.

10. Para Dosen Fakultas Hukum Universita Pattimura khususnya Bidang Studi HTN/HAN Prof. Dr. S.E.M. Nirahua, SH, MHum, H. P. B. Puturuhu, SH, MH, J. Pietersz, SH. MH, Dr. J. Mustamu, SH, MH, Dr. R. H. Nendissa. SH, MH. Dr. V.J. Sedubun, SH.LLM, Dr. R. Rugebregt, SH. MH, Ny. M. Matitaputty, SH, MH, Dr.A.D. Bakarbessy, SH. LLM, Dr. S.H. Lekipouw, SH. MH, E.S. Holle, SH. MH, Ny. H. Y. Tita. SH. MH, M. Ch. Latuny, MTeol. Ny. Vica. J.E. Saija. SH. MH., Ny. Dezonda R. Pattipawae, SH, MH, Y. Pattinasarany, SH. MH, B.C. Picauly.SH, serta Bapak/ibu Dosen lainnya yang tidak sempat nama disebutkan, yang telah memberikan ilmu baik secara langsung tatap muka maupun lewat diskusi-diskusi yang dibangun sehingga dapat memberikan masukan bagi penulis.

11. Para Pegawai Fakultas Hukum Universitas Pattimura yang tidak bisa saya sebutkan satu persatu yang telah banyak membantu penulis dalam proses administrasi selama menempuh pendidikan di Fakutas Hukum Universitas Pattimura.

(11)

13. Keluarga besar Mahulette, Kaka Ulis, Kaka Anty, Kaka Lin, Vence, keluarga besar Retraubun dan sanak saudara lain yang tidak dapat disebutkan satu persatu namanya yang telah memberikan motivasi selama mengikuti perkuliahan maupun dalam penyusunan skripsi ini.

14. Teman-teman Kelas “D” angkatan 2012, khususnya sahabat-sahabat dekat, Andre, Alda, Acha, Moncha, Marles, Tetta, Ibeth, Qina, Maikel, Bu Ichad, Achel, dan Bass yang selalu bersama-sama memberikan dukungan, motivasi dan sumbangan pemikiran bagi penulis melalui semua proses perkuliahan dan penyusunan skripsi ini.

15. Seluruh pihak yang telah membantu selama studi dan penulisan skripsi ini yang tidak sempat penulis sebutkan satu persatu.

Semoga Tuhan yang adalah sumber berkat selalu memberkati semua pihak yang telah membantu penulis. Harapan penulis melalui penulisan ini semoga dapat bermanfaat bagi pengembangan ilmu hukum khususnya.

Ambon, 6 Juni 2016

Penulis

(12)

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL

PERNYATAAN KEASLIAN NASKAH... i

LEMBARAN PENGESAHAN………... ii

TANDA PENGESAHAN... iii

ABSTRAK………... iv

MOTTO………... v

HALAMAN PERSEMBAHAN………... vi

KATA PENGANTAR………... vii

DAFTAR ISI………. x

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang ... 1

B. Rumusan Masalah ... 8

C. Tujuan Penelitian ... 8

D. Kegunaan Penelitian ... 8

E. Kerangka Teoritis ... 9

F. Metode Penelitian ... 15

G. Sistematika Penulisan ... 19

(13)

2. Otonomi Desa ... 23

3. Pemerintahan Desa ... 25

B. Negeri di Kota Ambon 1. Umum ... 28

2. Raja ... 30

3. Saniri Negeri Lengkap ... 31

C. Sistem Pemerintahan ... 31

BAB III HASIL DAN PEMBAHASAN A. Sistem Pemerintahan Negeri Menurut Hukum Adat... 42

B. Kedudukan Raja Dalam Sistem Pemerintahan Negeri di Kota Ambon 1. Perkembangan Pengaturan Sistem Pemerintahan Negeri ... 48

2. Kedudukan Raja Sebagai Ketua Saniri Negeri Lengkap ... 51

C. Beberapa Isu Hukum Terkait Kedudukan Raja Dalam Sistem Pemerintahan Negeri 1. Produk Hukum dan Kebijakan Pemerintah Negeri ... 59

2. Laporan Penyelenggaraan Pemerintahan Negeri ... 60

3. Pengelolaan Keuangan Negeri ... 61

BAB IV PENUTUP A. Kesimpulan ... 63

(14)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Negara Republik Indonesia sebagai Negara Kesatuan menganut asas desentralisasi dalam menyelenggarakan pemerintahan dengan memberikan kesempatan dan keleluasaan kepada daerah untuk menyelenggarakan otonomi daerah.1 Karena itu, Pasal 18 Undang-Undang Dasar 1945 (selanjutnya disebut

UUD 1945) antara lain menyatakan bahwa pembagian Daerah Indonesia atas daerah besar dan kecil dengan bentuk dan susunan pemerintahannya ditetapkan dengan undang-undang. Dalam penjelasan tersebut, antara lain dikemukakan bahwa “oleh karena Negara Indonesia itu suatu eenheidsstaat, maka Indonesia tidak akan mempunyai daerah dalam lingkungannya yang bersifat Staat juga. Wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas daerah provinsi dan daerah provinsi itu dibagi atas kabupaten dan kota yang masing-masing mempunyai pemerintahan daerah dengan segala perangkatnya yang tersendiri berdasarkan undang-undang.2Daerah provinsi disamping memiliki status sebagai

daerah otonom, juga berkedudukan sebagai wilayah administrasi. Daerah kabupaten dan daerah kota sepenuhnya berkedudukan sebagai daerah otonom, yang menurut ketentuan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang

1HAW. Widjaja,Otonomi Desa Merupakan Otonomi yang Asli, Bulat dan Utuh,(Jakarta: PT

RajaGrafindo Persada, 2010), hlm. 2.

2Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2014 TentangPemerintahan Daerah,

(15)

Pemerintahan Daerah (selanjutnya disebut UU No. 23 Tahun 2014) diartikan sebagai kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai batas-batas wilayah yang berwenang mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Daerah Kabupaten/Kota dibagi atas Kecamatan dan Kecamatan dibagi atas Kelurahan dan/atau Desa (Pasal 2 ayat (1) UU No. 23 Tahun 2014). Desa ialah suatu kesatuan hukum, di mana bertempat tinggal suatu masyarakat yang berkuasa mengadakan pemerintahan sendiri. Desa terjadi dari hanya satu tempat kediaman masyarakat saja, ataupun terjadi dari satu induk-desa dan beberapa tempat kediaman sebagian dari masyarakat-hukum yang terpisah yang merupakan kesatuan-kesatuan tempat tinggal sendiri.3

Desa telah ada sebelum Negara Kesatuan Republik Indonesia terbentuk. Sebagai bukti keberadaannya, Penjelasan Pasal 18 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (sebelum perubahan) menyebutkan bahwa “Dalam territori Negara Indonesia terdapat lebih kurang 250 “Zelfbesturende landschappen” dan “Volksgemeenschappen”, seperti desa di Jawa dan Bali, Nagari di Minangkabau, dusun dan marga di Palembang, dan Negeri di Maluku.” Daerah-daerah itu mempunyai susunan asli dan oleh karenanya dapat dianggap sebagai daerah yang bersifat istimewa. Negara Republik Indonesia menghormati kedudukan daerah-daerah istimewa tersebut

(16)

dan segala peraturan negara yang mengenai daerah-daerah itu akan mengingati hak-hak asal usul daerah tersebut. Oleh sebab itu, keberadaannya wajib tetap diakui dan diberikan jaminan keberlangsungan hidupnya dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 Tentang Desa (selanjutnya disebut UU No. 6 Tahun 2014) dan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 43 Tahun 2014 Tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 (selanjutnya disebut PP No. 43 Tahun 2014) memberikan beberapa kewenangan kepada desa. Kewenangan-kewenangan tersebut antara lain meliputi: a. kewenangan berdasarkan hak asal usul;

b. kewenangan lokal berskala Desa;

c. kewenangan yang ditugaskan oleh Pemerintah, Pemerintah Daerah Provinsi, atau Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota; dan

d. kewenangan lain yang ditugaskan oleh Pemerintah, Pemerintah Daerah Provinsi, atau Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

(17)

sasaran dalam pembangunan nasional.4 Pengaturan mengenai desa atau yang

disebut dengan nama lain setelah perubahan UUD 1945) dari segi pemerintahannya mengacu pada ketentuan Pasal 18 ayat (7) yang menegaskan bahwa “susunan dan tata cara penyelenggaran Pemerintahan Daerah diatur dalam undang-undang”. Hal ini berarti pasal tersebut membuka kemungkinan adanya susunan pemerintahan dalam sistem pemerintahan Indonesia.

Sesuai ketentuan Pasal 24 UU No. 6 Tahun 2014, Penyelenggaraan Pemerintahan Desa berdasarkan pada asas :

a. kepastian hukum;

b. tertib penyelenggaraan pemerintahan; c. tertib kepentingan umum;

d. keterbukaan; e. proporsionalitas; f. profesionalitas; g. akuntabilitas;

h. efektivitas dan efisiensi; i. kearifan lokal;

j. keberagaman; dan k. partisipatif.

(18)

Penyelenggaraan pemerintahan desa dilakukan oleh Pemerintah Desa (Kepala Desa atau yang disebut dengan nama lain dan yang dibantu oleh perangkat Desa atau yang disebut dengan nama lain).

UUD 1945 mengakui keberadaan kesatuan masyarakat hukum adat dipertegas melalui ketentuan dalam Pasal 18B ayat (2)yang berbunyi “Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam undang-undang”. Desa/Desa Adat bagi daerah Maluku khususnya di pulau Ambon, lazimnya disebut “Negeri”. Negeri di Kota Ambon adalah sebuah realitas sosial yang hidup, dihormati dan tetap dipatuhi oleh masyarakat karena memiliki simbol-simbol, kharisma dan aturan-aturan yang bijak dari unsur asli masyarakat. Setelah melalui beberapa perubahan maka lahirlah Peraturan Daerah Kota Ambon Nomor 3 Tahun 2008 Tentang Negeri di Kota Ambon (selanjutnya disebut Perda No. 3 Tahun 2008) yang diharapkan dapat menyelesaikan berbagai permasalahan terkait Negeri dan memberikan kepastian hukum bagi masyarakat Negeri.

(19)

fungsi pengawasan. Kekuasaan eksekutif biasanya dipegang oleh badan eksekutif. Tugas badan eksekutif, menurut tafsiran tradisional asastrias politica, hanya melaksanakan kebijaksanaan-kebijaksanaan yang telah ditetapkan oleh badan legislatif serta menyelenggarakan Undang-undang yang dibuat oleh badan legislatif. Dalam perkembangan negara modern bahwa wewenang badan eksekutif dewasa ini jauh lebih luas daripada hanya melaksanakan Undang-undang saja.5

Dalam kedudukanya sebagai kepala pemerintahan Negeri, Raja (Kepala Desa) memiliki banyak kewenangan yang berkaitan erat dengan Saniri Negeri Lengkap (Badan Permusyawaratan Desa) diantaranya yaitu :

1. memimpin penyelenggaraan Pemerintahan Negeri berdasarkan keputusan yang ditetapkan bersama Saniri Negeri Lengkap.

2. mengajukan Rancangan Peraturan Negeri.

3. merencanakan, menyusun dan mengajukan Rancangan APBNegeri untuk dibahas bersama Saniri Lengkap dan ditetapkan menjadi Peraturan Negeri. 4. menetapkan Peraturan Negeri yang telah mendapat persetujuan bersama

Saniri Negeri Lengkap.

Selain itu, UU No. 6 Tahun 2014 dan peraturan pelaksananya telah dengan jelas melarang Raja (Kepala Desa) merangkap jabatan. Hal ini dapat dilihat dalam Pasal 29 huruf (i) UU No. 6 Tahun 2014 yang menyatakan bahwa :

5Miriam Budiharjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2001),

(20)

“Kepala Desa dilarang : Merangkap jabatan sebagai ketua dan/atau anggota Badan Permusyawaratan Desa, anggota Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia, Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia, DewanPerwakilan Rakyat Daerah Provinsi atau Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota, dan jabatan lain yang ditentukan dalam peraturan perundangan-undangan”.

Perda Kota Ambon Nomor 3 Tahun 2008 dengan sangat jelas menempatkan Raja sebagai Kepala Pemerintahan dan juga Raja sebagai ketua dari Saniri Negeri Lengkap. Diperjelas dalam Pasal 11 Perda Kota Ambon Nomor 3 Tahun 2008 yang menyatakan bahwa :

(1) Pemerintah Negeri terdiri atas : a. Saniri Rajapatti;

b. Saniri Negeri Lengkap; (2) Saniri Rajapatti terdiri atas :

a. Raja;

b. Para Kepala Soa; c. Perangkat Negeri;

(3) Saniri Negeri Lengkap terdiri atas : a. Raja sebagai Ketua;

(21)

e. Kepala Tukang sebagai anggota; f. Kewang sebagai anggota;

Dua jabatan yang dimilki oleh seorang Raja ini dapat menimbulkan adanya kesewenang-wenangan yang mengakibatkan buruknya kualitas hidup masyarakat Negeri dan ketertinggalan pembangunan Negeri.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang di atas, maka rumusan masalah yang akan diteliti adalah :

“Bagaimana Kedudukan Raja Dalam Sistem Pemerintahan Negeri Di Kota Ambon”

C. Tujuan Penelitian

Adapun tujuan dari Penelitian ini yaitu untuk mengetahui, mengkaji dan menganalisa mengenai Kedudukan Raja dalam Sistem Pemerintahan Negeri di Kota Ambon.

D. Kegunaan Penelitian

Adapun kegunaan dari Penelitian ini yaitu :

(22)

2) Sebagai bahan informasi yang diharapkan dapat digunakan dalam almamater sebagai pemikiran dalam mengembangkan ilmu hukum pada umumnya dan khususnya dalam Hukum Tata Negara.

E. Kerangka Teoritis

Adapun kerangka pemikiran teoritis yang digunakan dalam penulisan ini adalah sebagai berikut :

1) Teori Pembagian dan Pemisahan Kekuasaan

Pada hakekatnya pembagian kekuasaan dapat dibagi ke dalam dua cara,yaitu :6

a. Secara vertikal, yaitu pembagian kekuasaan menurut tingkatnya. Maksudnya pembagian kekuasaan antara beberapa tingkat pemerintahan, misalnya antara pemerintah pusat dengan dan pemerintah daerah dalam negara kesatuan, atau antara pemerintah federal dan pemerintah negara bagian dalam suatu negara federal;

b. Secara horizontal, yaitu pembagian kekuasaan menurut fungsinya. Dalam pembagian ini lebih menitikberatkan pada pembedaan antara fungsi pemerintahan yang bersifat legislatif, eksekutif dan yudikatif.

Pembagian kekuasaan berarti bahwa kekuasaan itu memang dibagi-bagi dalam beberapa bagian (legislatif, eksekutif dan yudikatif), tetapi tidak

(23)

dipisahkan. Hal ini membawa konsekuensi bahwa diantara bagian-bagian itu dimungkinkan ada koordinasi atau kerjasama.7

Kekuasaan selalu harus dibatasi dengan cara memisah-misahkan kekuasaan ke dalam cabang-cabang yang bersifat checks and balances dalam kedudukan yang sederajat dan saling mengimbangi serta mengendalikan satu sama lain, namun keduanya ada kesamaan, yaitu memungkinkan adanya koordinasi atau kerjasama. Selain itu pembagian kekuasaan baik dalam arti pembagian atau pemisahan yang diungkapkan dari keduanya juga mempunyai tujuan yang sama yaitu untuk membatasi kekuasaan sehingga tidak terjadi pemusatan kekuasaan pada satu tangan yang memungkinkan terjadinya kesewenang-wenangan.8

Kekuasaan di dalam negara itu dibagi dalam organ-organ negara yang mempunyai fungsi yang berbeda-beda. Agar pemerintah tidak sewenang-wenang, maka harus ada pembedaan pemegang kekuasaan-kekuasaan ke dalam tiga macam kekuasaan, yaitu Kekuasaan Legislatif yang membuat undang-undang, Kekuasaan Eksekutif yang melaksanakan undang-undang, dan Kekuasaan Federatif yang melakukan hubungan diplomatik dengan negara-negara lain.9

7Kusnardi dan Harmaily,Pengantar Hukum Tata Negara Indonesia, (Jakarta: Pusat Studi

Hukum Tata Negara, 1988), hlm. 53.

8Jimly Asshiddiqie S.H.,Pokok – Pokok Hukum Tata Negara Indonesia Pasca

reformasi, (Jakarta: Bhuana Ilmu Populer, 2007), hal. 12.

9John Locke,Two Treaties of Government, http:

(24)

Menurut Montesquieu seorang pemikir berkebangsaan Perancis mengemukakan teorinya yang disebut trias politica. Dalam bukunya yang berjudul L’esprit des Lois menawarkan alternatif yang agak berbeda dari pendapat John Locke. Menurut Montesquieu untuk tegaknya negara demokrasi perlu diadakan pemisahan kekuasaan negara ke dalam 3 organ, yaitu :10

a. Kekuasaan legislatif (membuat undang-undang); b. Kekuasaan eksekutif (melaksanakan undang-undang);

c. Kekuasaaan yudikatif (mengadili bila terjadi pelanggaran atas undang-undang).

Dalam ketatanegaraan Indonesia sendiri, istilah “pemisahan kekuasaan” (separation of power) itu sendiri cenderung dikonotasikan dengan pendapat Montesquieu secara absolut. Konsep pemisahan kekuasaan tersebut dibedakan dari konsep pembagian kekuasaan (division of power) yang dikaitkan dengan sistem supremasi MPR yang secara mutlak menolak ide pemisahan kekuasaan alatrias politicaMonstesquieu.

Setelah adanya perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 selama empat kali, dapat dikatakan sistem konstitusi Republik Indonesia telah menganut doktrin pemisahan itu secara nyata. Beberapa yang mendukung hal itu antara lain adalah :11

10Montesquieu, “L’esprit des Lois”, 1748, http : //

www.wikipediaindonesia.co.id//teori/pemisahan/kekuasaan// Minggu 7 Februari 2016, (21:40)

11Jimly Asshiddiqie,Menuju Negara Hukum Yang Demokratis,(Jakarta: Sekretariat Jendral

(25)

a. Adanya pergeseran kekuasaan legislatif dari tangan Presiden ke DPR;

b. Diadopsinya sistem pengujian konstitusional atas undang-undang sebagai produk legislatif oleh Mahkamah Konstitusi. Dimana sebelumnya undang tidak dapat diganggu gugat, hakim hanya dapat menerapkan undang-undang dan tidak boleh menilai undang-undang-undang-undang;

c. Diakui bahwa lembaga pelaksana kedaulatan rakyat itu tidak hanya MPR, melainkan semua lembaga negara baik secara langsung atau tidak langsung merupakan penjelmaan kedaulatan rakyat;

d. MPR tidak lagi berkedudukan sebagai lembaga tertinggi negara, namun sebagai lembaga negara yang sederajat dengan lembaga negara lainnya; e. Hubungan-hubungan antar lembaga negara itu bersifat saling mengendalikan

satu sama lain sesuai dengan prinsipchecks and balances.

(26)

2. Teori Organ

Setiap negara dijalankan oleh organ negara yang diatur dalam konstitusi. Pengaturan kewenangan organ negara dalam konstitusi dimaksudkan agar tercipta keseimbangan antara organ negara yang satu dengan lainnya (checkand balances). A. Hamid Attamimi menyebutkan bahwa konstitusi adalah pemberi

pegangan dan pemberi batas, sekaligus tentang bagaimana kekuasaan negara harus dijalankan. Beliau juga berpendapat cara umum, konstitusi dapat dikatakan demokratis mengandung prinsip dalam kehidupan bernegara yaitu salah satunya adanya pembagian kekuasaan berdasarkan trias politica dan adanya kontrol serta keseimbangan lembaga lembaga pemerintahan.

Pemahaman mengenai organ negara dikenal dengan trias politica yang berarti bahwa kekuasaan negara dilaksanakan oleh tiga cabang kekuasaan yaitu kekuasaan eksekutif, kekuasaan legislatif dan kekuasaan yudikatif. Ketiga cabang kekuasaan tersebut diatur dan ditentukan kewenangannya oleh konstitusi.

Secara definitif alat-alat kelengkapan negara atau lazim disebut lembaga negara adalah institusi-institusi yang dibentuk guna melaksanakan fungsi-fungsi Negara. Sebagaimana pengertian diatas maka dalam penerapan sistem ketatanegaraan Indonesia menganutseparation of power(pemisahan kekuasaan).

(27)

telah mengikutsertakan eksekutif dalam pembuatanya. Sebaliknya pada bidang yudikatif, prinsip tersebut masih dianut, untuk menjamin kebebasan dan memberikan keputusan sesuai dengan prinsip negara hukum.12

3. Teori Fungsional

Teori fungsional mengutarakan bahwa masyarakat adalah suatu sistem sosial yang terdiri dari bagian dan struktur-struktur yang saling berkaitan dan saling membutuhkan keseimbangan, fungsionalisme struktural lebih mengacu pada keseimbangan. Teori ini menilai bahwa semua sistem yang ada di dalam masyarakat pada hakikatnya mempunyai fungsi tersendiri. Suatu struktur akan berfungsi dan berpengaruh terhadap struktur yang lain. Maka dalam hal ini, semua peristiwa pada tingkat tertentu seperti peperangan, bentrok, bahkan sampai kemiskinan pun mempunyai fungsi tersendiri, dan pada dasarnya dibutuhkan dalam masyarakat . Pelopor teori ini adalah Robert K. Merton, beliau berpendapat bahwa obyek analisa sosiologi adalah fakta sosial, seperti proses sosial, organisasi kelompok, pengendali sosial, dan sebagainya. Suatu pranata atau sistem tertentu bisa dikatakan fungsional bagi suatu unit sosial tertentu, dan sebaliknya, suatu institusi juga bisa bersifat disfungsional bagi unit sosial yang lain.13

12Yusril Ihza Mahendra,Dinamika Tata Negara Indonesia, (Jakarta: Gema Insani Press,

1996), hlm. 131.

13Robert K. Merton dalam buku Bachtiar Wardi,Sosiologi Klasik, (Bandung: Remaja Rosda,

(28)

Penganut teori fungsional ini memandang bahwa segala pranata sosial yang ada dalam masyarakat itu bersifat fungsional dalam artian positifdan negatif. Sebagai contoh lembaga pendidikan, ini berfungsi dan sangat penting dalam masyarakat, terutama untuk memajukan kualitas pendidikan di negeri ini. Lembaga pendidikan memberikan pengajaran dan ilmu-lmu pengetahuan untuk para generasi muda penerus bangsa. Dalam hal ini, lembaga pendidikan bersifat fungsional, dan manjurus pada artian yang positif.

F. Metode Penelitian

1) Jenis Penelitian

Jenis penelitian yang penulis gunakan dalam penelitian ini adalah metode yuridis normatif. Bambang Waluyo dalam bukunya yang berjudul “penelitian hukum dalam praktek” memberikan pengertian metode penelitian hukum normatif adalah suatu metode yang lebih banyak dilakukan terhadap data yang beersifat sekunder yang diperoleh dari kepustakaan.14 Data sekunder sebagai

bahan atau sumber informasi yang dapat berupa bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tertier.

2) Bahan Hukum

Bahan hukum terdiri bahan hukum yang diperoleh secara langsung dari masyarakat (data primer atau data dasar) dan dari bahan-bahan pustaka (data

14Bambang Waluyo,Penelitian Hukum Dalam Praktek, (Jakarta: PT. Sinar Grafika, 1992),

(29)

sekunder), 15akan tetapi dalam penelitian ini hanya menggunakan data sekunder

yang terdiri dari :

a) Bahan Hukum Primer yaitu bahan-bahan yang bersumber dari peraturan perundang-undangan16, yang ada kaitannya dengan pemerintahan desa

yaitu:

i.Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 ii.Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah iii.Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa

iv.Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2014 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 6 tahun 2014

v.Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan

vi.Peraturan Daerah Kota Ambon Nomor 3 Tahun 2008 Tentang Negeri di Kota Ambon

a. Bahan Hukum Sekunder yaitu bahan yang diperoleh dari kepustaaan yang meliputi berbagaia literature maupun sumber-sumber lain berupa makalah, skripsi, tesis, desertasi, serta artikel-artikel lain yang publikasikan melalui media cetak dan media elektronik yang berhubungan dengan penelitian ini.17

15Soerjono Soekanto dan Sri Mamidji,Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat,

(Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2003), hlm. 12.

16Peter Mahmud Marzuki,Penelitian Hukum,(Jakarta: Kencana, 2010), hlm. 141.

17Bambang Sunggono,Metode Penelitian Hukum, (Jakarta: Raja GrafindoPersada, 2003), hlm.

(30)

b) Bahan Hukum Tersier yaitu berupa kamus-kamus yang ada kaitannya dengan pemerintahan desa yaitu Kamus Besar Bahasa Indonesia dan Kamus Hukum.

4. Metode Pengumpulan Bahan Hukum a. Bahan Hukum Primer

Bahan hukum primer diperoleh dengan cara mengumpulkan menginventarisasi peraturan perundang-undangan yang berlaku dan disesuaikan dengan pokok permasalahan yang dikaji.

b. Bahan Hukum Sekunder

Bahan hukum sekunder diperoleh dengan cara melakukan inventarisasi terhadap buku literatur, dokumen, artikel, dan berbagai bahan yang telah diperoleh, dicatat kemudian dipelajari berdasarkan relevansi-relevansinya dengan pokok permasalahan yang diteliti yang selanjutnya dilakukan pengkajian sebagai satu kesatuan yang utuh.

5. Metode Penyajian Bahan Hukum

Bahan hukum yang diperoleh dalam penelitian ini akan dipaparkan dalam bentuk uraian yang disusun secara sistematis mengikuti alur sistematika pembahasan. Dalam arti keseluruhan data yang diperoleh kemudian dihubungkan satu dengan yang lainnya dengan pokok permasalahan, sehingga menjadi satu kesatuan yang utuh.

(31)

Bahan hukum yang diperoleh kemudian dianalisis secara kualitatif, yaitu analisis yang dilakukan dengan memahami dan merangkai data yang telah diperoleh dan disusun sistematis, kemudian ditarik kesimpulan. Dan kesimpulan yang diambil dengan menggunakan cara berpikir deduktif, yaitu dengan cara berpikir yang mendasar pada hal-hal yang bersifat umum kemudian ditarik kesimpulan secara khusus.

G. Sistematika Penulisan

Penulisan ini secara garis besar disusun secara sistematis yang terbagi dalam 4 (empat) BAB.

BAB I PENDAHULUAN H. Latar Belakang I. Rumusan Masalah J. Tujuan Penelitian K. Kegunaan Penelitian L. Kerangka Teoritis M. Metode Penelitian N. Sistematika Penulisan BAB II TINJAUAN PUSTAKA

D. Desa

(32)

6. Pemerintahan Desa E. Negeri di Kota Ambon

4. Umum 5. Raja

6. Saniri Negeri Lengkap F. Sistem Pemerintahan

BAB III HASIL DAN PEMBAHASAN

D. Sistem Pemerintahan Negeri Menurut Hukum Adat

E. Kedudukan Raja Dalam Sistem Pemerintahan Negeri di Kota Ambon 3. Perkembangan Pengaturan Sistem Pemerintahan Negeri

4. Kedudukan Raja Sebagai Ketua Saniri Negeri Lengkap

F. Beberapa Isu Hukum Terkait Kedudukan Raja Dalam Sistem Pemerintahan Negeri

4. Produk Hukum dan Kebijakan Pemerintah Negeri 5. Laporan Penyelenggaraan Pemerintahan Negeri 6. Pengelolaan Keuangan Negeri

(33)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Desa

1. Pengertian Desa

(34)

kewenangan untuk mengurus rumah tangganya sendiri berdasarkan hak asal-usul dan adat istiadat yang diakui dalam Pemerintahan Nasional dan berada di Daerah Kabupaten.

Pengertian Desa dikemukakan oleh HAW. Widjaja,18 yang menyatakan

bahwa :

“Desa adalah sebagai kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai susunan asli berdasarkan hak asal-usul yang bersifat istimewa. Landasan pemikiran dalam mengenai Pemerintahan Desa adalah keanekaragaman, partisipasi, otonomi asli, demokratisasi dan pemberdayaan masyarakat”. Desa menurut UU Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah mengartikan Desa sebagai berikut :

“Desa adalah desa dan desa adat atau yang disebut dengan nama lain, selanjutnya disebut Desa, adalah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas wilayah yang berwenang untuk mengatur dan mengurus Urusan Pemerintahan, kepentingan masyarakat setempat berdasarkan prakarsa masyarakat, hak asal usul, dan/atau hak tradisional yang diakui dan dihormati dalam sistem pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia. (Pasal 1 angka 43).

Dalam pengertian Desa menurut HAW. Widjaja dan UU Nomor 23 Tahun 2014 di atas sangat jelas sekali bahwa Desa merupakan Self Community yaitu komunitas yang mengatur dirinya sendiri. Pemahaman bahwa Desa memiliki kewenangan untuk mengurus dan mengatur kepentingan masyarakatnya sesuai dengan kondisi dan sosial budaya setempat, menjadikan Desa memiliki otonomi asli sangat strategis sehingga memerlukan perhatian yang seimbang

(35)

terhadap penyelenggaraan Otonomi Daerah. Otonomi Desa yang kuat akan mempengaruhi secara signifikan perwujudan kesejahteraan masyarakat.

Tujuan pembentukan desa adalah untuk meningkatkan kemampuan penyelenggaraan pemerintahan secara berdaya guna dan berhasil guna dan peningkatan pelayanan terhadap masyarakat sesuai dengan tingkat perkembangan dan kemajuan pembangunan. Dalam menciptakan pembangunan hingga di tingkat akar rumput, maka terdapat beberapa syarat yang harus dipenuhi untuk pembentukan desa yakni:Pertama, faktor penduduk, minimal 2500 jiwa atau 500 kepala keluarga. Kedua, faktor luas yang terjangkau dalam pelayanan dan pembinaan masyarakat.Ketiga,faktor letak yang memiliki jaringan perhubungan atau komunikasi antar dusun. Keempat, faktor sarana prasarana, tersedianya sarana perhubungan, pemasaran, sosial, produksi, dan sarana pemerintahan desa, Kelima, faktor sosial budaya, adanya kerukunan hidup beragama dan kehidupan

bermasyarakat dalam hubungan adat istiadat, Keenam, faktor kehidupan masyarakat, yaitu tempat untuk keperluan mata pencaharian masyarakat.

2. Otonomi Desa

HAW. Widjaja19 menyatakan bahwa otonomi desa merupakan otonomi

asli, bulat, dan utuh serta bukan merupakan pemberian dari pemerintah. Sebaliknya pemerintah berkewajiban menghormati otonomi asli yang dimiliki oleh desa tersebut. Sebagai kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai

(36)

susunan asli berdasarkan hak istimewa, desa dapat melakukan perbuatan hukum baik hukum publik maupun hukum perdata, memiliki kekayaan, harta benda serta dapat dituntut dan menuntut di muka pengadilan.

Dikeluarkannya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 Tentang Pemerintahan Daerah yang kemudian mengalami beberapa perubahan hingga dikeluarkannya Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah memberikan landasan kuat bagi desa dalam mewujudkan “Development Community” dimana desa tidak lagi sebagai level administrasi atau bawahan daerah tetapi sebaliknya sebagai “Independent Community” yaitu desa dan masyarakatnya berhak berbicara atas kepentingan masyarakat sendiri. Desa diberi kewenangan untuk mengatur desanya secara mandiri termasuk bidang sosial, politik dan ekonomi. Dengan adanya kemandirian ini diharapkan akan dapat meningkatkan partisipasi masyarakat desa dalam pembangunan sosial dan politik.

(37)

yang perlu dikembangkan saat ini adalah keanekaragaman, partisipasi, otonomi asli, demokrasi, dan pemberdayaan masyarakat.

Mengenai pengakuan terhadap otonomi di desa, Taliziduhu Ndraha20

menjelaskan sebagai berikut :

a. Otonomi desa diklasifikasikan, diakui, dipenuhi, dipercaya dan dilindungi oleh pemerintah, sehingga ketergantungan masyarakat desa kepada “kemurahan hati” pemerintah dapat semakin berkurang.

b. Posisi dan peran pemerintahan desa dipulihkan, dikembalikan seperti sediakala atau dikembangkan sehingga mampu mengantisipasi masa depan.

Otonomi desa merupakan hak, wewenang dan kewajiban untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat berdasarkan hak asal-usul dan nilai-nilai sosial budaya yang ada pada masyarakat untuk tumbuh dan berkembang mengikuti perkembangan desa tersebut. Urusan pemerintahan berdasarkan asal-usul desa, urusan yang menjadi wewenang pemerintahan Kabupaten atau Kota diserahkan pengaturannya kepada desa.

Perlu ditegaskan bahwa tiada hak tanpa kewajiban, tiada kewenangan tanpa tanggungjawab dan tiada kebebasan tanpa batas. Oleh karena itu, dalam pelaksanaan hak, kewenangan dan kebebasan dalam penyelenggaraan otonomi desa harus tetap menjunjung nilai-nilai tanggungjawab terhadap Negara Kesatuan Republik Indonesia dengan menekankan bahwa desa adalah bagian

20Taliziduhu Ndraha,Kybernology (ilmu Pemerintahan Baru), Jilid 1 dan 2, (Jakarta: Rineka

(38)

yang tidak terpisahkan dari bangsa dan negara Indonesia. Pelaksanaan hak, wewenang dan kebebasan otonomi desa menuntut tanggungjawab untuk memelihara integritas, persatuan dan kesatuan bangsa dalam ikatan Negara Kesatuan Republik Indonesia dan tanggungjawab untuk mewujudkan kesejahteraan rakyat yang dilaksanakan dalam koridor peraturan perundang-undangan yang berlaku.21

3. Pemerintahan Desa

Pemerintahan Desa merupakan bagian dari Pemerintahan Nasional yang penyelenggaraannya ditujukan pada pedesaan. Pemerintahan Desa adalah suatu proses dimana usaha-usaha masyarakat desa yang bersangkutan dipadukan dengan usaha-usaha pemerintah untuk meningkatkan taraf hidup masyarakat.22

Awalnya sebelum lahirnya Undang-Undang No 22 Tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah berlaku kebijakan Pemerintah Desa dengan Undang-Undang Pemerintah Desa No. 5 tahun 1979 yang menyatakan bahwa desa adalah suatu wilayah yang ditempati oleh sejumlah penduduk sebagai kesatuan masyarakat termasuk di dalamnya kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai organisasi pemerintahan terendah langsung di bawah camat dan berhak menyelenggarakan rumah tangganya sendiri dalam ikatan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Rumusan tersebut memuat konsep hak untuk menyelenggarakan rumah

21Ibid.,hlm. 166.

22Maria Eni Surasih,Pemerintahan Desa dan Implementasinya, (Jakarta: Erlangga, 2006),

(39)

tangganya sendiri, namun juga disebutkan bahwa desa merupakan organisasi pemerintahan terendah di bawah camat.

Undang-Undang No 22 Tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah menempatkan desa sebagai kesatuan masyarakat hukum yang berhak dan berwenang untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan hak asal-usul desanya. UU No 22 Tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah dipandang terlalu liberal dan federalistik, sehingga dikhawatirkan dapat mengancam keutuhan NKRI. Pembagian kewenangan terlalu mutlak pada daerah membuat perimbangan kekuasaan antara pusat dan daerah tidak proporsional, sehingga kontrol pusat dan provinsi terhadap daerah hilang. Dihawatirkan UU ini rentan melahirkan konflik dan masalah di tengah masyarakat. Karena berbagi kelemahan tersebut, maka UU No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah diganti dengan UU No. 32 Tahun 2004 dan selanjutnya disempurnakan dengan berlakunya UU No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah hingga saat ini.

(40)

Desa adalah wakil dari penduduk desa bersangkutan berdasarkan keterwakilan wilayah yang ditetapkan dengan cara musyawarah dan mufakat.

Pemerintahan Desa menurut HAW. Widjaja23diartikan sebagai:

“Penyelenggaraan Pemerintahan Desa merupakan subsistem dari sistem penyelenggaraan Pemerintah, sehingga Desa memiliki kewenangan untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakatnya. Kepala Desa bertanggung jawab kepada Badan Permusyawaratan Desa dan menyampaikan laporan pelaksanaan tersebut kepada Bupati”.

Berdasarkan UU No. 6 Tahun 2014 Pasal 55 dijelaskan bahwa anggota Badan Permusyawaratan Desa mempunyai fungsi membahas dan menyepakati Rancangan Peraturan Desa bersama Kepala Desa dan menampung dan menyalurkan aspirasi masyarakat Desa. Sedangkan Masa keanggotaan Badan Permusyawaratan Desa selama 6 (enam) tahun terhitung sejak tanggal pengucapan sumpah/janji. Anggota Badan Permusyawaratan Desa dapat dipilih untuk masa keanggotaan paling banyak 3 (tiga) kali secara berturut-turut atau tidak secara berturut-turut.

B. Negeri Di Kota Ambon

1. Umum

Dalam penjelasan umum Peraturan Daerah Kota Ambon Nomor 3 Tahun 2008 tentang Negeri di Kota Ambon menerangkan bahwa Negeri di Maluku, Kota Ambon khususnya adalah sebuah realitas sosial yang hidup, dihormati, dan tetap dipatuhi oleh masyarakat karena memiliki simbol-simbol, kharisma dan

(41)

aturan-aturan yang bijak dari unsur asli masyarakatnya yang mampu mengendalikaninteraksi sosial dan menciptakan ketertiban dan kestabilan politik pemerintahan Negeri.

Sekalipun mengalami pasang surut akibat kebijakan pemerintah di masa lampau namun aktivitas masyarakat Ambon tetap mencerminkan nilai-nilai dan norma sebagai suatu masyarakat adat dengan ciri-ciri :

1. Memiliki kelembagaan adat (Saniri, Soa, dan sebagainya) 2. Mempunyai wilayah petuanan Negeri

3. Mempunyai simbol-simbol adat (Baileo dan sebagainya)

4. Mempunyai hubungan magis religius dengan lingkungan dan dalam interaksi antar individu dan kelompok

5. Memiliki upacara atau ritus-ritus adat tertentu

6. Memiliki bahasa asli yang dapat dipakai, minimal dalam upacara-upacara adat atau pertemuan-pertemuan tertentu

7. Mempunyai keturunan asli yang sudah secara turun temurun menguasai wilayah petuanan

8. Mempunyai aturan-aturan yang dapat mengatur hubungan antar individu dan kelompok maupun dengan lingkungan sekitarnya.

(42)

Adapun Urusan Pemerintahan yang menjadi kewenangan Negeri mencakup:

a. kewenangan atas petuanan Negeri

b. urusan pemerintahan yang sudah ada berdasarkan hak asal usul dan hukum adat Negeri

c. urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan daerah yang diserahkan pengaturannya kepada Negeri

d. tugas Pembantuan dari Pemerintah, Pemerintah Provinsi, dan Pemerintah Kota

e. urusan pemerintahan lainnya yang oleh Peraturan Perundang-Undangan diserahkan pengaturannya kepada Negeri.

(43)

2. Raja

Raja diutamakan berasal dari anak Negeri atau anak adat dari Matarumah dalam Soa Parenta. Apabila ketentuan ini tidak dapat dipenuhi maka dapat diusulkan anak Negeri dari Soa lain. Pengusulannya dilakukan dalam musyawarah Soa Parenta. Persetujuan Soa Parenta diwujudkan dalam bentuk mandat tertulis yang ditandatangani oleh Kepala Soa Parenta. Mandat dimaksud hanya berlaku dalam 1 (satu) masa jabatan. Setiap Raja diberi gelar sesuai asal-usul dan adat istiadat Negeri setempat. Masa jabatan Raja adalah 6 (enam) tahun dan dapat dipilih kembali. Pengisian jabatan Raja dapat dilakukan melalui pemilihan dan/atau pengangkatan.

3. Saniri Negeri Lengkap

Pasal 13 ayat (2) Peraturan Daerah Kota Ambon Nomor 3 Tahun 2008 tentang Negeri di Kota Ambon menyatakan bahwa unsur-unsur Saniri Negeri Lengkap dapat ditentukan oleh masing-masing negeri yang diatur dengan peraturan negeri, namun tidak mengubah kedudukan Raja sebagai ketua Saniri Negeri Lengkap. Dalam menjalankan kegiatannya, Saniri Negeri Lengkap disediakan biaya operasional sesuai dengan kemampuan keuangan Negeri.

(44)

sebagian besar berkaitan dengan Raja namun tidak di jabarkan secara tersendiri dalam peraturan daerah tentang Negeri ini.

C. Sistem Pemerintahan

Siapa pelaksana kekuasaan negara dapat dikaitkan dengan negara Monarki dan Negara Republik. Secara konseptual, jabatan Presiden dipertalikan dengan negara republik24 sedangkan raja dipertalikan dengan negara kerajaan.25

Duguit membedakan antara republik dan monarchie berdasarkan bagaimana kepala negara diangkat. Jika seorang kepala negara diangkat berdasarkan hak waris atau keturunan maka bentuk pemerintahan disebut monarchie pelaksana kekuasaan negara disebut raja sedangkan jika kepala negara dipilih melalui suatu pemilihan umum untuk masa jabatan tertentu maka negaranya disebut republik pelaksana kekuasaan negara disebut Presiden.26

24Perkataan “republik” (republica, republic) telah dikenal sejak masa Yunani –kalsik dan

rumawi. Buku yang ditulis Plato (Yunani), Cicero (Rumawi), keduanya berjudul “Republik” (republica). Walaupun demikian, uraian Plato dan Cicero yang terangkum dalam Republic, tidak dkaitkandengan jabatan Presiden. Tulisan Plato dan Cocero justru mengenai kerajaan. Perkataan republik pada waktu itu belum berkaitan dengan bentuk negara, melainkan dengan fungsi negara dalam cara menjalankan pemerintahan. Republik yang berasal dari “res” dan “publica”, menunjuk kepada suatu pemerintahan yang dijankan oleh dan untuk kepentingan umum. Bagir Manan, “Jabatan KePresidenan Republik Indonesia” dalam 70 Tahun Prof. Dr. Harun Alrasid (intergritas, konsistensi seorang sarjana hukum) , editor. A. Muhammad Asrun dan Hendra Nurtjahjo, (Jakarta: Pusata Studi HTN UI, 2000), hlm. 163.

25Menurut Hans Kelsen pembedaan antara monarki dengan republik terletak pelaksana

kedaulatan “Whenthe sovereign power of community belong to one individual, the government of the constitutions is said to be monarchic. When the powers belongs to several individual, the constitution is called republican. A republikan is an aristroceacy ar a democracy, depending upon whether the sovereign powers belongs to mayority of the people” Hans Kelsen,General Theory of Law and State, (New York: Russell & Russell, 1961), hlm. 283.

26Moh Kusnadi dan Harmelly Ibrahim, Pengantar Hukum Tata Negara Indonesia, Cet. 5,

(45)

Jika keberadaan Presiden berkaitan dengan bentuk Pemerintahan maka kekuasaan Presiden dipengaruhi dengan sistim pemerintahan. Pada sistem pemerintahan biasanya dibahas pula dalam hal hubungannya dengan bentuk dan struktur organisasi negara dengan penekanan pembahasan mengenai fungsi-fungsi badan eksekutif dalam hubungannya dengan badan legislatif. Secara umum sistim pemerintahan terbagi atas tiga bentuk yakni sistim pemerintahan Presidensil, parlementer dan campuran yang kadang-kadang disebut “kuasi Presidensil” atau “kuasi parlementer”.27

Sistem pemerintahan parlementer terbentuk karena pergeseran sejarah hegemonia kerajaan. Pergeseran tersebut seringkali dijelaskan kedalam tiga fase peralihan, meskipun perubahan dari fase ke fase yang lain tidak selalu tampak jelas. Pertama, pada mulanya pemerintahan dipimpin oleh seorang raja yang bertanggung jawab atas seluruh sistem politik atau sistem ketatanegaraan. Kedua, Kemudian muncul sebuah majelis dengan anggota yang menentang hegemoni raja. Ketiga, mejalis mengambil ahli tanggung jawab atas pemerintahan dengan bertindak sebagai parlemen maka raja kehilangan sebagian besar kekuasaan tradisionalnya.28 Oleh sebab itu keberadaan sistem parlementer tidaklah lepas

dari perkembangan sejarah negara kerajaan seperti Inggris, Belgia dan sewedia.

27Jimly Asshiddiqie, Pergumulan Peran Pemerintah dan Parlemen dalam Sejarah (telaah

perbandingan konstitusi berbagai negara), Cet.1, (Jakarta: UI-PRESS, 1996), hlm. 59.

28Dauglas V. Verney, “Pemerintahan Parlementer dan Presidensil” dalam Sistem Sistem

(46)

Ciri umum pemerintahan parlementer sebagaimana dijelaskan S.L Witman dan J.J Wuest, yakni:29

1.It is based upon the diffusions of powers principle.

2.There is mutual responsibility between the the executive and the legislature; hance the executive may dissolve the ligislature or he must resign together with the rest of the cabinet whent his policies or no longer accepted by the

majority of the membership in the legislature.

3.There is also mutual responsibility between the executive and the cabinet. 4. The executive (Prime Minister, Premier, or Chancellor) is chosen by yhe

titular head of the State (Monarch or Presiden), accorfing to the support of majority in the legislature.

Selain itu Jimly Asshiddiqie mengatakan bahwa dalam sistem parlementer dapat dikemukakan enam ciri, yaitu: (i) Kabinet dibentuk dan bertanggung jawab kepada parlement. (ii) Kabinet dibentuk sebagai satu kesatuan dengan tanggung jawab kolektif dibawah Perdana Menteri. (iii) Kabinet mempunyai hak konstitusional untuk membubarkan parlemen sebelum periode bekerjanya berakhir. (iv) Setiap anggota kabinet adalah anggota parlement yang terpilih. (v) Kepala pemerintahan (Perdana Menteri) tidak dipilih langsung oleh rakyat, melainkan hanya dipilih menjadi salah seorang anggota parlement. (vi)

29Shepherd L. Witman dan John J. Wuest,Comperative Government, (Newyersy: Littleffield,

(47)

Adanya pemisahan yang tegas antara kepala negara dengan kepala pemerintahan.30

Berdasarkan ciri-ciri sistem pemerintahan tersebut. Pada hakekatnya kedua pendapat tersebut tidaklah berbeda, keduanya memiliki persamaan. Dalam kaitannya dengan kedudukan Presiden berdasarkan apa yang dijabarkan dalam ciri tersebut, kedudukan Presiden hanya ditemukan pada sistem parlementer yang berbentuk negara republik. Menurut S.L Witman dan J.J Wuest pada ciri yang keempat dan Jimly Asshiddiqie Pada ciri yang keenam, kedudukan Presiden hanyalah sebagai kepala negara sedangkan kepala pemerintahan diemban oleh Perdana Menteri. Pada sistem parlementer kedudukan Presiden hanya sebagai kepala negara dimaksud bahwa Presiden hanya memiliki kedudukan simbolik sebagai pemimpin yang mewakili segenap bangsa dan negara. Di beberapa negara, kepala negara juga memiliki kedudukan seremonial tertentu seperti pengukuhan, melantik dan mengambil sumpah Perdana Menteri beserta para anggota kabinet, dan para pejabat tinggi lainnya, mengesahkan undang-undang, mengangkat duta dan konsul, menerima duta besar dan perwakilan negara-negara asing, memberikan grasi, amnesti, abolisi dan rehalibitasi. Selain itu pada negara-negara yang menganut sistem multipartai kepala negara-negara dapat mempengaruhi pemilihan calon Perdana Menteri.31

30Jimly Asshiddiqie,Pergumulan…,Op.Cit., hlm. 67.

31Ibid., hlm. 76-81; Wewenang dan kekuasaan Presiden sebagai Kepala Negara pada sistem

(48)

Sebagai mana dijelaskan di atas pada sistem pemerintahan parlementer terdapat pemisahan antara kepala negara dengan kepala pemerintahan. Hampir seluruh negara yang menganut sistem ini dapat dipastikan seorang kepala pemerintahan dipilih dari keanggotaan parlemen. Bagaimanakah cara pengisian jabatan kepala negara pada sistem ini? Pada negara monarchi dapat dipastikan kepala negaranya seorang raja menurut Duguit berdasarkan keturunan. Sedangkan pada negara yang bebebentuk republik dimana kepala negaranya diemban oleh Presiden pada setiap negara memiliki mekanisme yang berbeda-beda dan Presiden memiliki masa jabata yang telah ditentukan. Pengisian jabatan Presiden pada negara republik pada sistem parlementer di sebagian negara diatur di dalam konstitusi mereka. Beberapa negara memilih secara langsung Presiden mereka, dipilih oleh parlement atau oleh suatu badan pemilihan.32 Sedangkan

untuk masa jabatan Presiden sekitar 5 (lima) sampai 7 (tujuh) tahun.

the following powers and prerogatives: he is the Supreme Chief of all the Armed Forces of the Republic; he decides and conducts the foreign policy of the Nation; he presides the Cabinet; he appoints the Head of Government and puts an end to his functions; he signs the Presidenial decrees; he has the right of pardon, remission or commutation of punishment; he can refer to the People through a referendum on any issue of national importance; he concludes and ratifies international treaties; he awards State medals, decorations and honorific titles. Italia (Article 87) The Presiden of the Republic is the head of the State and represents the unity of the Nation; The Presiden may send messages to Parliament; He shall call the elections of the two Chambers and fix the date of their first meeting; He shall authorize the submission to Parliament of bills proposed by the Government; He shall promulgate laws and issue decrees having the value of law, and government regulations; He shall call a referendum in such cases as are laid down by the Constitution; He shall appoint State officials in such cases as are laid down by the law; He shall accredit and receive diplomatic representatives; ratify international treaties, provided they are authorized by Parliament whenever such authorization is needed; The Presiden shall be the commander of the Armed forces.

32Autria dan Irlandia pemilihan secara langsung (direct popular elections), Israel oleh

(49)

Dalam pemerintahan Presidensial tidak ada pemisahan antara fungsi kepala negara dan fungsi kepala pemerintahan, kedua fungsi tersebut dijalankan oleh Presiden.33 Presiden pada sistem Presidensil dipilih secara langsung oleh

rakyat atau melalui badan pemilihan dan memiliki masa jabatan yang ditentukan oleh konstitusi.34

Menurut von Mettenheim dan Rockman sebagaimana dikutip Rod hague dan Martin Harrop sistem Presidensil memiliki beberapa ciri yakni :35

1. popular elections of the Presiden who directs the goverenment and makes

appointments to it.

2.fixed terms of offices for the Presiden and the assembly, neither or which can be brought down by the other(to forestall arbitrary use of powers).

3.no overlaping in membership between the executive and the legislature.

Dalam keadaan normal, kepala pemerintahan dalam sistem Presidensial tidak dapat dipaksa untuk mengundurkan diri oleh badan legislatif (meskipun terdapat kemungkinan untuk memecat seorang Presiden dengan proses pendakwaan luar biasa). Jika pada sistem parlementer memiliki pemerintah/eksekutif kolektif atau kolegial maka pada sistem Presidensial

33Menurut pendapat Alan R. Ball salah satu ciri pemerintahan Presidensil adalah “The

Presiden is both nominal and political head of State” Alan R. Ball,Modern Politic and Governmet, (New York: Macmillan Student Editiond, 1971), hlm. 24.

34Negara Amerika merupakan acuan bagi sistem Presidensil. Sistem pemisahan kekuasaan

dan sistemcheck and balancemenjadi konsekwesi terbentuknya sistem pemerintahan Presidensil. Moh. Kusnardi dan Harmally Ibrahim,Op.Cit., hlm. 177.

(50)

memiliki eksekutif nonkolegial (satu orang), para anggota kabinet Presidensial hanya merupakan penasehat dan bawahan Presiden.

Menurut Duchacck perbedaan utama antara sistem Presidensil dan parlementer pada pokoknya menyangkut empat hal, yaitu: terpisah tidaknya kekuasaan seremonial dan politik (fusion of ceremonial and political powers), terpisah tidaknya personalia legislatif dan eksekutif (separation of legislatif and eksekutif personels), tinggi redahnya corak kolektif dalam sistem pertanggungjawbannya (lack of collective responsibility), dan pasti tidaknya jabatan Kepala Negara dan Kepala Pemerintahan (fixed term of office).36

Sedangakan untuk sistem pemerintahan campuran memiliki corak tersendiri yang juga dapat disebut sistemsemi-presidensial. Sistem pemerintahan campuran dapat diartikan:

Semi-Presidenial government combines an elected Presiden performing political tasks with a prime minister who heads a cabinet accountable to parliament. The prime minister, usually appointed by the Presiden, is responsible for day-to-day domestic government (including relations with the assembly) but the Presiden retains an oversight role, responsibility for foreign affairs, and can usually take emergency powers.37

Didalamnya ditentukan bahwa Presiden mengangkat para menteri termasuk Perdana Menteri seperti sistem Presidensil, tetapi pada saat yang sama Perdana Menteri juga diharuskan mendapat kepercayaan dari parlemen seperti dalam

(51)

sistem parlementer.38 Perdana Menteri pada umumnya ditugaskan oleh Presiden,

adalah bertanggung jawab untuk pemerintah domestik sehari-hari tetapi memiliki tanggung jawab untuk urusan luar negeri, dan dapat pada umumnya mengambil kuasa-kuasa keadaan darurat.

Menurut Duverger sistem ini memiliki ciri, yakni :39

1. The Presiden of the republic is elected by universal suffrage.

2.He possesses quite considerable powers.

3.He has opposite him, however, a prime minister and minister who possess executive and governmental powers and can stay in office only if the parliament does not showits oppositions to them.

Jadi pada sistem campuran ini kedudukan Presiden tidak hanya sebagai serimonial saja, tetapi turut serta didalam pengurusan pemerintahan, adanya pembagian otoritas didalam eksekutif.

Sejarah ketatanegaraan Indoenesia sejak berlakunya UUD 1945 kemerdekaan, Konstitusi RIS, Undang-Undang Dasar Sementara 1950 sampai dengan perubahan UUD 1945, Indonesia mengalami beberapa perubahan sistem pemerintahan. Indonesia terus mencari suatu bentuk yang ideal. Kusnardi dan Harmaily Ibrahim mengatakan bahwa Indonesia di bawah UUD 1945 menganut

38Sistem campuran ini dapat pula disebuthybrid system. Jika dipandang dari segi Presidensil

maka dikenal dengan kuasi Presidensil sedangkan jika dipandang dari sistem parlementer maka dikenal dengan kuasi parlementer. Jimly Asshiddiqie,Pergumulan…,Op.Cit., hlm. 89.

(52)

sistim pemerintahan “quasi Presidensial”. Alasannya karena dilihat dari sudut pertanggungjawaban Presiden kepada MPR, sebagiman dikatakan lebih lanjut:40

Jadi berdasarkan Pasal 4 ayat (1) dan Pasal (17) UUD 1945, sistem pemerintahannya adalah Presidensil, karena Presiden adalah eksekutif, sedangkan menteri-menteri adalah pembantu Presiden. Dilihat dari sudut pertanggungan jawab Presiden kepada Majelis Permusyawaratan Rakyat, maka berarti bahwa eksekutif dapat dijatuhkan oleh lembaga negara lain – kepada siapa Presiden bertanggung jawab – maka sistem pemerintahan di bawah UUD 1945 dapat disebut “quasi Presidensil”.

Kekuasaan Presiden di dalam UUD 1945 sebelum perubahan yang dikatakan menganut sistim pemerintahan “quasi Presidensial” memiliki tiga kekuasaan sebagai yakni, sebagai kepala negara, sebagai kepala pemerintahan dan sebagai mendataris MPR.

Perubahan UUD 1945 merubah sistem pemerintahan Indonesia. Dengan perubahan ini Indonesia menganut sistem pemerintahan Presidensil. Jika pada UUD 1945 sebelum perubahan memiliki kelemahan yakni cenderung sangat ‘executive hevy’ maka setelah perubahan hal ini tidak terwujud lagi, perubahan UUD 1945 telah menganut sistem pemeritahan Presidensil yang dapat menjamin stabilitas pemerintah.41

40Moh. Kusnardi dan Harmally Ibrahim,Pengantar Hukum Tata Negara Indonesia, Cet. 5,

(Jakarta: Pusat Studi HTN U, 1983), hlm. 180; sebagaimana dikutip pula dalam A. Hamid S Attamimi,

Op. Cit., hlm. 125-126; dapat dilihat pula menurut Muchyar Yara bahwa karena ciri-ciri sistem pemerintahan preidensil di dalam UUD 1945 terlihat lebih dominan dibandingkan ciri-ciri sistem pemerintahan parlementer, maka tepatnya sistem pemerintahan yang dianut oleh UUD 1945 disebut sebagai, “Sistem pemerintahan Quasi Presidensil”. Muchyar Yara,Op.Cit., hlm. 79.

(53)

Dalam sistem pemerintahan Presidensil yang diadopsi oleh Undang-Undang Dasar 1945 menurut Jimly Asshiddiqie memiliki lima perinsip penting, yaitu:42

(1) Presiden dan Wakil Presiden merupakan satu institusi penyelenggara kekuasaan esekutif negara yang tertinggi dibawah Undang-Undang Dasar. (2) Presiden dan Wakil Presiden dipilih oleh rakyat secara langsung dan karena itu secara politik tidak bertanggungjawab kepada Majelis Permusyawaratan Rakyat atau lembaga parlemen, melainkan bertanggungjawab langsung kepada rakyat yang memilih. (3) Presiden dan/atau Wakil Presiden dapat dimintakan pertanggungjawaban secara hukum apabila Presiden dan/atau Wakil Presiden melakukan pelanggaran hukum dan konstitusi. (4) Para menteri adalah pembantu Presiden. (5) Untuk membatasi kekuasaan Presiden yang kedudukannya dalam sistem Presidensil sangat kuat sesuai dengan kebutuhan untuk menjamin stabilitas pemerintah, ditentukan pula masa jabatan Presiden lima tahunan tidak boleh dijabat oleh orang yang sama lebih dari dua masa jabatan. Kelima ciri tersebut merupakan ciri sistem pemerintahan Presidensil yang dianut oleh Undang-Undang Dasar 1945 hasil perubahan.

(54)

BAB III

HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Sistem Pemerintahan Negeri Menurut Hukum Adat

Istilah Hukum Adat merupakan terjemahan dari Adatrecht yang pertama kali dikemukakan oleh Christian Snouk Hugronje dalam bukunya The Atjehers (tahun 1893) dan Het Gayo Land, untuk menunjukkan hukum yang ada di Indonesia dengan memberi definisi adats die rechts gevolgen hebbe. Menurut Cornelis, Hukum Adat adalah hukum yang tidak bersumber kepada peraturan-peraturan yang dibuat oleh pemerintah Hindia Belanda dahulu atau alat-alat kekuasaan lainnya yang menjadi sendinya dan diadakan sendiri oleh kekuasaan Belanda dulu. Menurut Soepomo Hukum Adat adalah sebagai hukum yang tidak tertulis di dalam peraturan-peraturan legislatif (unstatutory law) meliputi peraturan-peraturan hidup yang meskipun tidak ditetapkan oleh yang berwajib tetapi ditaati dan didukung oleh rakyat berdasarkan atas keyakinan bahwasanya peraturan-peraturan tersebut mempunyai kekuatan hukum.

(55)

mengandung unsur agama. Hukum Adat timbul dan berlaku apabila diputuskan dan ditetapkan oleh petugas hukum seperti : kepala adat, hakim, rapat adat, dan perangkat desa lainnya (menurut Terhaar). Hal ini didukung oleh Soepomo yang mengatakan bahwa tingkah laku manusia pada suatu waktu mendapat sifat hukum pada saat petugas hukum yang bersangkutan mempertahankannya terhadap orang yang melanggar peraturan itu.

Membahas mengenai Sistem Pemerintahan Desa menurut hukum adat, telah dikenal istilah Hukum Adat Ketatanegaraan yang didefenisikan oleh H. Hilman Hadikusuma sebagai aturan-aturan hukum adat yang mengatur tentang tata susunan masyarakat adat, bentuk-bentuk masyarakat (perekutuan) hukum adat desa, alat-alat perlengkapan desa, susunan jabatan dan tugas masing-masing anggota perlengkapan desa, majelis kerapatan adat desa, dan harta kekayaan desa. Sejalan dengan pendapat H. Hilman Hadikusuma, Bus.Har Muhammad, secara sederhana mengartikan Hukum Adat Ketatanegaraan sebagai bagian dari Hukum Adat mengenai susunan pemerintahan.43

Desa adat di Kota Ambon lazimnya disebut Negeri. Negeri berasal dari bahasa Sansekerta yang berarti daerah, kota, kerajaan (suatu wilayah pemerintahan). Negeri terbentuk mula-mula oleh kelompok masyarakat sosial yang semakin hari semakin bertambah banyak sehingga terjadilah atau terbentuklah suatu perkampungan yang terdiri dari beberapa “Mata rumah” yang

43Tolib Setiady,Intisari Hukum Adat Indonesia (Dalam Kajian Kepustakaan), (Bandung:

(56)

disebut “Rumah tau” atau “Luma tau” beberapa mata rumah yang mempunyai hubungan genealogis territorial kemudian menggabungkan diri menjadi sebuah “soa” yang dipimpin oleh seorang kepala soa.

Beberapa Soa yang berdekatan berbentuk sebuah “Hena” atau “Amman” yang dipimpin oleh sebuah Ama (Bapak atau Tuan), yang kemudian dibentuk lagi sebuah perserikatan yang lebih besar yang dikenal dengan nama “Uli”, ada dua jenis Uli yaitu : “Uli siwa” artinya persekutuan sembilan negeri dan “Uli Lima” artinya persekutuan lima negeri.

Susunan pemerintahan negeri adalah warisan dari pemerintahan Belanda dimana sistem hukum adat ini ditetapkan dalam keputusan landraad Amboina No.14 Tahun 1919; disebutkan bahwa Pemerintah Negeri adalah regent en de kepala soas’s. selanjutnya di dalam keputusan landaard Amboina No. 30 Tahun 1919 disebutkan bahwa negorijbestuur adalah regent en de Kepala-Kepala Soa, yang berarti bahwa pelaksanaan pemerintahan negeri dilaksanakan oleh Raja dan Kepala-Kepala Soa.44 Tiap Negeri memiliki sejarah, struktur pemerintahan dan

hukum adatnya masing-masing meskipun tidak jauh berbeda.

Adapun salah satu struktur pemerintahan Negeri berdasarkan hukum adat dari negeri di Kota Ambon (Negeri Latuhalat) yang dapat dilihat pada gambar dibawah ini.

(57)

Gambar Struktur Pemerintahan Negeri Latuhalat

Pada gambar tersebut terlihat bahwa Raja dan Kepala Soa merupakan pelaksana pemerintahan negeri atau yang lebih dikenal dengan sebutan Badan Saniri Rajapatti. Badan ini merupakan badan eksekutif dibawah pimpinan Raja. Raja adalah pemegang pemerintah negeri yang bertindak juga sebagai kepala adat dalam meimpin acara-acara adat. Raja berkewajiban untuk memelihara hukum dan adat, kesatuan dan ketentraman negeri, melaksanakan administrasi negeri seperti perkawinan, pembagian warisan, dan lain-lain. Dalam melaksanakan tugasnya ini maka Raja dibantu oleh juru tulis yang bertugas sebagai pembantu Raja dalam melaksanakan administrasi negeri dan

RAJA SANIRI NEGERI

KEPALA SOA :

1. ANTOULATU 4. PAPALA

2. TEHUWANIHUAT 5.TUTUARONG

3. TOMUHUAT 6. PARI

KEWANG DARAT, KEWANG LAUT,

(58)

memberikan pelayanan kepada masyarakat. Juru Tulis berfungsi dalam melaksanakan surat-menyurat, kearsipan dan laporan.

Kepala Soa adalah Kepala Persekutuan Territorial Genealogis yang bertugas membantu Raja dalam pelaksanaan Pemerintahan Negeri, mewakili Soa. Kepala Soa diberi kewenangan untuk menggantikan Raja dalam melaksanakan tugas pemerintahan negeri di dalam melayani kebutuhan-kebutuhan masyarakat. Sebagai pemimpin dari suatu bagian di dalam negeri yang terdiri dari beberapa marga maka Kepala Soa juga berfungsi untuk menampung dan menyalurkan aspirasi serta pendapat masyarakat yang ada dalam wilayah kekuasaan “Soa”nya. Kepala soa juga berperan sebagai kepala adat yang melaksanakan tugas dari Raja untuk melangsungkan acara kawin adat khususnya dalam menerima harta kawin yang diberikan dari mempelai pria kepada pemerintah negeri.45 Pengangkatan

Kepala Soa ditetapkan dengan Keputusan Raja.

Dalam struktur pemerintahan negeri di Kota Ambon pada umumnya, disamping Saniri Rajapati ada Saniri Negeri yang merupakan kumpulan wakil-wakil Soa dari beberapa matarumah yang memilih dan mengangkat salah satu anggotanya sebagai wakil pada Saniri Negeri. Di dalam pelaksanaan pemerintahan negeri, maka dikenal ada badan legislatif yang dikenal dengan sebutan Saniri Negeri Lengkap. Saniri Negeri Lengkap terdiri dari: anggota Saniri, para tua-tua adat dan tokoh-tokoh masyarakat yang berpengaruh seperti

45Eric Stenly Holle, dalamKompilasi Pemikiran Tentang Dinamika Hukum Dalam

(59)

guru, pegawai, tokoh agama (pendeta/imam), Kewang (polisi hutan dan laut sebagai perangkat Saniri Rajapatti yang melaksanakan tugas pengawasan kekayaan sumber daya alam negeri dalam petuanan negeri), Marinyo (perangkat Saniri Rajapatti yang diserahi tugas menyampaikan berita yang berkaitan dengan tugas-tugas pemerintahan maupun adat istiadat negeri), Tuan Negeri sebagai pemimpin pelaksana adat dalam negeri, dan Tuan Tanah. Tugas Saniri Negeri Lengkap adalah menentukan kebijaksanaan dan mengeluarkan peraturan-peraturan bersama dengan Saniri Rajapatti. Saniri Rajapatti dalam melaksanakan sesuatu hal yang penting di negeri akan berkonsultasi terlebih dahulu dengan Saniri Negeri Lengkap untuk meminta persetujuannya. Pimpinan Saniri Negeri Lengkap ini adalah Raja, namun selain bertugas sebagai badan legislatif maka Saniri Negeri Lengkap juga bertugas untuk memilih Raja menurut tatacara yang berlaku.

(60)

dilakukan sewaktu-waktu untuk meminta persetujuan anak Negeri mengenai keadaan mendesak.

Bila melihat kedudukan struktur organisasi pemerintahan negeri pada Gambar diatas, maka Raja adalah merupakan orang yang pertama dan sangat memegang penting di dalam sistem pemeritahan negeri. Raja memiliki kapasitas dan fungsi sebagai pimpinan badan eksekutif, legislatif dan yudikatif. Akan tetapi dengan kapasitas dan fungsi tersebut Raja tidak memiliki kekuasaan mutlak dalam menjalankan tugasnya dan dalam pengambilan keputusan, Raja harus mempertimbangkan pendapat dari badan Saniri Negeri. Lembaga-lembaga adat yang terdapat dalam struktur Pemerintahan Negeri adat ini memiliki fungsi dan peranan yang sangat besar terhadap kelangsungan pembangunan masyarakat. Lembaga-lembaga adat ini sangat dihormati, dipatuhi dan dihargai oleh masyarakat terhadap berbagai hal seperti dalam pengambilan keputusan, penyelesaian sengketa batas tanah dan petuanan, pelantikan Raja, serta pelaksanaan upacara-upacara adat.

B. Kedudukan Raja Dalam Sistem Pemerintahan Negeri di Kota Ambon

1. Perkembangan Pengaturan Sistem Pemerintahan Negeri

(61)

atau berdasarkan garis keturunan. Pemahaman pada masa itu bahwa negeri merupakan suatu komunitas sosial yang bebas dan tidak memiliki keterikatan secara struktural maka setiap negeri memiliki struktur organisasi pemerintahan negeri dengan hukum tidak terulisnya sendiri. Pada masa ini Raja berfungsi sebagai kepala pemerintahan, sebagai hakim dan juga sebagai ketua pembuatan peraturan negeri.

Setelah Bangsa Indonesia merdeka sehubungan dengan perkembangan ketatanegaraan menurut Undang-undang Dasar 1945 yang berlaku kembali sejak Dekrit Presiden Republik Indonesia tanggal 5 Juli 1959, yang mengharuskan segala peraturan perundangan tata perdesaan umumnya, yang masih mengandung unsur-unsur dan sifat-sifat kolonialfeodal diganti dengan satu Undang-undang Nasional kedesaan yang berlaku untuk seluruh wilayah Republik Indonesia maka ditetapkanlah Undang-Undang Nomor 19 Tahun 1965 Tentang Desapraja Sebagai Bentuk Peralihan Untuk Mempercepat Terwujudnya Daerah Tingkat III Di Seluruh Wilayah Republik Indonesia (selanjutnya disebut UU No. 19 Tahun 1965).

(62)

ini berlaku. Pengakuan terhadap hak asal usul desa di bingkai dalam kalimat kewenangan mengurus rumah tangga sendiri sesuai karakteristik daerah namun kewenangan itu dapat dihapus atau diubah oleh pemerintah diatasnya.

Demi mengindahkan keragaman keadaan Desa dan ketentuan adat istiadat yang masih berlaku untuk memperkuat pemerintahan Desa agar makin mampu menggerakkan masyarakat dalam partisipasinya dalam pembangunan dan menyelenggarakan administrasi Desa yang makin meluas dan efektif maka ditetapkanlah Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1979 Tentang Pemerintahan Desa (selanjutnya disebut UU No. 5 Tahun 1979) menggantikan UU No. 19 Tahun 1965. Pengaturan mengenai kewenangan desa diserahkan pada masing-masing daerah lewat peraturan daerah. Dalam undang-undang ini tetap menempatkan kepala desa pada kedudukan yang sama yaitu sebagai Kepala Pemerintahan Desa (Desapraja) dan Ketua Lembaga Musyawarah Desa (Badan Musyawarah Desapraja) dengan hak, wewenang dan kewajiban yang lebih terperinci. Pada tahap ini telah terlihat jelas pola hubungan kerja yang saling timbal balik (dalam konteks pengawasan) antara Kepala Desa dan Lembaga Musyawarah Desa.

(63)

walaupun tidak secara murni, karena ada mekanisme checks and balances diantara masing-masing lembaga negara.

Kemudian pada tahun 2008 Pemerintah Kota Ambon menetapkan Perda No. 3 Tahun 2008 dengan berdasar pada UU No. 5 Tahun 1979 yang menurut penulis tidak sejalan dengan UUD 1945 hasil amandemen. Sistem Pemerintahan Negeri (desa) yang tergambar dalam Pasal 11 Perda tersebut, menempatkan Raja (Kepala Desa) juga memangku jabatan sebagai Ketua Saniri Negeri Lengkap (Lembaga Musyawarah Desa).

2. Kedudukan Raja Sebagai Ketua Saniri Negeri Lengkap

Identitas Negeri dilihat dari segi fungsi pemerintahan berdasarkan Pasal 200 UU Nomor 32 Tahun 2004, menempatkan pemerintahan negeri sebagai bagaian dari pemerintahan daerah kabupaten/kota, sehingga keberadaan pemerintahan negeri adalah sebagai sub sistem pemerintahan daerah kabupaten/kota.46 Terkait dengan hal itu memosisikan kedudukan Raja dalam

ketatanegaraan Indonesia perlu dipahami sebagai penyelenggaraan urusan yang dilaksanakan dalam rangka pemerintahan dalam arti luas, untuk melayani masyarakat.

46A.D. Bakarbessy,Artikel, Hukum Tata Negara,Kajian Yuridis Terhadap Kedudukan Desa

Gambar

Gambar Struktur Pemerintahan Negeri Latuhalat

Referensi

Dokumen terkait

Sesuai dengan permasalahan yang menjadi fokus dalam penelitian ini yaitu gambaran deskriptif mengenai efektivitas pengawasan presensi dalam meningkatkan disiplin kerja

Minimnya nilai b yang diperoleh Jawa Timur dibandingkan dengan kedua bagian yang lain, menandakan bahwa batuan di wilayah Jawa Timur masih dalam keadaan rapat (tingkat

Hal tersebut dibuktikan dengan hasil analisis data didapatkan t= 8.577 dengan p < 0.001, dengan nilai d’Cohen = 2.361 sehingga dapat disimpulkan konseling kognitif behavioral

memasy asyarak arakatk atkan an per perhat hatian ian khu khusus sus pad pada a seju sejuml mlah ah fak faktor tor. /i /i sisi sisi lai lain n kar karena ena metode

Kadar karbon arang sabut kelapa pada berbagai suhu ini lebih besar dibandingkan dengan karbon aktif komersial merk India dan juga karbon aktif dari empulur batang

1) Inspeksi Kesehatan Lingkungan dilaksanakan oleh Tenaga Kesehatan Lingkungan (sanitarian) yang membawa surat tugas dari Kepala Puskesmas dengan rincian tugas yang lengkap. 2)

Ini ter ter*asu *asuk k salu saluran ran ter teran,a an,ar r e! e!Bank Banking ing ,ang ,ang *e*u *e*ungki ngkinka nkan n nasa nasa0a$ 0a$ *elakukan transaksi 8ia

a. Dalam upaya untuk memperoleh keterangan lebih lanjut sehubungan dengan Kecelakaan Kerja di atas KM. LAMBELU, pada tanggal 07 Juli 2010, di Pelabuhan Achmad Yani Ternate,